Kategori
PPMI di Media

Majalah Lentera Disita, PPMI Minta Dikembalikan

TEMPO.CO, Semarang – Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia (PPMI) dan pengelola Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Lentera mendesak dekanat Fakultas Ilmu Sosial dan Komunikasi Universitas Kristen Satya Wacana, Salatiga, mengembalikan majalah Lentera yang dirampas. Sekretaris Jenderal PPMI Abdul Somad menilai tindakan Dekan Fiskom UKSW Daru Purnomo merampas majalah tersebut adalah bentuk pengekangan kebebasan pers. “Penyitaan seperti itu adalah usaha melakukan pembredelan terhadap pers mahasiswa,” kata Somad, Selasa, 20 Oktober 2015.

Ia menilai penyitaan majalah mahasiswa oleh dekannya merupakan langkah keliru. PPMI mendesak Rektor UKSW serta jajarannya menjamin kebebasan berekspresi, berpendapat, dan kebebasan pers di lingkungannya. Apalagi hasil kajian PPMI menunjukkan Lentera murni melakukan kerja-kerja jurnalistik. Somad berujar, jika ada yang meragukan validitas data, bisa melakukan hak koreksi.

Somad juga menuntut pimpinan kampus UKSW melindungi kebebasan akademik, kebebasan mimbar akademik, dan otonomi keilmuan. “Pengembangan budaya akademik termasuk kegiatan penerbitan majalah yang dilakukan pers mahasiswa,” ucapnya. Menurut dia, aktivitas yang dilakukan LPM Lentera juga merupakan bagian dari kerja akademik yang mesti dihormati.

Tidak hanya itu, pihak PPMI menuntut Kepolisian Resor Salatiga agar tidak bertindak sewenang-wenang terhadap aktivitas LPM Lentera, mengingat upaya pemanggilan yang dilakukan pihak kepolisian tidak sesuai dengan prosedur.

Redaksi Lentera menyatakan telah menerapkan asas-asas jurnalisme presisi dengan melakukan riset dan penelusuran kepustakaan mendalam, observasi lapangan, dan verifikasi narasumber untuk menghasilkan reportase sesuai dengan prosedur jurnalistik.

Sementara itu, Dekan Fiskom UKSW Daru Purnomo mengakui pihaknya menarik majalah Lentera. “Majalah edisi ini saja yang ditarik. Kami simpan di fakultas. Sebulan lagi lihat saja, pasti majalah itu masih tersimpan di fakultas,” tutur Daru. Selanjutnya pihak Fiskom akan mengontrol isi majalah tersebut sebelum diterbitkan. Karena itu, Daru meminta LPM Lentera menyetorkan isi media yang mereka buat ke pihak Fiskom sebelum dicetak dan diterbitkan. Meski begitu, Daru mengklaim tetap menjamin kebebasan berekspresi mahasiswa.

Sebelumnya, majalah Lentera menerbitkan liputan dengan judul “Salatiga Kota Merah”. Majalah itu dipersoalkan dekanat Fiskom UKSW. Tak hanya itu, Polres Salatiga juga memeriksa tiga mahasiswa pengelola LPM Lentera. Selanjutnya dekanat Fiskom menyita majalah yang dijual seharga Rp 15 ribu per eksemplar tersebut. (ROFIUDDIN | ABDUL AZIS)

 

 

Kategori
Riset

Prinsip Penyelenggaraan Pendidikan Tinggi yang Ternodai

Secara prinsip, penyelenggaraan Pendidikan Tinggi adalah sebagai pencarian kebenaran ilmiah oleh Sivitas Akademika. Pendidikan Tinggi didirikan juga sebagai pengembangan budaya akademik dan pembudayaan kegiatan baca tulis bagi Sivitas Akademika. Jika salah satu oknum (Termasuk juga birokrasi kampus) membatasi kegiatan akademik, maka sama halnya ia menodai prinsip penyelenggaraan pendidikan tinggi, menodai Undang-Undang Pendidikan Tinggi yang menjadi pedoman berdirinya kampus.

16 Oktober 2015, Rektor Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW) beserta jajarannya menarik majalah yang dihasilkan oleh Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Lentera dengan judul “Salatiga Kota Merah”. Brirokrasi kampus menarik majalah Lentera tanpa melalui kajian yang mendalam terlebih dahulu. Melainkan mereka hanya melakukan justifikasi semata, yaitu dengan menganggap bahwa informasi dari narasumber majalah kurang valid tanpa adanya narasi ilmiah. Birokrasi kampus UKSW juga menyampaikan melalui lisan, bahwa majalah Lentera harus ditarik agar menjaga masyarakat tetap kondusif.

Majalah Lentera ditarik oleh birokrasi kampus, bahkan krunya diintrograsi oleh polisi karena mereka mengangkat peristiwa berdarah 1965. Kajian tentang peristiwa 1965 tentang Partai Komunis Indonesia (PKI) di kampus dipersoalkan, bukan pertama kali di Salatiga. 11 Maret 2015, Fron Perjuangan Demokrasi Yogyakarta yang terdiri dari organisasi gerakan mahasiswa yang difasilitasi oleh LPM Rhetor UIN Sunan Kalijaga, kegiatan diskusi dan pemutaran film senyap (The Look of Silence) dihentikan oleh Rektor saat itu, Ahmad Minhaji dan berusaha dihentikan oleh organisasi masyarakat yang menamakan Forum Umat Islam (FUI), namun acara tetap berjalan hingga selesai.

Penarikan karya tulis mahasiswa yang berupa buletin juga sempat dialami oleh LPM Ekpresi UNY. Tepatnya pada 24 Agustus 2014, 150 buletin Expedisi Lpm Ekspresi yang mau didistribusikan ke GOR UNY ditarik langsung oleh Rektor UNY, Rochmad Wahab dengan melalui tangan Wakil Rektor III UNY. Apa yang dilakukan oleh Rektor UNY tentu tidak melakukan kajian terlebih dahulu tentang isi buletinnya, dan serta merta menarik buletin Expedisi.

