Kasus pemerkosan mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (Fisipol) Universitas Gadjah Mada di lokasi Kuliah Kerja Nyata (KKN) hingga kini belum menemukan titik terang. Bertempat di Maluku pada 30 Juni 2017, Agni (bukan nama sesungguhnya) selanjutnya disebut penyintas, diperkosa oleh pelaku berinisial HS. Kabar ini sempat mencuat ke publik pada akhir 2018 melalui tulisan Citra Maudy di Balairungpress.com dengan judul “Nalar Pincang UGM atas Kasus Pemerkosaan.” Kasus yang diterbitkan oleh BPPM Balairung ini menyampaikan kronologi kekerasan seksual yang dialami penyintas, hingga beberapa upaya penyintas untuk mendapatkan perlindungan kepada UGM sebagai pihak penyelenggara KKN sekaligus tempat ia belajar. Namun, tidak segera mendapat titik terang.
Sebelum berita di BPPM Balairung muncul ke permukaan, Penyintas secara pribadi menemui Rifka Annisa (kelompok pejuang hak perempuan dan anak) untuk meminta pendampingan. Penyintas mengalami depresi berat. Penyintas juga meminta pendampingan ke layanan Unit Konsultasi Psikologi (UKP) UGM kemudian dirujuk ke Rumah Sakit Akademik (RSA) UGM.
Dampak Psikologi penyintas diperparah dengan kabar pada Oktober 2017 penyintas mendapati nilai Kuliah Kerja Nyata (KKN) miliknya C, berbagai upaya ia lakuka untuk meminta kejelasan atas nilainya. Kemudian Penyintas didampingi Rifka Annisa bertemu Rektorat Fisipol dan Direktorat Pengabdian kepada Masyarakat (DPkM) UGM guna meminta keterangan terkait pemerkosaan yang dialaminya.
UGM merespon dengan membentuk Tim Investigasi untuk menyelediki atas kasus pemerkosaan yang menimpa penyintas. Beberapa rekomendasi diberikan oleh tim investigasi seperti yang dimuat dalam berita BPPM Balairung pada 20 April 2018. Kemudian 20 Juli 2018 Tim Investigasi dibubarkan setelah menyerahkan laporan beserta rekomendasi kepada rektor.
Pada 30 Juli 2018 Penyintas mendapat kabar bahwa HS (pelaku) melaksanakan sidang pendadaran skripsi tanggal 06 Agustus 2018. Sehingga hal ini sangat kontradiktif karena Rektor UGM menjanjikan bahwa nilai KKN HS akan ditahan sampai kasus selesai.
Setelah beberapa upaya yang dilakukan penyintas, nilai KKN penyintas dipulihkan menjadi A/B. Pada awal November 2018 BPPM Balairung menerbitkan tulisan mengenai kronologi kejadian yang dialami penyintas. Kemudian penyintas mendapatkan surat berisi instruksi tindak lanjut hasil Tim Evaluasi disusul undangan secara lisan untuk menghadiri penandatanganan permohonan maaf oleh HS di Rektorat UGM pada 17 Desember 2018, tetapi dibatalkan secara sepihak.
Melalui siaran pers Rifka Annisa dan tim kuasa hukum kita agni juga dapat diketahui, bahwa masa kerja Komite Etik berakhir pada 31 Desember 2018. Penyintas belum mendapatkan salinan keputusan dan rekomendasi dari Komite Etik. Selain itu, UGM tidak memberikan pendampingan atau biaya pendampingan secara psikologi terhadap penyintas. Menurut keterangan yang bersangkutan penyintas hingga saat ini menggunakan biaya pribadi untuk memulihkan psikologinya.
Hingga tulisan ini dimunculkan penyintas belum juga mendapatkan hak- hak yang seharusnya ia dapatkan.
