Kategori
Berita

Pembekuan dan Serangan Siber Terhadap BEM FISIP Unair adalah Upaya Pemberangusan Ekspresi

Surat Pembekuan Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Airlangga (Unair) resmi dicabut oleh dekanat pada Senin (28/10). Pembekuan secara sepihak tersebut adalah respon Dekanat FISIP Unair atas karangan bunga buatan Kementerian Politik dan Kajian Strategis BEM FISIP Unair yang berisi ucapan selamat kepada presiden dan wakil presiden 2024 terpilih.

Karangan bunga buatan BEM FISIP Unair yang berisi ucapan selamat kepada presiden dan wakil presiden terpilih 2024. Dipamerkan di Taman FISIP sejak Selasa, 22 Oktober 2024. (Instagram @bemfisipunair)

Melansir dari tempo.co, karangan bunga tersebut dibikin atas inisiatif BEM FISIP Unair dan dipasang sejak Selasa, 22 Oktober 2024 pukul 15.00 WIB. Ucapan selamat bertujuan untuk mengungkapkan ekspresi kekecewaan atas rentetan fenomena yang terjadi selama Pemilu 2024.

Pemasangan karangan bunga berujung pada pemanggilan BEM FISIP Unair oleh Ketua Komisi Etik FISIP. Selanjutnya, Jumat, 25 Oktober pukul 09.03 WIB perwakilan BEM FISIP Unair memenuhi panggilan tersebut untuk memberikan keterangan. Sore di hari yang sama, BEM FISIP Unair mendapati kepengurusannya dibekukan secara sepihak oleh Dekanat BEM FISIP Unair melalui surat bernomor 11048/TB/UN3.FISIP/KM.04/2024.

“Menimbang penggunaan narasi dalam karangan bunga yang tidak sesuai dengan etika dan kultur akademik insan kampus” dan “Pemasangan karangan bunga di halaman FISIP Unair yang dilakukan tanpa izin dan koordinasi dengan pimpinan fakultas” adalah dua alasan yang melatarbelakangi dibekukannya BEM FISIP Unair.

Berita Pembekuan BEM FISIP Unair segera ramai diperbincangkan. Tetapi tidak berselang lama, tiga hari kemudian, Senin, 28 Oktober surat pembekuan BEM FISIP Unair resmi dicabut oleh Dekanat FISIP Unair pasca dilakukan mediasi antara keduanya.

Namun, pembekuan bukan satu-satunya ancaman. Kegaduhan belum berhenti meski BEM FISIP Unair telah kembali aktif. Akun media sosial BEM FISIP Unair, BEM Unair, dan sejumlah pengurusnya mendapat serangan siber secara masif dan terkoordinir.

BEM FISIP Unair melakukan konferensi pers untuk merespon serangan siber yang menimpanya pada Selasa, 29 Oktober 2024. (Foto: Harian Disway)

“Hal ini merupakan ancaman nyata dan kekhawatiran baru bagi wacana kebebasan berekspresi. Jadi, persoalan ini bukan lagi terletak pada pembekuan BEM FISIP, tetapi serangan siber adalah ancaman nyata bagi kebebasan akademik,” terang Tuffahati Ulayyah selaku Presiden BEM FISIP Unair pada konferensi pers, Selasa (29/10).

Serangan siber yang dilayangkan kepada BEM FISIP dan sejumlah pengurusnya juga lintas platform. Mulai dari media sosial Instagram, Tiktok, hingga WhatsApp dan email pribadi. Terkait hal itu, pihak BEM FISIP Unair masih membuat daftar terkait ancaman, motif, dan narasi yang digunakan oleh pihak yang menyerangnya.

“Bentuknya adalah body shaming yang pertama. Kemudian narasi setelah kampus akan susah mendapat pekerjaan dan sebetulnya yang paling banyak adalah tentang body shaming. Kemudian menyumpahkan seperti hal-hal yang tidak baik. Pun ada juga ancaman kepada teman-teman ketika ada di jalan akan mendapatkan serangan fisik dan sebagainya,” sambung Tuffa.

Di akhir sesi konferensi pers, BEM FISIP Unair menyatakan komitmennya akan terus mengawal kasus pelanggaran kebebasan akademik, agar kasus yang dialaminya tidak menjadi preseden buruk bagi organisasi mahasiswa lain.

Penulis: Alfi M F
Editor: Delta

Kategori
Berita

Dua Tahun Tragedi Kanjuruhan, Kali Kedua Berkeranda Mengayuh Pulau Jawa

Sabtu, 5 Oktober 2024, seorang lelaki paruh baya bernama Miftahuddin Ramli telah kembali ke Bumi Arema setelah melakukan perjalanan panjang menuju Jakarta. Lelaki yang akrab dipanggil Ebes Midun itu tengah bertolak dari rumahnya di Kota Batu menuju Jakarta untuk mengampanyekan Tragedi Kanjuruhan. Aksi ini menjadi kali kedua setelah tahun lalu ia juga berkeranda mengayuh Pulau Jawa dengan sepedanya.

Perlu diketahui, Ebes Midun bukanlah keluarga korban Tragedi Kanjuruhan. Ia juga bukan salah satu orang yang berada di lokasi kejadian saat 135 nyawa melayang. Meski begitu, ia memiliki rasa empati kuat ketika melihat Tragedi Kanjuruhan yang cenderung sederhana dalam penyelesaiannya.

Aksinya bersepeda dari Kota Batu ke Jakarta juga bisa dibilang cukup nekat, ia mengakui itu. Bagi Ebes Midun, hal ini menjadi respon alamiah. Ia menegaskan jika dirinya sengaja melakukan aksi bersepeda murni sebagai bentuk ekspresi respon atas penyelesaian Tragedi Kanjuruhan yang tak menemui titik terang hingga tahun kedua.

“Saya sebenarnya kalau disuruh berbicara itu mendingan saya mancal [bersepeda]. Karena kalau berbicara itu kadang-kadang terpeleset bisa menjadi masalah, tetapi ketika saya mancal [bersepeda] lalu tersesat saya masih bisa berbalik arah,” ujarnya saat sesi diskusi di depan Pintu 13 Stadion Kanjuruhan.

Tekad yang kuat, ciri khas ngeyelnya Arek-arek Malang, dan api perjuangan yang tak kunjung padam tergambar jelas dari raut wajahnya. Ebes Midun juga mengatakan bahwa Tragedi Kanjuruhan tidak cukup jika hanya untuk dikenang. Terlalu pasrah apabila Tragedi Kanjuruhan hanya untuk dikenang. Menurutnya, kasus ini masih pantas diperjuangkan keadilannya. 

Banyak Solidaritas Mengalir di Luar Kota

Seusai adzan ashar berkumandang, Ebes Midun telah sampai di pelataran Stadion Kanjuruhan, Kabupaten Malang. Di sore itulah kedatangan Ebes Midun disambut hangat oleh keluarga korban bersama kawan-kawan yang bersolidaritas pada perjuangan keadilan Tragedi Kanjuruhan. Kepulangan Ebes Midun menjadi momentum pengingat sekaligus berkumpulnya sisa-sisa semangat perjuangan keadilan yang hari ini makin memudar dari pandangan publik.

Foto: Aziz

Kedatangan Ebes Midun segera disambung dengan gelaran doa bersama di depan Pintu 13, Stadion Kanjuruhan. Setelah usai menggelar doa bersama, Ebes Midun bersama keluarga korban menceritakan refleksi perjuangan keadilan setelah dua tahun Tragedi Kanjuruhan. 

Dalam ceritanya, Ebes Midun menguraikan pesan kesan yang ia dapat selama perjalanan mengayuh sepeda. Misinya membawa pesan perdamaian antar suporter sepakbola nyatanya mendapat respon positif di tiap-tiap kota yang disinggahi. Jika tahun lalu ia menempuh perjalanan melalui jalur pantai utara (pantura), tahun ini ia memilih jalur tengah melewati Solo, Jogja, Bandung, hingga Jakarta.

“Saya ingin menjalin silaturahmi antar suporter dengan jalan yang berbeda. Tahun lalu Pantura kalau sekarang lewat tengah, lewat Bandung. Di sana kan juga baru ada kekerasan terhadap suporter [Persib Bandung],” terang Ebes Midun.

