Kategori
Diskusi

Demokratisasi Kampus

Peran birokrasi kampus menentukan demokratis tidaknya tatanan keorganisasian di tataran mahasiswa dalam perguruan tinggi. Segala bentuk politik seyogyanya dikesampingkan agar tidak terjadi polemik. Jika tidak, benih-benih jiwa demokratis yang diharapkan lahir dari perguruan tinggi hanya menjadi isapan jempol. Lihatlah beberapa kejadian belakangan ini yang menimpa beberapa organisasi kemahasiswaan di beberapa perguruan tinggi. Kejadian ini, tentunya, menunjukkan bahwa hubungan antara mahasiswa yang berhimpun dalam sebuah organisasi kemahasiswaan dengan birokrasi kampus tidak “sehat”.

Saya mengelompokkan hubungan ini dalam dua bentuk permasalahan – yang boleh dibilang menciderai demokrasi di perguruan tinggi, yakni 1) pembatasan berekspresi, dan 2) pembatasan mimbar akademik. Pembatasan berekspresi dapat kita lihat pada kasus yang menimpa Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Lentera di Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW) Salatiga, LPM Aksara di Fakultas Ilmu Keislaman Universitas Trunojoyo Madura, dan Unit Kegiatan Pers Kampus Mahasiswa (UKPKM) Media Universitas Mataram. Sementara permasalahan pembatasan mimbar akademik dapat kita lihat pada kasus pelarangan nonton bareng dan diskusi film – Senyap, Samin versus Semen, Alkinemokiye, dsb – di beberapa perguruan tinggi, seperti di Universitas Sanata Dharma Yogyakarta, Universitas Airlangga, dan Universitas Brawijaya.

Terakhir yang belakangan ini masih membekas di benak kita, yakni pembubaran paksa oleh pihak kampus terhadap acara diskusi “Ngobrol Pintar (Ngopi)” dengan pembahasan fenomena Lesbian, Gay, Biseksual, Transgender (LGBT) yang diselenggarakan oleh LPM Gema Keadilan Fakultas Hukum Universitas Diponegoro.

Sikap profesionalitas

Kita perlu membangun sikap profesionalitas dalam menyikapi polemik yang terjadi antar mahasiswa atau organisasi kemahasiswaan dengan birokrasi kampus. Begitu pula ketika menyikapi polemik yang menimpa LPM, tanpa melihat siapa lawan atau kawan. Jika tidak, ya, kita akan terperangkap dalam kungkungan dilematis sesaat. Misalnya, kita berinisiatif membela LPM Lentera, dan menyayangkan pemberedelan majalah LPM tersebut (yakni Lentera) dengan dalih kebebasan berpendapat, kemudian mempertanyakan kualitas majalah tersebut. Dilematis sekali ketika kita menyayangkan pemberedelan majalah tersebut sembari mengatakan bahwa pemberedelan merupakan terobosan paling efektif untuk membuat informasi semakin tersebar. Sampai di sini kita terkesan turut membenarkan sikap pihak kampus.

Bukankah pemberedelan suatu perbuatan yang patut “dikutuk”? Dan, bagaimana sikap kita ketika konteksnya seperti yang dialami oleh UKPKM Media Universitas Mataram? Apakah kita akan bersikap sama dengan kasus yang menimpa LPM Lentera UKSW Salatiga? Tanpa melihat UKPKM Media sebagai kawan pun kita mengutuk prilaku intimidasi yang dilakukan oleh pihak kampus. Dalam kasus ini, pelaku dan korban sudah jelas; yang dikebiri pun sudah jelas, yakni kebebasan berekspresi, mimbar akademik, dan otonomi keilmuan. Di sinilah dan saatnya mempertegas keprofesionalan kita sebagai awak pers kampus dalam menyikapi sengketa pers kampus.

Begitu pula ketika menyikapi kasus pelarangan nonton bareng dan diskusi film. Sebagai rakyat jelata di dunia kampus, kita pun mengutuk prilaku pihak kampus yang sok otoriter, meskipun mereka beralasan bahwa pelarangan tersebut merupakan hak otonomi kampus.

