Kategori
Diskusi

Perlindungan Agraria dengan Kedaulatan Petani

Sebelumnya saya ucapkan selamat hari kemerdekan ke-72. Hari ini merupakan tonggak kemajuan bangsa Indonesia setelah terbebas dari belenggu kolonialisme bangsa belanda dalam 350 tahun menjajah nusantara. Tak ubahnya dari negeri surga, Indonesia menapaki jejak perjuangan bangsanya sendiri untuk terus membangun perekonomian. Selama 5 tahun terakhir berbagai sektor saling berlomba dalam proses pembangunan ekonomi ini, salah satunya sektor pertanian.

Sektor pertanian yang memiliki peranan yang sangat penting bagi Indonesia. Pada tahun 2012 sektor pertanian menyerap 35.9% dari total angkatan kerja di Indonesia dan menyumbang 14.7% bagi GNP Indonesia [1]. Fakta-fakta tersebut menguatkan pertanian sebagai megasektor yang sangat vital bagi perekonomian Indonesia. Akhir tahun 2016 Indonsia sudah kembali menyandang swasembada beras setelah 32 tahun lalu. Berdasarkan angka Badan Pusat Statistik (BPS) dan Kementerian Pertanian, produksi padi 2016 mencapai 79,14 juta ton GKG, meningkat 3,74 juta ton dibanding 2015. Produksi jagung 2016 sebanyak 23, 16 juta ton pipilan kering, atau meningkat 3,55 juta ton dibanding 2015 [2].

Serayanya kemerdekan itu dapat dinikmati oleh seluruh lapisan masyarakat namun jika kita telisik lebih jauh ternyata kaum yang sering dipandang sebelah mata itu (dibaca: petani) sering kali tidak mendapatkan kemerdekaan yang layak atas kerja mereka. Berbuntut pada kurangnya ketersediaan lahan untuk menjamin kesejahteraan petani, pemerintah dinilai kurang berperan aktif atas terselenggaranya kegiatan pembangunan dalam bidang pertanian.

Pembagian wilayah pada sektor pembangunan telah dibagi dalam Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) dalam beberapa cakup wilayah koridor ekonomi. Diambil dari data file MP3EI bab III mengenai Koridor Ekonomi Indonesia. Koridor Ekonomi (KE) dibagi menjadi 6 wilayah berdasarkan potensi yang dinilai mampu mendukung produk nasional bruto secara penuh [3].

Sumber gambar: www.ekon.go.id

 

Pada dasarnya, MP3EI memiliki keterkaitan dalam pelaksanaanya dengan Comprehensive Asia Development Plan (CADP). Pada tahun 2009, Economic Research Institute for ASEAN and East Asia (ERIA) melalui Boston Consulting Group menyelesaikan penelitian tentang Indonesia Economic Development Corridors (IEDCs). Hasil riset IEDCs dan kata kunci “konektivitas” akhirnya diadopsi oleh Koordinator Kementerian Urusan Ekonomi untuk disusun menjadi naskah MP3EI [4].

Ketika CADP diluncurkan, Sekjen ASEAN Dr. Surin Pitsuwan, menyatakan bahwa CADP adalah “Asian Marshall Plan”. Istilah ini memang dimaksudkan secara eksplisit untuk merujuk pada Marshall Plan: program Amerika Serikat pasca perang dunia II. Jadi, Marshall Plan maupun CADP ini diklaim sebagai upaya untuk membangun kembali ekonomi dunia kapitalis yang sedang tergoncang hebat akibat krisis. Dalam ungkapan yang lain, Asia diklaim akan menjadi “the driver for global economy” [5].

Marshall Plan merupakan program kredit pembangunan untuk negara yang terkena imbas perang dunia II oleh Amerika Serikat. Pada akhirnya konsepsi marshall plan ini mengakar pada negara dunia ketiga sehingga terjadi replikasi skema pembangunan pada hampir seluruh negara dunia ketiga serta menumbuhkan paham developmentalis. Paham ini memiliki makna adanya keterkaitan ideologi antara kepentingan negara industri maju dan kepentingan elit politik negara dunia ketiga.

Program ekonomi skala besar inipun akhirnya membelah perekonomian dunia menjadi tiga macam, yaitu: perekonomian liberal, perekonomian sosialis, dan perekonomian gabungan. Indonesia secara tiak langsung menganut sistem perekonomian gabungan. Selaras dengan paham developmentalis yang mulai berkembang di Indonesia sehingga mengubah pola pandang Indonesia pada persaingan perekonomian dunia menjadi negara buta pembangunan.

Proses pembangunan ini haruslah pada tataran tertentu dan batasan yang logis untuk mendapatkan kesejahteraan yang merata bagi masyarakat yang terkena dampaknya. Prof. Sajogyo menuturkan bahwa pembangunan adalah perubahan ke arah positif dari manusia dan tetap terjaganya alam sekitar ruang hidupnya. Konsepsi ini dinamakan sebagai konsep Natura dan Humana.

Konsep Natura dn Humana ini sebenarnya sudah termuat pada pasal 2 ayat 3  UU No. 5 Tahun 1960 atau sering disebut Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) yang berbunyi, “Wewenang yang bersumber pada hak menguasai dari negara tersebut pada ayat 2 pasal ini digunakan untuk mencapai sebesar-besar kemakmuran rakyat dalam arti kebangsaan, kesejahteraan dan kemerdekaan dalam masyarakat dan negara hukum Indonesia yang merdeka, berdaulat, adil, dan makmur.”

Hal pertanahan ini masih berkaitan dengan UU No. 13 Tahun 2013 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani. Petani dinilai sebagai penyewa bukanlah sebagai pemilik penuh atas tanah pertaniannya sendiri. Hal ini termuat pada pasal 59 UU No. 13 Tahun 2013, “Kemudahan bagi Petani untuk memperoleh lahan Pertanian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58 ayat (3) huruf a diberikan dalam bentuk hak sewa, izin pengusahaan, izin pengelolaan, atau izin pemanfaatan.”

Menyimpang dari konsepsi agraria pada pasal 2 ayat 3 UUPA yang menyebutkan bahwa kesejahteraan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Berlainan daripada itu pada pasal 59 UU No. 13 Tahun 2013 ini malah menempatkan petani sebagai penyewa (bukan pemilik) dan negara (menyewakan sebagai pemilik). Secara tidak langsung hal ini mendorong feodalisme di lapangan agraria memicu adanya spekulasi dan komersialisasi atas penguasaan dan pengelolaan tanah [6].

Tidak konsistennya pemerintah dalam pelaksanaan konstitusi tersebut menimbulkan konflik agraria. Dalam catatan Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), sepanjang tahun 2016 terjadi 450 konflik agraria dengan luas 1.265.027,39 hektar dan konflik ini berdampak pada 86.745 keluarga. Sektor perkebunan menyumbang tertinggi kasus agraria dengan 36,22% [7].

Adanya kejadian konflik agraria yang sering terjadi membuat pemerintah sebaiknya kembali melihat UU tersebut. Petani seharusnya mendapatkan perlindungan atas tanahnya sesuai dengan UU No. 13 Tahun 2013 pasal 1 ayat 2 serta berkewajiban memberikan jaminan ketersdian lahan pertanian sesuai dengan UU No. 13 Tahun 2013 pasal 55 ayat 1 yang berbunyi, “Pemerintah dan Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya berkewajiban memberikan jaminan ketersediaan lahan Pertanian.” Mengenai perlindungan dan pemberdayaan petani tentang lahan pertanian sudah jelas tercantum pada UU No. 13 Tahun 2013 pasal 55-57 tentang konsolidasi Perluasan Lahan Pertanian.

Terkait pelaksanaannya ternyata pemerintah masih belum bisa melaksanakan perlindungan tanah pertanian. Ketua Komite Pertimbangan Indonesia Human Rights Committee for Sosial Justice (IHCS), Gunawan, menambahkan pemerintah pusat dan pemerintah daerah memiliki tanggung jawab dalam perlindungan terhadap petani dalam UU tersebut. Sayangya, realisasi pemerintah belum terlihat.

Menurutnya, pemberian redistribusi tanah kepada petani belum dilaksanakan pemerintah. Sebaliknya, justru terjadi alih fungsi lahan pertanian dan gagalnya desa melindungi fungsi lahan pertanian. “(Ini) disebabkan kegagalan pemerintah dan pemerintah daerah dalam menjalankan amanat undang-undang penataan ruang dan UU Perlindungan Lahan Pertanian Pangan berkelanjutan,” ujarnya [8].

Kategori
Diskusi

Idealisme Persma Atasnama Kebutuhan

Saya mungkin paling wareg menyandang status sebagai orang pers mahasiswa (persma). Setelah  menempuh studi di Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Ekspresi selama 2011-2015, berikutnya, saya diamanahi menjadi Sekjend Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia (PPMI) Dewan Kota (DK) Yogyakarta selama setahun lebih; yang artinya, petualangan berpersma saya menjadi lebih luas nan mendalam. Dari situlah, saya memperoleh banyak kesempatan untuk memahami karakter persma-persma sekaligus membenturkan isi kepala antar anggota persma. Dialektika pun kerap terjadi hingga saya dan teman-teman sering mempertanyakan: apakah yang diwariskan oleh para pendahulu kami di persma merupakan hal-hal yang perlu dilanjutkan pelaksanaannya?

Pertanyaan seperti di atas begitu wajar mengingat apa yang dilakukan oleh para pendahulu bisa menjadi beban bagi generasi penerusnya. Misalnya, ihwal idealisme persma bahwa orang-orang persma harus begini-begitu; seperti gemar berbuku, diskursif, pandai menulis, kritikus kekuasaan, hingga selalu membela yang mustadh’afin. Kenapa harus begitu? Apa perlunya?

Perlu diketahui, tidak semua orang memiliki titik berangkat yang sama untuk memasuki persma. Yang biasanya mereka tahu, persma merupakan tempat pelatihan jurnalistik atau wadah untuk mempersiapkan seseorang menjadi pekerja media. Memang betul jika persma menjadi wadah pelatihan skill jurnalistik, walau tak dipungkiri, organisasi tersebut juga menjadi wadah pendidikan karakter anggota-anggotanya.

Untuk melaksanakan pendidikan karakter, tentunya ada nilai-nilai yang ditransferkan dan teladan-teladan perilaku ideal yang mesti ditiru. Di sinilah, biasanya permasalahan terasa; ketika nilai-nilai dan perilaku-perilaku ideal kepersmaan ditelan atau bahkan dimuntahkan mentah-mentah oleh beberapa anggota. Hingga akhirnya, idealisme persma yang menjadi pakem pendidikan dan perjuangan malah hanya menjadi diskursus identitas yang debateable. Hal ini sungguh melelahkan dan tidak membikin persma semakin sibuk mengasah daya.

