Kategori
Diskusi

Mempertanyakan Keseriusan Pemerintah dalam Menangani Wabah Covid-19

Indonesia sedang mengalami problem yang sangat serius, yakni menjadi negara terdampak infeksi SARS-Cov-2 yang mengakibatkan penyakit Coronavirus Disease atau  disebut dengan Covid-19. Indonesia secara resmi mengakui merebaknya wabah Covid-19 pada 2 Maret 2020, ditandai dengan diumumkannya dua pasien pertama oleh Presiden Joko Widodo. Sejak itu, peningkatan jumlah pasien positif Covid-19 terus meningkat di Indonesia. Hingga Selasa, 7 April 2020, pukul 19.00 WIB. Pasien positif  tercatat mencapai 2.738, pasien dalam perawatan 2.313, pasien sembuh 204 dan pasien meninggal dunia 221. [1]

Saya berdoa pandemi ini akan segera berakhir, tapi nyatanya para ahli dengan berbagai analisisnya, menyatakan pandemi ini tidak akan cepat berlalu dalam beberapa minggu ke depan, sekalipun sudah menerapkan isolasi diri agar mengurangi jumlah sebaran infeksi. Virus ini bisa menyebar dengan cepat khususnya di negara yang jumlah penduduknya padat. Pada 3 April 2020 Badan Intelijen Negara (BIN) menyampaikan prediksinya yang teranyar, jika penyebaran virus Covid-19 akan memuncak pada bulan Juli 2020. Temuan ini disampaikan oleh Ketua Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19, Doni Monardo, dalam rapat kerja dengan Komisi IX DPR. Jumlah kasus positif Covid-19 akan meningkat secara berangsur tiap bulannya 1.577 kasus pada akhir Maret, 27.307 pada akhir April, 95.451 pada akhir Mei, lalu 105.765 pada akhir Juni. [2]

Seiring semakin banyaknya korban berjatuhan dan masih lama berakhirnya virus ini, jika merujuk pada perkiraan para ahli. Hal ini membuat semakin besar kekhawatiran  masyarakat dalam menjalani aktivitas sehari-hari, baik perihal kebutuhan pangan, akses kesehatan sampai menyangkut kebijakan pemerintah dalam merespons wabah Covid-19. Di sini perlu kita renungi dan pertanyakan, bagaimana keseriusan pemerintah dalam menangani Covid-19? Berikut sedikit ulasan saya.

Awal Mula Virus Muncul dan Kegagapan Pemerintah

Saat pertama kali virus ini muncul di China dan menyebar ke negara lain, pemerintah menganut premis yang sama sangat keliru. Pemerintah melalui pernyataan para pejabat dan elitnya cenderung meremehkan dan menyiratkan seakan-akan semua masyarakat Indonesia kebal terhadap serangan virus ini. Melalui Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto memberikan respon terkait penanganan Covid-19 yang cenderung meremehkan dan tidak menggambarkan kemampuan berpikir yang baik. Benjamin Bland salah satu peneliti sekaligus Direktur Lowy  institute Asia Tenggara, lembaga think thank Australia mengatakan, “Hal yang disampaikan Menteri Kesehatan Terawan terkait Covid-19 memperlihatkan bahwa pemerintah Jokowi minim berpikir strategis.” [3]

Tidak berselang lama, Universitas Harvard memprediksi bahwa virus Sars-Cov-2 penyebab Covid-19 sudah sampai di Indonesia, ditolak mentah-mentah. Bukannya dijadikan landasan untuk mempersiapkan kebijakan kesehatan publik yang kuat dan efektif untuk menghadapi virus ini. Sikap meremehkan dan cenderung anti-sains ini sedikit banyak telah membuat pemerintah ter–gagap manakala virus ini benar-benar datang. Sementara para pemimpin negara-negara tetangga jauh hari sudah mempersiapkan negaranya, masing-masing: memperluas kampanye layanan masyarakat, menyiapkan rumah sakit, menetapkan prosedur dan protokol di pelbagai sarana publik, Pemerintah Indonesia terlihat minim inisiatif dan ketinggalan.

Kegagapan nampak dari kesalahan-kesalahan yang dilakukan baik oleh pejabat pemerintah pusat, maupun daerah. Koordinasi yang lemah antara pemerintah pusat dan daerah, mis-komunikasi antara Kementerian Kesehatan dengan instansi lainnya, nampak pada saat kasus pertama diumumkan, termasuk pelanggaran hak privasi pasien. Tampak jelas bahwa pemerintah cenderung mendahulukan citra ketimbang kemaslahatan pasien dan keselamatan publik yang lebih luas.

Pemerintah Jokowi tidak memiliki rencana yang jelas dan transparan dalam menangani Covid-19, meskipun Jokowi telah membentuk tim respon cepat untuk mengatasi krisis, hingga menyatakan pemerintah pusat akan mengambil kendali penanganan Covid-19, koordinasi antara istana dan pemerintah daerah juga masih minim, akibatnya  banyak tarik ulur kebijakan, sehingga mengakibatkan ketidakjelasan penanggulangan Covid-19. Bahkan beberapa pemerintah daerah memilih berinisiatif membuat kebijakan tanpa menunggu intruksi dari pemerintah pusat. Hal ini menandakan bahwa pemerintah daerah sudah tidak percaya pada pemerintah pusat. Pada situasi seperti ini pemerintah daerah lah yang fokus memberikan perlindungan kepada masyarakat, karena secara sosiologis dan geografis pemerintah daerah lebih dekat dengan masyarakat yang terdampak.

Selanjutnya, langkah yang diambil pemerintah pusat hanya sebatas menghimbau masyarakat untuk mengambil tindakan pencegahan. Seperti melalui kampanye menjaga kebersihan, mencuci tangan pakai sabun, mengenakan masker, seruan menghindari keramaian atau kontak sosial, yang mana hal tersebut terpaku pada kesadaran individu. Padahal pandemi Covid-19 telah menimbulkan berbagai dampak sosial-ekonomi yang signifikan bagi kelompok rentan. Sebanyak 16.065 pekerja atau buruh di DKI Jakarta terkena Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) akibat pandemi Covid-19. Jumlah tersebut berdasarkan catatan Dinas Tenaga Kerja, Transmigrasi dan Energi (Disnakertrans) DKI Jakarta. Selain PHK, wabah Covid-19 juga membuat 72.770 pekerja dirumahkan [4], pelaku usaha kecil mandiri juga akan alami berkurangnya pendapatan, akibat terhentinya pekerjaan atau turunnya daya beli, selain itu juga disebabkan harga pangan yang naik atau langka sejak pandemi meluas.

Selain itu, masih ada buruh pabrik yang harus bekerja di tengah bahaya wabah Covid-19, diketahui buruh pabrik di Sukabumi menuntut untuk libur ramai disuarakan melalui media sosial, Jarak yang saling berdekatan, bahkan kadang saling bersenggolan satu sama lain membuat rentan terjangkit virus. Mereka menganggap social distancing tidak berlaku di tempat mereka bekerja. Seandainya pabrik diliburkan, mereka berharap manajemen perusahaan tempat mereka bekerja tetap memberikan upah. [5]

Logika Otoriterisme Pemerintah

Pemerintahan dalam kebijakan pengamanan akibat pandemi ini didasarkan pada logika otoriter. Diketahui Polda Metro Jaya menangkap 18 orang di Jakarta Pusat pada Jumat malam 3 April 2020. Menurut keterangan Kabid Humas Polda Metro Jaya, mereka diduga melanggar pembatasan sosial berskala besar (PSBB), padahal belum ada penetapan tentang PSBB. Benar bahwa Presiden telah menetapkan PP No 21 tahun 2020 tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar dalam rangka percepatan penanganan Covid-19, namun PP tersebut tidak menetapkan bahwa pada wilayah di Indonesia diberlakukan PSBB. Belum ada ketentuan pidana yang dapat diterapkan, tapi rakyat sudah bisa ditindak secara sewenang-wenang, termasuk rakyat yang terpaksa harus tetap keluar rumah untuk memenuhi kebutuhan dasarnya. [6]

Untuk menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat selama menghadapi bencana non-alam, Pada 4 April 2020, Mabes Polri mengeluarkan Surat Telegram (ST) terkait penanganan para penyebar hoaks dan penghina presiden saat pandemi Covid-19. Surat Telegram itu bernomor ST/1100/IV/HUK.7.1./2020, dokumen tersebut ditandatangani langsung oleh Kabareskrim Komjen Listyo Sigit Prabowo. Kepala Biro Penmas Divisi Humas Polri Brigjen Pol Raden Prabowo Argo Yuwono menyampaikan sudah menangani 72 kasus, yang mana kasus tersebut merupakan total hasil penanganan jajaran kepolisian di berbagai daerah. [7]

Kita bisa merenungkan tentang berapa banyak sumber dana yang lebih banyak dialokasikan ke dalam militer, polisi, bank dan pasar saham, daripada dianggarkan untuk perawatan kesehatan publik dan sumber daya terkait untuk membantu orang selamat dari krisis ini. Dan faktanya, memidanakan dan memenjarakan warga sipil karena ketahuan berkeliaran dan ketahuan mengadakan acara pernikahan akan lebih mudah dilakukan aparatur negara dibandingkan dengan melakukan tes virus kepada anggota masyarakat. Dan yang perlu diingat baik-baik, saat warga negara dilarang berkeliaran di jalan, pemerintah dan DPR justru sedang berkumpul melakukan sidang membahas RUU Omnibus Law, RUU KUHP, RUU Minerba dan undang-undang yang menyengsarakan rakyat lainnya. Anehnya para aparat negara tidak ada yang membubarkan atau memberi peringatan kepada DPR dan pemerintah.

Di tengah pandemi seperti ini, tentu sangat tidak etis apabila DPR dan pemerintah memaksakan proses pembahasan, bahkan sampai berencana mengesahkan RUU Omnibus Law, RUU KUHP, RUU Minerba, karena publik sedang berada pada masa krisis, publik memberikan fokusnya pada penanganan Covid-19, sehingga partisipasi publik terbatas. Jika DPR dan pemerintah tetap memaksakannya, maka kita semua sebagai warga negara tahu bahwa pemerintah pusat dan DPR gagal menentukan prioritas, tidak peduli dengan ribuan pasien positif dan ratusan pasien yang meninggal dunia gara-gara Covid-19.

Sebenarnya pemerintah dapat melakukan tindakan yang benar-benar efektif, apabila menjalankan dengan serius regulasi yang ada. Serta berpijak pada kepentingan masyarakat yang lebih luas. Daripada membiarkan wabah semakin meluas, tentu akan sangat merugikan pemerintah, jika kita memakai logika ekonomi pada umumnya. Tidak akan ada investasi jika negara tidak bisa menjamin mereka, khususnya keberlangsungan masyarakat. Jika memakai logika sesuai UUD dan Pancasila, tentu konteks sosial yang didahulukan daripada memikirkan ekonomi. Karena kesejahteraan diukur dari terjaminnya hak-hak masyarakat, bukannya dirampas, sudah sangat jelas sangat anti terhadap filosofi dasar negara ini. Yang hilang dari pemerintah saat ini adalah tidak mengutamakan masyarakat, karena pada dasarnya pemerintahan oligarkis hanya memikirkan keuntungan segelintir orang saja.

Membaca Regulasi yang Ada

1. Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 28 H Ayat (1), Pasal 34 Ayat (3). [8]
Menjelaskan bahwa pelayanan kesehatan adalah hak setiap orang yang menjadi tanggung jawab negara atas penyediaannya. Setiap orang berhak dan wajib mendapat kesehatan dalam derajat yang optimal, tidak hanya menyangkut masalah individu–an sich, tetapi meliputi semua faktor yang berkontribusi terhadap hidup yang sehat, seperti masalah lingkungan, nutrisi, perumahan dan juga hak atas kesehatan serta hak atas pelayanan tenaga medis.

2. Undang-undang Nomor 4 Tahun 1984 Tentang Wabah Penyakit Menular. [9]
UU Wabah Penyakit Menular secara jelas disebutkan bahwa pemerintah bertanggung jawab untuk melakukan penanggulangan wabah penyakit menular, melalui pemeriksaan, pengobatan, perawatan dan isolasi penderita, termasuk tindakan karantina serta pencegahan dan pengebalan. Tujuan UU ini terkait penanggulangan wabah penyakit menular, pemerintah seharusnya melakukan se–dini mungkin dikarenakan akibatnya yang sangat luas. Covid-19 oleh WHO telah dinyatakan sebagai pandemi, mengutip dari Tempo [10] diartikan ketika suatu penyakit menular dengan mudah menjangkiti satu orang ke orang lainnya di banyak negara pada waktu yang bersamaan.

3. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 Tentang Penanggulangan Bencana. [11]
Wabah penyakit menular Covid-19 sudah ditetapkan sebagai bencana non-alam. Akibatnya pemerintah memiliki kewajiban sebagaimana diatur dalam Pasal 6, 7, 8 dan 9. Masyarakat memiliki  hak sebagaimana telah diatur dalam Pasal 26, terutama hak atas kebutuhan dasarnya.

Penanggulangan bencana dibagi menjadi tiga tahap yaitu, pra-bencana, saat tanggap darurat dan pasca bencana. Jika melihat kondisi saat pra-bencana, dapat dilihat jika pemerintah telah abai dalam melakukan kewajibannya. Tahap pra-bencana dibagi menjadi, saat tidak terjadi bencana dan saat ada potensi bencana, seperti yang tertuang dalam pasal 34.

Merebaknya kasus Covid-19 di media internasional dan juga peringatan dari WHO serta negara-negara lainnya menunjukan bahwa sebelum kasus pertama Covid-19 di Indonesia ditemukan, pemerintah telah sadar bahwa terdapat kemungkinan Covid-19 untuk masuk ke Indonesia. D dasar tersebut, seharusnya Pemerintah Indonesia menyelenggarakan penanggulangan bencana seperti perencanaan penanggulangan bencana, pengurangan resiko bencana dan pencegahan, yang telah diatur dalam pasal 35. Karena perencanaan penanggulangan bencana ditetapkan oleh pemerintah sesuai dengan kewenangannya.

