Kategori
Agenda

Journalist Days 2016

Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia dan Badan Otonom Economica
dengan bangga mempersembahkan:

Journalist Days 2016
“Menyingkap Tabir di Balik Layar Industri Media”

Senin, 25 April 2016
Training
Penulisan:
– Hasyim Widhiarto – Jurnalis the Jakarta Post
– Isjet – Editor Kompasiana
News Anchor:
– Angie Ang – News Anchor NET

Selasa, 26 April 2016
Media Visit
Metro TV dan Media Indonesia

Kamis, 28 April 2016
Seminar Nasional
dengan pembicara:
– Enda Nasution (CEO Sebangsa)*
– Pepih Nugraha (Pendiri Kompasiana)
– Paulus Widiyanto (Mantan Anggota DPR)*
– Judhariksawan (Ketua KPI)
– Teguh Wicaksono (Partnership Manager Twitter), dll!

Harga tiket termasuk goodie bag + sertifikat + makan siang (1 paket McD):
Seminar Rp 35.000
Training (+ seminar) Rp 70.000
Media Visit (+seminar) Rp 85.000
Full Package (Training, Media Visit, Seminar) Rp 115.000
*harga training untuk satu pilihan training penulisan atau news anchor

Pesan tiket sekarang di:
Jd.economica.id (Pembelian Tiket)
Atau hubungi
Astri (0822 1373 3177)
Angi (0838 7120 8805)

Journalist Days

Kategori
Agenda

Intermediate Training LPM Al-Mizan STAIN Pekalongan

Tema : “Kawal Perubahan, Beritakan Kebenaran”
 
Materi:
1. “Karya Tulis Ilmiah” oleh : Muhandis Azzuhri (Dosen STAIN Pekalongan
2. “Indepth News” oleh : Agung Sedayu (Ketua Presedium FAA PPMI)
3. “Media Online” oleh : Rahmat Petuguran (Mudaindonesia.com
 
Pelaksanaan:
Hari/tanggal: Sabtu-Minggu, 16-17 April 2016
Waktu: 08.00 – Selesai
Tempat: Gedung MWC NU Wonopringgo, Kabupaten Pekalongan
Hubungi: Pipit : 085201206070 / Dewi : 0857743077196
Intermediate Training LPM Al-Mizan STAIN Pekalongan
Intermediate Training LPM Al-Mizan STAIN Pekalongan
 
Kategori
Diskusi

Perlukah Pers Mahasiswa Berharap Pada Dewan Pers?

“Karena melalui pers yang merdeka itu, setiap orang dapat menggunakan pers sebagai wadah untuk menyampaikan harapan-harapannya, keluhannya, protesnya, sehingga dapat diketahui oleh publik.”

Bagir Manan, Ketua Dewan Pers periode 2013-2016

Yosep Adi Prasetyo terpilih menjadi Ketua Dewan Pers Periode 2016-2019. Masyarakat, terutama jurnalis, berharap Dewan Pers terus menjaga ruang kemerdekaan pers di Indonesia. Harapan pada sosok yang akrab disapa Stanley ini tentu juga merupakan harapan aktivis pers mahasiswa.

Sekretaris Jenderal Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia (PPMI), Abdus Somad pun berharap lembaga pers mahasiswa di seluruh perguruan tinggi di Indonesia, ikut merasakan angin segar. Ia berharap, di tangan Ketua Dewan Pers yang baru tersebut Pers Mahasiswa mendapatkan perhatian, terutama saat ditekan oknum di luar redaksi.

Ada satu alasan kuat yang membuat Somad menaruh harapan itu di pundak Stanley. Yaitu, maraknya kasus yang menimpa Pers Mahasiswa, yang selama ini belum mendapatkan perhatian khusus dari Dewan Pers. Di samping itu, Somad menilai Dewan Pers belum mampu melakukan upaya kongkrit dalam menyelesaikan sengketa pers yang dihadapi Pers Mahasiswa.

Terhitung mulai tahun 2014 hingga 2015, PPMI Nasional mencatat tujuh kasus yang menimpa Pers Mahasiswa. Kasus tersebut berupa intimidasi, diskiriminasi, pelecehan, sensor, pelarangan diskusi film, sampai pada pembredelan majalah serta pembekuan pers mahasiswa secara kelembagaan.

Di titik ini, Somad nampaknya merasa bingung untuk menyelesaikan kasus-kasus tersebut. Satu-satunya alat penyelesaian sengketa pers, yakni Undang-Undang Pers nomor 40 tahun 1999, dinilai tak mengakui keberadaan Persma. Sehingga wajar jika Pers Mahasiswa digugat di wilayah pemberitaan, baik di internal kampus maupun di luar kampus, tidak bisa diselesaikan menggunakan perundangan tersebut.

Berangkat dari kegelisahan Somad—akankah Pers Mahasiswa dapat perhatian serius dari pimpinan baru Dewan Pers? Saya turut mengajukan sebuah pertanyaan serupa: Maukah Dewan Pers mencurahkan perhatiannya kepada Persma? Pertanyaan ini saya kira perlu, mengingat Pers Mahasiswa bukanlah jurnalis profesional yang berada dalam payung perusahaan, meski kerja jurnalistiknya pun sudah selayaknya jurnalis profesional.

Ada secercah kebahagian saat membaca tulisannya Somad yang mengutip hasil wawancara dengan Stanley. Setidaknya, saya membaca gelagat bahwa Dewan Pers akan memberikan perhatian kepada Pers Mahasiswa. Karena bagi Stanley, Pers Mahasiswa ikut merawat Indonesia. “Pers Mahasiswa sebetulnya punya sejarah panjang yang penting dalam menumbuhkan demokrasi di negeri ini,” kata Stanley.

Pernyataan Stanley itu tidak lantas membuat saya berhenti bertanya. Apa jaminannya agar saya merasa bahwa Dewan Pers benar-benar memberi perhatian kepada Pers Mahasiswa? Jika pada akhirnya berstatus sebagai bukan bagian dari pers, sehingga awak Pers Mahasiswa tak ada bedanya sebagai pelapor kejadian. Bukan sebagai jurnalis.

Saya berharap kedudukan Pers Mahasiswa dan jurnalis profesional di mata Stanley sama, sebagai elemen pers di Indonesia. Sangat diperlukan bentuk kongkrit perhatian Stanley selaku Ketua Dewan Pers yang baru kepada Persma. Sebagaimana marak terjadi, Pers Mahasiswa juga rawan mendapat perlakuan diskriminatif, baik oleh pimpinan kampus maupun pemerintahan.

Bentuk kriminalisasi yang saya khawatirkan terjadi, misalnya, Persma “meminta” dana penerbitan majalah atau kegiatan lainnya. Pihak penguasa kampus bisa saja menangguhkan permintaan itu. Misalnya dengan cara menggugat konten pemberitaan di media Pers Mahasiswa. Kemudian saat tahu konten pemberitaan Pers Mahasiswa dapat mengancam nama baik kampus, pimpinan kampus bisa saja mengkriminalisasi Pers Mahasiswa dengan tudingan pencemaran nama baik.

Sambil lalu menunggu kerja Dewan Pers, aktivis Pers Mahasiswa justru mencari bantuan ke lembaga lain. Misalnya selama ini yang turut andil menyelesaikan kasus-kasus yang menimpa Pers Mahasiswa bukan dari Dewan Pers, melainkan dari lembaga dan perkumpulan lain, seperti lembaga bantuan hukum, Aliansi Jurnalis Independen, Forum Alumni Pers Mahasiswa, dan jaringan sesama pers mahasiswa.

Kalaupun tetap berharap pada Dewan Pers, seharusnya ada nota kekesepakatan yang ditandatangani antara PPMI dan Dewan Pers. Dalam nota kesepakatan itu dicantumkan pula bentuk kongkrit perhatian Dewan Pers kepada Persma, seperti turut mengadvokasi atau memediasi kasus yang ditimpa Pers Mahasiswa, menjamin kebebasan pers bagi Pers Mahasiswa, dan sebagainya.

Semoga kita semakin giat merawat kebersamaan dan semangat  juang Pers Mahasiswa. Ingat, Pers Mahasiswa tetap ada karena berjejaring dan saling menguatkan.

Kategori
Diskusi

Polisi Harusnya Piknik ke Pulau Buru

Badrodin Haiti sepertinya harus mengajak anak buahnya berpiknik. Mengajak kawan-kawan polisi berpiknik adalah usulan baik daripada menyarankan mereka membaca Dalih Pembunuhan Massal karya John Roosa atau Diburu di Pulau Buru karya Hersri Setiawan.

