Surat Terbuka untuk Kapolri: Hentikan Kekerasan Aparat Terhadap Jurnalis

0
888

Rekam jejak kekerasan terhadap jurnalis yang dilakukan oleh aparat makin meningkat. Rekan-rekan jurnalis, pers mahasiswa (persma) dan aktivis lainnya terus saja dibuat gusar oleh perilaku intimidatif dan kekerasan fisik yang dilakukan aparat kepolisian pada jurnalis saat melakukan tugas jurnalistiknya. Kamis siang (12/4/2018), Muhammad Iqbal, anggota Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Suaka Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati Bandung, dipaksa untuk menghapus foto dikameranya dan dipukuli saat meliput aksi penolakan pembangunan Rumah Deret di gerbang Kantor Walikota Bandung.

Iqbal yang tengah mengambil gambar beberapa peserta aksi yang diseret kepolisian, didorong oleh salah satu aparat. Ia mencoba bertahan, namun tetap dipaksa dan didorong untuk keluar dari gerbang balai kota. Iqbal yang mengaku sebagai pers tak digubris dan malah diusir. Iqbal akhirnya mencari jalan lain agar bisa ke mobil dalmas karena ingin mendokumentasikan apa yang dilakukan aparat terhadap Dimas dan Aheng, peserta aksi yang ditangkap. “Woy, apaan kamu moto-moto sembarangan!” tutur Iqbal menirukan polisi yang meriakinya setelah mendapat delapan jepretan seperti yang dimuat dalam lpmarena.com.

Beberapa polisi pun menginterogasi Iqbal dan memaksa agar Iqbal menghapus foto-foto yang diambilnya. Iqbal bersikukuh menolak, ia menjelaskan bahwa pers memiliki hak untuk mengetahui apa yang terjadi. Karena dianggap tidak kooperatif, Iqbal dimasukan ke dalam truk dan diinterogasi.

Intimidasi pada Iqbal terus dilakukan. Polisi sempat menggeledah tas Iqbal dan mengambil kartu pers Iqbal. Polisi bersikeras Iqbal harus menghapus fotonya jika Iqbal ingin kartu persnya dikembalikan. Iqbal tetap menolak. Namun karena terus diintimidasi, foto itu akhirnya terpaksa dihapus dengan diperhatikan oleh polisi.

***

Massa aksi kemudian mulai merapatkan barisan, meminta agar perwakilan Pemkot menemui dan menjelaskan kepada warga terkait proyek rumah deret. Lalu ada tiga orang massa aksi yang diseret masuk, yaitu Fadli, Oki, dan Aang. Ketiganya diseret, diinjak-injak, dan dipukuli.

Iqbal yang sedang berada di dalam mencoba melerai aksi polisi tersebut. “Kalem pak, kalem,” ujar Iqbal. Bukannya berhenti, polisi tersebut justru berteriak balik, “Kamu kan pers yang tadi!” Lalu, polisi tersebut langsung memukul pipi bagian atas Iqbal dua kali. Ia lalu diinterogasi dan dicatat KTPnya bersama yang lainnya.

Iqbal berada di dalam, ia kembali ditanyai identitasnya. Massa aksi pun meminta aparat untuk mengembalikan tiga orang tersebut. Aparat kepolisian bergeming dan mencoba tetap menyuruh massa aksi untuk balik kanan, pulang dengan pengawalan petugas. Massa aksi menolak. Mereka ingin terlebih dahulu temannya ini dikembalikan dengan tanpa luka. Setelah melalui negosiasi yang sengit, akhirnya Iqbal bersama tiga orang lainnya dibebaskan dengan keadaan babak belur.

***

Tindakan pemukulan, dan intimadasi kepada Iqbal yang sedang menjalankan tugas jurnalistiknya tentu melanggar Undang-Undang Dasar 1945 pasal 28 F; dimana setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya serta berhak untuk memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah dan menyebarkan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran tersedia.

Iqbal dan bahkan masyarakat sipil siapapun itu dalam konteks aksi penolakan Rumah Deret berhak untuk mendokumentasikan apa yang terjadi di ruang publik saat itu. Kepolisian yang melakukan tindakan pemukulan pun tak berhak untuk menyakiti masyarakat sipil yang mendokumentasikan tindakan beringas yang dilakukan polisi.

Instrumen hukum lain yang juga dilanggar dalam kejadian ini adalah Undang-Undang No. 12 Tahun 2005 tentang pengesahan International Covenant on Civil and Political Right (ICCPR) atau instrumen HAM internasional terkait hak sipil dan politik warga negara. Dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (HAM) pasal 13 ayat (1), serta pasal 19 dan 20, kemudian diteruskan dalam ICCPR pasal 12, 19, 21, 22 ayat (1) dan (2) menyatakan memberikan pengakuan dan perlindungan terhadap kebebasan dasar setiap manusia yang meliputi hak kebebasan berpendapat, berekespresi, berkumpul, dan berserikat.

