Kategori
Diskusi

Pers Mahasiswa: Merawat Aktivisme Melalui Sekte Akademis Dizaman Industria(jurna)listik

Pers Mahasiswa (Persma) adalah konklusi dari bilahan histori yang akut. Pers dikandung independensi dengan cita luhur untuk mencerdaskan kehidupan bangsa melalui pengayaan informasi. Dalam UU No. 40 Tahun 1999 Tentang Pers, Pers adalah lembaga sosial dan wahana komunikasi massa yang melaksanakan kegiatan jurnalistik meliputi mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi baik dalam bentuk tulisan, suara, gambar,  suara dan gambar, serta data dan grafik maupun dalam bentuk lainnya dengan menggunakan media cetak, media elektronik dan segala jenis saluran yang tersedia.

Mahasiswa adalah bilahan dari aktivisme dan akademis. Aktivisme lantas diadopsi oleh pelbagai lapisan dan menamai dirinya dengan ‘gerakan mahasiswa’, tidak terkecuali dengan persma. Dipopramono (1989) dalam Perlawanan Pers Mahasiswa Protes Sepanjang NKK/BKK karya Didik Supriyanto  mengatakan bahwa pemerintah menganggap penggerak protes mahasiswa yang muncul akhir 1987 itu adalah aktivis pers mahasiswa.  Bahkan dalam Mendikbud Fuad Hassan pernah memberi peringatan agar persma tidak jadi wahana sikap kontra. “Jangan sampai Pers mahasiswa menjadi sumber keresahan dan keonaran,” katanya  (Kompas: 5/5/1987). Kampus turut melakukan usaha preventif yang masih memakai nalar zaman kolonial dengan mengeluarkan Drukpersreglement versi zaman now karena dianggap mencemarkan nama baik kampus. Di bilahan lain, bagi persma yang cenderung berorientasi dan berotasi di ranah akademis, ia kerap dicap sebagai humas kampus.

Dasarnya, tidak sama sekali kontras ketika ketiga embrio (independensi, aktivisme dan akademis) ini dikawinkan. Di sisi lain, justru dosa besar yang terus diwarisi dibumbui konflik horizontal. Ketidakpahaman dan keterkotak-kotakan ini memanifestasikan sebuah tanya dengan diktum, kemana arah gerak persma? Satu pertanyaan lain yang sangat tiras adalah anekdot, apakah persma harus netral?

Netral Bukan Tujuan Jurnalisme

Bill Kovach dan Tom Rosenstiel dalam Sembilan Elemen Jurnalisme menjelaskan wartawan tidak dituntut untuk netral. Para praktisi jurnalis harus menjaga independensi dari objek liputannya. Di elemen yang lain Kovach dan Rosenstiel juga  juga memaparkan it must serve as an independent monitor of power. Senada dengan Kovach dan Rosenstiel, Andreas Harsono menambahkan independen tidak berarti ia netral. Wartawan boleh tidak netral, karena tujuan jurnalisme adalah mencari kebenaran.

“Saya boleh meliput manajemen kampus, saya boleh berteman dengan rektor, tapi saya tetap harus independen dari rektor, atau saya harus independen dari bupati, senat mahasiswa dan seterusnya,” kata Andreas saat diwawancari pada Musyawarah Kerja Nasional Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia 23 November 2018 di telaga Ngebel Ponorogo.

Surat Keputusan Dewan Pers Nomor 03/SK-DP/III/2006 Tentang Kode Etik Jurnalistik juga tidak mewajibkan praktisi pers untuk netral atau bersikap, tetapi wartawan diwajibkan untuk independen.  Pada pasal 1, wartawan Indonesia bersikap independen, menghasilkan berita yang akurat, berimbang dan tidak beritikad buruk. Independen berarti memberitakan peristiwa atau fakta sesuai dengan hati nurani tanpa campur tangan, paksaan dan intervensi dari pihak lain termasuk pemilik perusahaan pers.

Dua sisi

Combine Resource Institution pada 4 Februari 2017 menghelat diskusi bertajuk “Media Komunitas Melawan Hoax” dan menghadirkan Ahmad Djauhar untuk berbicara mewakili Dewan Pers. Dikutip dari combine.or.id Ahmad Djauhar sempat menjawab kekhawatiran pegiat media non perusahaan. Menurutnya, jika media komunitas (semacam pers kampus) menerapkan dan mematuhi kaidah jurnalistik, maka para pegiat tidak perlu merasa khawatir. “Kalau anda tidak melakukan kesalahan, tidak usah takut,” ujarnya.

Dalam slide Merunut Media Hoax dan Upaya Melawannya yang ditulis oleh Yosep Adi Prasetyo selaku ketua Dewan Pers pada 12 Januari 2017 menempatkan persma dan media komunitas  dalam kuadran II dibawah media arus utama yang berada dalam kuadran pertama. Menurut slide ini, meski tidak tervervikasi media yang masuk dalam kuadran II masih berada dalam ‘zona aman’ ketimbang dua kuadran di bawahnya.

Di sisi lain, Persma kerap dianggap media amatir. Dalam definisi dewan pers berdasarkan UU Pers, pers harus berbentuk Perusahaan Pers dan sudah semestinya berbadan hukum. Dilansir dari dewanpers.or.id ada dua pilihan untuk pers kampus. Pertama, pers semacam pers kampus tidak digolongkan sebagai pers. Sehingga, tidak perlu tunduk terhadap kode etik dan Undang-Undang Pers. Akibatnya, pers kampus tidak berhak atas perlindungan yang diatur kode etik, Undang-Undang Pers, dan berbagai jaminan kemerdekaan pers. Kedua melonggarkan kegiatan pers. Pers tidak hanya dilaksanakan oleh atau melalui perusahaan pers. Kalau konsep semacam ini dapat diterima, harus ada perubahan UU No. 40 Tahun 1999.

Bersatu Untuk Keberpihakan

Dikotomi antara sekte aktivis dan akademis membuat persma memperlebar ruang konflik horizontal. Akibatnya, jangankan untuk memperjuangkan isu, persma kerap disibukkan oleh permasalah-permasalahan internal yang diwarisi tak berkesesudahan. Persma sekte aktivis seringkali terlena dengan keaktivisannya dan bahkan meninggalkan kampus. Pun sebaliknya, bagi persma yang akademistis turun ke jalan bukan bagian dari jurnalisme.

Pun ketika kita sudah berhasil mengawinkan pers (independensi) dengan dua bilahan aktivisme dan akademis dengan tidak memisahkan satu diantaranya adalah salah satu bentuk berhimpun. Perhimpunan ini akan melahirkan apa yang kita sebut idealisme. Tak ayal, muncul diktum “pers mahasiswa adalah idealisme”.

Karena idealisme tidak lahir dari pengakuan, tetapi lahir dari kebutuhan maka persma tidak perlu berbadan hukum. Tapi cukup berbadan pekerja (BP), artinya perkawinan yang lebih besar yaitu pers mahasiswa berhimpun dalam satu perhimpunan yakni PPMI. Dengan perhimpunan idealisme yang beragam tersebut, kepercayaan masyarakat kepada persma semakin meningkat. Diakui atau tidaknya persma oleh aturan hukum yang industria(jurna)listik itu menjadi pilihan yang boleh tidak dipilih.

Kategori
Agenda

Rapat Pimpinan Nasional PPMI di Banjarmasin

Pers Mahasiswa terus berkembang mengikuti arus zaman yang semakin modern, baik dalam penyajian berita dan juga konsistensi pengawalan isu. Meningkatnya pengguna internet khususnya konsumsi media sosial, dibaca oleh Pers Mahasiswa sebagai peluang apik dalam melakukan gerakan sekaligus memproduksi karya. Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia (PPMI) mencatat setidaknya terdapat 200 lebih media daring yang dimiliki pers mahasiswa. Dari situ, Pers Mahasiswa terus memproduksi karya-karya jurnalistik dengan lebih kreatif dan inovatif dengan penyebaran yang lebih luas. Sehingga dapat melakukan pengawalan isu dengan lebih masif.

Pada Musyawarah Kerja Nasional (MUKERNAS) Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia di Bali lalu, menghasilkan sikap bahwa Pers Mahasiswa kini perlu memfokuskan dan mengawal secara lebih serius lagi isu local yang ada didaerahnya masing-masing. Melihat isu di setiap daerah bervariatif dan sangat penting untuk dikawal. Hal tersebut juga mempertegas arah gerak pers mahasiswa sebagai media alternative dan juga perannya dalam gerakan mahasiswa. Isu-isu lokal yang ada di daerah ini pun sering kali bersinggungan dengan Hak Asasi Manusia. Ini membuat isu seputar HAM sendiri tidak pernah ada matinya, baik ditingkal lokal maupun nasional.

Dari cacatan KOMNAS HAM adanya indikasi pelanggaran HAM terhadap kelompok minoritas dan para pemeluk agama lokal atau aliran kepercayaan dan ada hakhak sipil dan politik lain yang dilanggar oleh aparatur Negara. Belum lagi kekerasan dan pelanggaran HAM di masa lalu yang belum terselesaikan hingga hari ini. Dan masih terdapat 8 (delapan) kasus pelanggaran HAM yang berat yang penuntasannya belum menunjukan hasil yang menggembirakan. Di antaranya: Peristiwa 1965-1966, Peristiwa Penembakan Misterius 1982-1985, Peristiwa Talangsari 1989, Peristiwa Penghilangan Orang Secara Paksa, Peristiwa Kerusuhan Mei 1998, Peristiwa Triksakti, Semanggi I dan Semanggi II, dan Peristiwa Wasior, dan Peristiwa Wamena.

Sementara itu cacatan dari Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) adanya penyiksaan dan tindakan kejam dilakukan aparat kepolisian dan TNI. Tercatat 163 kasus penyiksaan pada tahun 2016-2017. Sementara dari Januari hingga Oktober 2017, pratik penyiksaan terbanyak pihak kepolisian mencapai 84, sedangkan TNI 29 dan sipil 19. Belum lagi kekerasan dan pelanggaran HAM di Papua.

Dua tahun belakangan ini, Indonesia sedang dilanda krisis kemanusian.Terjadi banyak kasus-kasus ekologi yang disertai dengan perampasan Hak Asasi Manusia (HAM). Di beberapa wilayah di tanah air terjadi perampasan hak hidup dan agraria oleh korporat direstui oleh Negara seperti aktivitas pertambangan dan perkebunan kelapa sawit di berbagai daerah di Kalimantan Selatan merusak lingkungan, ekonomi dan social masyarakat, reklamasi Teluk Benoa, Bali –yang berakibat merusak ekosistem laut Teluk Benoa. Tambang Tumpang Pitu, Banyuwangi –limbah tambang dapat mencemari laut dan lahan pertanian produktif warga. Pembangunan Pabrik Semen, Kendeng merusak mata air yang digunakan warga sebagai sumber penghidupan bertani atau memenuhi kebutuhan sehari-hari. Serta Pembangunan Bandara Kulon Progo, Yogyakarta – perampasan tanah warga oleh elit-elit feodal melalui legalitas hukum negara.