Lain lagi dengan kasus yang dialami oleh LPM Ideas. Salah satu krunya, Rosy Dewi Arianti Saptoyo mendapatkan ancaman dan intimidasi dari Pembantu Dekan (PD) III Fakultas Sastra Universitas Jember (FS UJ), Wisasongko. Dia diancam oleh PD III, beasiswanya bidik misi akan di bekukan sambil menghina Dewi. “Kamu itu miskin gak usah macam-macam.” Kata wisasongko. Dewi diintimidasi oleh PD III karena ia anggota dari LPM Ideas. Wisasongko tanpa melakukan hak koreksi, dia menyatakan kepada Dewi bahwa buletin Partikelir edisi Mafia Dana Praktikum Mahasiswa ini tidak berimbang dalam pemberitaan.

Berkali-kali birokrasi kampus telah menodai prinsip penyelenggaraan Pendidikan Tinggi, yaitu dengan membatasi bahkan tidak melindungi kegiatan mahasiswa hingga membredel karya tulis mahasiswa. Karya tulis yang menggunakan metode yang jelas untuk mengungkap kebenaran suatu fakta tidak bisa serta merta diberedel atau ditarik oleh birokrasi kampus dan oknum mana pun. Apalagi menarik karya tulis mahasiswa tanpa ada kajian terlebih dahulu secara tertulis, merupakan sebuah kemunduran dalam budaya akademik. Mengingat jika karya tulis mahasiswa mendapatkan kesalahan, birokrasi kampus harus melakukan kajian ataupun sanggahan melalui tulisan. Jika birokrasi kampus atau oknum mana pun yang menarik karya mahasiswa dari peredaran, tanpa ada kajian ilmiah, maka mereka menodai prinsip penyelenggaraan pendidikan tinggi.

Dalam penyelenggaraan pendidikan dan pengembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi berlaku kebebasan akademik, kebebasan mimbar akademik, dan otonomi keilmuan. Hal itu sudah diatur dalam Undang-Undang Pendidikan Tinggi Nomor 12 Tahun 2012. Pada bagian kedua pasal 9 (3) dijelaskan, otonomi keilmuan merupakan otonomi Sivitas Akademika pada suatu cabang Ilmu Pengetahuan dalam menemukan, mengembangkan, mengungkapkan mempertahankan kebenaran ilmiah menurut kaidah, metode keilmuan, dan budaya akademik. Aktivitas pers mahasiswa termasuk juga otonomi keilmuan, mempunyai kaidah dan budaya akademik yang jelas, yaitu melakukan aktivitas jurnalistik.[]

Kategori
Agenda

Undangan Diskusi “Menguak Tabir di Balik Pembredelan Majalah Lentera”

Kebebasan menyampaikan informasi kembali berhadapan dengan tindak represif. 18 Oktober 2015 lalu majalah Lentera edisi 3 Tahun 2015 berjudul “Salatiga Kota Merah” ditarik dan dilarang beredar. Pihak kampus, polisi, TNI, dan bahkan Wali Kota Salatiga juga ikut andil dalam pembredelan majalah yang dibuat oleh Lembaga Pers Mahasiswa Lentera (LPM Lentera), Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Komunikasi, Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW) Salatiga itu.

Forum Alumni Aktivis Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia (FAA PPMI) dan Aliansi Jurnalis Independen Indonesia (AJI Indonesia), mengundang rekan-rekan dalam diskusi publik “Menguak Tabir di Balik Pembredelan Majalah Lentera”.

 

Hari/Tanggal: Minggu, 25 Oktober 2015

Waktu: Pukul 11.00 – 14.00 WIB

Tempat: D’ Resto Cafe, Pasar Festival, Jl. H.R Rasuna Said, Kuningan, Jakarta Selatan.

 

Pembicara:
1. Pemimpin Redaksi Lentera UKSW, Bima Satria Putra
2. Komisioner Komnas HAM, Muhammad Nur Khoiron
3. Ketua AJI Indonesia, Suwardjono
4. Ketua Presidium FAA PPMI, Agung Sedayu
5. LBH Pers, Asep Komarudin
6. Alumni UKSW
7. Mabes Polri

Moderator: Kholidah Tamami (Pusat Riset Timteng UI)

Informasi dan konfirmasi silahkan hubungi:
081578885565 (Ecka Pramita)

Kategori
Diskusi

Lentera

Karena jika seorang manusia memang dilahirkan sebagai pemikir sejati di era saat ini, dia hanya butuh nyawa, bukan kebebasan.” Tulis Agustira Rahman dalam sebuah tulisan berjudul Renungan untuk Kasus Lentera di laman http://etegalboto.com/2015/10/21/renungan-untuk-kasus-lentera/.

Bergidik, merenungkan apa yang dituliskan Agustira. Ia merujuk pada sosok Pramoedya Ananta Toer, yang mungkin baginya adalah seorang pemikir sejati. Pram, menurutnya berhasil melahirkan karya-karya luar bisa, seperti karya tetraloginya, yang lahir dalam keadaan ‘tidak bebas’. Pram ditahan di Pulau Buru kala itu. Begitu juga dengan Majalah Lentera, justru karena pembredelan (tidak bebas), majalah itu bisa dibaca banyak orang, termasuk Agustira.

Mengutip kalimat Nietzsche, Orang sebaik-baiknya dihukum karena kebaikan mereka”. Ia menyimpulkan bahwa tak perlu takut untuk dihukum atau malah ingin dibebaskan, hanya perlu sedikit takut untuk dibunuh. Agustira mungkin memang bukan Rendra, ia tak sejalan.

Ma, bukan maut yang menggetarkan hatiku
tetapi hidup yang tidak hidup
karena kehilangan daya dan kehilangan fitrahnya

Kutipan puisi Karya WS Rendra, “Hai, Ma!”.

