Kategori
Agenda Berita

Mukernas PPMI 2017 di Bali

Raden Mas Djokomono Tirto Adhi Soerjo (T.A.S) adalah seorang tokoh pers dan tokoh kebangkitan nasional Indonesia. Tirto juga dikenal sebagai perintis persuratkabaran dan kewartawanan nasional Indonesia. Bahkan, Tirto menjadi orang pertama di Indonesia yang menggunakan surat kabar sebagai alat propaganda dan pembentuk pendapat umum. Menjadi orang pertama yang menggunakan pers sebagai senjata pembela keadilan dan alat perjuangan inilah yang akhirnya membuatnya mendapat gelar Bapak Pers Nasional.

Berkaca dari perjuangan tersebut, semua lapisan yang bergerak pada dunia pers seharusnya sadar, bahwasannya mereka terjun dalam sebuah pekerjaan menjunjung prinsip kebenaran ini. Ini pun menjadi sebuah “peluru-peluru” yang mampu membawa perubahan. Peluru-peluru tersebut berbahan sebuah wacana, fakta, inspirasi, kritik, yang mereka suguhkan dalam sebuah tulisan jurnalistik.

Peran pers saat ini pun digunakan sebagai alat propaganda untuk merubah sudut pandang pembacanya. Pembaca atau penikmat media dapat diarahkan kemanapun untuk melihat sebuah objek atau peristiwa. Dari sinilah, dapat dilihat bagaimana media sebenarnya berperan dalam menggerakan kemudi perubahan.

Pers saat ini tentu tidaklah seberat pekerja pers pada zaman pra-kemerdekaan. Pers saat ini lebih mudah (secara kerja jurnalistik) karena kran demokrasi dibuka selebar-lebarnya. Pada masa reformasi ini, dengan keluarnya UU no.40 Thn 1999 tentang pers, maka pers nasional melaksanakan peranan sebagai berikut:

1. Memenuhi hak masyarakat untuk mengetahui dan mendapatkan informasi
2. Menegakkan nilai-nilai dasar demokrasi, mendorong terwujudnya suatu supremasi hukum dan HAM, serta menghormati kebhinekaan.
3. Mengembangkan pendapat umum berdasarkan informasi yang tepat, akurat, dan benar.
4. Melakukan pengawasan, kritik, koreksi, dan saran terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan umum.
5. Memperjuangkan kebenaran dan keadilan.

Secara umum, pers harus mampu memeperjuangkan objektivitas, menjadi alat pendidikan, alat penyalur aspirasi, sebagai lembaga pengawasan dan juga sebagai upaya untuk penggalangan opini umum. Dengan demikian, pers dapat berfungsi sebagai alat perjuangan bangsa.

Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia (PPMI) yang berdiri sejak tanggal 15 Oktober 1992 di Malang, Jawa Timur menjadi wadah persma yang ada di Indonesia. Semenjak tahun 1992 sampai 2016, tiap-tiap kota bergiliran menjadi tempat/tuan rumah acara PPMI. Yogyakarta menjadi tempat diselenggarakannya Kongres XII PPMI menghasilkan Sekretaris Jendral Nasional baru sekaligus memberikan rekomendasi PPMI Bali sebagai tuan rumah Musyawarah Kerja Nasional (MUKERNAS) PPMI.

Sebelumnya, Bali juga pernah menjadi tuan rumah Dies Natalis XX PPMI Nasional pada tahun 2013 lalu. Suatu kebanggaan PPMI Bali kembali dapat menjadi tempat pembahasan PPMI untuk menentukan langkah-langkah strategis PPMI selanjutnya. Tempat berkumpulnya seluruh Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) dari seluruh Indonesia guna membahas isu bersama baik isu daerah ke pusat maupun pusat ke daerah dengan mengambil peran bersama sebagai bentuk komitmen.

Dalam Mukernas PPMI ke XI yang diselenggarakan di Kampus Institut Hindu Dharma Negeri (IHDN) Denpasar, Jalan Ratna nomor 51, Denpasar, Bali akan diawali dengan bincang-bincang bersama dengan mengambil pokok pembahasan mengenai masa depan Pers Mahasiswa (Persma) dan media umum dalam menghadapi dunia global. Acara ini pun dikemas dengan model talk show agar terkesan lebih santai.

Adapun para pembicara yang diundang, diantaranya dari pihak Kementrian Komunikasi dan Informasi RI, Dewan Pers dan salah satu komunitas yang menggunakan media sebagai alat perjuangan di Bali. Para pembicara ini akan diarahkan oleh moderator untuk membahas persoalan yang kerap dihadapi oleh para awak media. Nantinya, para pembicara diharapkan mampu memberikan solusi konkrit untuk dunia pers ke depan, khususnya terkait masa depan persma.

Unduh undangan dan proposal kegiatan Mukernas XI PPMI 2017 lewat tautan berikut: bit.ly/MukernasPPMI2017

Salam pers mahasiswa!

Salam juang!

Kategori
Diskusi

Bagaimana Dengan Judicial Review UU Pers?

Kebebasan pers, berekspresi, dan akademik, jadi tema tahunan dalam berbagai forum diskusi pers mahasiswa aras nasional. Pada kongres Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia (PPMI) Desember tahun lalu di Yogyakarta, hal ini juga terjadi, sama seperti sebelumnya. Membosankan, tapi penting dan mendesak. Membosankan karena sampai kapan hal ini terus didiskusikan, sementara perilaku pejabat kampus masih saja represif, belasan tahun setelah reformasi.

Saya tidak percaya bahwa reformasi membawa perubahan signifikan pada perkembangan pers mahasiswa di Indonesia. Kenyataan bahwa kita merasa lebih aman menulis dan berdemonstrasi tidak jadi tolok ukur tunggal untuk itu. Reformasi terjadi pada tingkatan parlementer dan tersentralisir. Hanya berkaitan dengan regulasi-regulasi dan aktor pemerintahan, serta pada wilayah-wilayah yang kekuatan sipilnya kuat untuk menjadi oposisi terhadap pemerintahan. Karena itu, sepertinya tidak berpengaruh banyak pada perguruan tinggi, terutama di daerah-daerah.

Berdasarkan riset PPMI (2016), ada banyak kasus yang menimpa pers mahasiswa. Di antaranya adalah pemberedelan (11 kasus), pembekuan (2 kasus), dan intimidasi (33 kasus). Sedikit berbeda dengan pers mainstream, pelaku kekerasan terhadap pers mahasiswa adalah birokrasi kampus (11,31%), organisasi mahasiswa (6,17%) dan dewan mahasiswa (3,9%).

