Kategori
Agenda

Launching Majalah EKSPRESI Edisi XXVIII – Memburu Aliran Emas Biru

TOR Diskusi: Jalan Baru Pengelolaan Air
Pembicara kedua: Chabibullah, Koalisi Rakyat untuk Hak Atas Air

Minimnya pendanaan pemerintah memaksa PDAM terjun dalam dunia bisnis. Air dijadikan alat penghasil keuntungan dan semakin bias sebagai barang sosial.

Secara klimatis-geografis Indonesia adalah negara tropis dengan curah hujan tinggi serta negara maritim dengan jumlah pulau yang sangat banyak dan cenderung bergunung-gunung. Dengan demikian, jika didukung oleh keberadaan vegetasi yang mencukupi serta pengelolaan yang baik, cadangan air tanah akan sangat mencukupi bagi penduduknya. Oleh sebab itu, sangatlah ironis jika Indonesia dihadapkan dengan masalah krisis air. Namun, faktanya kini masyarakat semakin sulit untuk mendapatkan haknya menggunakan sumberdaya air secara memadai, baik secara kuantitas maupun kualitas. Terlebih, jika air dilihat sebagai barang ekonomi.

 

Meskipun air sebagai benda ekonomi adalah kenyataan sosial yang tidak dapat ditolak, namun tidak dapat dikesampingkan kedudukan air sebagai public good, dengan alasan i) orang membeli air olahan (treated water atau value added water) sebagai pilihan karena adanya daya beli; ii) dalam masyarakat yang tidak punya daya beli, memperlakukan air sebagai barang ekonomi dengan logika pasarnya akan menghalangi manusia untuk mendapatkan akses kepada air untuk keperluan dasar hidup. Cadangan air yang seharunya melimpah lalu digunakan untuk kemakmuran masyarakatnya menjadi nihil karena pengelolaan air hanya dikuasai dikuasai beberapa kelompok.

 

Untuk menganalisis terjadinya krisis air di Indonesia, dapat dirunut dari komponen alam maupun manusia sebagi pengguna sekaligus pengelolanya. Pertama, secara alami faktor klimatik, edafik maupun geografi Indonesia mendukung ketersediaan air tanah (air tawar). Akan tetapi, hal tersebut harus didukung oleh ketersediaan vegetasi sebagai komponen biotik yang mampu meningkatkan infiltrasi air hujan, membentuk siklus pendek hidrologi, dan mengendalikan aliran permukaan.

 

Sehingga air yang melimpah di musim penghujan tidak menyebabkan erosi maupun banjir tetapi tersimpan ke dalam tanah. Jadi, sewaktu-waktu air dapat tersedia lagi di permukaan melalui mata air serta dapat terpurifikasi dari pencemaran. Terjadinya pengurangan populasi maupun keragaman vegetasi seperti penggundulan hutan, alih guna lahan, monokulturisasi sektor kehutanan dan pertanian, jelas akan mengurangi pula cadangan air tanah.

 

Kedua, manusia merupakan komponen utama penyebab distorsi kuantitas dan kualitas sumber daya air. Terjadinya perubahan karakter alam yang membatasi kuantitas air tidak terlepas dari peran manusia sebagai penyebab utama. Demikian juga dengan penurunan kualitas air. Hal ini diperparah oleh peningkatan intensitas eksploitasi air untuk tujuan komersial, baik untuk pertanian, industri maupun konsumsi. Eksploitasi air tanah akan menyebabkan perubahan tata air di dalam tanah. Jika hal ini tidak dibatasi, akan terjadi krisis air secara simultan yang cenderung semakin tidak dapat terkontrol dan terpulihkan.

 

Kesimpulannya, faktor kunci pengendalian krisis air adalah manusia, baik pada tata guna maupun tata kelolanya. Kata kuncinya adalah kembalikan sumber daya air untuk kemaslahatan bersama bukan untuk sekelompok maupun segelintir manusia.

 

Mengingat masalah krisis air cenderung semakin meningkat wajib hukumnya untuk diatasi melalui gerakan revolutif, baik tata guna maupun tata kelolanya. Untuk Indonesia, pembatalan Undang-Undang Nomor 7 tahun 2004 oleh Mahkamah Konstitusi merupakan energi luar biasa besar untuk mendorong terjadinya gerakan pemulihan kedaulatan air asalkan diikuti oleh diterbitkannya peraturan-peraturan maupun implementasinya yang sejalan. Karena MahkamahKonstitusi melihat UU SDA hanya melahirkan korporitisasi dalam pengelolaanya.

 

Korporatisasi yang terjadi di Indonesia perlu ditinjau ulang. Air tidak diposisikan sebagai barang sosial ketika Negara melakukan kerja-kerja pengelolaan air. Hal tersebut diungkapkan oleh Wijanto Hadipuro, dosen Universitas Katolik Soegijapranata (Unika) saat dihubungi Sabtu (14/11). ”Dengan korporatisasi kita sedang mengubah hubungan kita dengan negara. Kalau kita membeli air dan negara bilang untung dan rugi, berarti hubungannya bukan lagi antar negara dan warganya, melainkan antara konsumen dan produsen,” ungkap Wijanto. Pria yang juga Ketua Peneliti Pusat Pengkajian dan Pengembangan Manajemen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Unika ini menjelaskan, meski korporatisasi telah berlangsung sejak lama namun Negara melalui PDAM harus segera mengubah orientasinya dari profit ke layanan publik.

 

Hal tersebut membuat Negara menjalankan dengan aturan main bisnis, seperti adanya pertimbangan efisiensi, pemulihan biaya penuh (full cost recovery), dan biaya peluang (oportunity cost). Imbasnya, PDAM cenderung memandang air sebagai komoditas dan semakin menjauhi prioritas utama PDAM untuk pelayanan publik.

Dari setiap perhitungan biaya tersebut, perhitungan paling berbahaya terletak pada biaya peluang. Dengan memasukkan pertimbangan tersebut, PDAM bisa saja akan memandang bisnis air perpipaan tidak banyak menghasilkan laba. Kemudian, PDAM akan mencari usaha lain yang lebih menguntungkan seperti bergerak di bidang air minum dalam kemasan (AMDK). Bila dibandingkan, AMDK memang lebih menguntungkan jika orientasi PDAM benar-benar untuk profit. Harga AMDK 600 ml bisa sampai Rp1000 sedangkan air perpipaan Rp4000 per meter kubik atau Rp4 per 1 liter.

Belakangan, beberapa PDAM di berbagai daerah telah mengeluarkan produk AMDK-nya sendiri. Seperti PDAM Tirtawening Bandung dengan dua merek bernama WaterMed dan Hanaang. PDAM TBW Kota Sukabumi juga telah bekerja sama dengan Pesantren Al Fath Sukabumi untuk memroduksi AMDK bernama Addua. Di Sleman, PDAM Tirta Dharma juga telah mengeluarkan Evita dan Qannat. Saat ini belum diketahui secara pasti berapa jumlah PDAM yang telah memproduksi AMDK sendiri.

Air seharunya berada di tangan negara. Hal ini sejalan dengan konstitusi yang berlaku di Indonesia, baik melalui pasal 33 UUD 1945 maupun pasal 2 UU No.5 tahun 1960 tentang Pokok Agraria (UUPA). Dengan demikian, air yang berada di dalam wilayah Indonesia, tidak berada di dalam kekuasaan siapapun kecuali negara, dan rakyat dengan hak asasi yang dimilikinya mendapatkan jaminan berdasarkan konstitusi untuk memperoleh akses air bagi kebutuhan dasar dan penghidupan, seperti yang dijelaskan dalam Undang Undang No. 7 Tahun 2004 tentang Pengelolaan Sumber Daya Air Pasal 5 yang menyatakan bahwa Negara menjamin hak setiap orang untuk mendapatkan air bagi kebutuhan pokok sehari-hari guna memenuhi kebutuhannya yang sehat, bersih dan produktif.

Kategori
Wawancara

Pers Mahasiswa Bisa Lawan Intervensi dari Pimpinan Kampus Lewat Jalur Hukum

Pers mahasiswa dalam perjalanannya sering kali menemui protes yang keras dari berbagai pihak, misalnya dari kalangan pejabat kampus. Mereka menilai pers mahasiswa sering melakukan kritik atas kebijakan-kebijakan kampus yang layak digugat.

Keberadaan pers mahasiswa karena lalu dianggap ancaman terhadap citra dan akreditasi kampus di mata publik. Pejabat kampus lalu nampaknya berusaha meredam gerakan pers mahasiswa, lewat upaya apapun agar pers mahasiswa tak lagi getol menyuarakan kebenaran yang dikemas dalam produk jurnalistik.

Sepanjang 2014-2015 Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia (PPMI) mencatat ada 5 kasus yang mengancam ruang independensi pers mahasiswa. Bentuknya beragam, mulai tindakan intimidasi, pelecehan, diskriminasi, pelarangan pemutaran film, diskusi tematik, sampai pada pemberedelan media.

Lantas siapa yang bisa melindungi ruang independensi pers mahasiswa dari sekian banyak intervensi?

Undang-undang Nomor 40 tahun 1999 tentang pers, hingga kini jadi perdebatan menarik untuk mengamati kasus ini dari segi hukum. Pada undang-undang ini, tak disebutkan secara gamblang bahwa pers mahasiswa merupakan bagian dari pers di Indonesia. Namun dalam praktiknya, awak pers mahasiswa melakukan kerja-kerja penerbitan media, peliputan, dan kegiatan menyampaikan informasi.

Semua itu ditempuh tanpa mengabaikan kode etik jurnalistik yang ada. Pers mahasiswa memiliki produk pers.

Perhimpunan Pers Mahasiwa Indonesia (PPMI) mewawancarai Yosep Stanley Adi Prasetyo, anggota Dewan Pers periode 2013-2016. Stanley adalah pemerhati hukum. Ia juga merupakan salah satu orang yang ikut mendirikan Aliansi Jurnalis Independen (AJI).Pernah menjadi Direktur Eksekutif Institut Studi Arus Informasi (ISAI).