Solidaritas antar suporter kepada perjuangan Ebes Midun dibuktikan dengan aksi-aksi pengawalan saat Ebes Midun melewati perbatasan kota ke kota lain. Para suporter di masing-masing jalur yang dilewati Ebes Midun silih berganti mengawal perjalanan Ebes Midun. Tak hanya itu, Ebes Midun juga kerap difasilitasi tempat beristirahat saat membutuhkan jeda perjalanan.

Biarpun dibilang isu Tragedi Kanjuruhan memudar perlahan, tetapi sekecil apapun solidaritas perjuangan keadilan tragedi ini tetap bertahan. Solidaritas tak akan terbatas dari apa, siapa, dan dari mana. Rasa prihatin Ebes Midun yang begitu dalam nampaknya tersampaikan pada kawan-kawan di sepanjang jalan ia berkeranda. Ebes Midun tak pernah sendiri.

“Setiap perjalanan saya tidak pernah sendiri. Ada saja teman, ada orang-orang baru yang saya kenal. Mereka memberikan semangat kepada saya, padahal saya tidak mengenalnya. Dan mereka merasa prihatin terhadap kasus ini. Seperti menguap begitu saja,” ceritanya. 

“Saya bukan yang paling peduli. Saya bukan yang paling mencintai. Saya hanya ingin merasa ini bagian dari kecintaan saya pada Arema dan prihatin pada tragedi ini,” tambah Ebes Midun.

Melihat respon yang demikian baik, Ebes Midun berkata akan sebaiknya kalau masyarakat di Malang juga tak kendor dalam mengawal isu Tragedi Kanjuruhan. Menurutnya, masalah ini bukan hanya masalah bagi masyarakat Malang, tetapi juga masalah Nasional bahkan Internasional. 

Selain solidaritas dari kalangan suporter sepakbola, Ebes Midun juga mendapat sambutan hangat oleh kawan-kawan Aksi Kamisan Jakarta di depan Istana Negara. Ia mengaku terkesan saat bertemu Sumarsih, ibu dari Wawan, salah satu dari korban penembakan di Tragedi Semanggi. Momen itu sangat mengharukan bagi Ebes Midun lantaran pertama kalinya ia bertemu Sumarsih sebagai sama-sama pejuang dalam memperoleh keadilan pelanggaran HAM.

“Paling berkesan itu pas kemarin saya bertemu Bu Sumarsih di depan istana. Itu pertama kali saya kesana. Saya dikasih mikrofon untuk orasi. Ya kesannya saya ndredeg. Saya mendingan gowes daripada disuruh bicara,” ulangnya sekali lagi.

Sesekali Ebes Midun mengusap kepalanya. Sorot mata di umurnya yang telah melewati setengah abad menampakkan rasa lelah. Tekadnya untuk beraksi menyuarakan keadilan terus menguat. Berharap semangat Ebes Midun menular pada kawan-kawan yang sore itu mendengar langsung cerita perjalanannya.

Mencari Kesaktian Pancasila

Jika tahun lalu Ebes Midun membawa tajuk “Justice For Kanjuruhan”, tahun ini ia memasang tulisan “Ladub Berkeranda Mencari Kesaktian Pancasila” di sisi samping kerandanya. Hal ini ia lakukan bukan tanpa alasan. Kejadian yang menimpa penonton laga Arema FC melawan Persebaya Surabaya dua tahun lalu memang bertepatan dengan Hari Kesaktian Pancasila.

Mendapati hal itu, Ebes Midun berniat mendatangi upacara Hari Kesaktian Pancasila di Lubang Buaya. Akan tetapi, dengan berbagai pertimbangan, rencana tersebut tidak mungkin dilakukan mengingat ketatnya pengamanan sekitar upacara Kesaktian Pancasila di Lapangan Pancasila Sakti, Lubang Buaya, Jakarta Barat. 

Meski begitu, misi Ebes Midun bukanlah tanpa hasil. Keranda yang ia bawa misalnya, ratusan sampai ribuan orang di sepanjang jalan yang ia lewati mungkin sempat membacanya. Kampanye Ebes Midun, upaya mencari keadilan di Hari Kesaktian Pancasila, setidaknya telah menunjukkan sekaligus mempertanyakan kepada banyak orang di mana kesaktian Pancasila saat ratusan orang terbunuh.

Menurut Ebes Midun, kejadian ini seharusnya menjadi perhatian publik mengingat di hari yang disakralkan bagi banyak masyarakat Indonesia itu justru ternodai dengan kebrutalan aparat dalam mengendalikan massa. Gas air mata yang digunakan personil pengaman pertandingan telah berimbas pada tewasnya 135 nyawa. 

“Intinya kesaktiannya [Pancasila] telah ternodai dengan tragedi ini. Barangkali pada waktu kejadian tersebut media kurang memperhatikan tentang bertepatannya tragedi kanjuruhan dengan kesaktian pancasila,” ujar Ebes Midun.

Sore itu, di tengah wajah megahnya Stadion Kanjuruhan pasca di renovasi, puluhan keluarga korban masih berharap asa perjuangan terus terbakar. Pintu 13 yang dua tahun silam menjadi saksi ratusan orang berdesakan keluar, kini telah berganti dengan tembok baru. Air mata yang dulu deras mengalir, beberapa telah berubah menjadi sorak sorai di atas lapangan hijau. Namun, bagi keluarga korban dan seluruh kawan yang berjuang, keadilan tetap harus diperjuangkan.

Foto: Aziz

Di akhir ceritanya, Ebes Midun berharap Tragedi Kanjuruhan segera mendapatkan keadilan. Ia juga membeberkan pesan yang ia dapat selama berinteraksi dengan kawan-kawan di luar kota yang telah mengawal aksi Ebes Midun. Banyak yang berpesan kepada Ebes Midun agar Aremania atau siapapun tetap menyuarakan dengan caranya sendiri. Sebab kejadian seperti itu akan sangat memungkinkan terulang kembali. 

“Mereka [para suporter] malah ada yang bilang bahwa sepakbola ini belum begitu menarik selama Tragedi Kanjuruhan belum mendapatkan keadilan sebagaimana mestinya. Sepakbola Indonesia ini masih berlumuran dosa.” tandas Ebes Midun. 

Penulis: Delta Nishfu
Editor: Alfi M F

Kategori
Berita

Dinilai Ingkar Janji, Keluarga Korban Tragedi Kanjuruhan Nyatakan Sikap Atas Pembongkaran Gate 13

Senin, 21 Juli 2024, kabar tak mengenakkan kembali muncul dari kelanjutan renovasi Stadion Kanjuruhan, Kepanjen, Kabupaten Malang. Renovasi Stadion Kanjuruhan oleh PT Waskita Karya (Persero) dan PT Brantas Abipraya (Persero) di bawah naungan Kementrian PUPR telah melanggar kesepakatan atas pembongkaran Gate 13, satu tempat yang mulanya dijanjikan tak akan dibongkar. Padahal sesuai hasil forum musyawarah pada 28 Mei 2024, Gate 13 adalah area yang akan ditetapkan menjadi Museum Gate 13 sebagai monumen pengingat tragedi kelam yang menewaskan 135 nyawa . 

Bagi keluarga korban, areal Gate 13 menjadi satu tempat yang sakral. Mengingat di areal tersebut menjadi tempat dengan korban terbanyak. Maka dari itu, berbagai upaya telah dilakukan untuk mempertahankan Gate 13 dari pembongkaran. Terlebih sampai hari ini keluarga korban Tragedi Kanjuruhan masih rutin melakukan doa bersama di Gate 13 setiap Sabtu Kliwon.

Alih-alih didengar, jalannya renovasi justru mengesampingkan suara-suara aspirasi keluarga korban. Dalam hal ini, pemerintah daerah maupun pusat melalui Kementrian PUPR juga terkesan abai terhadap jalannya proses keadilan dari Tragedi Kanjuruhan.

Tim Advokasi Tragedi Kanjuruhan (TATAK, LBH Pos Malang, LBH Surabaya, Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), bersama Yayasan Keluarga Korban Tragedi Kanjuruhan (YKTK) menyoroti tindakan pelanggaran kesepakatan tersebut. Melalui konferensi pers KontraS, keluarga korban Tragedi Kanjuruhan menyayangkan sikap pemerintah yang ingkar janji atas renovasi Stadion Kanjuruhan terutama pembongkaran Gate 13. 

Devi Athok, salah seorang keluarga korban Tragedi Kanjuruhan, menyatakan rasa kekecewaannya. Keluarga korban Tragedi Kanjuruhan yang saat ini sudah membentuk yayasan berbadan hukum merasa dicederai akibat adanya tindakan ketidaktaatan hukum dalam proses renovasi Tragedi Kanjuruhan.