Catatan: Otonomi kampus; sebuah alasan yang “menyesatkan”. Mengapa tidak “menyesatkan”, lha wong otonomi perguruan tinggi saja masih dipersoalkan. Ada kesalahan persepsi di kalangan masyarakat dan pimpinan perguruan tinggi. Misalnya terkait otonomi non-akademik seperti dana pendidikan. Masyarakat mengira implementasi otonomi perguruan tinggi mengakibatkan semakin besarnya dana pendidikan yang ditanggung mahasiswa. Adapun beberapa pimpinan perguruan tinggi menganggap otonomi perguruan tinggi sebagai kesempatan menutupi kebutuhan dana peningkatan mutu dengan menggalang dana dari mahasiswa (baca juga: Banyak Masalah Pelaksanaan Otonomi Pendidikan Dikaji Ulang). Itu masih menyangkut otonomi non-akademik, belum lagi menyangkut soal otonomi khusus di bidang akademik.

Terakhir, kasus berupa pembubaran paksa oleh pihak kampus terhadap acara diskusi “Ngobrol Pintar (Ngopi)” dengan pembahasan fenomena LGBT yang diselenggarakan oleh LPM Gema Keadilan Fakultas Hukum Universitas Diponegoro. Saya kira, kampus Universitas Diponegoro perlu “berkaca” kepada kampus Universitas Islam Negeri (UIN) Walisongo Semarang. Pihak kampus tersebut tidak menarik Jurnal Justicia yang diterbitkan oleh LPM Justicia Fakultas Syariah UIN Walisongo Semarang, yang di dalamnya juga membahas seputar tema yang sama dengan tema diskusi LPM Gema Keadilan. Justru terbitan jurnal tersebut mendapat sorotan dari media Islam macam Arrahmah.com.

Demikian setidaknya contoh kasus yang dapat saya paparkan. Selebihnya masih banyak kasus pembatasan berekspresi, mimbar akademik dan otonomi keilmuan yang terjadi di perguturuan tinggi di Indonesia, hanya saja belum naik ke permukaan.

Mempertegas tugas rektor

Dengan terjadinya polemik tersebut, di sini perlu dipertegas kembali tugas pimpinan kampus/rektor beserta jajaran birokrasi kampus. Apakah memang tugas mereka mengatur ruang gerak para mahasiswanya? Terkhusus pimpinan kampus/rektor, apakah memiliki hak otoritas membekukan organisasi-organisasi kemahasiswaan, termasuk memberedel produk LPM, yang tak lagi sejalan dengan “hawa nafsu”-nya atau dianggap membahayakan?

Saya pikir tidaklah demikian, meski kampus diibaratkan dengan pemerintahan. Tugas pimpinan kampus/rektor beserta jajaran birokrasi kampus, tak lain, melindungi kebebasan berekspresi, mimbar akademik, dan otonomi keilmuan. Di samping itu berkewajiban memberikan kebebasan dan melindungi mahasiswa dalam melakukan kajian akademis tanpa ada tudingan cara melakukan kajian akademis, nantinya, salah prosedural. Karena sejatinya, mahasiswa dituntut berpikir radikal dan berkarya.

Sebenarnya, ada tugas pimpinan kampus/rektor beserta jajaran birokrasi kampus yang lebih utama ketimbang ikut cawe-cawe urusan mahasiswa. Yaitu, memusatkan perhatian pada usaha mengembangkan perguruan tinggi yang dipimpinnya menjadi pusat pendidikan keilmuan par excellence demi kemajuan ilmu pengetahuan yang sesuai dengan kemajuan peradaban human dan perkembangan spirit ilmiah. Hal ini sebagaimana disampaikan oleh Daoed Joesoef dalam tulisannya: Misi Perguruan Tinggi Kita (Kompas, 18 Februari 2014). Alumnus Universitas Pluridisciplinaires Pantheon-Sorbonne ini tampak pesimis dengan perguruan tinggi kita. Menurutnya, pelaksanaan misi perguruan tinggi kita masih jauh panggang dari api. Hal ini terjadi karena para sivitas akademika mengabaikan begitu saja natur dari ilmu pengetahuan. Di sinilah perlu kiranya pimpinan kampus/rektor berserta jajarannya lebih mengedepankan peningkatan mutu-kualitas sivitas akademika ketimbang mencampuri proses belajar para mahasiswanya.