Kasus-kasus diatas selalu diiringi tindak represif oleh pihak pemodal melalui aparatur Negara. Pemukulan, intimidasi, penggusuran, hingga kriminalisasi marak dilakukan. Hal tersebut terus menambah catatan buram pelanggaran HAM di Indonesia.

Melihat kondisi tersebut, Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia (PPMI) yang telah berkomitmen dalam mengawal isu-isu lokal perlu membuat serta merumuskan strategi dalam melakukan gerakan pengawalan agar lebih efektif dan efisien.Oleh karena itu PPMI perlu melakukan Rapat Pimpinan Nasional (Rapimnas) untuk merumuskan gerakan pengawalan isu, serta membicarakan permasalahan internal organisasi yang memang sangat perlu untuk segera diselesaikan. Mari bergerak dan terus melawan ketidakadilan, panjang umur perlawanan.

 

Unduh proposal kegiatan Rapimnas III PPMI 2018 lewat tautan berikut: https://drive.google.com/open?id=1tUC0JgjBORmbdoAyqUtZdHZJcLBj5NHb

Salam Pers Mahasiswa !!!

 

Catatan: Jika ada kesalahan dalam penulisan nama atau identitas, silahkan hubungi sekjend kotanya masing-masing

Kategori
Diskusi

Mari Berjejaring dan Bentuk Kultur

Sebagai upaya memberikan pemahaman tentang Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia (PPMI) dan tetek bengeknya, PPMI Kota Jember mengagendakan Sekolah PPMI pada Jumat, 27 Oktober 2017. Sehingga pertanyaan yang selalu dibahas waktu kongres, seperti apa nilai tawar yang diberikan PPMI ke LPM (Lembaga Pers Mahasiswa) bisa terjawab. Tiap agenda nasional, masalah-masalah dasar tentang PPMI selalu diperdebatkan. Masalah laten tentang pemahaman dasar ber-PPMI sebenarnya dapat diatasi dengan membaca buku putih PPMI dan transformasi pemahaman tentang PPMI dari pengurus kota ke LPM atau anggota LPM ke anggota barunya. Tanpa perlu selalu menanyakannya tiap agenda nasional yang seyogyanya untuk merumuskan masa depan PPMI selanjutnya.

Dalam buku putih PPMI sendiri tertuliskan tiga pokok bahasan yang kerap menjadi penyebab pertanyaan-pertanyaan yang seharusnya menjadi pemahaman dasar itu selalu muncul. Pertama adalah masalah ideologi dan orientasi pers mahasiswa. Dari nama pun itu sudah jelas pers mahasiswa tidak lepas untuk membela sisi kemanusiaan, keadilan, dan mereka yang tak bisa bersuara. Kedua, indikasi pragmatisme dan elitisme yang selalu dibicarakan. Pers mahasiswa yang selalu terjebak dalam rutinitas dan formalitas sehingga jauh dari ideologi. Yang terakhir adalah generasi ahistoris. Masalah yang sangat dasar membuat pers mahasiswa selalu bertanya siapa dirinya dan untuk apa ber-PPMI. Dan parahnya lagi pertanyaan seperti itu turun temurun dari generasi ke generasi. Padahal ada tradisi yang melekat di dalam PPMI. Memang tiap generasi punya cara tersendiri tapi cara itu akan sulit jika buta akan sejarah yang ada.

Ketika berbicara tentang PPMI, tak luput juga berbicara tentang tugas dan peran Sekretaris Jenderal (Sekjend) yang mempunyai tugas suci dalam memimpin PPMI. Tak banyak pembahasan tentang peran Sekjend, karena memang sudah dijelaskan di AD/ART PPMI. Tugas sekjend pada AD/ART hanya melaksanakan hasil kongres, membangun hubungan dengan berbagai pihak yang sevisi, dan mengadakan rapat kepengurusan. Memang tugas sekjend secara struktural sudah diatur dalam AD/ART, namun tugas secara kultural tidak diatur sama sekali. Seorang sekjend harus mampu menjalin hubungan baik dengan LPM yang ada di kotanya. Yang ditekankan disini lebih ke hubungan baik antar semua LPM yang ada di kotanya dengan berbagai macam sudut pandang dan kultur. Sekjend dituntut untuk menyatukan semua LPM dengan pola pikir yang berbeda-beda.

Dari situ pengurus PPMI diharuskan membentuk kultur tersendiri untuk menyatukan LPM. Misal pada beberapa periode sebelumnya awak-awak LPM di Jember didominasi oleh orang yang menggemari warung kopi. Kebetulan juga jarak antar LPM di Jember juga tidak terlalu jauh dan punya tempat jujukan warung kopi yang sama. Hal itu juga membuat awak antar LPM lebih sering bertemu meskipun tanpa direncanakan. Pola komunikasi PPMI Jember berjalan melalui budaya ngopi yang diciptakan dari kegemaran yang sering dilakukan awak-awak LPM di Jember.

Kultur dari kesamaan kegemaran awak-awak LPM adalah jalan yang paling simpel untuk menyatukan LPM. Tiap kota bisa dipastikan memiliki kultur yang berbeda meskipun ada juga beberapa yang sama terkait kondisi geografis dan budaya derahnya masing-masing. Ketika kultur bersama sudah mulai terbentuk tidaklah sulit untuk berjejaring dan saling menguatkan yang merupakan jargon dari PPMI.

Adanya PPMI juga atas dasar kebutuhan bersama. Kemandirian LPM yang menjadi titik berat adanya PPMI. Lahirnya PPMI pun atas dasar LPM yang penuh dengan kekurangan dan juga sebagai wadah pengawalan isu pers mahasiswa. Jika LPM dirasa sudah cukup mandiri dalam hal asupan materi, penanganan masalah, pembredelan, pembekuan, intimidasi dll maka adanya PPMI tidak dibutuhkan. Jika masih terulang lagi pertanyaan-pertanyaan seperti nilai tawar atau kontribusi PPMI silahkan bercermin dulu lalu benturkan pertanyaan di atas ke diri sendiri.

Perlu dipahami juga sistem yang digunakan PPMI adalah bottom up. Penggunaan sistem tersebut bukan tanpa alasan. Karena semua kerja PPMI berawal dari kebutuhan bersama LPM. Bukan seperti organisasi pada umumnya yang menjadikan ketua sebaga pemegang kebijakan tertinggi. Kekuatan PPMI berasal dari bawah. Semua pengambilan keputusan atau apapun yang dilakukan oleh PPMI harus berdasarkan kesepakatan anggota yaitu LPM.

Dalam buku putih PPMI pun sudah dijelaskan kenapa lebih memilih bottom up yang kultural daripada top down yang struktural. Karena struktural dianggap sebagai relasi kekuasaan bukan pada hubungan persaudaraan dan solidaritas. Organisasi struktural juga rawan ditunggangi kepentingan politik. PPMI adalah organisasi yang mewadahi pers mahasiswa, bukan organisasi yang mempunyai misi politik kepentingan tertentu. PPMI harus menjaga dan merawat idealismenya dengan kesadaran bahwa posisinya adalah sebagai media pengawalan isu.

LPM dituntut aktif untuk menyikapi suatu isu ataupun permasalahannya dan didiskusikan bersama. Toh juga nanti dalam eksekusinya dikerjakan pengurus bersama anggota. Pengurus PPMI berasal dari LPM dan anggotanya pun LPM sendiri. PPMI berjalan ketika LPM mau berjejaring. Karena dari beberapa LPM yang berjejaring itulah yang disebut PPMI. Mari berjejaring dan saling menguatkan !!!.

Kategori
Diskusi

Bagaimana Baiknya Watchdog

Label media alternatif yang disandang Pers Mahasiswa (Persma), tidak sedikit menemui kegelisahan pada perencanaan segmentasi pembaca. Adanya lingkaran setan –dikelola dikonsumsi sendiri- masih disugesti akan membawa kebangkrutan Persma dalam menyebarkan wacana kritis. Kebangkrutan yang mana? bangkrut yang dimaksud yaitu distribusi produk masih sekitaran itu-itu saja, internal Persma dan kalau beruntung bisa dikonsumsi mahasiswa seantero kampus tempat lembaga pers tersebut bernaung.

Alhasil wacana media alternatif tidak dapat dipahami sebagai alat perjuangan atau kontrol sosial. Melainkan suara kaum konservatif yang tersingkir dari perdebatan media umum yang begitu banyak jumlahnya.

Parahnya, apabila Persma mengamini bahwa dirinya bangkrut dan tidak bisa keluar dari lingkaran setan tersebut maka jalan terbaik adalah ‘berdamai dengan keadaan’. Agar pembacanya meluas, tidak ada cara lain selain berjalan beriringan dengan industri media –mutung sebagai alih-alih berdamai . Agar wacana kritis yang dihasilkan dapat sampai ke pembaca yang cakupannya lebih luas, minimal menyaingi separuh dari total pembaca media umum (lokal) perharinya.

Muncul lah keinginan bertubi-tubi seperti, kemandirian dana –lah, membentuk yayasan –lah, membuat kantor –lah, semuanya berakar pada membadanhukumkan Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia (PPMI).

Saya mungkin akan menganggap tawaran Mas Muadz sebagai angin lalu. Tapi saya rasa lebih ber-faedah ketika tulisan yang kadung dibaca lebih baik diperdebatkan secara sehat.

Dalam beberapa hal, tawaran perlindungan hukum ini lebih sejalan dengan pemikiran pragmatisme dibanding teori. Seseorang mungkin membayangkan bahwa legitimasi hukum akan mengantarkan Persma kepada tameng besar yang akan melindungi segala bentuk sengketa pers. Meski tidak dalam hal kebenaran-loyalitas-independensi. Karena pada dasarnya media alternatif dibentuk dalam menjalankan peran anjing penjaga, serta memihak –bukan senantiasa pihak yang benar dan menang di tempat publik.

Tiga Poin Dasar yang Dianut Persma

Anggap saja Persma sudah mapan dalam hal administrasi dan punya peluang besar menjalin relasi sponsor atau founding. Dalam hal kebenaran, apakah dapat menyajikan tanpa pledoi bahwa Persma sekalipun harus menulis kebenaran meski sulit.

Keberanaran tak jauh dengan kejujuran, karena hasrat ini ada sejak manusia dilahirkan. Tetapi konsktruksi diluar dirinya bergesekan dengan hasrat ini. Penyajian informasi bukan sekadar pemungutan fakta-fakta yang berserakan lalu membungkusnya menjadi sebuah cerita.

Dalam buku Bill Kovach dan Tom Rosensteil, Walter Lippman menggunkan istilah kebenaran dan berita yang bisa saling dipertukarkan. Namun pada 1992 dalam Public Opinion, ia menulis “Berita dan kebenaran bukanlah hal yang sama, fungsi berita adalah menandai suatu peristiwa,” atau membuat orang sadar akan hal itu. “Fungsi kebenaran adalah menerangi fakta tersebunyi, menghubungkannya satu sama lain, dan membuat sebuah gambaran realitas yang dari sini orang bisa bertindak.”

