Opini yang berjudul “Sesat Berpikir Kanda HMI dalam Menyikapi Omnibus Law” yang ditulis oleh Pemimpin Umum LPM Progress yang berinisial ARM. di laman www.lpmprogress.com pada Jum’at (20/3/2020) merupakan tulisan bantahan dari sebuah berita di laman inisiatifnews.com tentang upaya Komisariat Persiapan Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Fakultas Teknik Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (FTMIPA) Universitas Indraprasta PGRI Jakarta Selatan yang mendorong DPR segera mengesahkan Omnibus Law.
ARM menulis opini tersebut bukan tanpa alasan, di tengah derasnya protes penolakan oleh elemen masyarakat sipil tentang Omnibus Law karena akan mengancam dan menyengsarakan masyarakat, ia (ARM) dikagetkan dengan sikap sekelompok mahasiswa yang justru berlawanan dengan gerakan masyarakat lainnya.
Saya menilai tindakan mengkritisi dengan tulisan yang dilakukan oleh ARM adalah sebuah hal yang baik, dan perlu dikembangkan. Reaksi tersebut tak lain merupakan bentuk apresiasi serius yang pantas dilakukan oleh manusia yang berstatus sebagai mahasiswa.
Namun, Opini yang ditulis oleh ARM itu membuat kanda-kanda HMI Komisariat Persiapan FTMIPA Unindra tidak terima dan meminta LPM Progress untuk menghapus opini tersebut. Pada Sabtu (21/3/2020), indekos salah satu anggota LPM Progress didatangi beberapa orang yang mengaku dari HMI Komisariat Persiapan FTMIPA Unindra. Mereka mencari keberadaan ARM dengan ancaman dan intimidatif.
Ketika mediasi yang dihadiri beberapa orang, seperti Riyad Kurniawan Gusung (Wan Gusung), Remon (Ramadin), Ismail Nurlamba, Kevin, Abdul, Hamri dan lain-lainnya, mereka justru bersikeras meminta opini yang ditulis ARM dihapus. Namun, lagi-lagi sikap apik ditunjukkan oleh kawan-kawan LPM Progress yang menyarankan hak jawab untuk membantah isi opini tersebut. Sikap tersebut menandakan independensi suatu media layak diapresiasi.
Sayang, tawaran tersebut justru dijawab ancaman pembunuhan dengan senjata tajam oleh beberapa orang—yang belakangan diketahui bernama Irfan dan Hayat. Tindakan intimidatif kembali dipertontonkan, ARM dikelilingi oleh beberapa orang, dan tak ayal ia menerima pukulan dari arah belakang. Menghindar telah ia lakukan. Namun bukannya menyudahi, sekumpulan—mengatasnamakan mahasiswa—tersebut justru mengejar. Wajah ARM pun menjadi sasaran, darah mengucur dari bibirnya. Tindakan kejam tersebut mengharuskan ARM dibawa ke rumah sakit untuk menjalani perawatan.
Saya menilai tindakan HMI Komisariat Persiapan FTMIPA Unindra adalah tindakan yang salah dan tidak patut dilakukan oleh himpunan mahasiswa yang konon bernafaskan Islam. mengapa demikian? Karena mahasiswa bisa membantah tulisan tersebut bukan dengan pukulan keroyokan, melainkan dengan tulisan sesuai keyakinannya.
Selanjutnya, Islam mengajarkan keterbukaan, bukan anti kritik, anti dialog, dan bertindak sewenang-wenang; melakukan pemukulan, pengroyokan dan mengancam membunuh dengan senjata tajam.
Andai, Cak Nur Cholis Madjid dan Cak Munir Said Thalib masih hidup dan mengetahui tingkah konyol kader HMI Komisariat Persiapan FTMIPA Unindra atau HMI mana saja yang mengamini tindakan kekerasan terhadap ARM, saya yakin beliau pasti malu. Karena sudah semestinya orang terpelajar itu harus adil sejak dalam pikiran, apalagi dalam perbuatan, begitu Pramoedya Ananta Toer mengingatkan.
Membaca Regulasi yang Berlaku
Kiranya kita perlu renungkan tindakan pemukulan, pengroyokan dan ancaman pada nyawa ARM. Regulasi tentang kebebasan berekspresi, kebebasan akademik, dan KHUP tentang penganiayaan dan perbuatan mengakibatkan luka-luka berat, masih berlaku di republik ini.
Dalam konteks ini, opini merupakan bentuk kebebasan berekspresi seperti yang tertulis dalam UU NO 9 tahun 1998 pasal 1 ayat 1 yang menerangkan pengertian kemerdekaan mengemukaan pendapat dimuka umum adalah hak tiap-tiap warga negara untuk menyampaikan pikiran dengan lisan, tulisan, dan sebagainya secara bebas dan bertanggung jawab sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Selain itu opini juga merupakan salah satu bentuk kebebasan akademik, seperti yang tertera dalam UU No 12 tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi, pasal 9 ayat 1 yang menjelaskan bahwa kebebasan akademik merupakan kebebasan sivitas akademik dalam pendidikan tinggi untuk mendalami dan mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi secara bertanggung jawab melalui pelaksanaan Tridharma.
Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Pasal 351, dalam ayat 1 menyatakan Penganiayaan diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah. Sementara dalam ayat 2 menyatakan bahwa Jika perbuatan mengakibatkan luka-luka berat, yang bersalah diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun.
Dari beberapa Regulasi diatas, setidaknya dapat kita temukan beberapa bukti kesalahan yang dilakukan oleh Kader HMI Komisariat Persiapan FTMIPA Unindra. Opini yang ditulis ARM sejatinya adalah berasaskan kebebasan berpendapat dan kebebasan akademik. Hal itu merupakan haknya sebagai warga negara. Namun alih-alih memahaminya, dan menggunakan hak jawab, kini mereka— kader HMI Komisariat Persiapan FTMIPA Unindra— justru terancam tindak pidana. Dalam hal ini tindakan yang dilakukan oleh Kader HMI Komisariat Persiapan FTMIPA Unindra merupakan bagian dari kekerasan, penganiayaan, tindakan yang membuat korban mengalami luka-luka seperti yang tertulis pada Pasal 351 KUHP Ayat (1) serta (2).
Nah, sudah jelaskan? Semua bisa ditinjau ulang dan itu adalah hak setiap manusia termasuk mahasiswa, maka dari itu kita perlu membuka mata dan banyak membaca, selanjutnya mari berdiskusi dan membalas tulisan ini dengan tulisan, bukan dengan baku hantam.