Sejak awal 1990 menjadi pembicara di berbagai forum. Mulai pelatihan hingga workshop dan seminar, baik di tingkat lokal, nasional, maupun internasional, dengan topik sekitar media, jurnalisme, konflik, kekerasan, HAM, dan reformasi sektor keamanan. Menjadi ombudsman di majalah Acehkita (2003-2007) dan di tabloid Suara Perempuan Papua sejak 2004 hingga sekarang. Sebanyak 67 buku telah ditulis dan dieditnya. Alamat surel: ruhoro_07@yahoo.com

Hasil wawancara ini bisa didistribusikan lagi sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

 

Menurut anda bagaimana kondisi pers mahasiswa saat ini di tengah besarnya intervensi dari luar redaksi?

Belakangan ini di beberapa perguruan tinggi, pimpinan kampus dan fakultas sepertinya menganggap pers mahasiswa adalah musuh mereka. Mereka itu umumnya tidak tahu sejarah pers mahasiswa dan peranannya dalam menumbuhkan kehidupan intelektualitas mahasiswa. Pers mahasiswa sebetulnya punya sejarah panjang yang penting dalam menumbuhkan demokrasi di negeri ini.

 

Apakah pers mahasiswa dalam menerbitkan produk medianya sudah sesuai dengan kerja- kerja jurnalistik?

Ya, pers mahasiswa umumnya mengikuti dan mempraktekkan Kode Etik Jurnalistik (KEJ) meski mereka belum bisa dikatakan sebagai pers yang sepenuhnya profesional. Pers mahasiswa umumnya juga mengerjakan kegiatan jurnalistik yang sama dengan pers pada umumnya yaitu mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi baik dalam bentuk tulisan, gambar serta data dan grafik maupun bentuk lainnya dengan menggunakan media cetak yang tersedia.

Kalaupun ada yang membedakannya dengan pers profesional, adalah badan hukum dan jadwal terbit yang umumnya tak secara teratur. Hal ini karena sifat alami mahasiswa yang memang harus belajar dan segera lulus sehingga pers mahasiswa kerap menghadapi problem regenerasi.

 

Bagaimana idealnya peran dan posisi pers mahasiswa di peguruan tinggi?

Pers mahasiswa idealnya bisa berperan sebagai alat bagi mahasiswa untuk berlatih menuangkan pikiran, menjadi alat komunikasi antar civitas kampus dan mengembangkan pendapat kampus, untuk menegakkan nilai-nilai dasar demokrasi dan menghormati keberagaman, menyampaikan kritik dan koreksi, serta memperjuangkan keadilan dan kebenaran.

 

Keberadaan pers mahasiswa di perguruan tinggi dirasa mengancam citra lembaga universitas di mata publik, bagaimana menurut anda?

Pers mahasiswa semestinya merupakan bagian dari kegiatan kampus yang dilakukan oleh kalangan mahasiswa untuk melengkapi kegiatan akademis selain perkuliahan rutin. Tak ada kegiatan pers mahasiswa yang sesungguhnya mengancam universitas. Yang ada umumnya pimpinan kampus lebih khawatir kepada penguasa.

Mereka khawatir bahwa suara mahasiswa akan membuat kampus yang mereka pimpin dinilai tak loyal pada pemerintah. Mereka tak biasa berinteraksi dengan aparat keamanan yang kadang bertanya tentang sikap kritis mahasiswa. Mereka ini umumnya tak mengerti tentang bagaimana menegakkan otoritas kampus yang memiliki kebebasan akademik.

Perlu dipahami juga para pimpinan kampus sekarang ini dulunya, puluhan tahun hidup di zaman Orde Baru yang represif dan dipenuhi ketakutan yang kadang tak sadar bahwa situasi sekarang dan tuntutan jaman sudah berubah.

 

Dalam melakukan aktivitasnya pers mahasiswa sering kali mengalami tindakan intimidasi oleh pihak birokrasi kampus, bagaimana menurut anda?

Menurut saya, perlu ada kontrak politik baru antara pers mahasiswa dengan pimpinan kampus yang menaunginya. Mungkin hal ini perlu dilakukan melalui organisasi semacam PPMI yang harus mengembangkan sebuah divisi hukum dan juga divisi advokasi.

Bila pimpinan kampus mencederai kebebasan pers mahasiswa, maka pihak pengelola pers mahasiswa bisa mengadukannya ke PPMI yang bisa membawa ini ke Kementerian Pendidikan Tinggi dan Ristek.

 

Akhir- akhir ini tindakan birokrasi kampus semakin represif terhadap pers mahasiswa, terbukti dengan adanya pembatasan ruang gerak pers mahasiswa, pemberedelan, hingga pembekuan lembaga pers mahasiswa. Bagaimana menurut anda melihat fenomena ini?

Mungkin bisa dicoba dengan melaporkannya ke polisi dan diadukan Dewan Pers. Terlepas dari pertanyaan apakah pers mahasiswa itu pers profesional, atau pers sebagaimana yang dimaksud dalam UU Pers.

Barangkali kita perlu menguji keberadaan Pasal 18 ayat (1) Undang-Undang No 40 Tahun 1999 tentang Pers yang menyatakan bahwa:

“Setiap orang yang secara melawan hukum dengan sengaja melakukan tindakan yang berakibat menghambat atau menghalangi pelaksanaan seperti penyensoran, pembredelan atau pelarangan penyiaran (sesuai ketentuan Pasal 4 ayat (2)) termasuk menhambat atau menghalangi pers untuk mencari, memperoleh, dan menyebarluaskan gagasan dan informasi (sesuai Pasal 4 Ayat (3)) dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau denda paling banyak Rp. 500.000.000,00 (Lima ratus juta rupiah)”

 

UU Pers no 40 tahun 1999 belum menyebut pers mahasiswa adalah bagian dari pers professional. Lantas bagaimana?

Memang. Dalam UU Pers dinyatakan bahwa pers harus berbadan hukum. Ada 3 bentuk badan hukum yang diatur dalam Peraturan Dewan Pers No 04/Peraturan-DP/III/2008 tentang Standar Perusahaan Pers yaitu perseroan terbatas, yayasan, atau koperasi. Hal lain adalah terbit secara rutin dan tepat pada deadline.

Aktivis pers mahasiswa juga tidak termasuk dalam definisi wartawan sebagaimana dimaksud dalam undang-undang. Umumnya pers mahasiswa baru merupakan sebuah unit kegiatan mahasiswa yang memiliki ketergantungan tinggi pada alokasi bantuan dana dari fakultas atau universitas.

Saya kira ini kendala pers mahasiswa untuk bisa menjadi sebuah pers profesional. Sangat berbeda dengan pers mahasiswa di akhir dekade 1960-an yang bisa menjadi media profesional semacam Mahasiswa Indonesia atau Harian Kami yang akhirnya juga dilarang terbit oleh penguasa Orde Baru.

 

Ketika tidak diakui, apakah pers mahasiswa tidak dapat menggunakan UU pers jika pers mahasiswa mengalami permasalahan di kampus maupun diluar kampus?

Hal ini harus diuji melalui pengadilan. Untuk itu saya anjurkan apabila ada pers mahasiswa yang mendapat tekanan dari pimpinan fakultas atau kampus tempat mereka bernaung sebaginya dilaporkan ke polisi dan diadukan ke Dewan Pers. Umumnya kasus-kasus yang terjadi tidak berlanjut karena pengelolanya mundur atau berganti, atau tidak terbit lagi.

Apalagi ketika pimpinan fakultas atau universitas mengancam untuk memberikan sanksi akademis. Terlihat organisasi seperti PPMI belum berfungsi dengan baik.

 

Mengapa Dewan Pers sampai saat ini belum mengakui keberadaan pers mahasiswa, dan menganggap pers mahasiswa adalah ruang untuk berlatih jurnalistik serta mempersiapkan diri menjadi pers yang profesional?

Dewan Pers hanya memegang mandat sebagai pelaksana Undang-Undang Pers, khususnya Pasal 15 ayat (2). Namun, perlu diketahui bahwa setiap tahun Dewan Pers selalu mengisi acara-acara pelatihan pers mahasiswa di berbagai kampus di Indonesia sesuai permintaan. Selain itu Dewan pers juga memiliki program untuk melatih aktivis pers mahasiswa sebagai calon-calon wartawan Indonesia yang berkualitas.

 

Mengapa begitu?

Ya karena sesuai ketentuan peraturan perundangan yang ada, pers mahasiswa memang dikelompokan sebagai pers profesional. Mungkin tugas PPMI untuk memperjuangkan keberadaan pers mahasiswa sebagai pers profesional.

 

Jika pers mahasiswa tidak dapat menggunakan UU Pers, menurut anda jalur apa yang bisa ditempuh dalam menyelesaikan kasus?

Yang dapat menggunakan pidana dalam penegakan UU Pers itu adalah pihak kepolisian dan hakim dalam proses pengadilan. Saya kira kita semua belum pernah mencoba apalagi menguji hal ini.

 

Apakah mungkin kedepannya pers mahasiswa akan diakui oleh Dewan Pers?

Kenapa tidak? Tentunya apabila UU Pers yang ada diamandemen atau diubah. Hanya saja memang selalu ada pertanyaan yaitu wartawan itu adalah sebuah profesi, apakah aktivis pers mahasiswa itu juga sebuah profesi?!

Kategori
Diskusi

Merebut Ruang Belajar Kita

Inilah provokasi untuk membangkitkan kewarasan intelektual kita. Kalimat demi kalimat yang tertulis ini merupakan rangkaian gagasan agar kita yang waras tidak melulu mengalah kepada para fasis naif. Merenungi dua kasus pembubaran forum diskusi dalam tempo tahun 2015 ini. Terjadi di dua kota: Semarang dan Yogyakarta. Korbannya, sama-sama sekawanan pers mahasiswa (persma). Namun kepentingan gagasan ini ditulis bukan semata membela persma. Mengingat kejadian nahas tersebut bisa menimpa siapapun yang waras. Atasnama kewarasan intelektual, gagasan ini mendesak untuk ditulis, dibagi, dibaca, lalu diperjuangkan sewarasnya kita.

