Kategori
Riset

Membongkar Fenomena Pembelengguan Terhadap Pers Mahasiswa

Hasil Riset Sementara!

Sejak 18 Februari 2016 Penelitian dan Pengembangan (Litbang) beserta Jajaran
Pengurus Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia (PPMI) Nasional melakukan kajian
“Riset Media dan Kekerasan Terhadap Pers Mahasiswa di Indonesia”. Pada riset tersebut,
kami memotret perkembangan isu yang diangkat oleh pers mahasiswa (pers mahasiswa),
intensitas terbitan, hingga kasus­kasus kekerasan yang menimpa pers mahasiswa selama 4
tahun mulai tahun 2013 hingga 2016. Riset tersebut masih berlanjut hingga angket terisi
oleh pers mahasiswa di tiap kota.

Pada tulisan ini, Pengurus Nasional PPMI menarasikan data riset sementara yang
sudah terkumpul per 3 Mei 2016. Pada bagian ini, hanya akan menyoroti bentuk kekerasan dan pihak­-pihak yang melakukan kekerasan terhadap pers mahasiswa. Tentunya data ini belum mewakili tiap provinsi, namun dengan beberapa data yang sudah terkumpul di 8 provinsi akan dinarasikan untuk membongkar kekerasan terhadap pers mahasiswa.

Data masuk

Data Masuk

Dari 8 provinsi ada 64 pers mahasiswa yang sudah mengisi. Sebaran data dari tiap
provinsi adalah Jawa Barat 1 pers mahasiswa yang mengisi, Jawa Tengah 17, Jawa Timur
26, Maluku 1, Sulawesi Selatan 1, Sulawesi Utara, Sumatera Selatan 4 dan Yogyakarta 13.
Pengumpulan data tersebut dengan metode pengisian angket secara online yang disebar
sekitar 200 koresponden yaitu pers mahasiswa yang tersebar di Indonesia, namun hanya
64 pers mahasiswa yang mengisi.

Pada 2013­-2016, dari total 64 pers mahasiswa yang sudah mengisi angket, sebanyak 47 pers mahasiswa pernah kekerasan. Sisanya sejumlah 17 pers mahasiswa tidak pernah mengalami tindak kekerasan. Selebihnya data litbang PPMI menunjukkan, pers mahasiswa tidak hanya mengalami satu bentuk kekerasan bahkan hingga mengalami berbagai bentuk kekerasan.

Misalnya pers mahasiswa Pendapa Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa Yogyakarta, tercatat paling banyak mendapatkan kekerasan bentuk kekerasan selama jangka waktu 2013­2016 yaitu intimidasi, ancaman pembekuan, ancaman pembredelan, kriminalisasi dan fitnah. Di antara kasus kekerasan yang dialami oleh pers mahasiswa adalah bentuk intimidasi, dari hasil kajian PPMI terdapat 33 intimidasi yang diterima oleh 47 pers mahasiswa.

bentuk kekersan terhadap persma

Bentuk kekerasan kedua terhadap pers mahasiswa yang paling banyak dialami pers
mahasiswa adalah pembredelan. Ada 11 dari 47 pers mahasiswa yang mengalami
pemberedelan.

Kemudian angka tertinggi ketiga dari bentuk kekerasan terhadap pers mahasiswa adalah
pelecehan. Sebanyak 7 pers mahasiswa pernah mengalami pelecehan.

Sementara itu kekerasan pembekuan pers mahasiswa dan kriminalisasi dialami oleh
masing­masing 5 pers mahasiswa.

Kasus pembekuan anggaran misalnya pernah dialami oleh pers mahasiswa
Pendapat Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa Yogyakarta tahun 2015. Berdasarkan
data riset yang dikumpulkan oleh PPMI, pers mahasiswa Pendapa pernah dibekukan
anggarannya karena pemberitaan yang ada di buletinnya. Namun kasus itu sudah bisa
diatasi dengan bantuan alumni.

Kasus intimidasi hingga penerbitan surat drop­out missal juga pernah dialami oleh
pers mahasiswa Solidaritas UIN Sunan Ampel Surabaya pada tahun 2013. Karena
pemberitaan yang kritis, birokrasi kampus menerbitkan surat drop­out kepada pimpinan
umum pers mahasiswa Solidaritas. Pada tahun yang sama, kasus intimidasi diterima oleh
pers mahasiswa Ideas Universitas Negeri Jember. Sebab isi majalah “Malapetaka Pasar
Tradisional” yang memuat penolakan aturan jam malam yang disuarakan mahasiswa,
beberapa anggota pers mahasiswa Ideas diintimidasi saat liputan dan berdampak
terhambatnya agenda organisasi.


Aktor di balik Kekerasan terhadap pers mahasiswa

Lantaran banyak kasus kekerasan terhadap pers mahasiswa, dari data riset PPMI Nasional, mencoba untuk membongkar pihak siapa yang paling banyak melakukan kekerasan terhadap pers mahasiswa. Dari data yang diperoleh PPMI, pihak yang banyak melakukan kekerasan terhadap pers mahasiswa adalah birokrasi kampus. Birokrasi kampus sebanyak 11 kali melakukan kekerasan terhadap pers mahasiswa dari 47 pers mahasiswa. Sedangkan pihak kedua yang paling banyak melakukan kekerasan terhadap pers mahasiswa adalah organisasi pers mahasiswa, yaitu 6 kali. Kemudian disusul oleh narasumber yaitu 4 kali.

Pihak yang Melakukan Kekerasan Terhadap Persma

Hasil riset sementara ini masih sebatas pada kajian dari data yang terkumpul di litbang PPMI Nasional. Data ini sebagai gambaran sementara untuk merespon fenomena kasus yang ditimpa oleh pers mahasiswa. Narasi ini belum cukup untuk dikatan sebagai sebuah riset, selain alasan angket yang belum tersebar secara luas di tiap kota, deskripsi
tentang kekerasan terhadap pers mahasiswa pun masih banyak multitafsir. Narasi tentang bentuk kekerasan dan pihak yang melakukan kekerasan pun belum dijelaskan secara detail.

PPMI Nasional akan melakukan riset lanjutan guna untuk membongkar akar permasalahan kekerasan terhadap pers mahasiswa dan membongkar pihak­pihak yang banyak melakukan kekerasan terhadap pers mahasiswa.

Kategori
Diskusi

Lentera, Beredelforia, dan Popularitas di Belakangnya

Awal November 2015 lalu, Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Lentera merilis majalah Lentera Nomor 3/2016 dengan judul “Salatiga Kota Merah”. Majalah yang melaporkan seputar peristiwa G30S dan pembantaian simpatisan PKI di Salatiga itu dianggap meresahkan masyarakat. Kemudian, tanpa keputusan pengadilan, majalah seharga 15 ribu itu diamankan oleh Polres Salatiga, Pengadilan Negeri, dan Dekan Fakultas Ilmu Komunikasi (Fiskom) Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW).

Apa pertimbangan redaksi Lentera mengangkat tema tersebut? Saya harus cerita bahwa sebelum memutuskan untuk mengangkat tema tersebut, redaksi Lentera membaca laporan Tempo dengan tema yang sama. Judulnya: “Pengakuan Algojo 1965”. Dalam majalah tersebut, Tempo menyebut beberapa lokasi pembantaian di Salatiga. Karena hanya menyebut lokasi, saya dan beberapa awak redaksi lain penasaran untuk mengetahui lebih lanjut latar belakang dan kronologi pembantaian di Salatiga. Saya kemudian mengusulkan tema tersebut dalam rapat redaksi dan diterima.

Mengangkat tema tersebut adalah tepat. Mengingat beberapa bulan kemudian adalah momentum 50 tahun peristiwa 1965. Tentu saja, saya tidak menafikan diri bahwa tema tersebut punya potensi pasar yang sangat besar untuk segmentasi pembaca di Salatiga. Hal ini terbukti, seorang reseller membeli puluhan majalah tersebut dan menjualnya dua kali lipat harga sebenarnya. Sebagai LPM yang dianggarkan dana tiga juta rupiah dari kampus per tahun, kebutuhan dana untuk operasional redaksi adalah hal yang tidak dapat ditolak.