“Dalam pertemuan dengan Dispora Kabupaten Malang tidak ada wacana pintu 13 dibongkar. Waktu itu ke Dispora Kabupaten Malang kita mau mengajukan MoU untuk mengelola museum yang akan dibangun dan tidak ada kata-kata dibongkar,” katanya.

Devi Athok pun mengatakan jika tak ada itikad baik untuk audiensi bersama keluarga korban, mereka akan melakukan pendudukan di areal Gate 13. “Saya tunggu besok [Rabu, 24 Juli 2024] bersama Kapolres untuk bertemu dengan kita. Kalau gak ada kesepakatan, kita akan melakukan pendudukan sampai hari Sabtu. Kita akan bertahan di sana [Gate 13] siang dan malam,” tutup Devi Athok.

Kartini, salah seorang keluarga korban Tragedi Kanjuruhan juga menyatakan rasa kekecewaannya. Kesepakatan terkait dipertahankannya Gate 13 sebelumnya sudah menjadi sebuah harapan kecil baginya. Menurutnya, hal itu menjadi alat bukti satu-satunya yang mungkin masih bisa digunakan untuk mengusut tuntas kasus Tragedi Kanjuruhan. Akan tetapi, ia merasa kecewa jika ternyata pemerintah dan pihak proyek terkait justru melanggar kesepakatan terkait renovasi Stadion Kanjuruhan.

“Terus terang sampai sekarang saya merasa kecewa. Apalagi waktu ada informasi Gate 13 akan dipertahankan ada harapan kecil dari kami. Kemungkinan nanti masih ada penegak hukum yang punya hati nurani mengusut tuntas alat bukti yang bisa digunakan. harapan kecil tapi kita masih berharap. Setelah mendengar gate 13 dihancurkan terus terang harapan itu semakin putus tapi kita tidak putus semangat,” ujar Kartini.

Daniel Siagian, koordinator LBH Pos Malang, menegaskan keinginan dari keluarga korban sangatlah jelas untuk mempertahankan Gate 13. Ia juga mengatakan bahwa pembongkaran Gate 13 menjadi suatu bentuk penghilangan barang bukti dari Tragedi Kanjuruhan. Terlebih selama proses pengusutan tidak pernah dilakukan rekonstruksi kejadian perkara di Stadion Kanjuruhan. 

Pembongkaran Gate 13 justru memperlihatkan pembangunan infrastruktur yang tak memperhatikan hak asasi manusia. Oleh karena itu, dalam konferensi pers YKTK bersama tim advokasi menyatakan sikap untuk mengecam dan mendesak:

  1. Pemerintah Republik Indonesia untuk mengusut tuntas Peristiwa Kanjuruhan;
  2. Kementerian PUPR beserta 2 (dua) kontraktornya yakni PT Waskita Karya (Persero) dan PT Brantas Abipraya (Persero) untuk menghormati proses hukum yang sedang berjalan;
  3. Kementerian PUPR memerintahkan PT Waskita Karya (Persero) dan PT Brantas Abipraya (Persero) untuk mengembalikan bentuk pintu 13 Stadion Kanjuruhan seperti semula dalam waktu 3×24 jam;
  4. PT Waskita Karya (Persero) dan PT Brantas Abipraya (Persero) untuk mengembalikan bentuk pintu 13 Stadion Kanjuruhan seperti semula dalam waktu 3×24 jam;
  5. Pemerintah Kabupaten Malang dan Forum Koordinasi Pimpinan Daerah untuk mengembalikan bentuk pintu 13 Stadion Kanjuruhan sebagaimana hal-hal yang disepakati dengan korban dan keluarga korban dalam forum tertanggal 28 Mei 2024;
  6. Kementerian PUPR dan 2 kontraktornya PT Waskita Karya (Persero) dan PT Brantas Abipraya (Persero)  untuk menghentikan segala aktifitas renovasi dan pembongkaran Stadion Kanjuruhan sampai proses hukum selesai dan berkekuatan hukum tetap.

#SAVEGATE13 #USUTTUNTAS

Kategori
Berita

Tidak Menerima Upah, Dwi Kurniawati Melapor, Tapi Malah Dikriminalisasi

Dwi Kurniawati, seorang buruh kontrak di PT Mentari Nawa Satria yang dikenal sebagai Kowloon Palace Surabaya mengalami kriminalisasi karena tuntutan atas hak-haknya yang tidak dipenuhi oleh perusahaan.

Permasalahan bermula dari penerimaan upah Dwi yang selama tiga bulan pertama masa kerjanya berada di bawah Upah Minimun Kota (UMK), sementara selama periode tersebut upah yang seharusnya diterima tidak pernah diberikan. Selain itu, Dwi juga tidak didaftarkan dalam program BPJS Ketenagakerjaan.

Kronologi kejadian menunjukkan bahwa Dwi telah melapor kasusnya ke Dinas Tenaga Kerja Provinsi Jawa Timur pada 13 April 2023. Meskipun telah menjalani proses perundingan bipartit dan tripartit, upaya tersebut tidak menghasilkan solusi yang memuaskan.

Selabiknya, Dwi malah dilaporkan oleh seseorang yang mengaku sebagai perwakilan PT MNS, yakni Eko Purnomo, atas tuduhan pemalsuan surat pada 10 Juni 2023 di Polsek Genteng, Surabaya.

Setelah melaporkan kembali kasusnya ke Kepolisian Daerah Jawa Timur pada 19 Juni 2024, lapora Dwi kemudian diberhentikan melalui Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3).

Pada 5 Maret 2024, Dwi ditahan oleh Kejaksaan Negeri Surabaya, dan pada 7 Maret 2024, berkas kasusnya dilimpahkan kepada Pengadilan Negeri Surabaya. Kasus ini mencerminkan serangkaian perstiwa yang menunjukkan adanya upaya untuk menekan Dwi secara hukum sebagai akibat dari tuntutannya terkait hak-haknya sebagai buruh kontrak yang terpinggirkan.

Beberapa lembaga advokasi buruh menganggap pelaporan balik tersebut sebagai tindakan Strategic Lawsuit Against Public Participation (SLAPP).

“Karena dia (Dwi) memperjuangkan haknya atas upah yang tidak dibayarkan, kemudian BPJS yang tidak didaftarkan. Nah, atas pelaporan itu, malah orang yang mengatasnamakan perusahaan itu justru melaporkan balik Ibu Dwi,” ujar Elsa, asisten pengabdi bantuan hukum LBH Surabaya.

Selain itu, tim kuasa hukum Dwi menemukan kejanggalan dalam pelaporan terkait pemalsuan surat tersebut. Menurutnya, pihak pelapor tidak pernah menunjukkan bukti yang kuat.

“Namun, lagi-lagi ketika disondingkan, kami menemukan kejanggalan, yang mana kejanggalan tersebut, orang yang pada waktu itu memiliki kewenangan, pada saat itu secara psikologis tidak mengakui bahwa dia yang membuat, padahal dia tandatangani sendiri,” ungkap Habbibus Shalihin, Tim Advokasi Buruh Peduli Anak Negeri (TABUR PARI).

Melempar Beban, Menghindari Tanggung Jawab

Merespons tindakan kriminalisasi dan menuntut keadilan bagi Dwi, pada Jumat, 8 Maret 2024, tim TABUR PARI dan jaringan solidaritas menyelenggarakan aksi di depan Kejaksaan Negeri Surabaya. Aksi tersebut menyerukan enam tuntutan, salah satunya adalah pembebasan Dwi Kurniawati.

Saat ditemui oleh perwakilan dari massa aksi, Kejaksaan Negeri Surabaya menyatakan bahwa terdakwa sudah menyatakan bahwa pelimpahan ke Pengadilan Negeri Surabaya, sehingga mereka tidak memiliki kewenangan untuk menangguhkan penahanan atau mengubah statusnya. Namun, pelimpahan ini dilakukan tanpa pemberitahuan kepada keluarga terdakwa atau tim hukum yang terlibat.

Tim TABUR PARI menduga pelimpahan berkas iin terlalu terburu-buru, dilakukan hanya dua hari setelah penahanan oleh Kejaksaan Negeri Surabaya. Hal ini menimbulkan kecurigaan akan kemungkinan kriminalisasi terhadap Dwi.

