Kategori
Diskusi

Merawat Perlawanan

Problematika pers mahasiswa (persma) seakan tak pernah usang untuk dibahas dan dikaji. Lika-liku mewujudkan demokrasi dihampir semua lini kehidupan masyarakat baik di ranah isu nasional seperti agraria, pendidikan, politik, ekonomi maupun isu daerah seperti isu kampus, lingkungan, sosial serta isu lainnya menuntut kerja-kerja jurnalistik yang tak mudah. Pemilihan angle pun seringkali mengharuskan persma membingkai data dan mengoposisikan pihak atau oknum yang dianggap semena-mena dalam kehidupan bermasyrakat. Misalnya saja para birokrat kampus yang tak pernah absen diwawancarai untuk menampilkan cover both side atas apa yang diberitakan. Begitu pula dengan para aktor korupsi dan cukong pencaplok lahan. Walau tak sedikit pula rekan persma yang memilih bermain aman dengan tak melulu mengkritik atau bahkan malah menjadi bagian dari hubungan masyarakat (humas) kampusnya.

Bicara mengenai fungsi advokasi dalam mengidentifikasi siapa saja yang menjadi lawan atau berpotensi merugikan persma, juga tak lepas dari sikap redaksi dan rekan-rekan persma menanggapi masalah sosial yang ada. Hasil riset BP litbang PPMI nasional periode 2014-2016 telah berhasil mendata jenis tindakan kekerasan terhadap persma seperti intimidasi, pembredelan, pembubaran acara, pembekuan, perusakan karya, fitnah, kriminalisasi, pembatalan izin, dan pelecehan yang dialami persma. Baiklah mari kita tinjau siapa yang berpotensi menjadi lawan kita jika kita benar-benar melawan.

Pertama ialah Aparat keamanan, baik polisi maupun TNI. Meraka memang ada untuk menjaga ketertiban dan keamanan masyarakat. Namun bagaimana jika malah meresahkan atau membatasi aktivitas berdemokrasi. Contoh kongkret adalah apa yang dialami oleh Fadel Muhammad Harahap dan Fikri Arif dari LPM BOM yang ditahan dengan tuduhan melakukan pemukulan terhadap aparat saat terjadinya aksi hardiknas di depan gerbang universitas sumatera utara. Sidang perdana yang direncanakan etanggal 7 agustus pun diundur. Karena tuduhan yang sepihak itu, keduanya hingga saat ini masih mendekam di lapas. Walau catatan sementara hanya 5 kasus yang dilakukan oleh TNI/Polri, namun Aliansi Jurnalis Independen (AJI)  mencatat jumlah kasus kekerasan yang dialami wartawan media komersil sejak januari 2014 hingga agustus 2017, polisi menjadi pelaku sebanyak 35 kasus, dan TNI sebanyak 12 kasus. Korps bhayangkara memang seakan tak mau insititusinya tercoreng. Segala cara dihalalkan mulai dari perampasan alat peliputan, hingga kekerasan fisik secara langsung.

Bagaimana dengan pihak kampus? Aparat tentu bukan satu-satunya yang masif melakukan tindak kekerasan pada persma. Birokrat kampus ternyata jadi ranking nomor wahid dalam survei tahun lalu. Sebanyak 65 kasus dialami oleh persma disebabkan ulah para pejabat kampus. Bentuk kekerasannya beragam, mulai dari intimidasi dengan pemanggilan, pengurangan nilai, ancaman pembekuan organisasi bahkan pencabutan SK LPM sebagai bentuk pembredelan. Sebagai pemegang kuasa anggaran negara, rektor dan jajarannya tak jarang melakukan pemotongan anggaran, bahkan menutup anggaran LPM. Sebagian kalangan berkata wajar saja jika kampus menjadi aktor yang paling mengancam eksistensi persma. Ruang lingkup peliputan kampus yang jadi porsi lebih banyak dan adanya rasa “berkuasa” pihak rektorat tentu sulit jika kita mengimpikan kata damai. Tapi saya yakin ada juga yang memilih berdamai dengan alasan regenerasi dan keselamatan lembaga.

Suatu perdebatan menarik ketika rekan-rekan diskusi bercerita adanya proses pelemahan dari dalam lembaga persma itu sendiri. Mereka mensinyalir oknum organisasi tertentu masuk dan mulai melakukan tindakan persuasif untuk menumpulkan media persma tersebut. Sangat disayangkan memang, namun hal itu sebenarnya bisa saja ditangani jika teman-teman persma tetap meneguhkan identitasnya melalui produk media yang dihasilkan. Bicara pers mahasiswa yang sering disebut atau menyebut diri sendiri dengan media altenatif, Yosep Adi Prasetyo, Ketua Dewan Pers pun sempat membahasnya dalam artikel berjudul “Pers Mahasiswa dan Upaya Membonsai Daya Kritis” bahwa kini tak ada lagi sebutan pers alternatif yang dulu disematkan pada pers mahasiswa. Semua pers kini bisa menjadi alternatif, baik dari isi, penyajian dan angle tulisan.

Pertanyaan menarik yang terlontar kemudian, Apakah pers mahasiswa akan tetap percaya diri menyebut dirinya pers alternatif? Apa persma masih benar-benar sebagai oposisi? Tak berniat menghitamputihkan sebuah fenomena, namun sampai saat ini saya masih yakin netralitas itu tak benar-benar ada. Kemana rekan-rekan persma berpihak? Masih adakah yang mau dilawan? Jika jawabannya tidak, lalu apakah karena trend  kritis, melawan atau kiri itu keren? Mungkin artikel sesepuh DK Yogyakarta dengan judul Idealisme persma atas nama kebutuhan bisa sedikit mencerahkan.

Tapi kecemasan saya kali ini bukan soal tujuan rekan-rekan berpersma. Pola oposisi yang kian dilebur dalam masyarakat yang afirmatif terhadap penguasa, baik negara maupun tataran kampus. Herbert Marcuse dalam bukunya yang berjudul one dimensional man atau manusia satu dimensi menyebut jika masyarakat yang dulunya terbagi menjadi dua dimensi, yang pertama dimensi positif atau afirmatif pada keberlangsungan negara dan satunya dimensi negatif yang menentang struktur dan sistem yang ada berdasarkan ketimpangan yang ada, kini telah berusaha dilebur jadi satu. Kebutuhan akan modernitas yang didukung para teknokrat dan cara-cara kapitalisnya membuat dimensi negatif bukan lagi oposisi, tapi bagian dari masyarakat yang satu. Penekanan terhadap kubu negatif jelas dilakukan. Sistem kapitalis yang tetap bermamah biak dijadikan alasan untuk menaikkan taraf hidup masyarakat.

Contoh kongkrit, saat kasus pabrik semen di kendeng diangkat ke publik. Ada rekan persma yang berujar, “ngapain kita melawan, setelah lulus kita juga butuh pekerjaan. Mending dibangun pabrik lalu jadi pegawai.” Pikiran yang tak pro rakyat atau petani ini memang rasional dari sisi mahasiswa yang bingung setelah lulus jadi apa. Bayangkan jika hampir semua mahasiswa berpikiran begitu. Sungguh bahagianya hati para pemilik perusahaan. Satu sisi negara juga tak perlu susah-susah membungkam mereka. Wajar karena sejak mahasiswa baru doktrin seperti itu begitu kuat. Kuliah yang cepat lalu kerja. Pengkondisian itu kian masif dan tak dapat lagi dirasakan. Saya jadi teringat kutipan dari pemantik diskusi dalam sebuah launching majalah persma di malang walau agak lupa diksinya seperti apa. “Penindasan yang parah adalah ketika yang ditindas sudah tak merasa ditindas lagi.”

Sudah cukup kiranya saya berargumen. Kembali ke siapa lawan persma, masih adakah yang menjadi aktor kekerasan terhadap persma? Bicara masalah organ ekstra, komunitas, mahasiswa nonpersma dan masyarakat umum tentu dapat dilihat dari berbagai perspektif. Silakan berpendapat.