Jadi, pertimbangan kami tidak seidealis, yang mungkin beberapa orang pikirkan. Tentu saja, kami sangat-sangat mendukung adanya rekonsiliasi korban 1965. Namun kami tidak pernah bermaksud untuk “meluruskan kembali penulisan sejarah” mengenai narasi besar peristiwa 1965. Buat apa diluruskan? Sejarah tersebut sudah lurus sejak awal reformasi, saat saya masih Kelas 2 SD. Naskah-naskah akademis yang menguak borok Orde Baru bermunculan. Makanya saya sangat setuju kalau majalah Lentera itu “tidak ada apa-apanya”. Apalagi dibanding laporan sekaliber Tempo itu. Duh!

Sekarang bukan waktunya “lurus-lurusan sejarah”. Bukan waktunya pula untuk “menolak lupa”. Lah, siapa yang bisa lupa tragedi berdarah tersebut? Berdasarkan beberapa penulisan di luar sumber teks resmi pemerintahan RI, terbukti bahwa PKI bukan dalang G30S dan simpatisan PKI dibantai besar-besaran sepanjang 1965-1968 oleh nafsu ekstrem kanan. Tentu ini merujuk pada penelitian Peter Dale Schott, Geoffrey Robinson, John Roosa, serta sumber-sumber lain seperti dirangkum dalam “Bayang-bayang PKI” yang diterbitkan ISAI, di Jakarta  pada 1995. Termasuk penelusuran redaksi Lentera terhadap korban-korban tragedi 1965 (eks anggota PKI) di Getasan dan Tuntang, Kota Semarang.

Sekarang adalah waktunya pengakuan kembali akan sejarah. Waktunya “menolak buta”. Nah, penerbitan majalah Lentera itu adalah bentuk ambil andil kami terhadap pengakuan sejarah 1965. Itu saja.

Rasa Perih Menjadi Populer

Semenjak berita pemberedelan majalah Lentera meroket, Lentera populer. Banyak yang berkunjung ke Salatiga dan mewawancarai saya. Saya diundang terus dalam berbagai diskusi dan seminar yang berkaitan dengan HAM. Saya senang, karena akhirnya saya mengalami perbaikan gizi. Ibu saya mengatakan bahwa saya nampak semakin gemuk. Terima kasih.

Hingga suatu ketika, Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia (PPMI) mengadakan Dies Natalis ke-23 di Semarang. Dalam sesi diskusi pembuka kegiatan tersebut, saya menjadi pembicara. Seseorang dari Dewan Kota Makassar, meminta konfirmasi kepada saya. Apakah benar bahwa majalah tersebut sengaja diterbitkan untuk mencari popularitas. Saya lemas mendengarnya. Selesai diskusi, tanpa pamit saya langsung balik ke Salatiga.

Yang menurut saya ironis, secara bersamaan saat diskusi para peserta Dies Natalis mengeluhkan lesunya gerakan pers mahasiswa belakangan ini. Beberapa orang bahkan beranggapan bahwa sudah saatnya pers mahasiswa memformulasikan strategi agar pers mahasiswa semakin didengar dan diperhitungkan. Lah, Lentera diberedel sampai populer, kok malah dianggap mencari sensasi? Jangan salahkan kalau Lentera populer karena diberedel.

Walau bukan tujuan utama, kita jangan malu untuk mengakui bahwa di balik “beredelforia”, intimidasi, pembubaran diskusi atau bedah film, nama masing-masing pers mahasiswa akan terangkat. Ketika saya di Jakarta,Bagir Manan, Ketua Dewan Pers bahkan mengatakan Lentera harusnya bersyukur karena telah diberedel. Seorang anggota AJI bahkan dengan enteng berkata bahwa diberedel itu menjadi cita-cita pers mahasiswa. Ketika masih menjadi jurnalis mahasiswa, ia sengaja cari gara-gara supaya diberedel. Kalau sudah diberedel, berarti hebat. Apalagi di era reformasi ini, beredel adalah sesuatu yang nyaris tidak mungkin. Akhirnya, semuanya berburu beredel.

Memang, ketika Orde Baru, pers mahasiswa yang nakal-nakal itu banyak yang diberedel. Dan akhirnya reformasi membawa angin tersendiri untuk membawa kemana pers mahasiswa berlayar. Menurut saya, ketika Soeharto mundur, pers mahasiswa sudah kehilangan musuh alaminya. Ketika pers mahasiswa kehilangan musuh alaminya, ia menjadi lemah. Gelombang pembredelan Lentera, juga UKM Media, dan Poros, seharusnya dijadikan momen untuk memperkuat kembali posisi pers mahasiswa yang selama ini terlokalisasi di dalam kampus.

Dan kalau kalian populer karena diberedel, ingat, itu bonus!

Kategori
Berita

Kronologis Penangkapan Aktivis Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN)

Pada Selasa malam tanggal 10 Mei 2016, kira-kira pada pukul 23.00 WIT anggota Kodim 1501 Ternate mendatangi Sekretariat Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN). Tujuan kedatangan anggota Kodim di Sekretariat AMAN guna menyelidiki saudara Adlun Fiqri yang yang diduga menyimpan dan menyebarkan atribut organisasi terlarang (komunis).

Sebelum penangkapan saudara Adlun Fiqri dan ketiga kawannya, informasi terkait dengan dugaan saudara Adlun Fiqri sebagai penyebar simbol-simbol yang berbauh komunis ini dari hasil interogasi anggota Kodim kepada Karmilawati Malawat. Tak lama kemudian anggota Kodim pun menggeledah kamar Adlun Fiqri dan menemukan tujuh (7) buah kaos, walaupun kaos yang lain tidak ada unsur-unsur komunis juga disita.

Selain kaos, ada enam buah buku (Filsafat Marx, Infestigasi Tempo: Lekra dan 1965, Kekerasan Budaya Pasca 1965, Orang Yang Di persimpangan Kiri Jalan, Penjagal Itu Telah Mati, dan buku Sejarah Tuhan) yang diamankan oleh anggota Kodim sebagai barang bukti.

Setelah itu Adlun Fiqri digiring ke Kodim 1501 Ternate untuk dimintai keterangan tentang kepemilikan kaos dan buku-buku yang berlambangkan dan berfaham komunis tersebut. Di Kodim, saudara Adlun diintrogasi sampai jam 04.00 WIT, dan kurang-lebih jam 07.00 WIT Adlun Fiqri dkk diserahkan ke Polres Ternate guna penyelidikan yang lebih lanjut. Dan sampai Kamis 12 Mei 2016 Adlun dkk masih ditahan dengan status saksi dan akan berujung pada dugaan kejahatan terhadap keamanan negara.

Menurut Adlun Fiqri dan Supriyadi, bahwa mereka menggunakan kaos itu bukanlah sesungguhanya kaos-kaos yang mengarah pada simbol-simbol komunis. Salah satu kaos itu bertuliskan “Pecinta Kopi Indonesia” (PKI). Dan menurut pihak berwajib gambar yang tertera pada kaos tersebut mengandung unsur simbol komunis. Dan juga enam buku dari puluhan koleksi buku saudara Adlun Fiqri adalah bertujuan untuk menambah khasana pengetahuan yang sifatnya ilmiah.

Menurut Adlun, untuk membatasi mengkonsumsi buku-buku Marx dan lain-lainnya adalah sebuah pemuduran intelektual. Hal ini juga dibenarkan oleh Supriyadi, rekan Adlun yang ditahan oleh Polres Ternate. Menurut Adlun dan Supriyadi, mereka tidak pantas dituduh sebagai orang-orang atau generasi muda yang berpaham komunis. Karena tujuan mereka hanya satu yakni menambah pengetahuan dan tujuan akademik.

Adlun Fiqri dan kawan-kawan. Saat ini, mereka didampingi oleh LBH dan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara. Adlun Fiqri, Supriyadi juga merupakan anggota AMAN. Terlepas dari AMAN wilayah Maluku Utara, mereka berdua adalah penggiat literasi jalanan dan sampai saat ini masih menekuni profesinya.