Selain itu, pada saat potensi terjadinya bencana, maka pemerintah seharusnya melakukan kesiap-siapan, peringatan dini dan mitigasi bencana. Dalam hal terjadi potensi bencana, sangat penting bagi pemerintah untuk melakukan hal-hal seperti yang dijabarkan dalam Pasal 45, 46 dan 48, khususnya untuk mengurangi dampak negatif dari bencana tersebut. Sebab itu, Pemerintah seharusnya menaruh fokus pada tahap pra-bencana, yang mana tahap ini sangat penting. Tetapi mereka justru abai, sehingga menyebabkan kondisi seperti pada saat ini. Tahap pra-bencana menjadi faktor penting untuk mencegah ataupun mengurangi dampak negatif dari bencana.

Pada saat tahap tanggap darurat, pemerintah memiliki kewajiban sebagaimana diatur dalam Pasal 53 dan Pasal 54 dengan memprioritaskan kelompok rentan. Isolasi orang yang terkena Covid-19 cukup memakan waktu cukup panjang. Bagi mereka yang terkena Covid-19 dan berkedudukan sebagai tulang punggung keluarga tentu saja akan memberikan dampak terhadap perekonomian keluarga. Apalagi lebih dari 60% penduduk Indonesia bekerja pada sektor informal. Karena itu seharusnya pemerintah juga memperhatikan hal tersebut.

4. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan. [12]
Berdasar UU Kekarantinaan Kesehatan, Indonesia memiliki komitmen melakukan upaya mencegah terjadinya darurat kesehatan masyarakat yang meresahkan dunia dan juga harus menghormati sepenuhnya martabat hak asasi manusia, dasar-dasar kebebasan seseorang dan penerapannya secara universal untuk perlindungan kesehatan masyarakat dan meningkatkan ketahanan nasional di bidang kesehatan. Kemudian dalam karantina kesehatan baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah memiliki tanggungjawab dalam penyelenggaraan karantina kesehatan. Selama karantina, kebutuhan hidup dasar orang dan makanan hewan ternak menjadi tanggungjawab pemerintah pusat. Selain menjamin kebutuhan hidup, pemerintah pusat juga harus menjamin kebutuhan sumber daya yang diperlukan dan menyelenggarakan karantina kesehatan di pintu masuk dan di wilayah secara terpadu. Di mana pintu masuk adalah tempat masuk dan keluar orang yang berpotensi besar menimbulkan bahaya kesehatan dan menyebar ke lintas wilayah dan lintas negara.

Semestinya masyarakat tidak perlu cemas akibat pandemi ini, pemerintah pusat dan daerah seharusnya bisa memenuhi akses pangan, kesehatan, terutama bagi kelompok rentan. Pemerintah juga harus bisa mengantisipasi terhadap dampak sosial-ekonomi dari wabah Covid 19. Semestinya pemerintah jangan hanya menghimbau masyarakat agar tidak panik, tapi juga memberikan fasilitas kepada masyarakat, karena sesungguhnya kepanikan masyarakat bersumber dari tidak adanya pangan dan tidak adanya akses kesehatan. Banyak masyarakat yang berpikir bahwa pemerintah telah acuh terhadap wabah Covid-19, pemerintah ingin membunuh masyarakat secara perlahan, entah itu karena mati kelaparan atau terpapar virus.

Pemerintah juga tidak usah khawatir terkait lemahnya perekonomian negara, seperti ungkapan Presiden Ghana, Nana Akufo-Addo di akun Twitter resminya pada tanggal 28 Maret 2020. “Kami tahu cara menghidupkan kembali ekonomi. Yang kami tidak tahu adalah bagaimana menghidupkan kembali orang yang mati.”

Terakhir, seandainya kita selamat melewati wabah ini, kita jangan pernah lupa bagaimana tindak tanduk pejabat-pejabat pemerintahan yang tidak peduli dengan nasib warga negaranya, banyak tenaga medis dan warga yang meninggal dunia, tetapi mereka tetap melanjutkan pembahasan RUU Omnibus Law, RUU KUHP, RUU Minerba dan RUU yang akan menyengsarakan masyarakat lainnya, sementara di beberapa daerah masih terdapat konflik agraria, kriminalisasi masyarakat dan kelompok adat tetap berjalan. Setidaknya dengan menjaga ingatan kita bisa tetap merawat  kebenaran yang ada, lalu memikirkan ulang jika diajak oleh pemerintah untuk kembali memilih mereka di bilik suara pemilihan umum kelak.

Referensi

[1] Kasus Covid19 di Indonesia. Diakses 6 April 2020. www.covid19.go.id
[2] Kompas.com. Prediksi Sejumlah Pakar Soal Puncak Wabah Virus Corona di Indonesai. Diakses 3 April 2020. https://amp.kompas.com/tren/read/2020/04/03/123616065/prediksi-sejumlah-pakar-soal-puncak-wabah-virus-corona-di-indonesia#referrer=https://www.google.com
[3] Benjamin Bland. Indonesia: Covid 19 Crisis Reveals Cracks in Jokowi’s Ad Hoc. The Intrepreter, media Lowy Institute. Diakses 3 April 2020. (Online : https://www.lowyinstitute.org/the-interpreter/indonesia-covid-19-crisis-reveals-cracks-jokowi-s-ad-hoc-politics).
[4] CNN Indonesia.  Imbas Corona 16 Ribu Warga DKI Jadi Korban PHK. Diakses 4 April 2020. https://m.cnnindonesia.com/ekonomi/20200404134159-92-490291/imbas-corona-16-ribu-warga-dki-jakarta-jadi-korban-phk
[5] Detik.com. Curhat Buruh Pabrik di Sukabumi Yang Masih Bekerja Saat Corona Mewabah. Diakses 6 April 2020. https://m.detik.com/news/berita-jawa-barat/d-4960861/curhat-buruh-pabrik-di-sukabumi-yang-masih-bekerja-saat-corona-mewabah
[6] ICJR. Pemerintah Tidak Jelas soal PSBB. Diakses 6 April 2020. http://icjr.or.id/pemerintah-tidak-jelas-soal-psbb-tindakan-kepolisian-melakukan-penangkapan-atas-dasar-psbb-melanggar-hukum/
[7] Liputan 6. Polri Terbitkan Aturan Khusu Tangani Hoaks dan Penghinaan Presiden Terkait Corona. Diakses 6 April 2020. https://m.liputan6.com/amp/4219978/polri-terbitkan-aturan-khusus-tangani-hoaks-dan-penghinaan-presiden-terkait-corona
[8] UUD Negara Republik Indonesia tahun 1945.
[9] Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1984 tentang Wabah Penyakit Menular.
[10] Majalah Tempo.  Ketidaksiapan Negara-Negara di Dunia Menghadapi Corona. Diakses 3 April 2020. https://majalah.tempo.co/read/laporan-utama/159993/ketidaksiapan-negara-negara-di-dunia-menghadapicorona
[11] Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 Tentang Penanggulangan Bencana.
[12] Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan.
Kategori
Diskusi

Menguak Kondisi Buruh di Pabrik Es Krim AICE 

Kalian sering mendengar kalimat Have an Aice Day, buatlah harimu sehat dan indah dengan es krim Aice? dan sering menghabiskan perlahan-lahan potongan es krim Aice di siang hari? Namun ternyata, di balik harganya yang murah dan digemari banyak orang itu terdapat penderitaan dan perlakuan tidak manusiawi terhadap buruhnya. Rasa yang nikmat bukan berarti nasib buruhnya juga ikut sejahtera. 

Kasus perburuhan ini mencuat ke publik setelah ratusan buruh di pabrik es krim Aice, PT. Alpen Food Industry (PT. AFI) melakukan mogok kerja sejak tanggal 21 Februari 2020 lalu. Pabrik yang terletak di kawasan M2100, Cikarang, Bekasi, Jawa Barat merupakan anak perusahaan dari Aice Group Holdings Pte, Ltd asal Tiongkok yang berinduk di Singapura.

Mogok kerja 600-an buruh ini dipicu dari gagalnya perundingan dengan pengusaha Aice pada tahun 2019 lalu. Perundingan menuntut terkait perbaikan kondisi kerja di pabrik dan sejumlah masalah lain itu buntut tak ada penyelesaian. Masalahnya adalah buruh telah resah atas kondisi kerja di pabrik yang diskriminatif dan eskpolitatif.  

Pabrik yang banyak menyabet penghargaan, salah satunya sebagai Excellent Brand Award pada 2017 dan menjadi sponsor utama di Asia Games 2018 ini memeras keringat kaum buruh tanpa perduli kesehatan mereka. Melansir keterangan pers dari Federasi Serikat Buruh Demokratik Kerakyatan (F-SEDAR) di situs fsedar.org, menyebut setiap hari buruh harus bekerja dalam bahaya keselamatan. Menghirup gas amonia yang bocor, kondisi kerja tidak sesuai standar K3, kerja di bawah tekanan dan harus mengejar target, upah dimurahkan, dan sering dikriminalisasi bagi buruh yang berserikat.

Masalah lainnya adalah terkait penggunaan buruh kontrak dan alih daya atau outsourcing, bonus dibayar dengan cek kosong, sulitnya mengambil cuti bagi perempuan, hingga buruh perempuan kerja kena shift normal – pagi, siang, dan malam – setiap seminggu sekali putar. Sehingga ada dugaan meningkatnya kasus keguguran dan kematian bayi pada 2019 lalu hingga awal 2020 ini sebanyak 21 kasus dari total 359 buruh perempuan yang bekerja.

Keguguran dan kematian bayi jadi isu utama yang dialami buruh di PT. AFI. Ada beberapa buruh perempuan yang bahkan keguguran dua kali, lalu dipecat dari pekerjaan dengan alasan karena ikut mogok. Parahnya lagi, pengusaha mengklaim kasus keguguran dan kematian bayi adalah akibat dari buruh berhubungan seks selama tri-semester pertama, bukan kerja shift malam. Cuti haid nyaris tidak dapat diambil sama sekali, bahkan dianggap penyakit karena pekerja harus mendapatkan izin dari dokter klinik perusahaan untuk mendapatkan cuti haid. Dokter klinik biasanya tidak memberikan izin cuti haid, tetapi obat penghilang rasa sakit.

Buntut Tak Menentu

Masalah-masalah ini telah dilaporkan ke berbagai instansi pemerintahan sejak 2019 lalu, namun hampir sebagian besar belum ada progresifitas atas penyelesaiannya. Buruh justru mendapat intimidasi berupa teror, diberikan sanksi berupa surat peringatan, demosi, hingga Pemutusan Hubungan Kerja (PHK). Tercatat, sudah ada sekitar 81 buruh yang mendapat surat PHK.

Mogok yang digelar buruh pun diklaim pengusaha sebagai mogok tidak sah dengan dalih tidak ada risalah deadlock. Padahal buruh sudah memenuhi seluruh ketentuan serta syarat mogok yang sah akibat dari gagalnya perundingan yang sudah berlangsung sebanyak 5 kali selama 30 hari namun tidak ada i’tikad baik pengusaha.

Pengusaha justru tidak memahami frasa “mengalami jalan buntu” sebagai suatu kondisi dihasilkan ketidak-sepakatan dalam perundingan. Definisi perundingan gagal dalam Kepmenakertrans Nomor 232/2004 dan UU Nomor 2 Tahun 2002 telah dijelaskan secara gamblang dalam pendapat-pendapat hukum yang diberikan serikat buruh kepada pihak pengusaha.

Sebagaimana diatur dalam Pasal 144 UU Ketenagakerjaan, bahwa pemogokan yang memenuhi ketentuan Pasal 140 UU Ketenagakerjaan tidak boleh dikenai tindakan balasan dari pengusaha. Seluruh prosedur dalam Pasal 140 telah dipenuhi buruh dengan memberikan pemberitahuan kepada Disnaker dan Pengusaha, tujuh hari kerja sebelum mogok kerja dilaksanakan dan format surat pemberitahuan tersebut telah sesuai dengan Pasal 140.

Terkait masalah penurunan upah, buruh punya acuan dan melakukan protes karena pengusaha mengubah Klasifikasi Baku Lapangan Indonesia (KBLI) 1520 atau makanan terbuat dari susu menjadi KBLI es krim, yang awalnya menggunakan upah sektor II menjadi Upah Minimum Kota/Kabupaten (UMK) Bekasi. Bila dihitung menggunakan UMK 2019, buruh justru kehilangan upah sebesar Rp. 280 ribu. Terkait skala upah, buruh juga telah menawarkan formulasi skala upah yang selisih dengan UMK karena PT. AFI tidak memiliki skala upah sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Ketenagakerjaan No.1 Tahun 2017 bahwa perusahaan dapat menghitung upah seorang pekerja berdasarkan sistem jejaring dan kompensasi yang transparan agar hubungan antara perusahaan dan pekerja harmonis. Namun tak seluruhnya diindahkan perusahaan.

Sementara, di catatan serikat juga ada 22 buruh di pabrik Aice dipekerjakan sebagai pekerja kontrak yang justru bertentangan dengan Pasal 59 UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dan Kepmenakertrans Nomor 100 Tahun 2004, karena buruh dipekerjakan di bagian produksi bersifat tetap bersama dengan karyawan tetap.

Selain kisruh tak berkesudahan dengan pengusaha, buruh juga harus menghadapi kebijakan-kebijakan Dinas Ketenagakerjaan (Disnaker) Bekasi, Jawa Barat yang cenderung sepihak dalam pengambilan keputusan. Instansi yang harusnya netral (jika tidak bisa independen dalam arti sesungguhnya) malah mengeluarkan anjuran tanpa mendengar aspirasi dari kelas buruh dan memilih mengakomodir kepentingan pengusaha. Laporan pelanggaran-pelanggaran itu juga dilayangkan ke UPTD Pengawasan Ketenagakerjaan Wilayah II Jawa Barat terkait K3 dan kondisi buruh perempuan hamil di pabrik, namun sangat lamban menanggapinya.

Berkali-kali buruh memprotes dan meminta agar mediator dari Disnaker dan pengawas dari UPTD Pengawasan Ketenagakerjaan diberi sanksi dan digantikan. Harus ada peningkatan pengawasan dalam penyelesaian perselisihan hubungan industrial itu, namun selalu nihil hasilnya. Buruh juga mendatangi kantor pusat pabrik Aice di Jakarta, meminta penanganan intens dari Kementerian Ketenagakerjaan dan tindakan konkret dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPA), namun sama saja.

