NARASI LGBT DALAM DUNIA PENDIDIKAN

0
713

Dunia pendidikan Indonesia masih jauh kiranya dari kata sempurna, terutama dalam pendidikan tinggi. Sebagai jenjang paling tinggi, tentulah sivitas akademikanya memiliki tanggungjawab yang lebih besar daripada siswa dan guru. Bersamaan dengan datangnya tanggungjawab tersebut, dimunculkan keperluan akan penalaran dan kekritisan yang memadai. Sayangnya, wajah pendidikan tinggi di Indonesia ini tidak ubahnya semacam negara diktator yang justru mematikan ruang dialog dan menciderai kekritisan berpikir. Jadi, jangan heran jika pergerakan mahasiswa Indonesia hanya tinggal kenangan saja. Jangan heran pula mendapati ketiadaan sosok Malala, Emma, Greta, atau Egg Boy di Indonesia seperti yang pernah ditanyakan oleh Dewi Setya dalam artikel berjudul Dari Malala, Emma, Greta, Hingga ‘Egg Boy’: Kenapa Remaja Kita Tak Se-Kritis Mereka yang dimuat di voxpop.id.

           Indonesia punya sosok-sosok seperti Malala, Emma, dan lain sebagainya itu melalui Citra dengan penanya yang berbicara mengenai Agni. Apa yang terjadi pada dirinya? Dipanggil ke kepolisian, sementara pelaku dan Agninya sendiri justru dikesampingkan hingga berakhir ‘damai’. Indonesia juga punya Yael S. Sinaga seorang cerpenis dan penggiat pers mahasiswa yang menuangkan buah pikirannya mengenai tindak represi terhadap LGBT dalam cerpen dan dimuat di website suarausu.co. Apa yang terjadi padanya dan segenap pengurus Suara USU? Website Suara USU sempat down, mereka dipanggil untuk menjumpai staf Majelis Wali Amanat untuk menghapus cerpen tersebut, 17 pengurus Suara USU dipanggil rektorat dan hasilnya adalah pemecatan seluruh pengurus Suara USU dan mereka diharuskan mengosongkan sekretariat dalam waktu 2 hari.

            Semua karena sebuah cerpen berjudul Ketika Semua Menolak Kehadiran Diriku di Dekatnya, “yang terindikasi pornografi,” kata Humas USU. Berdasarkan release AJI Medan, cerpen ini juga dianggap terlalu vulgar karena mengandung kata ‘sperma’ dan dianggap mempromosikan LGBT. Sementara, Yael sang penulis cerpen sendiri mengatakan cerpen yang ia buat hanya untuk menggambarkan diskriminasi yang diterima oleh kelompok minoritas.

Sperma bukan Pornografi

            Satu hal yang sangat aneh ketika cerpen ini dituduh sebagai pornografi ketika ia mengandung kata sperma. Aneh, karena sperma itu adalah nama biologis sel-sel yang dapat membuahi sel telur perempuan yang dikeluarkan oleh organ reproduksi laki-laki. Jika kata ini dianggap berkonotasi pornografi apa kabar pelajaran biologi terutama dalam bab mengenai reproduksi? Persoalannya bukan terletak pada kata spermanya, persoalannya terletak pada budaya high context culture yang dimiliki oleh masyarakat Indonesia yang pikirannya juga tidak jauh-jauh dari selangkangan mereka sendiri. Bukan rahasia umum memang bahwa masyarakat Indonesia punya fobia/fetish pada alat reproduksi mereka sendiri, tidak berani mengucapkannya terang-terangan tapi selalu memikirkannya.

            Ini terlihat dalam percakapan sehari-hari yang selalu mengganti kata vagina dan penis dengan kata-kata lain yang sebenarnya tidak ada hubungannya dengan vagina maupun penis. Sebagai contoh penggunaan kata burung, sosis atau pisang untuk menggantikan kata penis dan penggunaan kata memek, miss V dan entah apa lagi untuk menggantikan kata vagina. Ini sudah dilakukan secara turun temurun bahkan tidak jarag diajarkan kepada anak-anak. Akibatnya, ketika ada yang menyebut ‘burungnya besar’ misalnya, pikiran manusia langsung terhubung dengan alat reproduksinya dan muncullah siulan bernada mesum. Ini juga berlaku untuk hubungan sex yang diganti dengan kata begituan, tidur atau hubungan suami istri.

            Akhirnya kata-kata biologis yang memang ilmiah seperti sperma, vagina, penis, sex kemudian berkonotasi pornografi ketika dituliskan atau dibicarakan, karena masyarakat kita selalu merujuknya dengan kata ganti seakan-akan kata-kata ini tabu untuk disebutkan diluar ruang kelas. Bodohnya, akademisi pun sepertinya tidak terlepas dari anggapan bahwa kata-kata ini tabu meskipun mereka sudah tahu dan sudah mempelajari apa arti dari kata-kata ini secara ilmiah. Aneh memang, ketika akademi yang bertugas untuk mencerdaskan kehidupan bangsa justru terhanyut pada anggapan masyarakat yang menabukan serta menganggap urusan reproduksi bahkan menggunakan kata-kata yang berkaitan dengan reproduksi sebagai hal yang vulgar dan tidak layak diperbincangkan diranah publik. Akibatnya, urusan seperti ini tidak dipedulikan hingga terjadi hal-hal yang tidak terelakkan lagi misalnya perkosaan dan kehamilan diluar nikah akibat represi keterlaluan pada hal-hal yang dianggap vulgar dan tabu.

            Kata sperma dalam cerpen ini pun tidak berdiri sendiri, jika dilihat paragraf utuhnya, maka akan sangat jauh dari unsur pornografi. Sepotong paragraf ini justru menggambarkan adegan persekusi yang sangat menyakitkan hati dan tidak pantas diterima oleh manusia manapun.