Lalu bagaimana hasrat jujur ini terbentur oleh founding yang kadung dijalin? Meggie Gallagher mengatakan bahwa menjaga jarak dengan faksi menjadi sangat penting. Dalam buku Sembilan Elemen Jurnalisme, Gallagher mengungkapkan, “saya rasa hal ini berkaitan dengan kepercayaan mendasar saya bahwa ada hubungan anatara jurnalisme dan persepsi seoarang akan kebenaran,” selanjutnya, “namun dengan loyal pada sebuah partai politik, seseorang atau faksi , Anda tak punya komitmen untuk berbicara kebenaran kepada orang-orang yang menjadi audiens”.

Kemudian kepada siapa wartawan bekerja? Pertanyaan tersebut subjekif ketika dihadapkan pada profesi wartawan profesional. Kerena wartawan profesional diberikan wewenang sesuai dengan kemauan perusahaan medianya dan redaktur yang menyaring kerja wartawan.

Kesetiaan kepada warga,  merupakan makna dari yang sering kita sebut sebagai independensi jurnalistik. Sering kita maknai sebagai ketidakterikatan, tidak berat sebelah. Masih di buku Kovach, survei tentang nilai nilai jurnalisme pada 1999, yang dilakukan Pew Research center For The People and The Press and Committe Concerned Journalist, lebih dari 80 persen responden menempatkan “kewajiban pertama adalah kepada pembaca-pendengar-pemirsa.”

Namun istilah-istilah itu disadari terbatas dengan norma-norma tertentu, norma yang disinggung Gallagher diatas. Hal itu memang dianggap wajar dikalangan wartawan, namun konsep kejujuran yang dibangun melalui laku wartawan masih terlalu kabur. Apalagi Persma, sok membadanhukumkan.

Kovach menuliskan yang dialami Maggie Gallagher dan beberapa temanya yang kuliah di Yale University. Mereka capek dengan yang mereka anggap kemapanan harian Yale Daily News, yang selalu mencerminkan pandangan pejabat universitas dan sebagian besar lembaga kemahasiswaan disana.

Lima belas tahun berikutnya, Saat kariernya beranjak naik hingga jadi kolumnis untuk Universal Press Syndicate dan harian New York Post, ia mengatakan kepada kami dalam sebuah forum Committee of Concerned Journalist, bahwa pengalamannya selalu membawakannya kembali pada kata-kata yang terpampang di slogan koran kampus itu “Jurnalisme dengan Sikap.”

Dengan kata lain independensi Persma seolah-olah berpihak pada perlawanan kaum yang tertindas. Sebagai Persma yang ‘mapan’, Persma akan tetap mengupayakan menjadi media alternatif dan mendahulukan kepentingan publik diatas segalanya sebagai ‘sikap’. Namun sebuah khayali bahwa kebiasaan Persma yang sudah mapan dengan gelontoran dana tidak ada pengaruh dalam kerja jurnalismenya. Seolah-olah alternatif, tetap saja Persma akan bersikap pada yang memberi kemapanan.

Refleksi Membadanhukumkan PPMI

Bagaimana dengan Badan Hukum? Masih mengupayakan terlaksana? Seharusnya wacana ini selesai ditataran kota. Sebagai upaya tidak memutus wacana ke-PPMI-an, serta merawat ingatan atas sejarah yang telah terbentuk.

Mugkin bisa melalui meja warung kopi atau silahkan membuka arsip PPMI, pada selebaran dengan judul ‘Serat Merah Putih #edisi April 2013’. Disitu tertulis bagaimana kiranya PPMI kota Jember bersikap atas wacana Badan Hukum PPMI, melalui serangkaian acara Nasional dintaranya Kongres XI Tulungagung dan Mukernas IX Surabaya. Jika tidak menemukan berkas yang saya maksud, baiklah saya akan membagikannya.

Wacana membadanhukumkan PPMI hadir jauh sebelum munculnya riset kekerasan persma. Wacana badan hukum memunculkan stigma positif karena ketika sudah berbadan hukum akan ada jalan hukum yang menunutun penyelesaian kasus sengketa, Persma akan lebih kuat dengan itu. Namun beberapa kota menyatakan sikapnya menentang pembadanhukuman.

Salah satunya PPMI Jember, pada acara Mukernas IX PPMI di IAIN Sunan Ampel Surabaya (21/9/1012) Badan Pengurus Nasional Advokasi(BPN-A) memaparkan program kerjanya. Pembahasan yang berlarut-larut adalah membadanhukumkan PPMI.

BPN-A menjelaskan beberapa poin alasan kenapa membadanhukumkan PPMI, 1) Membadanhukumkan PPMI adalah rekomendasi dari Kongres XI PPMI di Tulungagung yang harus dilaksanakan. 2) PPMI merupakan organisasi dengan kas yang selalu kosong. Ketika PPMI berbadan hukum maka akan dengan mudah menjalin kerjasama dengan sponsor dan founding. PPMI akan kaya ! 3) Advokasi terhadap permasalahan persma akan lebih mudah, karena PPMI mempunyai legalitas hukum.

Begitu kiranya alasan wacana PPMI harus berbadan hukum. Malam itu perdebatan alot terjadi pada poin pembadanhukuman PPMI, beberapa peserta forum mengamini membadan hukumkanan sebelum ketokan “sepakat” Jember memberikan pandangan  perserta forum agar tidak begitu mudahnya tergiur tawaran badan hukum.

Menaggapi BPN-A, Pertama Jember mengklarifikasi bahwa rekomendasi badan hukum yang tercetus di Tulungagung hanya bersifat rekomendasi. Artinya ‘bisa dilaksanakan atau tidak dilaksakan’ oleh pengurus nasional. Karena kesepakatan forum itu adalah segala bentuk rekomendasi yang diusulkan kota tidak untuk dipermasalahkan melalui proses pembahasan, melainkan hanya ditampung.

Dari situ BPN-A bukan menjelaskan secara detail mengapa ada program membadanhukumkan PPMI, bagaimana nantinya proses menuju badan hukum, persyaratan apa saja yang harus dilakukan untuk berbadan hukum, apakah dampak badan hukum terhadap pola kerja PPMI Nasional-PPMI kota-LPM, dll kepada peserta. Selain hanya menakut-nakuti hasil kesepakatan Kongres XI Tulungagung yang sudah ‘disahkan’ tidak dapat dirubah.

Kedua dalam pendanaan, selama ini PPMI mengelola badan usaha mandiri melalui kerjasama dengan sponsor atau instansi yang tidak bertentangan dengan AD/ART. Namun pengurus nasional saat itu menginginkan memperoleh founding.

Dalam hal founding bentuk kerjasama yang saling menguntungkan akan didapat PPMI ketika memperoleh founding, seperti fasilitas riset yang secara penuh didanai founding. Iming-iming gelontoran dana yang pada saat itu dominan muncul ketika PPMI ingin mendapatkan founding. Efeknya pandangan dari Jember membadanhukumkan PPMI merupakan upaya praktis demi mendapat dana dari founding, karena BPN-A seringkali mencekoki fantasi kucuran dana.

Ketiga ketika PPMI berbadan hukum tidak akan jauh dalam proses advokasi. Hanya saja PPMI akan memiliki kewenangan mendapat data atau melakukan uji materi. Tentu saja yang diinginkan dari badan hukum dalam hal advokasi adalah pelebaran kekuasaan PPMI.

Ketika ujung permasalahan adalah LPM yang tidak mematuhi kode etik, maka sanksi yang didapat LPM bisa bergantung bagaimana mediator dan penggugat. Bisa saja melakukan hak jawab, memecat anggota LPM, membekukan LPM, dll. Lantas tidak ada bedanya mediasi yang dilakukan AJI atau Dewan Pers. Bisa dikatakan bahwa untuk memperkecil permasalahan kerja jurnalistik adalah dengan memperbanyak pelatihan.

Perdebatan panjang terjadi antara delegasi Jember dengan BPN-A. Lagi-lagi Jember masih marasa penjelasan BPN-A tidak mengarah pada petanyaan bagaimana nantinya proses menuju badan hukum, persyaratan apa saja yang harus dilakukan untuk berbadan hukum, apakah dampak badan hukum terhadap pola kerja PPMI Nasional-PPMI kota-LPM.

Kemudian pimpinan sidang menawarkan kepada forum, apakah forum menyetujui program kerja badan hukum. Suara dominan adalah ‘tidak’. Palu tidak segera diketok, malah menawarkan ulang program kerja terbut disetujui atau tidak. Alhasil tetap, forum dominan dengan ‘tidak’.

Kali ini pemimpin sidang mengetok palu, sebagai tanda disahkannya putusan badan hukum tidak disepakati forum. Lalu ada orang dengan cekatan mengambil microphone untuk menyatakan akan melakukan peninjauan kembali (PK), secara bersamaan juga dia melakukan rasionalisasi kenapa butuh adanya badan hukum.

Forum ramai dan mempertanyakan mekanisme PK, peserta menginiginkan pemimpin sidang menawarkan kepada forum apakah PK diterima peserta forum. Kemudian pemimpin sidang menawarkan kepada forum, ternyata sebagian besar tidak menyetujui, akan tetapi pemimpin sidang mengetuk palu sidang dan mengatakan PK disetujui.

Kemudian Dewan Etik Nasional PPMI yang mengajukan PK tadi meminta untuk merasionalkan kembali kepada yang tidak sepakat dengan badan hukum BPN-A. Bermodalkan selembar catatan kecil delegasi Jember mempresentasikan di depan peserta forum.

Setelah itu, Sekjend Nasional mengambil microphone dan memberikan rasionalisasinya kepada forum. Tidak jauh-jauh rasionalisasi itu menyinggung betapa pentingnya PPMI dibadanhukumkan. Dengan power yang dimiliki Sekjend peserta forum meng’iya’kan program kerja BPN-A setelah pemimpin sidang menawarkan ulang kepada forum.

Jember berunding, bahwa sengotot apapun Jember meminta penjelasan dan tidak menyepakati program kerja itu tetap saja tidak ada gunanya. Barangkali akan muncul ribuan PK, atau yang paling buruk diadakannya voting. Atas dasar kedewasaan berpikir, Jember memutuskan walk out dari forum.

Tidak berhenti sampai disitu, sikap Jember berlanjut dengan mendokumentasikan hasil forum nasional di media Serat Merah Putih edisi April 2013. Pada kondisi tertentu, peserta forum butuh refleksi atas apa yang terjadi pada forum nasional tersebut. Melalui tulisan, perserta yang tadinya menyetujui badan hukum PPMI akan lebih mencerna betapa politisnya tawaran badan hukum itu. Tidak ada indahnya berlindung dibalik kekuasaan.