Kampus-kampus yang mengekang kebebasan berekspresi, mimbar akademik, dan otonomi keilmuan mahasiswa, sama halnya memberangus komunitas ilmiah yang telah dibangun oleh mahasiswa itu sendiri. []

Kategori
Siaran Pers

Peduli dan Tolak Kriminalisasi Pers Mahasiswa

Penggembosan terhadap kebebasan berekspresi dan berpendapat masih saja mencuat dalam dinamika berbangsa dan bernegara. Sebagai Negara yang menjunjung tinggi prinsip demokrasi dan nilai-nilai HAM, fenomena sumbat-menyumbat kebebasan berekspresi dan berpendapat terhadap warga Negara menjadi ironi tersendiri. Pembredelan dan pemutihan media mahasiswa baru-baru ini yang terjadi di beberapa daerah di Indonesia, seperti Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Lentera di Universitas Kristen Satya Wacana di Salatiga, LPM Aksara di Fakultas Ilmu Keislaman Universitas Trunojoyo di Madura, serta LPM UKPKM Universitas Mataram merupakan tindakan yang jauh dari pijakan HAM.

Tidak berlebihan jika pembredelan dan pembekuan LPM cenderung merupakan bentuk Kriminalisasi terhadap Pers Mahasiswa. Istilah kriminalisasi memang cenderung terhadap hal-hal yang bersifat yuridis, yakni peenggunaan kewenangan penegakan hukum dengan itikad buruk. Namun kriminalisasi disini bisa dilekatkan pada bentuk pemanfaatan wewenang oleh birokrasi kampus dalam mengeluarkan regulasi secara sepihak (aturan kampus) yang menjurus pada pemutihan lembaga kemahasiswaan (LPM) dan sampai pada tataran intervensi terhadap ranah keredaksian yang berujung pembredelan.

LPM Lentera UKSW Salatiga sendiri dibredel pada tanggal 16 Oktober kemarin dengan alasan pemberitaannya yang resisten terkait seputar dinamika pelanggaran 1965-1966 dengan tema :”Salatiga Kota Merah”. Bahkan pembredelan majalah Lentera bukan hanya dilakukan oleh pihak Dekan Fiskom UKSW, melainkan turut andil juga pihak Polres Kota Salatiga yang melakukan upaya pemanggilan tidak melalui prosedur yang ada. Ancaman Pemberedelan pun dialami oleh LPM Aksara yang beralasan karena tidak menjaga nama baik Fakultas Ilmu keislaman (FIK) Universitas Trunojoyo. Pemberitaan mengenai FIK yang dilakukan oleh LPM Aksara diasumsikan sebagai bentuk penyebaran aib FIK. Pada tanggal 30 September, intervensi kelembagaan dimasifkan terus oleh pihak DPM FIK terhadap LPM Aksara. Nasib tidak beruntung pula terjadi di LPM UKPKM di Mataram. Pembekuan lembaga ironisnya langsung didalangi oleh pihak rektorat dengan alasan pemberitaan LPM UKPKM yang tidak sesuai dengan visi kampus Unram

Selain itu, pembekuan LPM pun terjadi di Makassar yang sampai saat ini masih ibarat benang kusut. LPM Watak STIEM Bongaya yang dibekukan sejak tahun 2007 karena dianggap terlalu kritis, LPM Metanoiac PNUP yang dibredel sekaligus dibekukan pada tahun 2011 yang pada ssaat itu memberitakan mengenai kasus korupsi di Rektoratnya, serta LPM Estetika fakultas Bahasa dan Sastra UNM yang dibekukan sejak tahun 2012 oleh pihak fakultas.