Kategori
Diskusi

Pers Mahasiswa Besar Bukan Dari Pengakuan

Membuka dan membaca lagi sejarah perkembangan pers mahasiswa dalam buku Menapak Jejak Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia (PPMI), tertulis bahwa pada Kongres PPMI ke-5 tahun 2000 memilih tema “Jati Diri Pers Mahasiswa sebagai Kontrol Sosial dan Agen Perubahan”. Jelas dalam tema tersebut tersirat bahwa tugas atau fungsi dari pers mahasiswa adalah menjadi kontrol sosial dan memperjuangankan perubahan yang bersifat kerakyatan.

Berani mengkritisi dan menyikapi kebijakan pemerintah yang memang dirasa kurang tepat, atau kebijakan yang tidak pro rakyat. Hal tersebut mengantarkan posisi pers mahasiswa selalu berseberangan dengan pemerintah. Dan tak jarang pers mahasiswa mendapatkan tindakan yang kurang bijak dari pemerintah, seperti intimidasi, pembreidelan media, atau bahkan tindakan kekerasan yang dilakukan oleh militer.

Berada pada posisi yang berlawanan dengan pemerintah, membuat pers mahasiswa dalam wadah PPMI tumbuh tanpa pengakuan. Meskipun demikian memang PPMI sudah berani bersikap, untuk tidak mau berkompromi dengan pemerintah. Menempuh jalur birokrasi dan menuntut akan sebuah pengakuan hanya akan membuat lelah.

Pengakuan dari pemerintah pun sebenarnya akan membawa efek buruk juga bagi PPMI. Dalam naungan atau pengakuan pemerintah, sudah jelas posisi pemerintah yang berkuasa akan lebih leluasa untuk melakukan intervensi kepada gerakan pers mahasiswa. Pun keberlangsungan lembaga juga rawan diancam untuk dibubarkan.

Sikap PPMI saat itu untuk tidak mau berkompromi dengan pemerintah, merupakan tindakan yang tepat. Berjalan dan tumbuh berkembang tanpa pengakuan merupakan langkah PPMI agar tidak terjebak dalam kepentingan politik pemerintah.

Membawa ideologi “Membela kaum tertindas” mengharuskan PPMI untuk terus mengawasi kinerja pemerintah yang rawan penyalahgunaan jabatan, kekuasaan, dan tindakan kesewenang – wenangan. Berimbas pada nasib rakyat yang menjadi korban.

Jika periode I tahun 1993 PPMI masih terlihat berhati-hati dalam bersikap, maka periode II tahun 1995 PPMI berani bersikap. Secara tegas PPMI bersikap bahwa tidak butuh pengakuan atau legalitas. Berbagai pertimbangan praktis, elitis, dan kompromis ditanggalkan jauh – jauh. Menjunjung tinggi orientasi kritis, memperjuangkan kebebasan dan berpegang pada independensi media. Sikap tersebut dikenal dengan “Deklarasi Tegalboto”.

DEKLARASI TEGALBOTO

“Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia [PPMI] merupakan elemen kekuatan alternatif yang lahir dari pers mahasiswa dan atau lembaga pers mahasiswa di Indonesia untuk menghimpun potensi yang dimiliki dengan didasari komitmen moral, kerakyatan dan intelektualitas. PPMI adalah wadah yang berbasis pada pers mahasiswa dan atau lembaga pers mahasiswa di Indonesia menegaskan kembali bahwa PPMI tidak berorientasi kerja elitis dan bersifat mandiri sebagai basis tumbuhnya sikap idealisme dan kepedulian sosial.

Dengan keprihatinan bahwa kondisi sosial masyarakat saat ini mengalami degradasi struktural maupun moral maka PPMI meyakini bahwa fenomena sosial yang ada merupakan agenda permasalahan yang integral dalam pers mahasiswa sebagai manifestasi fungsi pers mahasiswa. Untuk itu diperlukan pers mahasiswa yang sanggup mengkonsolidasi kekuatan internal organisasinya, serta mempertegas sikap terhadap kondisi sosial masyarakat yang berkembang.

Berkaitan dengan ini maka PPMI menyerukan kepada pers mahasiswa dan lembaga pers mahasiswa untuk berani dan terus menerus menginformasikan persoalan-persoalan yang timbul di masyarakat secara nyata dan utuh sebagai keberpihakan yang riil terhadap komitmen moral dan kerayatan.

Berkaitan dengan alat kemandiriannya, PPMI bertekat untuk terus memperjuangkan demorasi, independensi dan kebebasan pers mahasiswa Indonesia dengan tidak mengakui lembaga SIUPP dan STT. Langkah selanjutnya, PPMI sebagai salah satu bentuk lembaga mahasiswa yang berakar dari kekuatan mahasiswa akan terus memperjuangkan kebebasan akademis dengan tidak mengingkari nilai-nilai Pancasila dan UUD 1945 dalam kerangka kemanusiaan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.”

 Tegalboto Jember, 17 Desember 1995

 

Pengakuan atau Legalitas adalah Kesia-siaan

PPMI yang memantapkan posisi, orientasi, dan sikap oposisi sebagai pengawas kebijakan pemerintah. Serta sebagai sebuah badan pengontrol, PPMI harus benar-benar otonom, lepas dari keterkaitan apapun dengan pemerintah.

Diakui oleh pemerintah pun juga tidak ada jaminan yang pasti, bila pemerintah akan membantu pers mahasiswa atau PPMI ketika ada masalah. Yang kelihatan jelas justru peluang pemerintah untuk melakukan intervensi kedalam tubuh PPMI sangatlah besar. Bahkan sekali lagi –PPMI rawan untuk dibubarkan.

Sebagai organisasi yang didirikan tanpa orientasi politik, PPMI yang memiliki entitas pers mahasiswa diharuskan selalu kritis dalam beroposisi. Menjaga sikap untuk selalu berjarak dengan pemerintah dan selalu menolak pembatasan-pembatasan atas kebebasan.

Jika mau belajar dan melihat kondisi kebebasan pers di Indonesia sekarang, menuntut pengakuan adalah sebuah kesia-sian. Karena meskipun diakui secara keberadaan ataupun hukum seperti halnya pers umum,  kebebasan pers atau keselamatan kerja saat dilapang pun tak ada jaminan.

Pers umum yang secara undang – undang telah dilindungi oleh hukum, juga tidak bisa lepas dari kekerasan atau tindakan intimidasi. Berdasarkan catatan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia tahun 2016, kasus kekerasan terhadap wartawan hampir terjadi diseluruh wilayah Indonesia. Kasus – kasus tersebut didominasi kekerasan fisik, sebanyak 38 kasus, dan pengusiran sebanyak 14 kasus.

Dikutip dari tirto.id, menyebutkan bahwa pelaku kekerasan terhadap jurnalis pada tahun 2017 didominasi oleh warga sipil yakni, sebanyak 21 kasus. Disusul orang tak dikenal 10 kasus, polisi 9 kasus, politisi 7 kasus, militer 7 kasus, aparat pemerintah daerah 6 kasus, pejabat pemerintah 4 kasus, ormas 3 kasus, pelajar dan mahasiswa 2 kasus, serta masing-masing 1 kasus oleh advokat, aparat pemerintah pusat, dan hakim.

Kasus – kasus tersebut dapat menjelaskan bahwa kebebasan pers di Indonesia sangatlah buruk, dan pemerintah yang memiliki kekuasaan tidak mampu menjaminnya. Bahkan pemerintah sendiri juga menjadi salah satu aktor dalam kasus kekerasan yang menimpa wartawan.

Melihat kondisi tersebut seharusnya dapat memantapkan sikap PPMI untuk selalu terus memilih posisi berjarak dengan pemerintah, titik tanpa pengakuan. Sekali lagi, pengakuan atau legalitas adalah sebuah kesia-sian.

Lebih fokus pada pengembang anggota, memperluas jaringan, dan memperkuat basis media merupakan sikap yang lebih bijak. Mengingat ujung pergerakan pers mahasiswa adalah media. Pers mahasiswa harus memahami bahwa melalui kerja-kerja jurnalistik atau media, merupakan usaha dalam menjaga dan merawat idealisme serta jalan perjuangan pers mahasiswa.