Dengan berpiknik, pikiran menjadi ringan. Pikiran akan menjadi berat bila usai membaca buku sarat fakta sejarah. Apalagi fakta-fakta sejarah yang menyoal tragedi kemanusiaan, dijamin moral akan semakin terbebani. Mengingat beban moral pekerjaan kawan-kawan polisi begitu memberatkan, maka menyarankan berpiknik dirasa lebih mulia daripada membaca buku.

Dimohon agar Kapolri segera menginstruksikan anak buahnya berpiknik. Kalau perlu dibikinlah surat edaran kepada ormas-ormas fasis bahwa pihak kepolisian tidak akan melayani laporan dari ormas fasis apapun karena sedang ada agenda piknik akbar. Bila nanti ada acara-acara kebudayaan terancam digrebek ormas fasis, biarlah orang-orang waras pemberani yang akan menghadapinya.

Semoga setelah berpiknik ria, kawan-kawan polisi semakin cerdas dan bernyali menghadapi geng fasis!

Adalah kemuakan yang kian mengganjal perasaan orang-orang waras di negeri ini akibat terus dipaksa menyaksikan geng-geng fasis berulah dengan asyiknya. Kita semua dipaksa menjadi pelupa. Bila perlu sekalian buta, tuli, dan gagap bicara.

Sementara pemerintah terus berkhotbah supaya kita mampu bersaing menghadapi Pasar Bebas Asia Tenggara. Tak mau ketinggalan, aparat-aparatnya pun membual kemuliaan bela negara. Apa kita mau fokus menghadapi bangsa asing sebagai upaya bela negara sedangkan menghadapi kaum fasis lokal saja tidak becus?

Setelah sekian kali mengetahui kabar pelarangan dan pembubaran terhadap acara yang menghadirkan konten-konten wacana tragedi ’65, maka tidak terlalu mengejutkan ketika mengetahui kabar pemutaran film Pulau Buru Tanah Air Beta karya Rahung Nasution batal terlaksana di Goethe Institute, Jakarta. Polsek Menteng mengimbau agar acara tersebut segera dibatalkan lantaran akan ada aksi penentangan dari ormas fasis.  Kejadian sial pada Rabu, 16 Maret 2016 sore itu menandakan bahwa otoritas negeri ini lebih memilih melayani kepentingan ormas fasis daripada melindungi hak-hak asasi orang-orang waras yang peduli terhadap nasib sejarah bangsa dan keadilan kemanusiaan. Maka bangunkanlah pemerintah jika suatu hari nanti masih mengigau soal penegakan HAM bagi warga negaranya!

Beberapa pekan sebelumnya, panitia Belok Kiri.Fest tertimpa kesialan serupa. Sehari sebelum pembukaan acara, mereka mendapat gangguan izin agar tidak melangsungkan festival tersebut di Taman Ismail Marzuki (TIM). Pihak kepolisian berdalih bahwa acara tersebut belum memperoleh izin padahal panitia telah mengirimkan surat permohonan jauh-jauh hari. Usut punya usut, ternyata pihak kepolisian lebih menuruti kemauan pihak ormas fasis agar acara tersebut batal terlaksana. Setidaknya, ormas fasis sudah bisa menyeringai licik mengetahui bahwa pelaksanaan kegiatan tersebut mendapat sedikit kendala. Itulah kerjaan setan!

Hari ini, ormas fasis seakan menjadi warga negara istimewa. Aparat negara semacam polisi dengan gampangnya mengafirmasi kepentingan politik mereka. Disinyalir kepentingan elite penguasa antidemokrasi turut menunggangi setiap gerak langkah bajingan-bajingan fasis tukang gerebek itu. Tidak lain karena wacana pelurusan sejarah, pembongkaran tragedi, dan penegakan HAM sanggup menjungkalkan para elite antidemokrasi dari kursi kekuasaan. Konflik memang sengaja diciptakan antarsesama sipil. Ormas fasis diberdayakan sebagai pasukan tempur sedangkan aparat selalu siap sedia menjadi partner baginya.

Legitimasi penyerangan terhadap setiap agenda pewarasan sejarah ialah bahwa di balik agenda tersebut terselip paham yang diyakini bersifat merusak moral bangsa. Tentunya paham mana lagi kalau bukan komunisme. Barangsiapa mengundang publik untuk mengkaji ulang tragedi ’65 dan mempedulikan nasib korban-korban yang dicap komunis, maka tak segan-segan geng fasis mencap mereka yang waras sebagai antituhan. Antituhan berarti perbuatan tidak baik. Lalu mereka yang waras akan dicurigai membangkitkan lagi hantu komunisme di bumi pertiwi untuk membalas dendam; mencipta pertumpahan darah. Klaim semacam inilah yang menjadi provokasi andalan menebar kebencian kepada mereka yang dicap komunis atau kiri tanpa mau membaca literatur kekirian sekalipun.

Padahal jika kita memakai akal sehat dalam mengkaji tragedi ’65, konflik berdarah tersebut tercipta lantaran konstelasi politik sedang memanas. Banyak pihak terlibat di dalamnya selain beberapa tokoh PKI. Konflik internal di dalam tubuh TNI turut memantik gerakan penculikan jenderal-jenderal di Jakarta. Di saat posisi Soekarno makin terjepit, Soeharto mengomandoi rombongan militer versinya berusaha untuk merebut kursi kekuasaan dengan bermodal “supersemar”. Orde Lama dikebiri, lalu mulailah pembantaian kepada orang-orang yang dicap komunis.

Buku Dalih Pembunuhan Massal karya John Roosa bisa menjadi bacaan ideal untuk mengungkap asal mula tragedi ’65 dan pembantaian setelahnya, siapa saja pelakunya, siapa tokoh yang diuntungkan karena tragedi tersebut, pula bagaimana Soeharto membangun monumen-monumen yang menjustifikasi kebiadaban komunisme. Bahkan literatur Manifesto Komunis karya Marx dan Engels tidak sekalipun menyebutkan bahwa membunuh para jenderal sebagai metode revolusi.

Lantas logika setan macam apa yang menganggap bahwa komunis adalah penjahat, mengkaji wacana progresif kiri sebagai antituhan, dan mempedulikan korban-korban pelanggaran HAM dari tragedi ’65 sebagai komunis-komunis baru?

Entah membaca teori-teori politik Niccolo Machiavelli atau tidak, yang jelas klan-klan fasis yang membenalu di negara ini tengah mempraktikkan kekuasaan secara licik nan lihai. Politik wacana dipermainkan bahwa mereka akan melindungi segenap rakyat dari keberingasan hantu komunisme. Alat-alat kekuasaan macam aparat dan ormas fasis disiagakan sebagai dukun pengusir roh-roh jahat komunisme yang konon katanya akan bangkit bergentayangan.

Bila aparat negara dan ormas fasis begitu kompaknya menghalalkan represivitas, apa lebih baik kita mempercayakan penjaminan hukum atas HAM kepada polisi? Atau lebih baik kita beramai-ramai membuka sumbang dana masyarakat kepada Polri agar bisa membiayai kawan-kawan polisi berpiknik ke Pulau Buru? Usulan kedua jauh lebih mulia dan bisa diterima daripada menyumbang buku-buku sejarah dan literatur kekirian untuk dibaca kawan-kawan polisi.

Penegak Hukum Bukan Pembela Fasis

Kasus-kasus pencekalan yang telah disebutkan sebelumnya adalah bukti bahwa kepada siapa aparat penegak hukum kekinian berpihak. HAM yang menjadi tujuan kenapa hukum ditegakkan tidak lagi menjadi landasan moral untuk mengayomi. Moral hukum kekinian yang menjadi andalan penguasa ialah bagaimana mencap sekelompok warga negara sebagai orang-orang yang memiliki kesalahan fatal terhadap negara akibat aktivitas politik atau kebudayaannya di masa lalu. Ini diberlakukan kepada para mantan tapol Pulau Buru, aktivis Lekra, dan mereka yang dicap komunis. Penegakan HAM seakan tidak berlaku bagi mereka.

Selama kaum fasis bekas klan Orde Baru masih membenalu dalam kekuasaan negara, kemungkinan besar alat-alat penegak hukum sudah dimodifikasi sedemikian rupa agar tidak menjegal kangkangan kuasa mereka. Tidak cukup aparat, kalau bisa merekrut warga sipil untuk difasiskan ke dalam ormas maupun organisasi paramiliter. Memainkan konflik sipil versus sipil, lalu klan oligarki sibuk menghantam klan oligarki lainnya.