Tim TABUR PARI menyayangkan sikap dari Kejaksaan Negeri Surabaya yang berdalih bahwa pihaknya tidak memiliki kewenangan untuk menangguhkan penahanan.

Padahal, dalam Surat Perintah Penahanan yang dikeluarkan oleh Kejaksaan Negeri Surabaya Nomor: 974/M.5.10.3/Eku.2/03/2024/ tertanggal 5 Maret 2024 status Dwi adalah tahanan dalam tahap penuntutan, terhitung sejak 5 Maret 2024 sampai dengan 24 Maret 2024, sehingga masih menjadi kewenangan dari Kejaksaan Negeri Surabaya.

Dengan kondisi tersebut, kesewenang-wenangan dan ketidakadilan terus saja terjadi, dengan menggunakan pola-pola represif untuk menindas mereka yang lemah.

#bebaskadwi

Kategori
Berita

LPM Lintas IAIN Ambon Meraih Penghargaan Pers Mahasiswa dari Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia

Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Lintas IAIN Ambon meraih Penghargaan Pers Mahasiswa dari Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia. Penghargaan tersebut diberikan pada Malam Resepsi Hari Ulang Tahun (HUT) ke-28 AJI yang berlangsung secara virtual, Minggu malam, 7 Agustus 2022.

Penghargaan Pers Mahasiswa merupakan penghargaan khusus kepada pers mahasiswa yang mengalami berbagai bentuk tekanan atau represi karena aktivitas jurnalistik. Penghargaan ini menjadi pertama yang diberikan oleh AJI Indonesia. Sebelumnya, saat hari ulang tahun AJI hanya mengadakan kompetisi karya jurnalistik bagi pers mahasiswa.

Dalam perjalan kasus LPM Lintas, mereka menerima berbagai tekanan setelah mengungkap kekerasan seksual di lingkungan kampus. Kemudian, sekretariat mereka dirusak, sejumlah pengurusnya dianiaya, dan ada upaya kriminalisasi sembilan awak ke Polda Maluku karena dituduh melakukan pencemaran nama baik.

Saat ini, LPM Lintas tengah berjuang. Mereka menggugat pemberedelan oleh rektorat kampus ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Ambon dan mengadukan rektor IAIN Ambon sekaligus Ditjen Pendis ke Ombudsman Republik Indonesia.

Menurut perwakilan Dewan Juri, Erick Tanjung, upaya LPM Lintas menyuarakan kebenaran melalui aktivitas jurnalistik layak diapresiasi. Melalui kerja-kerja jurnalistiknya, LPM Lintas telah menjalankan fungsi pers yaitu kontrol sosial. Kemudian, perlawanan mereka atas pembreidelan merupakan manifestasi dalam menjaga kebebasan pers yang sesuai dengan nilai-nilai perjuangan AJI.

“Bagi AJI, pers mahasiswa punya peran penting dalam memperjuangkan dan mempertahankan kebebasan pers serta kebebasan berekspresi. Keberadaan mereka dapat memperkuat demokrasi yang bisa mendorong pemenuhan kepentingan publik,” kata Erick saat menyampaikan pengumuman pemenang.

Dalam penghargaan pers mahasiswa ini, AJI menerima usulan 27 kandidat dari masyarakat. Pengusul terdiri dari individu dan organisasi. Setelah diseleksi dengan memerhatikan alasan pengusulan dan pemantauan rekam jejak, terdapat lima kandidat yang patut dipertimbangkan untuk menerima penghargaan. Kelima nomine tersebut, yaitu LPM Limas FISIP Universitas Sriwijaya, LPM Lintas IAIN Ambon, LPM Poros Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta, BOPM Wacana, dan BPPM Balairung Universitas Gadjah Mada (UGM). Pelajaran Apa yang Bisa Kita Ambil?

Menjadi pers mahasiswa kritis memang memiliki risiko besar, tetapi kita tidak boleh membiarkan ketidakadilan terjadi di depan mata kita. Kalau kampus atau negara bisa membuat pers mahasiswa tidak kritis, artinya represi itu benar-benar terjadi sejak dari pikiran.

Represi dalam bentuk paradigmatik atau fisik, sekecil apa pun itu, tidak boleh dibiarkan. Menormalisasi represi, secara tidak langsung menormalisasi hak asasi manusia. Dan ini tidak boleh! Mari berjabat erat, bersolidaritas, dan lawan represi.

Kategori
Berita

Berkali-kali Diancam Dibubarkan: Cerpen Hanya Kambing Hitam

Ilustrasi: Huda, Pena Kampus UMK

Melihat polemik yang semakin beragam di media sosial, reporter persmahasiswa.id memutuskan untuk mengkonfirmasi secara langsung. Setelah melobi cukup lama, reproter persmahasiswa.id tidak berhasil menemui rektor USU Runtung Sitepu. Baru pada 29 Maret 2019 reporter persmahasiswa.id berhasil duduk bersama dengan Elvi Sumanti, Kepala Humas Universitas Sumatera Utara sekaligus Pembina Suara USU, ditemani Cut Ornila, Kepala Biro Kemahasiswaan serta Budi Utomo, staff Ahli Rektor Bidang Kemahasiswaan.

Mewakili birokrasi kampus, mereka mengatakan penurunan surat Keputusan Rektor Universitas Sumatera Utara Nomor 1319/UN5.1.R/SK/KMS/2019 tentang perubahan SK Rektor Nomor 1026/UN.5.1.R/SK/KMS/2019 pada tanggal 26 Maret 2019 yang berarti pemecatan 18 pengurus Suara USU sudah sesuai prosedur yang berlaku, termasuk telah membuka ruang dialog untuk menurunkan cerpen yang terlanjur viral serta dianggap bermasalah.

Pada 18 Maret 2019 cerpen tersebut dipromosikan di media sosial instagram dan mendapat berbagai reaksi yang beragam. Melihat ini, pada 19 Maret 2019 sekitar pukul 10.00 WIB, Kepala Humas Universitas Sumatera Utara (USU), Elvi Sumanti memanggil Pimpinan Umum sekaligus penulis cerpen, Yael Stefany Sinaga dan Pemimpin Redaksi, Widiya Hastuti untuk dimintai klarifikasi dan menarik cerpen tersebut dari instagram maupun website suarausu.co.

Kemudian, 20 Maret 2019 pukul 14.00 WIB berlangsung pertemuan di ruang BKK yang dihadiri oleh Muhammad Husni, M. Budi Utomo, Elvi Sumanti dan Wakil Koordinator Unit Jurnalistik, M. Rusli Harahap yang juga alumni Suara USU. Pertemuan itu mengevaluasi kondisi dimana Pengurus Suara USU sampai pagi belum menurunkan cerpennya. Namun, sekitar pukul 08.00 WIB ternyata laman web suarausu.co telah suspend dan pihak rektorat membantah telah telah melakukan suspend laman web tersebut.

Pada tanggal 25 Maret 2019 diadakan pertemuan (audiensi) menghadirkan Rektor USU, Wakil Rektor I, 3 orang staf ahli Wakil Rektor I, ahli sastra dari FIB, Kahumas promosi dan protekoler, Pemimpin Umum, Pemimpin Redaksi, dan seluruh Dewan Redaksi Suara USU. Pada pertemuan tersebut rektor meminta tanggapan dari setiap pengurus terhadap cerpen yang mereka muat, yang dianggap mengandung muatan pornografi. Akan tetapi segenap pengurus Suara USU sepakat tidak ada unsur pornografi di dalamnya, serta tidak mencemarkan nama baik USU. Ini membuat rektor beserta seluruh pimpinan USU sepakat memecat seluruh Pengurus Suara USU dan menyarankan mereka untuk kuliah dengan baik sesuai dengan harapan orang tua.

UKM Suara USU tetap dipertahankan sebagai Unit Kegiatan Mahasiswa di lingkungan Kampus USU. Sementara dalam waktu dekat akan diadakan seleksi pengurus baru UKM Suara USU yang langsung dilakukan oleh Biro kemahasiswaan  di bawah Unit Jurnalistik.

Pihak birokrasi USU beranggapan, seluruh pengurus Suara USU mempertahankan ego mudanya sehingga merasa benar dan tidak mau menurunkan cerpen yang telah mereka buat. Pengurus USU dianggap telah melenceng dari visi misi USU. “Jika saja mereka mau menurunkan cerpen tersebut, masalah ini akan segera menemukan jalan keluar,” kata Elvi.