“Toh, kita tidak bisa menjamin bahwa kebebasan berpendapat juga akan mampu melahirkan karya yang berkualitas.” Tulis Agustira di lain paragraf. Dari sini saya berasumsi, bahwa Agustira kemudian juga tidak sejalan dengan Jean Paul Sarte yang menetaskan konsep bahwa manusia dikutuk untuk bebas. Mungkin baginya, manusia dikutuk untuk berkualitas.

Bahasa “berkualitas”, bersama dengan definisinya yang melekat dan diciptakan, memiliki kuasa. Tubuh dan pemikiran akan didesak untuk mengikutinya. Jika saja definisi “berkualitas” itu adalah membubuhi karya tulis dengan pandangan-pandangan filsuf. Untuk memenuhinya, menjadi wajib untuk membaca buku-buku filsafat yang tebal-tebal, diskusi siang-malam, bahkan mengurangi jatah waktu nonton Dahsyat di RCTI. Definisi “bekualitas” ini menuntun tubuh memenuhinya. Tiada kontrol atas diri sendiri, bahasalah yang mengontrolnya. Kebebasan telah direngut oleh bahasa. Hilang sudah daya atas tubuh sendiri, terasing dengan tubuh sendiri. Hidup menjadi tidak hidup.

Jika saja ini jaman Nazi, bisa-bisa yang dilabeli ‘tidak berkualitas’ sudah dibegal. Hidup menjadi benar-benar tidak hidup, alias mati. Tapi sekali lagi, bukan maut yang menggetarkan hatiku, tetapi hidup yang tidak hidup. Tapi hidup yang tidak ada daya atas dirinya sendiri. Hidup yang tidak bebas.

“Saya merasa kebebasan termasuk kondisi yang utopis untuk diperjuangkan.” Masih kata Agustira di lain paragraf. Mungkin iya, mungkin tidak. Tapi, selain ada yang dikuasai dengan definisi utopis. Di belahan bumi lainya ada yang  begitu menginginkan kebebasan, bebas untuk memilih tunduk. Tunduk pada definisi bahwa kebebasan adalah fitrah. Agar hidup menjadi lebih hidup, sesuai dengan definisi yang diaminiya, akhirnya kebebasan pun diperjuangkan. Karena ada yang tak ingin menjadi lentera, yang seakan-akan bebas, cahayanya terpendar kemana-mana. Namun sebenarnya terbelenggu kaca bening, tak terlihat.[]

Kategori
Galeri

Aksi Solidaritas untuk Pers Mahasiswa Lentera 2015

Aksi Solidaritas Persma Lentera 2 Aksi Solidaritas Persma Lentera 3 Aksi Solidaritas Persma Lentera Aksi Solidaritas Persma Lentera 7 Aksi Solidaritas Persma Lentera 6 Aksi Solidaritas Persma Lentera 5 Aksi Solidaritas Persma Lentera 4 Aksi Solidaritas Persma Lentera 3 Aksi Solidaritas Persma Lentera 5 Aksi Solidaritas Persma Lentera 6 Aksi Solidaritas Persma Lentera 7 Aksi Solidaritas Persma Lentera

Kategori
PPMI di Media

Majalah Lentera Dilarang, Ini Tuntutan ke Komnas HAM

TEMPO.CO, Jakarta – Pelarangan majalah Lentera yang dibuat oleh Lembaga Pers Mahasiswa Lentera, Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW) Salatiga terus menuai protes. Sejumlah kalangan menilai perbuatan itu telah merampas kebebasan berekspresi dan hak menyebarkan informasi. Penarikan majalah Lentera juga dianggap melanggar hak asasi manusia masyarakat untuk memperoleh informasi dan karya jurnalistik.

“Kami ke sini untuk melaporkan perampasan kebebasan berekspresi dan hak menyebarluaskan informasi yang dialami Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Lentera, Salatiga,” kata Ketua Presidium Forum Alumni Aktivis Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia (FAA PPMI) Agung Sedayu, salah satu pelapor, di gedung Komnas HAM, Menteng, Jakarta Pusat, Kamis 22 Oktober 2015.

Selain FAA PPMI terdapat 23 perwakilan lembaga dan individu yang ikut melaporkan kasus pelarangan majalah Lentera. Antara lain Aliansi Jurnalis Independen Indonesia, Lembaga Bantuan Hukum Pers, Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan, Serikat Pengajar Hak Asasi Manusia, Aliansi Jurnalis Independen Semarang, Aliansi Jurnalis Independen Jakarta, Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia, Forum Alumni Aktivis Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia Makassar, Yayasan Pulih, Indonesia untuk Kemanusiaan, dan Pusham Unimed.

Pelarangan majalah Lentera juga dianggap melanggar Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, pelarangan majalah Lentera juga melanggar Pasal 28F Undang-undang Dasar 1945. Pasal itu menjamin hak setiap warga negara untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia.

Karena itu Komnas HAM diminta untuk bersikap tegas dalam kasus majalah Lentera. Dalam surat aduannya, puluhan perwakilan lembaga dan individu itu menuntut enam hal pada Komnas HAM.

Pertama, penghentian upaya penarikan peredaran majalah Lentera edisi “Salatiga Kota Merah”. Kedua, pengembalian peredaran seluruh majalah yang telah ditarik berbagai pihak agar bisa diperoleh publik. Ketiga, penghentian segala bentuk intimidasi dan stigmatisasi kepada mahasiswa dan jurnalis yang tergabung dalam Lembaga Pers Mahasiswa Lentera.

Keempat, para mahasiswa dan jurnalis yang ada dalam Lembaga Pers Mahasiswa Lentera tidak dikenai sanksi ataupun tuntutan hukum apapun dari Rektorat UKSW dan jajarannya, Kepolisian Republik Indonesia dan jajarannya, Tentara Nasional Indonesia dan jajarannya—baik  pada masa sekarang ataupun pada masa yang akan datang. “Komnas harus bisa memastikan tidak akan ada sanksi atau akibat hukum apapun kepada mahasiswa, sekarang maupun di masa depan.” kata Aryo Wisanggeni dari Aliansi Jurnalis Independen (AJI) yang ikut datang melaporkan.