Kronologi Pemanggilan Anggota BPPM Balairung
Pada tanggal 28 Desember 2018, Citra Maudy selaku jurnalis BPPM Balairung, mendapatkan surat panggilan oleh Polda DIY. Surat tertanggal 26 Desember 2018 tersebut dikirimkan ke Fisipol UGM, fakultas tempat Citra belajar. Dalam surat tersebut, dijelaskan bahwa Citra dipanggil untuk dimintai keterangan sebagai saksi dugaan tindak pidana perkosaan, sebagaimana yang ia tulis dalam Laporan Utama “Nalar Pincang UGM atas Kasus Perkosaan” yang diterbitkan BPPM Balairung pada 05 November 2018. Perkara tersebut dilaporkan oleh Drs. Arif Nurcahyo yang belakangan diketahui sebagai Ketua Pusat Keamanan, Keselamatan, Kesehatan Kerja, dan Lingkungan (PKKKKL) UGM per 09 Desember 2018.
Segera setelah mendapatkan surat tersebut, Citra berkoordinasi dengan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jogja dan juga beberapa pihak. Dengan berbagai pertimbangan, ia pun memenuhi surat panggilan yang terjadwal 03 Januari 2019 itu pada 07 Januari 2019 bersama kuasa hukumnya, Yogi Zul Fadhli yang merupakan Direktur LBH Yogyakarta. Citra Maudy tiba di kantor Polda Provinsi D.I Yogyakarta sekitar pukul 13.30 WIB. Panggilan serupa juga dilakukan terhadap Thovan Sugandi, penyunting artikel tersebut. Namun, oleh karena surat yang diterima Fakultas Filsafat UGM (tempat Thovan belajar) sempat menghilang, ia baru memenuhi panggilannya yang kedua (dilayangkan pada tanggal 14 Januari 2019 di LBH Jogja).
Pemanggilan Citra Maudy dan Thovan Sugandi sebagai saksi dugaan tindak pidana perkosaan adalah tindakan yang janggal. Informasi yang diketahui Citra dan Thovan terkait peristiwa tersebut bersumber dari reportase yang mereka lakukan untuk berita “Nalar Pincang UGM dalam Kasus Perkosaan.”
Saat pemeriksaan Citra berlangsung, ia dicecar 30 pertanyaan oleh penyidik seputar dugaan perkosaan yang dialami Agni. Akan tetapi, sejumlah pertanyaan penyidik justru keluar dari konteks peristiwa. Pertanyaan-pertanyaan tersebut cenderung mengarah pada berita yang ditulis Citra, bukan pada peristiwa terkait. Penyidik justru banyak mengulik isi berita dan proses reportase yang dilakukan. Pertanyaan-pertanyaan yang garis besarnya seperti, siapa saja narasumber yang ditemui, dimana menjumpainya, apa yang disampaikan narasumber, hingga pertanyaan aneh apakah berita ini benar atau hoaks, malah dimunculkan oleh penyidik. Sudah barang tentu materi pernyataan itu tidak selaras dengan unsure-unsur pasal yang digunakan sebagai basis penyidikan, yakni pasal 285 dan pasal 289 KUHP.
Keganjilan semakin terlihat dari pernyataan yang dikeluarkan oleh Direktur Reserse Kriminal Umum Polda DIY, Kombes Hadi Utomo, selepas pemeriksaan berlangsung kepada para wartawan. Ia mempertanyakan nomenklatur kata “pemerkosaan” dan juga kebenaran berita yang diterbitkan Balairung. Jika berita yang ditulis itu tidak benar, ujarnya, akan lebih baik bila tidak dipublikasikan. Seperti yang dikutip dari kumparan.com ia mengatakan institusinya memeriksa Balairung Press lantaran ada indikasi berita bohong. “Kami akan panggil, mereka-mereka itu kok bisa menemukan nomenklatur kalimat pemerkosaan itu dari mana,” ujar Hadi. “ini sebenarnya yang mau kami ungkap. Kalau faktanya tidak benar jangan sebar-sebar itu apa bedanya dengan dengan hoax.” Pernyataan ini tentu jauh dari unsur-unsur pencabulan yang dilaporkan Arif Nurcahyo. Padahal, laporan tersebut dijadikan sebagai salah satu dasar pemanggilan Citra Maudy. Secara otomat Statement hadi sudah dijawab melalui wawancara Tim BPPM Balairung dengan pihak Departemen Pengabdian kepada Masyarakat (DPkM sebelumnya LPPM) UGM. “Kalau disebut benar, ya benar ada (pemerkosaan, red). Tapi itu sudah saya tarik langsung (terlapor) dan sudah ada hukumannya,” kata pejabat yang tidak ingin disebutkan namanya ini.