Sejauh pergaulan saya dengan orang-orang persma, saya sadari, idealisme persma yang saya misalkan pada paragraf kedua di atas akan menjadi permasalahan pokok yang tak mungkin tuntas diatasi. Setiap persma selalu memiliki permasalahan idealisme yang selalu dicurhatkan dalam forum-forum. Begitulah yang saya alami sebagai konsultan kepersmaan ketika menjadi pejabat PPMI setingkat DK.

Dari mereka, ada yang menyatakan bahwa organisasinya kesulitan membikin anggotanya berdaya intelektual mumpuni. Ada pula, mereka yang memiliki anggota berdaya intelektual bagus namun sulit mengajaknya menapaki jalan perjuangan atau menegaskan keberpihakan. Nah, dari situlah, saya sering membuka pertanyaan: apa yang ditawarkan persma kepada anggotanya? Jika yang ditawarkan hanyalah citra identitas, tentunya, semua yang diajarkan menjadi mentah belaka.

Maka dari itu, saya selalu mencoba menggiring kawan-kawan persma untuk memikirkan kebutuhan keberadaannya. Soal intelektualisme dan sikap menghantam penindasan adalah potensi yang harusnya berguna memenuhi kebutuhan berpersma. Sayangya, idealisme semacam itu kerap diajarkan muluk-muluk untuk memperoleh gengsi tinggi dan citra terhormat. Ajaran semacam itulah yang akhirnya menjadi penyakit dan malah menjadi serangan balik bagi persma.

Ajaran yang menempatkan idealisme sebagai citra identitas hanya akan membikin anggota persma sibuk mengejar penghargaan semu. Pada akhirnya, akan sangat sulit menemukan banyak anggota persma dengan keilmuan mendalam dan peka nuraninya terhadap situasi sekitar. Jika persma-persma semakin menghayati kebutuhannya, mereka akan menghindari ajaran idealisme yang cenderung menggairahkan anggotanya pada pencitraan semu.

Sejatinya, persma selalu membutuhkan apresiasi atas kerja keras berkarya medianya. Apresiasi itu tidak datang dengan sendirinya. Kinerja jurnalistik persma yang dianggap bagus berasal dari proses keilmuan dan laku perjuangan yang militan. Kalau mereka membutuhkan apresiasi bagus, maka pakem berilmu dan berjuang harus sungguh-sungguh dilaksanakan. Dan sesungguhnya, pakem tersebut benar-benar sederhana, asalkan mau konsisten dan tidak terlalu tergiur oleh urusan citra.

Itulah mengapa, saya dan beberapa orang persma di Yogyakarta selalu berusaha mengencangkan arus diskursus dan mengajak para anggota persma terjun ke dalam akar rumput dimana adanya orang-orang yang ditindas kekuasaan. Tanpa bermaksud menyiksa anggota persma dengan beban peranannya, hal ini bisa menjelaskan kepada mereka bahwa idealisme itu berguna untuk memenuhi kebutuhan sendiri.

Contohnya, ketika akhir-akhir ini mulai banyak orang-orang persma yang mengawal kasus-kasus agraria di Yogyakarta dan mengangkat narasi kritik terhadap Rezim Keistimewaan. Dengan sendirinya, anggota persma menggembleng proses keilmuan sambil menegaskan sikap perjuangannya. Dengan begitu, mereka akan semakin giat bergerak, belajar, dan menerbitkan konten. Apresiasi bagus terhadap media-media persma pun berdatangan dari mereka yang membacanya dan merasa diadvokasi aspirasinya. Beginilah kiranya pakem idealisme persma bisa terjaga. Yakni, membangun simbiosis mutual dengan basis pembacanya. Selain aspirasi dari basis pembaca teradvokasi, persma-persma pun semakin mendapat apresiasi.

Sederhananya, idealisme adalah pembacaan atasnama kebutuhan. Seperti kata Mike, vokalis Marjinal, kepada saya, “Melakukan budaya tanding bukan semata-mata untuk menandingi (kemapanan). Melainkan, memenuhi kebutuhan kita sendiri,” ujarnya.

Kategori
Diskusi

Pers Mahasiswa Besar Bukan Dari Pengakuan

Membuka dan membaca lagi sejarah perkembangan pers mahasiswa dalam buku Menapak Jejak Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia (PPMI), tertulis bahwa pada Kongres PPMI ke-5 tahun 2000 memilih tema “Jati Diri Pers Mahasiswa sebagai Kontrol Sosial dan Agen Perubahan”. Jelas dalam tema tersebut tersirat bahwa tugas atau fungsi dari pers mahasiswa adalah menjadi kontrol sosial dan memperjuangankan perubahan yang bersifat kerakyatan.

Berani mengkritisi dan menyikapi kebijakan pemerintah yang memang dirasa kurang tepat, atau kebijakan yang tidak pro rakyat. Hal tersebut mengantarkan posisi pers mahasiswa selalu berseberangan dengan pemerintah. Dan tak jarang pers mahasiswa mendapatkan tindakan yang kurang bijak dari pemerintah, seperti intimidasi, pembreidelan media, atau bahkan tindakan kekerasan yang dilakukan oleh militer.

Berada pada posisi yang berlawanan dengan pemerintah, membuat pers mahasiswa dalam wadah PPMI tumbuh tanpa pengakuan. Meskipun demikian memang PPMI sudah berani bersikap, untuk tidak mau berkompromi dengan pemerintah. Menempuh jalur birokrasi dan menuntut akan sebuah pengakuan hanya akan membuat lelah.

Pengakuan dari pemerintah pun sebenarnya akan membawa efek buruk juga bagi PPMI. Dalam naungan atau pengakuan pemerintah, sudah jelas posisi pemerintah yang berkuasa akan lebih leluasa untuk melakukan intervensi kepada gerakan pers mahasiswa. Pun keberlangsungan lembaga juga rawan diancam untuk dibubarkan.

Sikap PPMI saat itu untuk tidak mau berkompromi dengan pemerintah, merupakan tindakan yang tepat. Berjalan dan tumbuh berkembang tanpa pengakuan merupakan langkah PPMI agar tidak terjebak dalam kepentingan politik pemerintah.

Membawa ideologi “Membela kaum tertindas” mengharuskan PPMI untuk terus mengawasi kinerja pemerintah yang rawan penyalahgunaan jabatan, kekuasaan, dan tindakan kesewenang – wenangan. Berimbas pada nasib rakyat yang menjadi korban.

Jika periode I tahun 1993 PPMI masih terlihat berhati-hati dalam bersikap, maka periode II tahun 1995 PPMI berani bersikap. Secara tegas PPMI bersikap bahwa tidak butuh pengakuan atau legalitas. Berbagai pertimbangan praktis, elitis, dan kompromis ditanggalkan jauh – jauh. Menjunjung tinggi orientasi kritis, memperjuangkan kebebasan dan berpegang pada independensi media. Sikap tersebut dikenal dengan “Deklarasi Tegalboto”.

DEKLARASI TEGALBOTO

“Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia [PPMI] merupakan elemen kekuatan alternatif yang lahir dari pers mahasiswa dan atau lembaga pers mahasiswa di Indonesia untuk menghimpun potensi yang dimiliki dengan didasari komitmen moral, kerakyatan dan intelektualitas. PPMI adalah wadah yang berbasis pada pers mahasiswa dan atau lembaga pers mahasiswa di Indonesia menegaskan kembali bahwa PPMI tidak berorientasi kerja elitis dan bersifat mandiri sebagai basis tumbuhnya sikap idealisme dan kepedulian sosial.

Dengan keprihatinan bahwa kondisi sosial masyarakat saat ini mengalami degradasi struktural maupun moral maka PPMI meyakini bahwa fenomena sosial yang ada merupakan agenda permasalahan yang integral dalam pers mahasiswa sebagai manifestasi fungsi pers mahasiswa. Untuk itu diperlukan pers mahasiswa yang sanggup mengkonsolidasi kekuatan internal organisasinya, serta mempertegas sikap terhadap kondisi sosial masyarakat yang berkembang.

Berkaitan dengan ini maka PPMI menyerukan kepada pers mahasiswa dan lembaga pers mahasiswa untuk berani dan terus menerus menginformasikan persoalan-persoalan yang timbul di masyarakat secara nyata dan utuh sebagai keberpihakan yang riil terhadap komitmen moral dan kerayatan.

Berkaitan dengan alat kemandiriannya, PPMI bertekat untuk terus memperjuangkan demorasi, independensi dan kebebasan pers mahasiswa Indonesia dengan tidak mengakui lembaga SIUPP dan STT. Langkah selanjutnya, PPMI sebagai salah satu bentuk lembaga mahasiswa yang berakar dari kekuatan mahasiswa akan terus memperjuangkan kebebasan akademis dengan tidak mengingkari nilai-nilai Pancasila dan UUD 1945 dalam kerangka kemanusiaan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.”

 Tegalboto Jember, 17 Desember 1995

 

Pengakuan atau Legalitas adalah Kesia-siaan

PPMI yang memantapkan posisi, orientasi, dan sikap oposisi sebagai pengawas kebijakan pemerintah. Serta sebagai sebuah badan pengontrol, PPMI harus benar-benar otonom, lepas dari keterkaitan apapun dengan pemerintah.

Diakui oleh pemerintah pun juga tidak ada jaminan yang pasti, bila pemerintah akan membantu pers mahasiswa atau PPMI ketika ada masalah. Yang kelihatan jelas justru peluang pemerintah untuk melakukan intervensi kedalam tubuh PPMI sangatlah besar. Bahkan sekali lagi –PPMI rawan untuk dibubarkan.

Sebagai organisasi yang didirikan tanpa orientasi politik, PPMI yang memiliki entitas pers mahasiswa diharuskan selalu kritis dalam beroposisi. Menjaga sikap untuk selalu berjarak dengan pemerintah dan selalu menolak pembatasan-pembatasan atas kebebasan.

Jika mau belajar dan melihat kondisi kebebasan pers di Indonesia sekarang, menuntut pengakuan adalah sebuah kesia-sian. Karena meskipun diakui secara keberadaan ataupun hukum seperti halnya pers umum,  kebebasan pers atau keselamatan kerja saat dilapang pun tak ada jaminan.