Diwawancari terpisah, Rektor USU, Runtung Sitepu menolak jika mereka dianggap membungkam kebebasan akademik dan kebebasan berekspresi. Runtung berpendapat cerpen itu selain mengandung konten pornografi juga bertentangan dengan UU ITE. “Saya dan semua sivitas akademika USU  sangat menghormati kebebasan akademik. Asal kebebasan akademik jangan disalah gunakan ke arah hal-hal yang bertentangan dengan nilai-nilai keagamaan, nilai-nilai moral dan kesusilaan, serta bertentangan dengan peraturan hukum yang berlaku,” jelas Runtung (28/03/2019).

Runtung  juga beranggapan, cerpen tersebut sepenuhnya mengandung unsur-unsur pornografi tanpa harus dilakukan kajian lebih lanjut. “Baca saja  tidak perlu dikaji pun sudah bisa tahu. Ahli sastra dari FIB (Fakultas Ilmu Budaya USU)  saat itu sudah memberi pendapatnya,” tambah Runtung

Sanggahan Suara USU

Supremasi kampus dengan purifikasi image lazim dan bukan merupakan hal baru. Selain pemiskinan ide yang sitematik, kampus merasa mempunyai segalanya. Ditambah dengan alasan moralis-feodalistik, dibumbui dengan argumentasi mendidik, kampus dengan jabatan yang birokratik telah berusaha melanggengkan kekuasaannya dengan cara-cara otoritatif. kampus dewasa ini rela menjual simbol-simbol akademis untuk mempertahankan laskar modal yang arusnya terus mengalir sampai ke ubun-ubun.

Pers mahasiswa sebagai salah satu pengedukasi publik agar kehidupan berdemokrasi semakin berkualitas dan penuh toleransi tidak mendapat tempat yang layak dimata birokrasi kampus. Lebih parah dianggap musuh karena dianggap tidak selaras dengan visi misi universitas yang industrialisme.

Adinda Zahra Pimpinan Suara USU 2018 beranggapan bahwa pendapat rektorat terhadap cerpen berbau pornografi dan LGBT ini hanya sekedar momentum untuk membubarkan Suara USU. Adinda mengaku sudah tiga tahun berproses di Suara USU dan sejak 2017 rektorat sudah mulai tidak menyukai Suara USU. Ia bertutur, kasus pemukalan mahasiswa Immanuel Nababan oleh Satuan Keamanan Kampus yang diangkat oleh Suara USU turut dipermasalahkan. Tak pelak, pendanaan Suara USU dibekukan. Sehingga dalam pengoperasian Suara USU mereka harus menggukan dana usaha dan kas pengurus.

Ancaman pembubaran juga diterima Suara USU tahun 2018. Kala itu, Suara USU menaikkan artikel tentang akreditasi USU. Mahasiswa mengganggap USU hanya mau memperbaiki fasilitas kampus ketika akreditasi semata. Pihak rektorat keberatan dengan artikel ini dan meminta Suara USU menurunkannya dari laman suarausu.co. Suara USU tidak akan menurunkan artikel tersebut, jika kampus keberatan Suara USU mempersilahkan USU untuk membuat artikel pembanding. “Kami dari Suara USU waktu itu bersikukuh nggak mau menarik artikel itu. Kami meminta kalau memang mereka tidak sepakat dengan artikel silahkan membuat artikel baru yang menurut mereka cocok, nanti akan kita naikkan. Ternyata mereka nggak mau,” kata Adinda.

Hal ini dibenarkan oleh Widiya Hastusi Pemimpin Redaksi Suara USU, menurutnya mereka sudah lama dibidik oleh kampus. Mengenai cerpen, ia juga bersedia menurunkan selagi kampus memberikan alasan yang rasional. “Kami mau saja menurunkan cerpen itu, asal kampus melakukan kajian terbuka, dan memanggil ahli dari luar, jika kami terbukti salah akan kami turunkan,” kata Widiya.

Widiya menambahkan, kampus sebenarnya ketakutan dengan Suara USU karena sering membongkar kebobrokan kampus. Ia juga membantah bahwa Suara USU hanya memperburuk citra USU. “Suara USU juga sering memberikan yang baik-baik, hanya saja kampus tidak lihat,” kata Widiya.

Nadiah Azri Simbolon, Bendahara Umum Suara USU 2019 sangat terpukul akibat pemecatan yang ia terima. Ia juga juga berharap rektorat mempertimbangkan kembali pemecatan 17 temannya. “Saya sangat mencintai Suara USU,” ucap Nadiah dalam orasinya di depan rektorat (28/03/2019) sambil terisak.

Komentar Para Sastrawan

Cerita pendek berjudul “Ketika Semua Menolak Kehadiran Diriku Didekatnya” karya Yael Stefany Sinaga yang  naik pada laman web suarausu.co pada 12 Maret 2019 mendapat reaksi beragam. Kalangan satrawan mengangganggap cerpen ini karya sastra yang layak untuk dikonsumsi publik dan jauh dari indikasi pornografi yang dituduhkan. Royyan Julian, sastrawan muda lulusan UGM mengatakan cerpen karya Yael tersebut sama sekali tidak mengandung unsur pornografi.

“Cerpen itu  sama sekali tidak mengandung unsur pornografi. Tidak ada adegan-adegan persetubuhan di situ. Dalam ilmu sastra ada istilah queer literature, karya fiksi yang mengangkat isu LGBT,” ujar sastrawan terpilih pada Ubud Writers & Readers Festival  2016 itu dilansir dari Media Jatim (27/03/2019).

Penulis Novel Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas, Eka Kurniawan turut berkomentar dengan argumentasi yang berbeda. “Jika  analisis mengacu kepada konten seksual atau konten LGBT, semisal, ‘cerpen ini nggak ada konten seksualnya, kok. Enggak ada eksplisit LGBT, kenapa dilarang?’ Ya konsekuensinya, seolah kita sepakat kalau ada konten seksual/LGBT memang layak dilarang. Logika-logika seperti ini bisa  menjebak, ‘membela dengan alasan yang salah’,” kata Eka.

Kategori
Agenda Berita

Mukernas PPMI 2017 di Bali

Raden Mas Djokomono Tirto Adhi Soerjo (T.A.S) adalah seorang tokoh pers dan tokoh kebangkitan nasional Indonesia. Tirto juga dikenal sebagai perintis persuratkabaran dan kewartawanan nasional Indonesia. Bahkan, Tirto menjadi orang pertama di Indonesia yang menggunakan surat kabar sebagai alat propaganda dan pembentuk pendapat umum. Menjadi orang pertama yang menggunakan pers sebagai senjata pembela keadilan dan alat perjuangan inilah yang akhirnya membuatnya mendapat gelar Bapak Pers Nasional.

Berkaca dari perjuangan tersebut, semua lapisan yang bergerak pada dunia pers seharusnya sadar, bahwasannya mereka terjun dalam sebuah pekerjaan menjunjung prinsip kebenaran ini. Ini pun menjadi sebuah “peluru-peluru” yang mampu membawa perubahan. Peluru-peluru tersebut berbahan sebuah wacana, fakta, inspirasi, kritik, yang mereka suguhkan dalam sebuah tulisan jurnalistik.

Peran pers saat ini pun digunakan sebagai alat propaganda untuk merubah sudut pandang pembacanya. Pembaca atau penikmat media dapat diarahkan kemanapun untuk melihat sebuah objek atau peristiwa. Dari sinilah, dapat dilihat bagaimana media sebenarnya berperan dalam menggerakan kemudi perubahan.

Pers saat ini tentu tidaklah seberat pekerja pers pada zaman pra-kemerdekaan. Pers saat ini lebih mudah (secara kerja jurnalistik) karena kran demokrasi dibuka selebar-lebarnya. Pada masa reformasi ini, dengan keluarnya UU no.40 Thn 1999 tentang pers, maka pers nasional melaksanakan peranan sebagai berikut:

1. Memenuhi hak masyarakat untuk mengetahui dan mendapatkan informasi
2. Menegakkan nilai-nilai dasar demokrasi, mendorong terwujudnya suatu supremasi hukum dan HAM, serta menghormati kebhinekaan.
3. Mengembangkan pendapat umum berdasarkan informasi yang tepat, akurat, dan benar.
4. Melakukan pengawasan, kritik, koreksi, dan saran terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan umum.
5. Memperjuangkan kebenaran dan keadilan.