Saya, Asrul Lamunu. Secara pribadi dan atas nama LPM Go Pena Unkhair Ternate meminta dukungan, solidaritas kawan-kawan PPMI Se-Nusantara kiranya dapat menyikapi persoalan ini dengan serius. Kalau masalah ini berujung pada proses eksekusi hukum maka nasib kawan-kawan kita seperti apa jadinya? Dan bagaimana kalau mereka dicap sebagai PKI? Olehnya itu harapan kami LPM Go Pena Unkhair Ternate agar kiranya, kita melihat persoalan ini pada sisi positifnya.

Penting juga untuk dibaca:
Militerisme Menghadang Jalan Demokrasi, Ayo Bersatu Rebut Kembali. 

Cegah Kebangkitan PKI, Istana: Aparat Jangan Kebablasan

Kategori
Diskusi

Rapat Pimpinan Nasional PPMI II

1

Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Salam Persma!

Salam silaturahmi kami sampaikan semoga kita semuanya senantiasa dalam lindungan Tuhan Yang Maha Esa dan sukses dalam menjalankan aktifitas sehari- hari.

Sehubungan akan diselenggarakannya “Rapat Pimpinan Nasional Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia II″ pada tanggal 27-29 Mei 2016 di LPM Universitas Jember- Jawa Timur. Maka bersama surat ini kami bermaksud mengundang kawan-kawan Sekjen Kota dan anggota LPM se- Indonesia yang tergabung dalam PPMI untuk hadir dalam agenda tersebut. Adapun segala ketentuan dan informasi lebih lanjut bisa dilihat dalam proposal yang kami lampirkan.

Demikian surat undangan ini, atas perhatian dan partisipasinya kami sampaikan terima kasih.

Wassalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Narahubung:

Basith (+62858 5081 1025)

Kategori
Siaran Pers

PPMI DK Yogyakarta Menolak Pembungkaman LPM Poros oleh Birokrat Universitas Ahmad Dahlan

Salam Persma, Hidup Rakyat, dan Lawan Pembungkaman!

Berdasarkan rilisan kronologi pada situs berita online Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Poros Universitas Ahmad Dahlan (UAD), tertulis bahwa birokrat kampus UAD mengancam pembekuan terhadap kegiatan Poros selaku pers mahasiswa intrakampus.

Birokrat kampus yang diwakili oleh Abdul Fadlil selaku Warek III dan Safar selaku Warek II menyatakan bahwa pihak Rektorat UAD sedang berupaya membekukan akses berkegiatan Poros. Kepada Bintang selaku Pemimpin Umum dan Fara selaku Pemimpin Redaksi LPM Poros, pihak birokrat kampus menyatakan langsung bahwa berbagai pemberitaan dan berkegiatan Poros cenderung tidak bermanfaat positif bagi UAD. Maka birokrat kampus pun mengancam bahwa surat keputusan (SK) akan diturunkan guna membekukan akses kegiatan Poros di UAD.

Wacana pembekuan LPM Poros yang akhir-akhir ini menyeruak ke kalangan prodemokrasi merupakan buntut dari pemberitaan di buletin terbitan Poros soal pendirian Fakultas Kedokteran (FK). Buletin tersebut mengabarkan bahwa pendirian FK di UAD masih belum memenuhi kualifikasi dan perlu banyak pembenahan. Merasa khawatir atas pemberitaan, birokrat UAD menanggapinya dengan cara kontraintelektual; mengancam melalui pembekuan.

Seharusnya, sebagai akademisi yang dekat dengan naluri cendekia, birokrat UAD bisa menanggapinya dengan cara-cara mendidik nan mencerdaskan. Namun pernyataan mereka cenderung mencederai marwah intelektualitas dan demokrasi. Saat kabar ini menyeruak, banyak kalangan prodemokrasi dan kaum intelektual di Yogyakarta yang geram sekaligus mengecam perilaku birokrat kampus tersebut.

Pihak-pihak yang mendukung kebebasan hak-hak intelektual kampus menjadi resah karena kelakuan birokrat UAD adalah wujud pencorengan terhadap kultur intelektualitas kaum terdidik di Yogyakarta. Masih banyak cara-cara cendekia untuk menjawab ketidakterimaan atas pemberitaan dari media pers, termasuk pers mahasiswa. Misalnya, melalui mekanisme hak jawab tertulis untuk  mengklarifikasi kesalahan berita. Bodohnya, cara-cara cendekia itu tidak berusaha ditempuh oleh birokrat UAD.

Birokrat UAD telah semena-mena memperlakukan keberadaan LPM Poros di kampus. Mereka sengaja menggunakan kewenangannya untuk membungkam kebebasan beraspirasi mahasiswa. Padahal segala aktivitas Pers Mahasiswa (Persma) di kampus merupakan upaya penegakan transparansi informasi dalam pembangunan kampus. Jika upaya tersebut sengaja dibungkam, maka potensi-potensi penyelewengan amanah institusi akademik kemungkinan terjadi. Kaum akademisi seharusnya mendukung upaya-upaya persma dalam kampus sebagai lembaga kontrol kebijakan. Mengingat bahwa kontrol kebijakan merupakan kebutuhan bagi orang-orang berpendidikan supaya selalu menggunakan ilmunya untuk kebaikan umat. Maka, kelakuan birokrat UAD jelas-jelas perbuatan yang jauh dari kesan niat baik berkeilmuan.

Hingga hari ini, banyak kaum intelektual prodemokrasi di Yogyakarta merasa bahwa perilaku birokrat UAD benar-benar merusak citra kultur pendidikan kalangan akademisi serta mengebiri peran kaum intelektual. Kalangan intelektual di Yogyakarta semacam pegiat pers, aktivis kampus, pegiat literasi, akademisi, dan bermacam komunitas warga yang bersolidaritas benar-benar dibikin malu atas ulah birokrat UAD. Perlu diketahui bahwa kabar memalukan kelakuan birokrat UAD juga sudah menyebar ke daerah-daerah keberadaan kaum intelektual lainnya: Surakarta, Purwokerto, Jember, Malang, Semarang, Makassar, Jakarta, dan lain sebagainya. Aksi-aksi solidaritas #SavePoros pun telah dilakukan oleh kawan-kawan di Malang, Jember, dan Semarang. Ini menunjukkan bahwa banyak kalangan masih peduli terhadap citra Yogyakarta sebagai pusat pendidikan kaum intelektual. Wajarlah bila sanksi-sanksi sosial perlu diarahkan kepada muka birokrat UAD.

UAD sebagai institusi pendidikan di bawah  Muhammadiyah; organisasi sosial-keagamaan besar di Indonesia, seharusnya mampu secara waras memposisikan keberadaannya di tengah-tengah pandangan kaum intelektual dan masyarakat di Yogyakarta. Kasus yang dibuat oleh birokrat UAD begitu mengkhawatirkan. Mengamati bahwa kekhawatiran kalangan intelektual di Yogyakarta semakin hari semakin besar nan meluas terhadap ulah birokrat UAD, maka Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia (PPMI) Dewan Kota (DK) Yogyakarta merasa perlu untuk menerbitkan rilis ini yang berisikan penjelasan kasus, penyikapan, dan tuntutan. Berikut rincian sikap dan tuntutan tersebut.

PPMI DK Yogyakarta menyatakan sikap:

  1. Mengecam perilaku birokrat kampus UAD terhadap LPM Poros karena telah menodai prinsip demokrasi, asas keterbukaan, dan marwah intelektualitas.
  2. Menolak upaya-upaya pembekuan yang dilakukan birokrat kampus UAD terhadap LPM Poros karena mengancam aktivitas kebebasan beraspirasi dan transparansi informasi intrakampus.
  3. Mengajak kalangan intelektual prodemokrasi untuk bersolidaritas mengecam kelakuan birokrat UAD terhadap LPM Poros demi penyelamatan citra kaum intelektual di Yogyakarta.