Bertolak dari keganjilan itu, Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia (PPMI) Dewan Kota Yogyakarta menengarai ada alamat untuk mengkriminalisasi wartawan BPPM Balairung. Apabila hal ini terbukti maka UGM betul-betul melakukan kesalahan fatal dengan mengkriminalisasi mahasiswanya yang mengungkapkan kebenaran melalui kerja-kerja jurnalistik.
BPPM Balairung diresmikan melalui Surat Keputusan Rektor Universitas Gadjah Mada No. UGM/82/7789/UM/01/37 tanggal 14 Desember 1985 sebagai Unit Kegiatan Mahasiswa. Balairung menghasilkan produk jurnalistik yang berpegang pada Pedoman Pemberitaan Media Siber. Kerja-kerja jurnalistik yang dilakukan Balairung pun terikat pada Kode Etik Jurnalistik. Sebagai bentuk pertanggungjawaban kepada publik, laman balairungpress.com telah memuat informasi terkait kejelasan lembaganya melalui kontak yang jelas dan dapat dihubungi serta masthead.
Pemberitaan BPPM Balairung adalah bagian dari pengejawantahan kemerdekaan mengeluarkan pikiran dan pendapat sebagaimana tercantum dalam pasal 28E ayat 3 Undang-Undang Dasar 1945. Di samping itu, berlandaskan pada spirit menegakkan keadilan dan kebenaran berita berjudul Nalar Pincang UGM atas Kasus Pemerkosaan, sehingga tidak patut UGM, polisi, dan pihak-pihak lain menyerang BPPM Balairung dengan memunculkan kesan ‘berita bohong’ terlebih bila memiliki pretensi hendak mengkriminalisasi jurnalisnya. Terlebih jika ada pihak-pihak yang mempertanyakan dan merasa dirugikan oleh berita tersebut, BPPM Balairung senantiasa menyediakan ruang untuk menyampaikan hak jawab pembaca.
PPMI DK Yogyakarta beranggapan pemeriksaan Citra Maudy yang tidak tepat sasaran justru mengalihkan bahkan mengabaikan pokok permasalahan. Agni yang hingga kini terus memperjuangkan hak-haknya dan belum menemukan titik terang semakin diabaikan. Oleh karena itu Kami PPMI DK Yogyakarta menyampaikan pernyataan sikap sebagai berikut:
- Menuntut Kepolisian dan UGM agar segera menuntaskan kasus pemerkosaan yang menimpa Agni.
- Menuntut UGM untuk memberi perlindungan maksimal dan segera memenuhi hak-hak penyintas serta membantu menghentikan perilaku victim-blaming dan tendensi-tendensi untuk mengkriminalisasi penyintas.
- Mendesak Dewan Pers untuk memberikan perlindungan terhadap kerja-kerja jurnalistik yang dilakukan Pers Mahasiswa demi terselenggarakannya kehidupan pers yang demokratis.
- Mengecam segala bentuk intimidasi yang tujuannya membatasi ruang gerak BPPM Balairung dalam menjalankan kerja-kerja jurnalistik, yang sejatinya menyuarakan kebenaran.
- Mengecam keras intimidasi dan kriminalisasi terhadap kerja-kerja yang dilakukan oleh pegiat pers mahasiswa.
Yogyakarta, 15 Januari 2019
Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia Dewan Kota Yogyakarta
CP:
Sri Wahyuni (082242606205)
Adi Bayu Utomo (081917731945)