Badan hukum akan memicu regulasi yang ber-sentral pada satu tubuh, yaitu PPMI.  Justru mengkaburkar sistem bottom to up, LPM yang sejatinya PPMI itu sendiri saling mempunyai tubuh masing-masing. Up to bottom kira-kira yang bakal terjadi.[]

Kategori
Diskusi

Gorontalo: Jalan Sunyi dan Sikap yang Dipilih

Menjelang siang, peserta yang tadinya berada di dalam ruangan Auditorium Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Tadulako, mulai keluar satu demi satu bosan menunggu acara tak kunjung dibuka. Yang hadir pada saat itu pun terhitung sedikit mengingat stereotip terhadap kegiatan skala nasional yang penuh gegap gempita dan keramaian.

Di meja registrasi panitia, peserta berdatangan mengisi nama mereka dan mengambil dus kue. Tampaknya peserta seminar ini bukan hanya dari kalangan pers mahasiswa, ada juga yang dari Himpunan Mahasiswa Jurusan setempat. Herannya, kursi yang disediakan tak kunjung terisi penuh. Padahal Palu yang sebagai tuan rumah kegiatan ini mempunyai 15 Lembaga Pers Mahasiswa dan jika 10 orang saja yang hadir dari tiap-tiap LPM kegiatan ini bisa ramai. Namun belakangan Apriawan, Sekjend DK Palu mengaku LPM yang aktif hanya 5, tapi kan tetap saja, ah sudahlah.

Ekspektasi Kami

Dies Natalis yang menjadi salah satu agenda berkumpulnya Lembaga Pers Mahasiswa seluruh Indonesia menjadi sama sekali tidak menarik, khususnya seperti kami yang dari Gorontalo yang masih menaruh ekspektasi tinggi terhadap satu-satunya organisasi pers mahasiswa berskala nasional ini. Sebelumnya kami, lebih tepatnya saya dan Elias kawan saya, pernah ‘mewakili’ Gorontalo di Dies Natalis yang ke-23 di Semarang. Dan seorang kawan perempuan, Okta juga April kemarin berangkat seorang diri ke Bali untuk mengikuti Mukernas ke-11. Kali ini kami tak tanggung-tanggung datang 10 orang. Perlu dicatat, Gorontalo sampai saat ini belum tergabung secara resmi (kota/dewan kota) dengan PPMI.

Ekspektasi kami sebenarnya tidak ada hubungannya dengan ramai atau meriahnya sebuah kegiatan yang diadakan oleh PPMI. Bukan itu. Kami justru mengharapkan di setiap kegiatan PPMI ada ‘kesenyapan’, sebagaimana jargon yang kita sering dengar bahwa pers mahasiswa itu adalah jalan sunyi.

Widyanuari Eko Putra, seorang juri pada lomba essay yang diadakan pada momen Dies Natalis di Semarang, yang pada waktu itu saya ikut dan kebetulan secara mengejutkan saya terpilih menjadi juara 1 di tema “Mahasiswa Bangkit dan Melawan Pembungkaman”, menilai banyak peserta lomba yang menganggap menulis dengan tema itu adalah ‘mimbar pidato’ akibatnya terlalu “berisik” dan “berteriak”. Satu hal yang menegaskan penilain saya terhadap kekhasan pers mahasiswa bahwa gerakannya harus mulus nan elegan dengan cara menulis, berbeda dengan kebanyakan organisasi mahasiswa lainnya yang selalu mengandalkan aksi lapangan.

Bahkan di buku putihnya PPMI “Menapak Jejak Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia: Bila Mulutmu Disumpal Angkatlah Penamu!”, diceritakan pada saat semua elemen mahasiswa turun ke jalan ingin merobohkan rezim Orde Baru, beberapa pers mahasiswa rela diejek karena masih saja membandel dan menaruh sikap skeptis terhadap gerakan itu. Sekilas, buku ini dihadiahkan kepada kami untuk dibawa pulang ke Gorontalo oleh bang Ivan, Koordinator Wilayah 5 saat itu.

Cocok dengan dua buku karya om Bill Kovach dan om Tom Rosentiel, “Elemen-elemen Jurnalisme” dan “Blur”, selalu mengulang-ngulang seorang jurnalis harus independen agar diperhitungkan. Karena hanya dengan cara ini kita bisa berbeda dengan yang lain, sebut saja berbeda dengan organisasi mahasiwa lain. Kita mengemban tugas selayaknya jurnalis yang menjadi pencerah di tengah keburaman. Saat semua rajin demo namun masalah tak kelar-kelar, kita seperti pahlawan mengungkap suatu kasus lewat berita investigasi, di saat banyak mahasiswa zaman now yang tak peduli lagi dengan kaum terpinggirkan, kita menulis feature tentang mereka, atau paling tidak dengan straight news kita selalu dipanggil untuk sekedar meliput kegiatan.

Perdebatan telah selesai tentang bagaimana arah gerak pers mahasiswa ‘yang baik dan benar’ itu, namun kembali diperdebatkan di kalangan kita pers mahasiswa. Masalahnya banyak yang masih gagap menyebut diri kita sebagai apa, aktivis pers mahasiswa? wartawan kampus? pegiat pers mahasiswa? jurnalis kampus? seperti ragu menyandang identitas jurnalis. Persoalannya terlampau tak penting, yakni karena kita masih di kampus, kita tak dipayungi UU Pers, serta kita tak profesional karena tak digaji. Sungguh kawan, jurnalisme itu luhur dan keluhurannya tak bisa kita batasi dengan persoalan gaji dan UU yang cacat itu. Sekali kita mematuhi prinsip-prinsip jurnalisme, kita adalah jurnalis.

Kewajiban pertama jurnalime adalah kebenaran, loyalitas pertama jurnalisme adalah kepada warga, esensi jurnalisme adalah disiplin verifikasi, jurnalis harus tetap independen dari pihak yang mereka liput, jurnalis sebagai pemantau independen terhadap kekuasaan, jurnalisme menyediakan forum bagi kritik atau komentar dari publik, jurnalisme harus berupaya membuat hal yang penting itu menarik dan relevan, jurnalis harus menjaga agar beritanya komprehensif dan proporsional, jurnalis memiliki kewajiban untuk mengikuti suara nurani mereka, warga juga memiliki hak dan tanggung jawab dalam hal-hal yang terkait dengan berita. Itulah 9 tambah 1 elemen-elemen jurnalisme oleh om Kovach dan om Rosenstiel. Dengan ini UU Pers seperti hanya produk zaman batu.

Kemudian hal ini diatur dalam kode etik jurnalistik oleh dewan pers, bahkan salah satu organisasi profesi Aliansi Jurnalis Independen (AJI) misalnya memiliki poin kode etik lebih banyak, bahkan juga kode perilaku. AJI juga bahkan memayungi blogger sebagai anggotanya, syaratnya harus menulis karya jurnalistik 12 kali dalam setahun. Tak ada besaran gaji disebut, tak ada yang mengharuskan berbadan hukum. Yang diharuskan adalah saya, kalian dan kita harus menulis, berkarya!

Apakah kita di organisasi pers mahasiswa (PPMI) ini membahas tuntas hal ini. Alih-alih membahas, kita sadar bahwa masalah kita belum sampai di sana, karena kita sendiri malas berkarya.

Dalam seminar Dies Natalis di Semarang kemarin, ada hal lucu terjadi, peserta entah dari LPM mana mengajukan pertanyaan bernada menuding kepada anggota Dewan Pers yang menjadi pembicara waktu itu, “kenapa kita tidak bisa dipayungi UU Pers?” kira-kira begitulah pertanyaannya, lalu dijawab, “kita memayungi kok, dalam artian ketika kalian ada sengketa pers kami tetap membela, tapi bukan melalui prosedur hukum, atau kalau mau dipaksakan kalian bisa dilindungi secara hukum, tapi pertanyaannya, apakah adik-adik sanggup menjaga frekuensi terbitan?” atau bahasa kasarnya apa yang harus dilindungi?

Sejauh ini yang saya ketahui ada beberapa LPM yang sudah berada di posisi top karena karyanya, Majalah Lentera edisi Salatiga Kota Merah misalnya yang ditarik peredarannya karena berani menulis isu sensitif. Juga LPM-LPM lain yang sempat terdata oleh BP Litbang PPMI dari Februari tahun kemarin. Menurut saya, kita bisa kuat hanya dengan karya. Namun di setiap pertemuan nasional hal ini jarang sekali kita bahas secara serius. Bahkan saya sempat berpikir mungkin alasan inilah yang membuat beberapa LPM yang terhitung ‘mapan’ enggan bergabung dengan PPMI.

Itulah sejumlah ekspektasi kami tentang PPMI, dan seperti fenomena yang lazim terjadi, ekspektasi tidak sesuai dengan kenyataan. Apalagi di Dies Natalis di Palu kemarin, ekspektasi kami hancur oleh kejanggalan-kejanggalan yang seharusnya tidak terjadi di hajatan PPMI. Mulai dari Pembicara Seminar yang terkesan gak nyambung dan merapuhkan independensi, agenda yang berantakan, dan adanya aksi lapangan di momen sumpah pemuda.

Cerita Kami di Palu

Hari pertama seperti yang saya ceritakan di atas, telah terlihat ketidaksiapan panitia dan tuan rumah. Maaf bukan panitia yang harus disalahkan, tapi kita semua yang merasa bertanggung jawab, mengingat kerja kita adalah kerja kolektif. Di sisi lain kami dari Gorontalo harus berterima kasih kepada panitia karena bersedia menampung 5 orang dari kami yang tidak membayar uang registrasi.

Selain ketidaksiapan panitia dalam hal teknis kegiatan yang bisa dimaklumi itu, ada hal yang mengganggu ekspektasi kami, yakni pembicara yang gak nyambung dengan tema kegiatan. Staf Ahli Kepresidenan yang berbicara bahwa pers mahasiswa harus bermitra agar mampu bersaing, Direktur Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Sulteng yang tentu saja berbicara tentang persoalan lingkungan hidup, kecuali pembicara yang dari Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFEnet) yang berbicara tentang ancaman demokrasi karena pasal karet pencemaran nama baik dan UU ITE. Yang paling susah dicerna adalah bedah buku karangan Wakil Bupati Trenggalek, yang berjudul, “Bung Karno Menerjemahkan Al-Quran” , what the…?

Kata teman saya usai kegiatan, “tidak apa-apa, besok acara kerennya ini”. Yang dimaksud acara keren itu karena ada kelas jurnalisme investigasi dari Wahyu Dhyatmika Komang (Tempo), dan kelas pengembangan SDM Persma dari Agung Sedayu (Tempo/FAA PPMI). Tapi ternyata itu tidak terjadi. Kelas setelah seminar pun tidak terlaksana, karena seminar sendiri baru dimulai siang dan selesai sore, tak perlu ditanya paginya ngapain, yah menunggu pejabat buat membuka acara.

Malamnya kami kembali ke tempat nginap di Disporda Palu, di sana kami diajak ngumpul dan diskusi. Bahasan malam itu salah satunya mencari solusi dari kosongnya agenda hari kedua dan ketiga. Sekjend Nasional, Sekjend DK Palu dan panitia menyampaikan kepada forum usulan agenda hari kedua adalah berkunjung ke LPM-LPM di Palu dan tempat-tempat wisata, hari ketiga adalah aksi mengingat momen Hari Sumpah Pemuda juga agar ekstitensi PPMI bisa muncul ke permukaan.