Pers umum yang secara undang – undang telah dilindungi oleh hukum, juga tidak bisa lepas dari kekerasan atau tindakan intimidasi. Berdasarkan catatan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia tahun 2016, kasus kekerasan terhadap wartawan hampir terjadi diseluruh wilayah Indonesia. Kasus – kasus tersebut didominasi kekerasan fisik, sebanyak 38 kasus, dan pengusiran sebanyak 14 kasus.

Dikutip dari tirto.id, menyebutkan bahwa pelaku kekerasan terhadap jurnalis pada tahun 2017 didominasi oleh warga sipil yakni, sebanyak 21 kasus. Disusul orang tak dikenal 10 kasus, polisi 9 kasus, politisi 7 kasus, militer 7 kasus, aparat pemerintah daerah 6 kasus, pejabat pemerintah 4 kasus, ormas 3 kasus, pelajar dan mahasiswa 2 kasus, serta masing-masing 1 kasus oleh advokat, aparat pemerintah pusat, dan hakim.

Kasus – kasus tersebut dapat menjelaskan bahwa kebebasan pers di Indonesia sangatlah buruk, dan pemerintah yang memiliki kekuasaan tidak mampu menjaminnya. Bahkan pemerintah sendiri juga menjadi salah satu aktor dalam kasus kekerasan yang menimpa wartawan.

Melihat kondisi tersebut seharusnya dapat memantapkan sikap PPMI untuk selalu terus memilih posisi berjarak dengan pemerintah, titik tanpa pengakuan. Sekali lagi, pengakuan atau legalitas adalah sebuah kesia-sian.

Lebih fokus pada pengembang anggota, memperluas jaringan, dan memperkuat basis media merupakan sikap yang lebih bijak. Mengingat ujung pergerakan pers mahasiswa adalah media. Pers mahasiswa harus memahami bahwa melalui kerja-kerja jurnalistik atau media, merupakan usaha dalam menjaga dan merawat idealisme serta jalan perjuangan pers mahasiswa.

Bukan justru mendekat dan merapat ke pemerintah untuk mencari posisi aman. Kalau boleh mengklaim –itu tindakan yang salah. Karena pers mahasiswa tumbuh dan berkembang dengan perjuangan bukan dengan pengakuan.[]

Kategori
Diskusi

Nasib Buruh Kian Keruh

Data survei Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan hasil pendapatan industri sedang dan besar di Yogyakarta adalah 17,5 Triliun dengan biaya produksi 7,720 Triliun. Sementara upah yang diberikan kepada 58.508 pekerja di Yogyakarta sebesar  1,175 Triliun atau hanya 6,72% dari total pendapatan tadi. Itu artinya, 8,605 Triliun sisanya masuk ke kantong-kantong pemilik dan pimpinan perusahaan. “Ini adalah indikasi awal terjadinya eksploitasi ekonomi atau finansial, dimana pekerja diupah jauh di bawah tingkat  produktivitasnya,” ungkap Awan Santosa dari  Pusat Studi Kerakyatan UGM. Selain itu, Investor yang berasal dari luar Indonesia menurut Awan merupakan bentuk penjajahan baru yang terjadi di Indonesia.

Hal tersebut dipaparkan oleh Awan dalam launching majalah edisi No.01/Thn. L/2017 LPM Himmah (25/5). Acara tersebut bertempat di lantai dua Loop Station Prawirodirjan, Gondomanan, Kota Yogyakarta. Acara yang disertai dengan diskusi publik bertema “Buruh Lemah Semakin Dilemahkan” itu juga menghadirkan Restu Baskara dari Federasi Perjuangan Buruh Indonesia.

Menurut Awan, upah yang diterima oleh buruh telah melanggar UUD 1945 pasal 33 yang mengatur tentang perekonomian, pemanfaatan SDA, dan prinsip perekonomian nasional. Undang undang tersebut secara tegas menyatakan bahwa perekonomian nasional diselenggarakan dengan prinsip kebersamaan dan efisiensi berkeadilan. Upah buruh yang tereksploitasi, lanjut Awan, justru diperparah dengan keluarnya Peraturan Pemerintah Republik Indonesia  Nomor 78 Tahun 2015 tentang pengupahan. Awan beranggapan peraturan tersebut telah melanggar konstitusi dan pancasila. “Pancasila itu kan esensinya gotong royong, musyawarah, mestinya upah itu diputuskan oleh musyawarah. Tetapi menjadi tidak ada dengan adanya PP itu,” Jelas Awan yang juga merupakan direktur Mubiarto Institute yang bergerak di bidang ekonomi kerakyatan di berbagai sektor.

PP No 78 Tahun 2015 ditandatangani oleh Presiden Republik Indonesia, Joko Widodo pada 23 Oktober 2015. Namun peraturan itu ditentang habis-habisan karena dianggap tidak berpihak kepada rakyat kecil. PP ini tidak melibatkan Serikat Pekerja  dalam menentukan formula pengupahan. Hal tersebut  tentu bertentangan dengan UU No. 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan, UU No. 21 Tahun 2000 Tentang Serikat Pekerja/Buruh dan Konvensi International Labour Organitation (ILO) No. 87 Tentang Kebebasan Berserikat.

Senada dengan Awan,  Restu  Baskara juga beranggapan  PP  No. 78 melanggar konstitusi di atasnya, misalnya UU No. 13 tahun 2003. Restu menjelaskan bahwa dalam UU No.13  2003 dikatakan bahwa penentuan upah didasarkan pada musyawarah antara perwakilan buruh, pengusaha, dan pemerintah. “Konstitusi tertinggi kan Undang-Undang Dasar, terus di bawahnya Undang-Undang, di bawahnya lagi baru peraturan pemerintah. Nah PP ini melanggar konstitusi di atasnya, UU No. 13 tahun 2003,” jelas Restu.

Restu juga menjelaskan bahwa mayoritas penduduk Indonesia adalah pekerja, baik yang formal dan duduk di kantoran maupun yang informal, seperti pekerja rumahan. Karena itu pula buruh menolak dan menentang PP tersebut. Sayangnya, lanjut Restu, penolakan tersebut justru dijawab dengan tindakan represif oleh aparat. Restu bercerita, penolakan terhadap PP No. 78 Tahun 2015 sudah dilakukan sejak 30 Oktober 2015 dalam aksi besar-besaran di Istana negara. “Banyak sekali demo-demo pasca disahkannya peraturan itu, sampai kemudian demo besar-besaran di Istana  pada 30 Oktober 2015  menolak PP No. 78 Tahun 2015 itu, namun sampai sekarang belum dicabut,” kata Restu.

Efek dari penolakan tersebut, masih menurut pemaparan Restu, banyak aktivis buruh yang dikriminalisasi dan dipidanakan. “Polisi melakukan tindakan represif, tiga mobil komando dirusak sama polisi. Padahal pada waktu itu aksinya berjalan damai,”  papar Restu menyayangkan.

Sekretaris Sekolah Buruh, Sri Okvita Wahyuningsih, juga sangat menyayangkan kondisi buruh saat ini. Menurut perempuan yang akrab disapa Vita tersebut, kondisi buruh di Indonesia sangat memprihatinkan. Padahal, menurut Vita, buruh bekerja keras mengorbankan waktu, tenaga, dan pikiran demi mendapatkan upah untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, terlebih mereka yang sudah berkeluarga. Namun buruh justru diperlakukan tidak sebagaimana mestinya. “Buruh kalah bukan hanya karena dikriminalisasi, tetapi juga karena takut kehilangan pekerjaan. Ditambah lagi kurangnya pemahaman tentang ketenagakerjaan,” ungkap Vita melalui sambungan WhatsApp.

Sebelum peraturan tentang pengupahan itu disahkan, sejatinya kondisi buruh sudah tercurangi. Namun Negara justru memperburuk kondisi tersebut dengan mengesahkan PP No. 78 Tahun 2015. Padahal peran negara sangat penting untuk menjalanankan amanah Pasal 33 ayat 3 UUD Tahun 1945, yang menjamin kesejahterakan   bagi  segenap lapisan masyarakat Indonesia. Jika kesejahteraan sudah menyentuh seluruh lapisan masyarakat, dengan demikian slogan “Kerja Kerja Kerja!” yang dicanangkan Jokowi tidak hanya menjadi omong kosong belaka. Faktanya, nasib pekerja/buruh selama ini terus diperbudak oleh penguasa, atau dengan kata lain “kerja kerja dan kerja untuk penguasa”. Melihat hal ini, seharusnya tak ada alasan lagi untuk memberantas peraturan yang semakin menyengsarakan kaum buruh. Titik!

Kategori
Diskusi

Pameran Karya Soal Wiji Thukul di PUSHAM UII Dibubarkan

Lagi, demokrasi Indonesia ternodai setelah aksi pembubaran yang dilakukan oleh sekelompok ormas yang menamai dirinya dengan Pemuda Pancasila, terhadap pameran karya Andreas Iswinarto yang bertemakan “Aku Masih Utuh dan Kata-Kataku Belum Binasa”, kemarin (08/05). Pameran tersebut dilaksanakan di Pusat Studi Hak Asasi Manusia Universitas Islam Indonesia (PUSHAM UII) mulai 8 hingga 11 Mei 2017.

Acara tersebut diselenggarakan untuk memperingati hari pers nasional. Rencananya panitia akan mengadakan diskusi tentang kebebasan pers di Indonesia. Tapi terlebih dahulu menggelar pameran lukisan karya Andreas.

Andreas Iswinarto mengakui ia sengaja memilih tokoh Wiji Thukul untuk dipamerkan dalam acara tersebut, karena puisi wiji  dianggap masih relevan. “Aku sebaya dengan Wiji Thukul tapi aku tidak pernah bertemu. Tapi aku membaca karyanya dan aku tertarik dengan karyanya. Wiji Thukul adalah suara otentik dari Kaum miskin itu. Karena dia hanya lulus SMP, sempat di SMK. Dia pernah jadi  pekerja, jadi buruh Plitur, artinya dia adalah suara otentik dari rakyat.” katanya

Pameran karya tersebut digelar untuk memberikan pemahaman kepada khalayak luas tentang karya Wiji Thukul, sebagai follow up dari film istirahatlah kata-kata yang sambutannya cukup antusias. Andreas memilih tanggal 1 dan 8 Mei untuk pelaksanaan pameran di Semarang dan Yogyakarta. Hal tersebut dengan alasan, karena pada tanggal 1 itu May Day tercatat sebagai perjuangan buruh ketika, Wiji memimpin Serikat Buruh Tekstil untuk melakukan unjuk rasa. Saat itu Wiji mendapat pukulan keras dari tentara yang menyebabkan mata kanannya tidak bisa melihat, dan telinga kanannya sulit mendengar. Sedangkan, tanggal 8 adalah tanggal meningalnya marsinah.