***

Laporan dari LPM Gema Keadilan FH Undip terpampang di laman Persma.org. Singkat cerita, sekawanan Gema Keadilan dilarang menyelenggarakan diskusi publik “LGBT dalam Sosial Masyarakat Indonesia” pada 12 November 2015. Alasan naif dituturkan birokrat kampus bahwa wacana dalam diskusi tersebut sangat sensitif. Si Rektor pun mendukung pelarangan demi menyelamatkan citra Kampus Undip menuju PTNBH. Uh, demi jualan nama kampus, kepentingan belajar sekawanan mahasiswa jadi korban! Pada sore hari kelam itu pula, Polrestabes Semarang menyegel ruang diskusi sebagai antisipasi terhadap kedatangan ormas. Yeah, makin kompak aja nih: rektor, polisi, dan ormas. Ada apa ya?

Memutar mundur waktu menuju beberapa bulan sebelumnya, kejadian nahas itu pun menimpa sekawanan LPM Natas dari Universitas Sanata Dharma (USD) Yogyakarta. Diberitakan oleh Ekspresionline.com, pada 25 Februari 2015, sekawanan Natas gagal memutar Film Senyap. Saat itu, pihak intelijen Polsek Depok Barat telah menyusup dalam ruang diskusi. Intelijen pun berujar agar Natas membatalkan pemutaran film dikarenakan akan berdatangan ormas menyerbu. Jika Natas ngeyel, polisi tidak mau bertanggungjawab mengamankan situasi. Nah lho, polisi dan ormas benar-benar kompak ya? Birokrat akademis USD pun tak digdaya menunjukkan kuasa intelektualnya dalam kampus. Natas pun memilih bubar.

Dua kasus tersebut merupakan contoh dari sekian banyak kasus represi atas forum diskusi. Itu baru contoh dari dalam kampus yang birokratnya tidak bertaji intelektual. Di luar kampus, masih banyak kelompok studi yang kena celaka. Apakah para rektor, polisi, dan ormas sedang gandrung akan zaman kegelapan?

Alangkah terpujinya bagi mereka yang bergiat membuka forum-forum diskusi lintas basis intelektual tanpa membela fanatisme ideologi apapun. Nalar kritis dan kepekaan rasa adalah penggairah mereka dalam memperjuangkan misi pencerdasan nan solutif ini. Itulah sekawanan manusia waras di tengah absurd-nya gejolak kemajemukan masyarakat kita.

Siapapun manusia waras dipersilahkan hadir meramaikan forum-forum diskusi lintas kalangan, asal saja tidak kerasukan setan sembari berkoar mengatasnamakan Tuhan atau bela negara. Apalagi jika sedang membahas kasus kemanusiaan, betapa jahanamnya jikalau para setan fasis berhasil mendobrak pintu dan merangsek dalam ruang diskusi. Adalah kesialan bagi kita yang waras apabila mengalami hal demikian. Bukannya pencerahan yang datang, malahan segerombolan boneka kerasukan yang kacau-meracau datang mengintimidasi kita.

Setan memang tidak pernah senang melihat manusia waras berkumpul untuk saling membuka pikir dan hati dalam ruang diskusi. Bagi mereka yang kerasukan, forum diskusi cerdas-waras adalah metode berbahaya yang akan menjungkalkan kangkangan stigma di atas mindset masyarakat majemuk. Jika masyarakat menjadi cerdas-waras karena sering diskusi, artinya ruang kuasa para setan fasis menjadi kian sempit. Keseragaman warna berwacana pun kian memudar. Monopoli atas rekayasa tragedi bisa saja terungkap kebenarannya. Para fasis menjadi gelap mata. Pembukaan ruang-ruang diskusi bagi kasus kemanusiaan kerap membikin sibuk para pendakwah stigma untuk membubarkannya. Itulah tugas setan!

Tindakan-tindakan lancang pembubaran forum diskusi menjadi andalan merepresi tumbuh-kembangnya kebebasan berwacana. Setumpuk pemberitaan media mencatat ada wacana-wacana tertentu dalam forum diskusi yang menjadi target represi. Ciri khasnya, wacana-wacana tersebut membawa problem pihak-pihak tertindas. Berikut barisan wacana problematik yang kerap direpresi: G30S dan Tragedi ‘65, LGBT (lesbian, gay, biseksual, transgender), konflik agraria, kebebasan berkeyakinan aliran minoritas, dan anekaragam wacana penindasan lainnya. Walau ruang diskusinya kerap bubar, efek baiknya ialah menebarnya wacana-wacana tersebut kepada otak-otak manusia yang penasaran. Entah hal tersebut disadari atau tidak oleh geng-geng fasis di penjuru negeri ini.

Begitu perihatin ketika mendapat kabar adanya forum diskusi yang dibubarkan. Tragedi pembubaran atau represi bentuk lain terhadap agenda diskusi bukanlah keisengan belaka. Ada sebab sensitif bagi golongan tertentu. Golongan inilah yang kerap mendaku dirinya selalu paling benar. Saking merasa benarnya, maka tidak perlu lagi adanya dikusi. Forum diskusi berpotensi menyesatkan kebenaran tunggal versi pendakwah stigma nan fasistik. Pembubaran demi pembubaran pun tak memuaskan nafsu kaum yang kesetanan ini. Jika belum puas nafsunya, para pegiat forum diskusi tak akan lepas diburu ancaman yang mengarah pada pencederaan fisik maupun psikis.

Kita yang waras tidak boleh membiarkan kelakuan tidak senonoh mereka. Forum diskusi bukanlah ajang kongkow basa-basi. Inilah ruang belajar yang tidak sesempit ruang kuliah para pembalap IPK. Dari ruang inilah kita bisa saling menjalin keilmuan, mencerahkan nalar, memadu rasa, dan membangun kepedulian kepada yang terpinggirkan. Maka terkutuklah para pembubar ruang belajar-dialogis tersebut. Aksi membubarkan forum diskusi berarti menghalangi niat baik kaum waras-intelektual belajar menganalisa persoalan sosial-kemanusiaan demi meramu solusi jitu sebelum nantinya terjun ke masyarakat. Apalagi analisa-analisa advokatif menjadi penggugah kewarasan kita dalam ruang belajar ini.

Sekali lagi, terpujilah bagi para pegiat forum diskusi. Mereka berjerih payah membuka ruang belajar kepada barisan intelektual-waras yang masih berkepedulian. Namun bila ruang-ruang belajar ini terus-menerus diberangus, akan adakah generasi cerdas-waras bangsa ini di masa depan? Barisan wacana sosial-budaya pun akan menjadi milik para tiran. Ilmu yang membebaskan akan segera mati. Bangsa ini akan menjadi bangsa boneka, bukan bhinneka!

Ini gawat. Setan-setan fasis sedang memainkan penjajahan nalar. Jika kita masuk dalam daftar calon korban, menyikapi hal ini bukan dengan cara kebanyakan update status di sosmed. Sering mengutuk para fasis via status sosmed hanya semakin menjadikan kita sebagai alay yang latah perlawanan. Itu percuma, kaum fasis bukan tandingan kaum alay!

Konflik Kepentingan

Kenapa ruang diskusi direpresi? Benarkah wacana di dalamnya begitu sensitif?

Tidak ada ruang netral. Ruang pun tidak lepas dari mainan kaum intelektual. Diskusi apapun dengan muatan wacana di dalamnya mengarahkan aktor-aktor di forum untuk megapresiasi nilai-nilai tertentu. Analogi gampangnya, kita mau kuliah aja ada kurikulumnya. Itulah yang dinyatakan barisan teoritikus mazhab kritis asal Frankfurt: kaum intelektual tidak netral. Kita yang waras punya keberpihakan. Keberpihakan yang waras ialah memihak kaum tertindas menuju pembebasan.

Nyatanya tidak semua manusia waras-intelektual. Ada geng-geng yang mendaku sensitif atas pembahasan wacana tertentu. Nah, mengatasnamakan sensitivitas siapakah itu? Ada penindasan maka ada kekuasaan. Bila wacana pengadvokasian pihak tertindas begitu sensitif hingga bikin murka, sudah pasti si pemurka itulah yang punya kuasa. Geng-geng fasis penyerbu ruang diskusi ialah barisan boneka milik penguasa tiran.

Di situlah konflik sengaja diciptakan. Kita yang waras intelektual dan mereka yang tertindas diposisikan sebagai pemantik konflik itu. Padahal ruang diskusi kita justru mengarah pada penyelesaian (rekonsiliasi) dari segala problem sosial-kemanusiaan. Sementara mereka yang fasis terus mengkontra wacana mengatasnamakan Tuhan atau bela negara.

Mau tidak mau, konflik memang mesti terjadi. Walau dalam posisi ditindas apapun, kita mesti siap berkonflik. Sosiologi mengajarkan kita bahwa perubahan sosial-budaya bisa dicapai melalui konflik dan konsensus (kesepakatan). Jika kita yang waras berkehendak mengubah masyarakat menjadi cerdas-waras, konflik harus ikut kita mainkan. Tentunya memakai dialektika nalar sehat.

Ketika geng-geng fasis mendobrak bubar ruang diskusi, marilah kita buka seluas-luasnnya di manapun. Manfaatkan ruang literasi dan konsolidasi lintas komunitas intelektual hingga rakyat tertindas. Sebarkanlah pamflet-pamflet propaganda dan dudukilah kampus-kampus yang birokratnya waras-intelektual. Bukankah di era sebelum merdeka, barisan intelektual bangsa ini juga begitu? Kenapa kita tidak meneladaninya? Ayo cetak sejarah baru, bung dan nona!