Bukan justru mendekat dan merapat ke pemerintah untuk mencari posisi aman. Kalau boleh mengklaim –itu tindakan yang salah. Karena pers mahasiswa tumbuh dan berkembang dengan perjuangan bukan dengan pengakuan.[]

Kategori
Diskusi

Berita Kepada Kawan

Ada 4 kesamaan saya dengan Ilham Nur Padmy Lestia Adi. Pertama adalah nama Ilham. Kedua tinggal di desa yang sama. Ketiga dia hobi naik gunung. Keempat ia ngekos di tempat yang saya tempati sebelumnya, di Yogyakarta.

Berita meninggalnya tiga mahasiswa UII saat mengikuti The Great Camping (TGC) XXXVII, di Gunung Lawu menjadi sorotan publik, Tempo.co misalnya ; berita tiga mahasiswa UII yang meninggal setelah mengikuti TGC XXXVII menjadi berita Populer selama beberapa hari. Begitu juga dengan media lokal di Yogyakarta, baik cetak dan online. Terlebih terjadi kota pelajar seperti Yogyakarta dan di institusi pendidikan. Salah seorang yang menjadi korban meninggal, saudara dan kawan saya Ilham Nur Padmy Lestia Adi.

Ham arak Keril? (Ham ada Keril?)” kata pria yang biasa di sapa Ilham. Menjadi pesan pertama Ilham pada saya di Facebook tanggal 15 Agustus 2014, menanyakan apakah saya punya tas gunung. Saya saat itu tak membalas pesanya. Sampai suatu ketika, kami bertemu langsung. Dia berkata pada saya sudah dapat tas dan siap untuk mendaki Gunung Rinjani.

Menjadi kebiasaan para pemuda di desa kami mendaki ke Gunung Rinjani. Bahkan ada beberapa pemuda yang kami kenal beberapa menjadwalkan tiap tahunnya mendaki Gunung Rinjani, bahkan ada juga yang setahun 3 kali. Sampai ada beberapa pemuda berkata “Rinjani itu umroh (haji kecil) orang Lombok”. Pemuda Lombok yang tidak pernah ke Rinjani—cukup membayangkan cerita tentang indahnya panorama alamnya dan suka-duka selama di Rinjani. Karena terus mendengar cerita tentang Gunung Rinjani semakin membuat orang penasaran untuk mendaki gunung yang memiliki ketinggian 3.636 Mdpl dan Danau bernama Segara Anak.

Ilham mengalami hal yang sama, ia penasaran akan cerita Gunung Rinjani. Selama setengah semester bersama 6 sahabatnya saat masih di SMP 1 Pringgasela, Ilham merencanakan untuk muncak ke Gunung Rinjani dan danau Segara Anak. Rasa penasaran itu pun sirna dan terwujud selesai Ujian Nasional (UN) yang menjadi pendakian pertama ilham menyaksikan Gunung Rinjani. Tapi karena mereka melalui Jalur Selatan mereka hanya sampai ke Danau Segara Anak dan tak bisa ke puncak Rinjani. Kemudian pada 21-27 Juni 2013, Ilham kembali mendaki Gunung Rinjani. Sejak saat itu naik gunung menjadi hobinya. Pun ketika melanjutkan studi di Kota Yogyakarta.

Di Yogyakarta

Pemuda berbadan tegap ini mengirimkan pesan kedua via Facebook pada saya, kali ini ia menanyakan tempat kos saya. Saat itu saya sudah semester 3 di salah satu Universitas di Yogyakarta.

Ham mbe tok a ngekos? (Ham ngekos dimana?)” tanya Ilham.

Taman Siswa,” jawabku

Ternyata tanggal 5 Maret tahun 2015 lalu, Ilham dinyatakan lulus Fakultas Hukum, Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta. Melalui jalur CBT yang diadakan Sekolahnya, SMAN 2 Mataram.

Ilham mengatakan kalo bisa di carikan tempat di pesantren, ia berpikir tidak ingin membebani orang tua dengan biaya tambahan. “Arak kost kosong sekitar iti ke? (ada kos kosong sekitar situ?) Atau Pondok Pesantren Mun bu ja. (Atau kalo bisa Pondok pesantren),” ungkapnya.

Saya memintanya untuk menempati kos saya saja. Ilham mengiyakan. Kemudian sekarang mulailah ia belajar di Yogyakarta. Ilham sempat ragu bisa menjalani belajar di Fakultas Hukum karena mengambil kelas internasional. “saya nggak terlalu bisa bahasa Inggris,” Tutur Ilham

Ilham termasuk tipe orang mau belajar. Merasa nilai semester satu di anggap tidak memuaskan karena tak bisa bahasa Inggris, tak lantas membuatnya menyerah. Ia kemudian berangkat ke Pare, di Kediri untuk belajar bahasa Inggris selama satu bulan. Di sela belajarnya Ilham tak melepaskan hobinya, di Malang bersama dengan temanya, ia mendaki Gunung Kelud. Tercatat beberapa gunung yang didaki selama di Yogyakarta. Gunung Andong adalah yang pertama di dakinya, kemudian Kelud, dan Merbabu selama dua kali: acara bersih gunung dan penanaman pohon.

Menurut pendapat saya Ilham orang yang berinisiatif: menanyakan apa yang ingin dipelajarainya. Pemahaman itu saya dapatkan setelah beberapa kali berdiskusi bersama. Kami beberapa kali berdiskusi kecil tentang persoalan Hukum, kebudayaan, pendidikan, dan masalah sosial. Kami juga kami sering berdiskusi di media sosial. Dia tahu saya masuk pers mahasiswa yang memiliki budaya diskusi.

“Di kampus hukum itu ada Keadilan (Lembaga Pers Mahasiswa Fakultas Hukum UII),” katanya.

“Ayok Ham kapan diskusi, diskusi bareng,” ia mengajak saya.

“Maaf, Ham lagi sibuk,” jawabku.

Sejak saat itu kami jarang bertemu lagi. Saya masih memendam pikiran Ilham tertarik masuk pers mahasiswa. Karena memang sebelumnya ia sempat berkata demikian. Tapi dugaan saya tidak tepat, saya tahu dia memilih Mapala Unisi UII. Ketika senja di warung kopi seorang teman menyodorkan gawainya, ada berita online tentang meninggalnya tiga mahasiswa UII yang mengikuti The Great Camping XXXVII. Teman yang menyodorkan gawainya itu sempat mengira saya lah yang meninggal.

Kemudian saya membaca berita online tersebut. Tertulislah nama Ilham. Saya membaca ulang kembali memastikan kebenarannya. Kemudian teman yang lain menyodorkan video tentang keterangan orang tua korban, salah satunya narasumbernya, Pak Syaff’i orang tua Ilham. Setelah itu saya baru percaya ilham lah yang meninggal.

Orang tua Ilham yang datang untuk bertemu, memilih melaporkan kasus ini ke pihak kepolisian. Karena mendengarkan keterangan sang anak dan melihat kondisinya secara langsung di Rumah sakit Bathesda. Sebagai orang tua, Syaff’i hanya berharap kebenaran dalam kasus yang terjadi pada anak bungsunya saat itu dan tidak perlu di tutup-tutupi. Meski air wajah Syaff’i tak bisa menyembunyikan duka yang mendalam kehilangan anak sulungnya. Di UII, Syaff’i yakin anaknya bisa belajar dengan baik, namun sayang harus pulang lebih dulu. Saya sendiri tidak bisa melihat wajah Ilham saat terakhir kali ketika ia harus meninggalkan peraduan di kota pelajar untuk terakhir kalinya. Bagi saya, Ilham adalah kawan diskusi yang tak tuntas.

Metode Pendidikan Mencintai Alam

Almarhum Ilham di rumah sakit waktu sempat bercerita kepada seorang kawannya, bahwa ia sempat menyerah karena tidak kuat. Namun karena di katakan dalih untuk pembentukan karakter dan melihat teman-temanya diperlakukan lebih keras lagi karena menyerah—almarhum Ilham saat itu terpaksa memilih melanjutkan. Salah seorang peserta yang M. Rahmaddaniel mengatakan hal yang sama, ada tim Operasional yang memang memukul meski tanpa tahu kesalahannya apa. “Yang mundur di habisi…,” ungkap Rahmatdaniel kepada Tempo.co.