Hingga, situasi Indonesia digemparkan dengan pandemi Viruscorona Decease (Covid-19), nasib buruh yang mogok malah semakin menderita tanpa tunjangan hidup, tanpa kepastian kerja, tanpa kepedulian pemerintah, dan hidup terombang-ambing. Dan justru pemogokan yang digelar hampir sebulan itu harus dibubarkan aparat keamanan pada Kamis (26/3/2020) lalu, dengan dalih mencegah penyebaran Covid-19. Bagaimana lagi dengan nasib ratusan atau bahkan ribuan buruh lainnya yang masih bekerja. Jadi rupanya buruh yang di dalam pabrik itu harus bekerja memenuhi target produksi dengan menghiraukan keselamatan mereka.

Hak-Hak Buruh Dalam Regulasi yang Harus Dipenuhi

Perselisihan antara buruh dan pengusaha di pabrik es krim Aice tidak sekedar masalah upah, namun lebih dari itu. Ini adalah masalah kemanusiaan yang sengaja diabaikan oleh pengusaha dan kekuasaan. Perlakuan sewenang-wenang terhadap buruh dan penanganan kasus yang berbelit-belit menjadi cermin buruk situasi hukum perburuhan di Indonesia.

Jaminan terhadap kelayakan hidup, kesehatan dan keselamatan kerja, hak mogok kerja, hak berserikat dan menyampaikan pendapat yang sudah diatur dengan tegas dalam Undang-Undang Dasar 1945, UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, Kepmenakertras Nomor 232 Tahun 2003, dan Konvensi International Labour Organization (ILO) Nomor 183 masih saja di-preteli dengan menganggap remeh hak-hak buruh tersebut.

Alih-alih peraturan-peraturan ini menjadi perlindungan kaum buruh, menjadi sandaran kaum buruh untuk menuntut hak-haknya justru malah menyulitkan buruh.

Bila ditinjau lagi, misalnya dalam UU No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, dengan jelas ancaman pidana bagi perusahaan/pengusaha yang menghalang-halangi buruh melakukan mogok kerja. Pasal 143 menegaskan siapapun dilarang menghalang-halangi mogok kerja yang sah, tertib dan damai. Pasal 144 UU Ketenagakerjaan juga melarang pengusaha mengganti buruh lain di luar perusahaan ketika buruh sedang melakukan mogok dan akan dikenai sanksi.

Ini artinya, buruh/serikat buruh yang melakukan mogok kerja tidak boleh diintimidasi ataupun dikriminalisasi dengan alasan tanpa dasar hukum. Pengusaha yang kedapatan atau diketahui menghalang-halangi mogok kerja yang dilakukan, berdasarkan Pasal 185 ayat (1) jo. Pasal 143 UU Ketenagakerjaan, perbuatan tersebut melawan hukum alias pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 4 (empat) tahun dan membayar denda paling sedikit Rp. 100 juta dan paling banyak Rp. 400 juta.

Pelanggaran terhadap Pasal 144 UU Ketenagakerjaan sebagaimana diatur dalam Pasal 187 UU Ketenagakerjaan, dapat dikenai sanksi pidana kurungan paling singkat 1 (satu) bulan dan paling lama 12 (dua belas) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp. 10 juta dan paling banyak Rp. 100 juta.

Selain itu, misalnya kasus buruh perempuan juga harusnya mendapat hak yang sama, dan tidak boleh diintimidasi, apalagi dalam kondisi hamil dan sedang menuntut perbaikan kondisi kerja sebagai konsekuensi dari bobroknya kondisi kerja. Pengusaha di pabrik Aice, dengan banyak alasan secara sporadis mengabaikan jaminan bagi perempuan, yang justru kontradiktif dengan undang-undang. Hak-hak maternitas buruh perempuan hamil dalam Konvensi ILO No. 183 dengan tegas menjamin hak tersebut. Baik itu cuti haid, hamil, melahirkan bahkan hingga menyusui dan mendapatkan upah yang layak. Demikian dengan UU Ketenagakerjaan, hak cuti bagi perempuan dengan upah terus dibayar (Pasal 82) dan memperoleh istirahat selama 1,5 bulan sebelum melahirkan dan 1,5 bulan setelah melahirkan.

Selain itu, selama masa kehamilan, Pasal 76 ayat (2) menjelaskan bahwa buruh perempuan hamil dilarang bekerja pada malam hari karena dapat membahayakan bagi kandungannya. Apalagi sampai kerja malam dengan kerja target dan beban kerja yang berat. Ini juga ditegaskan dalam BAB XA Hak Asasi Manusia, Pasal 28 mengatakan seorang buruh perempuan, terlepas dari status kerjanya, berhak mendapatkan perlindungan, berhak mendapatkan rasa aman dan dilindungi dalam menjalankan hak-hak asasinya, sekaligus terbebas dari segala bentuk perlakuan tidak adil atau diskriminatif.

Dukungan Solidaritas Kita

Perlakuan kesewenang-wenangan terhadap buruh di pabrik Aice adalah contoh konkret bagaimana penindasan terhadap kelas tertindas, tidak berdaya, dan lemah berlangsung begitu masif. Masalah di pabrik Aice hanyalah puncak gunung es dari sekian perselisihan di sektor perburuhan. Kita bisa melihat, belum saja ada Omnibus Law RUU Cipta Kerja saja nasib buruh Aice sudah begini, bagaimana jadinya bila Omnibus Law ini disahkan. Makin rumit dan makin sengsara kaum buruh dan kaum miskin lainnya dalam menuntut kesejahteraan.

Sebab itu, penindasan dan perlakuan terhadap buruh di pabrik Aice harus dihentikan. Pengusaha harus menjamin kesejahteraan, kesehatan dan keselamatan kerja kaum buruh sesuai dengan undang-undang yang berlaku dan pemerintah dalam hal ini pihak Disnaker Bekasi harus tegas dan tidak tanggung-tanggung dalam menindak pengusaha.

Penindasan terhadap upah, kriminalisasi terhadap serikat, perlakuan tidak manusiawi terhadap pekerjanya, menjadi cerminan buruk demokrasi di Indonesia yang masih menghamba pada sistem ekonomi kapitalisme. Karena itu, perjuangan kaum buruh di pabrik Aice harus bertransformasi menjadi perjuangan terhadap kemanusiaan, harus juga menjadi kekuatan solidaritas dari berbagai sektor untuk memperbaiki sistem sosial ekonomi yang timpang ini.

Kategori
Diskusi

Merenungi Tindak Kekerasan Kanda HMI terhadap Jurnalis LPM Progress

Opini yang berjudul “Sesat Berpikir Kanda HMI dalam Menyikapi Omnibus Law” yang ditulis oleh Pemimpin Umum LPM Progress yang berinisial ARM. di laman www.lpmprogress.com pada Jum’at (20/3/2020) merupakan tulisan bantahan dari sebuah berita di laman inisiatifnews.com tentang upaya Komisariat Persiapan Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Fakultas Teknik Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (FTMIPA) Universitas Indraprasta PGRI Jakarta Selatan yang mendorong DPR segera mengesahkan Omnibus Law.

ARM menulis opini tersebut bukan tanpa alasan, di tengah derasnya protes penolakan oleh elemen masyarakat sipil tentang Omnibus Law karena akan mengancam dan menyengsarakan masyarakat, ia (ARM) dikagetkan dengan sikap sekelompok mahasiswa yang justru berlawanan dengan gerakan masyarakat lainnya.

Saya menilai tindakan mengkritisi dengan tulisan yang dilakukan oleh ARM adalah sebuah hal yang baik, dan perlu dikembangkan. Reaksi tersebut tak lain merupakan bentuk apresiasi serius yang pantas dilakukan oleh manusia yang berstatus sebagai mahasiswa.

Namun, Opini yang ditulis oleh ARM itu membuat kanda-kanda HMI Komisariat Persiapan FTMIPA Unindra tidak terima dan meminta LPM Progress untuk menghapus opini tersebut. Pada Sabtu (21/3/2020), indekos salah satu anggota LPM Progress didatangi beberapa orang yang mengaku dari HMI Komisariat Persiapan FTMIPA Unindra. Mereka mencari keberadaan ARM dengan ancaman dan intimidatif.

Ketika mediasi yang dihadiri beberapa orang, seperti Riyad Kurniawan Gusung (Wan Gusung), Remon (Ramadin), Ismail Nurlamba, Kevin, Abdul, Hamri dan lain-lainnya, mereka justru bersikeras meminta opini yang ditulis ARM dihapus. Namun, lagi-lagi sikap apik ditunjukkan oleh kawan-kawan LPM Progress yang menyarankan hak jawab untuk membantah isi opini tersebut. Sikap tersebut menandakan independensi suatu media layak diapresiasi.

Sayang, tawaran tersebut justru dijawab ancaman pembunuhan dengan senjata tajam oleh beberapa orang—yang belakangan diketahui bernama Irfan dan Hayat. Tindakan intimidatif kembali dipertontonkan, ARM dikelilingi oleh beberapa orang, dan tak ayal ia menerima pukulan dari arah belakang. Menghindar telah ia lakukan. Namun bukannya menyudahi, sekumpulan—mengatasnamakan mahasiswa—tersebut justru mengejar. Wajah ARM pun menjadi sasaran, darah mengucur dari bibirnya. Tindakan kejam tersebut mengharuskan ARM dibawa ke rumah sakit untuk menjalani perawatan.

Saya menilai tindakan HMI Komisariat Persiapan FTMIPA Unindra adalah tindakan yang salah dan tidak patut dilakukan oleh himpunan mahasiswa yang konon bernafaskan Islam. mengapa demikian? Karena mahasiswa bisa membantah tulisan tersebut bukan dengan pukulan keroyokan, melainkan dengan tulisan sesuai keyakinannya.

Selanjutnya, Islam mengajarkan keterbukaan, bukan anti kritik, anti dialog, dan bertindak sewenang-wenang; melakukan pemukulan, pengroyokan dan mengancam membunuh dengan senjata tajam.

Andai, Cak Nur Cholis Madjid dan Cak Munir Said Thalib masih hidup dan mengetahui tingkah konyol kader HMI Komisariat Persiapan FTMIPA Unindra atau HMI mana saja yang mengamini tindakan kekerasan terhadap ARM, saya yakin beliau pasti malu. Karena sudah semestinya orang terpelajar itu harus adil sejak dalam pikiran, apalagi dalam perbuatan, begitu Pramoedya Ananta Toer mengingatkan.

Membaca Regulasi yang Berlaku

Kiranya kita perlu renungkan tindakan pemukulan, pengroyokan dan ancaman pada nyawa ARM. Regulasi tentang kebebasan berekspresi, kebebasan akademik, dan KHUP tentang penganiayaan dan perbuatan mengakibatkan luka-luka berat, masih berlaku di republik ini.

Dalam konteks ini, opini merupakan bentuk kebebasan berekspresi seperti yang tertulis dalam UU NO 9 tahun 1998 pasal 1 ayat 1 yang menerangkan pengertian kemerdekaan mengemukaan pendapat dimuka umum adalah hak tiap-tiap warga negara untuk menyampaikan pikiran dengan lisan, tulisan, dan sebagainya secara bebas dan bertanggung jawab sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Selain itu opini juga merupakan salah satu bentuk kebebasan akademik, seperti yang tertera dalam UU No 12 tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi, pasal 9 ayat 1 yang menjelaskan bahwa kebebasan akademik merupakan kebebasan sivitas akademik dalam pendidikan tinggi untuk mendalami dan mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi secara bertanggung jawab melalui pelaksanaan Tridharma.

Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Pasal 351, dalam ayat 1 menyatakan Penganiayaan diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah. Sementara dalam ayat 2 menyatakan bahwa Jika perbuatan mengakibatkan luka-luka berat, yang bersalah diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun.

Dari beberapa Regulasi diatas, setidaknya dapat kita temukan beberapa bukti kesalahan yang dilakukan oleh Kader HMI Komisariat Persiapan FTMIPA Unindra. Opini yang ditulis ARM sejatinya adalah berasaskan kebebasan berpendapat dan kebebasan akademik. Hal itu merupakan haknya sebagai warga negara. Namun alih-alih memahaminya, dan menggunakan hak jawab, kini mereka— kader HMI Komisariat Persiapan FTMIPA Unindra— justru terancam tindak pidana. Dalam hal ini tindakan yang dilakukan oleh Kader HMI Komisariat Persiapan FTMIPA Unindra merupakan bagian dari kekerasan, penganiayaan, tindakan yang membuat korban mengalami luka-luka seperti yang tertulis pada Pasal 351 KUHP Ayat (1) serta (2).

Nah, sudah jelaskan? Semua bisa ditinjau ulang dan itu adalah hak setiap manusia termasuk mahasiswa, maka dari itu kita perlu membuka mata dan banyak membaca, selanjutnya mari berdiskusi dan membalas tulisan ini dengan tulisan, bukan dengan baku hantam.

Kategori
Diskusi

KONGRES NASIONAL XV PPMI

Sejak tahun 1992 sampai sekarang, tiap kota bergiliran menjadi tempat/tuan rumah acara PPMI Nasional. Dalam Musyawarah Kerja Nasional (MUKERNAS) PPMI di Ponorogo mengamanatkan PPMI DK Madura sebagai tuan rumah penyelenggaran KONGRES NASIONAL XV PPMI. Sebuah kebanggan bagi Madura, menjadi tempat untuk melakukan evaluasi satu tahun kinerja kepengurusan PPMI, serta sebagai ajang untuk merekatkan kembali Pers Mahasiswa se-Indonesia. Selain evaluasi program kerja, dalam kongres kali ini merupakan moment sakral PPMI di seluruh Indonesia, karena dalam kegiatan ini akan diadakan pemilihan Sekretaris Jendral (Sekjend) PPMI Nasional 2020-2021. Sehingga menjadi satu kesempatan untuk hadir dan menyaksikan secara langsung pemilihan dan penetapan Sekjend PPMI Nasional yang baru.

Dalam penyelenggaraan acara ini terdapat serangkaian acara, seperti Pemilihan Sekjen PPMI Nasional, Bincang Jurnalistik, Workshop Jurnalisme Sastrawi, Festifal Media, Pameran Karya, Sarasehan dan Pentas Budaya. Kegiatan ini ditujukan untuk mempererat silaturrahim antar LPM, memperkenalkan budaya, dan sebagai hiburan untuk seluruh peserta Kongres Nasional XV PPMI 2020.
Adapun tema yang diangkat dalam kongres ini adalah “Memperkokoh Militansi Pers Mahasiswa di Bawah Tekanan Oligarki”. Hal ini dipilih mengingat fenomena penindasan oleh sistem oligarki terhadap seluruh rakyat Indonesia. Penindasan itu bisakita lihat mulai dari kebijakan merevisi 74 Undang-Undang, Pelemahan KPK, dan berbagai tindakan represif aparat negara terhadap seluruh rakyat Indonesia.