Lagi-lagi harus mengutip konsep kekuasaan N. Machiavelli. Analogikan saja ormas fasis tersebut sebagai “tentara bayaran” yang dimaksud dalam buku The Prince. Dikonsepkan bahwa penguasa semestinya lihai dalam mengelola pasukan. Tentara bayaran merupakan jenis pasukan yang sewaktu-waktu bisa digunakan penguasa. Pasukan bayaran memang tidak terlalu setia kepada negara, namun dengan bayaranlah mereka mau bermilitan ria menjadi tameng si penguasa. Kalau dalam buku tersebut, disebutkan bahwa tentara bayaran bisa digunakan dalam berperang untuk menghadapi negara musuh. Namun “musuh” si penguasa di negeri ini tidak harus didefinisikan sebagai orang dari negara lain. Warga domestik pun asal berpotensi menjungkalkan penguasa dari kursinya, bisa dijadikan musuh negara yang wajib diserang tentara bayaran (ormas fasis). Terlebih lagi, dalam catatannya, Machiavelli menyarankan agar bisa menguasai hukum suatu negara maka bikinlah sindikasi oligarki dalam penegakan hukum. Walau belum tentu aparat dan ormas fasis sempat membaca The Prince, tapi setidaknya mereka sudah lihai dalam praktiknya.

Dalam praktik penegakan hukum macam itu, jelas-jelas kepolisian mengkhianati marwah hukumnya sendiri. Dari sekian banyak pasal, bisa dikutip pasal 1 dan 13 No. 22/2012 Tentang Kepolisian bahwa tugas-tugas polisi ialah mengayomi, melindungi, dan menjaga keamanan masyarakat. Menuruti tuntutan pelarangan sebuah acara dari ormas fasis adalah tindakan yang tidak melindungi hak-hak berekspresi sekelompok masyarakat. Bahkan cenderung melestarikan ketidakamanan terhadap mereka yang bernegara secara waras. Dengan begitu, ormas fasis semakin percaya diri untuk mengancam siapapun yang mereka mau.

Bisa dinyatakan bahwa kepolisian mengafirmasi pembenaran kaum fasis di negeri ini. Siapapun yang membela korban pelanggaran HAM, menuntut hak atas hidup, atau meluruskan tragedi sejarah langsung kena cap kiri-komunis. Kemudian yang berlabel kiri atau komunis, halal hukumnya untuk diserang dan dicederai. Sungguh pengecapan yang keji supaya ormas fasis semakin jumawa akan pembenarannya dan klan oligarki bisa terus mengangkang. Kelakuan kepolisian yang terekspos dalam kasus-kasus pencekalan acara merupakan simbol bahwa penegak hukum hari ini begitu siap siaga membela kaum fasis nan oligarkis.

Segera Berpiknik!

Tampaknya cukup untuk membongkar kenapa yang fasis teristimewa haknya di negeri ini sekarang. Kembali lagi membahas usulan dasar dari propaganda ini bahwa kawan-kawan polisi seharusnya berpiknik: ke Pulau Buru!

Soekarno pernah bilang, “jangan sekali-kali meninggalkan sejarah”. Piknik ke Pulau Buru nantinya bisa jadi piknik ke laboratorium sejarah bagi kawan-kawan polisi. Kalau bingung mencari pemandu study tour,  kalian bisa mengajak Hersri Setiawan sekaligus Rahung Nasution yang lebih paham sejarah. Diburu di Pulau Buru dan Dalih Pembunuhan Massal bisa menjadi buku panduan study tour kawan-kawan polisi. (Oh ya maaf, berdasarkan saran di awal propaganda ini dituliskan bahwa kawan-kawan polisi tidak perlu membaca buku, nanti malah pikniknya jadi enggak asyik).

Hersri menceritakan dalam bukunya bahwa para tapol saat itu bekerja mati-matian membangun sawah dan ladang namun mereka tidak bisa menikmati hasil kerja kerasnya. Di bawah pengawasan ketat militer, mereka sehari-hari bertahan hanya dengan memakan singkong. Ada beberapa rekannya yang tewas akibat bunuh diri dan menderita penyakit. Memoar-memoar tertulisnya menjadi rekam sejarah yang bisa dipelajari generasi kekinian bahwa kejadian tidak manusiawi pernah menimpa segelintir anak bangsa ini. Bila kawan-kawan polisi ternyata memiliki hasrat kuat untuk membaca memoar-memoar tersebut, tak apalah membacanya sambil berpiknik tapi hati-hati lho nanti malah jadi pemikir tragedi.

Mampir juga ke Desa Savanajaya yang menjadi lumbung padi di sana. Itulah bukti nyata kerja keras para tapol yang dituduh komunis. Sungguh hasil kerja keras mereka begitu berguna bagi sesama manusia dibanding kerja ormas fasis yang sukanya mengumpat orang lain sebagai “komunis”.

Jangan lupa di sana bikin party di tepi pantai dengan menu singkong sebagai camilannya. Putarlah lagu-lagu karya Homicide sebagai pengiring pesta. Nyanyikan bersama-sama dengan kompak dan keras lantunan lirik lagu Puritan.

“Fasis yang baik adalah fasis yang mati…

Fasis yang baik adalah fasis yang mati…

Fasis yang baik adalah fasis yang mati…

Tunggu di ujung jalan yang sama saat kalian mengancam kami!”

Seusai berpiknik dan mulai paham sejarah, kembalilah bekerja mengabdi pada nurani!

Kategori
Diskusi

Menggairahkan Gairah Literasi Kita

Beberapa hari yang lalu, saya diminta Pak Sekjend (dan forum OPJ) untuk menjadi pemantik diskusi bertema ‘Gairah Literasi’. Sejenak berpikir, atas dasar apa mereka menunjuk saya sebagai pemantik? Terlebih, diharuskan membuat tulisan sebagai pengantar diskusi. Tapi biarlah, hitung-hitung mengasah keterampilan menulis juga menantang wawasan saya yang tak seberapa.

Di akhir sesi diskusi dua minggu lalu, Pak Sekjend sempat menyampaikan keprihatinannya terhadap budaya literasi di kalangan mahasiswa (wabilkhusus pers mahasiswa) yang kian luntur. Terlebih masyarakat umum, sirna, barangkali. Maka sesungguhnya, berawal dari sini saya mengumpulkan bahan untuk tulisan ini.

Bahan dari diskusi tersebut saya padukan dengan secuil materi dari diskusi Jum’at malam lalu (19 Fabruari 2016), yang diadakan kawan-kawan kiri di SK Cafe, UIN Sunan Kalijaga. Ikut mewarnai perdebatan sengit soal akar kekerasan perempuan, statement: teknologi menjadi biang keladi dari semua ini.  Penemuan teknologi mata bajak beribu-ribu tahun lalu, mengubah budaya hidup manusia. Cara hidup kolektif yang telah membudaya, perlahan luntur seiring kesadaran manusia akan kekuatan dirinya untuk mengolah lahan secara mandiri. Di satu sisi memang menjadi keuntungan besar bagi manusia. Tapi di balik keuntungan itu, sisi gelap kian menyelimuti: tercerai-berainya kehidupan komunal manusia.

Itu logika sederhana saya. Jika dikontekstualisasikan dengan masa kini, saya rasa ada benang merahnya. Kemajuan teknologi yang kian pesat, diimbangi dengan fasilitas gawai bisa diakses sebagian besar manusia (lebih-lebih mahasiswa) akan berdampak pada budaya masyarakat, termasuk budaya literasi.

Beberapa kali saya mengamati kebiasaan mayoritas mahasiswa (termasuk saya sendiri, barangkali). Hingga sampai kepada kesimpulan, bahwa mahasiswa gandrung dengan istilah up to date. Maka segala informasi yang ada, berusaha dilahap semuanya, tanpa ada upaya untuk menelanjangi atribut-atribut yang menghiasinya. Tanpa mencari inti dari permasalahan yang terselip dalam informasi tersebut. Juga tak mampu menyikapi sebuah permasalahan dengan lebih dulu melakukan kajian akademik, dibedah dengan berbagai perspektif.