Bukankah metode pembelajaran bertahan dan bermain di alam bebas itu meminimalisir risiko, bukan membuat-buat risiko yang tak ada hubungnya dengan mendidik. Apalagi risiko kehilangan nyawa. Dari beberapa artikel yang saya baca, Diksar (Pendidikan Dasar) Pencinta alam memiliki persiapan yang banyak. Dengan menyampaikan ilmu-ilmu yang sudah dipersiapankan matang dan membutuhkan waktu yang cukup lama, karena dalam melakukan Diksar (pendidikan dasar), organisasi dan seluruh anggotanya bertanggungjawab terhadap keselamatan para calon anggota yang “dididik” pada Diksar tersebut. Persiapan tidak hanya menyangkut persiapan fisik para “pendidik”, namun juga meliputi tentang pembekalan pengetahuan dan keahlian, kesiapan materi pendidikan, sarana pendukung pendidikan, hingga keselamatan bagi calon anggota, senior serta pembina yang turut dalam Diksar tersebut. Bukankah intinya keselamatan yang utama.

Menurut keterangan salah satu ketua panitia kegiatan, Mapala Unisi mereka memiliki Standar Operasional Prosedur (SOP) untuk melakukan pendidikan dasar. Meski mereka tak menampik ada suatu yang tidak bisa di kontrol.

Tentu banyak metode untuk belajar mencintai alam dan tanpa harus menggunakan kekerasan. Terlebih dunia di akademis yang memiliki budaya intelektual harusnya bisa menjadi ajang mengasah hal tersebut. Bukan ajang untuk menyuburkan budaya kekerasan dan mempertegas otoritas “untuk membenarkan tindak kekerasan”. “Sebagai KPA (Kelompok Pecinta Alam) tertua di Indonesia, hingga kini Mapala UI dapat terus meneruskan regenerasi tanpa kekerasan fisik, sebaliknya mengedepankan pendampingan (mentoring). Saya rasa kami dapat terus mencetak anggota yang loyal, memiliki kemampuan basic outdoor skill yang mumpuni dan aktif bergiat di alam bebas dengan konsep tersebut”, ujar Yohanes Poda Sintong (M-954-UI), Ketua Umum Mapala UI 2017.

Tan Malaka pernah berkata tujuan pendidikan itu untuk mempertajam kecerdasan, memperkukuh kemauan serta memperhalus perasaan. Bukankah lagu Kepada Alam dan Pencintanya, karya Rita Rubi Hartland yang biasanya sering di nyanyikan pencinta alam bisa menjadi bahan refleksi untuk mengerti makna pencinta alam dan arti kehidupan.

Mendaki gunung sahabat alam sejati/Jaketmu penuh lambang/ lambang ke gagahan/ memproklamirkan dirmu Pecinta alam/ sementara maknanya belum kau miliki/…/oh, alam korban Ke Akuan/ maafkan mereka yang tak mengerti arti kehidupan.

Kami Hanya Bisa Berharap Kebenaran dan keadilan Kawan

Saya masih tak percaya melihat teman yang kemarin sempat tertawa, marah, dan berbagi suka duka bersama, harus meninggal dengan bekas luka membiru di sekujur tubuh. Akal sehat kami sempat tidak berjalan sempat terbersit di benak kami bahwa “hukum nyawa harus di bayar nyawa” pada pelaku. Tapi sebagai mahasiswa yang bisa kami lakukan saat ini lebih memilih mengawal kasus kawan kami Ilham dan dua korban lainya di tuntaskan dengan sejujur-jujurnya dan seadil-adilnya. Dan tak terjadi kasus yang sama di kemudian hari dan di mana pun, terlebih seperti di dunia pendidikan.

Kategori
Diskusi

Revolusi sampai Mati

Tema “Revolusi Mental untuk Memerkokoh Karakter Bangsa” yang dikawal oleh para rektor perguruan tinggi seluruh Indonesia dalam Forum Rektor Indonesia (FRI) 2016 di Universitas Negeri Yogyakarta, akhir Januari lalu, dalam hemat saya, gagal dipahami sebagai perwujudan mengubah kebiasaan tak baik. Hal itu terlihat dari perilakunya yang tak mau “bekerjasama” dengan mahasiswa yang mengatasnamakan diri Gerakan Pendidikan Nasional (GNP). Justeru mereka menyambutnya dengan perlakuan represif dari pihak keamanan. Hal ini tak akan terjadi apabila salah satu rektor dari pihak FRI, terlebih ketua FRI terpilih Rochmat Wahab, keluar untuk mendinginkan suasana.

Apakah perlakuan semacam itu dapat kita jadikan harapan bahwa revolusi mental yang dicanangkan oleh Presiden RI, Joko Widodo, dapat mengantarkan Indonesia menjadi lebih, berkarakter sesuai dengan cita-cita bangsa? Saya kira, orang-orang yang hadir ke acara FRI 2016 itu bukanlah orang-orang yang tak beradab – secara berlebihan mereka itu bisa kita sebut pahlawan; penyelamat jiwa-jiwa yang tertawan. Mereka adalah pemimpin kampus – yang notabene – berbudi pekerti luhur – meski tak jarang keluhuran itu sering kita pertanyakan.

Sampai detik ini pun, saya masih mempertanyakan keluhuran mereka. Pasalnya, perlakuan mereka menunjukkan sikap tak bersahabat dalam menyambut “kehadiran” mahasiswa yang tergabung dalam GNP. Padahal, mereka – saya masih meyakini – datang dengan berbekal aspirasi, yang bisa dikatakan, membawa secercah perubahan terhadap pendidikan tinggi kita menjadi lebih baik – meski tak menutup kemungkinan sudah baik dari sono-nya.

Sedikitnya, ada tiga keinginan yang mereka bawa waktu itu. Yaitu, pertama, mereka ingin penerapan uang kuliah tunggal (UKT) dihapus dari perguruan tinggi negeri (PTN). Kedua, mereka ingin adanya jaminan pendidikan tinggi bagi seluruh rakyat. Dan ketiga, mereka ingin terwujudnya demokratisasi kampus.

Ketiga aspirasi tersebut bukannya ditampung – paling tidak didengarkan – malah disambut dengan barikade keamanan kampus. Saling dorong antara massa aksi demo dari GNP dengan pihak kampus pun tak terhindarkan. Mereka saling bersitegang. Ketegangan itu akhirnya dapat diredam setelah terjadi negosiasi. Pihak rektorat UNY berjanji akan menemui massa.

Akan tetapi, janji tinggallah janji. Sampai malam menjelang, pihak rektorat UNY tak kujung keluar menemui massa aksi demo. Situasi pun kembali memanas. Namun akhirnya, dengan berat hati mereka (massa aksi demo) memilih mengalah dan membacakan pernyataan sikap. Setelah itu, mereka membubarkan diri – barangkali pulang ke kost-an atau rumah masing-masing.

Kejadian yang tak kita inginkan pun kembali terjadi, tepatnya setelah melintas mobil pengangkut anggota FRI 2016. Mengetahui hal itu, massa aksi demo dari GNP pun berusaha mencegat. Dan, terjadilah kemacetan.

Pada saat itu, terjadilah hal yang tak pernah kita inginkan. Aparat kepolisian datang, mengejar, memukul, dan bahkan menangkap sejumlah mahasiswa. Seperti dilansir Berdikarionline.com, ada sekitar 20 mahasiswa yang ditangkap. Sebelum akhirnya “digelandang” ke Mapolres Sleman, mereka sempat diamankan di Social Centre UNY.

Gerakan revolusi mental

Perlakuan represif dari pihak keamanan terhadap massa aksi demo dari GNP menunjukkan aparat keamanan masih suka “main tangan” dalam menangani aksi demo yang digelar oleh mahasiswa. Ini tak jauh beda dengan perlakuan aparat keamanan ketika membendung aksi demo mahasiswa pada tahun 1998. Aparat yang seharusnya mengamankan, justeru menciderai tugasnya dengan turut berperan aktif melakukan pemukulan, bahkan pembantaian yang berujung kematian.