Begitulah konflik kepentingan. Kita mau menang atau terus-terusan mengalah, toh anak-cucu kita yang akan mengapresiasi kita sebagai: pahlawan atau pecundang. Apapun konflik yang kita mainkan, kepentingan kita yang waras tetap membebaskan orang-orang tertindas.

Gugat Otoritas Pendidikan
Kita hidup bernegara kan ya? Negara mengakomodir segala otoritas di bawahnya, termasuk urusan pendidikan. Tidak perlu disebutkan barisan pasal hukum yang menjamin kebebasan, HAM, dan pendidikan. Negara ini punya seabrek pasal begituan yang urusannya dibagi-bagi ke beberapa otoritas di bawahnya. Mari kita yang waras bicara praksisnya saja. Nyatanya teks-teks konstitusional yang mengklaim perlindungan kepada rakyat itu belum begitu sakti menghalau para fasis.

Pemimipin-pemimpin otoritas sedang terlelap? Atau gandrung romantisme zaman kegelapan?

Kampus-kampus sudah bolak-balik diserbu fasis. Beritanya pun mengemuka di media massa. Urusan pendidikan tinggi ada menterinya tapi entah apa manifestonya. Ini nama Kemenristekdikti itu: Prof. H. Mohamad Nasir, Ph. D., Ak. Apapun tetek bengek gelar akademisnya, panggil sewajarnya saja Pak Nasir. Tentunya kita yang waras, menghormati otoritas dari kiprahnya bukan dari seabrek gelar itu.

Semoga Pak Nasir pernah membaca pembukaan UUD 1945. Ada manifestasi mulia berkalimat “mencerdaskan kehidupan bangsa”. Lantas ketika fasis-fasis mengacau di kampus, sepaktkah Pak Nasir? Apakah otoritasnya akan mengutuk aksi kesetanan itu?

Ketika kaum intelektual waras menggandeng kaum tertindas berdiskusi-belajar bersama lalu segerombolan fasis berdatangan menghajar, otoritas pendidikan cenderung memilih duduk nyaman. Apa kita mesti mengganti Pak Nasir dengan Arian (vokalis band Seringai) sebagai Menristekdikti?

Arian, si vokalis grup musik cadas kerap menyuarakan manifesto anti fasis pada momen-momen konser Seringai. Banyak penggemar cadas mengamini propagandanya. Malah lebih sering Arian dibanding Pak Nasir yang lantang bersuara untuk melawan bahaya fasisme. Mungkinkah posisi Menristekdikti kena reshuffle? Ini bisa jadi usulan waras kepada Presiden yang ngakunya juga metalhead. Itu pun kalau Arian mau jadi menteri, kalau tidak?

Otoritas pendidikan mestinya jadi teladan untuk menyetop aksi-aksi represi ruang diskusi. Tempo dulu, seorang teladan pendidikan bangsa: Ki Hadjar Dewantara, pernah menuliskan gagasan untuk melawan represi dunia pendidikan. Ada tulisan bertempo Agustus 1933, judulnya demikian “Tabiat Pengrusak Lahir dan Pengrusak Batin. Vandalisme dan Terrorisme”. Ki Hadjar menggagas bahwa aksi-aksi beringas yang mencederai hak orang lain identik sebagai terorisme batin. Para pelakunya ialah orang yang merasa benar sendiri dan sifat demikian hanya dimiliki anak-anak berkisar usia 4-8 tahun. Berarti para fasis penyerang forum diskusi begitu kekanak-kanakan. Kita yang waras harus berkonfik melawan anak-anak?

Ki Hadjar bernasihat bahwa kita yang terdidik semestinya mampu menyingkirkan sifat perusak itu lewat jalan pendidikan. Lebih lanjutnya, bisa dibaca di buku kumpulan esai “Bagian Pendidikan” terbitan Majelis Luhur Taman Siswa. Apakah Pak Nasir tertarik membacanya?

Mendiamkan otoritas pendidikan yang abai akan represivitas sama saja menggali kubur kewarasan intelektual kita sendiri. Marilah kita yang waras mendesak Pak Menteri lebih dulu. Mungkin dia pun diam-diam sedang mengamati kita. Bisa saja Pak Menteri sedang menunggu anak bangsa terdidik bertumpahdarah ria, hingga ia mau turun berjuang bersama kita.

Lagipula kita punya hak sah untuk menggugat-mempertanyakan keberpihakan Kemenristekdikti. Di posisi siapakah otoritas itu berdiri? Kita punya tata cara waras, undanglah dia ke kampus atau kita gedor berkali-kali pintu kementerian dengan gelegar suara kritis pinggiran kita. Biar mata otoritas kian melek, lemparkan setumpukan literasi kritis ke wajahnya, maksudnya: ayo kita nulis!

Itulah cara menggugat kita. Mau menggugat atau kita angkat saja Arian sebagai menteri! Semoga Ki Hadjar Dewantara merestui.

Jalan Pembebasan
Forum-forum diskusi kerap menghadirkan permasalahan sosial-kemanusiaan. Selain sebagai ruang pemahaman, forum diskusi mestinya tidak netral begitu saja. Jika sekawanan terdidik mengundang kaum yang ditindas untuk berbagi persepsi di dalam forum, tentunya itu bukan sekedar forum narsisnya moderator, berbagi kacang dan kopi, atau numpang ngerokok. Di ruang inilah orang-orang waras mendidik dirinya melalui dialog untuk mengaksikan misi pembebasan. Katanya Paulo Freire, pemikir pendidikan asal Amerika Latin, manusia yang saling berdialog akan memanusiakan diri sendiri.

Pemebebasan bermaksud melepaskan korban penindasan dari belenggu tiran. Pendidikan yang memanusiakan mestinya begitu. Kita yang waras, mengakses pendidikan bukan untuk lifestyle belaka. Jika pendidikan adalah gengsi gaya hidup, kapan bangsa ini cerdas? Forum diskusi sebagai ruang belajar adalah jalan ideal pembebasan. Mempertemukan korban penindasan dengan intelektual-waras secara dialogis adalah ajang belajar nan saling mencintai. Itu katanya Mbah Freire!

Revolusi memang gak harus bertumpah-tumpah darah. Dimulai dari cinta dan dialog, kita yang waras bisa mengubah dunia menjadi cerah. Dialog tercipta atas motif cinta akan pembebasan kemanusiaan. Belenggu orang-orang tertindas bisa disingkirkan jika kita duduk satu ruang bersama, membangkitkan kesadaran mereka. Freire memikirkan demikian dalam karya klasiknya “Pedagogy of The Oppressed”. Tidak perlu bingung, karya tersebut sudah diterjemahkan ke banyak bahasa lokal bangsa, misalnya Bahasa Indonesia. Mari kita pelajari pemikirannya lalu berjuang sewarasnya!

Bayangkan saja, berapa kali forum diskusi harus kita giatkan mengingat bangsa ini multiproblema dari kelas elit hingga akar rumput? Wacana-wacana diskusi semacam LGBT dan Korban 65 saja kerap direpresi. Apapun represinya, dialog harus terus jalan. Ruang-ruang diskusi harus tetap terus terbuka walaupun setan-setan fasis bergentayangan. Bila dibubarkan, jangan kapok! Masih banyak orang waras di negeri ini.

Saatnya menggandeng solidaritas. Bila memang ruang-ruang tatap muka kerap direpresi, masih ada ruang lain yang memungkinkan menjalin gagasan dan solidaritas: literasi. Zaman sudah begitu digital yang harusnya memudahkan timbal-balik karya literasi advokatif. Masalahnya, sekawanan yang mengaku pegiat literasi garda depan apakah masih peka otak dan rasa untuk menulis? Duh, kritik kepada sekawanan persma nih!

Siapapun kita yang masih merasa waras ini, entah ngikut persma, organ ekstrakampus, dan barisan kelompok studi lainnya, bukan waktunya jadi aktivis narsis, pemalas, sekaligus alay! Ruang diskusi-belajar kita sebagai jalan pembebasan kaum tertindas sudah dirusak geng-geng fasis.

Apa masih mau keranjingan update status sosmed? Apa masih cukup penting pasang foto profil mengenakan seragam organisasi? Apa masih etis kita ngafe sembari latah bersuara keras ngomongin organisasi supaya pengunjung kafe lain memperhatikan? Apa waras bila keseringan mengupload foto gaya mengacungkan jari tengah? Betapa jancuknya kita kalau masih begitu. Itu sih barisan penonton music show di stasiun televisi juga bisa.

Ruang belajar hampir direbut fasis sepenuhnya. Jalan pembebasan hampir diblokir. Kaum tertindas semakin miris meratap. Kita yang waras harus membebaskannya. Ingat, kaum alay bukan tandingan kaum fasis! Mari bung dan nona rebut kembali!

Kategori
Siaran Pers

UNDIP Harus Minta Maaf atas Pembungkaman Kebebasan Mimbar Akademik

Acara diskusi “Ngobrol Pintar (Ngopi)” dengan pembahasan fenomena Lesbian, Gay, Biseksual, Transgender (LGBT) yang diselenggarakan Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Gema Keadilan Fakultas Hukum Universitas Diponegoro (Undip) dibubarkan pihak kampus, pada Kamis (12/11).

Melalui Sambungan telepon, Solechan, Pembantu Dekan III Fakultas Hukum memberitahukan kepada pihak panitia bahwa diskusi tidak boleh diselenggarakan. Karena akan mengganggu Undip, yang sedang dalam proses menuju Perguruan Tinggi Negeri Badan Hukum (PTNBH).

Tidak lama setelah berkomunikasi dengan pihak kampus, pihak kepolisian berpakaian preman mendatangi lokasi diskusi dan menunjukkan percakapan melalui Whatsapp messenger. Percakapan berisi aduan salah satu anggota organisasi masyarakat, yang menyatakan bahwa diskusi bertema “Melihat LGBT dalam Sosial Masyarakat Indonesia” adalah pelegalan homoseksual dan harus diamankan.