Keadaan diperparah dengan semakin menjamurnya portal berita atau sebatas informasi online, yang disajikan serampangan. Judul-judul bombastis dimunculkan, untuk mendulang klik. Hal-hal semacam ini yang justru sangat diminati kalangan kita. Beberapa kali saya berbincang dengan kawan, ia lebih fasih bercerita soal life style. Giliran diajak mendiskusikan sebuah isu, mandek. Kalaupun tidak, dalam menyikapi sebuah isu, ia hanya memandang dari satu perspektif, umumnya perspektif agama.

Seolah sudah berkongsi, antara teknologi dan kebijakan kampus (dan dosen). Pemberlakuan jam malam yang kian mempersempit ruang diskusi. Dorongan untuk lulus cepat dari dosen-dosen. Tugas-tugas kuliah yang menumpuk. Seabrek ‘intimidasi’ ini yang membuat mental kalangan kita kian cengeng, terkecuali (sebagian kecil) yang kuat. Tak ada sempat mengabdikan diri untuk dirinya sendiri, terlebih rakyat. Sudah bercokol di batok kepala (sebagian) kalangan kita, angka, rupiah, ‘prestasi’. Forum diskusi sepi. Perpustakaan hanya ramai jika kalangan kita memiliki beban makalah dan skripsi. Selebihnya, lenggang. Hanya tatapan nyiyir yang mereka lemparkan kepada demonstran yang turun ke jalan, memperjuangkan hak-hak kalangan kita, juga rakyat.

Persma Bisa Menggelorakan Gairah Literasi

Pikiran sempit, keputusan yang terburu-buru, dan penghakiman kepada suatu kelompok, terjadi lantaran rendahnya budaya literasi di kalangan kita. Dalam sebuah website, dijelaskan bahwa budaya literasi dimaksudkan untuk melakukan kebiasaan berpikir, diikuti dengan proses membaca dan menulis yang berujung pada terciptanya sebuah karya. Tentu kita, kalangan mahasiswa, mafhum bahwa membaca bukan sebatas melahap teks-teks dalam buku. Diskusi dan analisis realitas sosial juga bagian dari proses membaca.

Sementara menulis merupakan proses lanjutan dari pembacaan yang panjang. Satu kesatuan tak terpisahkan, yang kemudian mampu melahirkan sebuah karya bergizi. Tak heran jika Pram menulis dalam Bumi Manusia-nya melalui tokoh Nyai Ontosoroh: Tahu kau mengapa aku sayang kau lebih dari siapapun? Karena kau menulis. Suaramu takkan padam ditelan angin, akan abadi, sampai jauh, jauh kemudian hari.

Pers mahasiswa tentu tak asing dengan aktivitas membaca dan menulis. Karena memang dua hal tersebut yang menjadi kekuatan persma. Juga sebagian lagi ikut berbaur dengan gerakan mahasiswa, juga masyarakat umum, berdemonstrasi menuntut keadilan pada penguasa.

Tapi apakah mungkin pena tajam ketika persediaan tintanya seret? Tentu sulit diterima logika (paling tidak logika saya) yang mengatakan mungkin. Maka, berawal dari sini, saya menyadari, media pers mahasiswa perlu berbenah diri. Kajian-kajian tentang wacana dan teks-teks, perlu digelorakan kembali. Sumber daya anggota perlu diberikan asupan bacaan yang bergizi.

Gairah literasi bisa digelorakan dengan terlebih dulu oleh insan pers mahasiswa. Karena, pers mahasiswa satu-satunya organisasi di kampus yang memiliki konsentrasi pada aktivitas jurnalistik. Sementara untuk menghasilkan produk jurnalistik berkualitas, diperlukan wacana kuat. Selain sebagai bekal ‘propaganda’ untuk membentuk (paling tidak) opini mahasiswa, juga menjadi benteng dari serangan intimidasi dari birokrat kampus maupun masa reaksioner yang menghalang-halangi agenda jurnalistik, maupun perjuangan sebagaimana yang dilakukan insan persma pada kasus-kasus anti-demokrasi.

Barangkali kita perlu menengok peran persma dalam mencipta sejarahnya sendiri. Menjelang kejatuhan Soeharto–tentu insan persma akrab dengan ‘fenomena’ ini- mahasiswa UI Depok membuat produk buletin Bergerak!. Bergerak! didirikan lantaran krisis ekonomi di Indonesia yang kian mencekik di era 1998, oleh aktivis pers mahasiswa pengelola Majalah Berita Mahasiswa Suara Mahasiswa UI.

Di saat pers umum tak berani bergaung lantang, Bergerak! dengan bernas menyajikan fakta di lapangan dalam perspektif mahasiswa. Bergerak! mampu menjadi corong gerakan mahasiswa –bukan satu kelompok gerakan saja. Ia menjalankan fungsinya sebagai kontrol sosial, mengawal reformasi. Ia juga cukup berhasil menjadi media alternatif. Runtuhnya rezim Soeharto, menjadi alamat matinya Bergerak!

Iseng-iseng saya coba melakukan analisis sederhana. Jika melihat kondisi pada waktu itu, gerakan-gerakan mahasiswa cukup kuat. Karena memiliki satu musuh bersama: Seoharto. Melihat realita semacam ini, aktivis persma Suara Mahasiswa merasa perlu membuat produk sebagai wadah dan media komunikasi antar gerakan mahasiswa. Maka dibentuklah Bergerak!, yang sempat terbit setiap hari kecuali hari Sabtu dan Minggu.

Dari segi basis wacana dan kajian gerakan mahasiswa, saya kira kuat sekali. Bergerak! hadir untuk menampung segala aspirasi kritis mahasiswa terkait represifitas rezim Orde Baru. Maka kemudian saya sampai pada kesimpulan (terinspirasi dari Pram): Orang boleh kritis setajam silet, tapi selama tidak menulis, ia akan tenggelam dalam sejarah dan masyarakat. Menulis adalah bekerja untuk perjuangan.
Gairah literasi yang menggelora, pada waktunya akan membentuk karakter media persma, baik media cetak, terlebih portal online. Semoga!

Bacaan:
Arismunandar, Satrio. 2005.  Bergerak!: Peran Pers Mahasiswa dalam Penumbangan Rezim Soeharto. Yogyakarta: Genta Press.

 

Kategori
Siaran Pers

Pers Mahasiswa Tuntut Menristekdikti Tindak Rektor Kekang Kebebasan Mahasiswa

Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia (PPMI) menuntut Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (Menristekdikti), Mohamad Nasir memberi sanksi tegas atas perlakuan rektor yang semena-mena membatasi aktivitas mahasiswa, baik melalui diskusi atau pengawalan isu tertentu. Sebab pembatasan hingga pada pelarangan kajian mahasiswa tentang isu-isu tertentu masih sering dialami mahasiswa.

Beberapa kali pers mahasiswa melakukan kajian tentang isu-isu sensitif seperti LGBT dan kasus sejarah 1965 selalu dibatasi oleh kampus. Misalnya pers mahasiswa Lentera Salatiga yang mengangkat seputar isu sejarah PKI 1965, hasil kajiannya diminta untuk ditarik dari jangkauan publik. “Lalu pers mahasiswa yang mendiskusikan tentang LGBT, diskusinya ditutup oleh kampus sebelum acara dimuai” jelas Somad, Sekretaris Jendral PPMI.
Somad menuturkan, kebebasan mahasiswa harusnya dilindungi oleh Negara, khususnya birokrat kampus. Kebebasan mahasiswa sudah diatur dalam Perundang-Undangan Perguruan Tinggi. Kebebasan mahasiswa, lanjut Somad diterangkan pada poin tentang prinsip penyelenggaraan pendidikan tinggi, bahwa perguruan tinggi diselenggarakan dengan prinsip pencarian kebenaran ilmiah oleh sivitas akademika, serta menjunjung tinggi demokratis dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia.
Mahasiswa, jelas Somad, bebas untuk mengkaji isu sesuatu yang berkembang guna mencari kebenaran keilmuan untuk menanggapi fenomena yang berkembang di masyarakat. “Birokrat kampus biasanya mematahkan gerakan mahasiswa saat kritis terhadap kebijakan kampus, selain mengawal isu yang sensitif. Beberapa kali pers mahasiswa kritis terhadap birokrasi kampus, namun mereka mendapatkan ancaman pembekuan dari birokrasi kampus,” tutur Somad. Somad merujuk pada kasus pers mahasiswa Media Universitas Mataram, yang dibekukan lembaganya pada bulan November 2015.