Terbentuknya Dewan Pers untuk menjaga kebebasan pers, tidak berpengaruh banyak pada pers mahasiswa. Ada dua indikator yang menjadi acuan bagi Dewan Pers untuk bergerak, yaitu terverifikasi dan bermuatan positif. Terverifikasi adalah berbadan hukum dan memenuhi beberapa syarat untuk dianggap sebagai bagian dari pers nasional. Sementara bermuatan positif antara lain tidak menyebarkan hoax, diskriminasi SARA, dan mematuhi kode etik jurnalistik.

Indikator tersebut kemudian dibagi menjadi empat kuadran. Kuadran pertama adalah yang memenuhi kedua indikator, kuadran kedua (muatan positif) dan keempat (terverifikasi) yang hanya memenuhi salah satu indikator, sementara kuadran ketiga adalah yang tidak memenuhi keduanya. Dewan Pers sudah bertekad untuk memprioritaskan kuadran pertama. Dalam hal ini, pers mahasiswa dan media komunitas, masuk ke dalam kuadran kedua dan karenanya tidak menjadi prioritas.

Apakah hal ini bermasalah? Lumayan. Kita dianggap tidak dipayungi oleh UU 40/1999 tentang Pers dan tidak secara langsung dan tidak menjadi prioritas bagi Dewan Pers. Seperti jelas dinyatakan pada pasal 4 ayat 1, “terhadap pers nasional tidak dikenakan penyensoran, pemberedelan atau pelarangan penyiaran”. Masuk menjadi bagian dari pers nasional berarti mendapat jaminan dari pasal tersebut.

UU Pers mengatur bahwa penyelesaian sengketa pers dapat dilakukan dengan hak jawab, hak koreksi dan permintaan maaf. Birokrasi kampus dan aktor lain, dalam kebanyakan kasus yang menimpa pers mahasiswa tidak melakukan langkah-langkah ini. Karena merasa pers mahasiswa berada di bawah komandonya, pimpinan kampus sering berbuat sewenang-wenang bila hasil liputan tak sesuai dengan keinginan mereka. Kesewenangan itu misalnya tampak dari pimpinan kampus yang acapkali melakukan praktik penyensoran kepada pers mahasiswanya. Hasil reportase atau artikel dari pers mahasiswa tersebut harus dibaca dan periksa terlebih dahulu oleh dekanat atau rektorat kampus sebelum terbit. Praktik tersebut dilakukan agar pemberitaan sesuai dengan visi perguruan tinggi tersebut.

Dalam kasus yang lain, pers mahasiswa sangat rentan terhadap penyunatan anggaran. Jika mengeluarkan berita-berita yang sarat muatan kritik, gelontoran dana dikurangi, ditunda bahkan dihentikan. Walau beberapa pers mahasiswa di Indonesia nekat angkat kaki dari kampus, terbukti mereka kesulitan bertahan hidup. Begitu pula dengan sekretariat atau ruangan. Sebagai mahasiswa, anggota pers mahasiswa memang sudah seharusnya mengutamakan kuliahnya ketimbang kepentingan organisasi. Hal-hal seperti saya jelaskan di atas sangat menguras tenaga anggota pers mahasiswa. Pers mahasiswa karenanya sangat bergantung pada kampus, namun tidak sebaliknya.

Salah satu argumentasi yang keluar dari birokrasi kampus adalah karena pers mahasiswa bukan bagian dari pers nasional dan karena di bawah pembinaan kampus. Ganjalan ini bersumber dari pasal 9 UU Pers yang berbunyi, “setiap perusahaan pers harus berbentuk badan hukum Indonesia.” Artinya, setiap aktivitas jurnalistik yang tidak berbadan hukum bukanlah pers, termasuk dalam hal ini adalah pers mahasiswa. Selain berbadan hukum, perusahaan pers yang diakui pemerintah harus memiliki modal minimal Rp 50 juta serta membiayai karyawannya. Persyaratan-persyaratan di ataslah yang tidak dapat dipenuhi oleh pers mahasiswa. Jangankan membiayai karyawan, anggota pers mahasiswa saja sering kali harus merogoh kantongnya untuk membiayai penerbitan majalah.

Ada banyak pilihan untuk mengatasi hal ini. Salah satunya dengan mengusahakan badan hukum bagi pers mahasiswa, layaknya pers mainstream. Pers mahasiswa juga dapat memilih keluar dari kampus. Atau tetap di dalam kampus, namun berani mengambil posisi yang lebih berarti di hadapan pejabat kampus. Sehingga jika terjadi tindakan sewenang-wenang, pers mahasiswa melakukan perlawanan. Terutama dengan cara-cara seperti diatur dalam UU Pers, melalui hak jawab, hak koreksi, ataupun permintaan maaf. Tidak serta-merta tunduk terhadap tekanan pejabat kampus.

Pilihan-pilihan tersebut punya beberapa kekurangan dan kelebihan. Namun ada salah satu pilihan terakhir terhadap permasalahan ini. Ia muncul saat kongres PPMI yang lalu: judicial review terhadap UU Pers. Walau mendapatkan apresiasi positif, masih belum menjadi pembahasan yang serius. Jika ditelisik, pilihan ini menghasilkan beberapa pertanyaan. Apa yang hendak diubah dari UU Pers? Apa jaminan bahwa pers mahasiswa lebih baik jika diatur dalam UU Pers dan dipayungi Dewan Pers?

Setelah dipantik, pertanyaan-pertanyaan tersebut butuh diskusi yang lebih mendalam. Belum lagi soal perbandingan dari beberapa pilihan tersebut, manakah yang terbaik dalam menjaga kebebasan pers mahasiswa? Apapun pilihannya, saya hanya merenungi, “perubahan sejarah selalu didorong oleh orang-orang yang memperjuangkannya,” tulis Ariel Heryanto.