Fenomena-fenomena miris ini merupakan satu bentuk kemunduran demokrasi. Dalam sistem demokratis, pers diberedel atau dibekukan itu tidak lazim. Praktik itu hanya ada dalam sistem otoritarianistik. Kebebasan dan keterbukaan informasi merupakan anak kandung dari reformasi yang harus terus diupayakan. Kebebasan pers mahasiswa sebagai bentuk upaya dalam mewujudkan cita-cita demokrasi, yakni pendistribusian informasi kepada publik diakomodir dalam Instrumen HAM, seperti Pasal 19 DUHAM, Konvensi hak Sipil Politik, serta UU No 39/1999 tentang HAM. Pembredelan dan pembekukan LPM juga sangat jauh dari spirit Konstitusi kita sebagai hukum tertinggi di Republik ini sebagaimana pada pasal 28 E ayat (3) yang mengatur tentang hak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat.

Maka dari itu, kami dari Lembaga Pers Mahasiswa Se-Makassar yang bernaung dalam Perhimpunan Pers mahasiswa Indonesia DK Makassar menyatakan:

  1. Lawan Setiap Tindakan Pembredelan Pers Mahasiswa
  2. Jamin Kebebasan Pers Mahasiswa
  3. Tolak Intervensi Kampus Terhadap Lembaga Pers Mahasiswa

 

Makassar, 13 November 2015

Narahubung:

Irwan Sakkir, Sekjend PPMI DK Makassar +62 852-5576-9004

Abdus Somad, Sekjend PPMI Nasional, +62 812-2654-5705

Kategori
Diskusi

Pembungkaman Pers Mahasiswa Jilid 2

Dalam kurun satu bulan, tepatnya bulan Oktober 2015 terdapat tiga Pers Mahasiswa (Persma) yang mengalami pembungkaman, itu saja yang terdeteksi. Akankah besok, lusa, bulan depan, giliran anda yang akan di bungkam? Mendapatkan ancaman pembekuan lembaga, anggaran, pelecehan, hingga penarikan penerbitan­-yang susah payah menuangkan ide, aspirasi dalam tulisan, ditarik begitu saja.

Tepatnya 2 Oktober 2015, persma Aksara mendapat ancaman pembubaran oleh Dewan Perwakilan Mahasiswa (DPM), Aksara dituntut agar tidak memberitakan keburukan Fakultas Ilmu Keagamaan (FIK) Universitas Trunojoyo Madura. Kasus Aksara belum usai, entah bagaimana yang terjadi selanjutnya, kasus penarikan Majalah Lentera Persma Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW) muncul pada tanggal 16 Oktober 2015. Membedah peristiwa berdarah 1965, majalah Lentera ditarik oleh birokrasi kampus hingga awak medianya diintrograsi oleh polisi tanpa adanya surat pemanggilan.

Belum sampai puncak bagaimana kelanjutan Lentera dan awak medianya pada kasus penarikan majalah, Kamis 29 Oktober 2015, sekretariat persma Media Universitas Mataram (UNRAM) disweeping oleh Wakil Rektor III, Kabag Kemahasiswaan, dan beberapa staf. Kabag kemahasiswaan UNRAM meminta pengurus UKPKM Media angkat kaki dari sekret, dan diberi waktu hingga 1 Nopember 2015 agar barang-barangnya diangkut. Jika tidak angkat kaki, Musanif yang mewakili birokrat kampus menyatakan, pihak rektorat akan mengutus satpam UNRAM untuk membereskan sekret Media.

Pada awalnya, 1 Oktober 2015, Pimpinan Umum UKPKM Media UNRAM Sulton Anwar dipanggil pihak birokrat untuk menemui Wakil Rektor III. Dalam pertemuan itu, WR III mengkritisi konten pemberitaan Media, bahwa persma ini tidak satu visi dengan UNRAM, dan beberapa awak persma Media ikut menjadi orator di setiap aksi massa. Atas dasar itu, persma Media diberikan dua pilihan, pertama, Media menandatangani surat berisi kesanggupan Media tidak boleh memberitakan hal-hal negatif terkait masalah kampus dan fokus untuk memberitakan kegiatan-kegiatan ataupun prestasi yang diraih UNRAM, baik prestasi mahasiswa maupun dosen. Kedua, jika Media tidak bersedia menandatangani surat pernyataan tersebut, kepengurusan Media akan dialihkan pada mahasiswa jurusan Hubungan Internasional (HI).