Kami menuntut tegas kepada para rektor perguruan tinggi di Indonesia yang melakukan tindakan otoriter dan membungkam gerakan mahasiswa. “Kebebasan akademik yang kebebasan mimbar akademik, dan otonomi keilmuan di perguruan tinggi harus dilindungi dan difasilitasi oleh pimpinan perguruan tinggi. Jika pimpinan perguruan tinggi melanggar kebebasan akademik mahasiswa, Menristek harus bertanggung jawab untuk menindaknya,” tandas somad.

Tuntutan ini disampaikan dalam acara Seminar Nasional bertajuk “Pembungkaman Gerakan Mahasiswa di Zaman Demokrasi” yang diadakan di Universitas Muhammdiyah Semarang, 30 Januari 2016.

Narahubung:
Sekjen Perhimpunan Pers Mahasiswa Indoneisa, Abdus Somad: 081226545705

Kategori
Siaran Pers

Dies Natalis ke-23, PPMI Ajak Pers Mahasiswa Soroti Ketidakadilan di Institusi Pendidikan

Agenda Dies Natalis Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia (PPMI) Nasional yang ke-23 dihelat di Semarang pada 29 Januari hingga 2 Februari 2016. Agenda ini jadi momentum untuk penguatan langkah pers mahasiswa kawal isu bersama terkait pendidikan tinggi.

Kegiatan ini dihelat dengan tujuan untuk memantapkan posisi pers mahasiswa dalam masalah Pendidikan Tinggi. Sekjen PPMI Nasional, Abdus Somad mengatakan bahwa hal ini sebagai upaya untuk merespon birokrasi kampus dan apratus negara yang sewenang-wenang memperlakukan insan pers mahasiswa. “Pers mahasiswa harus bisa melawan hegemoni ini. Lewat cara menulis dan memperjuangkan apa yang perlu diperjuangkan.”

“Harapan kami kita saling menguatkan antar aktivis pers mahasiwa. Karena satu pers mahasiswa diusik, maka seribu pers mahasiwa mengaung,” tambah Somad.

Selain itu menurut Somad, pers mahasiswa juga perlu memantapkan peran dan fungsi pers mahasiswa dalam melihat maraknya pembungkaman. Serta partisipasi publik dalam menggatasi pembungkaman persma. “Kekuatan ini sekaligus kami harap bisa jadi penyadaran pada publik,” kata Somad.

Mengusung tema ‘Pers Mahasiswa Bangkit dan Melawan Pembungkaman’, PPMI berharap bisa memupuk semangat insan pers mahasiswa dalam melawan kesewenang-wenangan. Terlebih maraknya pembredelan yang dialami oleh persma sendiri. “Semoga tak ada lagi pelarangan diskusi akademik/ilmiah dan kegiatan mahasiswa, di dalam lembaga yang semestinya menjunjung tinggi nilai demokrasi juga keilmuan yang ilmiah.”

Sementara itu, Dr. Djoko Setyo Hartono, MM, M.Kn., Wakil Rektor III Universitas Muhammadiyah Semarang mewakili Rektor Prof. Dr. Masrukhi, M.Pd. mengatakan bahwa langkah PPMI cukup sudah cukup bagus. “Kami berharap teman-teman semakin dewasa. Karena banyak insan pers mahasiswa yang sukses di berbagai bidang,” pesan Hartono saat memberi sambutan.

Hartono juga menambahkan bahwa dalam masa pembangunan ini, pers mahasiswa memiliki potensi dalam jangka panjang. “Indonesia butuh jurnalis yang kiritis mengawal pembangunan,” tegasnya.

Sebagai pembuka rangkaian acara ini, panitia mengundang Gubernur Jawa Tengah, H. Ganjar Pranowo SH MIP. Namun Ganjar menginstruksi Drs. Nurhadi Amiyanto, M.Ed., Kepala Dinas Pendidikan Provinsi Jawa Tengah untuk memberi sambutan dan membuka acara Dies Natalis PPMI ke-23.

Nurhadi terkesan dengan agenda Dies Natalis PPMI. Ia menyatakan saat ini banyak jurnalis yang tak memiliki wacana jurnalisme yang mumpuni. “Memang sekarang banyak orang pers yang tidak intelektual. Tapi saya harap lewat agenda PPMI semacam ini, mahasiswa bisa meningkatakan wacana dan kemampuannya di bidang jurnalistik,” jelasnya.

Penguatan Sumber Daya Manusia

Tema besar tersebut kemudian dikemas oleh panitia dalam beberapa kegiatan. Seperti seminar nasional yang bertajuk ‘Pembungkaman Gerakan Mahasiswa Di Zaman Demokrasi’. Tema ini dipilih karena memiliki makna dalam linggkup luas, tidak dalam sekelumit pers mahasiswa saja, namun juga seluruh mahasiswa berhak memiliki kebebasan dalam berekspresi. Seminar ini akan diisi oleh Suwarjono, Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia. Dr. Muhhdi, SH., M.Hum, Rektor Universitas PGRI Semarang. Serta Abdus Somad, Sekjend PPMI Nasional.

Selain melalui seminar, peenguatan juga diupayakan pelatihan jurnalistik. Senjata utama pers mahasiswa dalam melawan ketimpangan. Pelatihan jurnalistik ini dibagi menjadi tiga kelas. Yakni kelas pelatihan media yang diisi Fahri Salam, editor Pindai Media. Kemudian kelas advokasi yang akan diisi oleh Zainal Arifin dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Semarang. Serta pelatihan perusahaan yang diisi olehh Hasan Aoni, alumi PPMI.

Ada juga persma fest, ajang perlombaan produk pers mahasiswa. Kegiatan ini sebagai bentuk apresiasi dan upaya memupuk semangat terhadap persma dalam melawan ketidakadilan dan segala bentuk kesewenang-wenangan melalui karya jurnalistiknya. Seperti buletin, fotografi, juga esai.

Dengan keseluruhan rangkaian acara ini, persma mengukuhkan diri untuk berada pada posisi terdepan melawan pembugkaman juga pengebirian kebebasan mimbar akademik. Sebagai bentuk bakti kepada publik, juga kepada Pendidikan Tinggi yang ideal.[]

 

Narahubung:

Sekjen PPMI Nasional, Abdus Somad (089 631 532717)

Ketua Pelaksana Dies Natalis PPMI ke-23, Riswanto (081375722910)

Kategori
Diskusi

Media Online Pers Mahasiswa Harus Punya Karakter

“Kemajuan Teknologi didasarkan bagaimana membuat cocok sehingga anda tidak benar-benar menyadari, hingga menjadi bagian keseharian dalam hidup” Bill Gates

Kemajuan teknologi membuat masyarakat mengubah cara untuk mendapat informasi. Sebelum masuk era digital masyarakat disajikan dengan media- media konvesional, radio, dan televisi. Namun kini dengan adanya teknologi yang kian berkembang, terlebih dengan diciptakannya Smartphone ( Ponsel Pintar), masyarakat dapat dengan mudah mengakses informasi dengan cepat.

Perubahan juga berdampak pada penerapan media saat ini, media mulai melakukan reformasi besar- besaran. Hampir seluruh media cetak bergeser menggunakan media online. Ini dikarenakan media online dapat menjanjikan dan menghasilkan keuntungan yang lebih besar. Luwi Ishwara adalah satu wartawan senior Kompas dalam bukunya “Jurnalisme Dasar” menceritakan kondisi media di Amerika Serikat yang berubah dengan cepat. Ia menjelaskan masyarakat Amerika kini sudah banyak mengakses berita melalui layanan internet, hal tersebut karena media online lebih nyaman dan mudah dalam mendapatkan informasi. Dengan memasukkan keyword di mesin pencari Google, apa yang kita tulis akan dengan mudah bisa dinikmati.

Perkembangan media online yang cepat ternyata mengalihkan sebagian besar orientasi media. Sehingga kita sulit untuk melihat fakta dalam perspektif yang sebenarnya. Jakob Oetama mengungkapkan jika masyarakat digital itu tidak peduli dengan masa kini, akan tetapi mereka ingin tahu masa yang akan datang. Jadilah media sebagai sebuah usaha untuk menentukan arah dan tujuan hidup masyarakat.

Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJJI) mencatat jika pengguna internet di Indonesia sekitar 65 juta naik sebanyak 2700 persen. Peningkatan yang cukup pesat bagi sebuah negara yang memiliki kepulauan dan jumlah penduduk yang besar. Sementara survei di tahun 2014 menunjukkan penetrasi pengguna internet di Indonesia adalah 34.9%.