 

Kategori
Berita

Kronologi Peristiwa Penarikan Koran Kampus Lintas

Pasca pemberitaan Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Lintas Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Ambon pada edisi XXII pada Rabu, 14 Desember 2016 yang mengangkat tema dugaan pencabulan oleh seorang dosen kepada mahasiswinya itu mendapat perhatian serius pihak birokrat. Birokrat menilai pemberitaan Lintas telah mencemarkan nama baik kampus di masyarakat. Rektor melalui Warek III, Abdullah Latuapo dan Dekan Fakultas Ushuluddin dan Dakwah (Uswah) Achmad Mujadid Naya, tak tunggu lama, hari itu juga (Rabu, 14 Desember 2016) pukul, 08.15, menarik paksa seluruh koran yang pada saat itu telah beredar. Aksi penyitaan itu ketika sejumlah  kru Lintas tengah menjajakan korannya ke civitas akademika IAIN Ambon. Tercatat sekitar 100 eksemplar ditarik oleh pihak birokrat.

Pada hari itu juga rektor memanggil Ketua Umum Lintas, Zulkarnain dan Pemimpin Redaksi Lintas Azhar Gusti Tehuayo untuk menemuinya. Mereka pun menghadiri panggilan, namun rektor saat itu sedang menghadiri kuliah tamu IAIN Ambon yang diisi oleh Kapolda Maluku, Brigjen Ilham Salahudin, eks Rektor STAIN Ambon periode 2003-2006, Prof. Muhammad Attamimi mereka. Akhirnya pertemuan dilangsungkan dengan Warek III.

Pertemuan itu pun berlangsung sekitar pukul 09.00 WIT. Dalam pertemuan tersebut, ia (Warek III) menginstruksikan kepada pengelola Lintas supaya segera menarik setiap koran yang telah diedarkan. Dia juga menyarankan, ke depan pihak Lintas hanya boleh memberitakan hal-hal yang bersifat positif saja, untuk konten yang negatif perlu dikoordinasikan dengan pihak birokrat.

Pada Kamis, 15 Desember 2016, rektor kembali memanggil pengelola Lintas sekitar pukul,10.15. Tiga perwakilan Lintas, yakni Ketua Umum, Zulkarnain dan dua kru redaksi : Ihsan Reliubun dan Irwan Tehuayo menyambangi ruang kerja rektor untuk menemuinya pukul, 10.30. Pertemuan selama 38 menit itu berlangsung tertutup antara Lintas dan rektor beserta sejumlah perangkatnya, di antaranya, Warek III, Abdullah Latuapo, Dekan Fakultas Ushuluddin dan Dakwah (Uswah) Achmad Mujadid Naya, Wadek I Uswah, Husein Assagaf, dan  Ketua Lembaga Penjamin Mutu (LPM) Abidin Wakano. Dalam pertemuan tersebut, pihak birokrat mengaku kesal dengan semua pemberitaan Lintas yang memberitakan kasus itu di koran dan dipublikasikan secara luas di media sosial. Pada kesempatan itu, rektor dan para perangkatnya sempat menginstruksikan juga agar pihak Lintas menghapus konten berita ihwal kasus dugaan pencabulan itu dari media online Lintas.

Pihak birokrat menyepakati agar semua pemberitaan Lintas harus melewati jalur konfirmasi ke pihaknya, baru akan diberitakan. Tak hanya itu, birokrat akan mengambil tindakan tegas  berupa pencabutan SK Lintas, ketika Lintas masih tetap memberitakan masalah-masalah serupa dan tanpa melalui koordinasi dengan pihaknya.

Sikap Redaksi Lintas

Lintas tidak punya kepentingan apapun dalam memberitakan dugaan pencabulan oleh dosen IAIN Ambon. Tidak untuk menyudutkan sebelah pihak. Motivasi Lintas adalah dengan pemberitaan itu, birokrasi bisa membuka mata melihat hal yang berbau kekerasan seksual agar tak didiamkan oleh birokrasi. Lintas hanya menginginkan sedikit keberpihakan institusi Islam ini kepada mahasiswanya yang kini menjadi korban.

Lintas cuma mau membuka tindakan-tindakan tak etis yang selama ini terselubung di dalam tubuh birokrasi. Tentu mahasiswa dan dosen pun sadar, jika Lintas bekerja tidak benar, mungkin saja kita semua tidak pernah mengenal Lintas sebagai corong informasi yang mengakomodasi kepentingan mahasiswa untuk menyentuh birokrasi, serta sebagai media pengontrol regulasi akademik di mana Lintas berafiliasi untuk selalu bekerja sebagaimana yang telah diatur undang-undang.  Tentu dalam mengedepankan standar kerja jurnalisme yang baik.

Jika pandangan para dosen dan pegawai menganggap pemberitaan Lintas edisi ke-22 itu mencoreng nama baik lembaga,  sebuah pertanyaan patut utarakan : apakah lembaga ini sendiri pernah berpikir tentang nasib dan keselamatan  korban? Bagaimana jika korban itu frustasi dan mengambil jalan yang sulit diduga? Beragam tindakan  pun muncul sebagai respons atas sebuah peristiwa. Selain dari beberapa ulasan soal motivasi Lintas mengangkat berita itu, yang paling mendasari ialah dengan pemberitaan itu, bisa memberi tamparan keras agar atak ada lagi daftar kasus-kasus serupa, Amin!

Hormat kami : Redaksi Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Lintas IAIN Ambon.

Kontak:

Ketua Umum: 082199254671

Pemred: 082198188979

Kategori
Wawancara

Kritik Pers Mahasiswa Selaras dengan Ajaran Ki Hadjar Dewantara

Melalui sebuah rilis dan kronologinya, Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Pendapa menyatakan tengah dibungkam oleh Rektorat Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa (UST). Kabar ini tentu saja meresahkan banyak pihak. Tidak hanya kalangan pers mahasiswa (Persma)namun juga pihak-pihak yang peduli dengan nasib ajaran Tamansiswa. Sebab, UST sebagai kampus dalam naungan Perguruan Tamansiswa telah dinilai mencederai nilai-nilai luhur Tamansiswa yang diwarisi Ki Hadjar Dewantara.

Berdasarkan narasi sejarah, Tamansiswa didirikan oleh Ki Hadjar Dewantara pada 3 Juli 1922 sebagai wadah gerakan pendidikan untuk melawan penjajahan rezim Hindia Belanda kepada pribumi. Ki Hadjar menginginkan suatu ruang pendidikan alternatif yang tidak mengabdi kepada rezim penjajah. Ruang pendidikan ini pun menerapkan prinsip-prinsip humanistis yang mendukung daya inteligensia, kreativitas, dan moral anak-anak didik. Selain dikenal sebagai pendiri Tamansiswa, Ki Hadjar merupakan tokoh pers kebangsaan yang kala itu kerap mengkritik kebijakan Hindia Belanda dan memperjuangkan kepentingan rakyat terjajah.