Namun Pebri Tuwanto, ketua LPM Gema Keadilan telah menyatakan bahwa diskusi Ngopi ke enam ini bertujuan untuk melihat LGBT dari sudut pandang akademis serta mencari solusinya. Karena LGBT merupakan sesuatu yang nyata dan ada di Kota Semarang.

Menanggapi peristiwa tersebut, Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia (PPMI) Dewan Kota (DK) Semarang menuntut pihak Fakultas Hukum Undip untuk melindungi kebebasan Mimbar Akademik di lingkungan kampus dan minta maaf secara resmi kepada seluruh mahasiswa.

“Jelas sangat memprihatinkan, kampus sebesar Undip masih menutup kebebasan mimbar akademik. Padahal tujuan dari diskusi untuk memberi perspektif baru dan solusi terkait LGBT yang muncul di lingkungan masyarakat,” ungkap Ahmad Fahmi Ashshidiq, Sekretaris Jenderal PPMI DK Semarang.

Selain itu Fahmi juga menghimbau seluruh LPM di Indonesia serta mahasiswa untuk terus aktif menyuarakan perlawanan terhadap kriminalisasi, intimidasi, dan pengekangan terhadap kebebasan pers dan berekspresi yang telah dijamin di dalam Undang-undang Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 1998 tentang kemerdekaan menyampaikan pendapat di muka publik.

Pembubaran diskusi mahasiswa yang terjadi merupakan bentuk pembungkaman kebebasan mimbar akademik, dan otonomi keilmuan di perguruan tinggi yang seharusnya wajib dilindungi dan dilaksanakan oleh pimpinan perguruan tinggi. Sesuai pasal 8 ayat 3 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 12 tahun 2012 Tentang Pendidikan Tinggi. “Jika diibaratkan ini, seperti kita dilarang berpikir” tutup Fahmi.

 

Narahubung:

Sekjend PPMI DK Semarang: Ahmad Fahmi Ashshidiq +628985671169

Ketua LPM Gema Keadilan, FH Undip: Pebri Tuwanto +62 857-4118-5666

Kategori
Siaran Pers

Peduli dan Tolak Kriminalisasi Pers Mahasiswa

Penggembosan terhadap kebebasan berekspresi dan berpendapat masih saja mencuat dalam dinamika berbangsa dan bernegara. Sebagai Negara yang menjunjung tinggi prinsip demokrasi dan nilai-nilai HAM, fenomena sumbat-menyumbat kebebasan berekspresi dan berpendapat terhadap warga Negara menjadi ironi tersendiri. Pembredelan dan pemutihan media mahasiswa baru-baru ini yang terjadi di beberapa daerah di Indonesia, seperti Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Lentera di Universitas Kristen Satya Wacana di Salatiga, LPM Aksara di Fakultas Ilmu Keislaman Universitas Trunojoyo di Madura, serta LPM UKPKM Universitas Mataram merupakan tindakan yang jauh dari pijakan HAM.

Tidak berlebihan jika pembredelan dan pembekuan LPM cenderung merupakan bentuk Kriminalisasi terhadap Pers Mahasiswa. Istilah kriminalisasi memang cenderung terhadap hal-hal yang bersifat yuridis, yakni peenggunaan kewenangan penegakan hukum dengan itikad buruk. Namun kriminalisasi disini bisa dilekatkan pada bentuk pemanfaatan wewenang oleh birokrasi kampus dalam mengeluarkan regulasi secara sepihak (aturan kampus) yang menjurus pada pemutihan lembaga kemahasiswaan (LPM) dan sampai pada tataran intervensi terhadap ranah keredaksian yang berujung pembredelan.

LPM Lentera UKSW Salatiga sendiri dibredel pada tanggal 16 Oktober kemarin dengan alasan pemberitaannya yang resisten terkait seputar dinamika pelanggaran 1965-1966 dengan tema :”Salatiga Kota Merah”. Bahkan pembredelan majalah Lentera bukan hanya dilakukan oleh pihak Dekan Fiskom UKSW, melainkan turut andil juga pihak Polres Kota Salatiga yang melakukan upaya pemanggilan tidak melalui prosedur yang ada. Ancaman Pemberedelan pun dialami oleh LPM Aksara yang beralasan karena tidak menjaga nama baik Fakultas Ilmu keislaman (FIK) Universitas Trunojoyo. Pemberitaan mengenai FIK yang dilakukan oleh LPM Aksara diasumsikan sebagai bentuk penyebaran aib FIK. Pada tanggal 30 September, intervensi kelembagaan dimasifkan terus oleh pihak DPM FIK terhadap LPM Aksara. Nasib tidak beruntung pula terjadi di LPM UKPKM di Mataram. Pembekuan lembaga ironisnya langsung didalangi oleh pihak rektorat dengan alasan pemberitaan LPM UKPKM yang tidak sesuai dengan visi kampus Unram

Selain itu, pembekuan LPM pun terjadi di Makassar yang sampai saat ini masih ibarat benang kusut. LPM Watak STIEM Bongaya yang dibekukan sejak tahun 2007 karena dianggap terlalu kritis, LPM Metanoiac PNUP yang dibredel sekaligus dibekukan pada tahun 2011 yang pada ssaat itu memberitakan mengenai kasus korupsi di Rektoratnya, serta LPM Estetika fakultas Bahasa dan Sastra UNM yang dibekukan sejak tahun 2012 oleh pihak fakultas.

Fenomena-fenomena miris ini merupakan satu bentuk kemunduran demokrasi. Dalam sistem demokratis, pers diberedel atau dibekukan itu tidak lazim. Praktik itu hanya ada dalam sistem otoritarianistik. Kebebasan dan keterbukaan informasi merupakan anak kandung dari reformasi yang harus terus diupayakan. Kebebasan pers mahasiswa sebagai bentuk upaya dalam mewujudkan cita-cita demokrasi, yakni pendistribusian informasi kepada publik diakomodir dalam Instrumen HAM, seperti Pasal 19 DUHAM, Konvensi hak Sipil Politik, serta UU No 39/1999 tentang HAM. Pembredelan dan pembekukan LPM juga sangat jauh dari spirit Konstitusi kita sebagai hukum tertinggi di Republik ini sebagaimana pada pasal 28 E ayat (3) yang mengatur tentang hak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat.

Maka dari itu, kami dari Lembaga Pers Mahasiswa Se-Makassar yang bernaung dalam Perhimpunan Pers mahasiswa Indonesia DK Makassar menyatakan:

  1. Lawan Setiap Tindakan Pembredelan Pers Mahasiswa
  2. Jamin Kebebasan Pers Mahasiswa
  3. Tolak Intervensi Kampus Terhadap Lembaga Pers Mahasiswa

 

Makassar, 13 November 2015

Narahubung:

Irwan Sakkir, Sekjend PPMI DK Makassar +62 852-5576-9004

Abdus Somad, Sekjend PPMI Nasional, +62 812-2654-5705

Kategori
Berita

Kronologi Pembatalan Diskusi LGBT dalam Sosial Masyarakat Indonesia di Universitas Diponegoro

Dalam pemaparan berikut ini, LPM Gema Keadilan menerangkan kronologi dibatalkannya #NGOPI 6. Keterangan ini semata-mata disampaikan atas dasar itikad baik untuk memberikan kejelasan atas peristiwa tersebut, termasuk tujuan dan latar belakang LPM Gema Keadilan dalam menyelenggarakan diskusi tersebut.

6 Oktober 2015

Divisi Litbang LPM Gema Keadilan FH Undip mengadakan rapat untuk menentukan tema yang akan diambil untuk #NGOPI 6. Perlu diketahui sebelumnya, bahwa “Ngopi“ adalah akronim dari “Ngobrol Pintar” yang merupakan program rutin Divisi Litbang GK. Akhirnya, setelah melalui proses diskusi, maka kami sepakat untuk mengambil tema mengenai “LGBT dalam Sosial Masyarakat Indonesia” untuk Ngopi ke-6.

Latar belakang
Kami mengangkat tema ini karena masalah LGBT sudah menjadi fenomena sosial yang berkembang di masyarakat, baik dalam skala global maupun nasional, sehingga dalam rangka menjalankan fungsi pencerdasan dari pers, Divisi Litbang ingin mewadahi diskusi ini agar masyarakat dapat melihat fenomena sosial tersebut dari sudut pandang yang lebih luas, bukan justru sengaja menutup mata atas fenomena sosial yang terjadi atau malah menjustifikasi suatu isu secara naif.

Tujuan dalam diskusi ini murni bukan untuk mendoktrin setuju atau tidak setuju terhadap LGBT tetapi untuk membahas permasalahan LGBT dari sudut pandang yang lebih luas, karena apabila kita cermati secara lebih dalam, fenomena LGBT ini acapkali dicerna secara mentah-mentah oleh masyarakat sehingga perlu pemahaman dari kacamata ilmiah agar dapat dicerna lebih objektif dan jelas. Perlu dicermati pula bahwa kami telah mengundang perwakilan dari LGBT sebagai pelaku, lalu akademisi dari kedokteran dan HAM yang akan melihat fenomena ini dari kacamata ilmiah, sehingga dapat ditarik sebuah garis lurus bahwa diskusi ini berjalan dari berbagai arah dengan berbagai pandangan dari berbagai sisi.

Kami pun meyakini bahwa diskusi ini akan terselenggara dengan baik karena diselenggarakan di kampus yang menurut kami adalah wadah intelektual untuk sirkulasi isu, gagasan, dan ide-ide baru. Perlu ditekankan di sini bahwa diskusi ini bukan untuk melegitimasi suatu paham tertentu karena diskusi berjalan dari berbagai arah. Justru melalui diskusi ini, dapat diperoleh berbagai pandangan dan gagasan untuk menemukan solusi atas suatu fenomena sosial yang terjadi, bukan saling menghujat satu sama lain atau sengaja menutup mata atas masalah ini karena hal itu tidak akan memecahkan masalah tetapi malah membuat keadaan semakin runyam.