Masalah-masalah teknis pun dibahas satu-persatu. Di tengah pembahasan ini saya sendiri merasa ganjil dengan agenda-agenda yang ditawarkan. Untuk apa kunjungan ke LPM-LPM sedangkan mereka semestinya ada dengan kita sekarang? Apalagi ke tempat-tempat wisata, yang seharusnya menjadi agenda terakhir setelah agenda-agenda penting dipikirkan dan terlaksana? Lebih-lebih aksi, haruskah itu? Perdebatan batin muncul antara mengkritisi demi kebaikan bersama atau konformis mengingat kondisi fisik dan psikis panitia yang ‘kelelahan’.

Saya lalu menanyakan semua itu lantas memberi usulan, sembari terus menekankan bahwa ini hanyalah usulan yang bisa diterima ataupun tidak. Saya menawarkan untuk mengganti agenda ‘jalan-jalan’ dengan liputan bersama di salah satu tempat menarik di Palu, entah topik liputannya lingkungan atau kemanusiaan, yang jelas meliput. Usulan saya ini tidak ditolak juga tidak diiyakan saat itu, hanya anggukan dan senyuman yang saya terima. Besoknya baru saya tahu, ternyata usul saya ditolak.

Mengenai agenda hari ketiga yang membuat ubun-ubun saya berurat, sakit kepala, pasalnya untuk mengkritisi ini saya perlu solusi. Setelah diskusi, saya mengumpulkan teman-teman saya dari Gorontalo, kami pun mengadakan diskusi tertutup ala-ala perkumpulan rahasia di salah satu teras rumah panggung Disporda yang gelap dan berjarak dengan panitia dan peserta lain. Kami saling mencurahkan isi hati di situ, suara kami nyaris berbisik agar tidak terdengar oleh orang lain, kami kecewa dengan agenda jalan-jalan dan aksi itu. Arif, Ketua LPM Bintang, Bina Taruna Gorontalo, orang yang paling semangat mengikuti kegiatan ini berubah menjadi orang paling kecewa. Dia menawarkan solusi sebagai pengganti aksi dengan membuat proyek antologi tulisan sesuai tema Dies Natalis, masing-masing perwakilan kota menyumbang tulisan lalu dicetak. Namun dia terlihat pesimis dan hanya bisa menghembuskan napas mengingat aksi telah disepakati oleh peserta lain.

Kami pun tak putus asa, setelah diskusi rahasia itu bubar, malam mulai larut, kami rencananya akan ‘menculik’ peserta lain untuk meminta pendapatnya dan ikut menolak bersama kami. Saya lalu menemui Audi, Sekjend DK Tulungagung dan Ade Sekjend DK Malang. Audi ternyata juga kurang bersimpati dengan aksi itu, “Saya tidak biasa orasi masalahnya mas,” dengan logat medoknya. Namun dia memilih mengikuti saja dengan anggapan aksi dengan mungkin kultur di Palu atau Sulawesi pada umumnya. Cepat saja saya membantahnya, saya katakan ini bukan kultur Palu atau Sulawesi, ini bentuk kekeliruan yang harus diperbaiki, saya berpendapat mumpung pers mahasiswa se-Indonesia berkumpul, kita harus membuat tulisan bersama daripada harus aksi. Ade malah setuju, “Boleh-boleh saja, asalkan strateginya jelas dan terukur,” kira-kira begitulah katanya. Kesimpulannya kami hanya angguk-angguk menyimpan tanya, menyerah pada kondisi. Konsolidasi gagal.

Hari kedua dan ketiga semangat saya dan kawan-kawan menurun drastis, terbukti bus beserta rombongan harus menunggu kami yang baru mandi jam 10 pagi dengan satu kamar mandi, akhirnya dua orang dari kami ketinggalan bus. Panitia hanya bisa mengomel dan geleng-geleng kepala. Maafkan kami panitia.

Kategori
Diskusi

Sebuah Tawaran Langkah

Euforia gerakan mahasiswa 98 sudah tak berguna. Satu-satunya hal yang tersisa adalah semangatnya. Bagaikan sebuah siklus, periode puncak gerakan mahasiswa sudah mencapai klimaksnya. Hal tersebut tidak bisa diulang dengan cara yang sama. Gerakan mahasiswa mengarah pada titik keseimbangan yang baru. Sebuah titik yang saat ini marak diperdebatkan: bagaimana cara yang tepat untuk melakukan perlawanan?

Pers Mahasiswa (Persma) juga dilanda problema, persoalan arah masih saja dipertanyakan. Sejak era informasi terbuka dimulai, Persma seolah kehilangan tajinya. Apa yang salah? Bukan karena media pesma yang kurang tajam, tapi karena zaman berubah sedangkan Persma tidak.

Sumber Daya Manusia yang dirotasi cepat setahun sekali memaksa Persma harus berkutat pada masalah yang sama. Meskipun ada kemajuan, tapi perubahannya lamban. Disamping itu, Persma tidak mempunyai role model untuk diikuti. Kadang awak Persma sering mengkritik media mainstream, tapi selalu mengundang mereka membawakan materi pada berbagai kegiatan pelatihan. Mengkritik media mainstream, tapi bangga ketika setelah sarjana bekerja disana.

Oleh karena itu, butuh cara yang tidak biasa untuk mengobati kangker di tubuh gerakan mahasiswa, khususnya Persma. Dari sisi internal, perhatian persma harus difokuskan pada masalah-masalah yang baru, diantaranya:

  • Kesenjangan kualitas karya antar Lembaga Pers Mahasiswa (LPM)

Sudah menjadi rahasia umum, beberapa LPM di Kota yang sama, memiliki kualitas karya yang berbeda, bahkan perbedaanya cukup jauh. Perbedaan tersebut terjadi karena kesenjangan sumber daya manusianya (SDM) dan jumlah anggaran organisasinya.

  • Perlindungan hukum Persma

Hingga detik ini, Persma belum diakui oleh Dewan Pers karena tidak tercover Undang-undang Perlindungan Pers. Alasannya karena Persma tidak berbadan hukum, tidak rutin dan konsisten terbit, dan tidak memiliki struktur wartawan yang terpusat.

  • Dampak media Persma kepada masyarakat

Kebanyakan LPM masih menargetkan pembaca medianya di kandang sendiri, yaitu mahasiswa. Hanya sedikit sekali yang menyasar masyarakat umum sebagai pembaca, jika ada, baru pada tingkat regional, belum nasional.

 

Selain itu Persma juga perlu konsisten memperhatikan masalah klasik yang sangat berpengaruh secara langsung terhadap kinerja Persma, diantaranya:

  • Kemandirian dana

Untuk jaga-jaga dari intervensi birokrasi yang berujung pada pemangkasan anggaran lembaga, Persma harus punya aliran dana lain sebagai biaya operasional produksi.

  • Kurikulum pengembangan SDM

Merekrut anggota yang berpotensi, meningkatkan skill, dan menjaga kualitasnya adalah aspek penting dalam berorganisasi.

  • Penguatan Kepemimpinan PPMI

Salah satu cara untuk menguatkan kepengurusan PPMI terhadap LPM adalah dengan membuat sesuatu yang tidak bisa dilakukan oleh LPM.

 

Berbagai solusi yang mungkin ditempuh antara lain :

  • Membuat Standar Operasional Prosedur (SOP) produk Persma yang diperbaharui secara periodik
  • SOP penting untuk mengukur kualitas standar jurnalis Persma berdasarkan riset, serta untuk menjaga konsistensi kualitas dari sebuah karya.
  • Membedakan PPMI sebagai organisasi dan media nasional. Persma butuh brand media yang baru untuk menyebarluaskan informasi dengan target pembaca masyarakat umum secara nasional.
  • Selain persmahasiswa.id, sepertinya Persma butuh kanal baru yang dikelola secara profesional, khusus membahas isu-isu tertentu secara konsisten dan kontinyu.
  • Membentuk yayasan atau perusahaan yang memiliki visi jangka panjang, untuk menaungi PPMI

 

Dalam buku berjudul I am Marketeers karya MarkPlus, Inc disebutkan bahwa kemajuan sebuah organisasi merupakan sinergitas antara generasi tua yang banyak pengalaman dan generasi muda yang inovatif.

Tawaran langkahnya sebagai berikut:

  • Membuat Business Model Canvas untuk Persma agar menjamin suistaiability. Mungkin sulit menjelaskan konsep bisnis kepada mahasiswa yang terlalu idealis, tapi softwere microsoft word yang yang tiap hari kau jadikan alat perjuangan adalah bentuk dari bisnis Microsoft Corporation.
  • Membuat kantor berita, dimana semua hasil liputan Persma dihimpun di satu database secara real time, kemudian setiap LPM bisa saling bertukar informasi untuk diberitakan di Media LPM masing-masing. Menyaingi media konvensional berarti harus sedikit menduplikasi sistem pendistribusian informasi mereka.
  • Memecahkan masalah Persma dengan teknologi startup. Misalnya PPMI membuat aplikasi sejenis Medium, Tumblr, atau Wattpad, dimana kontributornya khusus pers mahasiswa.

Mungkin butuh modal, pikiran, dan tenaga yang lumayan, tapi percaya saja, ini adalah solusi revolusioner yang sangat jitu. Beberapa hal terdengar ngawur, tapi beberapa hal terdengar masuk akal dan bisa diterapkan, bukan?

Kategori
Diskusi

Kenapa Masih Bertanya Arah Gerak Pers Mahasiswa?

Kurang elok mungkin ketika orang lain bertanya, kita justru menimpalinya dengan pertanyaan lagi. Yang justru, akan menimbulkan pertanyaan-pertanyaan lain tak berujung. Kalau guru SMP saya tahu tentang ini, pasti dia mengatai muridnya ini sebagai golongan bani israil. Banyak bertanya, parahnya, berakhir dengan tidak melakukan suatu apapun dari bahasan tersebut. Maklum, tidak ada mata pelajaran Materialisme Dialektika Historis (MDH) di SMP. Banyak bertanya seringkali menjadi hal yang tabu kala itu. Meskipun pada sampul buku tulis berwarna coklat, yang sering saya dan teman-teman gunakan, ada peribahasa legenda: malu bertanya sesat di jalan.

Beda sekolah beda guru. Sebagaimana Rosy yang tidak satu SMP dengan saya, dia terbebaskan dari bayang-bayang tudingan sebagai golongan bani israil karena banyak bertanya. sejak dalam kandungan. Rosy menyodorkan banyak pertanyaan dalam tulisannya, yang tidak menutup kemungkinan juga mewakili pertanyaan Persma lainnya. Bahkan mungkin orang-orang di luar Persma.

Dimulai dari judul berupa kalimat tanya yang mencoba menantang para pembaca sekilas meraba-raba jawabannya. Pada badan tulisan sedikitnya ada sepuluh kalimat yang diakhiri dengan tanda tanya. Jika ada pertanyaan yang tersirat tanpa tanda tanya saya tidak menghitungnya.