Secara umum, pers harus mampu memeperjuangkan objektivitas, menjadi alat pendidikan, alat penyalur aspirasi, sebagai lembaga pengawasan dan juga sebagai upaya untuk penggalangan opini umum. Dengan demikian, pers dapat berfungsi sebagai alat perjuangan bangsa.

Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia (PPMI) yang berdiri sejak tanggal 15 Oktober 1992 di Malang, Jawa Timur menjadi wadah persma yang ada di Indonesia. Semenjak tahun 1992 sampai 2016, tiap-tiap kota bergiliran menjadi tempat/tuan rumah acara PPMI. Yogyakarta menjadi tempat diselenggarakannya Kongres XII PPMI menghasilkan Sekretaris Jendral Nasional baru sekaligus memberikan rekomendasi PPMI Bali sebagai tuan rumah Musyawarah Kerja Nasional (MUKERNAS) PPMI.

Sebelumnya, Bali juga pernah menjadi tuan rumah Dies Natalis XX PPMI Nasional pada tahun 2013 lalu. Suatu kebanggaan PPMI Bali kembali dapat menjadi tempat pembahasan PPMI untuk menentukan langkah-langkah strategis PPMI selanjutnya. Tempat berkumpulnya seluruh Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) dari seluruh Indonesia guna membahas isu bersama baik isu daerah ke pusat maupun pusat ke daerah dengan mengambil peran bersama sebagai bentuk komitmen.

Dalam Mukernas PPMI ke XI yang diselenggarakan di Kampus Institut Hindu Dharma Negeri (IHDN) Denpasar, Jalan Ratna nomor 51, Denpasar, Bali akan diawali dengan bincang-bincang bersama dengan mengambil pokok pembahasan mengenai masa depan Pers Mahasiswa (Persma) dan media umum dalam menghadapi dunia global. Acara ini pun dikemas dengan model talk show agar terkesan lebih santai.

Adapun para pembicara yang diundang, diantaranya dari pihak Kementrian Komunikasi dan Informasi RI, Dewan Pers dan salah satu komunitas yang menggunakan media sebagai alat perjuangan di Bali. Para pembicara ini akan diarahkan oleh moderator untuk membahas persoalan yang kerap dihadapi oleh para awak media. Nantinya, para pembicara diharapkan mampu memberikan solusi konkrit untuk dunia pers ke depan, khususnya terkait masa depan persma.

Unduh undangan dan proposal kegiatan Mukernas XI PPMI 2017 lewat tautan berikut: bit.ly/MukernasPPMI2017

Salam pers mahasiswa!

Salam juang!

Kategori
Berita

Kronologi Peristiwa Penarikan Koran Kampus Lintas

Pasca pemberitaan Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Lintas Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Ambon pada edisi XXII pada Rabu, 14 Desember 2016 yang mengangkat tema dugaan pencabulan oleh seorang dosen kepada mahasiswinya itu mendapat perhatian serius pihak birokrat. Birokrat menilai pemberitaan Lintas telah mencemarkan nama baik kampus di masyarakat. Rektor melalui Warek III, Abdullah Latuapo dan Dekan Fakultas Ushuluddin dan Dakwah (Uswah) Achmad Mujadid Naya, tak tunggu lama, hari itu juga (Rabu, 14 Desember 2016) pukul, 08.15, menarik paksa seluruh koran yang pada saat itu telah beredar. Aksi penyitaan itu ketika sejumlah  kru Lintas tengah menjajakan korannya ke civitas akademika IAIN Ambon. Tercatat sekitar 100 eksemplar ditarik oleh pihak birokrat.

Pada hari itu juga rektor memanggil Ketua Umum Lintas, Zulkarnain dan Pemimpin Redaksi Lintas Azhar Gusti Tehuayo untuk menemuinya. Mereka pun menghadiri panggilan, namun rektor saat itu sedang menghadiri kuliah tamu IAIN Ambon yang diisi oleh Kapolda Maluku, Brigjen Ilham Salahudin, eks Rektor STAIN Ambon periode 2003-2006, Prof. Muhammad Attamimi mereka. Akhirnya pertemuan dilangsungkan dengan Warek III.

Pertemuan itu pun berlangsung sekitar pukul 09.00 WIT. Dalam pertemuan tersebut, ia (Warek III) menginstruksikan kepada pengelola Lintas supaya segera menarik setiap koran yang telah diedarkan. Dia juga menyarankan, ke depan pihak Lintas hanya boleh memberitakan hal-hal yang bersifat positif saja, untuk konten yang negatif perlu dikoordinasikan dengan pihak birokrat.

Pada Kamis, 15 Desember 2016, rektor kembali memanggil pengelola Lintas sekitar pukul,10.15. Tiga perwakilan Lintas, yakni Ketua Umum, Zulkarnain dan dua kru redaksi : Ihsan Reliubun dan Irwan Tehuayo menyambangi ruang kerja rektor untuk menemuinya pukul, 10.30. Pertemuan selama 38 menit itu berlangsung tertutup antara Lintas dan rektor beserta sejumlah perangkatnya, di antaranya, Warek III, Abdullah Latuapo, Dekan Fakultas Ushuluddin dan Dakwah (Uswah) Achmad Mujadid Naya, Wadek I Uswah, Husein Assagaf, dan  Ketua Lembaga Penjamin Mutu (LPM) Abidin Wakano. Dalam pertemuan tersebut, pihak birokrat mengaku kesal dengan semua pemberitaan Lintas yang memberitakan kasus itu di koran dan dipublikasikan secara luas di media sosial. Pada kesempatan itu, rektor dan para perangkatnya sempat menginstruksikan juga agar pihak Lintas menghapus konten berita ihwal kasus dugaan pencabulan itu dari media online Lintas.

Pihak birokrat menyepakati agar semua pemberitaan Lintas harus melewati jalur konfirmasi ke pihaknya, baru akan diberitakan. Tak hanya itu, birokrat akan mengambil tindakan tegas  berupa pencabutan SK Lintas, ketika Lintas masih tetap memberitakan masalah-masalah serupa dan tanpa melalui koordinasi dengan pihaknya.

Sikap Redaksi Lintas

Lintas tidak punya kepentingan apapun dalam memberitakan dugaan pencabulan oleh dosen IAIN Ambon. Tidak untuk menyudutkan sebelah pihak. Motivasi Lintas adalah dengan pemberitaan itu, birokrasi bisa membuka mata melihat hal yang berbau kekerasan seksual agar tak didiamkan oleh birokrasi. Lintas hanya menginginkan sedikit keberpihakan institusi Islam ini kepada mahasiswanya yang kini menjadi korban.

Lintas cuma mau membuka tindakan-tindakan tak etis yang selama ini terselubung di dalam tubuh birokrasi. Tentu mahasiswa dan dosen pun sadar, jika Lintas bekerja tidak benar, mungkin saja kita semua tidak pernah mengenal Lintas sebagai corong informasi yang mengakomodasi kepentingan mahasiswa untuk menyentuh birokrasi, serta sebagai media pengontrol regulasi akademik di mana Lintas berafiliasi untuk selalu bekerja sebagaimana yang telah diatur undang-undang.  Tentu dalam mengedepankan standar kerja jurnalisme yang baik.

Jika pandangan para dosen dan pegawai menganggap pemberitaan Lintas edisi ke-22 itu mencoreng nama baik lembaga,  sebuah pertanyaan patut utarakan : apakah lembaga ini sendiri pernah berpikir tentang nasib dan keselamatan  korban? Bagaimana jika korban itu frustasi dan mengambil jalan yang sulit diduga? Beragam tindakan  pun muncul sebagai respons atas sebuah peristiwa. Selain dari beberapa ulasan soal motivasi Lintas mengangkat berita itu, yang paling mendasari ialah dengan pemberitaan itu, bisa memberi tamparan keras agar atak ada lagi daftar kasus-kasus serupa, Amin!

Hormat kami : Redaksi Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Lintas IAIN Ambon.

Kontak:

Ketua Umum: 082199254671

Pemred: 082198188979

Kategori
Berita

Undangan Menulis untuk Pembuatan Antologi Esai Pers Mahasiswa

Pers mahasiswa dalam catatan perjalannya mengalami pola hidup yang beragam. Menjadikan ia hidup dan ada sampai saat ini. Banyak artikel dan kajian soal pers mahasiswa ditulis. Mulai dari mereka yang bicara peran pers mahasiswa, pola kaderisasi, strategi menghadapi kekuasaan, independensi, politik redaksi, ideologi, hingga hal personal para pegiatnya.