11 November 2015

Pukul 13.40 Gema Keadilan mempublikasikan poster COMING SOON diskusi lewat media official Line LPM Gema Keadilan FH Undip serta membubuhkan kalimat “Menantang mahasiswa yang pikirannya terbuka, karena belum tentu LGBT itu keliru dan belum tentu LGBT itu benar. Jangan terburu-buru mengambil sikap, mari datang #NGOPI 6 melihat suatu permasalahan dari sudut pandang yang lebih luas. Mengundang langsung Komunitas Gay Semarang dan para akademisi yang kompeten di bidangnya.”

Pukul 22.04 LPM Gema Keadilan FH Undip mempublikasikan poster #NGOPI 6 melalui official Line LPM Gema Keadilan FH Undip yang berisi poster diskusi dengan kalimat:

LPM Gema Keadilan FH Undip

#NGOPI 6
“LGBT dalam Sosial Masyarakat Indonesia”
Menantang mahasiswa yang pikiran nya terbuka,karena belum tentu LGBT itu keliru dan belum tentu LGBT itu benar. Mari datang #NGOPI 6 melihat suatu permasalahan dari sudut pandang yang lebih luas.
Pembicara :
1.Yosef (Ketua Komunitas Gay Semarang)
2. Marten Hanura,SIP.MPS (Dosen HAM FISIP Undip)
3. dr .Zulfa Juniarto,M.Si,Med,SpAnd,PhD (Dosen FK Undip dan dokter spesialis andrologi)
Hari/tanggal : Kamis,12 November 2015
Tempat : Ruang H 302 FH Undip
Pukul : 15.30-17.00
FREE dan Terbuka untuk UMUM

12 November 2015

Pukul 14.03 WIB salah seorang panitia dihubungi oleh PD III FH Undip, lalu ditanyai mengenai tempat dan pukul berapa diskusi akan diselenggarakan. Selain itu, pihak dekanat juga memberitahu bahwa diskusi tidak boleh diselenggarakan dikarenakan isu tersebut dinilai sensitif dan dirasa akan berimbas pada citra Undip yang sedang dalam proses menuju PTNBH sehingga diskusi ini tidak diperbolehkan diadakan di kampus. Lalu telpon dari PD III sempat diserahkan ke Dekan yang mengatakan bahwa isu yang diadakan tergolong sensitif dan Rektor melarang diskusi tersebut untuk diadakan.

Pukul 14.15 WIB Sekretaris Umum LPM Gema Keadilan FH Undip mendapatkan info bahwa anggota LPM Gema Keadilan FH Undip dipanggil oleh PD III untuk segera menghadap. Lalu, Sekretaris Umum LPM Gema Keadilan bertemu pejabat FH Undip (PD II, PD III, Dekan FH Undip, Dosen Pembimbing LPM Gema Keadilan) dalam hal ini Sekretaris Umum LPM Gema Keadilan FH Undip ditanya mengenai latar belakang mengangkat isu LGBT dan mengapa isu tersebut tidak didiskusikan terlebih dahulu kepada pihak dekanat FH Undip. Sekretaris Umum LPM Gema Keadilan menjawab bahwa setiap isu yang akan diangkat sebelumnya dibahas terlebih dahulu oleh Divisi Litbang, setelah itu didiskusikan kembali oleh para pimpinan LPM Gema Keadilan FH Undip. Namun, pihak dekanat lebih menekankan mengapa tidak ada koordinasi ke pihak dekanat sebelumnya terkait diskusi ini. Dekanat baru mengetahui diskusi ini setelah diberitahu langsung oleh Rektor Undip.

Bahkan, permasalahan ini sudah dibahas dalam rapat senat universitas. Dekan pun menambahkan bahwa Undip sedang proses menuju PTNBH, sehingga ditakutkan hal ini dapat mempengaruhi proses tersebut. Dekan juga mempermasalahkan bahwa beberapa proses prosedural dinilai belum dilakukan, seperti proposal yang belum sampai ke PD III, undangan pembukaan acara oleh pihak dekanat tidak ada sehingga pihak dekanat merasa kurangnya koordinasi. Undangan kepada dosen pembimbing pun hanya diucapkan secara lisan. Dekan mengakhiri pernyataannya dengan kalimat “diskusi ini ditunda sampai waktu yang tidak ditentukan”.

Sekretaris Umum LPM Gema Keadilan dalam hal ini menanggapi mengenai adanya kendala dalam prosedur pengesahan proposal dikarenakan adanya beberapa kendala:

1) Ketua Senat sedang tidak berada di Semarang dikarenakan mengikuti KKL sehingga dialihkan ke Wakil Ketua Senat .

2) Ketika proposal sudah diajukan ke PD III, proposal dikembalikan karena ada revisi berupa kewajiban mencantumkan tanda-tangan dosen pembimbing, di mana kebijakan tersebut baru saja diketahui pada tanggal 12 November 2015, sehingga pada waktu acara akan berlangsung, proposal tersebut masih dalam proses revisi. Untuk permasalahan undangan pembukaan acara, Sekretaris Umum LPM Gema Keadilan FH Undip menanggapi bahwa pada program kerja divisi ini memang tidak mengundang pihak dekanat untuk membuka acara secara resmi karena acara ini termasuk program kerja dalam skala kecil. Dari 5 diskusi yang diselenggarakan sebelumnya, yakni Ngopi 1, 2, 3, 4, dan 5 tidak mengundang pihak dekanat untuk membuka acara secara resmi dan tidak pernah ada permasalahan prosedural terkait program ini.

Pukul 14.35 WIB Divisi Litbang yang sedang mempersiapkan ruangan untuk diskusi #NGOPI 6 didatangi oleh satpam dan petugas kebersihan FH Undip yang menyampaikan bahwa acara ini harus dibatalkan karena tidak diperbolehkan oleh Rektor. Satpam juga menanyakan perihal surat peminjaman tempat. Setelah mendapatkan surat tersebut dari petugas kebersihan, satpam langsung menyampaikan kedua kalinya bahwa acara diskusi #NGOPI 6 tidak dapat diselenggarakan dan langsung menutup ruangan H.302.

Tidak lama kemudian, PD III dan dosen pembimbing kami langsung menuju ke lantai 3 Gedung H untuk memastikan batalnya diskusi #NGOPI 6. Dalam diskusi antara PD III dengan kawan-kawan LPM Gema Keadilan, PD III menyampaikan, “Ini persoalan teknis, tetapi meskipun Anda sudah menyelenggarakan beberapa kali kegiatan, tema kali ini dipandang sensitif. Tema-tema lain yang sebelumnya nggak masalah. Hukuman mati nggak masalah, koruptor nggak masalah, urusan gay sama transgender itu yang jadi persoalan, seolah-olah Undip itu nanti bisa menerima pemikiran-pemikiran gay dan itu mengganggu persiapan untuk PTNBH dan itu yang jadi masalah.”

Pukul 15.38 WIB LPM Gema Keadilan memberitahukan pembatalan diskusi melalui official Line LPM Gema Keadilan dengan kalimat:

Selamat Sore peserta diskusi yang kami banggakan. Memberitahukan kepada seluruh peserta diskusi #NGOPI 6 dengan tema “LGBT dalam Sosial Masyarakat Indonesia” dengan ini kami selaku panitia dengan berat hati menyatakan bahwa demi keamanan peserta dan pembicara,diskusi tersebut dibatalkan karena:

1. Tidak diizinkan dan dilarang oleh Rektor dengan alasan merupakan suatu isu sensitif sedangkan Undip dalam proses menuju PTNBH.
2. Polrestabes Semarang dan Polsek Tembalang mendatangi lokasi diskusi dan memberitahukan bahwa akan ada ormas Islam yang bertindak apabila diskusi tetap dilaksanakan.

Pukul 15.52 WIB Polrestabes Semarang mendatangi lokasi diskusi dengan membawa surat perintah untuk melaksanakan pengamanan tertutup yang didelegasikan pada 3 petugas kepolisian. Dua petugas yang mendatangi lokasi diskusi tersebut memotret kertas yang ditempelkan pada pintu H.302 dengan tulisan “DISKUSI LGBT dalam Sosial Masyarakat Indonesia DIBATALKAN” dan kemudian menyampaikan bahwa, “Apabila acara terus dijalankan, maka akan ada ormas yang bertindak.”

*SMS yang ditunjukkan terkait ormas.
*SMS yang ditunjukkan terkait ormas.
*Chat BBM yang menunjukkan adanya protes dari ormas tertentu.
*Chat BBM yang menunjukkan adanya protes dari ormas tertentu.

Pukul 16.10 WIB menurut kesaksian beberapa anggota LPM Gema Keadilan FH Undip, satpam dan pihak dekanat menyaksikan sendiri adanya beberapa ormas yang masuk ke dalam lingkungan kampus FH Undip untuk melakukan sweeping acara.