Situasi seperti ini tentunya berdampak pada melempemnya gerakan mahasiswa. Mahasiswa yang berhimpun untuk menyampaikan aspirasi mereka selalu terngiang-ngiang dengan ancaman. Sehingga mereka ketakuan, dan tak lagi berani mengkritisi kampusnya karena setiap kampus dikelilingi oleh para keamanan yang bertangan besi. Disini, pihak (penguasa) kampus yang memiiliki kepentingan akan terbahak-bahak di ruangannya.

Apabila para rektor sadar dengan kenyataan ini, acara FRI 2016 tidak hanya dijadikan ajang berkongkow ria, melainkan sebagai upaya menghentikan segala bentuk intimidasi di dalam kampus. Hal ini mengingat terlalu tebal “buku catatan hitam” yang dihasilkan oleh perguruan tinggi. Yang paling kentara dalam ranah pengekangan kebebasan berekspresi. Maka tak heran, apabila dalam tuntutannya, mahasiswa dari GPN itu menuntut terwujudnya demoktratisasi kampus.

Satu hal lagi yang perlu diingat, acara FRI 2016 ini bukanlah acara kecil, sederhana, melainkan acara yang luar biasa “wah”-nya. Bagaimana tidak “wah”! Bayangkan saja, sampai mengundang Presiden RI, Joko Widodo. Saya sebagai mahasiswa tentu memaklumi undangan itu. Dalam hemat saya, Jokowi – panggilan Joko Widodo – adalah orang yang tepat dalam berbicara soal Revolusi Mental. Di samping dia sebagai presiden, dialah yang mem-booming-kan Revolusi Mental, sehingga Revolusi Mental yang diharapankannya sejalan dengan cita-cita bangsa.

Tak berhenti sampai disini. Selepas dari acara FRI 2016 ini, para rektor memiliki “pekerjaan rumah” untuk menyalurkan materi Revolusi Mental yang telah diperolehnya kepada para jajaran birokratnya, mulai dari karyawan, dosen, aparat keamanan, office boy­, hingga mahasiswanya. Khusus para aparat keamanannya, mereka perlu diberi pembelajaran khusus agar mereka menyadari bahwa mengatasi aksi demo akan lebih baik, anggun, seksi dan bersahaja, apabila menggunakan hati; tidak menggunakan “tangan besi”. Karena mengatasi aksi demo dengan “tangan besi” adalah prilaku orang-orang barbar.

Terakhir, harapan saya; semoga acara FRI 2016 ini membuat para rektor di seluruh perguruan tinggi di Indonesia semakin memahami arti/esensi Revolusi Mental. Revolusi Mental tak hanya dipahami sebagai jargon semata, melainkan sebagai gerakan kolektif yang mengubah kebiasaan tak baik menjadi kebiasaan baru yang dapat mendukung daya saing bangsa. Paling tidak, satu tahun pasca araca FRI 2016 ini, terlihat hasil penerapan konsep Revolusi Mental di kampus pada khususnya, di masyarakat pada umumnya. Tentunya – meminjam kata Bung Tofix Noerhidajat dalam akhir tulisannya – dengan resep obat ramuan Forum Rektor.[]

Kategori
Diskusi

Demokratisasi Kampus

Peran birokrasi kampus menentukan demokratis tidaknya tatanan keorganisasian di tataran mahasiswa dalam perguruan tinggi. Segala bentuk politik seyogyanya dikesampingkan agar tidak terjadi polemik. Jika tidak, benih-benih jiwa demokratis yang diharapkan lahir dari perguruan tinggi hanya menjadi isapan jempol. Lihatlah beberapa kejadian belakangan ini yang menimpa beberapa organisasi kemahasiswaan di beberapa perguruan tinggi. Kejadian ini, tentunya, menunjukkan bahwa hubungan antara mahasiswa yang berhimpun dalam sebuah organisasi kemahasiswaan dengan birokrasi kampus tidak “sehat”.

Saya mengelompokkan hubungan ini dalam dua bentuk permasalahan – yang boleh dibilang menciderai demokrasi di perguruan tinggi, yakni 1) pembatasan berekspresi, dan 2) pembatasan mimbar akademik. Pembatasan berekspresi dapat kita lihat pada kasus yang menimpa Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Lentera di Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW) Salatiga, LPM Aksara di Fakultas Ilmu Keislaman Universitas Trunojoyo Madura, dan Unit Kegiatan Pers Kampus Mahasiswa (UKPKM) Media Universitas Mataram. Sementara permasalahan pembatasan mimbar akademik dapat kita lihat pada kasus pelarangan nonton bareng dan diskusi film – Senyap, Samin versus Semen, Alkinemokiye, dsb – di beberapa perguruan tinggi, seperti di Universitas Sanata Dharma Yogyakarta, Universitas Airlangga, dan Universitas Brawijaya.

Terakhir yang belakangan ini masih membekas di benak kita, yakni pembubaran paksa oleh pihak kampus terhadap acara diskusi “Ngobrol Pintar (Ngopi)” dengan pembahasan fenomena Lesbian, Gay, Biseksual, Transgender (LGBT) yang diselenggarakan oleh LPM Gema Keadilan Fakultas Hukum Universitas Diponegoro.

Sikap profesionalitas

Kita perlu membangun sikap profesionalitas dalam menyikapi polemik yang terjadi antar mahasiswa atau organisasi kemahasiswaan dengan birokrasi kampus. Begitu pula ketika menyikapi polemik yang menimpa LPM, tanpa melihat siapa lawan atau kawan. Jika tidak, ya, kita akan terperangkap dalam kungkungan dilematis sesaat. Misalnya, kita berinisiatif membela LPM Lentera, dan menyayangkan pemberedelan majalah LPM tersebut (yakni Lentera) dengan dalih kebebasan berpendapat, kemudian mempertanyakan kualitas majalah tersebut. Dilematis sekali ketika kita menyayangkan pemberedelan majalah tersebut sembari mengatakan bahwa pemberedelan merupakan terobosan paling efektif untuk membuat informasi semakin tersebar. Sampai di sini kita terkesan turut membenarkan sikap pihak kampus.

Bukankah pemberedelan suatu perbuatan yang patut “dikutuk”? Dan, bagaimana sikap kita ketika konteksnya seperti yang dialami oleh UKPKM Media Universitas Mataram? Apakah kita akan bersikap sama dengan kasus yang menimpa LPM Lentera UKSW Salatiga? Tanpa melihat UKPKM Media sebagai kawan pun kita mengutuk prilaku intimidasi yang dilakukan oleh pihak kampus. Dalam kasus ini, pelaku dan korban sudah jelas; yang dikebiri pun sudah jelas, yakni kebebasan berekspresi, mimbar akademik, dan otonomi keilmuan. Di sinilah dan saatnya mempertegas keprofesionalan kita sebagai awak pers kampus dalam menyikapi sengketa pers kampus.

Begitu pula ketika menyikapi kasus pelarangan nonton bareng dan diskusi film. Sebagai rakyat jelata di dunia kampus, kita pun mengutuk prilaku pihak kampus yang sok otoriter, meskipun mereka beralasan bahwa pelarangan tersebut merupakan hak otonomi kampus.

Catatan: Otonomi kampus; sebuah alasan yang “menyesatkan”. Mengapa tidak “menyesatkan”, lha wong otonomi perguruan tinggi saja masih dipersoalkan. Ada kesalahan persepsi di kalangan masyarakat dan pimpinan perguruan tinggi. Misalnya terkait otonomi non-akademik seperti dana pendidikan. Masyarakat mengira implementasi otonomi perguruan tinggi mengakibatkan semakin besarnya dana pendidikan yang ditanggung mahasiswa. Adapun beberapa pimpinan perguruan tinggi menganggap otonomi perguruan tinggi sebagai kesempatan menutupi kebutuhan dana peningkatan mutu dengan menggalang dana dari mahasiswa (baca juga: Banyak Masalah Pelaksanaan Otonomi Pendidikan Dikaji Ulang). Itu masih menyangkut otonomi non-akademik, belum lagi menyangkut soal otonomi khusus di bidang akademik.