Tuntutan kelima adalah supaya Lembaga Pers Mahasiswa Lentera dapat melanjutkan aktivitasnya sebagai unit kegiatan mahasiswa yang resmi, bebas dari praktik sensor dan bredel dari pihak mana pun. Dan keenam, kebebasan akademik civitas akademika UKSW dapat dilaksanakan tanpa intimidasi dan intervensi dari pihak mana pun.

Koordinator Sub-Mediasi Komnas HAM Anshori Sinungga mengatakan bahwa Komnas HAM akan menindaklanjuti laporan itu. Komnas HAM akan datang ke Salatiga untuk menemui pihak kampus, polisi, serta pihak lain yang diduga terlibat di kasus itu. Komnas HAM juga berjanji akan berupaya supaya tuntutan tersebut bisa dipenuhi. “Insya Allah akan menjamin tidak akan terjadi diskriminasi pada masa depan mahasiswa,” katanya.

Sebelumnya, pihak dekanat dan rektorat UKSW Salatiga dan polisi meminta supaya LPM Lentera menarik semua majalah Lentera. Alasannya, hal itu untuk menciptakan situasi yang kondusif di Salatiga. (EGI ADYATAMA/Tempo.co)

Kategori
Siaran Pers

Ini Dia Isi Surat Pengaduan ke Komnas HAM Terkait Majalah Lentera

Berikut surat aduan sejumlah lembaga dan individu ke Komnas HAM terkait kasus perampasan kebebasan berekspresi dan hak menyebarluaskan informasi yang dialami oleh Lembaga Pers Mahasiswa Lentera, Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW) Salatiga. Hari ini, Kamis, 22 Oktober 2015. Diterima oleh Komisioner Komnas HAM Ansori Sinungan.

Jakarta, 22 Oktober 2015

Kepada Yth.
Komisi Nasional Hak Asasi Manusia
Di Jakarta

Dengan hormat,

Bersama dengan surat ini, kami perwakilan dari sejumlah lembaga masyarakat sipil dan individu bersama-sama menyampaikan keprihatinan yang mendalam atas terjadinya perampasan kebebasan berekspresi dan hak menyebarluaskan informasi yang dialami oleh Lembaga Pers Mahasiswa Lentera, Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW) Salatiga. Kami mengecam keras upaya sejumlah pihak untuk menarik peredaran majalah Lentera edisi 3 Tahun 2015 berjudul “Salatiga Kota Merah”, serta interogasi sejumlah awak Lembaga Pers Mahasiswa Lentera oleh aparat Kepolisian Resor Salatiga.

Kami menilai langkah sejumlah pihak yang melarang peredaran Majalah Lentera melanggar hak asasi manusia mahasiswa UKSW untuk berekspresi dan menyampaikan informasi. Kami juga menilai pelarangan peredaran Majalah Lentera itu melanggar hak asasi manusia warga negara lain untuk memperoleh informasi dan karya jurnalistik para jurnalis Lembaga Pers Mahasiswa Lentera seputar pelanggaran hak asasi manusia berat yang terjadi pasca peristiwa Gerakan 30 September 1965.

Pada Jumat, 9 Oktober 2015 lalu, Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Lentera, Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW) menerbitkan edisi Majalah Lentera yang berjudul “Salatiga Kota Merah”. Majalah Lentera mempublikasikan karya jurnalistik investigasi dan jurnalisme presisi terkait dampak peristiwa Gerakan 30 September bagi Kota Salatiga, dengan melakukan penelusuran tentang Walikota Salatiga Bakri Wahab yang diduga anggota PKI, serta penangkapan Komandan Korem 73/Makutarama Salatiga. Selain itu, Majalah Lentera juga mengupas peristiwa pembantaian simpatisan dan terduga PKI di Kota Salatiga dan sekitarnya, dengan melakukan reportase empat titik pembantaian—Lapangan Skeep Tengaran, Kebun Karet di Tuntang dan Beringin, serta di Gunung Buthak di Susukan.

Edisi “Salatiga Kota Merah” terbit 500 eksemplar dan dijual dengan harga Rp 15.000. Majalah itu disebarluaskan masyarakat Kota Salatiga dengan menitipkannya di kafe serta beberapa tempat yang memasang iklan dalam majalah tersebut. Lentera juga disebarluaskan ke instansi pemerintahan di Salatiga dan organisasi kemasyarakatan di Semarang, Jakarta, dan Yogyakarta.

Publikasi Majalah Lentera telah mengembangkan pendapat umum warga Salatiga dan sekitarnya mengenai peristiwa Gerakan 30 September, dampak peristiwa itu bagi kehidupan warga Kota Salatiga, dan peristiwa pembantaian massal orang-orang yang dituduh simpatisan atau anggota Partai Komunis Indonesia. Pendapat umum itu tentu saja diwarnai pro dan kontra, menjadi diskursus umum yang mewarnai ruang-ruang publik, sebagaimana yang lazim terjadi dalam negara demokrasi manapun di dunia.

Akan tetapi sepekan setelah penerbitan Majalah Lentera edisi “Salatiga Kota Merah”, persisnya 16 Oktober 2015, pimpinan Lembaga Pers Mahasiswa Lentera dipanggil menghadap Rektor UKSW, Pembantu Rektor UKSW, Dekan Fiskom, dan Koordinator Bidang Kemahasiswaan (Koordbidkem) Fiskom di Gedung Administrasi Pusat UKSW. Kesepakatan yang dihasilkan adalah redaksi Lentera harus menarik semua majalah yang tersisa dari semua agen. Hal ini dimaksudkan untuk menciptakan situasi yang kondusif pada masyarakat Kota Salatiga. Polisi secara sepihak juga menarik peredaran Majalan Lentera edisi “Salatiga Kota Merah”.