Tentu pers mahasiswa juga mengalami penindasan dari sistem oligarki ini, mulai dari represi di kampus maupun di luar kampus. Maka dari itu, pers mahasiswa perlu memperkokoh militansi, independensi dan kualitas gerakan pers mahasiswa ke depan.

Detail lengkap kegiatan ini dapat dilihat dari proposal undangan pada link berikut https://bit.ly/3044yKx atau https://drive.google.com/file/d/1-JmCcoNA4wJ8JkEecXpwgDVVEt4IQhDm/view?usp=drivesdk
Persiapkan diri kalian, dan kami tunggu kehadirannya di Madura nanti.

Kategori
Diskusi

Jalan Damai dari Permasalahan Papua

Ketika melihat demo-demo yang dilakukan mahasiswa-mahasiswa Papua, mungkin kita sebagai warga Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) ini menjadi kesal. Mereka membuat kerusuhan, macet jalan, merusak fasilitas umum, bahkan sampai ada warga sekitar yang tidak tahu apa-apa terluka. Kita mungkin ingin mengumpat dan melakukan kekerasan pada mahasiswa Papua yang suka membuat rusuh itu. Lalu kita bertanya-tanya, bukankah mereka itu pendatang di kota kita? Harusnya mereka itu belajar yang rajin, kok malah demo-demo membuat kerusuhan?

Orang-orang yang sering mendapat ujaran kebencian, umpatan dan kata-kata rasis itu seperti tidak pernah menyerah untuk membuat kita semua kesal. Padahal hampir setiap kali mereka melakukan diskusi dan aksi itu selalu dibubarkan oleh aparat negara, organisasi masyarakat (Ormas), maupun warga sekitar. Tak jarang mereka menerima perlakuan intimidasi sampai kekerasan fisik. Lalu muncul pertanyaan lagi di kepala kita, mengapa mereka tidak menyerah untuk membuat kerusuhan? Mungkin yang paling membuat kita kesal adalah mereka mendeklarasikan perlawanan sebagai bangsa “monyet” kepada NKRI. Di facebook, ada orang bernama Victor Yeimo membuat status, isinya begini:

Hei rakyat dan aparat Indonesia, bebaskan dan pulangkan “monyet-monyet Papua” di Surabaya! Disini “monyet-monyet” di Papua juga siap memulangkan Indonesia dari Papua.

“Monyet” Simbol Perlawanan Rakyat Papua.

Rakyat Indonesia dan aparaturnya panggil kami orang Papua monyet. Pemain Persipura dipanggil monyet. Elit politik seperti Natalius Pigai dipanggil monyet (Gorila). Semua kami orang Papua selalu dihina dengan panggilan monyet. Lalu “monyet-monyet” ini dipaksa untuk cinta NKRI atau miliki nasionalisme Indonesia. Hey orang Indonesia, anda waras?

Baiklah, monyet akan datang menyapamu dengan perlawanan. Monyet akan jadi simbol penindasan dan perlawanan rakyat West Papua. Saat martabat kemanusiaan kami disandingkan dengan monyet, maka nurani kami akan bangkit melawan watak dan mindset kebinatanganmu.

Siapkan diri turun jalan!

Mengapa Papua Ingin Merdeka?

Jika orang-orang Papua sudah menyatakan sikap seperti itu, lantas kenapa sampai saat ini Pemerintah tidak memberikan orang-orang Papua kebebasan untuk menentukan nasib sendiri? Pertanyaan ini mungkin bisa dijawab buku “Mengapa Papua Ingin Merdeka?” yang ditulis oleh Yorrys Th Raweyai, mantan Ketua Pemuda Pancasila. Yorrys memberi sebuah pandangan lain tentang sejarah bergabungnya Papua ke Indonesia sampai ke pembangunan infrastruktur yang selama ini digembor-gemborkan di Papua. Dalam buku itu dijaskan kalau sejak awal kemerdekaan 17 Agustus 1945, Papua bukan bagian dari Indonesia. Papua baru gabung Indonesia setelah 16 tahun Indonesia menyatakan kemerdekaan.

Ketika para pemuda dari berbagai daerah menyelenggarakan Kongres Pemuda pada 28 Oktober 1928 yang kemudian melahirkan kesepakatan ‘satu bahasa, satu bangsa dan satu negara Indonesia’, tak ada wakil pemuda Papua di situ. Kesepakatan sumpah tersebut dihadiri pemuda dari Jawa, Sumatera, Sulawesi, Kalimantan dan Ambon… Saat proklamasi kemerdekaan dikumandangkan oleh Ir. Soekarno dan Drs. Mohammad Hatta pada tanggal 17 Agustus 1945, batas wilayah menurut proklamasi adalah dari Aceh sampai Ambonia…Tetapi pada tanggal 23 Agustus 1945, Soekarno yang dipilih sebagai Presiden Republik Indonesia pada pidato pertamanya mengklaim Papua sebagai bagian dari Indonesia, dan menyapa publik dengan mengatakan ‘Saudara-saudaraku dari Aceh sampai Merauke. Sejak itulah, Soekarno berjuang dengan sekuat tenaga agar Papua masuk ke dalam wilayah Indonesia dengan berbagai cara, termasuk membangkitkan semangat di dalam negeri, maupun melalui lobi-lobi internasional,” tulis Yorrys.

Bergabungnya Papua ke Indonesia juga bukan keinginan orang-orang Papua sendiri. Pada saat Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera), orang Papua tidak benar-benar merasa ingin bergabung dengan Indonesia. Yorrus mencatat, pada tanggal 15 Agustus 1962, disepakatilah New York Agreement. Sebuah perjanjian untuk menyelesaikan sengketa sengit antara Indonesia dan Belanda tentang masalah wilayah Papua. New York Agreement ini yang kemudian dilaksanakan dalam Pepera pada tanggal 14 Juli sampai 2 Agustus 1969.

Tetapi Pemerintah Indonesia tidak memberikan kebebasan berbicara dan berkumpul kepada masyarakat Papua. Aparat negara melakukan penangkapan dan intimidasi kepada tokoh-tokoh Papua yang ingin mengajak masyarakat untuk mendapatkan kemerdekaan secara penuh. Yorrys menulis, “pelaksanaan Pepera tidak dilaksanakan sesuai ketentuan internasional yakni one man one vote, melainkan dengan cara musyawarah melalui DMP (Dewan Musyawarah Pepera) yang anggotanya dipilih oleh Pemerintah Indonesia. Dan para anggota DMP tersebut diintimidasi oleh aparat keamanan agar memilih suara ‘bergabung dengan Indonesia’ saat Pepera berlangsung”.

Meskipun orang-orang Papua tidak merasa ingin bergabung dengan Indonesia tapi Pemerintah, Tentara, dan Polisi NKRI tetap berjuang untuk mempertahankan kedaulatan NKRI. Perjuangan ini memang memiliki risiko tinggi, yaitu adanya pelanggaran HAM berat seperti pembunuhan dan genosida orang Papua. Bahkan setelah bergabung dengan Indonesia, Papua masih jadi wilayah termiskin.

Yorrys mengutip Data Korban Pelanggaran HAM dari Lembaga Studi Advokasi Hak Asasi Manusia (ELS-HAM). Data yang dipublikasi pada April tahun 2000 itu menyebutkan di Kabupaten Paniai (1968-1998) ada 614 orang meninggal, 13 hilang dan 94 diperkosa. Di Kabupaten Biak (1969-1972 dan 1998) ada 102 orang meninggal, 3 hilang, 37 dianiaya dan 150 ditahan. Lalu di Kabupaten Wamena (1977) orang tewas berjumlah 201 di Kecamatan Keila, 126 di Kecamatan Asologaima, 148 di Kecamatan Wosi. Kemudian di Kabupaten Sorong (1965-1999) ada 68 orang meninggal, 5 hilang, dan 7 diperkosa. Sedangkan di Kabupaten Jayawijaya (1996-1998) ada 137 orang meninggal, 2 hilang, 10 diperkosa, dan 3 dianiaya. Selain itu ada ada pembakaran 13 gereja, 13 kampung, 166 rumah, dan 29 rumah bujang.

Fakta bahwa Papua menjadi wilayah termiskin dicatat oleh ‘Tim Bentukan Gubernur Provinsi Papua’. Beberapa catatan Tim tersebut pada tahun 2001 seperti: 1) Sekitar 74,24 persen penduduk Papua hidup di daerah terisolir, karena tidak memiliki akses ke sarana dan prasarana transportasi ke pusat-pusat pelayanan sosial, ekonomi dan pemerintahan. 2) Sekitar 80 persen keluarga masih hidup dalam kondisi keterbelakangan dalam pertanian, ekonomi, pendidikan, kesehatan dan penguasaan ilmu pengetahuan serta teknologi. 3) Harga barang-barang konsumsi di kota Jayapura lebih tinggi 45 persen terhadap Jakarta dan jauh lebih mahal lagi di daerah-daerah terpencil.

Pemerintah Indonesia memang telah melakukan berbagai kesalahan dan kegagalan. Setelah itu, Pemerintah Indonesia melakukan upaya perbaikan dalam tataran kebijakan pembangunan di Papua. Seperti menerapkan kebijakan yang lebih sesuai dengan kondisi dan situasi setempat serta melibatkan secara aktif masyarakat Papua. Upaya perbaikan juga dilakukan oleh PT Freeport Indonesia yang selama puluhan tahun menikmati kekayaan mineral Papua dan mengabaikan masyarakat lokal. PT Freeport menyediakan dana perwalian bagi masyarakat adat Amungme dan masyarakat adat Komoro yang terkena dampak langsung serta berada di sekitar wilayah tambang Grasberg.

Upaya perbaikan lain yang dilakukan Pemerintah Indonesia adalah pemberian Otonomi Khusus (Otsus) kepada Papua. Otsus tertuang dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) 1999 yang merupakan bagian dari Ketetapan MPR IV/1999. Dalam GBHN itu dijelaskan: Dalam rangka mempertahankan integrasi bangsa dalam wadah Negara kesatuan Republik Indonesia dengan tetap menghargai kesetaraan dan keseragaman kehidupan sosial budaya masyarakat Papua, maka ditetapkan daerah otonomi khusus yang diatur dengan undang-undang, dan penyelesaian kasus-kasus pelanggaran hak asasi manusia melalui peradilan yang jujur, adil dan bermanfaat.

Sayangnya, kebijakan Otsus tidak dijalankan dengan semestinya. Pemerintah Indonesia tetap menggunakan cara-cara sentralistis dalam mengendalikan Papua selama lebih dari 30 tahun. Yorrys menngatakan, kebijakan Otsus akhirnya dianggap sebagai gula-gula politik untuk meredam gejolak politik di Papua. Dari pengalaman ini, masyarakat Papua tetap tidak yakin dengan kebijakan apapun yang diberikan oleh Pemerintah Indonesia. Masyarakat Papua tidak menginginkan kebijakan Otsus maupun kebijakan lainnya, yang mereka inginkan adalah pelurusan sejarah dan memperjuangkan kemerdekaan.

Kita Bisa Membantu dengan Jalan Damai

Hal ini mungkin yang membuat Pemerintah, Tentara, dan Polisi NKRI sampai sekarang tidak memberi Papua hak untuk menentukan nasib sendiri. Begitu banyak permasalahan di Papua dari sisi sejarah, HAM, ekonomi, politik maupun sosial. Pemerintah Indonesia sekarang ini tetap ingin memperbaiki kesalahan-kesalahan yang dilakukannya dulu dan tak ingin Papua lepas dari Indonesia. Tapi orang-orang Papua yang sudah terlampau kecewa dengan Indonesia selalu menuntut haknya untuk menentukan nasib sendiri.

Setelah mengetahui sejarah dan kondisi sosial di Papua, kita jadi sedikit mengerti kenapa orang-orang Papua selalu membuat kerusuhan. Lalu sebagai warga NKRI bagaimana kita menykapi permasalahan Papua ini? Apakah kita akan terus kesal lalu mengumpat dengan kata-kata rasis, mengintimidasi dan melakukan kekerasan kepada mereka? Atau kita mulai lebih mengenal dan memahami apa yang mereka suarakan, dengan membaca lebih banyak buku-buku tentang Papua maupun berdiskusi dengan mereka?

Kita bisa memilih setuju atau tidak Papua menentukan nasib mereka sendiri dan sepertinya semua bisa dilakukan dengan jalan damai. Tanpa kata-kata rasis, intimidasi dan kekerasan. Sebagai warga NKRI, kita bisa membantu Pemerintah untuk menyelesaikan permasalah Papua. Kita bisa menjalankan nilai-nilai Pancasila, terutama di sila ke empat, “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan”.

Dengan membaca buku “Mengapa Papua Ingin Merdeka?” kita seperti digerakkan untuk memperbaiki kesalahan yang dilakukan Pemerintah Indonesia dalam menyelesaikan permasalahan Papua. Kesalahan Pemerintah Indonesia adalah melakukan pembodohan sejarah besar-besaran, penipuan kebijakan dalam diskusi soal penyelesaian kasus Papua, sampai akses jurnalis untuk mendapatkan informasi di Papua juga dipersulit. Semuanya dilakukan supaya kerusuhan di Papua meredam. Baru-baru ini, akses internet di Papua juga diputus oleh Pemerintah. Tak lupa, jumlah pasukan aparat negara yang semakin bertambah di Papua untuk menyelesaikan permasalahan. Keberadaan militer tak selalu membuat masyarakat Papua tenang, kita warga NKRI juga kurang mengetahui apa yang benar-benar terjadi di Papua. Kesalahan-kesalahan inilah yang perlu kita perbaiki bersama-sama, sehingga semuanya aman, tentram serta tidak ada korban jiwa lagi.

Memang terlambat kalau kita baru mengetahui sejarah dan kondisi Papua sekarang. Tapi terlambat mengetahui tentu lebih baik daripada tidak mengetahui sama sekali. Terlambat mengetahui lebih baik daripada diam dan jauh lebih baik daripada sok tahu lalu berkomentar sembarangan.