 

Narahubung: +62 857-4118-5666 (Pebri, Pemimpin Umum LPM Gema Keadilan)

Kategori
Agenda

Lomba Esai Nasional LPM Solidaritas

LPM Solidaritas UIN Sunan Ampel Surabaya Present : LOMBA ESAI NASIONAL  Tema : “Peran Pemuda Mewujudkan Indonesia Yang Kompetitif dalam Menghadapi ASEAN Community”

  • Sub Tema Esai :
  • Peran pemuda dalam bidang Politik dan Keamanan
  • Peran pemuda dalam bidang Ekonomi
  • Peran pemuda dalam bidang Sosial dan Budaya
  • Peran pemuda dalam menyuarakan ASEAN Community
  • Ketentuan Umum :
  1. Peserta adalah Mahasiswa aktif (S1/D3) PTN dan PTS di seluruh Indonesia (Dibuktikan dengan scan KTM).
  2. Peserta adalah individu/perseorangan.
  3. Peserta hanya dapat mengirimkan 1 naskah esai sesuai dengan sub tema yang dipilih.
  4. Naskah belum pernah dilombakan dan dipublikasi di media apapun.
  5. Mengisi formulir pendaftaran. Silahkan unduh http://goo.gl/UxQHo3
  6. Naskah merupakan karya asli, bukan terjemahan/saduran.
  7. Esai tidak bertentangan dengan SARA, dan tidak mengandung unsur pornografi.
  8. Peserta dikenai biaya sebesar Rp. 30.000, transfer ke no. rekening 4817-01-006798-53-7 (an. Aprilia Dirgantini) Bank  BRI.
  9. Keputusan dewan juri tidak dapat diganggu gugat.

 

  • Ketentuan Penulisan :
  • Naskah Esai berjumlah 800 – 1500 kata.
  • Naskah diketik dengan kertas A4, spasi 1,5, font Times New Roman, ukuran 12, margin 3 cm (kanan, kiri, atas, bawah).
  • Menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar sesuai kaidah EYD.
  • Peserta mengirimkan scan KTM aktif, soft copy esai dan scan bukti pembayaran, serta

formulir pendaftaran ke email : lpmsolidaritas4@gmail.com dengan subjek : Lomba Esai_Nama Lengkap_ Universitas _ Judul Esai. Peserta yang sudah mengirim esai harap konfirmasi ke no. 083851315654. Dengan format (Sol Event_Nama Lengkap_Universitas).  

  1. Timeline
  • Pendaftaran dan Pengiriman Esai : 16 Oktober – 16 November 2015
  • Penilaian : 16 November – 21 November 2015
  • Pengumuman Pemenang : 22 November 2015

 

  1. Hadiah
  • Juara 1 : Rp. 1.000.000 + trophy + Sertifikat penghargaan + tiket seminar
  • Juara 2 : Rp. 750.000 + trophy + sertifikat penghargaan + tiket seminar
  • Juara 3 : Rp. 500.000 + trophy + sertifikat penghargaan + tiket seminar

–      Untuk 20 esai terbaik akan dibukukan dan mendapat tiket *semua peserta mendapatkan sertifikat (softcopy) *seminar kepenulisan diadakan tanggal 25 November 2015   CP :        083851315654 (Iva) | 087850099491 (Mizan) Facebook : Lpm Solidaritas Website : http://solidaritas-uinsa.org/ Twitter : @LPMSolidaritas  

Kategori
Siaran Pers

PPMI Tuntut Rektor Universitas Mataram Kembalikan Kebebasan Pers Mahasiswa

Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia (PPMI) mengecam tindakan Rektor Universitas Mataram (Unram), Sunarpi yang membekukan Unit Kegiatan Pers Kampus Mahasiswa (UKPKM) Media Unram. “Pembekuan terhadap aktivitas UKPKM Media Unram yang dilakukan Rektor merupakan tindakan represif,” kata Abdus Somad, Sekretaris Jenderal PPMI. “Sunarpi tak mau berdialog dengan mahasiswa dalam kasus ini.”

Sunarpi menyatakan bahwa pemberitaan Media Unram tidak satu visi dengan kampus, yaitu menjadi perguruan tinggi yang berdaya saing tinggi, sehingga perlu dilakukan pembinaan. Namun, pembinaan yang dilakukan oleh Rektor lebih mengarah pada pembekuan lembaga. “Karena yang dilakukan rektor nyatanya berupa pembekuan UKPKM Media secara kelembagaan dan pembentukan secara sepihak kepengurusan baru berdasarkan kepentingan rektor,” jelas Somad.

Somad menambahkan bahwa pers mahasiswa selama bertahun-tahun berfungsi sebagai pendorong daya kritis mahasiswa terhadap lingkungan sekitar. “Sehingga wajar bila produk jurnalistik terbitan pers mahasiswa bernilai kritis dan mendalam saat menyoroti kebijakan kampus,” tambah Somad.

Kalaupun ada pemberitaan yang tidak berimbang, kata Somad, publik bisa mengirim hak jawab dan hak koreksi mereka. Bukan bertindak sewenang-wenang atas kekuasaan mereka. “Pers mahasiswa dalam menjalankan kerja jurnalistik pun sangat menjunjung tinggi kode etik, serta memposisikan dirinya sebagai penyalur suara mahasiswa dan kontrol sosial.”

“Kami menilai tindakan Rektor Unram terhadap UKPKM Media merupakan tindakan yang menyalahi undang-undang pers,” tegas Somad.

Selain itu, PPMI memandang tindakan yang telah dilakukan oleh Rektor Unram tidak mencerminkan perilaku seorang akademisi dan sangat tidak demokratis. “Seharusnya rektor bisa berpikir jernih dan bertindak dengan nalar sehat dalam menanggapi pemberitaan media Unram.” tutur Somad.

PPMI berharap Rektor Unram bisa memahami bahwa pers mahasiswa bersikap independen dalam melakukan pemberitaan. “Jika pers mahasiswa tidak boleh bersikap independen, tentu kami menilai ada indikasi bahwa pimpinan kampus takut jika kebijakannya dikritisi dan dibicarakan oleh mahasiswanya,” terang Somad.

Tindakan pembekuan lembaga pers mahasiswa, bagi Somad, merupakan indikasi terhadap pembungkaman sikap kritis mahasiswa. Apalagi disertai pengusiran anggota UKPKM Media serta penggantian pengurus secara sepihak oleh rektor. Kebebasan berpendapat, berekspresi, keterbukaan informasi publik dan kebebasan pers pun telah diatur dalam undang-undang dan menjadi pedoman kehidupan demokrasi di Indonesia. “Apalagi memaksa pers mahasiswa untuk menjadi humas kampus yang hanya boleh mencitrakan kampus menjadi lembaga tanpa dosa,” kata Somad.

Karena itu, PPMI menuntut kepada Rektor Unram untuk kembali mengaktifkan kepengurusan LPM Media Unram yang dibekukan secara sepihak dan diusir dari sekretariat, serta memberikan jaminan kepada UKPKM Media Unram agar dapat melakukan kegiatan jurnalistik seperti semula tanpa ada intervensi. “Rektor seharusnya bersikap bijaksana. Daripada melakukan pembekuan, bukankah lebih baik jika mau melakukan hak jawab dan menghidupkan pola interaksi dan dialog yang baik, agar menjadi kampus yang berdaya saing tinggi. Bukan sewenang-wenang dengan kekuasaan yang dimiliki,” tandas Somad.[]

 

Narahubung:

Sulton Anwar, Pemimpin Umum UKPKM Media Unram, +62 878-6536-2040

⁠⁠⁠M. Fathur Rohman, BP Advokasi PPMI Nasional, +62 895-2744-0416

Abdus Somad, Sekjend PPMI Nasional, +62 812-2654-5705

Kategori
Diskusi

Pembungkaman Pers Mahasiswa Jilid 2

Dalam kurun satu bulan, tepatnya bulan Oktober 2015 terdapat tiga Pers Mahasiswa (Persma) yang mengalami pembungkaman, itu saja yang terdeteksi. Akankah besok, lusa, bulan depan, giliran anda yang akan di bungkam? Mendapatkan ancaman pembekuan lembaga, anggaran, pelecehan, hingga penarikan penerbitan­-yang susah payah menuangkan ide, aspirasi dalam tulisan, ditarik begitu saja.

Tepatnya 2 Oktober 2015, persma Aksara mendapat ancaman pembubaran oleh Dewan Perwakilan Mahasiswa (DPM), Aksara dituntut agar tidak memberitakan keburukan Fakultas Ilmu Keagamaan (FIK) Universitas Trunojoyo Madura. Kasus Aksara belum usai, entah bagaimana yang terjadi selanjutnya, kasus penarikan Majalah Lentera Persma Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW) muncul pada tanggal 16 Oktober 2015. Membedah peristiwa berdarah 1965, majalah Lentera ditarik oleh birokrasi kampus hingga awak medianya diintrograsi oleh polisi tanpa adanya surat pemanggilan.

Belum sampai puncak bagaimana kelanjutan Lentera dan awak medianya pada kasus penarikan majalah, Kamis 29 Oktober 2015, sekretariat persma Media Universitas Mataram (UNRAM) disweeping oleh Wakil Rektor III, Kabag Kemahasiswaan, dan beberapa staf. Kabag kemahasiswaan UNRAM meminta pengurus UKPKM Media angkat kaki dari sekret, dan diberi waktu hingga 1 Nopember 2015 agar barang-barangnya diangkut. Jika tidak angkat kaki, Musanif yang mewakili birokrat kampus menyatakan, pihak rektorat akan mengutus satpam UNRAM untuk membereskan sekret Media.

Pada awalnya, 1 Oktober 2015, Pimpinan Umum UKPKM Media UNRAM Sulton Anwar dipanggil pihak birokrat untuk menemui Wakil Rektor III. Dalam pertemuan itu, WR III mengkritisi konten pemberitaan Media, bahwa persma ini tidak satu visi dengan UNRAM, dan beberapa awak persma Media ikut menjadi orator di setiap aksi massa. Atas dasar itu, persma Media diberikan dua pilihan, pertama, Media menandatangani surat berisi kesanggupan Media tidak boleh memberitakan hal-hal negatif terkait masalah kampus dan fokus untuk memberitakan kegiatan-kegiatan ataupun prestasi yang diraih UNRAM, baik prestasi mahasiswa maupun dosen. Kedua, jika Media tidak bersedia menandatangani surat pernyataan tersebut, kepengurusan Media akan dialihkan pada mahasiswa jurusan Hubungan Internasional (HI).