Maaf, saya dan Rosy belum saling kenal untuk sekadar tahu apa yang dia pendam dalam hatinya.

“Kenapa hanya antarasulteng.com dan faktasulteng.com yang memberitakan pasca dies natalis PPMI? Ke mana media umum yang lain? Yang menjadi tidak wajar adalah: bagaimana bisa mereka(Staf Ahli Kantor Kepresidenan danWakil Bupati Trenggalek) hadir dalam agenda besar PPMI? Apakah PPMI (atau oknum di dalamnya) memiliki kedekatan dengan politisi tersebut? Kedekatan macam apa, yang membuat Wakil Bupati Trenggalek jauh-jauh datang ke Palu? Lalu seberapa penting buku Bung Karno Menerjemahkan Al Quran, dibedah dalam acara nasional PPMI? Kenapa Bung Karno, kenapa Alquran? Tapi, tidak adakah buku lain yang lebih relevan bagi persma untuk dibedah? Seberapa banyak persma yang tuntas membaca buku putih tersebut? Pers mahasiswa mau ke mana?”

Sebelumnya saya sampaikan dulu bahwa saya tidak bisa menjawab pertanyaan ewuh di atas. Tentu Rosy memuntahkan pertanyaan-pertanyaan ini bukan tanpa dasar. Pertanyaan pertama misal,benar bahwa pada tahun sebelumnya, peringatan Dies Natalis PPMI banyak disoroti media umum. Setidaknya media arus utama sebesar tempo.co turut serta memberitakan Dies Natalis PPMI XXIV yang kala itu membahas tentang pembungkaman terhadap mahasiswa yang banyak terjadi di kampus-kampus. Topik yang secara umum tidak jauh berbeda dengan tahun ini, terkait ancaman demokrasi dan ruang hidup.

Respon terhadap agenda Dies Natalis PPMI XXV terlebih pemberitaan dari faktasulteng.com, tidak hanya oleh Rosy. Jika Rosy menuangkan keresahannya dalam bentuk tulisan dan dibumbui banyak “tanda tanya”, seorang kawan juga mengeluhkan hal serupa. Melalui akun facebooknya dia menulis status yang isinya cukup ngeri bagi saya. Saya enggan menyampaikannya kembali.

Lain lagi di grup ngerumpi Persma tempat saya bersemayam di dalamnya. Seorang personel dalam grup Whatsapp ini lebih menyoroti bahwa tulisan “Pers Mahasiswa Mau Ke Mana?” baiknya hanya konsumsi internal.

Aurat PPMI atau Persma, jangan diumbar-umbar. Buat pelajaran bagus, tapi untuk dipublikasikan secara luas lewat media persmahasiswa.id, rasanya jangan. Kawan saya satu ini dan satunya lagi—yang tiba-tiba muncul di grup, mereka sepakat bahwa persmahasiswa.id lebih berfaedah jika menyuguhkan wacana tandingan. Mengangkat isu penting nan genting di luar isu-isu reaksioner yang banyak disuguhkan media mainstream pada menu sarapan kita sehari-hari.

Sebenarnya, ini bukan kali pertama Persma melakukan autokritik habis-habisan. Dalam kanal ini saja, sedikitnya ada sebelas artikel yang membahas tentang masalah-masalah Persma. Dari masalah laten pengakuan PPMI, menentukan musuh bersama , sampai pengungkapan hasil investigasi doraemon dan koleganya mengenai kebiasaan Persma di bulan Ramadhan.

Bahkan, sekilas bagaimana Persma membangun wacana tandingan sudah sedikit disinggung juga oleh Taufik Nurhidayat dalam tulisan idealisme persma atas nama kebutuhan. Semua disampaikan dengan gayanya masing-masing, ada yang tegas lantang dan lebih banyak lagi yang cengengesan.

Ah, kalau di Jawa teriak jancuk itu kasar kecuali kepada kawan dekat. Kata kawan-kawan di Makassar, teriak sentili kepada orang yang tak dikenal bisa berujung masuk rumah sakit. Mungkin begitu budaya kita. Pura-pura ndak sayang padahal euh yeah-euh yeah di belakang. Pura-pura marah padahal kangen mabuk bareng.

Maka dari itu, barangkali, kita semua mau mengamini bahwa kritik itu tak pandang bulu. Ini tandanya, apa yang dilakukan Persma selama ini (mengritik pemerintah, birokrat kampus dan pihak-pihak yang tidak berperikemanusiaan lainnya) bukan karena Persma benci. Tapi karena sayang. Unch unch…

Sekali lagi, untuk menjawab keresahan kawan tadi mengenai  inklusifnya persmahasiswa.id dengan memuat tulisan macam yang ditulis Rosy. Persma.org memang melawan mainstream media milik suatu organisasi, yang notabene cenderung kehumasan. Alih-alih banyak promosi dan menunjukkan superioritas Pers Mahasiswa yang ngeri itu, justru lebih sering diisi dengan tulisan bernada autokritik. Media ini menjadi ruang diskursus kita. Mengharap diskursus yang kita buat dapat menghasilkan solusi konkret mungkin terlalu muluk-muluk. Tapi demi menjaga nalar kritis, kenapa tidak?

Sudah waktunya mungkin Persma harus lebih inklusif. Bahwa masalah di satu elemen menjadi masalah bersama. Pola ini saya rasa cukup membantu mengenalkan PPMI yang apa adanya. Mengingat semakin banyaknya LPM yang bergabung dan kota-kota yang mendeklarasikan diri menjadi pondasi PPMI di kota-kota. Tidak banyak mungkin, veteran Persma yang rela bicara berbusa-busa menceritakan apa dan bagaimana Persma serta salah satu wadahnya, yaitu PPMI berproses selama ini. Paling tidak, pola terbuka ini bisa jadi dasar yang selaras dengan slogan yang sering kita dengar di kalangan Persma: Mari Berjejaring dan Saling Menguatkan. Masalahku juga masalahmu, dek.

Lebih dari itu, mempertanyakan arah gerak secara terur-terusan mungkin perlu. Karena di tengah samudera, badai bisa datang kapan saja, Tuan dan Puan! Tak perlu munafik bahwa Persma barangkali imannya sedang goyah di tengah samudera yang juga kadangkala menawarkan kenikmatan ini. Tapi, yang jelas, kita sudah harusnya sedari awal menentukan di mana posisi kita.

Bagi saya, frasa Pers Mahasiswa sudah cukup mewakili pertanyaan apa itu Persma? Bagaimana idealisme persma? Kata pertaman, Pers, dengan keseimbangan fungsi-fungsinya terutama sebagai kontrol sosial. Belum lagi, rumusan sembilan elemen jurnalisme. Yang salah duanya saja, membela kebenaran dan menyuarakan yang tidak bisa bersuara yaitu masyarakat. Singkatnya, apabila di tengok dari sisi jurnalisme, seperti apa yang disampaikan Nurfitriani: Jika sudah tahu bahwa esensi jurnalisme adalah pada disiplin verifikasi, mengapa masih mempertanyakan gaya, identitas, ataupun arah pergerakannya? 

Frasa ini dibuntuti dengan kata “Mahasiswa” yang puji tuhan, entah sejak kapan diidam-idamkan sebagai agen perubahan, pemegang tampuk kepimpinan, dan segala bentuk agen itu.

Kategori
Siaran Pers

Sumpah Pemuda: Pers Mahasiswa Keluarkan Tuntutan Terkait Ancaman Demokrasi dan Ruang Hidup

Titik balik keran demokrasi di Indonesia dibuka seluas-luasnya pada saat reformasi 19 tahun silam. Pemerintah mulai belajar untuk terbuka pada rakyat begitu pula rakyat yang mulai belajar memberikan kritikan pada pemerintah. Namun beberapa kasus yang terjadi akhir-akhir ini, menujukkan bahwa pemerintah seolah-olah kembali ke masa orba yang lebih baru lagi. Kasus Dandy Dwi Laksono, kemudian kasus pelarangan peredaran buku “Jokowi Undercover” dan penyerangan LBHI di Jakarta, menjadi rapor merah pemerintah. Belum lagi persoalan tentang ruang hidup yang menimpa para petani Kendeng, kemudian masyarakakat Bali di Teluk Bonoa dan Sunda Wiwitan, Pemerintah terkesan memihak pemodal ketimbang rakyat.

Sejak diberlakukannya UU ITE pada tahun 2008, SAFEnet mencatat telah menjerat 225 kasus, dengan jumlah 177 kasus yang berkasnya lengkap. 15 desember 2016. 65% penguasa, 22% profesional, 1,69% pengusaha, 18,6% warga biasa. Sehingga  seolah-olah UU ITE dijadikan senjata untuk menjerat masyarakat yang menyuarakan aspirasinya

Pembungkaman upaya demokrasi juga menimpa pers sebagai pilar keempat demokrasi. Aliansi Jurnalis Independen (AJI) mencatat selama Januari-Desember 2016 saja, terjadi 78 kasus kekerasan terhadap jurnalis dan 1 kasus pembunuhan. Hal serupa pun menimpa pers mahasiswa yang notabenenya sebagai media alternatif yang tidak hanya mengawa isu kampus, namun juga isu lokal dan nasional. Termasuk perebutan ruang hidup masyarakat.

Badan Pekerja Litbang PPMI Nasional 2015/2016 dalam riset berjudul “Dinamika Pers Mahasiswa Tahun 2013-2016: Gerakan Bermedia dan Resiko Pembungkaman” menyebutkan 88 pers mahasiswa mengalami tindak kekerasan dan 20 pers mahasiswa tidak mengalami kekerasan dari 108 lembaga pers mahasiswa. Sebanyak 88 kasus kekerasan yang diterima oleh pers mahasiswa, ada 9 jenis bentuk kekerasan. Di antara 9 jenis kasus tersebut adalah fitnah, intimidasi, kriminalisasi, pelecehan, Pembatalan izin, pembekuan, pembredelan, pembubaran acara dan perusakan karya. Jenis kekerasan yang paling banyak menimpa pers mahasiswa adalah intimidasi, sejumlah 66 kasus. Pembredelan sejumlah 13 kasus, pelecehan 12 kasus, pembekuan 9 kasus, kriminalisasi 6 kasus, pembubaran acara 2, sedangkan fitnah, pembatalan izin dan perusakan karya sejumlah 1 kasus.Kasus ruang hidup, potensi lahan, penguasaan atas tanah melalui mekanisme dan ide pembangunan yang bersinggungan dengan upaya masyarakat menyerukan aspirasinya sebagai penyelenggaraan ruang demokrasi yang telah diatur oleh Undang-Undang Dasar 1945 perlu dikaji secara mendalam dalam ranah diskusi terbuka.