Terakhir, kasus berupa pembubaran paksa oleh pihak kampus terhadap acara diskusi “Ngobrol Pintar (Ngopi)” dengan pembahasan fenomena LGBT yang diselenggarakan oleh LPM Gema Keadilan Fakultas Hukum Universitas Diponegoro. Saya kira, kampus Universitas Diponegoro perlu “berkaca” kepada kampus Universitas Islam Negeri (UIN) Walisongo Semarang. Pihak kampus tersebut tidak menarik Jurnal Justicia yang diterbitkan oleh LPM Justicia Fakultas Syariah UIN Walisongo Semarang, yang di dalamnya juga membahas seputar tema yang sama dengan tema diskusi LPM Gema Keadilan. Justru terbitan jurnal tersebut mendapat sorotan dari media Islam macam Arrahmah.com.

Demikian setidaknya contoh kasus yang dapat saya paparkan. Selebihnya masih banyak kasus pembatasan berekspresi, mimbar akademik dan otonomi keilmuan yang terjadi di perguturuan tinggi di Indonesia, hanya saja belum naik ke permukaan.

Mempertegas tugas rektor

Dengan terjadinya polemik tersebut, di sini perlu dipertegas kembali tugas pimpinan kampus/rektor beserta jajaran birokrasi kampus. Apakah memang tugas mereka mengatur ruang gerak para mahasiswanya? Terkhusus pimpinan kampus/rektor, apakah memiliki hak otoritas membekukan organisasi-organisasi kemahasiswaan, termasuk memberedel produk LPM, yang tak lagi sejalan dengan “hawa nafsu”-nya atau dianggap membahayakan?

Saya pikir tidaklah demikian, meski kampus diibaratkan dengan pemerintahan. Tugas pimpinan kampus/rektor beserta jajaran birokrasi kampus, tak lain, melindungi kebebasan berekspresi, mimbar akademik, dan otonomi keilmuan. Di samping itu berkewajiban memberikan kebebasan dan melindungi mahasiswa dalam melakukan kajian akademis tanpa ada tudingan cara melakukan kajian akademis, nantinya, salah prosedural. Karena sejatinya, mahasiswa dituntut berpikir radikal dan berkarya.

Sebenarnya, ada tugas pimpinan kampus/rektor beserta jajaran birokrasi kampus yang lebih utama ketimbang ikut cawe-cawe urusan mahasiswa. Yaitu, memusatkan perhatian pada usaha mengembangkan perguruan tinggi yang dipimpinnya menjadi pusat pendidikan keilmuan par excellence demi kemajuan ilmu pengetahuan yang sesuai dengan kemajuan peradaban human dan perkembangan spirit ilmiah. Hal ini sebagaimana disampaikan oleh Daoed Joesoef dalam tulisannya: Misi Perguruan Tinggi Kita (Kompas, 18 Februari 2014). Alumnus Universitas Pluridisciplinaires Pantheon-Sorbonne ini tampak pesimis dengan perguruan tinggi kita. Menurutnya, pelaksanaan misi perguruan tinggi kita masih jauh panggang dari api. Hal ini terjadi karena para sivitas akademika mengabaikan begitu saja natur dari ilmu pengetahuan. Di sinilah perlu kiranya pimpinan kampus/rektor berserta jajarannya lebih mengedepankan peningkatan mutu-kualitas sivitas akademika ketimbang mencampuri proses belajar para mahasiswanya.

Kampus-kampus yang mengekang kebebasan berekspresi, mimbar akademik, dan otonomi keilmuan mahasiswa, sama halnya memberangus komunitas ilmiah yang telah dibangun oleh mahasiswa itu sendiri. []

Kategori
Diskusi

Merebut Ruang Belajar Kita

Inilah provokasi untuk membangkitkan kewarasan intelektual kita. Kalimat demi kalimat yang tertulis ini merupakan rangkaian gagasan agar kita yang waras tidak melulu mengalah kepada para fasis naif. Merenungi dua kasus pembubaran forum diskusi dalam tempo tahun 2015 ini. Terjadi di dua kota: Semarang dan Yogyakarta. Korbannya, sama-sama sekawanan pers mahasiswa (persma). Namun kepentingan gagasan ini ditulis bukan semata membela persma. Mengingat kejadian nahas tersebut bisa menimpa siapapun yang waras. Atasnama kewarasan intelektual, gagasan ini mendesak untuk ditulis, dibagi, dibaca, lalu diperjuangkan sewarasnya kita.

***

Laporan dari LPM Gema Keadilan FH Undip terpampang di laman Persma.org. Singkat cerita, sekawanan Gema Keadilan dilarang menyelenggarakan diskusi publik “LGBT dalam Sosial Masyarakat Indonesia” pada 12 November 2015. Alasan naif dituturkan birokrat kampus bahwa wacana dalam diskusi tersebut sangat sensitif. Si Rektor pun mendukung pelarangan demi menyelamatkan citra Kampus Undip menuju PTNBH. Uh, demi jualan nama kampus, kepentingan belajar sekawanan mahasiswa jadi korban! Pada sore hari kelam itu pula, Polrestabes Semarang menyegel ruang diskusi sebagai antisipasi terhadap kedatangan ormas. Yeah, makin kompak aja nih: rektor, polisi, dan ormas. Ada apa ya?

Memutar mundur waktu menuju beberapa bulan sebelumnya, kejadian nahas itu pun menimpa sekawanan LPM Natas dari Universitas Sanata Dharma (USD) Yogyakarta. Diberitakan oleh Ekspresionline.com, pada 25 Februari 2015, sekawanan Natas gagal memutar Film Senyap. Saat itu, pihak intelijen Polsek Depok Barat telah menyusup dalam ruang diskusi. Intelijen pun berujar agar Natas membatalkan pemutaran film dikarenakan akan berdatangan ormas menyerbu. Jika Natas ngeyel, polisi tidak mau bertanggungjawab mengamankan situasi. Nah lho, polisi dan ormas benar-benar kompak ya? Birokrat akademis USD pun tak digdaya menunjukkan kuasa intelektualnya dalam kampus. Natas pun memilih bubar.

Dua kasus tersebut merupakan contoh dari sekian banyak kasus represi atas forum diskusi. Itu baru contoh dari dalam kampus yang birokratnya tidak bertaji intelektual. Di luar kampus, masih banyak kelompok studi yang kena celaka. Apakah para rektor, polisi, dan ormas sedang gandrung akan zaman kegelapan?

Alangkah terpujinya bagi mereka yang bergiat membuka forum-forum diskusi lintas basis intelektual tanpa membela fanatisme ideologi apapun. Nalar kritis dan kepekaan rasa adalah penggairah mereka dalam memperjuangkan misi pencerdasan nan solutif ini. Itulah sekawanan manusia waras di tengah absurd-nya gejolak kemajemukan masyarakat kita.

Siapapun manusia waras dipersilahkan hadir meramaikan forum-forum diskusi lintas kalangan, asal saja tidak kerasukan setan sembari berkoar mengatasnamakan Tuhan atau bela negara. Apalagi jika sedang membahas kasus kemanusiaan, betapa jahanamnya jikalau para setan fasis berhasil mendobrak pintu dan merangsek dalam ruang diskusi. Adalah kesialan bagi kita yang waras apabila mengalami hal demikian. Bukannya pencerahan yang datang, malahan segerombolan boneka kerasukan yang kacau-meracau datang mengintimidasi kita.

Setan memang tidak pernah senang melihat manusia waras berkumpul untuk saling membuka pikir dan hati dalam ruang diskusi. Bagi mereka yang kerasukan, forum diskusi cerdas-waras adalah metode berbahaya yang akan menjungkalkan kangkangan stigma di atas mindset masyarakat majemuk. Jika masyarakat menjadi cerdas-waras karena sering diskusi, artinya ruang kuasa para setan fasis menjadi kian sempit. Keseragaman warna berwacana pun kian memudar. Monopoli atas rekayasa tragedi bisa saja terungkap kebenarannya. Para fasis menjadi gelap mata. Pembukaan ruang-ruang diskusi bagi kasus kemanusiaan kerap membikin sibuk para pendakwah stigma untuk membubarkannya. Itulah tugas setan!