Menurut lembaga riset pasar e-Marketer,  populasi netter Tanah Air mencapai 83,7 juta orang pada 2014. Pada 2017, eMarketer memperkirakan netter Indonesia bakal mencapai 112 juta orang, mengalahkan Jepang di peringkat ke-5 yang pertumbuhan jumlah pengguna internetnya lebih lamban.

Namun dari keberadaan media online, ternyata ada banyak permasalahan muncul dalam perkembangan arus informasi kini. Media online dapat menjerumuskan kita ke arah yang tidak kita inginkan. Masalah- masalah yang muncul seperti berita yang disampaikan tidak utuh hanya menggambarkan permukaanya saja, liputan tidak mendalam, analisis isu yang tidak matang, lebih mengutamakan rating, berlomba- lomba menjadi yang tercepat dan terupdate, miskin verifikasi sampai pada persoalan kode etik yang kian ditundukan.

Salah satu penyebab terjadinya hal tersebut ialah karena pengusaha media cendrung mengutamakan media sebagai lahan ekonomi basah. Sehingga jurnalis dan semua yang ada dalam komponen media dituntut untuk mendapatkan pasar yang tinggi. Alhasil media memposisikan masyarakat sebagai konsumen. Bahkan kini perusahaan media sampai membuat pembangkit sistem pemberitaan yang semakin cangkih dengan menggunakan mesin teknologi. Lagi- lagi itu semua itu karena kebutuhan penguasa yang haus akan kekuasaan

Herman dan Chomsky, menyebut media massa sebagai mesin atau pabrik penghasil berita (news manufacture) yang sangat efektif dan mendatangkan keuntungan besar dari sisi ekonomi. Menurut mereka saat ini media massa telah menjadi industri yang sangat besar. Media dapat pula menghancurkan harkat dan martabat sebuah bangsa.

Media Persma Jangan Terbawa Arus

Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia (PPMI) Mencatat sekitar 200 media online Pers mahasiswa (Persma) turut meramaikan arus informasi di dunia maya. Namun dalam penerbitannya tidak banyak yang memperhatikan aspek- aspek media online seperti ketajaman analisis, kedalaman isu, dan sistem marketing pada media online. Hasilnya ialah banyak media online persma terbit tidak sesuai dengan irama. Kita bisa menyaksikan sendiri jika produk persma terbit bisa sehari sekali, seminggu sekali, bahkan sebulan sekali.

Persma belum banyak yang menyadari jika media online sangat penting serta mempunyai prospek yang bagus jika kita pandai-pandai mengaturnya. Saya kemudian berfikir, lantas dengan cara apa persma akan menghadapi perkembangan media online saat ini. Perlu sebuah kajian yang mendalam untuk menentukan arah gerak media online persma.

Kita menyadari, sejak dulu persma selalu mengutamakan prinsip penulisan berita yang kritis dan mendalam. Bahkan sampai muncul sebuah genre “Jurnalisme Advokasi” sebagai salah satu paham yang diyakini persma. Hal tersebut dipilih bukan tanpa alasan, pertama persma hadir tidak hanya sebatas membuat pemberitaan, namun terlibat juga dalam melakukan upaya-upaya advokatif terhadap berita yang dibuatnya. Kedua, persma tidak bisa terlepas dari persoalan sosial-politik dalam mengarungi kehidupannya. Jurgen Habermas, dalam buku The Theory of Communicative Action mengemukan Sebagai institusi sosial-politik, media berupaya menjembatani publik dalam menyampaikan aspirasi sosial-politik mereka terhadap penguasa.

Kawan terbaik saya di Jember pernah berdiskusi dengan saya, ia mengatakan jika media online persma itu hanya sebatas “ada”, tuntutan program kerja, ikut- ikutan media mainstreams namun tidak tahu cara mengelolanya. Padahal jika kita sadari persma tidak akan mampu mengimbangi pemberitaan media mainstream, wong secara kuantitas dan kualitas saja masih jauh. Persma kini sudah terjebak dengan orientasi media yang mengutamakan kecepatan. Padahal persma itu punya cara sendiri dalam menulis berita.

Selain itu, ada hal penting pula yang perlu diperhatikan persma, seperti manajamen redaksi yang harus jeli melihat perkembangan isu, penulisan berita persma harus mengutamakan analisi isi yang tajam kemudian mengutamakan verifikasi. Jika pers mahasiswa mengikuti arus media mainstream, maka suatu saat nanti persma akan merasa lelah oleh dirinya sendiri. Bukan bermaksud untuk menggurui, namun memang itu kenyataanya, lihat saja secara sumber daya manusianya masih belum mumpuni kemudian sistem kaderisasi yang masih mencari bentuk yang cocok.

Saya pikir persma perlu gaya baru dalam menentukan arah media onlinenya, semisal karakter (mendalam-analisis-ketepatan) dalam pemberitaan perlu dimunculkan, fungsi kontrol sosial dan ruang alternative perlu kita jaga. Tetaplah memposisikan dirinya sebagai media yang beorientasi pada institusi sosial, kritis, dan idealis.

Arus boleh cepat, namun kita bisa membuat sebuah arus baru dengan tidak meninggalkan apa yang sudah kita yakini. Mencoba menjadi sesuatu yang baru namun tidak meninggalkan yang lama adalah sebuah usaha menjaga keberlangsungan hidup persma yang sehat.

Kategori
Diskusi

Demokratisasi Kampus

Peran birokrasi kampus menentukan demokratis tidaknya tatanan keorganisasian di tataran mahasiswa dalam perguruan tinggi. Segala bentuk politik seyogyanya dikesampingkan agar tidak terjadi polemik. Jika tidak, benih-benih jiwa demokratis yang diharapkan lahir dari perguruan tinggi hanya menjadi isapan jempol. Lihatlah beberapa kejadian belakangan ini yang menimpa beberapa organisasi kemahasiswaan di beberapa perguruan tinggi. Kejadian ini, tentunya, menunjukkan bahwa hubungan antara mahasiswa yang berhimpun dalam sebuah organisasi kemahasiswaan dengan birokrasi kampus tidak “sehat”.

Saya mengelompokkan hubungan ini dalam dua bentuk permasalahan – yang boleh dibilang menciderai demokrasi di perguruan tinggi, yakni 1) pembatasan berekspresi, dan 2) pembatasan mimbar akademik. Pembatasan berekspresi dapat kita lihat pada kasus yang menimpa Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Lentera di Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW) Salatiga, LPM Aksara di Fakultas Ilmu Keislaman Universitas Trunojoyo Madura, dan Unit Kegiatan Pers Kampus Mahasiswa (UKPKM) Media Universitas Mataram. Sementara permasalahan pembatasan mimbar akademik dapat kita lihat pada kasus pelarangan nonton bareng dan diskusi film – Senyap, Samin versus Semen, Alkinemokiye, dsb – di beberapa perguruan tinggi, seperti di Universitas Sanata Dharma Yogyakarta, Universitas Airlangga, dan Universitas Brawijaya.

Terakhir yang belakangan ini masih membekas di benak kita, yakni pembubaran paksa oleh pihak kampus terhadap acara diskusi “Ngobrol Pintar (Ngopi)” dengan pembahasan fenomena Lesbian, Gay, Biseksual, Transgender (LGBT) yang diselenggarakan oleh LPM Gema Keadilan Fakultas Hukum Universitas Diponegoro.

Sikap profesionalitas

Kita perlu membangun sikap profesionalitas dalam menyikapi polemik yang terjadi antar mahasiswa atau organisasi kemahasiswaan dengan birokrasi kampus. Begitu pula ketika menyikapi polemik yang menimpa LPM, tanpa melihat siapa lawan atau kawan. Jika tidak, ya, kita akan terperangkap dalam kungkungan dilematis sesaat. Misalnya, kita berinisiatif membela LPM Lentera, dan menyayangkan pemberedelan majalah LPM tersebut (yakni Lentera) dengan dalih kebebasan berpendapat, kemudian mempertanyakan kualitas majalah tersebut. Dilematis sekali ketika kita menyayangkan pemberedelan majalah tersebut sembari mengatakan bahwa pemberedelan merupakan terobosan paling efektif untuk membuat informasi semakin tersebar. Sampai di sini kita terkesan turut membenarkan sikap pihak kampus.