Beberapa poin seperti karateristik geografis, suku dan etnis yang membangun kebudayaan adat di suatu wilayah, faktor historis, perlu diperhatikan mengingat upaya serta sentralisasi kekuasaan negara yang coba dikurangi dengan adanya otonomi daerah yang justru malah mereproduksi kelas-kelas perampas ruang hidup di daerah. Wiji Thukul, seorang pejuang demokrasi menyebut dalam puisinya yang berjudul Peringatan, “Ketika masyarakat bersembunyi dan berbisik-bisik ketika membicarakan masalahnya sendiri, penguasa harus waspada dan belajar mendengar”.

Melihat kondisi tersebut, Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia menuntut untuk:

  1. Hentikan Tindakan Represifitas terhadap awak pers diseluruh Indonesia
  2. Selesaikan Kasus sengketa pers yang telah terjadi seperti, kasus wartawan Udin
  3. Pemerintah harus berpihak pada rakyat, dalam konflik Agraria
  4. Mengkaji Ulang UU ITE No 19 Tahun 2016
  5. Hentikan kriminalisasi dan tindak kekerasan aparat kepada petani ataupun mahasiswa
  6. Pemerintah harus membuka ruang diskusi seluas-luasnya
  7. Pemerintah harus mengkaji ulang Amdal dan perijinan yang berkaitan dengan aktivitas eksploitasi lingkungan
  8. Pers mahasiswa menyatakan secara tegas bahwa PPMI merupakan lembaga independent dan menjunjung tinggi suara rakyat

 

 

Korlap : Andika ASB ( LPM Perska Pangkep)

Penanggung Jawab :

  1. Irwan Sakkir 081248771779
  2. Moh. Apriawan 082345108646
Kategori
Diskusi

Bagaimana Dengan Judicial Review UU Pers?

Kebebasan pers, berekspresi, dan akademik, jadi tema tahunan dalam berbagai forum diskusi pers mahasiswa aras nasional. Pada kongres Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia (PPMI) Desember tahun lalu di Yogyakarta, hal ini juga terjadi, sama seperti sebelumnya. Membosankan, tapi penting dan mendesak. Membosankan karena sampai kapan hal ini terus didiskusikan, sementara perilaku pejabat kampus masih saja represif, belasan tahun setelah reformasi.

Saya tidak percaya bahwa reformasi membawa perubahan signifikan pada perkembangan pers mahasiswa di Indonesia. Kenyataan bahwa kita merasa lebih aman menulis dan berdemonstrasi tidak jadi tolok ukur tunggal untuk itu. Reformasi terjadi pada tingkatan parlementer dan tersentralisir. Hanya berkaitan dengan regulasi-regulasi dan aktor pemerintahan, serta pada wilayah-wilayah yang kekuatan sipilnya kuat untuk menjadi oposisi terhadap pemerintahan. Karena itu, sepertinya tidak berpengaruh banyak pada perguruan tinggi, terutama di daerah-daerah.

Berdasarkan riset PPMI (2016), ada banyak kasus yang menimpa pers mahasiswa. Di antaranya adalah pemberedelan (11 kasus), pembekuan (2 kasus), dan intimidasi (33 kasus). Sedikit berbeda dengan pers mainstream, pelaku kekerasan terhadap pers mahasiswa adalah birokrasi kampus (11,31%), organisasi mahasiswa (6,17%) dan dewan mahasiswa (3,9%).

Terbentuknya Dewan Pers untuk menjaga kebebasan pers, tidak berpengaruh banyak pada pers mahasiswa. Ada dua indikator yang menjadi acuan bagi Dewan Pers untuk bergerak, yaitu terverifikasi dan bermuatan positif. Terverifikasi adalah berbadan hukum dan memenuhi beberapa syarat untuk dianggap sebagai bagian dari pers nasional. Sementara bermuatan positif antara lain tidak menyebarkan hoax, diskriminasi SARA, dan mematuhi kode etik jurnalistik.

Indikator tersebut kemudian dibagi menjadi empat kuadran. Kuadran pertama adalah yang memenuhi kedua indikator, kuadran kedua (muatan positif) dan keempat (terverifikasi) yang hanya memenuhi salah satu indikator, sementara kuadran ketiga adalah yang tidak memenuhi keduanya. Dewan Pers sudah bertekad untuk memprioritaskan kuadran pertama. Dalam hal ini, pers mahasiswa dan media komunitas, masuk ke dalam kuadran kedua dan karenanya tidak menjadi prioritas.

Apakah hal ini bermasalah? Lumayan. Kita dianggap tidak dipayungi oleh UU 40/1999 tentang Pers dan tidak secara langsung dan tidak menjadi prioritas bagi Dewan Pers. Seperti jelas dinyatakan pada pasal 4 ayat 1, “terhadap pers nasional tidak dikenakan penyensoran, pemberedelan atau pelarangan penyiaran”. Masuk menjadi bagian dari pers nasional berarti mendapat jaminan dari pasal tersebut.

UU Pers mengatur bahwa penyelesaian sengketa pers dapat dilakukan dengan hak jawab, hak koreksi dan permintaan maaf. Birokrasi kampus dan aktor lain, dalam kebanyakan kasus yang menimpa pers mahasiswa tidak melakukan langkah-langkah ini. Karena merasa pers mahasiswa berada di bawah komandonya, pimpinan kampus sering berbuat sewenang-wenang bila hasil liputan tak sesuai dengan keinginan mereka. Kesewenangan itu misalnya tampak dari pimpinan kampus yang acapkali melakukan praktik penyensoran kepada pers mahasiswanya. Hasil reportase atau artikel dari pers mahasiswa tersebut harus dibaca dan periksa terlebih dahulu oleh dekanat atau rektorat kampus sebelum terbit. Praktik tersebut dilakukan agar pemberitaan sesuai dengan visi perguruan tinggi tersebut.

Dalam kasus yang lain, pers mahasiswa sangat rentan terhadap penyunatan anggaran. Jika mengeluarkan berita-berita yang sarat muatan kritik, gelontoran dana dikurangi, ditunda bahkan dihentikan. Walau beberapa pers mahasiswa di Indonesia nekat angkat kaki dari kampus, terbukti mereka kesulitan bertahan hidup. Begitu pula dengan sekretariat atau ruangan. Sebagai mahasiswa, anggota pers mahasiswa memang sudah seharusnya mengutamakan kuliahnya ketimbang kepentingan organisasi. Hal-hal seperti saya jelaskan di atas sangat menguras tenaga anggota pers mahasiswa. Pers mahasiswa karenanya sangat bergantung pada kampus, namun tidak sebaliknya.

Salah satu argumentasi yang keluar dari birokrasi kampus adalah karena pers mahasiswa bukan bagian dari pers nasional dan karena di bawah pembinaan kampus. Ganjalan ini bersumber dari pasal 9 UU Pers yang berbunyi, “setiap perusahaan pers harus berbentuk badan hukum Indonesia.” Artinya, setiap aktivitas jurnalistik yang tidak berbadan hukum bukanlah pers, termasuk dalam hal ini adalah pers mahasiswa. Selain berbadan hukum, perusahaan pers yang diakui pemerintah harus memiliki modal minimal Rp 50 juta serta membiayai karyawannya. Persyaratan-persyaratan di ataslah yang tidak dapat dipenuhi oleh pers mahasiswa. Jangankan membiayai karyawan, anggota pers mahasiswa saja sering kali harus merogoh kantongnya untuk membiayai penerbitan majalah.

Ada banyak pilihan untuk mengatasi hal ini. Salah satunya dengan mengusahakan badan hukum bagi pers mahasiswa, layaknya pers mainstream. Pers mahasiswa juga dapat memilih keluar dari kampus. Atau tetap di dalam kampus, namun berani mengambil posisi yang lebih berarti di hadapan pejabat kampus. Sehingga jika terjadi tindakan sewenang-wenang, pers mahasiswa melakukan perlawanan. Terutama dengan cara-cara seperti diatur dalam UU Pers, melalui hak jawab, hak koreksi, ataupun permintaan maaf. Tidak serta-merta tunduk terhadap tekanan pejabat kampus.

Pilihan-pilihan tersebut punya beberapa kekurangan dan kelebihan. Namun ada salah satu pilihan terakhir terhadap permasalahan ini. Ia muncul saat kongres PPMI yang lalu: judicial review terhadap UU Pers. Walau mendapatkan apresiasi positif, masih belum menjadi pembahasan yang serius. Jika ditelisik, pilihan ini menghasilkan beberapa pertanyaan. Apa yang hendak diubah dari UU Pers? Apa jaminan bahwa pers mahasiswa lebih baik jika diatur dalam UU Pers dan dipayungi Dewan Pers?

Setelah dipantik, pertanyaan-pertanyaan tersebut butuh diskusi yang lebih mendalam. Belum lagi soal perbandingan dari beberapa pilihan tersebut, manakah yang terbaik dalam menjaga kebebasan pers mahasiswa? Apapun pilihannya, saya hanya merenungi, “perubahan sejarah selalu didorong oleh orang-orang yang memperjuangkannya,” tulis Ariel Heryanto.

 

Kategori
Berita Wawancara

Warga Gumuk Parangkusumo Tidak Pantas Digusur

Sejak tahun 2007, warga sekitar pesisir Parangtritis-Parangkusumo, Kretek, Bantul sudah pernah mengalami penggusuran. Menyusul tahun 2010, Pemkab Bantul kembali menggusur kios dan gubuk warga tanpa ganti rugi dengan tuduhan bahwa warga telah mendirikan “bangunan liar”. Dari situlah, warga terdampak mendirikan Aliansi Rakyat Menolak Penggusuran (ARMP) sebagai wadah untuk mengantisipasi segala penggusuran yang kerap mengancam.

Tahun ini, ancaman penggusuran pun datang dari pemerintah. Warga yang tinggal dan mendirikan bangunan di atas gumuk pasir Parangkusumo menjadi sasarannya. Dalih penggusuran ialah sebagai upaya restorasi (penataan ulang) gumuk pasir supaya lestari. Tuduhan bahwa warga telah menempati sultan ground (SG) atau tanah Kesultanan Ngayogyakarta secara tidak sah menjadi senjata pelengkap penggusuran.

Padahal, warga yang bertahun-tahun tinggal di atas gumuk pasir telah berjasa merawat kelestarian gumuk dengan cara menanam berbagai pepohonan seperti pandan, kleresede, dan cemara. Upaya warga tersebut berhasil karena pasir pantai menjadi tidak mudah terbawa angin dan menyelamatkan zona pertanian warga lainnya (di sisi utara pesisir) dari uruk pasir. Maka motif pelestarian gumuk pasir dianggap tidak wajar oleh warga sebagai dalih penggusuran. Ketidakwajaran itulah yang memupuk keyakinan: warga gumuk tidak pantas digusur!

Ternyata ada megaproyek Parangtritis Geomaritime Science Park (PGSP) yang diinisiasi oleh Pemkab Bantul, Pemprov Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), Fakultas Geografi Universitas Gadjah Mada, Badan Informasi Geospasial, dan Kemenristekdikti. Megaproyek berkonsep riset dan wisata ini meminta lahan seluas 347 hektar; dengan rincian 141 hektar zona inti, 95 hektar zona terbatas, dan 111 hektar zona penyangga. Pihak penyelenggara PGSP pun meminta agar warga gumuk yang menempati zona inti untuk segera pergi mengosongkan wilayah tersebut.