Tindakan-tindakan lancang pembubaran forum diskusi menjadi andalan merepresi tumbuh-kembangnya kebebasan berwacana. Setumpuk pemberitaan media mencatat ada wacana-wacana tertentu dalam forum diskusi yang menjadi target represi. Ciri khasnya, wacana-wacana tersebut membawa problem pihak-pihak tertindas. Berikut barisan wacana problematik yang kerap direpresi: G30S dan Tragedi ‘65, LGBT (lesbian, gay, biseksual, transgender), konflik agraria, kebebasan berkeyakinan aliran minoritas, dan anekaragam wacana penindasan lainnya. Walau ruang diskusinya kerap bubar, efek baiknya ialah menebarnya wacana-wacana tersebut kepada otak-otak manusia yang penasaran. Entah hal tersebut disadari atau tidak oleh geng-geng fasis di penjuru negeri ini.

Begitu perihatin ketika mendapat kabar adanya forum diskusi yang dibubarkan. Tragedi pembubaran atau represi bentuk lain terhadap agenda diskusi bukanlah keisengan belaka. Ada sebab sensitif bagi golongan tertentu. Golongan inilah yang kerap mendaku dirinya selalu paling benar. Saking merasa benarnya, maka tidak perlu lagi adanya dikusi. Forum diskusi berpotensi menyesatkan kebenaran tunggal versi pendakwah stigma nan fasistik. Pembubaran demi pembubaran pun tak memuaskan nafsu kaum yang kesetanan ini. Jika belum puas nafsunya, para pegiat forum diskusi tak akan lepas diburu ancaman yang mengarah pada pencederaan fisik maupun psikis.

Kita yang waras tidak boleh membiarkan kelakuan tidak senonoh mereka. Forum diskusi bukanlah ajang kongkow basa-basi. Inilah ruang belajar yang tidak sesempit ruang kuliah para pembalap IPK. Dari ruang inilah kita bisa saling menjalin keilmuan, mencerahkan nalar, memadu rasa, dan membangun kepedulian kepada yang terpinggirkan. Maka terkutuklah para pembubar ruang belajar-dialogis tersebut. Aksi membubarkan forum diskusi berarti menghalangi niat baik kaum waras-intelektual belajar menganalisa persoalan sosial-kemanusiaan demi meramu solusi jitu sebelum nantinya terjun ke masyarakat. Apalagi analisa-analisa advokatif menjadi penggugah kewarasan kita dalam ruang belajar ini.

Sekali lagi, terpujilah bagi para pegiat forum diskusi. Mereka berjerih payah membuka ruang belajar kepada barisan intelektual-waras yang masih berkepedulian. Namun bila ruang-ruang belajar ini terus-menerus diberangus, akan adakah generasi cerdas-waras bangsa ini di masa depan? Barisan wacana sosial-budaya pun akan menjadi milik para tiran. Ilmu yang membebaskan akan segera mati. Bangsa ini akan menjadi bangsa boneka, bukan bhinneka!

Ini gawat. Setan-setan fasis sedang memainkan penjajahan nalar. Jika kita masuk dalam daftar calon korban, menyikapi hal ini bukan dengan cara kebanyakan update status di sosmed. Sering mengutuk para fasis via status sosmed hanya semakin menjadikan kita sebagai alay yang latah perlawanan. Itu percuma, kaum fasis bukan tandingan kaum alay!

Konflik Kepentingan

Kenapa ruang diskusi direpresi? Benarkah wacana di dalamnya begitu sensitif?

Tidak ada ruang netral. Ruang pun tidak lepas dari mainan kaum intelektual. Diskusi apapun dengan muatan wacana di dalamnya mengarahkan aktor-aktor di forum untuk megapresiasi nilai-nilai tertentu. Analogi gampangnya, kita mau kuliah aja ada kurikulumnya. Itulah yang dinyatakan barisan teoritikus mazhab kritis asal Frankfurt: kaum intelektual tidak netral. Kita yang waras punya keberpihakan. Keberpihakan yang waras ialah memihak kaum tertindas menuju pembebasan.

Nyatanya tidak semua manusia waras-intelektual. Ada geng-geng yang mendaku sensitif atas pembahasan wacana tertentu. Nah, mengatasnamakan sensitivitas siapakah itu? Ada penindasan maka ada kekuasaan. Bila wacana pengadvokasian pihak tertindas begitu sensitif hingga bikin murka, sudah pasti si pemurka itulah yang punya kuasa. Geng-geng fasis penyerbu ruang diskusi ialah barisan boneka milik penguasa tiran.

Di situlah konflik sengaja diciptakan. Kita yang waras intelektual dan mereka yang tertindas diposisikan sebagai pemantik konflik itu. Padahal ruang diskusi kita justru mengarah pada penyelesaian (rekonsiliasi) dari segala problem sosial-kemanusiaan. Sementara mereka yang fasis terus mengkontra wacana mengatasnamakan Tuhan atau bela negara.

Mau tidak mau, konflik memang mesti terjadi. Walau dalam posisi ditindas apapun, kita mesti siap berkonflik. Sosiologi mengajarkan kita bahwa perubahan sosial-budaya bisa dicapai melalui konflik dan konsensus (kesepakatan). Jika kita yang waras berkehendak mengubah masyarakat menjadi cerdas-waras, konflik harus ikut kita mainkan. Tentunya memakai dialektika nalar sehat.

Ketika geng-geng fasis mendobrak bubar ruang diskusi, marilah kita buka seluas-luasnnya di manapun. Manfaatkan ruang literasi dan konsolidasi lintas komunitas intelektual hingga rakyat tertindas. Sebarkanlah pamflet-pamflet propaganda dan dudukilah kampus-kampus yang birokratnya waras-intelektual. Bukankah di era sebelum merdeka, barisan intelektual bangsa ini juga begitu? Kenapa kita tidak meneladaninya? Ayo cetak sejarah baru, bung dan nona!

Begitulah konflik kepentingan. Kita mau menang atau terus-terusan mengalah, toh anak-cucu kita yang akan mengapresiasi kita sebagai: pahlawan atau pecundang. Apapun konflik yang kita mainkan, kepentingan kita yang waras tetap membebaskan orang-orang tertindas.

Gugat Otoritas Pendidikan
Kita hidup bernegara kan ya? Negara mengakomodir segala otoritas di bawahnya, termasuk urusan pendidikan. Tidak perlu disebutkan barisan pasal hukum yang menjamin kebebasan, HAM, dan pendidikan. Negara ini punya seabrek pasal begituan yang urusannya dibagi-bagi ke beberapa otoritas di bawahnya. Mari kita yang waras bicara praksisnya saja. Nyatanya teks-teks konstitusional yang mengklaim perlindungan kepada rakyat itu belum begitu sakti menghalau para fasis.

Pemimipin-pemimpin otoritas sedang terlelap? Atau gandrung romantisme zaman kegelapan?

Kampus-kampus sudah bolak-balik diserbu fasis. Beritanya pun mengemuka di media massa. Urusan pendidikan tinggi ada menterinya tapi entah apa manifestonya. Ini nama Kemenristekdikti itu: Prof. H. Mohamad Nasir, Ph. D., Ak. Apapun tetek bengek gelar akademisnya, panggil sewajarnya saja Pak Nasir. Tentunya kita yang waras, menghormati otoritas dari kiprahnya bukan dari seabrek gelar itu.

Semoga Pak Nasir pernah membaca pembukaan UUD 1945. Ada manifestasi mulia berkalimat “mencerdaskan kehidupan bangsa”. Lantas ketika fasis-fasis mengacau di kampus, sepaktkah Pak Nasir? Apakah otoritasnya akan mengutuk aksi kesetanan itu?

Ketika kaum intelektual waras menggandeng kaum tertindas berdiskusi-belajar bersama lalu segerombolan fasis berdatangan menghajar, otoritas pendidikan cenderung memilih duduk nyaman. Apa kita mesti mengganti Pak Nasir dengan Arian (vokalis band Seringai) sebagai Menristekdikti?