Bukankah pemberedelan suatu perbuatan yang patut “dikutuk”? Dan, bagaimana sikap kita ketika konteksnya seperti yang dialami oleh UKPKM Media Universitas Mataram? Apakah kita akan bersikap sama dengan kasus yang menimpa LPM Lentera UKSW Salatiga? Tanpa melihat UKPKM Media sebagai kawan pun kita mengutuk prilaku intimidasi yang dilakukan oleh pihak kampus. Dalam kasus ini, pelaku dan korban sudah jelas; yang dikebiri pun sudah jelas, yakni kebebasan berekspresi, mimbar akademik, dan otonomi keilmuan. Di sinilah dan saatnya mempertegas keprofesionalan kita sebagai awak pers kampus dalam menyikapi sengketa pers kampus.

Begitu pula ketika menyikapi kasus pelarangan nonton bareng dan diskusi film. Sebagai rakyat jelata di dunia kampus, kita pun mengutuk prilaku pihak kampus yang sok otoriter, meskipun mereka beralasan bahwa pelarangan tersebut merupakan hak otonomi kampus.

Catatan: Otonomi kampus; sebuah alasan yang “menyesatkan”. Mengapa tidak “menyesatkan”, lha wong otonomi perguruan tinggi saja masih dipersoalkan. Ada kesalahan persepsi di kalangan masyarakat dan pimpinan perguruan tinggi. Misalnya terkait otonomi non-akademik seperti dana pendidikan. Masyarakat mengira implementasi otonomi perguruan tinggi mengakibatkan semakin besarnya dana pendidikan yang ditanggung mahasiswa. Adapun beberapa pimpinan perguruan tinggi menganggap otonomi perguruan tinggi sebagai kesempatan menutupi kebutuhan dana peningkatan mutu dengan menggalang dana dari mahasiswa (baca juga: Banyak Masalah Pelaksanaan Otonomi Pendidikan Dikaji Ulang). Itu masih menyangkut otonomi non-akademik, belum lagi menyangkut soal otonomi khusus di bidang akademik.

Terakhir, kasus berupa pembubaran paksa oleh pihak kampus terhadap acara diskusi “Ngobrol Pintar (Ngopi)” dengan pembahasan fenomena LGBT yang diselenggarakan oleh LPM Gema Keadilan Fakultas Hukum Universitas Diponegoro. Saya kira, kampus Universitas Diponegoro perlu “berkaca” kepada kampus Universitas Islam Negeri (UIN) Walisongo Semarang. Pihak kampus tersebut tidak menarik Jurnal Justicia yang diterbitkan oleh LPM Justicia Fakultas Syariah UIN Walisongo Semarang, yang di dalamnya juga membahas seputar tema yang sama dengan tema diskusi LPM Gema Keadilan. Justru terbitan jurnal tersebut mendapat sorotan dari media Islam macam Arrahmah.com.

Demikian setidaknya contoh kasus yang dapat saya paparkan. Selebihnya masih banyak kasus pembatasan berekspresi, mimbar akademik dan otonomi keilmuan yang terjadi di perguturuan tinggi di Indonesia, hanya saja belum naik ke permukaan.

Mempertegas tugas rektor

Dengan terjadinya polemik tersebut, di sini perlu dipertegas kembali tugas pimpinan kampus/rektor beserta jajaran birokrasi kampus. Apakah memang tugas mereka mengatur ruang gerak para mahasiswanya? Terkhusus pimpinan kampus/rektor, apakah memiliki hak otoritas membekukan organisasi-organisasi kemahasiswaan, termasuk memberedel produk LPM, yang tak lagi sejalan dengan “hawa nafsu”-nya atau dianggap membahayakan?

Saya pikir tidaklah demikian, meski kampus diibaratkan dengan pemerintahan. Tugas pimpinan kampus/rektor beserta jajaran birokrasi kampus, tak lain, melindungi kebebasan berekspresi, mimbar akademik, dan otonomi keilmuan. Di samping itu berkewajiban memberikan kebebasan dan melindungi mahasiswa dalam melakukan kajian akademis tanpa ada tudingan cara melakukan kajian akademis, nantinya, salah prosedural. Karena sejatinya, mahasiswa dituntut berpikir radikal dan berkarya.

Sebenarnya, ada tugas pimpinan kampus/rektor beserta jajaran birokrasi kampus yang lebih utama ketimbang ikut cawe-cawe urusan mahasiswa. Yaitu, memusatkan perhatian pada usaha mengembangkan perguruan tinggi yang dipimpinnya menjadi pusat pendidikan keilmuan par excellence demi kemajuan ilmu pengetahuan yang sesuai dengan kemajuan peradaban human dan perkembangan spirit ilmiah. Hal ini sebagaimana disampaikan oleh Daoed Joesoef dalam tulisannya: Misi Perguruan Tinggi Kita (Kompas, 18 Februari 2014). Alumnus Universitas Pluridisciplinaires Pantheon-Sorbonne ini tampak pesimis dengan perguruan tinggi kita. Menurutnya, pelaksanaan misi perguruan tinggi kita masih jauh panggang dari api. Hal ini terjadi karena para sivitas akademika mengabaikan begitu saja natur dari ilmu pengetahuan. Di sinilah perlu kiranya pimpinan kampus/rektor berserta jajarannya lebih mengedepankan peningkatan mutu-kualitas sivitas akademika ketimbang mencampuri proses belajar para mahasiswanya.

Kampus-kampus yang mengekang kebebasan berekspresi, mimbar akademik, dan otonomi keilmuan mahasiswa, sama halnya memberangus komunitas ilmiah yang telah dibangun oleh mahasiswa itu sendiri. []

Kategori
Wawancara

Pers Mahasiswa Bisa Lawan Intervensi dari Pimpinan Kampus Lewat Jalur Hukum

Pers mahasiswa dalam perjalanannya sering kali menemui protes yang keras dari berbagai pihak, misalnya dari kalangan pejabat kampus. Mereka menilai pers mahasiswa sering melakukan kritik atas kebijakan-kebijakan kampus yang layak digugat.

Keberadaan pers mahasiswa karena lalu dianggap ancaman terhadap citra dan akreditasi kampus di mata publik. Pejabat kampus lalu nampaknya berusaha meredam gerakan pers mahasiswa, lewat upaya apapun agar pers mahasiswa tak lagi getol menyuarakan kebenaran yang dikemas dalam produk jurnalistik.

Sepanjang 2014-2015 Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia (PPMI) mencatat ada 5 kasus yang mengancam ruang independensi pers mahasiswa. Bentuknya beragam, mulai tindakan intimidasi, pelecehan, diskriminasi, pelarangan pemutaran film, diskusi tematik, sampai pada pemberedelan media.

Lantas siapa yang bisa melindungi ruang independensi pers mahasiswa dari sekian banyak intervensi?

Undang-undang Nomor 40 tahun 1999 tentang pers, hingga kini jadi perdebatan menarik untuk mengamati kasus ini dari segi hukum. Pada undang-undang ini, tak disebutkan secara gamblang bahwa pers mahasiswa merupakan bagian dari pers di Indonesia. Namun dalam praktiknya, awak pers mahasiswa melakukan kerja-kerja penerbitan media, peliputan, dan kegiatan menyampaikan informasi.

Semua itu ditempuh tanpa mengabaikan kode etik jurnalistik yang ada. Pers mahasiswa memiliki produk pers.

Perhimpunan Pers Mahasiwa Indonesia (PPMI) mewawancarai Yosep Stanley Adi Prasetyo, anggota Dewan Pers periode 2013-2016. Stanley adalah pemerhati hukum. Ia juga merupakan salah satu orang yang ikut mendirikan Aliansi Jurnalis Independen (AJI).Pernah menjadi Direktur Eksekutif Institut Studi Arus Informasi (ISAI).

Sejak awal 1990 menjadi pembicara di berbagai forum. Mulai pelatihan hingga workshop dan seminar, baik di tingkat lokal, nasional, maupun internasional, dengan topik sekitar media, jurnalisme, konflik, kekerasan, HAM, dan reformasi sektor keamanan. Menjadi ombudsman di majalah Acehkita (2003-2007) dan di tabloid Suara Perempuan Papua sejak 2004 hingga sekarang. Sebanyak 67 buku telah ditulis dan dieditnya. Alamat surel: ruhoro_07@yahoo.com

Hasil wawancara ini bisa didistribusikan lagi sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

 

Menurut anda bagaimana kondisi pers mahasiswa saat ini di tengah besarnya intervensi dari luar redaksi?

