Beberapa hari yang lalu, saya diminta Pak Sekjend (dan forum OPJ) untuk menjadi pemantik diskusi bertema ‘Gairah Literasi’. Sejenak berpikir, atas dasar apa mereka menunjuk saya sebagai pemantik? Terlebih, diharuskan membuat tulisan sebagai pengantar diskusi. Tapi biarlah, hitung-hitung mengasah keterampilan menulis juga menantang wawasan saya yang tak seberapa.
Di akhir sesi diskusi dua minggu lalu, Pak Sekjend sempat menyampaikan keprihatinannya terhadap budaya literasi di kalangan mahasiswa (wabilkhusus pers mahasiswa) yang kian luntur. Terlebih masyarakat umum, sirna, barangkali. Maka sesungguhnya, berawal dari sini saya mengumpulkan bahan untuk tulisan ini.
Bahan dari diskusi tersebut saya padukan dengan secuil materi dari diskusi Jum’at malam lalu (19 Fabruari 2016), yang diadakan kawan-kawan kiri di SK Cafe, UIN Sunan Kalijaga. Ikut mewarnai perdebatan sengit soal akar kekerasan perempuan, statement: teknologi menjadi biang keladi dari semua ini. Penemuan teknologi mata bajak beribu-ribu tahun lalu, mengubah budaya hidup manusia. Cara hidup kolektif yang telah membudaya, perlahan luntur seiring kesadaran manusia akan kekuatan dirinya untuk mengolah lahan secara mandiri. Di satu sisi memang menjadi keuntungan besar bagi manusia. Tapi di balik keuntungan itu, sisi gelap kian menyelimuti: tercerai-berainya kehidupan komunal manusia.
Itu logika sederhana saya. Jika dikontekstualisasikan dengan masa kini, saya rasa ada benang merahnya. Kemajuan teknologi yang kian pesat, diimbangi dengan fasilitas gawai bisa diakses sebagian besar manusia (lebih-lebih mahasiswa) akan berdampak pada budaya masyarakat, termasuk budaya literasi.
Beberapa kali saya mengamati kebiasaan mayoritas mahasiswa (termasuk saya sendiri, barangkali). Hingga sampai kepada kesimpulan, bahwa mahasiswa gandrung dengan istilah up to date. Maka segala informasi yang ada, berusaha dilahap semuanya, tanpa ada upaya untuk menelanjangi atribut-atribut yang menghiasinya. Tanpa mencari inti dari permasalahan yang terselip dalam informasi tersebut. Juga tak mampu menyikapi sebuah permasalahan dengan lebih dulu melakukan kajian akademik, dibedah dengan berbagai perspektif.
Keadaan diperparah dengan semakin menjamurnya portal berita atau sebatas informasi online, yang disajikan serampangan. Judul-judul bombastis dimunculkan, untuk mendulang klik. Hal-hal semacam ini yang justru sangat diminati kalangan kita. Beberapa kali saya berbincang dengan kawan, ia lebih fasih bercerita soal life style. Giliran diajak mendiskusikan sebuah isu, mandek. Kalaupun tidak, dalam menyikapi sebuah isu, ia hanya memandang dari satu perspektif, umumnya perspektif agama.
Seolah sudah berkongsi, antara teknologi dan kebijakan kampus (dan dosen). Pemberlakuan jam malam yang kian mempersempit ruang diskusi. Dorongan untuk lulus cepat dari dosen-dosen. Tugas-tugas kuliah yang menumpuk. Seabrek ‘intimidasi’ ini yang membuat mental kalangan kita kian cengeng, terkecuali (sebagian kecil) yang kuat. Tak ada sempat mengabdikan diri untuk dirinya sendiri, terlebih rakyat. Sudah bercokol di batok kepala (sebagian) kalangan kita, angka, rupiah, ‘prestasi’. Forum diskusi sepi. Perpustakaan hanya ramai jika kalangan kita memiliki beban makalah dan skripsi. Selebihnya, lenggang. Hanya tatapan nyiyir yang mereka lemparkan kepada demonstran yang turun ke jalan, memperjuangkan hak-hak kalangan kita, juga rakyat.
Persma Bisa Menggelorakan Gairah Literasi
Pikiran sempit, keputusan yang terburu-buru, dan penghakiman kepada suatu kelompok, terjadi lantaran rendahnya budaya literasi di kalangan kita. Dalam sebuah website, dijelaskan bahwa budaya literasi dimaksudkan untuk melakukan kebiasaan berpikir, diikuti dengan proses membaca dan menulis yang berujung pada terciptanya sebuah karya. Tentu kita, kalangan mahasiswa, mafhum bahwa membaca bukan sebatas melahap teks-teks dalam buku. Diskusi dan analisis realitas sosial juga bagian dari proses membaca.