Baru-baru ini ada upaya pemerintah untuk meminta maaf atas kerusuhan yang terjadi. Dengan ini, semoga tidak ada lagi intimidasi, kata-kata rasis maupun kekerasan lainnya. Semoga tidak ada lagi pembubaran diskusi maupun aksi damai. Semoga bantuan dan solidaritas dari siapapun itu bisa bermanfaat untuk menyelesaikan permasalahan Papua. Entah itu dari warga NKRI maupun dari Luar Negeri seperti Forum Kepulauan Pasifik dan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Kita berharap supaya semuanya aman, tentram serta tidak ada korban jiwa lagi. Supaya semuanya berakhir damai tanpa ada rusuh-rusuh lagi dan kita semua bisa hidup bahagia selamanya.

================

*) Versi awal dari tulisan ini sudah dicabut. Ini adalah versi revisi. Opini penulis adalah tanggungjawab dari penulis, tidak menjadi tanggungjawab redaksi persmahasiswa.id

Kategori
Diskusi

Mahasiswa Harus Nakal

Sejarah peradaban dunia dan khususnya di Indonesia, tentu kita tidak bisa terlepas dari peranan mahasiswa, sosok yang digelari sebagai kaum intelegensi. Setiap gagasan serta pergerakannya menjadi pengharapan besar dalam upaya mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat. Sosok mahasiswa begitu diharapkan peranannya untuk mampu mengubah ketimpangan-ketimpangan sosial yang kini terjadi. Atas ke-Maha-an terpatri di pundaknya, menjadi barometer majunya suatu bangsa pada masa di waktu mendatang.

Tapi mungkin itu hanyalah sebatas mimpi, menyadari kenyataan yang begitu memilukan. Sistem pendidikan di Indonesia pada sejarahnya merupakan warisan kolonial dengan tujuan utamanya untuk menciptakan tenaga kerja murahan. Maka tak heran untuk memenuhi syarat tersebut, berbagai embel-embel yang sama sekali tak memiliki relasi dengan peningkatan kualitas pendidikan turut menghiasi hingga kini. Mulai dari kebijakan negara hingga aturan yang berlaku di Universitas. Bahkan aturan yang mengekang nalar kritis juga diberlakukan pada ruang-ruang belajar.

Misalnya aturan pedoman mahasiswa yang memperkarakan rambut, pakaian, dan juga aturan yang secara tidak langsung mengatur isi kepala mahasiswa. Aturan dibuat secara tidak demokratis, membatasi ruang gerak hingga otak. Output-nya mencetak sarjana seragam hingga isi kepalanya.

“Jangan nakal, tidak usah terlalu kritis, ikuti saja aturan biar cepat sarjana.” Yah mungkin itu beberapa ungkapan yang pernah penulis dengar dan telah menjadi rahasia umum. Sebuah pernyataan yang tak sepantasnya terlontar dari mulut mereka yang mengaku sebagai orang tua. Sebab, secara langsung memberikan kita pengajaran untuk bersikap apatis terhadap ketimpangan realitas yang terjadi. Inilah fenomena yang nyata menjangkit dunia pendidikan Indonesia saat ini. Adanya struktur yang mapantelah mematikan kebenaran dialektika, sehingga melahirkan paradigma yang sangat irasonal.

Dalam prakteknya, birokrasi kampus berperan sebagai subjek yang memiliki kewenangan untuk mengatur mahasiswa yang dipandang sebagai objek. Imbasnya, aturan yang diberlakukan pun selayaknya sabda Tuhan yang tak dapat lagi dipertanyakan. Opsinya jangan bertanya apalagi berani menentang aturan atau anda akan dipinta untuk mencari kampus lain.

Rasionalitas dan Moralitas

Dua perkara ini dalam dunia kampus acapkali berseberangan persepsi antara birokrasi kampus dengan mahasiswa hingga tak jarang berujung pada perdebatan yang tak kunjung usai. Khususnya dalam konteks kajian kebijakan kampus yang menuai kontraversial. Birokrasi mengklaim bahwa aturan yang dibuatnya baik untuk peningkatan kualitas pendidikan. Akan tetapi disisi lain aturan tersebut dinilai sangatlah tidak mendasar dan merugikan bagi mahasiswa.

Sebelum memecahkan perselisihan ini, terlebih dahulu perlu dipahami konflik yang melatarbelakangi perbedaan persepsi antara kedua pihak. Bahwa gerakan aksi protes yang dilangsungkan oleh mahasiswa atas suatu kebijakan kampus pada dasarnya merupakan wujud sikap kritisnya. Perumusan dan penetapan aturan yang secara tidak demokratis (sepihak) menjadi alasan terbesar kerisauan mahasiswa menuntut rasionalisasinya. Akan tetapi birokrasi menanggapinya dengan kacamata moralitas, asumsinya bahwa gerakan protes mahasiswa adalah tindakan amoral.

Bagi mahasiswa yang berani mengkritisi atau memprotes suatu kebijakan, maka predikat negatif pun dilayangkan. Misalnya saja mahasiswa susah diatur, tidak mau mendengar, sering melanggar, mahasiswa nakal, mahasiswa pemberontak, atau dituding sebagai anak durhaka. Yah, masih beruntung jika mahasiswa yang kritis tersebut tidak dijadikan bualan cerita belakang kepada mahasiswa baru yang dilakukan oleh beberapa oknum dosen.

Tentu kita sudah memiliki gambaran mengenai perdebatan perbedaan pandangan antara orang tua dan anak (birokrasi kampus/mahasiswa). Pada akhirnya, “seorang anak harusnya menghargai orang tuanya, tidak sepantasnya anak menjatuhkan atau berkata keras kepada orang tuanya.” Implikasi dari mahasiswa yang diposisikan sebagai anak, tuntutan rasionalitas dibenturkan dengan penilaian moralitas. Keadaan inilah yang membentuk sekat. Selayaknya jurang pemisah antara anak dan orang tua yang pada hakikatnya tidak pantas disebut keluarga tanpa adanya rajutan kasih untuk saling melengkapi satu sama lain.

Dua hal tersebut mesti dipahami dengan porsi yang benar dalam kehidupan kampus sebagai wadah ilmiah.Terlebih dalam konteks kebijakan kampus yang esensinya sangatlah terikat dengan tuntutan rasionalitas dan moralitas sebagai prinsip dalam perumusan serta penerapannya. Aturan yang dikeluarkan oleh pihak kampus mesti dipertanggungjawabkan kejelasan fungsi dan tujuannya. Jika aturan yang dibuat dinyatakan baik untuk meningkatkan kualitas pendidikan, maka perlu adanya pembuktian dengan pertimbangan dan penjelasan objektif berdasarkan kepentingan bersama tanpa adanya pihak yang dirugikan.

Jadi tuntutan rasionalitas disini menjadi instrumen penegasan atau mempertanyakan kembali iktikad baik oleh birokrasi kampus. “Apakah benar iktikad baik birokrasi sudah sesuai ekspektasinya, atau justru malah sebaliknya?” Tetapi birokrasi menanggapi pertanyaan kritis mahasiswa bukan dengan memberikan jawaban solutif. Birokrasi malah memberikan penilaian moralitas dengan legitimasinya mengaku sebagai orang tua. Rumusan besarnya, tidak ada kebaikan tanpa kebenaran.Sebab dalam hal ini perihal moralitas telah dikonstruksi sebagai senjata pembungkaman nalar kritis demi kepentingan sepihak (elit kuasa).

Mahasiswa dan kenakalannya

Kita perlu mengulas kembali petuah Ki Hajar Dewantara yang sangat jarang dikutip dan terabaikan dalam dunia pendidikan. Ada petuah Menteri Pendidikan pertama Republik Indonesia dalam bahasa jawa, “ngandel, kendel, kandel, dan bandel.” Petuah itu sarat makna dan kandungan nilai tentang manusia dalam bersikap. Keempat sikap ini secara tersirat menjadi cerminan sikap yang harus dimiliki kaum terpelajar.

Ngandel artinya percaya diri atau rasa keyakinan yang tinggi, sedangkan kendel berarti berani atau berjiwa patriotik yang mesti ditanamkan di dalam diri manusia. Untuk menambah power keberanian dan jiwa patriotik ini, maka penting didasarkan pada kandel atau ilmu pengetahuan agar lebih terarah dan memiliki mutu. Tentu tak kalah penting bandel, menjadi pelengkap terakhir sebagai mana yang telah diteladankan oleh Bapak Pendidikan Indonesia pada masanya.

Akan tetapi, dewasa ini bandel mengalami perubahan makna kandungannya secara peyoratif (menghina atau merendahkan). Jika mengacu pada Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), bandel artinya “melawan kata atau nasihat orang, tidak mau menurut atau mendengar dan kepala batu”. Akan tetapi jika menilik sejarah gerakan kaum terpelajar pada masanya, bandel pada praktiknya menjadi titik terang yang menghantarkan Indonesia merdeka.

Bandel teraktualisasikan sebagai tindakan kritis kaum terpelajar. Mereka memilih langkah yang tak biasa dan berpikir tentang sesuatu yang luput dipikirkan oleh khalayak. Bisa kita amati dari sikap Ki Hajar Dewantara dalam menentang tatanan sosial yang telah dibentuk demi kepentingan kolonial.

Dengan gagah berani, Ki Hajar Dewantara bertarung melawan pemerintah kolonial Hindia Belanda lewat tulisannya, “Seandainya saya seorang Belanda” yang dimuat pada tahun 1913. Akibat ulah kebandelannya, Ki Hajar Dewantara kemudian dijatuhi hukuman pembuangan di Negeri Holland (1913-1919). Namun itu tidak membuat semangatnya surut, menyerah atau patuh dibawah telunjuk pemerintahan kolonial. Justru malah sebaliknya, selepas dari pembuangan Ki Hajar Dewantara bergerak dan melawan melalui jalan pendidikan dengan gagasan memanusiakan manusia.

Sekolah Taman Siswa kemudian didirikannya pada 13 Juli 1922 dengan tujuan memberikan kesadaran politik kepada rakyat pribumi dan sebagai antitesa dari lembaga pendidikan pemerintah kolonial yang berorientasi komersial. Konsep pendidikan memanusiakan-manusia ini juga merupakan implementasi dari sikap penentangannya terhadap praktek penjajahan di atas tanah Nusantara.

Sosok bandel lainnya, Raden Mas Djokomono Tirto Adi Suryo, tokoh yang digelari sebagai bapak Pers Indonesia ini telah banyak memberikan kontribusi terhadap kemerdekaan Indonesia. Tulisan-tulisan cadasnya menjadi penerang arah bangsa, membangun kesadaran kritis mengenai situasi politik Hindia Belanda dan membedah kebijakan-kebijakan pemerintahan Hindia yang disinyalir merugikan rakyat pibumi.

Tirto Adi Suryo merupakan salah satu tokoh bumi putera terdidik yang mempelopori pergerakan kemerdekaan menggunakan surat kabar. Baginya surat kabar adalah sarana perjuangan melawan ketidakadilan pemerintah kolonial Belanda. Tak tangung-tanggung pada tahun 1900, ia memutuskan untuk keluar dari Sekolah Dokter Jawa (STOVIA) dan memilih untuk menekuni jurnalistik karena sikap politiknya yang sangat bersebrangan dengan kolonial. Maka tak heran dimasa mudanya banyak ia habiskan bergelut di media-media, diantaranya menerbitkan surat kabar Soenda Berita (1903-1905), Medan Prijaji (1907) dan Putri Hindia (1908).

Tirto Adi Suryo berani mengungkap beberapa kasus pada surat kabar serta mengkritik sistem kolonial. Sosoknya yang begitu vokal membuat pemerintahan Hindia geram dengan ulahnya.Ia sering ditangkap dan dibuang kebeberapa tempat seperti Lampung dan Ambon. Karena dianggap sebagai orang yang berbahaya, pemerintah Belanda mengutuskan orang khusus untuk mengikuti gerak-geriknya. Sebagaimana yang diulas oleh Pramoedya Ananta Toer dalam bukunya “Sang Pemula.” Rinkes merupakan tokoh yang ditugaskan oleh Gubernur Jenderal AWF Idenburg untuk mencari tahu lebih jauh tindak-tanduk Tirto Adi Suryo serta mengawasi keterlibatannya pada Medan Prijaji.

Motif lain dari pengintaian yang dilakukan oleh pemerintah Hindia secara tidak langsung juga mencoba menyurutkan pergerakan yang dilakukan oleh Tirto Adi Suryo. Namun sepertinya tidak begitu berpengaruh besar. Pasalnya upaya tersebut tidak berhasil menghentikan langkah perjuangan Tirto Adi Suryo untuk terus menggelorakan kesadaran kemerdekaan bagi rakyat pribumi. Hingga akhir hayatnya (1918), Tirto Adi Suryo merupakan tokoh yang berpengaruh besar dalam membangun kesadaran awal bangsa. Sosok yang juga merupakan salah satu pendiri Serikat Dagang Islam (SDI) serta pemrakarsa Serikat Islam (SI) ini berhasil menginspirasi beberapa tokoh pergerakan lainnya.

Berbeda dengan Tirto Adi Suryo yang tidak begitu tersohor, tak elok rasanya jika pada tulisan ini tidak membahas tokoh sang proklamator pendiri bangsa Indonesia. Menelusuri rekam jejaknya, pada tahun 1922, beberapa partai-partai lokal mengadakan rapat besar-besaran (Radicale Concentratie) secara terbuka di lapangan Bandung untuk mengumpulkan petisi demi membela hak-hak pribumi. Soekarno (1901) pada waktu itu yang masih berstatus sebagai mahasiswa juga turut hadir dan untuk pertama kalinya tampil berbicara di depan publik.

Pada penyampaian gagasan politiknya, dengan suara lantang penuh percaya diri ia berhasil mengobarkan api kemerdekaan pada jiwa rakyat pribumi. Secara terang-terangan ia menentang Belanda serta menolak cara-cara pengumpulan petisi dan mengusulkan agar membangun gerakan Non-Kooperatif secara total kepada pemerintahan Hindia. Akibat ulah kebandelannya, Rektor Technische Hogeschool  Bandung, Prof. Jon Klopper memanggil Soekarno ke kantornya dan memberikan peringatan serius agar ia tidak mengulangi lagi perbuatannya.

Sikap politik Soekarno yang sangat menentang kolonialisme sebenarnya sudah sejak lama mendarah daging dalam dirinya. Jiwa pemberontakan telah nampak jelas pada usianya ke-19 tahun. Ada sekitar 500-an tulisan yang ia terbitkan di Harian Oetoesan Hindia dengan nama samaran Bima. Pada setiap tulisan-tulisannya memberikan pesan kobaran semangat pemberontakan kepada seluruh rakyat pribumi untuk menentang pemerintahan Hindia.