Bulan Oktober layaknya bulan perayaan pembungkaman persma. Satu kasus belum usai, kasus lain muncul, begitu seterusnya. Adanya pembungkaman persma, melalui jalur apapun, menunjukkan bahwa gerakan pers mahasiswa dalam mengawal demokrasi, memantau penguasa (pekerja untuk rakyat) dan budaya literasi masih tetap konsisten sampai  ini dengan berbagai dinamikanya. Oktober 2015 menjadi saksi atas pembungkaman persma jilid 2, setelah sekian lama pers mahasiswa dibungkam berkali-kali pada zaman orde baru.

Kisah Aksara, Lentera kemudian Media bukan kali pertama pembungkaman terhadap persma setelah kran demokrasi terbuka lebar. Persma Ideas Jember, Ekspresi, dan banyak persma lainnya yang mengalami peristiwa sama, sama-sama dibungkam oleh birokrat kampus gara-gara pemberitaan. Hampir tiap persma mengalami gejolak yang sama, intervensi agar tidak memberitakan keburukan-keburukan birokrasi. Ada apa sebenarnya dibalik birokrat kampus yang anti kritik?

Motif Pembungkaman Persma

Ada dua motif, kenapa pers mahasiswa dibungkam oleh birokrat kampus. Pertama, persma yang selalu mengawal birokrasi kampus kemudian memberitakan dan sebagai media penyadaran mahasiswa. Aktivitas perma ini dianggap membahayakan oleh birokrat kampus, karena aktivitas yang dilakukan adalah penggalian data, investigasi atas kinerja birokrasi kampus, kemudian diberitakan dan diketahui oleh banyak publik.

Persma begitu mudah dibungkam karena tidak mempunyai badan hukum yang jelas artinya tidak terlindungi oleh Undang-Undang Pers. Dan persma di bawah payung hukum kampus, sehingga dengan mudah dibungkam. Bahwa jurnalis tidak bekerja pada pemilik modal atau penguasa barangkali masih tetap menjadi pedoman aktivis persma, sehingga sampai detik ini pers mahasiswa tetap kritis terhadap kebijakan dan sering dibungkam hingga diberedel.

Kedua, motif karena persma mengawal isu sensitif yang selama ini di endapkan agar tidak diketahui oleh publik. Beberapa kali persma mengadakan kegiatan penerbitan ataupun diskusi tentang isu 1965, selalu dicekal oleh birokrat, karena desakan dari berbagai kalangan agar aktivitas yang diadakan dihentikan. Untuk menjaga ketenangan publik (katanya), kampus membekukan aktivitas persma.

Tanggal 2 Oktober 2015 persma Aksara, tanggal 16 Oktober 2015 Lentera, kemudian 29 Media. Akankah, besok persma Anda yang dibekukan, dan akan mencatat sejarah pembungkaman pers mahasiswa jilid 3? Jika Anda satu misi, sama-sama mengawal demokrasi kampus, kebebasan pers mahasiswa, apa yang Anda lakukan? #MariNgopi

Kategori
Berita

Kronologi Pembekuan UKPKM Media Universitas Mataram

Kamis, 1 Oktober 2015. Pemimpin Umum UKPKM Media Unram Sulton Anwar, dipanggil pihak birokrat untuk menghadap ke Wakil Rektor III Unram. Karena beberapa anggota sibuk menyiapkan Latihan Jurnalistik Tingkat Dasar (LJTD) Media ke 24, Sulton menghadap sendiri ke ruang WR III Unram.

Saat ditemui di ruangannya, WR III menyampaikan beberapa hal berkaitan dengan keberlangsungan Media. Awalnya bapak WR III mengkritisi konten pemberitaan Media yang dianggap tidak satu visi dengan Unram. Di samping itu, beliau juga mengomentari crew Media yang dianggap sering kali menjadi orator di setiap aksi massa.

Menimbang hal tersebut, WR III menyampaikan keinginan Rektor Unram yang dimandatkan kepadanya. “Media memiliki dua pilihan. Pertama, Media menandatangani surat berisi kesanggupan Media untuk satu visi dengan Unram, media tidak boleh memberitakan hal-hal negative terkait masalah kampus dan  fokus untuk memberitakan kegiatan-kegiatan ataupun prestasi yang diraih Unram, baik prestasi mahasiswa maupun dosen,” tuturnya pada Sulton.

“Kedua, jika Media tidak bersedia menandatangani surat pernyataan tersebut, kepengurusan Media akan dialihkan pada mahasiswa jurusan Hubungan Internasional (HI),” tambah bapak WR III.

Setelah mendengar pernyataan tersebut, sore harinya Sulton langsung mengumpulkan pengurus Media untuk merapatkan suara terkait pernyataan WR III. Dari hasil rapat pengurus, Media sepakat untuk mengundang WR III berdiskusi di sekretariat Media, sabtu sore (3/10).

Jum’at, 2 Oktober 2015. Media bersurat pada WR III, meminta kesediaan beliau untuk berdiskusi. WR III menyetujui undangan diskusi tersebut.

Sabtu, 3 Oktober 2015. Secara tiba-tiba WR III menghubungi Sulton karena tidak bisa menghadiri diskusi sore di sekretariat Media. Beliau meminta crew Media untuk datang langsung ke ruangannya siang hari, sabtu (3/10).

Sekitar pukul 13.00, beberapa crew Media menghadiri undangan WR III. Termasuk pimum, sekretaris, pemred, dan beberapa senior Media. Tapi sayangnya, WR III hanya meluangkan sedikit waktu. Saat itu hanya seperti diskusi sepihak. Beliau hanya menegaskan bahwa sampai akhir tahun, Media tidak lagi boleh berkegiatan. Nanti di awal tahun, birokrat kampus akan mengaktifkan Media kembali, tapi dengan personil yang baru dari mahasiswa-mahasiswa HI Unram.

Mendengar tawaran tersebut, beberapa crew Media yang hadir, keberatan dan mencoba mencari jalan keluar yang lain. Tapi karena harus menghadiri suatu acara, WR III memberikan mandat pada kabag Kemahasiswaan Unram, pak Musanif untuk mendengarkan aspirasi crew Media.

Tapi saat itu, bukan aspirasi yang dapat disuarakan. Justru kabag Kemahasiswaan secara sepihak bersikukuh akan tetap menjalankan perintah Rektor Unram untuk mengalihkan kepengurusan Media dan membekukan kepengurusan tahun ini.

“Kalian fokus saja pada studi masing-masing, raih IPK tinggi. Jangan menomorduakan akademik hanya karena organisasi,” tegas pak Musanif pada crew Media saat itu.

Rabu, 21 Oktober 2015. Pihak birokrat kampus yang diwakili WR III Unram, mengeluarkan pernyataan di surat kabar Suara NTB. Isi berita tersebut, Unram mengoreksi konten pemberitaan Media yang dianggap tidak satu visi dengan Unram. Selain itu Unram juga menganggap pemberitaan Media tidak sesuai dengan semangat pemberitaan pers mahasiswa. Berikut kutipan komentar WR III di koran Suara NTB:

“Kalau kemarin itu lebih pada berorientasi pada berpikir koran. Padahal ini koran mahasiswa, padahal harusnya memuat aktivitas-aktivitas kemahasiswaan. Dia harus lebih menjadi media promosi kegiatan mahasiswa Unram.”

“Visi misi Unram jadi lembaga perguruan tinggi yang berdaya saing tinggi, walau begitu Unram tidak berarti akan membredel UKM Media, melainkan akan dibina dan dibentuk dengan pola pembinaan yang lebih baik lagi.”

Terkait dengan hal tersebut, dua hari setelah keluarnya berita itu, Jum’at (23/10) UKPKM Media melalui Pemimpin Umumnya menanggapi pernyataan WR III yang juga di muat harian Suara NTB. Media secara tegas menyatakan bahwa Media tetap mengedepankan kode etik dalam menjalankan tugas sebagai media kampus. Selain itu pemberitaan Media tetap menjunjung tinggi cover both sides (keberimbangan).

Rabu, 21 oktober 2015. UKPKM Media melayangkan surat audiensi kepada Rektor Unram dalam rangka membahas pernyataan WR III tentang pembekuan kepengurusan Media tahun ini.

Senin, 27 oktober 2015. Tanggapan atas surat audiensi tersebut menyatakan bahwa Rektor tidak bersedia berdialog dengan segenap pengurus UKPKM  Media. Hal ini diungkapkan oleh kabag kemahasiswaan  Unram Musanif, yang menyatakan bahwa Rektor menganggap surat tersebut cukup audiensinya hanya sampai WR III saja.

Kamis, 29 Oktober 2015. Sekitar pukul 08.00 WITA. WR III, kabag Kemahasiswaan, dan beberapa staf melakukan sweeping di gedung PKM. Saat bertandang ke sekretariat Media, Kabag mahasiswaan Unram meminta pengurus UKPKM Media angkat kaki dari sekret. Musanif berkata, Media harus mengemasi barang-barang di sekretariat maksimal minggu (1/11) besok. Saat itu selain Sulton, ada juga Rahman (angota Media) yang sedang mengerjakan tugas kuliahnya di sekretariat Media.

Diakui Rahman, ia tiba di sekretariat Media sekitar pukul 07.30. Setelah beberapa lama membaca, kabag Kemahasiswaan Unram masuk seraya memotret suasana sekretariat Media. Berdasarkan kesaksian Rahman, pak Musanif meminta agar Media segera mengemasi barang-barang pribadi dan mengosongkan secretariat maksimal minggu (1/11) besok. Jika tidak, pihak birokrat akan mengutus satpam Unram untuk membereskan semuanya.

Saat Sulton menanyakan apa dasar Media harus hengkang dari sekretariat, pak Musanif mengatakan tidak ada yang perlu dibahas lagi. Sulton menambahkan sampai saat ini tidak ada SK yang dikeluarkan pihak birokrat terkait pengusiran paksa crew Media dari sekretariatnya.

 

Narahubung:

+6287865362040 Sulton, Pemimpin Umum UKPKM Media Universitas Mataram