Maka sangat wajar bila pembungkaman terhadap LPM Pendapa begitu mengkhawatirkan pihak-pihak yang bersolidaritas dan sempat terpikir bahwa hal tersebut telah melenceng dari perjuangan pendidikan Tamansiswa. Melihat hal demikian, PPMI DK Yogyakarta dan jajaran Persma menggelar diskusi publik bertajuk “Kebebasan Berekspresi dalam Perspektif Nilai-nilai Tamansiswa” pada 22 November 2016 di Pendopo Agung Tamansiswa. Agenda yang juga turut mengundang Dewantara Institute, AJI Yogyakarta, dan Rektorat UST ini bertujuan untuk menarik kesepahaman bahwa Tamansiswa merupakan pelopor gerakan pendidikan yang menjamin kebebasan berekspresi. Sayangnya, pihak Rektorat tidak hadir dalam diskusi publik tersebut.

Selang dua hari berikutnya, 24 November, pengurus PPMI DK Yogyakarta pun menemui Rama Prambudhi Dikimara dari Dewantara Institute; lembaga kajian pendidikan bermazhab Ki Hadjar Dewantara dan pengamat ke-Tamansiswa-an, di Perpustakaan Tamansiswa, Mergangsan, Yogyakarta. Berikut petikan-petikan obrolan penting dengan Kang Rama; yang dahulu sempat menjadi Pemimpin Umum LPM Pendapa dan aktivis senat mahasiswa, mengenai pengakomodiran kritik dan kreativitas mahasiswa sekaligus kondisi terkini Perguruan Tamansiswa.

Seberapa pentingkah keberadaan Persma dalam Perguruan Tamansiswa?

Seharusnya menjadi ruh Tamansiswa; sebagai penerus pola kerja politik dan kebudayaan Ki Hadjar Dewantara. Mengingat Ki Hadjar merupakan tokoh pers, kalau di Tamansiswa tidak ada kantong kebudayaan dalam ranah jurnalistik, saya pikir ini akan memadakan api yang sudah dihidupkan lama oleh Ki Hadjar.

Saya menyayangkan ketika Majalah Pusara sudah tidak terbit lagi. Juga ada Majalah Sinus yang untuk anak-anak, sekarang kabarnya nggak tahu bagaimana. Nah, adanya Pendapa itu ditujukan untuk melanjutkan ruh perjuangan Ki Hadjar lewat menulis (jurnalistik). Pendapa seharusnya menjadi aset bukan hanya untuk UST, melainkan juga Tamansiswa.

Sejak awal didirikan pada 1988, apakah Pendapa sudah berparadigma kritis?

Saya menyimpan majalah-majalah Pendapa dari awal. Yang saya cermati, tradisi kritik-otokritik kepada Tamansiswa, kampus, dan negara sedari jauh-jauh hari sudah dilakukan. Saya yakini ini yang akan mendewasakan kita semua. Dahulu, Ki Hadjar kerap mengkritik Pemerintah Hindia Belanda. Tradisi kritik ini kemudian melekat. Saya mengkronik Majalah Pendapa dari awal. Dahulu, kritik malah lebih keras daripada sekarang. Cuma tergantung bagaimana tanggapan atau kedewasaan dari yang dikritik, sebab ini penting sebagai suatu dialektika.

Kalau kedewasaan pihak yang dikritik sekarang lemah sehingga melakukan cara-cara tidak demokratis, ini akan menghambat semua kreativitas mahasiswa. Dahulu ada unit teater Kelompok Sastra Pendapa (KSP) yang tutup aktivitas pada 2003. Terus ada Mapala Bangkel yang akhirnya tutup untuk kedua kalinya. Sekarang malah mau mencoba membungkam Pendapa. Tidak menutup kemungkinan, unit kegiatan lainnya juga bakal mengalami nasib sama jika Rektorat tidak memiliki kedewasaan. Tingkat kedewasaan personal dari tiap pemimpin di Tamansiswa itu penting. Kalau dikritik namun menanggapinya dengan cara anti-demokratis, itu membahayakan ruang.

Ki Hadjar sempat membuat catatan dan menjadi buku Demokrasi & Liederschap (Democracy and Leadership). Di situ ada argumentasi tentang demokrasi yang tidak mematikan ruang dan bisa memberi harapan bagi tumbuh kembang jiwanya anak-anak didik secara terpimpin. Inilah yang harus dipahami oleh Birokrat UST sekarang.

Melihat kondisi Tamansiswa sekarang, ada birokrat yang anti-kritik, sebenarnya ada sejak kapan kecenderungan begini? Bagaimanakah Tamansiswa awalnya mengakomodir kritik?

Melihat catatan sejarahnya, sebenarnya Tamansiswa tidak alergi kritik. Kecenderungan ini; mulai ada pola kemunduran Tamansiswa, terjadi paska tahun 1965. Rezim Orde Baru menghancurkan Tamansiswa dan sampai sekarang masih terjadi. Dan, pola ini malah ditiru oleh birokrat-birokrat kampus UST. Penyakit semacam ini seharusnya dipotong; tidak hanya memotong generasinya namun juga kebiasaan buruknya. Saya melihat kebiasaan buruk ini bisa mematikan Tamansiswa secara perlahan.

Ketika otokritik internal kampus saja dihambat, lantas apa ukuran kinerja tanpa kritik? Kinerja itu bisa diukur dengan kritik. Kalau kinerja tanpa kritik, itu akan menjadi rezim. Apalagi bila nalar dimatikan, ini akan berbahaya bagi kemanusiaan. Padahal ajaran Ki Hadjar sudah jauh-jauh hari menyiratkan bahwa kemerdekaan jiwa harus diberikan; tentang bagaimana pamong tidak boleh menghambat kreativitas dan memutus impian anak-anak didik. Namun sayangnya birokrat kampus sekarang tidak mempelajari ajaran itu. Kalau hal ini diterapkan secara serampangan, dampaknya tidak hanya kepada UST, juga terhadap Tamansiswa secara keseluruhan. UST seharusnya bisa menjadi tolok ukur bagi kampus-kampus lain, kalau di Perguruan Tamansiswa ternyata hubungan relasional kampus dan mahasiswa buruk, ini akan merembet ke kampus-kampus lainnya.