Selepas studinya (1926), sikap anti kolonial terus menggelora dalam dirinya. Hal ini dibuktikan dari penolakannya untuk mengerjakan proyek-proyek pembangungan pemerintahan Hindia Belanda. Hingga pada 4 Juli 1927, Soekarno mendirikan organisasi Partai Nasional Indonesia (PNI) yang didasarkan atas semangat memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Sikap politik PNI secara tegas ditetapkan pada kongres pertamanya di Surabaya tahun 1928 dengan slogannya “Indonesia Siap Medeka”.

Soekarno memutuskan pemberontakan terhadap Belanda dengan mengacu kepada tiga program politik besarnya yaitu mencapai Indonesia merdeka, ekonomi dan sosial untuk memajukan pelajaran nasional, menetapkan asas non-kooperatif terhadap Belanda untuk perjuangan PNI. Soekarno dianggap sebagai ancaman bagi Hindia Belanda dengan aktivitas politiknya di PNI.Ia pun dijebloskan ke dalam penjara, mulai dari penjara Banceuy (29 Desember 1929) hingga dipindahkan ke penjara Sukamiskin (9 desember 1930 – 31 Desember 1931).

Mungkin tak satupun dari rakyat Indonesia yang berani mengecam bahwa tindakan yang mereka lakukan menentang Belanda adalah salah, tidak bermoral, ataukah tidak mencerminkan seorang kaum terpelajar. Yah memang benar, tak satupun yang akan mengecam kebandelanbapak pendidikan, bapak pers Indonesia, maupun sang proklamator pendiri bangsa. Akan tetapi berbeda halnya dengan fenomena yang dialami mahasiswa sekarang. Khususnya lagi dalam kehidupan kampus.

Bagaimana framing birokrasi yang kerap menyudutkan aksi-aksi kebandelan mahasiswa tanpa mengetahui atau memang tak ingin mengetahui dasar filosofi kebenaran yang disuarakan mahasiswa. Kenapa mahasiswa melakukan aksi? Apa yang dituntut oleh mahasiswa? Bagaimana menyelesaikan permasalahan yang disampaikan oleh mahasiswa? Pertanyaan-pertanyaan inilah yang semestinya dijawab oleh birokrasi kampus secara konperhensif dalam menyikapi kebandelan mahasiswa.

Terlepas dari persoalan ego fundamentalisme birokrasi kampus, kemerdekaan yang dinikmati rakyat Indonesia saat ini juga merupakan hasil dari kebandelan-kebandelan yang dilakukan kaum terdidik terdahulu. Inilah sebuah kebenaran yang tak bisa dinafikan oleh rakyat Indonesia. Dengan kata lain, jiwa pemberontak melawan ketidakadilan merupakan marwah yang esensial dalam diri mahasiswa.

Kategori
Diskusi

Mempertanyakan Upaya Edukasi dalam Pembekuan Ormawa di Politani Pangkep

Salah satu tugas Negara sesuai Undang-Undang Dasar 1945 adalah mencerdaskan kehidupan bangsa, namun bagaimana cara “mencerdaskan” ini menjadi permasalahan besar dalam dunia pendidikan kita dari dulu sampai sekarang. Institusi pendidikan, khususnya perguruan tinggi, saat ini perlu dipertanyakan dan dikoreksi lagi terhadap cara “mencerdaskan” mahasiswa? Jika ditanya mengapa perlu dipertanyakan dan dikoreksi lagi, jawabannya tentu saja karena hal itu adalah keinginan kita untuk menciptakan pendidikan yang lebih baik. Upaya mempertanyakan dan mengoreksi institusi pendidikan juga merupakan hak asasi kita sebagai warga negara untuk menyatakan pendapat.

Lantas, bagaimana kita menyikapi kebijakan kampus ketika kampus mendidik dan membina mahasiswa untuk mematuhi aturan dengan cara-cara pemaksaan? Seperti yang saat ini terjadi di Politeknik Pertanian (Politani) Negeri Pangkep, Sulawesi Selatan, di mana delapan Organisasi Mahasiswa dibekukan atau dinon-aktifkan dari struktur Lembaga Kemahasiswaan Kampus. Pembekuan organisasi mahasiswa ini merupakan sebuah sanksi karena delapan organisasi mahasiswa tersebut tidak mau mematuhi kebijakan persyaratan pengurus Lembaga Kemahasiswaan yang dibuat oleh Wakil Direktur III Bidang Kemahasiswaan Politani Pangkep.

Kita perlu memahami mengapa organisasi mahasiswa tidak mematuhi kebijakan tersebut dan mengapa kampus memberlakukan kebijakan tersebut? Nah, sebelum memahami dari kedua sudut pandang antara kampus dan mahasiswa, kita baca dan pahami dulu kebijakannya. Pertama, Surat Edaran Nomor 007/PL22/KM/2019 tentang Pemilihan Ketua UKM dan HMJ yang menyatakan, semua ketua Lembaga Kemahasiswaan di Lingkungan Politeknik Pertanian Negeri Pangkep harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:

  1. Beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang maha Esa.
  2. Jujur, terpercaya, cakap dan mampu memimpin.
  3. Tidak sedang mengalami sanksi akademik dan/atau sanksi kemahasiswaan.
  4. Prestasi akademik baik, sekurang-kurangnya mempunyai IPK 3.00.
  5. Tidak menjabat sebagai Ketua Harian Organisasi lain, baik di dalam kampus maupun di luar kampus.
  6. Pada saat pengusulan berlangsung, calon sekurang-kurangnya berada pada semester III (tiga) dan setinggi-tingginya berada pada semester V (lima).
  7. Terdaftar aktif sebagai mahasiswa Politeknik Pertanian Negeri Pangkep dalam tahun ajaran yang sedang berjalan.
  8. Tidak sedang atau telah melakukan perbuatan yang dikenai sanksi menurut peraturan yang berlaku di Politeknik Pertanian Negeri Pangkep.
  9. Sudah mengikuti Orientasi Pengenalan Kampus, pembekalan tingkat Jurusan dan/atau di bidang Kemahasiswaan.

Setelah syarat-syarat pengurus Lembaga Kemahasiswaan itu diterbitkan, hasilnya ada di Surat Edaran Nomor 1185/PL22/KM/2019 yang berisi:

  1. Organisasi yang tidak termasuk dalam Lampiran Keputusan Direktur pada poin 4 agar tidak melakukan aktivitas di ruangan yang dijadikan sekertariat.
  2. Untuk menjaga keamanan Barang Milik Negara, alat yang diadakan dari pembiayaan Politani Negeri Pangkep dikembalikan untuk diinventarisasi.
  3. Ruangan yang dijadikan sekretariat, harap dikosongkan sepanjang tahun 2019.
  4. Anggota pada organisasi yang tidak tercantum dalam lampiran Keputusan Direktur tidak diperkenankan melaksanakan kegiatan seperti pengrekrutan anggota baru dan kegiatan yang bersifat mengatasnamakan organisasi tersebut.
  5. Ruangan yang dijadikan sekretariat oleh organisasi yang tidak tercantum pada Lampiran Keputusan Direktur, akan ditutup paling lambat 2 (dua) minggu setelah Surat Edaran ini diterbitkan.

Delapan Organisasi Mahasiswa yang tidak termasuk dalam Lampiran Keputusan Direktur adalah Himpunan Mahasiswa Agribisnis Perikanan (HIMAGRI), Himpunan Mahasiswa Budidaya Tanaman Perkebunan (HMBTP), Himpunan Mahasiswa Teknologi Kelautan dan Perikanan (HIMATKP), Himpunan Mahasiswa Budidaya Perikanan (HIMADIKA), Unit Kegiatan Mahasiswa Seni dan Budaya (USB), Unit Kegiatan Penerbitan dan Siaran Kampus (UKM PERSKA), Unit Kegiatan Mahasiswa Persataun Olahraga (UKM POR) dan Unit Kegiatan Mahasiswa karate-do (UKM KARATE-DO).

Pandangan Mahasiswa Politani Pangkep

Dari hasil kebijakan syarat-syarat pengurus Lembaga Kemahasiswaan tersebut, kemudian kita lihat pandangan dari mahasiswa dan pihak kampus. Menurut pandangan dari mahasiswa, seperti yang dilansir oleh Pers Kampus Politani di laman perskapolitani.com, alasan mereka meolak kebijakan tersebut karena apa yang dilakukan Direktur terkhusus Bidang Kemahasiswaan mulai dari mengatur Mekanisme Pemilihan ketua Umum Ormawa sampai ke pekebirian atau penonaktifan beberapa ORMAWA adalah cacat Prosedur dan Inkonstitusional.

Dalam tulisan berjudul “Opini Hukum Pembekuan UKM dan HMJ Politeknik Pertaninan Negeri Pangkep” di perskapolitani.com, Uci anggota UKM Perska mengatakan bahwa Bidang Kemahasiswaan dan Direktur tidak memiliki kewenagan untuk melantik pengurus. Bidang kemahasiswaan telah menghalangi kegiatan-kegiatn non akademik dengan membekukan organisasi padahal tindakan yang dilakukan tidak berdasarkan ketentuan yang berlaku.

Argumentasi Uci, berdasar dari Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 155/U/1998 Tentang Pedoman Umum Organisasi Kemahasiswaan di Perguan Tinggi Pasal 2, 4 dan Pasal 7 Ayat 2 disebutkan bahwa:

  • Pasal 2 : Organisasi kemahasiswaan di perguruan tinggi diselenggarakan berdasarkan prinsip dari oleh dan untuk mahasiswa dengan memeberikan peranan dan keleluasan lebih besar kepada mahasiswaan.
  • Pasal 4 : Kedudukan organisasi kemahasiswaaan intra perguruan tinggi merupakan kelengkapan non struktural pada organisasi perguruan tinggi yang bersangkutan.
  • Pasal 7 ayat 2 : Pengurus ditetapkan melalui pemilihan yang tatacara dan mekanismenya ditetapkan oleh mahasiswa perguruan tinggi yang bersangkutan.

Berdasarkan ketiga pasal tersebut, Uci menilai surat edaran Nomor: 007/PL22/KM/2019 tentang Pemilihan Ketua Umum UKM dan HMJ telah melanggar asas demokrasi mahasiswa. Dari pada Pasal 4 dan Pasal 7 Ayat 2 disebutkan bahwa Organisasi Mahasiswa adalah non struktural dari istansi Perguruan Tinggi yang terkait. Serta pengurus Organisasi mahasiswa diatur lewat tata cara dan mekanisme yang ditetapkan oleh mahasiswa.

Maka dari itu, Wakil Rektor III Bidang kemahasiswaan tidak seharusnya mengatur persyaratan Ketua Umum Ormawa. Sesuai pasal 4, Bidang Kemahasiswaan tidak termasuk dalam struktur Ormawa. Artinya Ormawa sendirilah yang berhak mengatur organisasinya tanpa ada intervensi dari bidang kemahasiswaan, asal tidak melanggar ketentuan perundang-undagan yang berlaku. Dalam hal ini surat edaran Nomor: 007/PL22/KM/2019 melangar pasal tersebut.

Seperti itulah alasan penolakan mahasiswa terhadap kebijakan kampus yang diwakili oleh Uci dari UKM Perska. Lalu, bagaimana pandangan dari pihak kampus? Rahmat Ali (Maheng) selaku Sekjend Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia (PPMI) melakukan konfirmasi kepada Darmawan selaku Direktur Politani Pangkep melaui panggilan telepon.

Pandangan Pihak Kampus Politani Pangkep

Menurut Darmawan, surat edaran itu merupakan rangkaian dari pertemuan dan pembahasan pihak kampus dan mahasiswa tentang bagaimana memperbaiki institusi dari sisi kemahasiswaan. Darmawan menjelaskan latar belakang sejarah munculnya surat edaran itu. di mulai pada tanggal 30 juli 2018 ada aksi mahasis yang menyampaikan aspirasi kepada bidang kemahasiswaan terkait masalah pengelolaan Kartu Tanda Mahasiswa (KTM). Dalam pembayaran KTM waktu itu mahasiswa harus membuka rekening di Bank Rakyat Indonesia (BRI) untuk mendapatkan KTM sekaligus nomor rekeningnya.

Masa aksi menuntut Bagian Kemahasiswaan untuk mempertanggungjawabkan apa yang menjadi keresahan mahasiswa. Masa aksi bahkan menuntut Wakil Direktur III mundur dr jabatannya. Waktu itu Wakil Direktur III berkata, “bila benar terjadi maladministrasi maka akan dipertanggungjawabkan.” Pihak kampus pun meresponnya secara serius. Lalu, berdasarkan data-data yang disampaikan peserta aksi, pihak kampus menonaktifkan Wakil Direktur III sejak waktu itu.

Setelah kejadian itu Darmawan melakukan rapat senat untuk merespon hal itu. Hasil rapat menyepakati pembentukan Tim Komisi Disiplin untuk mengumpulkan data dan informasi terkait permasalahan-permasalahan yang harus diperbaiki, termasuk pengelolaan organisasi kemahasiswaan yang seperti mahasiswa minta.

Selama pencarian data, Tim Komisi Disiplin menemukan bahwa dalam aksi tersebut ada pemaksaan dari masa aksi kepada mahasiswa-mahasiswa untuk tidak melakukan kuliah, sehingga mereka bisa bersama-sama menyampaikan aspirasi ke lapangan. Bahkan ada penyegelan ruang kelas yang membuat kuliah mahasiswa tidak bisa berlangsung waktu itu, dimana hal itu diakui oleh Ketua Badan Eksekutif Mahasiswa. Menurut Darmawan, hal tersebut telah melanggar peraturan pemerintah bahwa apapun yang dilakukan mahasiswa tidak boleh mengganggu kegiatan akademik.

Selain itu, Tim Komisi Disiplin menemukan data pengunduran diri anggota Majelis Perwakilan Mahasiswa (MPM) tanpa ada prosedur organisasi yang baik. Maka dari itu, Darmawan menilai penting bahwa bagaimana mereka berorganisasi dengan benar dan baik, serta mereka memiliki kemampuan yang mumpuni dari proses di organisasi. Sehingga muncul Surat Edaran Nomor 007/PL22/KM/2019 tentang syarat-syarat pengurus Lembaga Kemahasiswaan di Politani Pangkep.