Pada Minggu, 18 Oktober 2015, Pemimpin Umum LPM Lentera Arista Ayu Nanda, Pemimpin Redaksi LPM Lentera Bima Satria Putra, bersama bendahara LPM Lentera Septi Dwi Astuti diinterogasi di Markas Kepolisian Resor Salatiga. Interogasi itu dilakukan dengan sepengetahuan Dekan Fiskom, Koorbidkem Fiskom, Pembantu Rektor II, III dan V.

Pasal 28F Undang-undang Dasar 1945 menjamin hak setiap warga negara untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia. Kami menilai pelarangan peredaran Majalah Lentera melanggar hak konstitusional para awak redaksi LPM Lentera dan masyarakat umum untuk berkomunikasi, menyebarluaskan, dan memperoleh informasi yang ada dalam karya jurnalistik para jurnalis LPM Lentera.

Kami juga menilai para pihak yang melarang peredaran Majalah Lentera melanggar jaminan Pasal 28C Undang-undang Dasar 1945 yang menjamin hak setiap warga negara mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapat pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya, demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia. Selain inkonstitusional, pelarangan peredaran Majalah Lentera juga melanggar berbagai jaminan hak asasi manusia dalam Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.

Melalui pengaduan ini, kami meminta Komisi Nasional Hak Asasi Manusia menempuh segala upaya di dalam kewenangannnya untuk memastikan hal-hal berikut ini:
1. Penghentian upaya penarikan peredaran Majalah Lentera edisi “Salatiga Kota Merah”.
2. Pengembalian peredaran seluruh majalah yang telah ditarik berbagai pihak agar bisa diperoleh publik, demi mengembangkan pendapat umum terkait karya-karya jurnalistik dalam Majalah Lentera edisi “Salatiga Kota Merah”.
3. Penghentian segala bentuk intimidasi dan stigmatisasi kepada mahasiswa dan jurnalis yang tergabung dalam Lembaga Pers Mahasiswa Lentera.
4. Para mahasiswa dan jurnalis yang ada dalam Lembaga Pers Mahasiswa Lentera tidak dikenai sanksi ataupun tuntutan hukum apapun dari Rektorat UKSW dan jajarannya, Kepolisian Republik Indonesia dan jajarannya, Tentara Nasional Indonesia dan jajarannya—baik pada masa sekarang ataupun pada masa yang akan datang.
5. Lembaga Pers Mahasiswa Lentera dapat melanjutkan aktivitasnya sebagai unit kegiatan mahasiswa yang resmi, bebas dari praktik sensor dan bredel dari pihak mana pun.
6. Kebebasan akademik civitas akademika UKSW dapat dilaksanakan tanpa intimidasi dan intervensi dari pihak mana pun.

Demikian pengaduan ini kami sampaikan. Terima kasih.

Hormat kami,

1. Ketua Presidium Forum Alumni Aktivis Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia (FAA PPMI), Agung Sedayu
2. Ketua Aliansi Jurnalis Independen Indonesia (AJI Indonesia), Suwarjono
3. Lembaga Bantuan Hukum Pers (LBH Pers) Asep Komaruddin
4. Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras), Haris Azhar
5. Social Blogger, Damar Juniarto
6. Perupa, Dolorosa Sinaga
7. Peneliti IPT 65, Ayu Wahyuningroem
8. Koordinator Serikat Pengajar Hak Asasi Manusia (SEPAHAM) Indonesia, Dr R Herlambang P Wiratraman
9. Kepala Pusham Unimed, Majda El Muhtaj
10. Ketua Aliansi Jurnalis Independen Semarang (AJI Semarang), M Rofi’udin
11. Ketua Aliansi Jurnalis Independen Jakarta (AJI Jakarta), Ahmad Nurhasyim
12. Sekretaris Jenderal Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia (PPMI), Abdus Somad
13. Forum Alumni Aktivis Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia Makassar (FAA PPMI Makassar), M Sirul Haq
14. Ketua Dewan Pengurus Yayasan Pulih, Miryam Nainggolan
15. Senior Program Officer for Human Rights and Democracy International NGO Forum on Indonesia Development, Mugiyanto
16. Sekretaris Eksekutif Syarikat Indonesia, Ahmad Murtajib
17. Direktur Program Indonesia dan Regional Asia Justice and Rights (AJAR) Galuh Wandita
18. Program Manajer Indonesia AJAR, Dodi Yuniar
19. Pegiat HAM dan Demokrasi, Zico Mulia
20. Direktur Eksekutif Indonesia untuk Kemanusiaan, Anik Wusari
21. Peneliti Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM), Wahyudi Djafar
22. Peneliti Senior Lembaga Studi Pers dan Pembangunan, Ignatius Haryanto
23. Manajer Program Yayasan TIFA, R Kristiawan
24. Konfederasi Pergerakan Rakyat Indonesia Jakarta, Rio Ayudhia Putra

Kategori
Berita

Akses Majalah Lentera Edisi “Salatiga Kota Merah” Versi Digital

Redaksi Majalah Lentera meminta dukungan kepada pegiat pers mahasiswa di Indonesia untuk mendistribusikan Majalah Lentera edisi “Salatiga Kota Merah” dalam bentuk digital. Kebijakan itu diambil redaksi Majalah Lentera setelah perampasan Majalah Lentera yang dilakukan Dekan Fiskom Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW) Salatiga, Polres Salatiga, serta Muspika Salatiga.

Silahkan mengunduh edisi digital Majalah Lentera dan menyebarluaskannya, untuk melawan segala bentuk pemberedelan media dan memperjuangkan kebebasan pers.

 

Unduh di Sini dan Sebarkan!