            “Kau dengar? Tidak akan ada laki-laki yang memasukkan barangnya ke tempatmu itu. Kau sungguh menjijikkan. Rahimmu akan tertutup. Percayalah sperma laki-laki manapun tidak tahan singgah terhadapmu.”

Sepenggal paragraf diatas sama sekali tidak akan mampu membangkitkan berahi manusia. Padahal, pornografi sendiri bertujuan untuk membangkitkan berahi manusia. Kecuali anda memang memiliki fetish untuk dipermalukan. Istilah ilmiah untuk fetish jenis ini adalah catagelophilia.

Sivitas Akademika yang Homophobic

            Tokoh utama dalam cerpen ini memang perempuan yang menyukai sahabatnya yang berjenis kelamin perempuan pula. Apakah cintanya berbalas? Tidak. Apakah ia menjalani hidup yang penuh dukungan dan pemakluman dari orang-orang disekitarnya? Tidak, justru sebaliknya. Tokoh utama memiliki masa lalu yang kelam. Ia juga dikucilkan dan dianiaya secara fisik dan verbal ketika menyatakan perasaannya. Apakah situasi ini kemudian membuat anda yang membacanya tertarik menjadi LGBT. Pasti jawabannya tidak, karena tidak ingin juga mendapat perlakuan seperti yang diterima oleh si tokoh utama dari masyarakat sekitar anda.

            Situasi yang dihadapi oleh tokoh utama benar-benar menakutkan, terjepit pada amukan massa dan tak seorang pun yang menolongnya. Kurasa inilah realitas masyarakat Indonesia yang kata orang ramah dan cinta damai ini. Mereka tidak segan-segan mempersekusi manusia lain berbeda dan dianggap tidak normal, sakit. Mereka juga tidak segan-segan bertindak pada orang-orang yang mendukung orang yang dianggap berbeda bahkan sekedar menceritakan dan menggambarkannya secara fiksi pun meminjam istilah yang sering dipakai penganut agama mayoritas di Indonesia, HARAM!

            Dunia pendidikan kita tak jauh juga bedanya dengan masyarakat kita yang sedikit-sedikit mengharamkan sesuatu. Terindikasi pro LGBT langsung prngurus lembaga yang menyiarkannya dipecat. Baru terindikasi, belum terbukti. Untuk membuktikannya jelas diperlakukan serangkaian metode dan ahli. Tidak bisa saya bilang ini pro LGBT, saya bukan ahli bahasa atau ahli sastra. Tidak bisa juga anda bilang ini pro LGBT, kecuali anda ahli bahasa atau ahli sastra. Ibaratnya tidak bisa kita bilang tersangka itu bersalah dan langsung dipenjara saja. Ada prosesnya untuk menentukan seorang tersangka ini pantas mendekam di penjara. Dia akan diadili oleh para ahli dan profesional dibidang hukum dengan gelar sebagai terdakwa. Baru kemudian jika sudah diadili, statusnya berubah menjadi narapidana atau justru tidak bersalah sama sekali.

            Melihat komentar-komentar yang ada di media sosial yang pemiliknya juga rata-rata merupakan sivitas akademika rasa-rasanya sama saja, mendadak menjadi hakim yang berhak menghakimi dan membenarkan perenggutan hak berekspresi dan kebebasan mimbar akademik milik Suara USU dan segenap pengurusnya. Cerpen ini dianggap sebagai bibit-bibit LGBT yang harus dimusnahkan agar tidak berkembang ditingkat perguruan tinggi karena memang merupakan penyakit. Anggapan ini berdasarkan pada oriantasi seksual yang dimiliki oleh tokoh utama dengan diperkuat oleh kalimat, “apa yang salah? bedanya aku tidak menyukai laki-laki tapi aku menyukai perempuan walau diriku sebenarnya juga perempuan.”

            Mempertanyakan apa yang salah dengan kondisi menyukai sesama jenis dianggap sebagai awal mula bibit penyakit bernama LGBT. Ini dilontarkan oleh seorang sivitas akademika yang seharusnya memiliki pikiran kritis, yang seharusnya suka mempertanyakan banyak hal untuk menemukan kebenaran. Pantas saja didalam ruang kelas atau seminar di Indonesia jarang ada yang angkat tangan dan bertanya, karena mempertanyakan sesuatu dianggap sebagai memihak dan awal mula tumbuhnya bibit penyakit. Padahal, pertanyaan akan membuat manusia berpikir untuk mencari jawabannya, dalam proses pencarian jawaban inilah manusia berkembang. Berhenti mempertanyakan sesuatu jelas mengakibatkan manusia terjebak dalam kondisi yang ada. Stagnan.

            Ingat cerita Nabi Ibrahim yang mulai mempertanyakan siapa Tuhannya? Ia tidak menerima begitu saja bahwa berhala yang disembah orang tuanya dan orang tua dari orang tuanya serta semua yang dikenalnya sebagai Tuhan. Ia mempertanyakan siapa atau apa sebenarnya Tuhan itu, dalam pencariannya akan Tuhan lah ia berkembang secara spiritual hingga siap menerima anugerah kenabiannya. Pun begitu dengan cerpen ini yang mengajak pembacanya berpikir sekali lagi, apa yang salah dengan seorang perempuan yang menyukai perempuan lainnya? Masing-masing dari kita pun akan memulai pencarian atas jawaban pertanyaan ini dan dengan pencarian tersebut kita akan berkembang, meskipun diakhir pencarian apa yang saya temukan dan apa yang anda temukan mungkin berbeda.