Surat Edaran tersebut juga didasari oleh penandatanganan pakta integritas oleh semua Pimpinan Perguruan Tinggi, Rektor dan Direktur di hadapan Kemenristekdikti, bahwa penyelenggaraan institusi itu termasuk di dalamnya ada pembiayaan kemahasiswaan secara keseluruhan.

Bahwa apa yang digunakan dari anggaran Negara, Politani Pangkep harus bertanggungjawab dengan hal itu, tak terkecuali mahasiswa yang menggunakan anggaran itu juga. Politani Pangkep harus tunduk dan patuh terkait dengan yang digariskan oleh pemerintah, termasuk penyelenggaraan organisasi kemahasiswaan.

Darmawan mengatakan, dengan pemenuhan tanggungjawab itu Politani Pangkep bisa mendapatkan output-output prestasi yang harus dicapai. Jadi, lanjut Darmawan, Surat Edaran itu merupakan rangkaian dari pertemuan dan pembahasan bagaimana memperbaiki institusi dari sisi kemahasiswaan. Maka dari itu, UKM dan HMJ yang terancam bubar itu, pihak kampus ingin mereka mematuhi koridor organisasi yang benar. Jadi sebenarnya pembekuan itu bukan untuk mematikan, tapi bagaimana pihak kampus bisa mengedukasi mereka supaya taat asas dan aturan-aturan yang ada.

Bagaimana Mencari Solusi dari Perbedaan Pandangan?

Ketika ditanya soal penolakan Surat edaran dari mahasiswa, Darmawan mengungkapkan, “yang nolak itu berarti dia gak mau paham, ini  kan syarat normal kalau menolak itu berarti dia tidak normal.” Kalau dicermati, pernyataan Darmawan ini terdengar kurang adil. Hal ini dikarenakan seluruh sivitas akademik mempunyai kebebasan akademik untuk menyampaikan pendapat, termasuk menolak peraturan dengan dasar argumentasi yang bisa dipertanggungjawabkan.

Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya bahwa mahasiswa menolak adanya Surat Edaran tersebut bukan dengan asal-asalan, tapi dengan dasar yang jelas. Mahasiswa menolak berdasarkan Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 155/U/1998 Tentang Pedoman Umum Organisasi Kemahasiswaan di Perguan Tinggi Pasal 2, 4 dan Pasal 7 Ayat 2. Bukankah seharusnya Darmawan selaku Direktur Politani Pangkep menanggapi dasar argumentasi itu?

Memang, jika dipahami lebih dalam, terlihat perbedaan pandangan antara mahasiswa dan pihak kampus. Mahasiswa menggunakan sudut pandang kebebasan akademik maupun kebebasan berpendapat sedangkan pihak kampus menggunakan sudut pandang tanggungjawab dan tunduk peraturan. Namun keduanya berawal dari niat yang sama yaitu memperbaiki kampus. Mahasiswa ingin memperbaiki kampus dengan cara-cara yang mereka anggap cara yang demokratis sedangkan pihak kampus ingin memperbaiki dengan cara menjalankan tanggungjawab untuk tunduk kepada aturan.

Nah, lantas bagaimana cara mencapai solusi jika kedua-duanya memiliki pandangan yang berbeda? Yang jelas bahwa kedua pihak memiliki niat yang sama, kedua-duanyapun bisa menggunakan kebebasan akademik maupun kebebasan berpendapat untuk saling mengkritik. Jadi, alangkah baiknya jika kedua pihak mau membuka diri untuk menyampaikan pendapat dan menerima kritik supaya tercapai solusi.

Maslahnya adalah, bagaimana organisasi mahasiswa yang sudah dibekukan atau dinonaktifkan bisa menyampaikan pendapat? Tentu tidak akan mungkin bisa jika salah satu pihak tidak mempunyai kesempatan yang sama. Jadi, solusi tidak akan tercapai dan masalah tidak akan selesai jika tidak ada kesetaraan dan keadilan.

Dari hal ini, sudah jelas bahwa seharusnya kampus tidak memberlakukan sanksi pembekuan organisasi jika yang diinginkan adalah kebaikan bersama. Aksi penolakan pembayaran KTM yang berujung pada penyegelan ruang kelas bisa diselesaikan sesuai peraturan yang berlaku (dalam arti yang salah bisa dikenai sanksi) tanpa perlu membekukan organisasi mahasiswa yang ada di kampus.

Anggaran pemerintah untuk pengelolaan kemahasiswaan tidak bisa menjadi dasar dari terbitnya Surat Edaran ketika Surat itu memuat sanksi pembekuan organisasi mahasiswa. Karena ketika sanksi tersebut diberlakukan, kampus tidak lagi menjalankan fungsi pengelolaan kemahasiswaan. Bagaimana bisa mengelola organisasi mahasiswa jika organisasi mahasiswanya tidak ada? Yang terjadi bukanlah pengelolaan kemahasiswaan, melainkan penghilangan hak mahasiswa untuk mengembangkan minat bakat.

Maka dari itu, Surat Edaran itu perlu dikaji ulang melalui forum audiensi dan sebagainya, sehingga resiko pembekuanan organisasi mahasiswa bisa dihindari. Fokus kajian ulangnya perlu difokuskan pada proses pembentukan dan penerapan kebijakan dari Surat Edaran tersebut.

Benar seperti apa yang dikatakan Darmawaan selaku Direktur Politani Pangkep, “kita mau pers kampus punya kemampuan dan pemikiran dari koridor yang benar, berita yang mencerahkan bukan meresahkan masyarakat.” Tentu hal ini bisa dilakukan dengan membina setiap organisasi mahasiswa yang ada tanpa membekukan organisasi tersebut. Karena kalau dibekukan, tentu organisai mahasiswa tidak memiliki kesempatan untuk mengevaluasi organisasinya menjadi lebih baik.

Kategori
Diskusi

Ketika Agama Menjadi Alat Ukur Politik Elektoral di Indonesia

Rektor UIN Antasari, Prof Mujiburrahman pernah menulis dalam Jendela (Esai) di koran Banjarmasin Post. Tulisan tersebut membahas tentang “Politik Uang” di Indonesia, dimana banyak politisi di negeri berkembang ini menggunakan uang untuk mendapatkan kekuasaan. Ia menyebut bahwa menerima atau menolak uang adalah pilihan moral. Maraknya politik uang menunjukan betapa bobroknya moralitas kita! Kondisi ini diperparah dengan dengan rendahnya pengetahuan masyarakat Indonesia mengenai sistem perpolitikan yang mengakibatkan depedensi kepada segelintir golongan yang dipercayai, utamanya adalah golongan ulama atau tokoh agama lainnya.

            Keadaan ini jelas berbanding terbalik dengan bangsa yang dicita-citakan oleh founding fathers Indonesia, Soekarno. Ia pernah berpidato pada tahun 1966 mengenai “Nation and Character Building.” Isi  pidatonya antara lain adalah ungkapan di depan rakyat, bahwa membangun bangsa dan karakter di Nusantara adalah kewajiban pemerintah saat itu. Karakter adalah bagian dari mental, menciptakan moral adanya mental yang bersih, yaitu membangun pendirian yang kuat dan adil. Tanpa di imingi oleh uang. Jelas, pada saat itu politik uang adalah hal tabu yang tidak sesuai dengan moralitas bangsa.

            Kondisi ini kemudian berbanding terbalik dengan arah perpolitikan masa kini yang menganggap politik uang yang didalamnya termasuk mahar politik adalah sesuatu yang biasa. Mundurnya kualitas politik elektoral di Indonesia, menjadi perhatihan besar bagi pengamat politik. Burhanuddin Muhtadi mengatakan praktik jual-beli suara (money politics) di Indonesia sangat besar. Salah satu sebabnya adalah rendahnya Party-ID antara warga dan partai yang kemudian menjadi tolak ukur kesuksesan kampanye.

Rendahnya Party-ID, SARA dan Ormas Keagamaan

Salah satu persoalan utama kita hari ini ialah rendahnya party-identification (party-ID) di Indonesia. Party-ID merupakan derajat kedekatan warga dengan partai yang diyakininya untuk dipilih saat pemilu dilaksanakan. Stigma yang berkembang terhadap partai semakin memburuk di negeri ini, apalagi adanya politik uang yang mendominasi di berbagai daerah. Kecenderungan itu membuat orang apatis terhadap sesuatu yang awalnya ia yakini, sehingga menimbulkan suatu perilaku yang buruk ke depannya.

Hal itu menciptakan streotype yang akut. Pragmatisme yang tumbuh di masyarakat, membuat rakyat menjadi bingung untuk memilih hak politiknya. Menjadi faktor kedekatan warga dengan partai yang sangat rendah. Survei yang dilaksanakan oleh Saiful Mujani Research Center (SMRC) pada bulan Desember 2017 lalu menyebutkan bahwa tingkat kedekatan warga Indonesia dengan partai yang diyakininya hanya sebesar 11,7 persen. Dalam studi komparatif dunia, hasil survei tersebut menjadikan Indonesia sebagai salah satu negara dengan tingkat party identification yang paling rendah di dunia (kbr.id, 03/01).

            Studi yang dilakukan oleh Burhanuddin Muhtadi (2018) mengusulkan tentang sistem pemilihan legislatif kita ada baiknya untuk dipertimbangkan dikembalikan ke sistem proposional tertutup. Alasannya, semakin tahun pemilu yang dihadapi Indonesia, presentasinya semakin memburuk terhadap kepercayaan warga. Pertama, tren penurunan partisipasi elektoral dalam tiga pemilu legislatif yang terakhir. Pada Pemilu 1999, pemilih yang menggunakan haknya sebesar 93,3%, lalu turun menjadi 84,9% pada 2004, dan terakhir tinggal 70,9% saja yang masih menggunakan haknya dalam pemilu legislatif pada 2009.

           Apabila sistem proporsional tertutup dilakukan, maka dalam pemilu ke depan tidak ada kampanye yang berbau SARA. Dalam berita Kompas.com, Ketua Setara Institute Hendardi berharap semua pihak yang berkontestasi dalam Pilkada 2018 dan Pemilu 2019 tidak menggunakan sentimen SARA (suku, agama, ras dan antargolongan) dalam berkampanye. Hendardi mengatakan, kampanye melalui politisasi agama dan ujaran kebencian dapat mengancam kohesi sosial, kebhinekaan, dan integrasi nasional.

Semua yang ditakutkan oleh Hendardi, sama halnya yang ditakutkan oleh warga Kalimantan Selatan, Banjarmasin, yang dominan adalah warga NU. Terlihat beberapa APK terpasang dengan bunyi: “Warga NU, Pilih Kyai NU” tentu menjadi stigma yang berkembang di masyarakat. Bahwa agama kini menjadi daya tawar dalam perpolitikan di Indonesia, dengan adanya organisasi masyarakat (Ormas) berbasis agama itu kini menjadi alat besar untuk mendorong massa. Benar memalukan, sehingga dirasa ormas itu tidak memiliki marwahnya kembali, dengan esensi yang pernah dibangun oleh para pendiri terdahulu.

Kategori
Diskusi

Merenungi Kasus Suara USU

Terkait pemecatan seluruh anggota Pers Mahasiswa Suara USU oleh Runtung Sitepu selaku Rektok Universitas Sumatera Utara (USU), saya menilai bahwa itu adalah tindakan yang tergesa-gesa. Mengapa demikian? Saya akan coba menelaah kasus pemecatan karena Cerita Pendek (Cerpen) yang dianggap memuat unsur pornografi dan mendukung LGBT ini dari sudut pandang peraturan-peraturan yang berlaku di USU.

Akan tetapi sebelum ke pembahasan peraturan-peraturan, saya akan memberikan tanggapan dulu terkait penilaian Rektor terhadap cerpen berjudul “Ketika Semua Menolak Kehadiran Diriku di Dekatnya” itu. Kita perlu mengacu pada Surat Keputusan (SK) Rektor USU nomor 1319/UN5.1.R/SK/KMS/2019 tentang Perubahan Pertama SK Rektor No.1026/UN5.1.R/SK/KMS/2019 Tanggal 19 Februari 2019 tentang Pengangkatan Pengurus Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) Universitas Sumatera Utara Tahun 2019. Kita bahas satu persatu.

Bagian menimbang di poin a menjelaskan, “bahwa berdasarkan hasil evaluasi terhadap berita, cerita dan konten yang dimuat dan diumumkan Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) Pers Suara USU dan atau media elektronik ternyata ditemukan cerita atau konten yang mengantung unsur-unsur pornografi. Di mana hal tersebut sangat bertentangan dengan nilai-nilai: Bertaqwa Kepada Tuhan yang Maha Esa dalam Bingkai Kebhinekaan; inovatif yang berintegritas, Tangguh dan arif (BINTANG) yang merupakan tata nilai USU yang tertuang dalam Renstra USU 2014-2019”.

Nah, yang perlu kita cermati adalah kata “pornografi”. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, pornografi adalah penggambaran tingkah laku secara erotis dengan lukisan atau tulisan untuk membangkitkan nafsu berahi. Pornografi juga bisa diartikan sebagai bahan bacaan yang dengan sengaja dan semata-mata dirancang untuk membangkitkan nafsu berahi dalam seks. Namun dalam SK tersebut, kata-kata yang memuat unsur “pornografi” tidak disebutkan di bagian mana.

Dalam SK tersebut juga tidak ada kajian akademik yang menjadi dasar untuk menilai bahwa Cerpen tiu memuat unsur pornografi. Mengapa kajian akademik? Karena itu adalah ukuran minimal untuk memberikan penilaian. Dalam konteks cerpen, harusnya ada kajian akademik sesuai rumpun keilmuannya seperti analisis sastra misalnya.

Kemudian bagian menimbang poin b yang menjelaskan, “bahwa atas pengumuman publikasi cerita dan konten oleh UKM Pers Suara USU, telah menimbulkan protes keras dari Sivitas Akademika USU dan Alumni USU, serta dari masyarakat”. Nah, dalam SK itu juga tidak disebutkan siapa saja yang protes? Dalam bentuk apa protes itu? Dan seperti apa protesnya? Hal ini penting untuk menelaah lagi kebenaran dari poin b ini, karena dalam peraturan pemberian sanksi ada tahap-tahap yang harus dilalui. Hal tersebut akan dibahas nanti.

Lalu bagian menimbang poin c yang menjelaskan, “bahwa setelah dilakukan pertemuan dengan para mahasiswa personal UKM pers Suara USU pada hari Senin, 25 Maret 2019 dengan pimpinan USU ternyata para mahasiswa yang merupakan personal UKM pers Suara USU tetap bersikukuh bahwa cerita tersebut pada huruf a, hanya merupakan karya sastra biasa dan tidak mengakui kekeliruannya”. Poin ini juga tidak menyebutkan apa argumentasi Suara USU terkait hal penilaian tersebut. Sehingga pemahaman yang muncul adalah Suara USU ini keras kepala saja.