Lentera-3 SaveLentera-Square-2

Kategori
Diskusi

Biarlah Majalah Lentera Menebar Kebenaran

“Jas merah” lebih penting daripada jas almamater. Setidaknya itulah panji yang diteguhkan sekawanan LPM Lentera dari Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW) Salatiga untuk mempersembahkan karya jurnalistik kepada para pembaca. Istilah “jas merah” sebagai kepanjangan dari “jangan sekal-kali meninggalkan sejarah”, merupakan petuah Bung Karno pada pidato perayaan Hari Kemerdekaan tahun 1966 silam. Petuah tersebut terucap lantaran saat itu Indonesia baru saja mengalami tragedi: G30S 1965.

Soekarno berinisiatif memberi petuah demikian karena ia melihat adanya upaya merekayasa sejarah dari pihak-pihak tertentu demi nafsu berkuasa. Dan benar, tahun 1967, ia benar-benar (di)turun(kan) berdasarkan Ketetapan MPRS yang dipimpin A.H. Nasution. Soeharto pun diangkat, era baru dimulai. Siapapun yang dicap komunis oleh rezim bakal kena celaka. Ribuan orang lebih ditumbalkan namun masih ada saksi-saksi yang masih hidup hingga kini. Dari sisa-sisa yang hidup itulah upaya “jas merah” Soekarno ditegakkan. Kini, sejarah tidak lagi jadi wacana seragam milik penguasa.

Perjuangan sekawanan LPM Lentera menolak dominasi tunggal pembacaan sejarah memang penuh resiko. Tidak perlu membaca terlalu jauh, mereka pun berupaya menggali kuburan fakta–fakta sejarah di Salatiga. Bukan perkara mudah pula menego para korban selamat untuk bertutur. Kajian tebal literatur para pakar sejarah tak luput dibahas. Walhasil terbitlah majalah bertajuk “Salatiga Kota Merah”. Dalam rubrik Editorial-nya, Redaksi Lentera bermaksud baik agar masyarakat membuka mata terhadap sejarah. Karena mereka “Bukan Generasi Mbah” (judul Editorial Majalah Lentera), maka Lentera menghadirkan keterangan baru. Namun upaya baik tidak melulu disambut secara waras.

Pada 18 Oktober 2015, Polres Salatiga semena-mena memanggil sekawanan LPM Lentera untuk diinterogasi. Ironisnya, Dekanat Fiskom UKSW sebagai simbol akademik malahan ikut latah memerintahkan penarikan Majalah Lentera yang beredar. Apapun alasannya, ini adalah cara miskin kewarasan intelektual. Segala upaya tersebut berdalih meredam konflik di masyarakat. Justru, penarikan produk pers tersebut semakin mempersedap bumbu konflik yang selama ini dimasak oleh oknum-oknum tertentu. Perintah penarikan majalah sama halnya dengan mempersempit ruang gagasan. Akhirnya upaya penyelesaian konflik (rekonsiliasi) antara pelaku dan korban tragedi tersebut semakin jauh dari solusi.

Pertanyaannya ialah: sebagai insan intelektual-akademik, apakah Dekanat Fiskom UKSW benar-benar teliti dalam menginstruksikan penarikan majalah atau malah mereka juga ditunggangi kepentingan tertentu? Ini harus dipertanggungjawabkan!

Andai saja majalah tersebut bebas beredar, setidaknya keragaman wacana masyarakat sekitar semakin kaya. Para pembaca di luar lingkup akademis pun akan lebih jeli untuk mengamini sejarah versi mana yang dibenarkan. Memang benar adanya jika wacana yang berkaitan dengan peristiwa G 30 S begitu sensitif nan kontroversial. Konflik lama yang belum usai akan dibicarakan lagi. Jika nantinya masyarakat resah, ini artinya masyarakat mulai menggerakan dinamika sosialnya lewat jalan berpikir. Jangan melulu mengaitkan keresahan pikir masyarakat sebagai bentuk kerusuhan.

Resah bukan berarti rusuh. Apabila pihak Polres Salatiga dan Birokrat Kampus UKSW masih berupaya mati-matian meredam keresahan itu, artinya kedangkalan pikir telah berkuasa. Ada saran menarik untuk Polres Salatiga dan Birokrat UKSW, daripada bercuriga ria, lebih baik ke music store atau distro, belilah album “Serigala Militia” racikan band rock Seringai. Putar lagu nomor 10 berjudul “Lagu Ini Tak Sependek Jalan Pikiranmu”. Insya Allah lagu berdurasi cukup 10 detik itu benar-benar menampar kecurigaan kalian. Siapa tahu kalian akan lebih sadar jika dikritik oleh sekawanan metalhead asal Jakarta. Ini memang lelucon tapi serius untuk dipikir lebih waras lagi!

Dukung Penggalian Sejarah Melalui Kebebasan Pers
Sudah terlalu lama peribahasa “sejarah milik pemenang” berkuasa mengangkang di masyarakat. Bahkan tradisi akademis pun semakin takut menyentil kangkangan penguasa terhadap sejarah. Lantas, apalah artinya peran intelektual kaum akademis? Lama-lama akan menjadi mitos dan ini tidak bisa dibiarkan begitu saja. Di sinilah peran pers mahasiswa (persma) sebagai penyelamat kehidupan intelektual kaum akademis.

Majalah Lentera tidak mungkin terbit tanpa sebab. Sekiranya melalui kematangan nalar dan kepekaan rasa akan dunia sekitarlah yang menggairahkan sekawanan LPM Lentera untuk membikin majalah tersebut. Menyepakati pernyataan Editorial dari Bima Satria Putra, Pemred Lentera, bahwa penerbitan majalah ini bukan bermaksud mengorek luka lama tapi mencoba memberikan fakta sejarah lain yang selama ini terbungkam. Harapannya supaya membantu masyarakat generasi terkini untuk lebih teliti dan peka menyimpulkan kepastian peristiwa bersejarah. Itulah fungsi kebebasan pers.