Dalam hal menyelenggarakan tugas-tugas kepolisian, setiap aparat harusnya juga menaati Peraturan Kapolri No. 8 Tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar Hak Asasi Manusia dalam Penyelenggaraan Tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia yang juga diatur dalam pasal 4 UU Kepolisian Negara Republik Indonesia No. 2 Tahun 2002.

Peserta aksi, dalam hal ini, memiliki hak untuk menyatakan pendapatnya di muka publik dan melakukan pengorganisiran massa sehingga suaranya dapat didengar oleh Pemerintah Kota Bandung. Iqbal sendiri sebagai masyarakat sipil maupun sebagai jurnalis pers mahasiswa, sekali lagi, memiliki hak untuk bebas berekspresi melalui kerja jurnalistik yang dilakukannya.

Masih lekat dalam ingatan, bagaimana Fadel, dkk, awak persma LPM BOM Institut Teknik Medan (ITM) yang kemudian dipolisikan karena dianggap melakukan provokasi dan pemukulan saat mereka melakukan peliputan aksi Hardiknas di depan kampus Universitas Sumatera Utara. Akhirnya, dalam persidangan ketiganya tak terbukti bersalah. Padahal sebelumnya mereka telah mengalami intimidasi dan pemukulan.

Pada Desember 2017, A.S. Rimba dan Imam Ghozali dari LPM Ekspresi Universitas Negeri Yogyakarta serta Fahri LPM Rhetor UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta juga jadi korban aksi brutal aparat kepolisian. Ketiganya termasuk dalam 15 orang aktivis yang dipukuli dan sempat ditangkap oleh aparat Polres Kulon Progo. Tiga warga pun ikut terluka akibat beringasnya polisi yang coba mengusir anggota jaringan solidaritas anti penggusuran. Hingga kini, pelaku pengroyokan yang menyebabkan ketiganya mengalami luka-luka dan memar kala itu tak ditangkap dan dibiarkan bebas.

Berdasarkan hasil riset Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia (PPMI) 2013-2016 tercatat ada 5 kekerasan yang dilakukan oleh aparatur keamanan negara terhadap awak persma. Jurnalis media arus utama pun tak luput dari kekerasan aparat. Aliansi Jurnalis Independen (AJI) seperti yang dikemukakan Abdul Manan yang dikutip dari www.liputan6.com, sepanjang tahun 2017 terdapat 60 kasus kekerasan, tahun 2016 terdapat 81 kasus kekerasan, dan tahun 2015 terdapat 42 kasus. Aparat kepolisian menempati urutan kedua dalam daftar pelaku tindak kekerasan terhadap jurnalis. Dalam pasal 18 ayat 1 Undang-Undang No. 40 Tahun 1999 Tentang Pers juga mengatur bahwa upaya untuk menghalangi atau menghambat kerja-kerja jurnalistik dapat dikenai hukuman pidana paling lama 2 (dua) tahun atau denda paling banyak Rp. 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).

Berdasarkan kronologi dan argumen diatas, kami atas nama Solidaritas Pers Mahasiswa Se-Indonesia menyatakan sikap:

  1. Mengecam keras tindakan pemukulan terhadap jurnalis pers mahasiswa LPM Suaka UIN Sunan Gunung Djati Bandung dan masyarakat sipil yang dilakukan oleh aparat kepolisian.
  2. Menuntut Kepolisian Republik Indonesia untuk menghormati dan melindungi jurnalis yang tengah melakukan tugas jurnalistik sesuai dengan undang-undang yang berlaku.
  3. Menuntut Kepolisian Republik Indonesia untuk mengusut tuntas kasus kekerasan terhadap jurnalis LPM Suaka dan masyarakat sipil.
  4. Menuntut Kepolisian Republik Indonesia mengevaluasi kembali aturan dan penerapannya terkait perlindungan terhadap masyarakat sipil yang tengah melakukan aksi demi menyampaikan aspirasinya.

 

Kami yang menandatangani:

  1. Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia (PPMI) Nasional
  2. Forum Komunikasi Pers Mahasiswa Aceh (FKPMA)
  3. Aliansi Pers Mahasiswa Lampung (APML)
  4. Forum Komunikasi Pers Mahasiswa Sumatera Selatan (FKPMS)
  5. Asosiasi Pers Mahasiswa Sumatera Barat (ASPEM)
  6. Forum Komunikasi Pers Mahasiswa Bandung (FKPMB)
  7. Aliansi Pers Mahasiswa Politeknik Se-Indonesia (APMPI)
  8. Pers Mahasiswa Banten

 

Narahubung:           

Irwan Sakkir, Sekjendnas PPMI (0812 4877 1779)

Erlangga Permana Supriyadi, Koordinator FKPMB (0813 1242 7412)

Irwansyah, Koordinator FKPMA (0822 7642 2339)

Wahyu Nurrohman, Koordinator APML (0856 5876 4951)

Nopri Ismi, Koordinator FKPMS (0812 7441 2182)

Axvel Gion Revo, Koordinator ASPEM (0823 8233 9269)

Riza Azmi Adilla, Koordinator APMPI (0822 8287 6770)

Romako, Pemimpin Umum LPM Hujan Crew Banten (0838 1231 1525)