Dengan kondisi Tamansiswa seperti ini, banyak kreativitas mahasiswa dihambat, pun malah Persma dibungkam, menurut Kang Rama, apa yang seharusnya bisa dilakukan kawan-kawan mahasiswa UST?

Kesadaran kolektif harus dibangun. Bila kesadaran ini tidak dibangun, teman-teman (mahasiswa UST) akan diam. Pendapa dan teman-teman sejaringannya harus membangun kesadaran kolektif itu. Harus sama-sama disepakati tujuan dan dicarikan solusinya supaya Tamansiswa bangkit. Bila pembungkaman ini berlanjut tanpa solusi, UST sebagai lembaga kampus bisa dipertanyakan eksistensinya; universitas tidak bisa eksis tanpa unit kegiatan mahasiswa (UKM). Universitas harus ada unit kegiatan mahasiswa sebagai upaya pengabdian ke masyarakat dan menampung kreativitas mahasiswa.

Mahasiswa tidak hanya dianggap sebagai obyek pembelajaran, tapi di Tamansiswa juga dianggap anak didik yang sedang tumbuh kembang. Tumbuh kembang anak juga harus diberi ruang, kalau dihambat, mereka tidak akan maksimal. Di Tamansiswa tidak hanya dididik secara inteligensia, namun juga mendorong orang untuk berkreativitas dan memiliki kemampuan non-akademik. Dahulu, Tamansiswa menjadi kantong-kantong aktivis politik dan kebudayaan karena Tamansiswa memberinya ruang.

Kendala mahasiswa sekarang membangun kesadaran kolektif?

Menjadi aktivis dahulu gengsinya tinggi, kesadaran kolektif juga dibangun lewat pengayaan wacana yang lebih mudah. Sekarang mencari kader saja kesulitan dengan adanya silabus dan perkuliahan yang padat atau katakanlah mahasiswa dipaksa selesai dalam 4 tahun. Risikonya, aktivisme di kampus sekarang menjadi terbatas; tidak ada ruang lagi berekspresi. Hanya segelintir orang yang berani menjadi aktivis. Masalah itu harus dicarikan solusi.

Masalah dahulu beda dengan sekarang. Dulu belum ada gawai dan tempat-tempat hiburan yang cukup banyak. Kalau sekarang mahasiswa justru menghindari kegiatan kampus karena yang menjadi aktivis cenderung bermasalah dengan rektorat. Di banyak kampus juga begitu sebab relasional yang terjadi, rektorat tidak menganggap aktivisme mahasiswa sebagai aset; untuk persemian pengaderan kampus. Kalau aktivisme dianggap sebagai aset, lewat jembatan pembantu rektor (PR) III, bisa dibuka ruang-ruang dialog dan fasilitas berekspresi.

Sayangnya di UST, sudah 2 kali pergantian PR III, justru dijabat orang yang tidak paham bagaimana membangun relasional yang baik antara Rektorat-UKM. Apalagi mendekati UKM Persma, pendekatannya harus lain. Kalau Persma dijauhi, risikonya besar. Harus dilakukan komunikasi yang intens. Pendekatan tidak bisa dilakukan oleh pejabat yang birokratis; datang ke kantor, kerja, lalu pulang. Pejabat harus punya ketekunan untuk melakukan pendekatan. PR III harus orang yang menyediakan diri selama 24 jam/hari untuk mau mendengar kemauan mahasiswa. Jika begitu, komunikasi akan baik dan informasi tak terputus. Apa yang terjadi terhadap Pendapa selama ini merupakan miss-komunikasi dan informasi yang terputus.

Ketika saya dan teman-teman di Pendapa dulu, kami sering memaksa birokrat untuk mengobrol, ada ruang komunikasi yang dibangun, keluh kesah disampaikan. Teman-teman UKM sekarang juga harus punya cara elegan menghadapi rektorat supaya lebih mudah berkomunikasi. Di sisi lain, nanti otokritik terhadap kampus bisa dianggap penting.

Mengamati kritik mahasiswa sekarang terhadap negara atau kampus, bagaimana tanggapan senior-senior mantan aktivis kampus? Apakah kritik sekarang kurang cerdas?

Variannya banyak sih; beda-beda. Saya masih mendapat majalah dari teman-teman di berbagai kota; dari beberapa Persma. Itu sudah bagus, saya pikir sudah sesuai kapasitas dan kapabilitas masing-masing. Kualitas teman-teman tidak bisa dipaksakan.

Saya sebagai alumni Persma, melihatnya sih sudah maksimal sebab melihat isu yang diangkat oleh lembaga Persma memang sedang krusial di suatu tempat. Tapi kalau mau dianalisis bobotnya juga bisa; misal seberapa kritik terhadap negara sekarang, apakah menurun? Kritik lembaga Persma terhadap kondisi internal mereka sendiri pun harus dianalisis. Justru PPMI harusnya menjadi suatu lembaga yang bisa membedah itu. Hal ini menarik sebagai sebuah kajian dan bisa dijadikan buku.

Persma sebagai lembaga yang menyemai benih jurnalistik di tiap kota, menurut saya sudah bagus. Misal permasalahan Majalah Lentera dengan kampusnya, itu menunjukkan capaian yang bagus. Saya baca hasil investigasi mereka, kualitasnya menyamai media mainstream. Beberapa terbitan Persma juga menggunakan pisau analisis lebih tajam dan independen dibanding media mainstream. Persma bisa melakukan hal-hal yang tidak bisa dikerjakan media mainstream. Ketika Persma memiliki potensi lebih seperti ini, inilah yang harus didorong. Nilai lebih ini justru sebagai pembeda dan eksistensi Persma.

Sebagai penutup nih, dari obrolan ini, berarti bisa disimpulkan bahwa Persma yang berada di Tamansiswa maupun perguruan tinggi lainnya harus tetap berparadigma kritis. Tamansiswa sebagai pelopor pendidikan harusnya mengakomodir kritik.

Iya, saya setuju. Paradigma kritik harus tetap dipakai dan teman-teman Persma pun harus mendewasakan diri; masih banyak pisau analisis yang bisa dipakai. Jika di Tamansiswa; khususnya UST, ternyata Pendapa masih dibungkam, ini bukan hanya ajaran Tamansiswa yang dicederai. Dampaknya juga ke kampus-kampus lain. Makanya ini harus dihentikan.

 

Kategori
Siaran Pers

Jangan Renggut Hak-hak LPM Pendapa

Salam Persma, Hidup Rakyat, Lawan Pembungkaman!