“Catatan juga Mei itukan sembilan belas tahun reformasi, tapi sembilas tahun juga hilangnya Wiji, karena secara official dia hilang itu sekitar awal Mei, saat sebelum Suharto turun, memang dia yang tertangkap dari 13 aktivis buruh, kemungkinan dia yang paling akhir.” jelas Andreas

Andreas menambahkan, saat pameran tersebut diselenggarakan di Semarang, juga mendapat intimidasi. Bahkan acara yang dijadwalkan mulai pada tanggal 1 harus bergeser menjadi tanggal 3 Mei karena pihak gedung mencabut izin. Ternyata di Yogyakarta diskriminasi terhadap karyanya kembali terjadi.

“Sebenarnya beberapa karya diambil, saya dan beberapa teman ngotot menarik karya itu. Aku berhasil merebut beberapa kali, makanya aku beberapa kali aku disiku dan di didorong bahkan dicekik, karena aku berusaha mempertahankan karya itu. Untungnya semua karya bisa di rebut, kecuali ada 5 poster (yang dirampas, red).” ungkap Andreas.

Dilansir dari Detiknews, ketua Majelis Pimpinan Wilayah Pemuda Pancasila DIY, Faried Jayen, mengakui bahwa memang pihaknya yang melakukan pembubaran acara ini, karena dianggap tidak memiliki izin. “Kami indikasikan acara ini berbalut dengan gerak anak turun komunis, kami bukannya tidak boleh. Kami ingatkan ada izin, tidak ada izin juga dari polisi.” imbuhnya.

Direktur PUSHAM UII, Eko Riyadi mengatakan tidak ada ketentuan (undang-undang, red) di negeri ini yang mengharuskan diskusi memiliki izin. Menurutnya demonstrasi saja tidak memerlukan izin, cukup sekedar pemberitahuan saja.

“Pusham itu seminggu tiga kali diskusi semacam ini. Ini kan institusi kampus, nggak ada ketentuan di negeri ini mengatakan diskusi harus minta izin. Demonstrasi saja tanpa izin kok, hanya pemberitahuan, apalagi diskusi, itu ngaco.” Ungkap Eko

Eko berharap, kejadian serupa tidak terjadi lagi. Baginya Yogyakarta adalah kota dunia, yang seharusnya juga berbanding lurus dengan kebebasan ruang publik. “Sebenarnya ini menyedihkan, peristiwa ini kan bukan yang pertama. Saya berharap keseriusan dari kepolisian dan pemerintah daerah. Untuk memastikan kejadian serupa tidak terjadi lagi. Memalukan Jogja sebagai ruang terbuka bagi publik. Jogja ini bukan kotanya orang sini (saja, red), tapi kotanya dunia.” katanya.[]

Kategori
Diskusi

Berita Kepada Kawan

Ada 4 kesamaan saya dengan Ilham Nur Padmy Lestia Adi. Pertama adalah nama Ilham. Kedua tinggal di desa yang sama. Ketiga dia hobi naik gunung. Keempat ia ngekos di tempat yang saya tempati sebelumnya, di Yogyakarta.

Berita meninggalnya tiga mahasiswa UII saat mengikuti The Great Camping (TGC) XXXVII, di Gunung Lawu menjadi sorotan publik, Tempo.co misalnya ; berita tiga mahasiswa UII yang meninggal setelah mengikuti TGC XXXVII menjadi berita Populer selama beberapa hari. Begitu juga dengan media lokal di Yogyakarta, baik cetak dan online. Terlebih terjadi kota pelajar seperti Yogyakarta dan di institusi pendidikan. Salah seorang yang menjadi korban meninggal, saudara dan kawan saya Ilham Nur Padmy Lestia Adi.

Ham arak Keril? (Ham ada Keril?)” kata pria yang biasa di sapa Ilham. Menjadi pesan pertama Ilham pada saya di Facebook tanggal 15 Agustus 2014, menanyakan apakah saya punya tas gunung. Saya saat itu tak membalas pesanya. Sampai suatu ketika, kami bertemu langsung. Dia berkata pada saya sudah dapat tas dan siap untuk mendaki Gunung Rinjani.

Menjadi kebiasaan para pemuda di desa kami mendaki ke Gunung Rinjani. Bahkan ada beberapa pemuda yang kami kenal beberapa menjadwalkan tiap tahunnya mendaki Gunung Rinjani, bahkan ada juga yang setahun 3 kali. Sampai ada beberapa pemuda berkata “Rinjani itu umroh (haji kecil) orang Lombok”. Pemuda Lombok yang tidak pernah ke Rinjani—cukup membayangkan cerita tentang indahnya panorama alamnya dan suka-duka selama di Rinjani. Karena terus mendengar cerita tentang Gunung Rinjani semakin membuat orang penasaran untuk mendaki gunung yang memiliki ketinggian 3.636 Mdpl dan Danau bernama Segara Anak.

Ilham mengalami hal yang sama, ia penasaran akan cerita Gunung Rinjani. Selama setengah semester bersama 6 sahabatnya saat masih di SMP 1 Pringgasela, Ilham merencanakan untuk muncak ke Gunung Rinjani dan danau Segara Anak. Rasa penasaran itu pun sirna dan terwujud selesai Ujian Nasional (UN) yang menjadi pendakian pertama ilham menyaksikan Gunung Rinjani. Tapi karena mereka melalui Jalur Selatan mereka hanya sampai ke Danau Segara Anak dan tak bisa ke puncak Rinjani. Kemudian pada 21-27 Juni 2013, Ilham kembali mendaki Gunung Rinjani. Sejak saat itu naik gunung menjadi hobinya. Pun ketika melanjutkan studi di Kota Yogyakarta.

Di Yogyakarta

Pemuda berbadan tegap ini mengirimkan pesan kedua via Facebook pada saya, kali ini ia menanyakan tempat kos saya. Saat itu saya sudah semester 3 di salah satu Universitas di Yogyakarta.

Ham mbe tok a ngekos? (Ham ngekos dimana?)” tanya Ilham.

Taman Siswa,” jawabku

Ternyata tanggal 5 Maret tahun 2015 lalu, Ilham dinyatakan lulus Fakultas Hukum, Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta. Melalui jalur CBT yang diadakan Sekolahnya, SMAN 2 Mataram.

Ilham mengatakan kalo bisa di carikan tempat di pesantren, ia berpikir tidak ingin membebani orang tua dengan biaya tambahan. “Arak kost kosong sekitar iti ke? (ada kos kosong sekitar situ?) Atau Pondok Pesantren Mun bu ja. (Atau kalo bisa Pondok pesantren),” ungkapnya.

Saya memintanya untuk menempati kos saya saja. Ilham mengiyakan. Kemudian sekarang mulailah ia belajar di Yogyakarta. Ilham sempat ragu bisa menjalani belajar di Fakultas Hukum karena mengambil kelas internasional. “saya nggak terlalu bisa bahasa Inggris,” Tutur Ilham

Ilham termasuk tipe orang mau belajar. Merasa nilai semester satu di anggap tidak memuaskan karena tak bisa bahasa Inggris, tak lantas membuatnya menyerah. Ia kemudian berangkat ke Pare, di Kediri untuk belajar bahasa Inggris selama satu bulan. Di sela belajarnya Ilham tak melepaskan hobinya, di Malang bersama dengan temanya, ia mendaki Gunung Kelud. Tercatat beberapa gunung yang didaki selama di Yogyakarta. Gunung Andong adalah yang pertama di dakinya, kemudian Kelud, dan Merbabu selama dua kali: acara bersih gunung dan penanaman pohon.

Menurut pendapat saya Ilham orang yang berinisiatif: menanyakan apa yang ingin dipelajarainya. Pemahaman itu saya dapatkan setelah beberapa kali berdiskusi bersama. Kami beberapa kali berdiskusi kecil tentang persoalan Hukum, kebudayaan, pendidikan, dan masalah sosial. Kami juga kami sering berdiskusi di media sosial. Dia tahu saya masuk pers mahasiswa yang memiliki budaya diskusi.

“Di kampus hukum itu ada Keadilan (Lembaga Pers Mahasiswa Fakultas Hukum UII),” katanya.

“Ayok Ham kapan diskusi, diskusi bareng,” ia mengajak saya.

“Maaf, Ham lagi sibuk,” jawabku.

Sejak saat itu kami jarang bertemu lagi. Saya masih memendam pikiran Ilham tertarik masuk pers mahasiswa. Karena memang sebelumnya ia sempat berkata demikian. Tapi dugaan saya tidak tepat, saya tahu dia memilih Mapala Unisi UII. Ketika senja di warung kopi seorang teman menyodorkan gawainya, ada berita online tentang meninggalnya tiga mahasiswa UII yang mengikuti The Great Camping XXXVII. Teman yang menyodorkan gawainya itu sempat mengira saya lah yang meninggal.

Kemudian saya membaca berita online tersebut. Tertulislah nama Ilham. Saya membaca ulang kembali memastikan kebenarannya. Kemudian teman yang lain menyodorkan video tentang keterangan orang tua korban, salah satunya narasumbernya, Pak Syaff’i orang tua Ilham. Setelah itu saya baru percaya ilham lah yang meninggal.

Orang tua Ilham yang datang untuk bertemu, memilih melaporkan kasus ini ke pihak kepolisian. Karena mendengarkan keterangan sang anak dan melihat kondisinya secara langsung di Rumah sakit Bathesda. Sebagai orang tua, Syaff’i hanya berharap kebenaran dalam kasus yang terjadi pada anak bungsunya saat itu dan tidak perlu di tutup-tutupi. Meski air wajah Syaff’i tak bisa menyembunyikan duka yang mendalam kehilangan anak sulungnya. Di UII, Syaff’i yakin anaknya bisa belajar dengan baik, namun sayang harus pulang lebih dulu. Saya sendiri tidak bisa melihat wajah Ilham saat terakhir kali ketika ia harus meninggalkan peraduan di kota pelajar untuk terakhir kalinya. Bagi saya, Ilham adalah kawan diskusi yang tak tuntas.