Bulan Oktober layaknya bulan perayaan pembungkaman persma. Satu kasus belum usai, kasus lain muncul, begitu seterusnya. Adanya pembungkaman persma, melalui jalur apapun, menunjukkan bahwa gerakan pers mahasiswa dalam mengawal demokrasi, memantau penguasa (pekerja untuk rakyat) dan budaya literasi masih tetap konsisten sampai  ini dengan berbagai dinamikanya. Oktober 2015 menjadi saksi atas pembungkaman persma jilid 2, setelah sekian lama pers mahasiswa dibungkam berkali-kali pada zaman orde baru.

Kisah Aksara, Lentera kemudian Media bukan kali pertama pembungkaman terhadap persma setelah kran demokrasi terbuka lebar. Persma Ideas Jember, Ekspresi, dan banyak persma lainnya yang mengalami peristiwa sama, sama-sama dibungkam oleh birokrat kampus gara-gara pemberitaan. Hampir tiap persma mengalami gejolak yang sama, intervensi agar tidak memberitakan keburukan-keburukan birokrasi. Ada apa sebenarnya dibalik birokrat kampus yang anti kritik?

Motif Pembungkaman Persma

Ada dua motif, kenapa pers mahasiswa dibungkam oleh birokrat kampus. Pertama, persma yang selalu mengawal birokrasi kampus kemudian memberitakan dan sebagai media penyadaran mahasiswa. Aktivitas perma ini dianggap membahayakan oleh birokrat kampus, karena aktivitas yang dilakukan adalah penggalian data, investigasi atas kinerja birokrasi kampus, kemudian diberitakan dan diketahui oleh banyak publik.

Persma begitu mudah dibungkam karena tidak mempunyai badan hukum yang jelas artinya tidak terlindungi oleh Undang-Undang Pers. Dan persma di bawah payung hukum kampus, sehingga dengan mudah dibungkam. Bahwa jurnalis tidak bekerja pada pemilik modal atau penguasa barangkali masih tetap menjadi pedoman aktivis persma, sehingga sampai detik ini pers mahasiswa tetap kritis terhadap kebijakan dan sering dibungkam hingga diberedel.

Kedua, motif karena persma mengawal isu sensitif yang selama ini di endapkan agar tidak diketahui oleh publik. Beberapa kali persma mengadakan kegiatan penerbitan ataupun diskusi tentang isu 1965, selalu dicekal oleh birokrat, karena desakan dari berbagai kalangan agar aktivitas yang diadakan dihentikan. Untuk menjaga ketenangan publik (katanya), kampus membekukan aktivitas persma.

Tanggal 2 Oktober 2015 persma Aksara, tanggal 16 Oktober 2015 Lentera, kemudian 29 Media. Akankah, besok persma Anda yang dibekukan, dan akan mencatat sejarah pembungkaman pers mahasiswa jilid 3? Jika Anda satu misi, sama-sama mengawal demokrasi kampus, kebebasan pers mahasiswa, apa yang Anda lakukan? #MariNgopi

Kategori
Berita

Akses Majalah Lentera Edisi “Salatiga Kota Merah” Versi Digital

Redaksi Majalah Lentera meminta dukungan kepada pegiat pers mahasiswa di Indonesia untuk mendistribusikan Majalah Lentera edisi “Salatiga Kota Merah” dalam bentuk digital. Kebijakan itu diambil redaksi Majalah Lentera setelah perampasan Majalah Lentera yang dilakukan Dekan Fiskom Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW) Salatiga, Polres Salatiga, serta Muspika Salatiga.

Silahkan mengunduh edisi digital Majalah Lentera dan menyebarluaskannya, untuk melawan segala bentuk pemberedelan media dan memperjuangkan kebebasan pers.

 

Unduh di Sini dan Sebarkan!

Lentera-3 SaveLentera-Square-2

Kategori
Diskusi

Tingkah Dewan Perwakilan Mahasiwa dan Minimnya Pemahaman Jurnalisme

Sekelompok mahasiswa minta redaksi Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Aksara tak bikin berita buruk soal kampus Universitas Trunojoyo Madura, terutama Fakultas Ilmu Keislaman. Mereka tergabung dalam wadah bernama Dewan Perwakilan Mahasiswa (DPM). Sekilas, namanya mirip dengan lembaga legislatif di Indonesia. Tugasnya pun tak jauh beda, membuat undang-undang.