Sebuah kabar buruk mulai dihembuskan birokrat kampus Tamansiswa. Seolah tidak menghayati ajaran Tamansiswa, Rektorat Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa (UST) Yogyakarta tengah berupaya membungkam Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Pendapa. Melalui rilisan persnya, LPM Pendapa menyatakan bahwa upaya-upaya pembungkaman telah dilakukan oleh Rektorat UST Yogyakarta, seperti: tidak mengesahkan kepengurusan, menyetop pendanaan, hingga mengancam pengosongan sekretariat.

Tercatat sejak awal kepengurusan pada Februari hingga November 2016 sekarang, pihak Pendapa sudah berulangkali menemui birokrat kampus sebagai upaya menanyakan kejelasan dan beraudiensi. Mirisnya pada pertemuan di hari Senin, (14/11), pihak birokrat kampus yang diwakili Widodo membenarkan bahwa LPM Pendapa telah dibungkam. Perlu diketahui, pembungkaman LPM Pendapa ini disebabkan oleh muatan kritis dalam produknya yang bermaksud sebagai kontrol kebijakan kampus. Merasa tidak terima, pihak birokrat kampus pun memaksa kepengurusan Pendapa untuk menandatangani pakta integritas. Sedangkan isi pakta integritas tersebut cenderung mengamini keinginan birokrat kampus dan membatasi hak-hak LPM Pendapa. Maka sangat wajarlah bila kepengurusan LPM Pendapa menolaknya.

Mengetahui kabar ini, Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia (PPMI) Dewan Kota (DK) Yogyakarta beserta jajaran pers mahasiswa (persma) di Yogyakarta tidak ingin tinggal diam. Pembungkaman terhadap persma atas alasan apapun dengan menggunakan cara apapun merupakan wujud arogansi birokrat akademik. Perbuatan demikian tidak bisa diterima sebab akan semakin membatasi aspirasi-aspirasi kritis insan akademik yang ada di UST Yogyakarta. Kami khawatirkan, perbuatan naif birokrat UST Yogyakarta semakin menjalar dan ketagihan untuk membungkam nalar kritis kelompok-kelompok mahasiswa lainnya. Bila hal ini tetap dibiarkan, sama artinya mengkhianati marwah pendidikan khas Tamansiswa yang memerdekakan nan memanusiakan manusia.

Padahal bila mengingat sejarah Perguruan Tamansiswa, wadah ini didirikan Ki Hadjar Dewantara sebagai wujud perjuangan pendidikan melawan penjajahan. Kala itu, 3 Juli 1922, Ki Hadjar Dewantara bersama kawan-kawan seperjuangannya mendirikan Tamansiswa. Hal ini dilatarbelakangi terjajahnya kehidupan rakyat jelata di bawah rezim imperialis Hindia Belanda. Maka perjuangan melalui pendidikan merupakan sarana penyadaran supaya kaum pribumi jelata sanggup menjunjung martabatnya dan tidak mau lagi dijajah. Rezim penjajah pun tidak tinggal diam, kemudian menerbitkan Wildeschoolen Ordonantie atau peraturan Ordonansi Sekolah Liar pada 1932. Sadar bahwa peraturan tersebut bisa mengekang Tamansiswa, Ki Hadjar Dewantara pun melawannya dan menuliskan naskah protes (penolakan) di Majalah Timboel edisi 6 November 1932. Analogi pengekangan lewat ordonansi tersebut sebanding dengan upaya pembungkaman LPM Pendapa oleh Rektorat UST Yogyakarta.

Oleh sebabnya, melawan pembungkaman terhadap Pendapa adalah suatu upaya menyelamatkan misi-misi pendidikan khas Perguruan Tamansiswa. Melihat narasi sejarah Tamansiswa dan laku perjuangan Ki Hadjar Dewantara adalah membaca fakta bahwa kegiatan pendidikan sejatinya upaya pemerdekaan menghalau pembodohan dari rezim penjajah. Disambungkan dengan kondisi pendidikan kekinian, hal tersebut masih relevan untuk dilakukan. Ironisnya, Rektorat UST Yogyakarta selaku pewaris marwah ke-Tamansiswa-an justru terlihat mengkhianatinya dengan cara membungkam LPM Pendapa.

Sudah pasti, pembungkaman ini tidak layak dibiarkan. Demi menyelamatkan misi-misi kemerdekaan melalui pendidikan warisan Ki Hadjar Dewantara dan para leluhur, serta mewujudkan kemerdekaan berekspresi ranah akademik, PPMI DK Yogyakarta menyerukan sikap dan tuntutan sebagai berikut:

  1. Menuduh Rektorat UST Yogyakarta telah menodai ajaran Tamansiswa warisan Ki Hadjar Dewantara.

  2. Menghimbau agar Majelis Luhur Tamansiswa memperingatkan Rektorat UST Yogyakarta supaya tetap menjalankan misi-misi pendidikan yang memerdekakan dengan cara harus mencabut upaya-upaya perenggutan hak-hak LPM Pendapa.

  3. Selain mencabut perenggutan hak-hak terhadap Pendapa, Rektorat UST Yogyakarta harus mengakui kesalahannya dan bersedia meminta maaf kepada LPM Pendapa.

  4. Menghimbau Kemenristekdikti dan Kopertis Wilayah V supaya menindak tegas perbuatan sewenang-wenang Rektorat UST Yogyakarta yang mencederai kebebasan berekspresi di perguruan tinggi.

  5. Mengajak kawan-kawan mahasiswa di seantero Yogyakarta bahkan Indonesia agar berani mendukung kebebasan berekspresi di perguruan tinggi dan mau mengumandangkan perlawanan apabila dibugkam.

  6. Mengajak jajaran persma di seantero Yogyakarta bahkan Indonesia supaya bahu-membahu untuk melawan segala bentuk pembungkaman oleh birokrat kampus dan jangan ragu-ragu untuk melawannya.

  7. Mengajak mahasiswa-mahasiswi UST Yogyakarta dan seluruh elemen pendukung kemerdekaan berekspresi dalam perguruan tinggi di Yogyakarta supaya turut memperjuangkan LPM Pendapa sebagai wujud menjaga nilai-nilai kearifan Tamansiswa warisan Ki Hadjar Dewantara.