Metode Pendidikan Mencintai Alam

Almarhum Ilham di rumah sakit waktu sempat bercerita kepada seorang kawannya, bahwa ia sempat menyerah karena tidak kuat. Namun karena di katakan dalih untuk pembentukan karakter dan melihat teman-temanya diperlakukan lebih keras lagi karena menyerah—almarhum Ilham saat itu terpaksa memilih melanjutkan. Salah seorang peserta yang M. Rahmaddaniel mengatakan hal yang sama, ada tim Operasional yang memang memukul meski tanpa tahu kesalahannya apa. “Yang mundur di habisi…,” ungkap Rahmatdaniel kepada Tempo.co.

Bukankah metode pembelajaran bertahan dan bermain di alam bebas itu meminimalisir risiko, bukan membuat-buat risiko yang tak ada hubungnya dengan mendidik. Apalagi risiko kehilangan nyawa. Dari beberapa artikel yang saya baca, Diksar (Pendidikan Dasar) Pencinta alam memiliki persiapan yang banyak. Dengan menyampaikan ilmu-ilmu yang sudah dipersiapankan matang dan membutuhkan waktu yang cukup lama, karena dalam melakukan Diksar (pendidikan dasar), organisasi dan seluruh anggotanya bertanggungjawab terhadap keselamatan para calon anggota yang “dididik” pada Diksar tersebut. Persiapan tidak hanya menyangkut persiapan fisik para “pendidik”, namun juga meliputi tentang pembekalan pengetahuan dan keahlian, kesiapan materi pendidikan, sarana pendukung pendidikan, hingga keselamatan bagi calon anggota, senior serta pembina yang turut dalam Diksar tersebut. Bukankah intinya keselamatan yang utama.

Menurut keterangan salah satu ketua panitia kegiatan, Mapala Unisi mereka memiliki Standar Operasional Prosedur (SOP) untuk melakukan pendidikan dasar. Meski mereka tak menampik ada suatu yang tidak bisa di kontrol.

Tentu banyak metode untuk belajar mencintai alam dan tanpa harus menggunakan kekerasan. Terlebih dunia di akademis yang memiliki budaya intelektual harusnya bisa menjadi ajang mengasah hal tersebut. Bukan ajang untuk menyuburkan budaya kekerasan dan mempertegas otoritas “untuk membenarkan tindak kekerasan”. “Sebagai KPA (Kelompok Pecinta Alam) tertua di Indonesia, hingga kini Mapala UI dapat terus meneruskan regenerasi tanpa kekerasan fisik, sebaliknya mengedepankan pendampingan (mentoring). Saya rasa kami dapat terus mencetak anggota yang loyal, memiliki kemampuan basic outdoor skill yang mumpuni dan aktif bergiat di alam bebas dengan konsep tersebut”, ujar Yohanes Poda Sintong (M-954-UI), Ketua Umum Mapala UI 2017.

Tan Malaka pernah berkata tujuan pendidikan itu untuk mempertajam kecerdasan, memperkukuh kemauan serta memperhalus perasaan. Bukankah lagu Kepada Alam dan Pencintanya, karya Rita Rubi Hartland yang biasanya sering di nyanyikan pencinta alam bisa menjadi bahan refleksi untuk mengerti makna pencinta alam dan arti kehidupan.

Mendaki gunung sahabat alam sejati/Jaketmu penuh lambang/ lambang ke gagahan/ memproklamirkan dirmu Pecinta alam/ sementara maknanya belum kau miliki/…/oh, alam korban Ke Akuan/ maafkan mereka yang tak mengerti arti kehidupan.

Kami Hanya Bisa Berharap Kebenaran dan keadilan Kawan

Saya masih tak percaya melihat teman yang kemarin sempat tertawa, marah, dan berbagi suka duka bersama, harus meninggal dengan bekas luka membiru di sekujur tubuh. Akal sehat kami sempat tidak berjalan sempat terbersit di benak kami bahwa “hukum nyawa harus di bayar nyawa” pada pelaku. Tapi sebagai mahasiswa yang bisa kami lakukan saat ini lebih memilih mengawal kasus kawan kami Ilham dan dua korban lainya di tuntaskan dengan sejujur-jujurnya dan seadil-adilnya. Dan tak terjadi kasus yang sama di kemudian hari dan di mana pun, terlebih seperti di dunia pendidikan.

Kategori
Diskusi

Bagaimana Dengan Judicial Review UU Pers?

Kebebasan pers, berekspresi, dan akademik, jadi tema tahunan dalam berbagai forum diskusi pers mahasiswa aras nasional. Pada kongres Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia (PPMI) Desember tahun lalu di Yogyakarta, hal ini juga terjadi, sama seperti sebelumnya. Membosankan, tapi penting dan mendesak. Membosankan karena sampai kapan hal ini terus didiskusikan, sementara perilaku pejabat kampus masih saja represif, belasan tahun setelah reformasi.

Saya tidak percaya bahwa reformasi membawa perubahan signifikan pada perkembangan pers mahasiswa di Indonesia. Kenyataan bahwa kita merasa lebih aman menulis dan berdemonstrasi tidak jadi tolok ukur tunggal untuk itu. Reformasi terjadi pada tingkatan parlementer dan tersentralisir. Hanya berkaitan dengan regulasi-regulasi dan aktor pemerintahan, serta pada wilayah-wilayah yang kekuatan sipilnya kuat untuk menjadi oposisi terhadap pemerintahan. Karena itu, sepertinya tidak berpengaruh banyak pada perguruan tinggi, terutama di daerah-daerah.

Berdasarkan riset PPMI (2016), ada banyak kasus yang menimpa pers mahasiswa. Di antaranya adalah pemberedelan (11 kasus), pembekuan (2 kasus), dan intimidasi (33 kasus). Sedikit berbeda dengan pers mainstream, pelaku kekerasan terhadap pers mahasiswa adalah birokrasi kampus (11,31%), organisasi mahasiswa (6,17%) dan dewan mahasiswa (3,9%).

Terbentuknya Dewan Pers untuk menjaga kebebasan pers, tidak berpengaruh banyak pada pers mahasiswa. Ada dua indikator yang menjadi acuan bagi Dewan Pers untuk bergerak, yaitu terverifikasi dan bermuatan positif. Terverifikasi adalah berbadan hukum dan memenuhi beberapa syarat untuk dianggap sebagai bagian dari pers nasional. Sementara bermuatan positif antara lain tidak menyebarkan hoax, diskriminasi SARA, dan mematuhi kode etik jurnalistik.

Indikator tersebut kemudian dibagi menjadi empat kuadran. Kuadran pertama adalah yang memenuhi kedua indikator, kuadran kedua (muatan positif) dan keempat (terverifikasi) yang hanya memenuhi salah satu indikator, sementara kuadran ketiga adalah yang tidak memenuhi keduanya. Dewan Pers sudah bertekad untuk memprioritaskan kuadran pertama. Dalam hal ini, pers mahasiswa dan media komunitas, masuk ke dalam kuadran kedua dan karenanya tidak menjadi prioritas.

Apakah hal ini bermasalah? Lumayan. Kita dianggap tidak dipayungi oleh UU 40/1999 tentang Pers dan tidak secara langsung dan tidak menjadi prioritas bagi Dewan Pers. Seperti jelas dinyatakan pada pasal 4 ayat 1, “terhadap pers nasional tidak dikenakan penyensoran, pemberedelan atau pelarangan penyiaran”. Masuk menjadi bagian dari pers nasional berarti mendapat jaminan dari pasal tersebut.

UU Pers mengatur bahwa penyelesaian sengketa pers dapat dilakukan dengan hak jawab, hak koreksi dan permintaan maaf. Birokrasi kampus dan aktor lain, dalam kebanyakan kasus yang menimpa pers mahasiswa tidak melakukan langkah-langkah ini. Karena merasa pers mahasiswa berada di bawah komandonya, pimpinan kampus sering berbuat sewenang-wenang bila hasil liputan tak sesuai dengan keinginan mereka. Kesewenangan itu misalnya tampak dari pimpinan kampus yang acapkali melakukan praktik penyensoran kepada pers mahasiswanya. Hasil reportase atau artikel dari pers mahasiswa tersebut harus dibaca dan periksa terlebih dahulu oleh dekanat atau rektorat kampus sebelum terbit. Praktik tersebut dilakukan agar pemberitaan sesuai dengan visi perguruan tinggi tersebut.

Dalam kasus yang lain, pers mahasiswa sangat rentan terhadap penyunatan anggaran. Jika mengeluarkan berita-berita yang sarat muatan kritik, gelontoran dana dikurangi, ditunda bahkan dihentikan. Walau beberapa pers mahasiswa di Indonesia nekat angkat kaki dari kampus, terbukti mereka kesulitan bertahan hidup. Begitu pula dengan sekretariat atau ruangan. Sebagai mahasiswa, anggota pers mahasiswa memang sudah seharusnya mengutamakan kuliahnya ketimbang kepentingan organisasi. Hal-hal seperti saya jelaskan di atas sangat menguras tenaga anggota pers mahasiswa. Pers mahasiswa karenanya sangat bergantung pada kampus, namun tidak sebaliknya.

Salah satu argumentasi yang keluar dari birokrasi kampus adalah karena pers mahasiswa bukan bagian dari pers nasional dan karena di bawah pembinaan kampus. Ganjalan ini bersumber dari pasal 9 UU Pers yang berbunyi, “setiap perusahaan pers harus berbentuk badan hukum Indonesia.” Artinya, setiap aktivitas jurnalistik yang tidak berbadan hukum bukanlah pers, termasuk dalam hal ini adalah pers mahasiswa. Selain berbadan hukum, perusahaan pers yang diakui pemerintah harus memiliki modal minimal Rp 50 juta serta membiayai karyawannya. Persyaratan-persyaratan di ataslah yang tidak dapat dipenuhi oleh pers mahasiswa. Jangankan membiayai karyawan, anggota pers mahasiswa saja sering kali harus merogoh kantongnya untuk membiayai penerbitan majalah.

Ada banyak pilihan untuk mengatasi hal ini. Salah satunya dengan mengusahakan badan hukum bagi pers mahasiswa, layaknya pers mainstream. Pers mahasiswa juga dapat memilih keluar dari kampus. Atau tetap di dalam kampus, namun berani mengambil posisi yang lebih berarti di hadapan pejabat kampus. Sehingga jika terjadi tindakan sewenang-wenang, pers mahasiswa melakukan perlawanan. Terutama dengan cara-cara seperti diatur dalam UU Pers, melalui hak jawab, hak koreksi, ataupun permintaan maaf. Tidak serta-merta tunduk terhadap tekanan pejabat kampus.