Beragam sudut pandang itu tentu lahir dari semangat zaman yang berbeda. Kami yakin tiap lapis zaman mempunyai cara dan tingkah laku yang berbeda.

Titik Balik Perjuangan Pers Mahasiswa adalah sebuah karya antologi essay yang akan menceritakan segelumit kisah pers mahasiswa dari berbagai sudut pandang. Banyak kalangan memandang pers mahasiswa era kini semakin bias posisi dan peran kian dipertanyakan. Apakah akan menjadi organisasi yang hanya mengutamakan skill jurnalistik ataukah akan menjelma menjadi organisasi gerakan dengan tetap memang teguh idealismenya.

Maka kemunculan antologi ini akan menjadi pandangan baru pers mahasiswa dalam memilih jalannya. Tema Titik Balik Perjuangan Pers Mahasiswa pers mahasiswa dipilih karena kami yakin pers mahasiswa akan terus berkembang disetiap zamannya. Selain itu hal yang juga tidak kalah penting adalah, titik balik ini bisa jadi batu loncatan untuk merefleksikan langkah-langkah pers mahasswa dari masa ke masa. Berharap akan muncul cahaya baru yang dapat memberikan pencerahan akan masa depan pers mahasiswa kelak.

ppmi-esai
klik gambar untuk mengunduh poster

MEKANISME PENYUSUNAN BUKU

Penjaringan tulisan akan dilakukan dengan melihat potensi tulisan-tulisan yang layak dimuat dalam sebuah antologi. Untuk menyesuiakan tema yang digagas maka dalam proses kurasi akan dipilih 20 naskah terbaik dari semua naskah yang dikirim penulis. Sebagai bentuk penghargaan kami, penulis akan mendapatkan buku Antology essay Titik Balik Perjuangan Pers Mahasiswa dalam kurun waktu dua minggu setelah karya ini diterbitkan

Adapun untuk pembiyaan dalam produski antology essay ini sepenuhnya dari Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia (PPMI). Maka PPMI memiliki hak publikasi karya dan hak cipta karya tetap ada pada kontributor.

WAKTU

        1. Pengiriman Naskah tulisan : 20 Oktober- 15 November 2016
        2. Proses pemilihan karya terbaik : 16 November – 25 Novmeber 2016
        3. Proses percetakan dan distribusi karya : 25 November- 30 Desember 2016

*Pengiriman naskah diperpanjang hingga 30 November 2016

antologiesai

PILIHAN TOPIK

  1. Pers mahasiswa (keorganisasian, PPMI, jejaring pers mahasiswa).
  2. Media pers mahasiswa (produk, jurnalis, media alternatif).
  3. Politik dan ideologi pers mahasiswa.
  4. Gerakan, sosial, dan budaya pers mahasiswa.
  5. Advokasi isu bagi pers mahasiswa.
  6. Manajamen perusahaan pers mahasiswa.

KETENTUAN TEKNIS

  1. Tulisan berangkat dari hal-hal sederhana yang dialami atau riset yang dilakukan penulis.
  2. Prosses kurasi akan mengambil 20 naskah yang dianggap layak.
  3. Panjang naskah minimal 1.000 kata atau lebih.
  4. Naskah diketik menggunakan Times New Roman, ukuran font 12, spasi 1,5.
  5. Naskah dikirim selambat-lambatnya pada tanggal 15 November 2016.
  6. Naskah dikirim ke alamat Redaksi@persmahasiswa.id.
  7. Subjek email ditulis “Antologi PERSMA

Narahubung: +6281226545705 (Abdus Somad)

Kategori
Berita Wawancara

Warga Gumuk Parangkusumo Tidak Pantas Digusur

Sejak tahun 2007, warga sekitar pesisir Parangtritis-Parangkusumo, Kretek, Bantul sudah pernah mengalami penggusuran. Menyusul tahun 2010, Pemkab Bantul kembali menggusur kios dan gubuk warga tanpa ganti rugi dengan tuduhan bahwa warga telah mendirikan “bangunan liar”. Dari situlah, warga terdampak mendirikan Aliansi Rakyat Menolak Penggusuran (ARMP) sebagai wadah untuk mengantisipasi segala penggusuran yang kerap mengancam.

Tahun ini, ancaman penggusuran pun datang dari pemerintah. Warga yang tinggal dan mendirikan bangunan di atas gumuk pasir Parangkusumo menjadi sasarannya. Dalih penggusuran ialah sebagai upaya restorasi (penataan ulang) gumuk pasir supaya lestari. Tuduhan bahwa warga telah menempati sultan ground (SG) atau tanah Kesultanan Ngayogyakarta secara tidak sah menjadi senjata pelengkap penggusuran.

Padahal, warga yang bertahun-tahun tinggal di atas gumuk pasir telah berjasa merawat kelestarian gumuk dengan cara menanam berbagai pepohonan seperti pandan, kleresede, dan cemara. Upaya warga tersebut berhasil karena pasir pantai menjadi tidak mudah terbawa angin dan menyelamatkan zona pertanian warga lainnya (di sisi utara pesisir) dari uruk pasir. Maka motif pelestarian gumuk pasir dianggap tidak wajar oleh warga sebagai dalih penggusuran. Ketidakwajaran itulah yang memupuk keyakinan: warga gumuk tidak pantas digusur!

Ternyata ada megaproyek Parangtritis Geomaritime Science Park (PGSP) yang diinisiasi oleh Pemkab Bantul, Pemprov Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), Fakultas Geografi Universitas Gadjah Mada, Badan Informasi Geospasial, dan Kemenristekdikti. Megaproyek berkonsep riset dan wisata ini meminta lahan seluas 347 hektar; dengan rincian 141 hektar zona inti, 95 hektar zona terbatas, dan 111 hektar zona penyangga. Pihak penyelenggara PGSP pun meminta agar warga gumuk yang menempati zona inti untuk segera pergi mengosongkan wilayah tersebut.

Berdasarkan surat pemberitahuan dari Pemkab Bantul yang menanggapi surat KHP Wahono Sarto Kriyo No. 120/W&K/VII/2016 Tentang Penertiban Zona Gumuk Pasir di Kawasan Gumuk Pasir di Kecamatan Kretek Kabupaten Bantul, dikabarkan bahwa penggusuran akan dimulai pada 1 September 2016. Pada tanggal itu pula, kubu yang bersolidaritas seperti tim Jogja Darurat Agraria (JDA), LBH Yogyakarta, Serikat Mahasiswa Indonesia (SMI), dan PPMI DK Yogyakarta beserta awak persma mendatangi warga terdampak penggusuran di area yang diklaim zona inti PGSP.

Kami berkumpul di sekitar Sanggar Belajar Kuncup Melati Mandiri. Di sana ada pertemuan antarwarga pesisir selatan DIY yang digusur, seperti nasib warga gumuk Parangkusumo. Warga saling berbagi cerita dan kubu bersolidaritas pun menggelar konsolidasi. Kerja-kerja pengambilan data untuk diolah menjadi karya berwacana konflik agraria juga kami lakukan.

Beberapa kawan persma bersama PPMI DK Yogyakarta pun melakukan wawancara kepada Bu Kawit, warga terdampak penggusuran sekaligus pendiri dan pengajar sanggar. Kepada kami, perempuan lulusan pendidikan guru agama negeri (PGAN) yang sehari-harinya berjualan soto ini, menceritakan jibaku warga melawan penggusuran berkedok pelestarian dan mengkritik motif penggusuran di pesisir selatan.

 

Ibu sudah berapa lama tinggal di sini?

Saya aslinya dari Sewon (sebuah kecamatan di Bantul). Sejak 1999 mulai mendiami Parangtritis. Lalu tahun 2001 mulai bergeser ke Dusun Parangkusumo sini. Di sekitar sini saya tinggalnya sempat berpindah-pindah. Sehari-harinya, saya berjualan soto.

Penggusuran yang katanya akan dimulai hari ini (1 September 2016) belum terjadi. Dari mana warga tahu akan adanya penggusuran?

Dari surat pemberitahuan yang diantar Satpol PP dan polisi. Katanya ada penertiban. Tapi hari ini petugas yang mau menertibkan belum ada.

Ketika surat pemberitahuan penertiban datang, kenapa Ibu tanda tangan?

Waktu itu saya sedang sakit dan belum sadar. Tapi kami yang berkumpul tadi sepakat mau mencabut tanda tangan.