Begitulah narasi kasus, sikap, dan tuntutan dari PPMI DK Yogyakarta. Kami berharap Rektorat UST Yogyakarta segera menghentikan upaya-upaya pembungkaman kepada LPM Pendapa. Apabila pihak Rektorat UST Yogyakarta tidak mengindahkan sikap dan memenuhi tuntutan kami, maka PPMI DK Yogyakarta bersama jajaran persma siap mengajak seluruh elemen pendukung kebebasan berekspresi dan kemerdekaan berpindidikan di seantero Yogyakarta untuk menghadapi Rektorat UST Yogyakarta. Ingatlah!

Yogyakarta, 17 November 2016
Taufik Nurhidayat, Sekjend PPMI DK Yogyakarta

Narahubung:
Peka Tariska, Pemimpin Umum LPM Pendapa (085326060788)

Alan Hakim, BP Advokasi PPMI DK Yogyakarta (089530641159)

Taufik Nurhidayat, Sekjend PPMI DK Yogyakarta (083869971305)

Kategori
Berita Wawancara

Warga Gumuk Parangkusumo Tidak Pantas Digusur

Sejak tahun 2007, warga sekitar pesisir Parangtritis-Parangkusumo, Kretek, Bantul sudah pernah mengalami penggusuran. Menyusul tahun 2010, Pemkab Bantul kembali menggusur kios dan gubuk warga tanpa ganti rugi dengan tuduhan bahwa warga telah mendirikan “bangunan liar”. Dari situlah, warga terdampak mendirikan Aliansi Rakyat Menolak Penggusuran (ARMP) sebagai wadah untuk mengantisipasi segala penggusuran yang kerap mengancam.

Tahun ini, ancaman penggusuran pun datang dari pemerintah. Warga yang tinggal dan mendirikan bangunan di atas gumuk pasir Parangkusumo menjadi sasarannya. Dalih penggusuran ialah sebagai upaya restorasi (penataan ulang) gumuk pasir supaya lestari. Tuduhan bahwa warga telah menempati sultan ground (SG) atau tanah Kesultanan Ngayogyakarta secara tidak sah menjadi senjata pelengkap penggusuran.

Padahal, warga yang bertahun-tahun tinggal di atas gumuk pasir telah berjasa merawat kelestarian gumuk dengan cara menanam berbagai pepohonan seperti pandan, kleresede, dan cemara. Upaya warga tersebut berhasil karena pasir pantai menjadi tidak mudah terbawa angin dan menyelamatkan zona pertanian warga lainnya (di sisi utara pesisir) dari uruk pasir. Maka motif pelestarian gumuk pasir dianggap tidak wajar oleh warga sebagai dalih penggusuran. Ketidakwajaran itulah yang memupuk keyakinan: warga gumuk tidak pantas digusur!

Ternyata ada megaproyek Parangtritis Geomaritime Science Park (PGSP) yang diinisiasi oleh Pemkab Bantul, Pemprov Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), Fakultas Geografi Universitas Gadjah Mada, Badan Informasi Geospasial, dan Kemenristekdikti. Megaproyek berkonsep riset dan wisata ini meminta lahan seluas 347 hektar; dengan rincian 141 hektar zona inti, 95 hektar zona terbatas, dan 111 hektar zona penyangga. Pihak penyelenggara PGSP pun meminta agar warga gumuk yang menempati zona inti untuk segera pergi mengosongkan wilayah tersebut.

Berdasarkan surat pemberitahuan dari Pemkab Bantul yang menanggapi surat KHP Wahono Sarto Kriyo No. 120/W&K/VII/2016 Tentang Penertiban Zona Gumuk Pasir di Kawasan Gumuk Pasir di Kecamatan Kretek Kabupaten Bantul, dikabarkan bahwa penggusuran akan dimulai pada 1 September 2016. Pada tanggal itu pula, kubu yang bersolidaritas seperti tim Jogja Darurat Agraria (JDA), LBH Yogyakarta, Serikat Mahasiswa Indonesia (SMI), dan PPMI DK Yogyakarta beserta awak persma mendatangi warga terdampak penggusuran di area yang diklaim zona inti PGSP.

Kami berkumpul di sekitar Sanggar Belajar Kuncup Melati Mandiri. Di sana ada pertemuan antarwarga pesisir selatan DIY yang digusur, seperti nasib warga gumuk Parangkusumo. Warga saling berbagi cerita dan kubu bersolidaritas pun menggelar konsolidasi. Kerja-kerja pengambilan data untuk diolah menjadi karya berwacana konflik agraria juga kami lakukan.

Beberapa kawan persma bersama PPMI DK Yogyakarta pun melakukan wawancara kepada Bu Kawit, warga terdampak penggusuran sekaligus pendiri dan pengajar sanggar. Kepada kami, perempuan lulusan pendidikan guru agama negeri (PGAN) yang sehari-harinya berjualan soto ini, menceritakan jibaku warga melawan penggusuran berkedok pelestarian dan mengkritik motif penggusuran di pesisir selatan.

 

Ibu sudah berapa lama tinggal di sini?

Saya aslinya dari Sewon (sebuah kecamatan di Bantul). Sejak 1999 mulai mendiami Parangtritis. Lalu tahun 2001 mulai bergeser ke Dusun Parangkusumo sini. Di sekitar sini saya tinggalnya sempat berpindah-pindah. Sehari-harinya, saya berjualan soto.

Penggusuran yang katanya akan dimulai hari ini (1 September 2016) belum terjadi. Dari mana warga tahu akan adanya penggusuran?

Dari surat pemberitahuan yang diantar Satpol PP dan polisi. Katanya ada penertiban. Tapi hari ini petugas yang mau menertibkan belum ada.

Ketika surat pemberitahuan penertiban datang, kenapa Ibu tanda tangan?

Waktu itu saya sedang sakit dan belum sadar. Tapi kami yang berkumpul tadi sepakat mau mencabut tanda tangan.

Selain sanggar ini, bangunan apa saja yang termasuk zona inti PGSP?

Ada 38 rumah, 25 kandang, dan ada juga tambak. Semuanya sudah ada di peta PGSP.

Kandang yang kena gusur itu semuanya bersertifikat?

Sertifikat nggak ada. Kalau kita mau ngurus sulit. Pemerintah juga nggak ngasih tahu aturannya kalau kita harus ijin ke mana. Bertahun-tahun tinggal di sini didiamkan saja, tapi malah tiba-tiba mau digusur.

Kalau bangunan yang di pinggir jalan sana juga kena?

Kena. Karena masuk zona penyangga.

Apa sudah ada musyawarah dari pihak penggusur agar bisa disepakati warga?