Berdasarkan surat pemberitahuan dari Pemkab Bantul yang menanggapi surat KHP Wahono Sarto Kriyo No. 120/W&K/VII/2016 Tentang Penertiban Zona Gumuk Pasir di Kawasan Gumuk Pasir di Kecamatan Kretek Kabupaten Bantul, dikabarkan bahwa penggusuran akan dimulai pada 1 September 2016. Pada tanggal itu pula, kubu yang bersolidaritas seperti tim Jogja Darurat Agraria (JDA), LBH Yogyakarta, Serikat Mahasiswa Indonesia (SMI), dan PPMI DK Yogyakarta beserta awak persma mendatangi warga terdampak penggusuran di area yang diklaim zona inti PGSP.

Kami berkumpul di sekitar Sanggar Belajar Kuncup Melati Mandiri. Di sana ada pertemuan antarwarga pesisir selatan DIY yang digusur, seperti nasib warga gumuk Parangkusumo. Warga saling berbagi cerita dan kubu bersolidaritas pun menggelar konsolidasi. Kerja-kerja pengambilan data untuk diolah menjadi karya berwacana konflik agraria juga kami lakukan.

Beberapa kawan persma bersama PPMI DK Yogyakarta pun melakukan wawancara kepada Bu Kawit, warga terdampak penggusuran sekaligus pendiri dan pengajar sanggar. Kepada kami, perempuan lulusan pendidikan guru agama negeri (PGAN) yang sehari-harinya berjualan soto ini, menceritakan jibaku warga melawan penggusuran berkedok pelestarian dan mengkritik motif penggusuran di pesisir selatan.

 

Ibu sudah berapa lama tinggal di sini?

Saya aslinya dari Sewon (sebuah kecamatan di Bantul). Sejak 1999 mulai mendiami Parangtritis. Lalu tahun 2001 mulai bergeser ke Dusun Parangkusumo sini. Di sekitar sini saya tinggalnya sempat berpindah-pindah. Sehari-harinya, saya berjualan soto.

Penggusuran yang katanya akan dimulai hari ini (1 September 2016) belum terjadi. Dari mana warga tahu akan adanya penggusuran?

Dari surat pemberitahuan yang diantar Satpol PP dan polisi. Katanya ada penertiban. Tapi hari ini petugas yang mau menertibkan belum ada.

Ketika surat pemberitahuan penertiban datang, kenapa Ibu tanda tangan?

Waktu itu saya sedang sakit dan belum sadar. Tapi kami yang berkumpul tadi sepakat mau mencabut tanda tangan.

Selain sanggar ini, bangunan apa saja yang termasuk zona inti PGSP?

Ada 38 rumah, 25 kandang, dan ada juga tambak. Semuanya sudah ada di peta PGSP.

Kandang yang kena gusur itu semuanya bersertifikat?

Sertifikat nggak ada. Kalau kita mau ngurus sulit. Pemerintah juga nggak ngasih tahu aturannya kalau kita harus ijin ke mana. Bertahun-tahun tinggal di sini didiamkan saja, tapi malah tiba-tiba mau digusur.

Kalau bangunan yang di pinggir jalan sana juga kena?

Kena. Karena masuk zona penyangga.

Apa sudah ada musyawarah dari pihak penggusur agar bisa disepakati warga?

Sosialisasi saja belum ada sampai sekarang, apalagi rembugan soal ganti rugi dengan warga. Warga biasanya rembugan sendiri dan menyatakan sikap tetap menolak.

Apa pekerjaan warga terdampak penggusuran di zona inti?

Ada petani, pedagang, juru parkir, pekerja wisata, dan lain-lain.

Kalau bertani menanam apa saja?       

Ada singkong, terong, brambang (bawang merah), buah-buahan, dan lainnya.

Tanggapan Ibu terhadap klaim SG?

SG dan PAG (Pakualaman Ground) sudah tidak ada menurut Perda DIY No. 3/1984. Mandat gubernur saat itu, Sri Sultan Hamengkubuwono IX, adalah tanah untuk rakyat; dibagi-bagikan kepada rakyat.

Kalau modus klaim tanah memakai Undang-undang Keistimewaan (UUK) yang disahkan tahun 2012?

Tapi kan ada Undang-undang Pokok Agraria (UUPA) 1960 yang lebih sah.

Ketika UUK 2012 diketok palu, apa yang Ibu lakukan bersama kawan-kawan?

Ikut demo bersama mahasiswa, kami berteriak-teriak menolaknya. Kami juga memaksa masuk ke dalam gedung parlemen kalau nggak ada anggota dewan yang mau turun menemui.

Menurut tanggapan Ibu soal isu pelestarian lingkungan sebagai alasan penggusuran?    

Itu alasan saja biar semua tanah di DIY bisa di-SG-kan. Lha pihak Pemerintah (Pemkab Bantul) kok mau-maunya disuruh buat menggusur, Kraton kok nyuruh Negara. Terus rakyatnya mau dikemanakan?

Kabar dari koran-koran lokal, motif penggusuran supaya melestarikan lingkungan supaya tidak rusak. Kalau menurut Ibu dan warga yang sudah bertahun menjaga kelestarian lingkungan di sini, bagaimana?

Mana buktinya kami merusak? Lihat saja di sini banyak pepohonan yang kami tanam. Warga sudah bisa melestarikan lingkungan sendiri dan punya pencaharian sendiri. Yang kami lakukan, nggak usah dirusak.

Penggusuran sudah berkali-kali, dari tahun berapa?

Dari tahun 2007 sudah ada penggusuran di Karang Bolong, berlanjut tahun 2008-2009 sampai Kali Mati. Tahun 2010 juga terjadi. Saat itu kami tanpa diberi ganti rugi dan dicap sebagai orang-orang liar. Maka warga mendirikan ARMP pada 2010.

Pola penggusurannya bagaimana?    

Sejak tahun 2007, dari pesisir sisi timur terus mengarah ke barat. Tahun 2010, penggusuran tertahan di Grogol. Tahu-tahu kita dikepung dari sisi barat, itu Pantai Depok (sebelah barat Parangtritis-Parangkusumo) sudah digusur buat dibangun landasan pacu dengan mengatasnamakan klaim SG.

Kenapa Ibu tetap bertahan?

Saya melihat dampak penggusuran semena-mena sehingga rakyat nanti susah cari makan.

Punya ide bikin sanggar belajar dari mana?

Dari kecil cita-cita saya sudah begini. Ingin bikin sanggar. Saya kan lulusan PGAN. Juga, anak-anak sini kalau mau belajar, tempatnya jauh.

Bu Kawit sendiri mendirikan sanggar ini sejak kapan dan bagaimana proses belajar anak-anak di sanggar?

Sudah satu bulan lalu. Ini bertujuan untuk membantu anak-anak sekolah belajar. Kini sudah mencapai 15-20 orang peserta yang terdiri dari siswa SD dan SMP. Adapun yang kini sedang dipelajari seperti iqra, bahasa inggris, matematika, dan kesenian. Kegiatan belajar terbatas pada hari Senin, Kamis, dan Sabtu dari Ashar hingga Maghrib.

Jumlah anak-anak yang berminat terus bertambah sehingga kami kewalahan. Walau tempatnya sumpek tapi anak-anak senang. Saya dibantu teman-teman relawan untuk mengajar. Sekarang pun waktu berjualan saya jadi berkurang hanya sampai jam 3 sore karena berkewajiban mengajar di sanggar ini. Tapi sanggar ini masuk ke dalam zona inti PGSP dan akan digusur.

Yang digusur selain bangunan?

Pepohonan yang ditanam warga. Warga menanam itu supaya pasir tidak gampang kebawa angin. Kalau digusur semena-mena, pasir bisa terbang ke kampung. Ekosistem gumuk juga rusak.

Tradisi menanam pohon di gumuk ini sejak kapan?

Sejak mbah buyut kami masih ada. Yang paling lama itu pohon kleresede. Beberapa pohon ditebas buat tambak. 2 tahunan ini tambak mulai ada.

Kami juga pernah membantu UGM menanam cemara. Kami menanam ketika hawa siang sedang panas-panasnya dan kami harus mengemban pohon-pohon itu sendiri. Ada 3 kali kami membantu penanaman. Tapi kok sekarang tanaman mau digusur, lha maunya UGM gimana?

Pernah mengendus kedok dari tiap penggusuran?

Waktu penggusuran tahun 2010, sempat mendengar ada investor dari Jepang menawarkan nilai kontrak 60 triliun rupiah untuk mendirikan hotel dan obyek wisata lain-lain.

Sudah ada janji-janji setelah digusur?

Belum diajak rembugan tapi tahu-tahu kita sudah didata.

Wilayah Parangtritis dan Parangkusumo jelas melawan penggusuran. Setahu Ibu, daerah pesisir selatan yang bakal kena hal serupa?

Watukodok di Gunungkidul dan pesisir Kulon Progo juga kena dan mereka juga melawan.

Mengetahui banyaknya penggusuran di wilayah DIY, pendapat Ibu?

Tegakkan saja aturan yang berlaku. Mematuhi aturan negara yang ada.

Sikapnya tetap ya Bu, warga tetap tidak layak digusur?

Iya. Kami merawat alam sini. Menanam pohon dan tidak rela tanaman juga kena gusur. Nanti pasir-pasir bisa melorot dan kalau tidak ada pohonnya bisa terbawa angin. Misal tanaman kleresede itu yang bisa jadi pakan kambing, kalau tanaman itu tidak ada, kambing mau makan apa, makan pasir?

***

Tanpa diduga, pemberitahuan akan sosialisasi pun tiba. Tanggal 13 September, warga diundang ke Kantor Desa Parangtritis untuk mendengarkan sosialisasi penggusuran dan Megaproyek PGSP. Sosialisasi tersebut dihadiri pula oleh pihak Pemerintah Desa Parangtritis, Satpol PP Bantul, akademisi UGM, dan Komndo Rayon Militer Kretek. Lagi-lagi, klaim atas SG dan kedok pelestarian gumuk pasir dijadikan alasan pihak penyelenggara PGSP. Pihak penggusur menyatakan bahwa sosialisasi tersebut sebagai “musyawarah”. Namun seusai menghadiri sosialisasi, Bu Kawit dan orang-orang seperjuangannya belum menganggap agenda tersebut sebagai “musyawarah”, karena tidak sesuai kemufakatan dan hanya ajang menyampaikan keinginan pihak penggusur. “Kami tetap tidak sepakat digusur dengan kedok apapun,” terang Bu Kawit di Sanggar Belajar Kuncup Melati Mandiri.

 

Tim Liputan:

Abdus Somad (PPMI), Taufik Nurhidayat (PPMI), Imam Ghazali (Ekspresi), Rimba (Ekspresi), Faris (Rhetor), Javang Kohin P (Rhetor), Bintang W. P. (Poros), Afzal N. I. (Motivasi/Surakarta), dan Widia (Poros).