 

PPMI DK Yogyakarta menuntut:

  1. Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah menegur birokrat kampus UAD atas perilaku tidak terpujinya yang kontraintelektual.
  2. Birokrat UAD harus meminta maaf kepada LPM Poros karena bisa menimbulkan trauma dalam aktivitas beraspirasi dan keterbukaan informasi intrakampus.
  3. Birokrat UAD harus meminta maaf secara terbuka kepada kaum intelektual di Yogyakarta karena telah mencoreng citra intelektualitas.
  4. Birokrat UAD harus membatalkan pembekuan terhadap LPM Poros serta menyertakan janji-janji tertulis secara terbuka bahwa tidak akan lagi melakukan upaya-upaya pembungkaman yang tidak terpuji.

Begitulah rilisan sikap dan tuntutan PPMI DK Yogyakarta atas kasus pembungkaman dari Birokrat UAD terhadap  LPM Poros. Demi penyelamatan citra intelektual, maka sebaiknya kita perlu segera berkonsolidasi, bersolidaritas, dan menuntut pelaku perbuatan kontraintelektual dalam kampus. Ini demi kebaikan bersama di era yang seharusnya kebebasan beraspirasi dan keterbukaan informasi harus diwujudkan.

Narahubung:

Taufiq Nur Hidayat, Sekjend PPMI Dewan Kota Yogyakarta (+6283869971305)

 

Kategori
Siaran Pers

Pernyataan Sikap Pers Mahasiswa Jember Atas Pemberedelan LPM Poros Universitas Ahmad Dahlan

Salam Persma!

Di era yang sudah demokrasi serta kebebasan setiap orang sudah dijamin oleh undang-undang, masih saja ada pihak-pihak yang memiliki pemikiran kaku, anti-kritik dan main hakim sendiri. Apalagi yang melakukan hal tersebut adalah orang-orang yang berintelektual tinggi, para birokrasi kampus Universitas Ahmad Dahlan (UAD). Birokrat UAD telah melakukan pembekuan dan pemberedelan terhadap salah satu organisasi pers mahasiswa yang dinaunginya.

Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Poros dibekukan dan diberedel oleh Birokrat UAD secara sepihak tanpa ada pemberitahuan secara legal dari kampus UAD. Hal tersebut berkaitan dengan pemberitaan yang ditulis oleh awak redaksi LPM Poros. Pihak Kampus menilai LPM Poros sudah keterlaluan dalam memberitakan terkait pendirian Fakultas Kedokteran di UAD yang dimuat di buletin magang.

Abdul Fadlil selaku Wakil Rektor III menilai LPMPoros sudah keterlaluan dalam pemberitaannya. Dia menambahkan bahwa LPM Poros tidak ada manfaatnya bagi kampus. Seakan tak puas, Wakil Rektor menganggap bahwa LPM Poros sudah merugikan kampus yang mendanai kegiatannya selama ini. Bahkan Fadlil menganggap pola pikir awakPoros perlu diluruskan, yang kemudian menyarankan agar LPM Poros memberitakan hal-hal positif tentang kampus. Namun saat Fara sebagai Pemimpin Redaksi LPM Poros mempertanyakan bagian mana yang membuat Fadlil mempermasalahkan beritanya, Fadlil tidak memberikan alasan yang jelas.

Sikap yang ditunjukkan oleh Fadlil sangat bertolak belakang dengan sambutannya pada acara pelantikan pengurus baru Unit Kegiatan Mahasiswa Pers Mahasiswa Poros Periode 2015/2016. Dalam berita yang diunggah di halaman persmaporos.com Fadlil mengatakan di depan para undangan bahwa kampus tidak antikritik dari media maupun pihak lain. “Kita tidak anti kritik,” ujarnya. Dia menambahkan bahwasannya kritik itu perlu dan menganggap kritik menjadikan seseorang memiliki cara pandang lain dan akan menciptakan kemajuan.

Kami Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia (PPMI) Kota Jember menegaskan bahwa, tindakan pembekuan dan pemberedelan secara sepihak yang dilakukan UAD kepada LPM Poros merupakan tindakan yang semena-mena, main hakim sendiri, dan tidak mencerminkan kehidupan kampus yang demokratis. Maka dari itu kami PPMI Kota Jember

menilai bahwa tidakan yang dilakukan oleh Birokrat UAD sungguh mencoreng serta tidak mengindahkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2012 Tentang Pendidikan Tinggi, bahwa pada dasarnya pendidikan tinggi diselenggarakan dengan prinsip demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia.

Menurut kami, apa yang dilakukan Birokrat UAD juga telah melanggar UU No.40 Tahun 1999 tentang Pers. Pembekuan dan pembreidelan yang dilakukan Birokrat UAD telah mengekang kemerdekanaan pers, yang merupakan wujud dari kedaulatan rakyat berasaskan prinsip-prinsip demokrasi, keadilan, dan supremasi hukum. Dari sisi lain Birokrat UAD seakan abai terhadap adanya UU No.14 Tahun 2008 Tentang Keterbukaan Informasi Publik.

Atas dasar tersebut maka, kami PPMI Kota Jember yang beranggotakan 17 Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) dari berbagai universitas di wilayah Jember menyatakan dan menuntut:

  1. Mengecam dengan keras tindakan pembekuan dan pemberedelan yang dilakukan Birokrat UAD terhadap LPM Poros. Bagi kami tindakan tersebut merupakan tindakan tidak dewasa yang dilakukan birokrat kampus yang notabene mereka adalah kumpulan-kumpulan orang yang berintelektual tinggi. Bagi kami pembekuan dan pemberedelan merupakan salah satu bentuk arogansi yang dilakukan kampus kepada organisasi yang dinaunginya
  2. Mengecam tindakan kampus yang melakukan penyelesaian sengketa pers dengan cara yang sepihak tanpa melibatkan pihak LPM Poros untuk melakukan proses dialektika yang lebih bijak dan berpendidikan
  3. Mengecam segala bentuk tekanan secara fisik dan mental yang bertujuan untuk membatasi kerja-kerja jurnalistik dalam hal mendapatkan, mengelola, dan menyebarkan informasi yang menimpa LPM Poros
  4. Meminta Birokrat UAD untuk segera mengaktifkan dan mengizinkan kembali proses penerbitan media LPM Poros. Pada dasarnya memang Surat Keputusan (SK) terkait pembekuan dan pemberedelan LPM Poros memang belum dikeluarkan
  5. Meminta Birokrat UAD untuk segera menetralkan penilaian-penilaian negatif yang sempat disematkan pihak kampus kepada LPM Poros. Sehingga nama baik LPM Poros dapat kembali lagi
  6. Meminta Birokrat UAD untuk segera memperlancar proses administrasi LPM Poros
  7. Meminta Birokrat UAD untuk tidak mengulangi lagi tindakan yang tidak dewasa tersebut (pembekuan) kepada organisasi-organisasi dinaunginya, khususnya LPM Poros.

Demikian pernyataan sikap ini kami buat, semoga dapat diterima dan ditanggapi secara arif dan bijaksana. Atas kedewasaan menerima kritik dan saran kami mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya.

Jember, 03 Mei 2016

Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia (PPMI) Kota Jember

Narahubung:

Joko Cahyono, Sekjend PPMI Kota Jember (+6285649442616)

Ahmad Junaidi Al Jawawi, BP Advokasi PPMI Kota Jember (+6285854571796)

Chairul Anwar, BP Media PPMI Kota Jember (+6289626359118)

Nova Dian Permata Sari, Jaringan Kerja PPMI Kota Jember (+6285258751724)

Fais Ridho Nur A., BP Litbang PPMI Kota Jember (+6281232728023)

LIHAT DAN UNDUH SIARAN PERS

Kategori
Diskusi

Kebebasan yang Bertanggung Jawab

Bagaimana kita bebas mengenakan kaos warna apa saja, dan bertulis kata-kata provokatif sekeras apapun? Jika ada kebebasan berekspresi yang rawan dan membuat orang takut untuk mengulanginya. Dituduh menghina atau mencemarkan nama baik, mereka bisa dipenjara bila orang lain tak terima atas ekspresi dan tindakan tertentu.

John Locke menguraikan bahwa kebebasan berekspresi ialah kebebasan untuk mencari, menyebarluaskan dan menerima informasi, kemudian memperbincangkannya. Dalam perbincangan tersebut memberikan pilihan apakah akan mendukung atau mengkritiknya? Hal tersebut Ia nilai sebagai sebuah proses untuk menghapus miss-konsepsi atas fakta dan nilai yang ada[i].