Arian, si vokalis grup musik cadas kerap menyuarakan manifesto anti fasis pada momen-momen konser Seringai. Banyak penggemar cadas mengamini propagandanya. Malah lebih sering Arian dibanding Pak Nasir yang lantang bersuara untuk melawan bahaya fasisme. Mungkinkah posisi Menristekdikti kena reshuffle? Ini bisa jadi usulan waras kepada Presiden yang ngakunya juga metalhead. Itu pun kalau Arian mau jadi menteri, kalau tidak?

Otoritas pendidikan mestinya jadi teladan untuk menyetop aksi-aksi represi ruang diskusi. Tempo dulu, seorang teladan pendidikan bangsa: Ki Hadjar Dewantara, pernah menuliskan gagasan untuk melawan represi dunia pendidikan. Ada tulisan bertempo Agustus 1933, judulnya demikian “Tabiat Pengrusak Lahir dan Pengrusak Batin. Vandalisme dan Terrorisme”. Ki Hadjar menggagas bahwa aksi-aksi beringas yang mencederai hak orang lain identik sebagai terorisme batin. Para pelakunya ialah orang yang merasa benar sendiri dan sifat demikian hanya dimiliki anak-anak berkisar usia 4-8 tahun. Berarti para fasis penyerang forum diskusi begitu kekanak-kanakan. Kita yang waras harus berkonfik melawan anak-anak?

Ki Hadjar bernasihat bahwa kita yang terdidik semestinya mampu menyingkirkan sifat perusak itu lewat jalan pendidikan. Lebih lanjutnya, bisa dibaca di buku kumpulan esai “Bagian Pendidikan” terbitan Majelis Luhur Taman Siswa. Apakah Pak Nasir tertarik membacanya?

Mendiamkan otoritas pendidikan yang abai akan represivitas sama saja menggali kubur kewarasan intelektual kita sendiri. Marilah kita yang waras mendesak Pak Menteri lebih dulu. Mungkin dia pun diam-diam sedang mengamati kita. Bisa saja Pak Menteri sedang menunggu anak bangsa terdidik bertumpahdarah ria, hingga ia mau turun berjuang bersama kita.

Lagipula kita punya hak sah untuk menggugat-mempertanyakan keberpihakan Kemenristekdikti. Di posisi siapakah otoritas itu berdiri? Kita punya tata cara waras, undanglah dia ke kampus atau kita gedor berkali-kali pintu kementerian dengan gelegar suara kritis pinggiran kita. Biar mata otoritas kian melek, lemparkan setumpukan literasi kritis ke wajahnya, maksudnya: ayo kita nulis!

Itulah cara menggugat kita. Mau menggugat atau kita angkat saja Arian sebagai menteri! Semoga Ki Hadjar Dewantara merestui.

Jalan Pembebasan
Forum-forum diskusi kerap menghadirkan permasalahan sosial-kemanusiaan. Selain sebagai ruang pemahaman, forum diskusi mestinya tidak netral begitu saja. Jika sekawanan terdidik mengundang kaum yang ditindas untuk berbagi persepsi di dalam forum, tentunya itu bukan sekedar forum narsisnya moderator, berbagi kacang dan kopi, atau numpang ngerokok. Di ruang inilah orang-orang waras mendidik dirinya melalui dialog untuk mengaksikan misi pembebasan. Katanya Paulo Freire, pemikir pendidikan asal Amerika Latin, manusia yang saling berdialog akan memanusiakan diri sendiri.

Pemebebasan bermaksud melepaskan korban penindasan dari belenggu tiran. Pendidikan yang memanusiakan mestinya begitu. Kita yang waras, mengakses pendidikan bukan untuk lifestyle belaka. Jika pendidikan adalah gengsi gaya hidup, kapan bangsa ini cerdas? Forum diskusi sebagai ruang belajar adalah jalan ideal pembebasan. Mempertemukan korban penindasan dengan intelektual-waras secara dialogis adalah ajang belajar nan saling mencintai. Itu katanya Mbah Freire!

Revolusi memang gak harus bertumpah-tumpah darah. Dimulai dari cinta dan dialog, kita yang waras bisa mengubah dunia menjadi cerah. Dialog tercipta atas motif cinta akan pembebasan kemanusiaan. Belenggu orang-orang tertindas bisa disingkirkan jika kita duduk satu ruang bersama, membangkitkan kesadaran mereka. Freire memikirkan demikian dalam karya klasiknya “Pedagogy of The Oppressed”. Tidak perlu bingung, karya tersebut sudah diterjemahkan ke banyak bahasa lokal bangsa, misalnya Bahasa Indonesia. Mari kita pelajari pemikirannya lalu berjuang sewarasnya!

Bayangkan saja, berapa kali forum diskusi harus kita giatkan mengingat bangsa ini multiproblema dari kelas elit hingga akar rumput? Wacana-wacana diskusi semacam LGBT dan Korban 65 saja kerap direpresi. Apapun represinya, dialog harus terus jalan. Ruang-ruang diskusi harus tetap terus terbuka walaupun setan-setan fasis bergentayangan. Bila dibubarkan, jangan kapok! Masih banyak orang waras di negeri ini.

Saatnya menggandeng solidaritas. Bila memang ruang-ruang tatap muka kerap direpresi, masih ada ruang lain yang memungkinkan menjalin gagasan dan solidaritas: literasi. Zaman sudah begitu digital yang harusnya memudahkan timbal-balik karya literasi advokatif. Masalahnya, sekawanan yang mengaku pegiat literasi garda depan apakah masih peka otak dan rasa untuk menulis? Duh, kritik kepada sekawanan persma nih!

Siapapun kita yang masih merasa waras ini, entah ngikut persma, organ ekstrakampus, dan barisan kelompok studi lainnya, bukan waktunya jadi aktivis narsis, pemalas, sekaligus alay! Ruang diskusi-belajar kita sebagai jalan pembebasan kaum tertindas sudah dirusak geng-geng fasis.

Apa masih mau keranjingan update status sosmed? Apa masih cukup penting pasang foto profil mengenakan seragam organisasi? Apa masih etis kita ngafe sembari latah bersuara keras ngomongin organisasi supaya pengunjung kafe lain memperhatikan? Apa waras bila keseringan mengupload foto gaya mengacungkan jari tengah? Betapa jancuknya kita kalau masih begitu. Itu sih barisan penonton music show di stasiun televisi juga bisa.

Ruang belajar hampir direbut fasis sepenuhnya. Jalan pembebasan hampir diblokir. Kaum tertindas semakin miris meratap. Kita yang waras harus membebaskannya. Ingat, kaum alay bukan tandingan kaum fasis! Mari bung dan nona rebut kembali!

Kategori
Agenda

Undangan Diskusi “Menguak Tabir di Balik Pembredelan Majalah Lentera”

Kebebasan menyampaikan informasi kembali berhadapan dengan tindak represif. 18 Oktober 2015 lalu majalah Lentera edisi 3 Tahun 2015 berjudul “Salatiga Kota Merah” ditarik dan dilarang beredar. Pihak kampus, polisi, TNI, dan bahkan Wali Kota Salatiga juga ikut andil dalam pembredelan majalah yang dibuat oleh Lembaga Pers Mahasiswa Lentera (LPM Lentera), Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Komunikasi, Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW) Salatiga itu.

Forum Alumni Aktivis Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia (FAA PPMI) dan Aliansi Jurnalis Independen Indonesia (AJI Indonesia), mengundang rekan-rekan dalam diskusi publik “Menguak Tabir di Balik Pembredelan Majalah Lentera”.

 

Hari/Tanggal: Minggu, 25 Oktober 2015

Waktu: Pukul 11.00 – 14.00 WIB

Tempat: D’ Resto Cafe, Pasar Festival, Jl. H.R Rasuna Said, Kuningan, Jakarta Selatan.

 

Pembicara:
1. Pemimpin Redaksi Lentera UKSW, Bima Satria Putra
2. Komisioner Komnas HAM, Muhammad Nur Khoiron
3. Ketua AJI Indonesia, Suwardjono
4. Ketua Presidium FAA PPMI, Agung Sedayu
5. LBH Pers, Asep Komarudin
6. Alumni UKSW
7. Mabes Polri

Moderator: Kholidah Tamami (Pusat Riset Timteng UI)

Informasi dan konfirmasi silahkan hubungi:
081578885565 (Ecka Pramita)