Dari ketiga dasar pertimbangan SK tersebut, saya menarik satu kesimpulan bahwa dasar pemecatan seluruh anggota Suara USU masih bisa diperdebatkan. Tentu juga dicabut jika SK itu benar-benar tidak memiliki dasar yang jelas dan bisa dipertanggungjawabkan. Seperti yang saya katakan di awal bahwa pemecatan ini adalah tindakan yang tergesa-gesa. Hal ini dikarenakan kurangnya kajian akademik, bukti protes keras dan argumentasi dari Suara USU. Kemudian, pemecatan seluruh anggota Suara USU bukanlah solusi yang akademis.

Seharusnya, ketika ada permasalahan di kampus penyelesaiannya juga dengan cara-cara yang berlaku di kampus. Ketika ada masyarakat yang protes terhadap konten cerpen Suara USU seharusnya Rektor menemukan pihak Suara USU dengan pihak masyarakat yang protes. Sehingga permasalahan bisa selesai dengan cara musyawarah mufakat.

Memang pihak Rektor sudah melakukan pertemuan dengan Suara USU, tapi benarkah itu sebuah pertemuan adil? Kita bisa tanyakan hal ini kepada Suara USU. Saya sudah menanyakannya kepada Yael Stefany selaku Pemimpin Umum Suara USU sekaligus penulis cerpen yang dipermasalahkan. Ia mengatakan kalau dalam rapat itu, yang berbicara hanya Rektor. LPM Suara USU tidak diberi kesempatan untuk berpendapat, sehingga Suara USU tidak memiliki kesempatan untuk mempertanggungjawabkan cerpennya.

Membaca Peraturan-Peraturan yang Berlaku

Maka dari itu, saya kira perlu untuk merenungkan lagi SK Rektor kemudian melakukan peninjauan ulang terhadap SK tersebut. Kita juga perlu mengacu pada beberapa peraturan yang berlaku di USU. Ada Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 9 tahun 1998 tentang Kebebasan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum dan Undang-Undang nomor 12 tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi. Ada juga Peraturan Pemerintah No 16 tahun 2014 tentang Statuta Universitas Sumatera Utara, Peraturan Rektor Universitas Sumatera Utara Nomor 03 Tahun 2017 Tentang Peraturan Akademik Program Sarjana Universitas Sumatera Utara dan Keputusan Rektor USU no. 1177/H5.1.R/SK/KMS/2008 tentang Pedoman Perilaku Mahasiswa Universitas Sumatera Utara. Kita telaah satu persatu lagi.

Cerpen dalam konteks ini adalah bentuk kebebasan berekspresi. Seperti yang dijelaskan dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 9 tahun 1998 pasal 1 ayat 1 yang menyatakan bahwa kemerdekaan menyampaikan pendapat adalah hak setiap warga negara untuk menyampaikan pikirandengan lisan, tulisan, dan sebagainya secara bebas dan bertanggung jawab sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Selain itu cerpen merupakan salah satu bentuk kebebasan akademik. Seperti yang tertera dalam Undang-Undang nomor 12 tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi pasal 9 ayat 1 yang menjelaskan bahwa kebebasan akademik merupakan kebebasan Sivitas Akademika dalam Pendidikan Tinggi untuk mendalami dan mengembangkan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi secara bertanggung jawab melalui pelaksanaan Tridharma.

Begitu juga dengan peraturan yang ada di USU sendiri Dalam Peraturan Pemerintah No 16 tahun 2014 tentang Statuta Universitas Sumatera Utara pasal 15 ayat 1 yang menyatakan, sivitas akademika USU memiliki kebebasan akademik, kebebasan mimbar akademik dan otonomi keilmuan untuk melaksanakan kegiatan pendidikan, penelitian dan pengabdian masyarakat. Serta pasal 16 ayat 1 yang menyatakan, kebebasan akademik merupakan kebebasan sivitas akademika untuk mendalami dan mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi secara mandiri dan bertanggungjawab melalu pelaksanaan pendidikan, penelitian dan pengabdian masyarakat di USU.

Kemudian, kita perlu melihat lebih detail pada Keputusan Rektor USU no. 1177/H5.1.R/SK/KMS/2008 tentang Pedoman Perilaku Mahasiswa Universitas Sumatera Utara. Hal ini penting, supaya kita bisa mengetahui benarkah Rektor sudah bertindak sesuai aturan yang berlaku? Dalam BAB IV tentang Penegakan Pedoman Perilaku Pasal 14 ayat 4 tertulis:

Penegakan Pedoman Perilaku memperhatikan hal-hal sebagai berikut:

  1. Terhadap tindakan yang melanggar Pedoman Perilaku dan Keputusan Rektor tentang Peraturan Akademik, penegakannya tunduk pada ketentuan Peraturan Akademik;
  2. Terhadap tindakan pelanggaran Pedoman Perilaku yang terjadi dalam ruangan perkuliahan/praktek/laboratorium yang disaksikan langsung oleh Dosen/Petugas laboratorium yang bersangkutan, maka dapat dilakukan penegakan sanksi secara langsung berupa peneguran, atau tidak diijinkan mengikuti perkuliahan/praktek pada hari itu tergantung pada pertimbangan dosen/ petugas laboratorium terhadap berat ringannya pelanggaran;
  3. Setiap mahasiswa diperlakukan sama tanpa diskriminasi dalam proses pemeriksaan pelanggaran Pedoman Perilaku;
  4. Mahasiswa memiliki hak untuk melakukan pembelaan pada setiap proses pemeriksaan;
  5. Pemeriksaan terhadap pelanggaran Pedoman Perilaku berdasarkan laporan mahasiswa, dosen, petugas administratif, atau pihak lainnya hanya dapat dilakukan apabila disertai dengan bukti-bukti yang cukup tentang terjadinya pelanggaran Pedoman Perilaku;
  6. Sanksi hanya dapat dijatuhkan pada mahasiswa apabila disertai dengan bukti-bukti yang cukup tentang terjadinya pelanggaran Pedoman Perilaku.

Kalau kita melihat khususnya pada poin 2 dan 3, benarkah rector sudah bertindak sesuai aturan yang berlaku? Sedangkan kalau kita lihat kronologinya, Suara USU pernah dimatikan websitenya dan tidak diberi akses liputan.

Selain itu, kita perlu mencermati Pedoman Perilaku Mahasiswa Universitas Sumatera Utara BAB IV Penegakan Pedoman Perilaku pasal 16 tentang pemeriksaan yang menjelasakan:

  1. Komisi Disiplin dapat melanjutkan pemeriksaan setelah menerima bukti-bukti permulaan yang cukup mengenai terjadinya pelanggaran Pedoman Perilaku.
  2. Komisi Disiplin memanggil mahasiswa yang dilaporkan melakukan pelanggaran Pedoman Perilaku.
  3. Pemeriksaan terhadap mahasiswa dilakukan pada waktu yang tidak menggangu jadwal perkuliahan mahasiswa yang bersangkutan.
  4. Setiap mahasiswa diperlakukan sama tanpa ada diskriminasi dalam proses pemeriksaan.
  5. Mahasiswa memiliki hak untuk melakukan pembelaan dalam setiap proses pemeriksaan.
  6. Komisi Disiplin wajib menyelesaikan pemeriksaannya dalam waktu yang tidak melebihi 14 (empat belas) hari kerja. Apabila waktu tersebut tidak tercapai, maka mahasiswa yang bersangkutan tidak dapat dikenakan sanksi, kecuali terhadap perbuatan yang melanggar Peraturan Akademik.

Kita bisa mempertanyakan lagi, apakah Rektor sudah bertindak sesuai aturan yang berlaku? Pertanyaan itu bisa kita tanyakan sekarang atau ketika di forum pengkajian ulang nanti. Nah, terkait kajian ulang, sebenarnya juga diatur dalam Pedoman Perilaku Mahasiswa USU lho. Kita lihat pasal 18 tentang keberatan mahasiswa, tertulis jelas:

  1. Mahasiswa yang keberatan terhadap sanksi yang diberikan dosen dalam ruangan perkuliahan/laboratorium sebagaimana dicantumkan dalam ketentuan diatas dapat mengajukan keberatan kepada Dekan Fakultas didampingi oleh Pembimbing Akademik.
  2. Mahasiswa yang keberatan atas sanksi yang dijatuhkan Dekan Fakultas terhadap pelanggaran Pedoman Perilaku dapat mengajukan keberatan kepada Rektor Universitas.

Nah, sudah jelas kan? Semua bisa dikaji ulang dan itu adalah hak setiap mahasiswa. Maka dari itu, kita perlu banyak membaca. Semua data-data terkait peraturan itu bisa diakses di internet. Silahkan baca, mari berdiskusi dan membalas tulisan ini dengan tulisan.

Kategori
Diskusi

Racun Keluarga dalam Birokrat Kampus

Selama birokrat kampus terus mengamini universitas sebagai ladang kekuasaan, maka ia akan terus menjajal pola birokrasi yang pakem guna mengukuhkan pengaruhnya atas mahasiswa. Apalagi jika mahasiswa dianggap hanya sekadar barang dagang dengan embel-embel lulus cepat dan pekerjaan bagus, kritisisme akan menjadi barang mewah dalam kebebasan akademik mahasiswa.

Dengan orientasi pendidikan yang mencetak keseragaman karakter, kuasa bahasa adalah salah satu jalan ampuh yang lazim digunakan pihak kampus. Birokrat kampus tentu memiliki akses berlebih guna membubuhkan jargon-jargon demi kuasa bahasa yang tak terbatas atas mahasiswa. Belakangan jargon yang sering mencuat dalam polemik di pendidikan tinggi kita adalah keluarga.

Saya sendiri pernah terpapar oleh daya magis dari diksi ”keluarga”. Syahdan, salah satu kawan menggelar diskusi bertema gender di dalam kampus, namun sayangnya diskusi kecil-kecilan itu ditolak oleh birokrat. Alasan pertama adalah izin. Satu alasan yang cukup untuk disebut dangkal karena kampus adalah ruang publik milik mahasiswa, bukan birokrat. Lalu alasan seterusnya adalah ketidaksesuaian tema diskusi dengan visi-misi kampus.

Lantas, ketika saya mulai membuka argumentasi mengenai hubungan visi-misi kampus dan tema diskusi itu, birokrat pun menutup diskusi dengan kalimat yang sangat menakjubkan, ”kita ini kan keluarga. Kami orang tua kalian di kampus. Kita punya arahan buat kalian, punya visi-misi buat kalian. Selama itu bagus menurut kita, itu pasti baik buat mahasiswa.” Jujur, ini sangat ironis. Orang tua kandung saya saja memberi kebebasan berilmu dan pengetahuan, kenapa mereka yang mengaku sebagai orang tua di kampus harus memukul rata isi kepala semua mahasiswa?

Pada akhirnya saya tak ingin melanjutkan perdebatan. Sekuat apapun argumentasi hanya akan berakhir menjadi ludah jika alasan yang digunakan adalah jargon-jargon basi macam kekeluargaan, orang tua di kampus, dan ujung-ujungnya menanyai nomor induk mahasiswa. Percuma. Setidaknya jalan lain untuk menguji daya tahan nalar politis birokrat kampus semacam itu adalah dengan mengkritiknya di forum-forum mimbar akademik, atau kalau perlu di ruang perkuliahan secara langsung.

Rupanya, kasus seperti ini tak hanya menimpa saya saja. Agni, mahasiswi penyintas kekerasan seksual yang berasal dari Universitas Gajah Mada harus mengalami hal serupa tetapi tak sama dengan saya. Belakangan kasus Agni berakhir damai, namun itu tak lepas dari wibawa rektor yang coba ditunjukkannya melalui jargon ”keluarga” saat mendamaikan Agni dengan sang pelaku.

Ternyata, polemik jargon keluarga ini menemui korban baru lagi. Baru beberapa hari yang lalu, Pers Mahasiswa SUARA USU dibubarkan oleh pihak birokrat. Alasannya adalah SUARA USU dituding mempromosikan LGBT lewat karya sastra yang dimuat di laman SUARA USU. Semakin aneh lagi ketika ditanya mengapa harus mengumpulkan seluruh pengurus Suara USU, rektor menjawab, ”kalian dengar saja suruhan kami. Kami orang tua kalian.” (Tirto, 26 Maret 2019)

Membaca pengalaman saya dan dua kasus terakhir ini, tampak jelas bahwa ”keluarga” adalah bentuk wacana yang sengaja digunakan oleh birokrat kampus untuk mengendalikan mahasiswanya. Mahasiswa dituntut, diatur, dan dilarang ini itu. Tetapi ketika menuntut haknya, dianggap sebagai anak yang harus patuh pada orang tuanya. Di sini kita menemui keluarga bentukan birokrat adalah sebentuk racun bahasa dalam dunia pendidikan tinggi kita.

Diksi ”keluarga” dalam penyelesaian masalah dengan mahasiswa adalah bentuk lain upaya dari birokrat kampus untuk mengukuhkan posisinya di dalam menara gading akademik. Mahasiswa seakan-akan dijadikan barang jualan, dan birokrat kampus adalah penyelamat mahasiswa. Dengan isitlah dari Paulo Freire, kerja macam ini disebut dengan solider semu.

Kini kita akan sering melihat partisipasi mahasiswa dalam pembangunan kampus semakin ke sini semakin dikurangi. Mahasiswa semakin didikte oleh kampus dan merasa semuanya seolah baik-baik saja. Proses pendidikan berakhir satu arah. Ruang dialog di dalam pendidikan pun tambah menyempit jika fenomena ini terus dibiarkan. Kuasa bahasa dalam diksi ”keluarga” menjerat mahasiswa sampai di titik kesadarannya.

Akan tetapi kesadaran-kesadaran naif dari mahasiswa ini bukan terbersit begitu saja. Ia ada lantaran kuasa bahasa kampus dijejalkan bersamaan dengan proyek pembangunan fisik yang memukaukan mata. Kesadaran naif mahasiswa lantas menjadi produk turunan dari orientasi pendidikan yang serba materialistik. Setelah itu, birokrat kampus menjadi kelas dominan. Pikiran dan rasa mahasiswa tersamakan oleh hegemoni kampus.