Kebebasan berekspresi dapat dituangkan melalui berbagai cara, seperti berserikat, berkumpul, dan menyuarakan pendapat melalui lisan maupun tulisan, dengan medium apapun. Sementara bagi John Stuart Mill dalam salah satu master piece bukunya, On Liberty (1859), Ia berpendapat bahwa kebebasan yang dilakukan, semata-mata untuk melindungi warga dari penguasa yang korup dan tiran. Kebebasan itu menjadi senjata untuk melawan penindasan yang telah dilakukan penguasa terhadap warganya. Hal itu didukung oleh pernyataan La Rue (2010) bahwa kebebasan tersebut bisa diekspresikan dengan cara-cara yang menurut mereka tepat[ii]. Masyarakat memiliki kreativitas tersendiri untuk “melawan” yang terkadang tak terpikirkan oleh kita tapi dilakukan oleh orang lain.

Anda tahu sendiri kan, bagaimana Kim Jong-Un dengan mudah mematikan menteri-menterinya? Mewajibkan potongan rambut laki-laki harus seperti potongan rambutnya karena menurutnya itu mencerminkan sikap bernegara bangsa Timur. Kim Jong-Un disebut-sebut sebagai pemimpin yang otoriter di abad ke-21 sebagai suksesi Hitler dan Mussolini di Eropa. Setelah itu, banyak muncul karya kreatif dalam bentuk meme yang menyindir Kim Jong-Un.

Pengekangan kebebasan berekspresi di Korea Utara mungkin bisa dimaklumi karena negara tersebut hanya memiliki satu partai dan dipimpin oleh seorang diktator. Namun tidak untuk Indonesia, sebuah negara yang demokratis idealnya akan memberikan ruang yang luas bagi kebebasan berekspresi warganya. Hal ini bisa terkait dengan Hak Asasi Manusia (HAM), keterbukaan informasi untuk publik, serta hak memilih dan dipilih. Kebebasan berekspresi menjadi semacam syarat wajib bagi sebuah negara yang menggunakan sistem demokrasi dalam asas pemerintahannya. “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia” sebagai sila ke-5 Pancasila, yang berarti negara dan warganya mengakui hak-hak orang lain.

Kebebasan yang Bertanggung Jawab

Memang segala tindakan manusia, termasuk kebebasan berekspresi akan dipertanggungjawabkan nantinya, baik itu tindakan benar ataupun salah. Dalam konsepsi seorang muslim, pertanggungjawaban itu dilakukan di dunia dan di akhirat. Yang menarik adalah pertanggungjawaban yang dilakukan manusia selama di dunia, karena pertanggungjawaban yang dilakukan ini belum tentu sesuai dengan apa yang harus Ia pertanggungjawabkan di hari akhir nanti. Manusia bisa dinilai salah oleh hakim manusia, tetapi tidak bagi yang Maha Hakim.

Pertanggungjawaban itu akibat dari tindakan, misalnya kebebasan berekspresi yang telah dilakukan. Hal tersebut merupakan sesuatu yang wajib dipahami oleh setiap warga. Agar setiap warga negara yang melakukan aktivitas tidak dengan mudah melanggar peraturan-peraturan lain seperti Hak asasi yang dimiliki manusia. John F. Kennedy memeribahasakan, “hak setiap orang akan berkurang ketika hak orang lain terancam.”

Dalam peraturan hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia, kita memiliki Undang-undang Dasar 1945 pasal 28 J ayat 2 yang mengatakan “Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam masyarakat demokratis.”

Maka dari itu, jadilah manusia yang bertanggung jawab atas apa yang telah dilakukan.

Selama Itu Benar Jangan Takut

Rakyat merupakan “Raja” dalam sistem pemerintahan trias politica yang digagas John Locke. Ia menjadi elemen penting dalam sebuah negara demokrasi. Tidak boleh dikesampingkan, apalagi dihilangkan. Kemauan rakyat ialah sebuah mandat yang seharusnya menjadi dasar pengambilan keputusan oleh legislatif dan eksekutif, karena rakyat yang memilih mereka melalui demokrasi langsung atau tidak langsung. Seperti Joko Widodo yang membatalkan keputusan Menteri Perhubungan, Ignasius Jonan yang melarang Go-Jek untuk beroperasi. Seharusnya pemimpin memang mengutamakan kepentingan rakyat dalam mengambil keputusan.

Begitu pula rakyat harus didengar pendapatnya, aspirasinya yang disuarakan lewat tulisan maupun medium lain. Bukan malah rakyat dipenjarakan serta ditakut-takuti dengan Undang-Undang yang bisa menjerat pidana, seperti Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) Pasal 27 ayat 3 tentang penghinaan dan pencemaran nama baik.

Sudah banyak orang yang dilaporkan atau dihukum menggunakan UU ITE terkait pasal tersebut. Setidaknya, setiap bulan UU ITE memakan 4 orang korban, di antaranya adalah Prita Mulyasari dengan hukuman 6 bulan penjara dan masa percobaan 1 tahun, Ketua Komisi Yudisial (KY) Suparman Marzuki dan komisionernya, Taufiqurrohman Syahuri yang dilaporkan Hakim Sarpin Rizaldi ke Badan Reserse Kriminal Polri atas tuduhan pencemaran nama baik. Padahal dalam hal ini Taufiqurrohman Syahuri menganggap putusan Hakim Sarpin Rizaldi terkait gugatan praperadilan Komjen Budi Gunawan, menabrak hukum acara adalah tindakan sebagai Komisioner KY, yang memang bertugas demikian.

Banyak aktivis kebebasan berekspresi telah mendiskusikan pasal tersebut. Mereka menganggap ini adalah sebuah pasal “karet” yang dibuat oleh legislatif kita. “UU ITE ini juga tidak mempunyai kejelasan tujuan yang hendak dicapai sebagaimana yang disyaratkan dalam UU No 10 Tahun 2004 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. UU ini (baca: UU ITE) telah jauh melenceng dari misi awalnya yang hendak melindungi perdagangan dan transaksi elektronik,[iii] merupakan penggalan isi sebuah presentasi yang disajikan Denny Septiviant dari Perhimpunan Bantuan Hukum Indonesia (PHBI) Wilayah Jawa Tengah. Selain itu, UU ITE juga tidak menjelaskan secara spesifik seperti apa pencemaran nama baik seperti Pasal 310 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP).

Padahal mengenai pencemaran nama baik telah diatur dalam KUHP Bab XVI tentang Penghinaan yang termuat dalam Pasal 310 s.d 321. Dalam kitab tersebut, hukuman pidana penjara paling lama untuk seseorang yang terbukti mencemarkan nama baik hanya selama 4 tahun, ini lebih ringan jika banding dengan UU ITE yang bisa menjerat pelaku selama 12 tahun penjara.

Sementara dalam perkembangan hukum internasional, sedikitnya 50 negara sudah mengalihkan masalah kabar bohong, penghinaan, pencemaran dari hukum pidana menjadi hukum perdata. Ini merupakan langkah terlambat negara kita dalam bidang hukum. Harusnya legislatif secara cepat merespons kebutuhan hukum yang ada di Indonesia.

Dengan aturan-aturan hukum yang telah disampaikan di atas, harusnya membuat kita semakin waspada bila ingin membagikan ide melalui media elektronik, karena bisa saja masyarakat yang berani menentang pihak yang lebih berkuasa dapat dikenakan tuduhan pencemaran nama baik berdasarkan UU di atas[iv], karena “disalahtafsirkan” menjadi sebuah perbuatan yang melanggar hukum.