Selain sanggar ini, bangunan apa saja yang termasuk zona inti PGSP?

Ada 38 rumah, 25 kandang, dan ada juga tambak. Semuanya sudah ada di peta PGSP.

Kandang yang kena gusur itu semuanya bersertifikat?

Sertifikat nggak ada. Kalau kita mau ngurus sulit. Pemerintah juga nggak ngasih tahu aturannya kalau kita harus ijin ke mana. Bertahun-tahun tinggal di sini didiamkan saja, tapi malah tiba-tiba mau digusur.

Kalau bangunan yang di pinggir jalan sana juga kena?

Kena. Karena masuk zona penyangga.

Apa sudah ada musyawarah dari pihak penggusur agar bisa disepakati warga?

Sosialisasi saja belum ada sampai sekarang, apalagi rembugan soal ganti rugi dengan warga. Warga biasanya rembugan sendiri dan menyatakan sikap tetap menolak.

Apa pekerjaan warga terdampak penggusuran di zona inti?

Ada petani, pedagang, juru parkir, pekerja wisata, dan lain-lain.

Kalau bertani menanam apa saja?       

Ada singkong, terong, brambang (bawang merah), buah-buahan, dan lainnya.

Tanggapan Ibu terhadap klaim SG?

SG dan PAG (Pakualaman Ground) sudah tidak ada menurut Perda DIY No. 3/1984. Mandat gubernur saat itu, Sri Sultan Hamengkubuwono IX, adalah tanah untuk rakyat; dibagi-bagikan kepada rakyat.

Kalau modus klaim tanah memakai Undang-undang Keistimewaan (UUK) yang disahkan tahun 2012?

Tapi kan ada Undang-undang Pokok Agraria (UUPA) 1960 yang lebih sah.

Ketika UUK 2012 diketok palu, apa yang Ibu lakukan bersama kawan-kawan?

Ikut demo bersama mahasiswa, kami berteriak-teriak menolaknya. Kami juga memaksa masuk ke dalam gedung parlemen kalau nggak ada anggota dewan yang mau turun menemui.

Menurut tanggapan Ibu soal isu pelestarian lingkungan sebagai alasan penggusuran?    

Itu alasan saja biar semua tanah di DIY bisa di-SG-kan. Lha pihak Pemerintah (Pemkab Bantul) kok mau-maunya disuruh buat menggusur, Kraton kok nyuruh Negara. Terus rakyatnya mau dikemanakan?

Kabar dari koran-koran lokal, motif penggusuran supaya melestarikan lingkungan supaya tidak rusak. Kalau menurut Ibu dan warga yang sudah bertahun menjaga kelestarian lingkungan di sini, bagaimana?

Mana buktinya kami merusak? Lihat saja di sini banyak pepohonan yang kami tanam. Warga sudah bisa melestarikan lingkungan sendiri dan punya pencaharian sendiri. Yang kami lakukan, nggak usah dirusak.

Penggusuran sudah berkali-kali, dari tahun berapa?

Dari tahun 2007 sudah ada penggusuran di Karang Bolong, berlanjut tahun 2008-2009 sampai Kali Mati. Tahun 2010 juga terjadi. Saat itu kami tanpa diberi ganti rugi dan dicap sebagai orang-orang liar. Maka warga mendirikan ARMP pada 2010.

Pola penggusurannya bagaimana?    

Sejak tahun 2007, dari pesisir sisi timur terus mengarah ke barat. Tahun 2010, penggusuran tertahan di Grogol. Tahu-tahu kita dikepung dari sisi barat, itu Pantai Depok (sebelah barat Parangtritis-Parangkusumo) sudah digusur buat dibangun landasan pacu dengan mengatasnamakan klaim SG.

Kenapa Ibu tetap bertahan?

Saya melihat dampak penggusuran semena-mena sehingga rakyat nanti susah cari makan.

Punya ide bikin sanggar belajar dari mana?

Dari kecil cita-cita saya sudah begini. Ingin bikin sanggar. Saya kan lulusan PGAN. Juga, anak-anak sini kalau mau belajar, tempatnya jauh.

Bu Kawit sendiri mendirikan sanggar ini sejak kapan dan bagaimana proses belajar anak-anak di sanggar?

Sudah satu bulan lalu. Ini bertujuan untuk membantu anak-anak sekolah belajar. Kini sudah mencapai 15-20 orang peserta yang terdiri dari siswa SD dan SMP. Adapun yang kini sedang dipelajari seperti iqra, bahasa inggris, matematika, dan kesenian. Kegiatan belajar terbatas pada hari Senin, Kamis, dan Sabtu dari Ashar hingga Maghrib.

Jumlah anak-anak yang berminat terus bertambah sehingga kami kewalahan. Walau tempatnya sumpek tapi anak-anak senang. Saya dibantu teman-teman relawan untuk mengajar. Sekarang pun waktu berjualan saya jadi berkurang hanya sampai jam 3 sore karena berkewajiban mengajar di sanggar ini. Tapi sanggar ini masuk ke dalam zona inti PGSP dan akan digusur.

Yang digusur selain bangunan?

Pepohonan yang ditanam warga. Warga menanam itu supaya pasir tidak gampang kebawa angin. Kalau digusur semena-mena, pasir bisa terbang ke kampung. Ekosistem gumuk juga rusak.

Tradisi menanam pohon di gumuk ini sejak kapan?

Sejak mbah buyut kami masih ada. Yang paling lama itu pohon kleresede. Beberapa pohon ditebas buat tambak. 2 tahunan ini tambak mulai ada.

Kami juga pernah membantu UGM menanam cemara. Kami menanam ketika hawa siang sedang panas-panasnya dan kami harus mengemban pohon-pohon itu sendiri. Ada 3 kali kami membantu penanaman. Tapi kok sekarang tanaman mau digusur, lha maunya UGM gimana?

Pernah mengendus kedok dari tiap penggusuran?

Waktu penggusuran tahun 2010, sempat mendengar ada investor dari Jepang menawarkan nilai kontrak 60 triliun rupiah untuk mendirikan hotel dan obyek wisata lain-lain.

Sudah ada janji-janji setelah digusur?

Belum diajak rembugan tapi tahu-tahu kita sudah didata.

Wilayah Parangtritis dan Parangkusumo jelas melawan penggusuran. Setahu Ibu, daerah pesisir selatan yang bakal kena hal serupa?

Watukodok di Gunungkidul dan pesisir Kulon Progo juga kena dan mereka juga melawan.

Mengetahui banyaknya penggusuran di wilayah DIY, pendapat Ibu?

Tegakkan saja aturan yang berlaku. Mematuhi aturan negara yang ada.

Sikapnya tetap ya Bu, warga tetap tidak layak digusur?

Iya. Kami merawat alam sini. Menanam pohon dan tidak rela tanaman juga kena gusur. Nanti pasir-pasir bisa melorot dan kalau tidak ada pohonnya bisa terbawa angin. Misal tanaman kleresede itu yang bisa jadi pakan kambing, kalau tanaman itu tidak ada, kambing mau makan apa, makan pasir?

***

Tanpa diduga, pemberitahuan akan sosialisasi pun tiba. Tanggal 13 September, warga diundang ke Kantor Desa Parangtritis untuk mendengarkan sosialisasi penggusuran dan Megaproyek PGSP. Sosialisasi tersebut dihadiri pula oleh pihak Pemerintah Desa Parangtritis, Satpol PP Bantul, akademisi UGM, dan Komndo Rayon Militer Kretek. Lagi-lagi, klaim atas SG dan kedok pelestarian gumuk pasir dijadikan alasan pihak penyelenggara PGSP. Pihak penggusur menyatakan bahwa sosialisasi tersebut sebagai “musyawarah”. Namun seusai menghadiri sosialisasi, Bu Kawit dan orang-orang seperjuangannya belum menganggap agenda tersebut sebagai “musyawarah”, karena tidak sesuai kemufakatan dan hanya ajang menyampaikan keinginan pihak penggusur. “Kami tetap tidak sepakat digusur dengan kedok apapun,” terang Bu Kawit di Sanggar Belajar Kuncup Melati Mandiri.

 

Tim Liputan:

Abdus Somad (PPMI), Taufik Nurhidayat (PPMI), Imam Ghazali (Ekspresi), Rimba (Ekspresi), Faris (Rhetor), Javang Kohin P (Rhetor), Bintang W. P. (Poros), Afzal N. I. (Motivasi/Surakarta), dan Widia (Poros).