Pilihan-pilihan tersebut punya beberapa kekurangan dan kelebihan. Namun ada salah satu pilihan terakhir terhadap permasalahan ini. Ia muncul saat kongres PPMI yang lalu: judicial review terhadap UU Pers. Walau mendapatkan apresiasi positif, masih belum menjadi pembahasan yang serius. Jika ditelisik, pilihan ini menghasilkan beberapa pertanyaan. Apa yang hendak diubah dari UU Pers? Apa jaminan bahwa pers mahasiswa lebih baik jika diatur dalam UU Pers dan dipayungi Dewan Pers?

Setelah dipantik, pertanyaan-pertanyaan tersebut butuh diskusi yang lebih mendalam. Belum lagi soal perbandingan dari beberapa pilihan tersebut, manakah yang terbaik dalam menjaga kebebasan pers mahasiswa? Apapun pilihannya, saya hanya merenungi, “perubahan sejarah selalu didorong oleh orang-orang yang memperjuangkannya,” tulis Ariel Heryanto.

 

Kategori
Diskusi

Hak Atas Kehidupan Layak dan Proyek Bandara Kulonprogo

Setiap pribadi memiliki harkat dan martabat yang sama sebagai manusia. Dalam pembukaan Deklarasi Universal Hak Asasi manusia (DUHAM) disebutkan, bahwa pengakuan atas martabat yang melekat pada hak-hak yang sama tidak dapat dicabut dari semua anggota keluarga manusia. Ia adalah landasan bagi kebebasan, keadilan dan perdamaian di dunia.

Namun acapkali dalam suatu proses pembangunan, masyarakat dilanggar hak asasinya sebagai manusia. Hak-hak yang mendasar dan melekat sepertinya dicerabut hanya karena mereka tidak mau menjual tanahnya untuk sebuah pembangunan. Apalagi dalam proses pengukuran, pelepasan lahan dan pembangunan, pemerintah seringkali menggunakan aparat keamanan untuk mengintimidasi warga. Padahal setiap manusia memiliki hak atas kehidupan yang layak menyangkut rumah; hidup yang aman, tentram, damai, bahagia, sejahtera; hak milik; hak atas lingkungan yang baik; hak atas identitas yang berkaitan dengan pelayanan kesehatan dan pelayanan sosial.

Untuk itu, penulis akan mengkaji (kemungkinan) pelanggaran HAM, terkhusus hak atas kehidupan yang layak apabila rencana pembangunan bandara New Yogyakarta International Airport (NYIA) di Kulonprogo dilanjutkan.

Sejarah Perumusan Hak Asasi Manusia

Perumusan Dokumen Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) tidak terlepas dari peristiwa Perang Dunia II dimana banyak orang tidak punya tempat tinggal, tidak mempunyai kehidupan yang layak, tidak punya hak milik, tidak bebas kembali dan pergi dari negaranya, tidak bebas mengeluarkan pendapat, dll. Karena itu PBB membentuk komisi tentang Dewan Ekonomi dan Sosial (ECOSOC) yang bertugas membentuk Komisi Hak Asasi Manusia (commission of human rights). Setelah dibentuk, dewan tersebut mulai bersidang pada bulan Januari 1947 di bawah pimpinan Ny. Eleanor Rossevelt dan beberapa anggota seperti John Peters Humphrey dari Kanada, Jacques Maritain dari Prancis, Charles Malik dari Lebanon, P.C. Chang dari Republik Tiongkok, dll.

Namun dalam perumusannya, DUHAM juga merujuk pada dokumen-dokumen terdahulu seperti Magna Charta di Inggris (1215), Bill of Rights (1689), Declaration of Independence USA (1776), Bill of Rights USA (1791), Declaration of Rights of Man and The Citizen Prancis (1789). Dokumen-dokumen tersebut berisi tentang kerajaan tidak akan mencampuri urusan gereja, tentang kebebasan kepada warga negara untuk berpartisipasi dalam kehidupan publik, dan negara menjamin hak-hak warga negara.

Setelah 2 tahun perumusannya maka pada tanggal 10 Desember 1948 diselenggarakanlah sidang Umum PBB di Istana Chaillot, Paris dan mereka menerima hasil kerja panitia tersebut. Karya itu berupa Universal Declaration of Human Rights atau Pernyataan Sedunia tentang Hak–Hak Asasi Manusia, yang terdiri dari 30 pasal. Dari 58 Negara yang terwakil dalam sidang umum tersebut, 48 negara menyatakan persetujuannya, 8 negara abstain (Belarusia, Cekoslavakia, Ukraina, Polandia, Uni Soviet, Yugoslavia, Afrika selatan, Arab Saudi) dan 2 negara absen. Oleh karena itu, setiap tanggal 10 Desember diperingati sebagai hari Hak Asasi Manusia. Sekretaris PBB sendiri pada waktu itu adalah Trygve Lie dari Norwegia.

Hak atas kehidupan yang Layak

Setiap warga negara mempunyai hak untuk kehidupan yang layak berupa tempat tinggal, lingkungan yang sehat dan bahkan mendapat jaminan sosial. Untuk itu berikut ini poin-poin dari regulasi yang mengatur hak atas tempat tinggal dan kehidupan yang layak.

  • UUD 1945 pasal 28H ayat (1), “Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan”.
  • UU No. 39 tahun 1999 tentang HAM pasal 40, “Setiap orang berhak untuk bertempat tinggal serta berkehidupan yang layak”.
  • UU No. 11 Tahun 2005 tentang Hak Ekonomi Sosial Budaya (Ratifikasi Kovenan Internasional Tentang Hak Ekonomi Sosial Budaya) pasal 11 ayat (1), “Negara pihak mengakui hak setiap orang atas standar hidup yang layak baginya dan keluarganya, termasuk pangan, sandang dan perumahan, dan atas perbaikan kondisi hidup terus menerus…”
  • DUHAM pasal 25 ayat (1), “Setiap orang berhak atas tingkat hidup yang memadai untuk kesehatan dan kesejahteraan dirinya dan keluarganya, termasuk hak atas pangan, pakaian, perumahan dan perawatan kesehatan serta pelayanan sosial yang diperlukan, dan berhak atas jaminan pada saat menganggur, menderita sakit, cacat, menjadi janda/duda, mencapai usia lanjut atau keadaan lainnya yang mengakibatkannya kekurangan nafkah, yang berada di luar kekuasaannya”.
  • Konvensi tentang Hak-Hak Anak Pasal 27 ayat (3), “Sesuai dengan kondisi nasional dan dalam batas kemampuan mereka, negara-negara pihak harus mengambil langkah-langkah yang layak guna membantu orangtua dan orang-orang lain yang bertanggungjawab atas anak untuk melaksanakan hak ini, dan bila diperlukan, memberi bantuan material dan program bantuan, terutama yang menyangkut gizi, pakaian dan perumahan”.

Ketentuan lain

  • Komentar umum (Konvensi Internasional Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya – ICESCR – 13 Desember 1991) 4 tentang Hak atas Tempat Tinggal yang Layak (Pasal 11 ayat [1]) menegaskan bahwa “hak asasi atas tempat tinggal yang layak, yang bersumber dari hak atas kehidupan yang layak, adalah yang utama terpenting untuk penikmatan hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya”.
    Komentar umum (Konvensi Internasional Hak Sipil dan Politik – ICCPR – 1997) No. 7 tentang Hak atas Tempat Tinggal yang Layak: Pengusiran Paksa: Pasal 16 menegaskan “Pengusiran tidak boleh menjadikan individu-individu tidak berumah atau rawan terhadap pelanggaran hak-hak asasi manusia lainnya. Dimana orang-orang terimbas tidak mampu menyediakan berbagai kebutuhan mereka sendiri, negara harus menyediakan segala ukuran yang tepat, untuk memaksimalkan sumber daya tersedia, untuk memastikan bahwa perumahan, pemukiman, atau akses alternatif atas tanah yang produktif, tergantung kasusnya, tersedia”.

Proyek Bandara Kulon Progo

Kalau kita melihat Perpres No. 3 tahun 2016 tentang Percepatan Pelaksanaan Proyek Strategis Nasional, pembangunan New Yogyakarta International Airport (NYIA) yang bertempat di Kulonprogo adalah salah satu dari proyek strategis nasional. Namun menjadi persoalan ketika IPL (Izin Penetapan Lahan) No. 68/KEP/2015 mendahului Kerangka Acuan Analisis Lingkungan (KA Amdal). Padahal kalau mengacu pada UU No. 2 tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum dan PP No. 71 tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum menetapkan bahwa Amdal harus ada sebelum IPL dan pembebasan lahan.

Kalau melihat regulasi yang ada nampak bahwa ada ketidaksesuaian antara tahap-tahap yang harus dilalui dengan kenyataan yang ada. Maka sangat wajar kalau penetapan lokasi bandara di Kulonprogo terlihat dipaksakan karena memang tidak sesuai dengan mekanisme regulasi yang ada.

Pembangunan bandara yang memang tidak sesuai dengan regulasi yang ada dan terlihat dipaksakan telah mengakibatkan proses ini cacat dari awal. Selain itu pemilihan tempat pembangunan di lahan yang produktif juga menimbulkan persoalan. Apalagi tidak ada jaminan ekonomi bagi warga ketika mereka menyerahkan tanahnya untuk dijual ke pihak bandara telah menambah persoalan lain. Maka sangat wajar kalau warga yang tergabung dalam Wahana Tri Tunggal (WTT) yang berjumlah sekitar 300 kepala keluarga, tidak mau menjual tanah mereka, karena memang mereka punya hak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya (UUD 1945 pasal 28A).

Seandainya proyek NYIA tetap dipaksakan untuk dijalankan maka negara harus bisa melindungi dan menjamin hak-hak setiap warga negara termasuk warga WTT. Hak untuk punya tempat tinggal dan kehidupan yang layak tetap harus dijamin karena hak itu sudah melekat dalam setiap pribadi manusia sejak ia lahir. Pengabaian hak dasar warga WTT untuk dihormati haknya karena tidak bersedia menjual tanah dan memaksa mereka menjual tanah dengan cara mengintimidasi mereka telah menimbulkan pelanggaran HAM. Pelanggarannya bisa dilakukan oleh negara sendiri (by commission) atau negara membiarkan terjadinya pelanggaran HAM dengan cara membiarkan pihak pengembang melakukan intimidasi kepada warga supaya mereka menjual tanahnya (by omission).