Meski demikian kita tetap tak boleh takut untuk menyuarakan kebenaran. Selagi dengan bukti-bukti yang kuat, negara kita melindungi kebebasan untuk menyatakan pendapat. Negara kita telah meratifikasi International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) menjadi Hukum Nasional melalui UU No.12 Tahun 2012 tentang Hak-hak Sipil dan Politik dan aturan lain berupa UU No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.[v] Kondisi seperti ini sekaligus memberikan tantangan kepada para pakar hukum, akademisi, organisasi non-profit, serta mahasiswa untuk berani lebih giat mewujudkan masyarakat yang melek/sadar hukum. Bagaimana mereka tidak hanya mengenal teori fictie hukum, tetapi lebih membumikan hukum agar kaum menengah ke bawah dengan pendidikan yang seadanya menjadi terpahamkan lewat sosialisasi. Fiksi hukum adalah asas yang menganggap setiap orang tahu hukum/undang-undang (een ieder wordt geacht de wet/het recht te kennen).[vi]

Kata-kata terakhir untuk tulisan ini: “Negara bisa saja menjadi jahat bila tidak kita awasi. Meskipun tidak menjadi pahlawan super, setidaknya menyatakan bahwa hak adalah sesuatu yang hak juga akan dimintai pertanggungjawaban.”

 

Catatan kaki:

[i] Kebebasan Berekspresi: Apa arti pentingnya, Wahyudi Djafar, Peneliti ELSAM, hlm. 3.

[ii] Ibid, hlm 5.

[iii] Kebebasan Berekpresi perspektif hukum dan hak asasi manusia, Denny Septiviant, hlm 24.

[iv] Denny Septiviant, Op.cit., hlm 17.

[v] Denny Septiviant, Op.cit., hlm 11.

[vi] J. C. T. Simorangkir, Hukum dan Konstitusi Indonesia, hlm 64.

Kategori
Diskusi

Pers Mahasiswa dan Segala Kengeriannya

Membaca tulisan dari seorang teman tentang gaya penyajian berita di media Tegalboto cukup membuat tidur saya kurang nyenyak. Kegiatan kami selama ini, menyusun media kepada pembaca dengan proses yang cukup panjang, mulai dipertanyakan. Proses editing semalaman, dengan sebotol kopi pahit dan beberapa linting rokok agar teman-teman saya bertahan tanpa tumbang demi menjamin tulisan yang layak diterima oleh pembaca, dipertaruhkan. Bahkan butuh berhari-hari, tulisan itu disunting dan diperbaiki lagi. Lalu seseorang mengatakan jika berita yang kami buat disajikan dengan ‘banyak gaya’.

Saya mulai bertanya-tanya. Gaya apa yang dimaksudkan dalam tulisan tersebut? Saya sebagai orang awam yang masih butuh banyak belajar mulai kembali membuka-buka materi yang pernah saya pelajari waktu masih menjadi anggota magang kala itu.

Setiap berita memang memerlukan gaya yang berbeda dalam penyajiannya. Sebut saja Straight News dan Features, atau mungkin penulisan opini dengan berita di media buletin yang kami terbitkan secara rutin. Mereka memerlukan gaya penulisan yang berbeda, dengan tetap mempertahankan kelengkapan isinya. Bukan berarti karena berbentuk Features, maka diksi yang digunakan mendayu-dayu, atau mungkin karena Straight News kami bisa memasukkan data-data seenaknya tanpa mempertimbangkan keluwesan kata-kata yang digunakan. Sekali lagi saya masih bingung ‘banyak gaya’ yang dimaksudkan itu gaya yang seperti apa?

Setiap media yang kami susun memiliki karakteristiknya masing-masing. Dari majalah, Newsletter, yang akan diluncurkan Sabtu ini, hingga buletin yang diterbitkan memiliki ciri sendiri yang membuatnya berbeda satu sama lain. Tidak perlu kami berkoar-koar tentang gaya yang kami gunakan di setiap tulisan yang ada di media tersebut. Kami sudah berusaha memastikannya agar sampai di tangan pembaca dengan istimewa.

Jika hasilnya masih belum memuaskan mereka, maafkan kami yang tidak berpedoman pada permintaan pasar. Media kami bukan barang dagangan yang bisa dijadikan komoditas demi menguasai dan memenuhi permintaan pasar. Kami masih mempertahankan disiplin verifikasi, seni mempertanyakan kebenaran dengan proses berkelanjutan. Kami mencoba memahami hal yang disampaikan Bill Kovach dan Tom Rosenstiel dalam buku Sembilan Elemen Jurnalisme bahwa kebenaran adalah prinsip pertama, sekaligus sesuatu yang paling membingungkan. Tidak bisa sekali wawancara pada satu narasumber lalu menuliskannya begitu saja sebagai kebenaran.

Tidak perlu jauh-jauh berbicara tentang mau dibawa ke mana, genre apa yang paling ideal bagi pers mahasiswa, dan apa-apa yang diperjuangkan oleh mereka. Kita saja masih sering lupa memastikan apakah penulisan ejaan yang digunakan sudah sesuai dengan Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI). Tentang penulisan kata ‘verifikasi’, misalnya yang kadang tertukar antara huruf ‘f’ dengan ‘v’. Sebagai salah satu anggota amatir yang setiap editing harus jeli mengoreksi tulisan kawan-kawan saya dari tanda titik, koma, hingga huruf-hurufnya, mata saya cukup merasa tersiksa dengan kejanggalan itu. Tapi saya masih memakluminya, penulis juga manusia. Atau mungkin si penulis sengaja menuliskannya untuk menciptakan suatu gaya yang berbeda, saya juga tak begitu paham maksudnya.

Berbicara tentang genre jurnalisme mahasiswa yang dianggap paling “ngeri”, sarapan saya pagi ini mulai terhenti sejenak. Jika dibandingkan dengan sejarahnya, gerak pers mahasiswa yang mulai mengabur memang sudah tidak bisa disamakan lagi. Namun juga tak bisa dipukul rata jika posisinya tak jauh beda dengan pers umum lainnya. Pers mahasiswa bukan karyawan yang bekerja demi gaji, sekalipun memiliki jam terbang yang berbeda dengan wartawan umum kebanyakan, mereka masih bisa teriak merdeka dari intervensi. Tiada pemilik modal yang bisa mengusik independensi. Mereka, termasuk kami, menulis untuk masyarakat, dengan sesekali nyambi nugas perkuliahan di sela kegiatan liputan. Maafkan jika kami masih berani berteriak sekeras ini.

Belajar bekerja di bawah tekanan dengan aneka media yang dihasilkan menjadikan setiap pers mahasiswa menemukan gayanya. Layaknya pers umum kebanyakan, pers mahasiswa juga bebas menentukan gayanya dengan pedoman pada kode etik jurnalistik. Bukan berarti mereka bekerja tak dibayar lalu tidak bertindak secara profesional. Hanya saja terkadang langkahnya masih sering tersandung batu di tengah jalan.

Tiap media punya gaya yang berbeda dan di situlah keunikannya. Ukuran ideal ataupun tidaknya suatu media bukan hanya dari gaya penulisannya, tapi juga bagaimana suatu media mampu menyajikan tulisan yang menyehatkan pembaca.

Kita hidup di negara yang bernafaskan keanekaragaman di dalamnya. Mengapa memaksa harus mengidentikkan sesuatu yang jelas-jelas memiliki irama yang berbeda? Jika ukuran berat badan ideal yang dimiliki seseorang harus berpatok dengan hasil dari selisih antara tinggi dan berat badannya, bukankah media, khususnya yang ada di pers mahasiswa, harusnya juga memiliki indikator?

Jurnalisme ideal atau yang sering disebut sebagai jurnalisme profesional yang lebih cenderung beraliran positivistik mempersyaratkan adanya obyektivitas dalam penulisan berita. Istilah obyektif dalam buku Sembilan Elemen Jurnalisme juga sering disalahpahami. Bukan wartawannya tapi lebih pada metodenya yang harus obyektif dalam menggali data.

Kenyataannya, setiap media punya cara membingkai berita untuk disajikan kepada pembaca dengan cara yang berbeda. Namun demikian, kita masih punya pedoman dan kode etik sama yang harus dipegang teguh, apapun bentuk media yang dihasilkan oleh pers mahasiswa.