Tak cukup dengan meminta LPM Aksara agar tak menyiarkan berita berita buruk, yang memicu stigma negatif pada kampus mereka. Mereka khawatir jika nama kampus mereka tercemar. Apalagi hanya karena hal sepele, seperti pemberitaan dan opini yang muncul di media LPM Aksara.

Lebih gila lagi, DPM minta LPM Aksara membuat kode etik jurnalistik, sesuai dengan nilai dan etika yang berlaku di kampus mereka. Jurnalisme yang menutup aib kelompok tertentu, jurnalisme yang berpihak pada kekuasaan.

Saya curiga jika organisasi mahasiswa sekelas DPM tak paham betul esensi jurnalisme dan perjalanan panjang yang melahirkannya. Sehingga mereka dengan enteng, melempar tuntutan itu pada pimpinan kampus agar LPM Aksara segera dibredel. Jika permintaan itu tak dikabulkan dekan FIK, ketua DPM mengancam akan mengundurkan dirinya dari jabatannya.

Dalam buku Sembilan Elemen Jurnalisme, Bill Kovach dan Tom Rosenstiel menulis paparan gamblang soal esensi jurnalisme. Salah satu elemennya mempertanyakan pada siapa loyalitas jurnalis diberikan.

Loyalitas utama, oleh Kovach dan Resenstiel, ditempatkan pada urutan ketiga. Setelah dua elemen vital, yaitu pencarian kebenaran dan disiplin verifikasi.

Secara sederhana, loyalitas bisa dilihat dari bagaimana cara sebuah media menyediakan informasi kepada publik. Isu apa yang disajikan pada publik, dan bagaimana cara media itu mengemasnya. Misalnya rivalitas dua stasiun televisi swasta di Indonesia, TV One dan Metro TV, yang selama ini sarat akan unsur politik kepemilikan modal. Kedua media ini tentu menyiarkan kebenaran dalam versinya masing-masing, serta atas nilai dan ideologi yang diusung oleh masing-masing pemilik modalnya.

Apakah pers mahasiswa mau disamakan dengan TV One atau Metro TV? Sehingga harus ada organisasi mahasiswa yang merengek minta pimpinan kampus mereka agar membredel media terbitan LPM Aksara, dengan dalih mencemarkan nama baik kampus.

Saya kira tidak, karena pers mahasiswa tak punya kaitan dengan pemilik modal. Sebab dalam kode etik Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia (PPMI) pun menyebutkan bahwa pers mahasiswa harus menjunjung tinggi independensi. Tak hanya PPMI, Aliansi Jurnalis Independen pun menolak segala bentuk campur tangan pihak di luar redaksi yang menghambat kebebasan pers dan independensi pemberitaan.

Hal semacam inilah yang perlu dijadikan bahan kajian oleh mahasiswa, terutama mereka yang terlibat dalam organisasi mahasiswa berembel-embel dewan perwakilan. Mereka perlu memikirkan lagi sejauh mana LPM Aksara tak boleh memberitakan keburukan kampus. Sehingga LPM Aksara dipaksa menjadi satu media yang tak punya independensi, lalu menjadi boneka bagi kekuasaan yang ada.

Mereka perlu tahu bahwa kerja-kerja jurnalisme tak semudah beretorika laiknya anggota dewan atau simpatisan partai. Di dalamnya, ada pencarian kebenaran, fakta yang digali lewat reportase dan wawancara. Ada banyak sumber dan narasumber yang perlu didatangi, ditemui, serta diminta keterangan. Tak cukup itu saja, jurnalisme mengharuskan seorang jurnalis untuk disiplin dalam memvalidasi dan verifikasi sumber yang telah ia dapat.

Tak cukup itu saja, DPM juga nampaknya perlu belajar mengenai hak jawab, hak koreksi yang mereka bisa lakukan. Jika memang ada pemberitaan LPM Aksara yang tak sesuai dengan kode etik dan undang-undang pers yang ada. Bukan buru-buru merengek dan melapor ke dekan, apalagi mengadukan dengan dasar undang-undang pencemaran nama baik.[]