Belakangan ini di beberapa perguruan tinggi, pimpinan kampus dan fakultas sepertinya menganggap pers mahasiswa adalah musuh mereka. Mereka itu umumnya tidak tahu sejarah pers mahasiswa dan peranannya dalam menumbuhkan kehidupan intelektualitas mahasiswa. Pers mahasiswa sebetulnya punya sejarah panjang yang penting dalam menumbuhkan demokrasi di negeri ini.

 

Apakah pers mahasiswa dalam menerbitkan produk medianya sudah sesuai dengan kerja- kerja jurnalistik?

Ya, pers mahasiswa umumnya mengikuti dan mempraktekkan Kode Etik Jurnalistik (KEJ) meski mereka belum bisa dikatakan sebagai pers yang sepenuhnya profesional. Pers mahasiswa umumnya juga mengerjakan kegiatan jurnalistik yang sama dengan pers pada umumnya yaitu mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi baik dalam bentuk tulisan, gambar serta data dan grafik maupun bentuk lainnya dengan menggunakan media cetak yang tersedia.

Kalaupun ada yang membedakannya dengan pers profesional, adalah badan hukum dan jadwal terbit yang umumnya tak secara teratur. Hal ini karena sifat alami mahasiswa yang memang harus belajar dan segera lulus sehingga pers mahasiswa kerap menghadapi problem regenerasi.

 

Bagaimana idealnya peran dan posisi pers mahasiswa di peguruan tinggi?

Pers mahasiswa idealnya bisa berperan sebagai alat bagi mahasiswa untuk berlatih menuangkan pikiran, menjadi alat komunikasi antar civitas kampus dan mengembangkan pendapat kampus, untuk menegakkan nilai-nilai dasar demokrasi dan menghormati keberagaman, menyampaikan kritik dan koreksi, serta memperjuangkan keadilan dan kebenaran.

 

Keberadaan pers mahasiswa di perguruan tinggi dirasa mengancam citra lembaga universitas di mata publik, bagaimana menurut anda?

Pers mahasiswa semestinya merupakan bagian dari kegiatan kampus yang dilakukan oleh kalangan mahasiswa untuk melengkapi kegiatan akademis selain perkuliahan rutin. Tak ada kegiatan pers mahasiswa yang sesungguhnya mengancam universitas. Yang ada umumnya pimpinan kampus lebih khawatir kepada penguasa.

Mereka khawatir bahwa suara mahasiswa akan membuat kampus yang mereka pimpin dinilai tak loyal pada pemerintah. Mereka tak biasa berinteraksi dengan aparat keamanan yang kadang bertanya tentang sikap kritis mahasiswa. Mereka ini umumnya tak mengerti tentang bagaimana menegakkan otoritas kampus yang memiliki kebebasan akademik.

Perlu dipahami juga para pimpinan kampus sekarang ini dulunya, puluhan tahun hidup di zaman Orde Baru yang represif dan dipenuhi ketakutan yang kadang tak sadar bahwa situasi sekarang dan tuntutan jaman sudah berubah.

 

Dalam melakukan aktivitasnya pers mahasiswa sering kali mengalami tindakan intimidasi oleh pihak birokrasi kampus, bagaimana menurut anda?

Menurut saya, perlu ada kontrak politik baru antara pers mahasiswa dengan pimpinan kampus yang menaunginya. Mungkin hal ini perlu dilakukan melalui organisasi semacam PPMI yang harus mengembangkan sebuah divisi hukum dan juga divisi advokasi.

Bila pimpinan kampus mencederai kebebasan pers mahasiswa, maka pihak pengelola pers mahasiswa bisa mengadukannya ke PPMI yang bisa membawa ini ke Kementerian Pendidikan Tinggi dan Ristek.

 

Akhir- akhir ini tindakan birokrasi kampus semakin represif terhadap pers mahasiswa, terbukti dengan adanya pembatasan ruang gerak pers mahasiswa, pemberedelan, hingga pembekuan lembaga pers mahasiswa. Bagaimana menurut anda melihat fenomena ini?

Mungkin bisa dicoba dengan melaporkannya ke polisi dan diadukan Dewan Pers. Terlepas dari pertanyaan apakah pers mahasiswa itu pers profesional, atau pers sebagaimana yang dimaksud dalam UU Pers.

Barangkali kita perlu menguji keberadaan Pasal 18 ayat (1) Undang-Undang No 40 Tahun 1999 tentang Pers yang menyatakan bahwa:

“Setiap orang yang secara melawan hukum dengan sengaja melakukan tindakan yang berakibat menghambat atau menghalangi pelaksanaan seperti penyensoran, pembredelan atau pelarangan penyiaran (sesuai ketentuan Pasal 4 ayat (2)) termasuk menhambat atau menghalangi pers untuk mencari, memperoleh, dan menyebarluaskan gagasan dan informasi (sesuai Pasal 4 Ayat (3)) dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau denda paling banyak Rp. 500.000.000,00 (Lima ratus juta rupiah)”

 

UU Pers no 40 tahun 1999 belum menyebut pers mahasiswa adalah bagian dari pers professional. Lantas bagaimana?

Memang. Dalam UU Pers dinyatakan bahwa pers harus berbadan hukum. Ada 3 bentuk badan hukum yang diatur dalam Peraturan Dewan Pers No 04/Peraturan-DP/III/2008 tentang Standar Perusahaan Pers yaitu perseroan terbatas, yayasan, atau koperasi. Hal lain adalah terbit secara rutin dan tepat pada deadline.

Aktivis pers mahasiswa juga tidak termasuk dalam definisi wartawan sebagaimana dimaksud dalam undang-undang. Umumnya pers mahasiswa baru merupakan sebuah unit kegiatan mahasiswa yang memiliki ketergantungan tinggi pada alokasi bantuan dana dari fakultas atau universitas.

Saya kira ini kendala pers mahasiswa untuk bisa menjadi sebuah pers profesional. Sangat berbeda dengan pers mahasiswa di akhir dekade 1960-an yang bisa menjadi media profesional semacam Mahasiswa Indonesia atau Harian Kami yang akhirnya juga dilarang terbit oleh penguasa Orde Baru.

 

Ketika tidak diakui, apakah pers mahasiswa tidak dapat menggunakan UU pers jika pers mahasiswa mengalami permasalahan di kampus maupun diluar kampus?

Hal ini harus diuji melalui pengadilan. Untuk itu saya anjurkan apabila ada pers mahasiswa yang mendapat tekanan dari pimpinan fakultas atau kampus tempat mereka bernaung sebaginya dilaporkan ke polisi dan diadukan ke Dewan Pers. Umumnya kasus-kasus yang terjadi tidak berlanjut karena pengelolanya mundur atau berganti, atau tidak terbit lagi.

Apalagi ketika pimpinan fakultas atau universitas mengancam untuk memberikan sanksi akademis. Terlihat organisasi seperti PPMI belum berfungsi dengan baik.

 

Mengapa Dewan Pers sampai saat ini belum mengakui keberadaan pers mahasiswa, dan menganggap pers mahasiswa adalah ruang untuk berlatih jurnalistik serta mempersiapkan diri menjadi pers yang profesional?

Dewan Pers hanya memegang mandat sebagai pelaksana Undang-Undang Pers, khususnya Pasal 15 ayat (2). Namun, perlu diketahui bahwa setiap tahun Dewan Pers selalu mengisi acara-acara pelatihan pers mahasiswa di berbagai kampus di Indonesia sesuai permintaan. Selain itu Dewan pers juga memiliki program untuk melatih aktivis pers mahasiswa sebagai calon-calon wartawan Indonesia yang berkualitas.

 

Mengapa begitu?

Ya karena sesuai ketentuan peraturan perundangan yang ada, pers mahasiswa memang dikelompokan sebagai pers profesional. Mungkin tugas PPMI untuk memperjuangkan keberadaan pers mahasiswa sebagai pers profesional.

 

Jika pers mahasiswa tidak dapat menggunakan UU Pers, menurut anda jalur apa yang bisa ditempuh dalam menyelesaikan kasus?

Yang dapat menggunakan pidana dalam penegakan UU Pers itu adalah pihak kepolisian dan hakim dalam proses pengadilan. Saya kira kita semua belum pernah mencoba apalagi menguji hal ini.

 

Apakah mungkin kedepannya pers mahasiswa akan diakui oleh Dewan Pers?

Kenapa tidak? Tentunya apabila UU Pers yang ada diamandemen atau diubah. Hanya saja memang selalu ada pertanyaan yaitu wartawan itu adalah sebuah profesi, apakah aktivis pers mahasiswa itu juga sebuah profesi?!