Jika sudah tahu bahwa esensi jurnalisme adalah pada disiplin verifikasi, mengapa masih mempertanyakan gaya, identitas, ataupun arah pergerakannya? Semuanya penting namun jangan sampai kita melupakan hal-hal yang lebih mendasar. Benahi rasa, tingkat kebersihan, dan kesehatan masakanmu dulu, baru belajar bagaimana cara penyajiannya agar enak dipandang mata. Rasa sakit akibat keracunan memerlukan penyembuhan lebih lama daripada rasa sepat di mata saat melihat penampilan luarnya. Sesekali kita perlu belajar banyak membaca KBBI, sebelum memandang tulisan suatu media disajikan dengan ‘banyak gaya’.

Terimakasih atas perhatiannya. Biarkan saya melanjutkan sarapan dan tidur saya yang sempat terganggu sebelumnya.

Kategori
Diskusi

Memahami Karakter Jurnalisme Pers Mahasiswa

Setiap media, jika dibandingkan satu dengan yang lainya, akan kentara perbedaan bagaimana sebuah berita disajikan. Tempo misalnya, cenderung menyajikan berita dengan liputan-liputan mendalam. Membuka apa yang ditutup-tutupi, atau sebut saja bergenre Jurnalisme Investigasi.

Meminjam istilah komodifikasi, katakanlah pilihan genre jurnalisme ini ada sebagai “nilai jual” sebuah media. Semakin terjual, semakin dibaca. Semakin dibaca, maka semakin berpengaruh. Keluasan pengaruh itu yang kemudian dijadikan tolak ukur, sejauh mana salah satu peran jurnalisme, yakni kontrol sosial, dapat diwujudkan.

Tapi perlu diketahui, setiap genre punya pemetaan pasarnya sendiri. Kemudian penentuan pasar adalah politik redaksi. Bergantung kemana arah gerak media tersebut. Dari sekian banyak genre jurnalisme, jurnalisme mahasiswa bisa dibilang paling ngeri! Kalau eksis, genre jurnalisme yang satu itu sulit dicari definisinya.

Definisi Pers Mahasiswa
*Grafik hasil analisa menunjukkan tidak ditemukanya “Definisi Jurnalisme Mahasiswa” pada mesin pencari Daum.net. Data ini menggunakan margin error 0%.

Dari analisis saya pada 6 April 2016 mulai pukul 21:40 hingga 22:41 WIB, 0 data ditemukan terkait “Definisi Jurnalisme Mahasiswa”  pada mesin pencari Daum.net, mesin pencari populer berbahasa Korea Selatan.

Tapi dalam pandangan penulis, genre jurnalisme satu ini sulit didefinisikan. Setiap Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) punya cara yang berbeda-beda dalam menyajikan berita. Unit Aktivitas Pers Mahasiswa (UAPM) Inovasi misalnya, menyajikan berita kelompok marjinal dengan gaya narasi. Atau Unit Kegiatan Pers Kampus Mahasiswa (UKPM) Tegal Boto, menyajikan berita dengan banyak gaya.

Selain cara penyajian berita yang beragam di tiap LPM, pembeda antara jurnalisme mahasiswa dan genre jurnalisme lainya juga kabur, terlebih paska reformasi. Sebelumnya, pada masa orde baru, begitu mudah membedakan antara jurnalisme mahasiswa dan jurnalisme lain. Jurnalisme mahasiswa tajam ke atas, yang lainnya masih cenderung malu-malu luwak. Paska orde baru, keadaan mulai berubah. Semua sudah mulai tajam keatas. Dengan mulai samarnya pembeda jurnalisme mahasiswa dan jurnalisme lain, pendefinisian makin sulit dilakukan. Sekaligus arah gerak makin kabur.

Menurut paparan buku 9 Elemen Jurnalisme karya  Bill Kovach dan Tom Rosentiels yang dikutip Andreas Harsono. Disiplin verivikasi adalah esensi dari jurnalisme. Bukan identitas, genre, bahkan arah gerak. Jika pandangan tersebut diamini, bisa saya simpulkan bahwa apapun genre jurnalismenya, verivikasi data adalah yang utama. Kecuali bagi jurnalis yang tunduk pada himbauan perusahaan konstruksi baja, “Utamakan Sholat dan keselamatan kerja!”.

Foto: dok. Artha Mas Graha Andalan (http://news.detik.com/tokoh/3112887/utamakan-salat-dan-selamat-kunci-kesuksesan-budi-harta-winata)

Verivikasi sendiri menurut saya juga beragam tingkatnya. Verivikasi menggunakan paradigma rasio, paradigma empiris, paradigma positifisme, dan lainya. Sementara, tiga paradigma itu saja yang mampu dicocokologikan dan terdengar cukup saintifik di telinga.

Dalam paradigma rasio, verivikasi dihentikan cukup pada keputusan rasio meng(iya)kan. Misalkan sang narasumber menyatakan bahwa api itu membakar kulit, kemudian karena rasio sang jurnalis sejalan, maka pernyataan dari narasumber dianggap valid, dan tidak diverivikasi lebih lanjut. Padahal, pengikut Nabi Ibrahim punya rasio yang berbeda, bahwa api tak selalu membakar kulit.

Mengetahui kebobrokan rasio itu, paradigma empiris kemudian menambalnya dan tak berhenti disitu saja. Jadi kalau anda jurnalis yang berparadigma empiris, anda bakal memverivikasinya dengan menyentuh api, setelah kulit anda terbakar, baru anda tulis sebagai karya jurnalistik.

Tapi ternyata, ada dua orang jurnalis yang mencoba menyentuh api dan hasilnya berbeda. Seorang jurnalis yang merasakan tangannya terbakar kemudian tanpa ragu mengamini pernyataan narasumber. Seorang lagi, karena tak merasakan tangannya terbakar, ia kembali memburu narasumber, guna mendekati “kebenaran”. Dia tak merasakan sensasi terbakar, sama seperti saat telunjuk kita menyentuh api dari lilin secara cepat.

Verivikasi empiris ternyata kemudian juga belum mendekati “kebenaran”, pasalnya metode pengujiannya berbeda-beda. Lantas paradigma positivisme kemudian berupaya membakukan metode pengujian. Jadi ketika dua jurnalis itu hendak memverivikasi apakah api membakar kulit secara empiris. Mereka bakal dipandu untuk mengujinya dengan variabel-variabel pengujian yang sama. Misalkan, dengan lilin yang sama, dan dengan kecepatan menyentuh api yang sama. Hasilnya, semakin mendekati “kebenaran”.

Parahnya, kemudian pengetahuan hasil positivisme ini kembali mengakar sebagai “rasio” tanpa tanda tanya. “Rasio” yang dibangun, tak menyertakan adanya pembatasan variabel dalam paradigma positivisme. Pada metode yang digunakan dalam studi kasus di atas, hanya menguji kebenaran “api itu membakar kulit” dengan dua variabel saja, yaitu jenis lilin dan kecepatan menyentuh api.  Padahal, jenis kulit berpengaruh. Kalau kita tambah lagi jenis kulit sebagai variabel pengujian, masih banyak lagi variabel-variabel lain, seperti suhu atau kelembapan udara. Berapa banyak variabel yang berpengaruh juga tak bisa didefinisikan, karena itu margin error juga tak terdefinisikan. Kemudian, muncul istilah “pembatasan masalah” karena keterbatasan indra manusia tuk menelaah keadaan.

Lebih parahnya lagi, semangat positivisme kemudian menjamur dan menjangkiti kehidupan sosial. Padahal, yang saya yakini bahwa setiap makhluk itu berbeda dan kehidupan sosialnya begitu kompleks. Membelenggu kekompleksan dengan batasan masalah, bisa dibilang kejahatan intelektual yang terstruktur, masif, dan sistematis. Tak ayal, menundukan keragaman dengan saintifikasi ilmu sosial menimbulkan banyak korban.

Mungkin sebagian kelompok tidak begitu ngeh, atau enggan dengan penjelasan yang bersifat filosofis. Jadi baiklah, saya berikan contoh nyatanya. Mungkin ilustrasi di bawah ini bisa membantu memahami akan adanya perbedaan metode verivikasi data.

Sumber Sama, SINDO Tulis “Ekonomi Lesu”, KOMPAS Kasih Judul “Ekonomi Membaik”, Tanya Kenapa? Sumber: http://www.posmetro.info/2016/01/sumber-sama-sindo-tulis-ekonomi-lesu.html (Jangan dibuka, bahaya!)