Selayaknya insan bercap intelektual, semestinya birokrat-birokrat kampus mendukung penuh upaya kebebasan pers tersebut. Apalagi berkaitan dengan penggalian fakta sejarah yang dikubur terlalu dalam oleh penguasa. Persoalan paska tragedi G 30 S memang sulit dilupakan. Tanpa digaungkan oleh pers pun, masyarakat di luar sana masih ada yang membahasnya. Dualisme fakta terus bergulir bak bola panas. Ini jelas berpotensi menjadi permasalahan sosial yang laten. Kaum intelektual-akademis sudah saatnya berperan menemukan titik terangnya. Itulah yang diperankan baik oleh LPM Lentera.

Tempo hari, pemikir emansipatoris, Edward Wadie Said pun berpikir demikian. Lewat esai-esainya bertajuk “Peran Intelektual”, ia menyatakan bahwa kaum intelektual mesti terjun ke permasalahan masyarakat dengan cara membatasi diri dari kemapanan wacana penguasa. Artinya kaum intelektual harus mencari wacana yang lebih independen agar permasalahan masyarakat teratasi. Peran itu sudah dijawab dengan cara menerbitkan Majalah Lentera yang membahas fakta dampak G 30 S di Salatiga.

Daripada mengebiri LPM Lentera, baiknya Birokrat Kampus UKSW membuka ruang seluasnya untuk berdiskusi lintas elemen masyarakat. Jika upaya ini berhasil, UKSW bisa menjadi kampus teladan sebagai penjamin kebebasan pers dan berfungsinya kaum intelektual.

Tradisi kebebasan pers kaum intelektual memang tidak pernah lepas memperjuangkan hak-hak kaum tertindas. Dari era pra kemerdekaan Indonesia, banyak pula sesepuh intelektual bangsa ini yang berjuang melalui kerja pers. Sebut saja Marco Kartodikromo, Ki Hadjar Dewantara, Soekarno, Tirto Adhi Soerjo, dan barisan intelektual pejuang kemerdekaan lainnya. Intimidasi penguasa saat itu turut mengintai perjuangan mereka. Bahkan Soekarno yang pernah menjabat sebagai Pemred Fikiran Ra’jat sempat keluar-masuk penjara akibat perjuangan persnya. Pun koran Hindia Poetra milik Indische Vereeniging (perkumpulan mahasiswa Indonesia di Belanda), saat itu jurnalis-jurnalisnya kerap diburu intelijen penjajah.

Itu dulu sebelum bangsa ini dikatakan merdeka, apa sekarang sama saja?

Merenungi kondisi hari ini, seharusnya intelektual-akademis berpihak kepada kebebasan pers yang berusaha memperjuangkan kebenaran. Apa tidak malu kepada sesepuh intelektual sekaligus pejuang di masa terjajah dulu? Di banyak kampus, bertebaran persma yang masih bergairah mengungkap kebenaran dan memperjuangkan si tertindas. Maklum mereka inilah kaum intelektual yang sadar persoalan nan anti pembodohan. Begitu pun LPM Lentera di Fiskom UKSW.

Begitu boleh mengatakan tiran kepada Polres Salatiga dan Dekanat Fiskom UKSW. Sebab tindakan mereka jauh dari kesan: terpuji, waras, dan intelektual. Penarikan dan menghanguskan majalah adalah upaya menutup pencerdasan masyarakat. Itu sama saja menggerakan mundur laju roda kemerdekaan bangsa menuju masa kelam penjajahan. Pembodohan semacam ini perlu diperingatkan keras oleh aliansi kaum intelektual.

Nah, bodohnya lagi, alasan penarikan Majalah Lentera demi meredam keresahan di masyarakat. Coba pikir lagi, bila masyarakat resah itu pertanda apa hayo? Berarti di situlah ada kebenaran yang tidak adil, ada sekelompok orang yang masih ditindas haknya, ada yang menjadi korban sejarah, ada yang terlecehkan oleh penguasa, ada, ada, ada, dan teruuuusss ada…. Selama kebenaran sejarah masih diselewengkan, penindasan akan selalu ada!

Lha kalau sudah tahu begitu, bagaimana seharusnya aparat kepolisian dan birokrat kampus? Eh, kalian ini teladan di masyarakat lho, kok malah bikin masalah tambah ruwet? Astagaaa! Begini lho, ini permasalahannya ganda: kebebasan pers dan pengungkapan kebenaran sejarah. Solusinya cukup waras kok, birokrat kampus dan kepolisian harus menjaminnya tanpa intimidasi. Bila cap jelek sudah terlanjur mendera kalian akibat ulah kemarin, ya silahkan meminta maaf seluasnya ke segala penjuru media. Kemudian kalian bekerjasamalah dengan LPM Lentera untuk mengadakan mimbar-mimbar diskusi dengan masyarakat biar rekonsiliasi segera terwujud. Ajak juga tuh Pemerintah Kota Salatiga!

Penarikan atau pemusnahan Majalah Lentera bukanlah solusi penawar keresahan. Siapapun kalian yang terlibat kasus ini, segeralah pakai “jas merah” agar sama-sama menemu kebenaran.

***

Petuah “jas merah” memang begitu penting nan sakti. Demi membuktikan kesaktian petuah ini, marilah kita beramai-ramai: membaca Majalah Lentera “Salatiga Kota Merah”, menyimak pidato Soekarno, dan mendengarkan lagu-lagu Seringai…\m/. Salam Cadas Merah!

Kategori
Siaran Pers

Pimpinan Kampus Harus Jamin Kegiatan Akademik dan Kebebasan Pers Mahasiswa

Majalah Lentera yang telah diedarkan di kota Salatiga dan kota sekitarnya, dipaksa untuk ditarik lagi oleh birokrasi kampus. Penarikan tersebut berdasarkan pertemuan antara pengurus Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Lentera dengan Rektor Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW), Pembantu Rektor II UKSW, Dekan Fiskom UKSW, dan Koordinator Bidang Kemahasiswaan (Koorbidkem) di Gedung Administrasi Pusat UKSW pukul 21.00 WIB, pada Jumat 16 Oktober 2015.