Karena negara memiliki kewajiban untuk melindungi (to protect), menghormati (to respect) dan memenuhi (to fulfil) hak warga negara. Apalagi hak untuk hidup, mempertahankan hidup, bebas dari penyiksaan adalah hak yang tidak boleh dilanggar (Non-derogable rights).

Untuk itu pemerintah memang perlu menghomati pilihan warga WTT untuk tidak menjual tanahnya karena hal ini menyangkut hak warga WTT atas kepemilikan, tempat tinggal dan kehidupan yang layak. Kalau rencana NYIA tetap dilanjutkan di Temon, Kulon Progo maka akan menambah catatan merah pelanggaran HAM di Indonesia.

 

Bacaan Rujukan

Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia, yang ditetapkan oleh Majelis Umum dalam Resolusi 217 A (III) tertanggal 10 Desember 1948.

General Comment International Convenant on Economic, Social and Cultural Rights (ICESCR) no. 4 tanggal 13 Desember 1991.

General Comment International Convenant on Civil and Political Rights  (ICCPR) no. 7 tahun 1997.

Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia no. XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia yang ditetapkan tanggal 13 November 1998.

Konvensi Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik, yang ditetapkan oleh Resolusi Majelis Umum 2200 A (XXI) tanggal 16 Desember 1966.

Konvensi Internasional tentang Hak-Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya, yang ditetapkan oleh Resolusi Majelis Umum 2200 A (XXI) tanggal 16 Desember 1966.

Konvensi tentang Hak-Hak Anak, disetujui oleh Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa pada tanggal 20 Nopember 1989.

Ni Wayan Dyta Diantari, Sejarah Hak Asasi Manusia dalam https://emperordeva.wordpress.com/about/sejarah-hak-asasi-manusia/, diakses 21 November 2016.

Peraturan Presiden No. 3 tahun 2016 tentang Percepatan Pelaksanaan Proyek Strategis Nasional.

Putusan Presiden No. 71 tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum.

Undang-Undang Dasar Nagara Indonesia 1945 Amandemen IV.

Undang-Undang Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.

Undang-Undang No. 2 tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum.

Kategori
Diskusi

Dilematik Perempuan Antara Ego dan Realitas

“Kalau setelah lulus kuliah, kerja, terus menikahnya kapan?”

Tidak satu, dua, atau tiga kali saya mendengar cerita mengenai komentar itu dari beberapa kawan yang habis pulang kampung. Bahkan saya sendiri berkali-kali mendapat tanya semacam itu. Kesannya memang wajar orang bertanya demikian, tidak perlu emosi membela diri di hadapan penanya yang penasaran soal hidup kita.

Dan yang sering mengusik saya beberapa hari terakhir ini adalah, mengapa pertanyaan soal menikah di usia 20 tahun ke atas sering berdatangan? Terutama pada perempuan yang berasal dari desa yang mayoritas penduduknya (khususnya perempuan) menikah setelah lulus SMA. Tentu saja tulisan ini bukan bermaksud memunculkan persoalan yang diskursif, di mana pandangan umum mempercayai hal yang tak bisa dielakkan antara desa dan kota.

Hanya sedikit refleksi terhadap makna kebebasan yang terus diupayakan di berbagai forum kesetaraan. Ada pertanda bahwa perempuan memiliki peluang menikmati hidupnya secara utuh, terlebih ketika mengetahui lembaga organisasi yang interaktif. Tengoklah Yayasan Jurnal Perempuan, yang konsisten mengkaji isu-isu perempuan mutakhir. Juga Samsara, senantiasa mengadvokasi perempuan yang mengalami kekerasan seksual. Lihat pula Aisyiyah yang sampai sekarang tetap setia mendukung kemajuan perempuan melalui pendidikan. Dan tentunya masih banyak sekali lembaga-lembaga yang sangat positif menjadi penggerak.

Dalam persoalan yang kentara di wilayah desa, nampak tidak mungkin menjadi sebebas seperti di wilayah kota. Dua perbedaan itu melahirkan stigma yang perlu dimengerti oleh pribadi masing-masing tanpa menilai buruk satu sama lain. Diutamakan bagi mereka yang mengenyam pendidikan di kota, jelas pemahamannya dituntut lebih arif, karena berpeluang menikmati kebebasan. Sedangkan nilai dan norma yang mengakar di desa sangat kuat, sehingga segala sikap yang kita ambil menjadi sorotan banyak pihak.

Sejauh saya mengamati, kawan-kawan yang bergelut dengan aktivitas di perkotaan cenderung merasa risih dengan aturan di desanya. Alhasil, beberapa di antara mereka memutuskan tinggal lebih lama dan menghindari pulang kampung, atau bahkan malah menetap. Sementara tuntutan masyarakat di tempat kelahiran agar putra-putri daerah yang telah mengenyam pendidikan di kota bisa menerapkan ilmunya kembali di desa.

Kadang di situ muncul “ego” yang meninggi. Pernah saya dapat curhatan kawan yang mengaku perlu untuk mengesampingkan kesenangan pribadi guna mempersiapkan rumah tangga. Itu juga karena mendapat nasihat dari orang tua, karena usianya lebih dari matang. Saya yakin, ada dilematis yang sulit dijadikan cerita, di sisi lain, keadaan punya porsi kuat untuk terus mendesak. Antara membiasakan hidup sebagai pribadi merdeka, ataukah patuh terhadap aturan kultural yang mengekang?

Barangkali kita lambat laun akan lahir sebagai pribadi yang terbiasa memakan kritik. Dan bisa jadi malah didominasi sifat anti-kritik. Keduanya mesti jadi landasan kuat menghadapi kenyataan di masyarakat luas, bahwa perempuan patut memperjuangkan keyakinannya berdasarkan akal sehat. Seperti kisah Roro Mendut sewaktu dikasih pilihan antara jadi istri raja atau membayar pajak kepada kerajaan, dan Roro Mendut memilih untuk membayar pajak.

Di situ, akal dan rasa diadu, dan soal bayar pajak, tentunya lebih menguras tenaga-pikiran, eh tapi Roro Mendut berani ambil risiko. Akal sehatnya main. Kemudian, upaya yang dilakukan untuk membayar pajak, ia berjualan rokok keliling. Dan ya, ini yang menjadi kekhasan cerita, di mana semua orang mengingat betul keistimewaan rokok yang dijualnya. Roro Mendut menjual rokok yang sudah diincip dari mulutnya.

Tak ada larangan untuk menilai kehidupan desa yang kolot dan patriarkis. Tetapi kalau tidak diimbangi pengertian, sementara perdebatan serta usaha penyadaran hanya meruang di kota, usaha kesetaraan hanya akan jadi debat kusir.

Kategori
Diskusi

Menyejahterakan Rakyat Tak Semudah Mengizinkan Pabrik Semen

5 Oktober 2016 kemarin, Mahkamah Agung (MA) telah membatalkan izin pendirian Pabrik Semen Indonesia di Kawasan Hutan Mantingan, Pegunungan Kendeng Utara, Kabupaten Rembang. Pembatalan tersebut telah memenangkan gugatan Joko Prianto dan Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) kepada Pemerintah Jawa Tengah dan Semen Indonesia. Mengetahui kabar tersebut, orang-orang yang selama ini bersolidaritas dengan kaum tani Kendeng Utara pun merasa bungah. Artinya, perjuangan tani-tani Kendeng Utara tidak sia-sia; mereka bisa bertani dengan tenang, tiada lagi mencemaskan kerusakan lingkungan.

Di tengah ke-bungah-an orang-orang yang bersolidaritas, ada cacat paham yang harus diwaspadai dari para pengagum ilusi pembangunan. Entah apa motifnya, tiba-tiba terbitlah tulisan Purwokotidak usah disebut gelar akademiknya, dosen pascasarjana Fakultas Ekonomi Universitas Ahmad Dahlan (UAD) di harian Suara Merdeka pada tanggal 15 Oktober 2016. Tulisan itu bertajuk Nasib Pabrik Semen Rembang.

Dalam tulisannya, Purwoko sangat menyayangkan pembatalan izin pendirian pabrik semen oleh MA. Menurutnya jika pabrik semen beroperasi, akan bisa mengangkat derajat kesejahteraan ekonomi rakyat setempat. Selain menyerap tenaga kerja, beroperasinya pabrik pun akan membuka ruang-ruang ekonomi baru dan memperluas skala industri-industri tambang lokal. Purwoko meyakini bahwa perubahan tatanan ekonomi masyarakat akan menjadi lebih baik dengan adanya pabrik semen; tidak akan ada lagi ketimpangan ekonomi di sana. Sebagai akademisi ilmu ekonomi, ia menilai bahwa semangat pendirian Pabrik semen di Kendeng Utara sesuai dengan amanat Pasal 33 UUD 1945.

Seorang dosen fakultas ekonomi justru menyarankan orang-orang  yang menolak pabrik semen agar berbalik pikiran. Analisis orang-orang yang mengkhawatirkan kerusakan lingkungan tidak dibenarkan oleh Purwoko. Baginya, masyarakat Kendeng Utara harus yakin bahwa demi kesejahteraan rakyat, industri semen akan memberikan solusi atas kerusakan lingkungan. Sebagai Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Semen Indonesia tidak perlu diragukan lagi komitmennya dalam mengurus lingkungan rakyat. Sebegitu yakinnya Purwoko, hingga ia menyimpulkan bahwa masyarakat harus meyakini kalau pabrik semen bisa menyejahterakan masyarakat setempat atasnama Pasal 33 UUD 1945. Begitulah argumen pendek basa-basi Purwoko untuk membela pabrik semen dalam sebuah artikel yang panjangnya tidak sampai 700 kata.

Membaca artikel Purwoko, saya merasa ada selipan cacat paham ilusional dalam benaknya. Akademisi ekonomi macam Purwoko adalah tipikal pengagum ilusi pembangunan belaka. Bagi orang macam itu, pendirian obyek kapital adalah modal pembangkit kesejahteraan rakyat. Tanpa melihat kearifan ekonomi masyarakat lokal, Purwoko yakin bahwa menghadirkan obyek kapital adalah opsi baik untuk memajukan kesejahteraan masyarakat setempat. Ia tidak melihat efek-efek buruk industrialisasi berbasis eksploitasi alam bagi masa depan perekonomian lokal yang digerakkan kaum tani.