Di luar itu, katakanlah kita mengamini saintifikasi ilmu sosial di tengah hingar-bingar jurnalisme data dan segala jenis verivikasinya. Pemerintah misalanya, menerbitkan data masyarakat miskin yang pengolonganya didapat dengan batasan 4 variabel atau lebih, yang dipilih atau yang mampu dipikirkan. Kemudian kita mengutip data-data sensus pemerintah, yang sudah dibandingkan dengan data-data lembaga independen, hasilnya sama. Kemudian kita mengutipnya bak dewa, dengan perasaan yang begitu mendekati “kebenaran”. Katakanlah semua orang juga mengamini datanya, terverivikasi dan selesai sudah esensi jurnalismenya. Tapi ternyata dunia memang begitu beragam, coba saja tengok ilustrasi hasil visualisasi data kedua jurnalis ini.

Ilustrasi hasil visualisasi data yang sama di tangan dua jurnalis yang berbeda.
Ilustrasi hasil visualisasi data yang sama di tangan dua jurnalis yang berbeda.

Kedua ilustrasi visualisasi data diatas mengunakan data-data yang diamini bersama, tak ada yang meragukan kevalidanya, namun hasil visualisasinya berbeda. Bisa jadi hasil interpretasinya nanti juga berbeda.

 “Dan pada dasarnya memang tidak ada media yang netral. Media selalu berpihak dan memperjuangkan kepentingan tertentu. Tapi ketika ia menunjukkan kebencian dan penghakiman dengan begitu vulgar terhadap kelompok tertentu, patut kita pertanyakan kepentingan macam apa yang sedang diperjuangkan.” Wisnu Prasetya Utomo, dalam blog Pindai.

Jadi ketika kita sudah selesai dengan pekerjaan auditor (verivikasi) yang dianggap sebagai esensi jurnalisme. Lalu apa? Siapa kita? Ke mana kita? Kepentingan apa yang kita perjuangan? Bagaimana menjadi jurnalisme mahasiswa yang ideal, menjadi Inovasi atau menjadi Tegal Boto? Atau kenapa perlu keragaman yang ada disatukan dalam satu genre yang sama. Adakah yang tahu jawabanya, selain “Ntabs teori, kaget realita!” ?

Kategori
Diskusi

Perlukah Pers Mahasiswa Berharap Pada Dewan Pers?

“Karena melalui pers yang merdeka itu, setiap orang dapat menggunakan pers sebagai wadah untuk menyampaikan harapan-harapannya, keluhannya, protesnya, sehingga dapat diketahui oleh publik.”

Bagir Manan, Ketua Dewan Pers periode 2013-2016

Yosep Adi Prasetyo terpilih menjadi Ketua Dewan Pers Periode 2016-2019. Masyarakat, terutama jurnalis, berharap Dewan Pers terus menjaga ruang kemerdekaan pers di Indonesia. Harapan pada sosok yang akrab disapa Stanley ini tentu juga merupakan harapan aktivis pers mahasiswa.

Sekretaris Jenderal Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia (PPMI), Abdus Somad pun berharap lembaga pers mahasiswa di seluruh perguruan tinggi di Indonesia, ikut merasakan angin segar. Ia berharap, di tangan Ketua Dewan Pers yang baru tersebut Pers Mahasiswa mendapatkan perhatian, terutama saat ditekan oknum di luar redaksi.

Ada satu alasan kuat yang membuat Somad menaruh harapan itu di pundak Stanley. Yaitu, maraknya kasus yang menimpa Pers Mahasiswa, yang selama ini belum mendapatkan perhatian khusus dari Dewan Pers. Di samping itu, Somad menilai Dewan Pers belum mampu melakukan upaya kongkrit dalam menyelesaikan sengketa pers yang dihadapi Pers Mahasiswa.

Terhitung mulai tahun 2014 hingga 2015, PPMI Nasional mencatat tujuh kasus yang menimpa Pers Mahasiswa. Kasus tersebut berupa intimidasi, diskiriminasi, pelecehan, sensor, pelarangan diskusi film, sampai pada pembredelan majalah serta pembekuan pers mahasiswa secara kelembagaan.

Di titik ini, Somad nampaknya merasa bingung untuk menyelesaikan kasus-kasus tersebut. Satu-satunya alat penyelesaian sengketa pers, yakni Undang-Undang Pers nomor 40 tahun 1999, dinilai tak mengakui keberadaan Persma. Sehingga wajar jika Pers Mahasiswa digugat di wilayah pemberitaan, baik di internal kampus maupun di luar kampus, tidak bisa diselesaikan menggunakan perundangan tersebut.

Berangkat dari kegelisahan Somad—akankah Pers Mahasiswa dapat perhatian serius dari pimpinan baru Dewan Pers? Saya turut mengajukan sebuah pertanyaan serupa: Maukah Dewan Pers mencurahkan perhatiannya kepada Persma? Pertanyaan ini saya kira perlu, mengingat Pers Mahasiswa bukanlah jurnalis profesional yang berada dalam payung perusahaan, meski kerja jurnalistiknya pun sudah selayaknya jurnalis profesional.

Ada secercah kebahagian saat membaca tulisannya Somad yang mengutip hasil wawancara dengan Stanley. Setidaknya, saya membaca gelagat bahwa Dewan Pers akan memberikan perhatian kepada Pers Mahasiswa. Karena bagi Stanley, Pers Mahasiswa ikut merawat Indonesia. “Pers Mahasiswa sebetulnya punya sejarah panjang yang penting dalam menumbuhkan demokrasi di negeri ini,” kata Stanley.

Pernyataan Stanley itu tidak lantas membuat saya berhenti bertanya. Apa jaminannya agar saya merasa bahwa Dewan Pers benar-benar memberi perhatian kepada Pers Mahasiswa? Jika pada akhirnya berstatus sebagai bukan bagian dari pers, sehingga awak Pers Mahasiswa tak ada bedanya sebagai pelapor kejadian. Bukan sebagai jurnalis.

Saya berharap kedudukan Pers Mahasiswa dan jurnalis profesional di mata Stanley sama, sebagai elemen pers di Indonesia. Sangat diperlukan bentuk kongkrit perhatian Stanley selaku Ketua Dewan Pers yang baru kepada Persma. Sebagaimana marak terjadi, Pers Mahasiswa juga rawan mendapat perlakuan diskriminatif, baik oleh pimpinan kampus maupun pemerintahan.

Bentuk kriminalisasi yang saya khawatirkan terjadi, misalnya, Persma “meminta” dana penerbitan majalah atau kegiatan lainnya. Pihak penguasa kampus bisa saja menangguhkan permintaan itu. Misalnya dengan cara menggugat konten pemberitaan di media Pers Mahasiswa. Kemudian saat tahu konten pemberitaan Pers Mahasiswa dapat mengancam nama baik kampus, pimpinan kampus bisa saja mengkriminalisasi Pers Mahasiswa dengan tudingan pencemaran nama baik.

Sambil lalu menunggu kerja Dewan Pers, aktivis Pers Mahasiswa justru mencari bantuan ke lembaga lain. Misalnya selama ini yang turut andil menyelesaikan kasus-kasus yang menimpa Pers Mahasiswa bukan dari Dewan Pers, melainkan dari lembaga dan perkumpulan lain, seperti lembaga bantuan hukum, Aliansi Jurnalis Independen, Forum Alumni Pers Mahasiswa, dan jaringan sesama pers mahasiswa.

Kalaupun tetap berharap pada Dewan Pers, seharusnya ada nota kekesepakatan yang ditandatangani antara PPMI dan Dewan Pers. Dalam nota kesepakatan itu dicantumkan pula bentuk kongkrit perhatian Dewan Pers kepada Persma, seperti turut mengadvokasi atau memediasi kasus yang ditimpa Pers Mahasiswa, menjamin kebebasan pers bagi Pers Mahasiswa, dan sebagainya.

Semoga kita semakin giat merawat kebersamaan dan semangat  juang Pers Mahasiswa. Ingat, Pers Mahasiswa tetap ada karena berjejaring dan saling menguatkan.