Sementara menulis merupakan proses lanjutan dari pembacaan yang panjang. Satu kesatuan tak terpisahkan, yang kemudian mampu melahirkan sebuah karya bergizi. Tak heran jika Pram menulis dalam Bumi Manusia-nya melalui tokoh Nyai Ontosoroh: Tahu kau mengapa aku sayang kau lebih dari siapapun? Karena kau menulis. Suaramu takkan padam ditelan angin, akan abadi, sampai jauh, jauh kemudian hari.
Pers mahasiswa tentu tak asing dengan aktivitas membaca dan menulis. Karena memang dua hal tersebut yang menjadi kekuatan persma. Juga sebagian lagi ikut berbaur dengan gerakan mahasiswa, juga masyarakat umum, berdemonstrasi menuntut keadilan pada penguasa.
Tapi apakah mungkin pena tajam ketika persediaan tintanya seret? Tentu sulit diterima logika (paling tidak logika saya) yang mengatakan mungkin. Maka, berawal dari sini, saya menyadari, media pers mahasiswa perlu berbenah diri. Kajian-kajian tentang wacana dan teks-teks, perlu digelorakan kembali. Sumber daya anggota perlu diberikan asupan bacaan yang bergizi.
Gairah literasi bisa digelorakan dengan terlebih dulu oleh insan pers mahasiswa. Karena, pers mahasiswa satu-satunya organisasi di kampus yang memiliki konsentrasi pada aktivitas jurnalistik. Sementara untuk menghasilkan produk jurnalistik berkualitas, diperlukan wacana kuat. Selain sebagai bekal ‘propaganda’ untuk membentuk (paling tidak) opini mahasiswa, juga menjadi benteng dari serangan intimidasi dari birokrat kampus maupun masa reaksioner yang menghalang-halangi agenda jurnalistik, maupun perjuangan sebagaimana yang dilakukan insan persma pada kasus-kasus anti-demokrasi.
Barangkali kita perlu menengok peran persma dalam mencipta sejarahnya sendiri. Menjelang kejatuhan Soeharto–tentu insan persma akrab dengan ‘fenomena’ ini- mahasiswa UI Depok membuat produk buletin Bergerak!. Bergerak! didirikan lantaran krisis ekonomi di Indonesia yang kian mencekik di era 1998, oleh aktivis pers mahasiswa pengelola Majalah Berita Mahasiswa Suara Mahasiswa UI.
Di saat pers umum tak berani bergaung lantang, Bergerak! dengan bernas menyajikan fakta di lapangan dalam perspektif mahasiswa. Bergerak! mampu menjadi corong gerakan mahasiswa –bukan satu kelompok gerakan saja. Ia menjalankan fungsinya sebagai kontrol sosial, mengawal reformasi. Ia juga cukup berhasil menjadi media alternatif. Runtuhnya rezim Soeharto, menjadi alamat matinya Bergerak!
Iseng-iseng saya coba melakukan analisis sederhana. Jika melihat kondisi pada waktu itu, gerakan-gerakan mahasiswa cukup kuat. Karena memiliki satu musuh bersama: Seoharto. Melihat realita semacam ini, aktivis persma Suara Mahasiswa merasa perlu membuat produk sebagai wadah dan media komunikasi antar gerakan mahasiswa. Maka dibentuklah Bergerak!, yang sempat terbit setiap hari kecuali hari Sabtu dan Minggu.
Dari segi basis wacana dan kajian gerakan mahasiswa, saya kira kuat sekali. Bergerak! hadir untuk menampung segala aspirasi kritis mahasiswa terkait represifitas rezim Orde Baru. Maka kemudian saya sampai pada kesimpulan (terinspirasi dari Pram): Orang boleh kritis setajam silet, tapi selama tidak menulis, ia akan tenggelam dalam sejarah dan masyarakat. Menulis adalah bekerja untuk perjuangan.
Gairah literasi yang menggelora, pada waktunya akan membentuk karakter media persma, baik media cetak, terlebih portal online. Semoga!
Bacaan:
Arismunandar, Satrio. 2005. Bergerak!: Peran Pers Mahasiswa dalam Penumbangan Rezim Soeharto. Yogyakarta: Genta Press.