Ketika pengurus LPM Lentera hendak mengambil majalah di salah satu agen majalah Lentera di Salatiga, pihak Kepolisian Resor (Polres) Salatiga lebih dulu mengambil majalah Lentera, tepatnya pada Sabtu 17 Oktober 2015.

Tanpa adanya surat pemanggilan, pada Minggu 18 Oktober 2015, Arista Ayu Nanda (Pemimpin Umum Lentera), Bima Satria Putra (Pimpinan Redaksi Lentera), dan Septi Dwi Astuti (Bendahara LPM Lentera), diminta datang ke Polres Salatiga untuk memberi keterangan soal penerbitan majalah itu.

Sebelumnya, perwakilan pengurus Lentera dipertemukan dengan Dekan Fiskom, Pembantu Rektor. Hasil pertemuan tersebut, beberapa yang dipermasalahkan oleh jajaran pimpinan kampus itu adalah judul sampul yang menimbulkan persepsi bahwa Kota Salatiga adalah kota PKI. Selain itu, berdasarkan keterangan redaksi Lentera, bahwa lambang palu arit yang berada di sampul depan. Bukan hanya itu, soal narasumber juga diragukan kevalidannya oleh pimpinan kampus.

Majalah yang berjudul “Salatiga Kota Merah” dengan nomor 3/2015, dengan terbit 500 eksemplar. Majalah tersebut bukan hanya didistribusikan di kampus, melainkan dititipkan juga di beberapa tempat umum. Redaksi Lentera memberi keterangan bahwa Majalah Lentera pemilihan judul majalah bermaksud untuk mendukung bukti-bukti bahwa simpatisan PKI di Salatiga tidak terlibat dalam peristiwa G30S. Juga sebagai dokumentasi sejarah atas peristiwa berdarah yang terjadi pada 1965.

Redaksi Lentera mengaku bahwa proses penulisan dan kerja jurnalisme telah menerapkan asas-asas jurnalisme presisi dengan melakukan riset dan penelusuran kepustakaan yang mendalam, observasi lapangan dan verifikasi narasumber untuk menghasilkan reportase sesuai prosedur jurnalistik.

Atas peristiwa penarikan majalah tersebut, Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia (PPMI) menuntut pimpinan kampus UKSW melindungi kebebasan akademik, kebebasan mimbar akademik, dan otonomi keilmuan. “Pengembangan budaya akademik termasuk kegiatan penerbitan majalah yang dilakukan pers mahasiswa,” kata Sekjend PPMI, Abdus Somad. “Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi, pada Bab II tentang Penyelenggaraan Pendidikan Tinggi, pasal 6 poin C telah mengatur hal itu.”

Selain itu juga ditegaskan soal kewajiban kampus memberikan dan melindungi mahasiswa dalam melakukan kajian akademis. Pelaksanaan kebebasan akademik, kebebasan mimbar akademik, dan otonomi keilmuan di Perguruan Tinggi merupakan tanggung jawab pribadi sivitas Akademika. “Ini wajib dilindungi dan difasilitasi oleh pimpinan Perguruan Tinggi,” jelas Somad.

Pada pasal 9 juga dijelaskan bahwa otonomi keilmuan merupakan otonomi sivitas akademika pada suatu cabang ilmu Pengetahuan dan atau Teknologi dalam menemukan, mengembangkan, mengungkapkan, dan atau mempertahankan kebenaran ilmiah menurut kaidah metode keilmuan, dan budaya akademik. “Aktivitas yang dilakukan oleh Lentera merupakan sebuah kerja akademik. Maka ketika birokrasi menarik majalah harus melakukan kerja akademik juga. “Yaitu dengan menguji kebenaran majalah Lentera dan membuktikan dengan karya tulis bahwa majalah Lentera datanya tidak valid, bukannya langsung melarang beredarnya sebuah produk jurnalistik,” ungkap Somad.

Rektor UKSW serta jajarannya wajib menjamin kebebasan berekspresi, berpendapat dan kebebasan pers di lingkungannya. “Kami menilai Penerbitan majalah lentera murni kerja jurnalistik. Orang yang meragukan atas validitas data, bisa melakukan hak koreksi. Orang yang bersangkutan mengoreksi atau membetulkan kekeliruan informasi yang diberitakan oleh pers, baik tentang dirinya maupun tentang orang lain.” kata Somad.

Selain itu PPMI juga menuntut Drs. Daru Purnomo, M.Si., Dekan Fiskom UKSW untuk mengembalikan Majalah Lentara yang dirampas. “Karena bagi kami tindakan itu telah mengekang kebebasan pers. Penyitaan adalah usaha melakukan pembredelan terhadap pers mahasiswa,” jelas Somad. “Alasan birokrasi kampus yang menilai Lentera menyalahi prosedur  dalam membuat majalah  yang kemudian menjadi salah satu indikator penyitaan majalah adalah penilaian yang keliru. Harusnya kampus mendukung pada apa yang dilakukan oleh Lentra, bukan malah melakukan upaya penyitaan.”

PPMI juga menuntut Polres Salatiga agar tidak bertindak sewenang-wenang terhadap aktivitas pers mahasiswa Lentera, mengingat upaya pemanggilan yang dilakukan pihak kepolisian tidak melalui prosedur yang ada. Juga meminta kepada seluruh elemen organisasi pers, organisasi mahasiswa, dan penyeru Hak Asasi Manusia agar membantu dan mengawal kejadian yang menimpa pers mahasiswa Lentera. Karena pembiaran pada peristiwa semacam ini, akan berakibat fatal pada segala bentuk pengekangan kebebasan pers, kebebasan akademik, dan pembatasan pada distribusi pengetahuan.[]

 

Narahubung:

Sekjend PPMI Nasional, Abdus Somad (+6281226545705)

Pemimpin Redaksi Majalah Lentera,  Bima Satria Putra (+6285600220516)

Pemimpin Umum LPM Lentera, Arista Ayu Nanda (+6285727384378)