Secara prinsip, penyelenggaraan Pendidikan Tinggi adalah sebagai pencarian kebenaran ilmiah oleh Sivitas Akademika. Pendidikan Tinggi didirikan juga sebagai pengembangan budaya akademik dan pembudayaan kegiatan baca tulis bagi Sivitas Akademika. Jika salah satu oknum (Termasuk juga birokrasi kampus) membatasi kegiatan akademik, maka sama halnya ia menodai prinsip penyelenggaraan pendidikan tinggi, menodai Undang-Undang Pendidikan Tinggi yang menjadi pedoman berdirinya kampus.
16 Oktober 2015, Rektor Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW) beserta jajarannya menarik majalah yang dihasilkan oleh Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Lentera dengan judul “Salatiga Kota Merah”. Brirokrasi kampus menarik majalah Lentera tanpa melalui kajian yang mendalam terlebih dahulu. Melainkan mereka hanya melakukan justifikasi semata, yaitu dengan menganggap bahwa informasi dari narasumber majalah kurang valid tanpa adanya narasi ilmiah. Birokrasi kampus UKSW juga menyampaikan melalui lisan, bahwa majalah Lentera harus ditarik agar menjaga masyarakat tetap kondusif.
Majalah Lentera ditarik oleh birokrasi kampus, bahkan krunya diintrograsi oleh polisi karena mereka mengangkat peristiwa berdarah 1965. Kajian tentang peristiwa 1965 tentang Partai Komunis Indonesia (PKI) di kampus dipersoalkan, bukan pertama kali di Salatiga. 11 Maret 2015, Fron Perjuangan Demokrasi Yogyakarta yang terdiri dari organisasi gerakan mahasiswa yang difasilitasi oleh LPM Rhetor UIN Sunan Kalijaga, kegiatan diskusi dan pemutaran film senyap (The Look of Silence) dihentikan oleh Rektor saat itu, Ahmad Minhaji dan berusaha dihentikan oleh organisasi masyarakat yang menamakan Forum Umat Islam (FUI), namun acara tetap berjalan hingga selesai.
Penarikan karya tulis mahasiswa yang berupa buletin juga sempat dialami oleh LPM Ekpresi UNY. Tepatnya pada 24 Agustus 2014, 150 buletin Expedisi Lpm Ekspresi yang mau didistribusikan ke GOR UNY ditarik langsung oleh Rektor UNY, Rochmad Wahab dengan melalui tangan Wakil Rektor III UNY. Apa yang dilakukan oleh Rektor UNY tentu tidak melakukan kajian terlebih dahulu tentang isi buletinnya, dan serta merta menarik buletin Expedisi.
Lain lagi dengan kasus yang dialami oleh LPM Ideas. Salah satu krunya, Rosy Dewi Arianti Saptoyo mendapatkan ancaman dan intimidasi dari Pembantu Dekan (PD) III Fakultas Sastra Universitas Jember (FS UJ), Wisasongko. Dia diancam oleh PD III, beasiswanya bidik misi akan di bekukan sambil menghina Dewi. “Kamu itu miskin gak usah macam-macam.” Kata wisasongko. Dewi diintimidasi oleh PD III karena ia anggota dari LPM Ideas. Wisasongko tanpa melakukan hak koreksi, dia menyatakan kepada Dewi bahwa buletin Partikelir edisi Mafia Dana Praktikum Mahasiswa ini tidak berimbang dalam pemberitaan.
Berkali-kali birokrasi kampus telah menodai prinsip penyelenggaraan Pendidikan Tinggi, yaitu dengan membatasi bahkan tidak melindungi kegiatan mahasiswa hingga membredel karya tulis mahasiswa. Karya tulis yang menggunakan metode yang jelas untuk mengungkap kebenaran suatu fakta tidak bisa serta merta diberedel atau ditarik oleh birokrasi kampus dan oknum mana pun. Apalagi menarik karya tulis mahasiswa tanpa ada kajian terlebih dahulu secara tertulis, merupakan sebuah kemunduran dalam budaya akademik. Mengingat jika karya tulis mahasiswa mendapatkan kesalahan, birokrasi kampus harus melakukan kajian ataupun sanggahan melalui tulisan. Jika birokrasi kampus atau oknum mana pun yang menarik karya mahasiswa dari peredaran, tanpa ada kajian ilmiah, maka mereka menodai prinsip penyelenggaraan pendidikan tinggi.
Dalam penyelenggaraan pendidikan dan pengembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi berlaku kebebasan akademik, kebebasan mimbar akademik, dan otonomi keilmuan. Hal itu sudah diatur dalam Undang-Undang Pendidikan Tinggi Nomor 12 Tahun 2012. Pada bagian kedua pasal 9 (3) dijelaskan, otonomi keilmuan merupakan otonomi Sivitas Akademika pada suatu cabang Ilmu Pengetahuan dalam menemukan, mengembangkan, mengungkapkan mempertahankan kebenaran ilmiah menurut kaidah, metode keilmuan, dan budaya akademik. Aktivitas pers mahasiswa termasuk juga otonomi keilmuan, mempunyai kaidah dan budaya akademik yang jelas, yaitu melakukan aktivitas jurnalistik.[]