Orang-orang Kendeng Utara seperti Joko Prianto (Mas Print), Bu Sukinah, dan lainnya adalah orang yang menyambung hidup dari pertanian. Membuka lahan pertanian di sana, tentunya membutuhkan jumlah air yang tak sedikit guna mengaliri lahan. Mas Print dan orang-orang sekitarnya paham betul bahwa cadangan air tanah (CAT) di Watuputih (Kendeng Utara) menyimpan banyak air yang bisa digunakan untuk irigasi dan urusan hajat hidup lainnya. Bahkan, ketika saya membaca prosiding hasil penelitian Ming Ming Lukiarti dkk. untuk Seminar Kebumian Ke-7 di Universitas Gadjah Mada (UGM), dinyatakan bahwa CAT Watuputih menampung hingga 54-an juta liter air. Di Kendeng Utara juga ditemukan sebanyak 109 mata air. Air yang ditampung CAT ini pun dimanfaatkan oleh masyarakat Rembang, Pati, Grobogan, dan Blora.

Tak bisa dipungkiri bahwa melestarikan alam Kendeng Utara sama artinya dengan melestarikan kehidupan makhluk hidup sekitarnya, termasuk manusia. Dan manusia-manusia yang ada di sana sudah menyambung laku hidupnya dengan cara bertani. Ini artinya masyarakat sangat membutuhkan potensi alam untuk menghidupi diri. Ketersediaan air adalah hal vital yang mesti dijamin adanya. Apakah Purwoko memiliki pemahaman bertani tanpa air?

Dengan pemahaman ilusionis tentang pembangunan pabrik, Purwoko mendamba efek kesejahteraan ekonomi berbasis eksploitasi alam. Melalui tulisannya, ia membayangkan orang-orang desa menjadi pekerja pabrik manufaktur. Menjadi pekerja pabrik, artinya mengakses pertumbuhan ekonomi. Sedangkan pertumbuhkan ekonomi yang mengesampingkan kelestarian alam dan kearifan mata pencaharian yang mendarah daging, sama saja memutus rantai kesejahteraan yang sudah berkesinambungan untuk rakyat. Saya pikir, Purwoko juga tidak memikirkan efek kesengsaran menjadi buruh manufaktur bagi orang-orang desa.

Belum tentu, bekerja pada sektor manufaktur itu menyejahterakan. Kita sering mengetahui bahwa buruh pabrik sampai hari ini masih menuntut kesejahteraan. Tak hanya soal upah, kesejahteraan sosial macam jam kerja dan hak-hak eksistensial di luar pabrik masih cenderung diabaikan pihak perusahaan. Persaingan industri manufaktur yang menuntut laba tinggi, acapkali memeras tenaga pekerjanya untuk terus menghasilkan produk komoditas. Solusinya ialah para pekerja diharuskan lembur oleh pihak perusahaan untuk melakukan produksi besar-besaran. Apalagi kalau pihak perusahaan sedang bersaing seketat-ketatnya dengan perusahaan lain, otomatis para pekerja dikorbankan demi asap pabrik tetap mengepul.

Membandingkan pola kerja petani dan pekerja manufaktur, tentunya bisa ditemukan perbedaan di antara mereka dalam mengelola eksistensi sosial masing-masing. Buruh manufaktur yang bekerja berjam-jam, dengan kedisplinan yang diatur, belum lagi kalau lembur, akan sangat kesulitan mencari celah waktu untuk sekadar bersosialisasi memikirkan nasib sesamanya. Mereka pun tak perlu tahu urusan komoditas yang mereka produksi akan berakhir dikonsumsi oleh siapa. Ini beda dengan pola kerja dan eksistensi sosial kaum tani.

Kaum tani, sudah tentu memikirkan kemana komoditas pangan yang ditanamnya akan dipasarkan. Dengan kepunyaan waktu yang diatur sendiri, para petani lebih memungkinkan untuk bergaul mengorganisir diri dan memikirkan nasib kesejahteraan bersama. Mereka lebih punya kesempatan untuk mengontrol mekanisme pasar atau menyerahkan kepada siapa komoditasnya dikonsumsi. Bila memang ada kasus pertanian di suatu daerah kurang sejahtera, itu disebabkan oleh faktor eksternal non-petani seperti dukungan otoritas dan permainan para pemodal untuk menguasai pasar bahan pangan. Intinya, pertanian bisa semakin sejahtera bila kaum petani tidak diganggu aktivitas perekonomiannya. Sebab, tidak ada majikan bagi petani kecuali alam.

Dengan analisis di atas, melihat potensi Kendeng Utara, kesejahteraan ekonomi yang cocok untuk diterapkan di sana ialah pertanian. Walau ada juga masyarakat lokal yang bekerja sebagai penambang di atas pegunungan, tapi resiko menambang jelas lebih berbahaya dibandingkan bertani. Logikanya, kalau gugusan karst habis untuk ditambang, mau apa lagi yang harus dikorbankan buat makan? Beda dengan pertanian, dengan kelimpahan sumber daya alam yang tersedia, para petani bisa terus menghasilkan pangan dan mewariskan sistemnya secara turun-temurun lintas generasi.

Penghujung tahun 2014 lalu, saya dan teman-teman Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Ekspresi bertandang wilayah Kendeng Utara untuk melakukan liputan sekaligus mampir bersolidaritas dengan Mas Print, Bu Sukinah, dan para tetangganya. Menurut mereka, pertambangan lokal yang ada saja sudah cukup mengkhawatirkan. Tambang karst lokal yang dimulai sejak akhir dekade 90-an itu justru dipelopori oleh para pemilik otoritas (penguasa) lokal seperti kepala desa dan bupati yang sempat menjabat. Mereka tidak menginginkan lagi adanya pertambangan baru di Kendeng Utara. Pantaslah jika keberadaan pabrik semen mereka tolak habis-habisan.

Saya memang bukanlah siapa-siapa dalam kubu yang bersolidaritas kepada kaum tani Kendeng Utara. Tapi, membaca artikel Purwoko, saya melihat ada kebebalan paham dari seorang akademisi yang mengagungkan-agungkan ilusi. Meminjam legitimasi undang-undang negara, Purwoko mencoba memberi nasihat kepada masyarakat melalui media lokal berskala Jawa Tengah.

Mungkin bagi nalar ilusionis Purwoko, mengoperasikan pabrik untuk menaikkan taraf hidup masyarakat pegunungan itu sama mudahnya dengan mbacot teori kesejahteraan pembangunan di ruang kuliah. Ia dengan bijaksananya, mengklaim pengoperasian pabrik adalah upaya menyejahterakan rakyat. Beda paham dengan saya yang anti-kuliah ini, saya cenderung melihat basis kesejahteraan berdasarkan potensi lokalitas yang dimiliki masyarakat setempat. Secara empirik, tanpa harus dikuliahi Purwoko, saya menyaksikan betapa hijaunya lahan pertanian dibanding morat-maritnya pertambangan lokal di atas Kendeng Utara. Nah, kalau kehadiran pabrik Semen Indonesia direstui, apa tidak semakin bikin morat-marit alam, Pur?!

Sebagai pemuda kharismatik yang tidak pernah menjadi mahasiswa ekonomi, saya ragu kalau akademisi ekonomi macam Purwoko sempat membaca pemikiran almarhum Mubyarto, begawan ekonomi kerakyatan UGM. Melalui esai Pertanian dan Ketahanan Ekonomi Rakyat yang diterbitkan oleh Mubyarto pada tahun 1998, ia mengungkapkan bahwa sistem pertanian berkelanjutan dari rakyat haruslah didukung. Konservasi sumber daya alam dan pemanfaatan ilmu pengetahuan petani adalah potensi dari sistem pertanian berkelanjutan ini. Maka, dengan sistem inilah krisis panga bisa diatasi dan otomatis menjamin ketahanan perekonomian rakyat.

Saya mengamini konsep kesejahteraan ekonomi rakyat yang digagas Mubyarto, wabil khusus untuk masyarakat pegunungan. Bahwa kegiatan ekonomi berbasis potensi lokal lah yang sebenarnya menjadi sarana kemakmuran rakyat, bukan malah dengan cara mengundang “monster besar” untuk menyantap karst di pegunungan. Sebaliknya, meminjam istilah Revrisond Baswir, murid Mubyarto, apa yang diilusikan oleh Purwoko menandakan dirinya sebagai “ekonom terjajah”.

Ekonom terjajah ialah pemikir ekonomi yang cenderung mengidolakan tata pembangunan ekonomi a la Orde Baru; cenderung mengejar pertumbuhan tinggi namun lupa menyokong kesejahteraan rakyat. Adapun manifesto ekonomi macam itu semakin terjebak dalam jerat kapitalisme global. Memperbanyak industri manufaktur untuk fokus menjual komoditas namun komoditas tersebut dipakai hanya untuk menyerap keuntungan modal sebanyak-banyaknya; bersaing dengan perusahaan-perusahaan lain. Sehingga seringkali terlupa (atau sengaja dilupakan), sesungguhnya masyarakat yang berada di dekat obyek kapital (industri manufaktur) tidak membutuhkan samasekali kegunaan komoditas yang diproduksi oleh sebuah pabrik.

Memandang kepada industri semen, menurut data Kementerian Perindustrian (Kemenperin), dalam setahun ini, kapasitas produksi industri semen mencapai 92 juta ton sedangkan perkiraan konsumsi semen yang dibutuhkan dalam negeri hanya 62 juta ton. Melihat overproduksi tersebut, Thomas Lembong, Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) menyarankan agar investasi terhadap industri semen harus dihentikan. Alasannya, permintaan akan semen lebih rendah dibanding jumlah pasokannya. Dari sini, muncullah pertanyaan, apakah rakyat mau diberi makan kelebihan semen? Untuk menyantap nasi, sambal, dan tempe goreng saja masih banyak yang kesusahan kok.

Mendebat pernyataan Purwoko yang menyayangkan pembatalan izin Pabrik Semen Indonesia, adalah peringatan bahwa masih ada pakar ekonomi klan akademisi yang asal comot makna Pasal 33 UUD 1945. Makna “kesejahteraan rakyat” acapkali disamakan dengan pembangunan obyek kapital untuk menjual komoditas sebanyak-banyaknya. Maka terlalu naif lah bila seorang pemikir ekonomi melupakan basis kesejahteraan rakyat lokal seperti bertani sebagai potensi yang semestinya lestari. Ditambah lagi, meremehkan kerusakan alam bukanlah tipikal akademisi bijaksana. Hindari mudharat, Pak!

Satu hal yang harus Purwoko yakini: bertani di Kendeng Utara tidak segampang menulis untuk Suara Merdeka!