Sosialisasi saja belum ada sampai sekarang, apalagi rembugan soal ganti rugi dengan warga. Warga biasanya rembugan sendiri dan menyatakan sikap tetap menolak.

Apa pekerjaan warga terdampak penggusuran di zona inti?

Ada petani, pedagang, juru parkir, pekerja wisata, dan lain-lain.

Kalau bertani menanam apa saja?       

Ada singkong, terong, brambang (bawang merah), buah-buahan, dan lainnya.

Tanggapan Ibu terhadap klaim SG?

SG dan PAG (Pakualaman Ground) sudah tidak ada menurut Perda DIY No. 3/1984. Mandat gubernur saat itu, Sri Sultan Hamengkubuwono IX, adalah tanah untuk rakyat; dibagi-bagikan kepada rakyat.

Kalau modus klaim tanah memakai Undang-undang Keistimewaan (UUK) yang disahkan tahun 2012?

Tapi kan ada Undang-undang Pokok Agraria (UUPA) 1960 yang lebih sah.

Ketika UUK 2012 diketok palu, apa yang Ibu lakukan bersama kawan-kawan?

Ikut demo bersama mahasiswa, kami berteriak-teriak menolaknya. Kami juga memaksa masuk ke dalam gedung parlemen kalau nggak ada anggota dewan yang mau turun menemui.

Menurut tanggapan Ibu soal isu pelestarian lingkungan sebagai alasan penggusuran?    

Itu alasan saja biar semua tanah di DIY bisa di-SG-kan. Lha pihak Pemerintah (Pemkab Bantul) kok mau-maunya disuruh buat menggusur, Kraton kok nyuruh Negara. Terus rakyatnya mau dikemanakan?

Kabar dari koran-koran lokal, motif penggusuran supaya melestarikan lingkungan supaya tidak rusak. Kalau menurut Ibu dan warga yang sudah bertahun menjaga kelestarian lingkungan di sini, bagaimana?

Mana buktinya kami merusak? Lihat saja di sini banyak pepohonan yang kami tanam. Warga sudah bisa melestarikan lingkungan sendiri dan punya pencaharian sendiri. Yang kami lakukan, nggak usah dirusak.

Penggusuran sudah berkali-kali, dari tahun berapa?

Dari tahun 2007 sudah ada penggusuran di Karang Bolong, berlanjut tahun 2008-2009 sampai Kali Mati. Tahun 2010 juga terjadi. Saat itu kami tanpa diberi ganti rugi dan dicap sebagai orang-orang liar. Maka warga mendirikan ARMP pada 2010.

Pola penggusurannya bagaimana?    

Sejak tahun 2007, dari pesisir sisi timur terus mengarah ke barat. Tahun 2010, penggusuran tertahan di Grogol. Tahu-tahu kita dikepung dari sisi barat, itu Pantai Depok (sebelah barat Parangtritis-Parangkusumo) sudah digusur buat dibangun landasan pacu dengan mengatasnamakan klaim SG.

Kenapa Ibu tetap bertahan?

Saya melihat dampak penggusuran semena-mena sehingga rakyat nanti susah cari makan.

Punya ide bikin sanggar belajar dari mana?

Dari kecil cita-cita saya sudah begini. Ingin bikin sanggar. Saya kan lulusan PGAN. Juga, anak-anak sini kalau mau belajar, tempatnya jauh.

Bu Kawit sendiri mendirikan sanggar ini sejak kapan dan bagaimana proses belajar anak-anak di sanggar?

Sudah satu bulan lalu. Ini bertujuan untuk membantu anak-anak sekolah belajar. Kini sudah mencapai 15-20 orang peserta yang terdiri dari siswa SD dan SMP. Adapun yang kini sedang dipelajari seperti iqra, bahasa inggris, matematika, dan kesenian. Kegiatan belajar terbatas pada hari Senin, Kamis, dan Sabtu dari Ashar hingga Maghrib.

Jumlah anak-anak yang berminat terus bertambah sehingga kami kewalahan. Walau tempatnya sumpek tapi anak-anak senang. Saya dibantu teman-teman relawan untuk mengajar. Sekarang pun waktu berjualan saya jadi berkurang hanya sampai jam 3 sore karena berkewajiban mengajar di sanggar ini. Tapi sanggar ini masuk ke dalam zona inti PGSP dan akan digusur.

Yang digusur selain bangunan?

Pepohonan yang ditanam warga. Warga menanam itu supaya pasir tidak gampang kebawa angin. Kalau digusur semena-mena, pasir bisa terbang ke kampung. Ekosistem gumuk juga rusak.

Tradisi menanam pohon di gumuk ini sejak kapan?

Sejak mbah buyut kami masih ada. Yang paling lama itu pohon kleresede. Beberapa pohon ditebas buat tambak. 2 tahunan ini tambak mulai ada.

Kami juga pernah membantu UGM menanam cemara. Kami menanam ketika hawa siang sedang panas-panasnya dan kami harus mengemban pohon-pohon itu sendiri. Ada 3 kali kami membantu penanaman. Tapi kok sekarang tanaman mau digusur, lha maunya UGM gimana?

Pernah mengendus kedok dari tiap penggusuran?

Waktu penggusuran tahun 2010, sempat mendengar ada investor dari Jepang menawarkan nilai kontrak 60 triliun rupiah untuk mendirikan hotel dan obyek wisata lain-lain.

Sudah ada janji-janji setelah digusur?

Belum diajak rembugan tapi tahu-tahu kita sudah didata.

Wilayah Parangtritis dan Parangkusumo jelas melawan penggusuran. Setahu Ibu, daerah pesisir selatan yang bakal kena hal serupa?

Watukodok di Gunungkidul dan pesisir Kulon Progo juga kena dan mereka juga melawan.

Mengetahui banyaknya penggusuran di wilayah DIY, pendapat Ibu?

Tegakkan saja aturan yang berlaku. Mematuhi aturan negara yang ada.

Sikapnya tetap ya Bu, warga tetap tidak layak digusur?

Iya. Kami merawat alam sini. Menanam pohon dan tidak rela tanaman juga kena gusur. Nanti pasir-pasir bisa melorot dan kalau tidak ada pohonnya bisa terbawa angin. Misal tanaman kleresede itu yang bisa jadi pakan kambing, kalau tanaman itu tidak ada, kambing mau makan apa, makan pasir?

***

Tanpa diduga, pemberitahuan akan sosialisasi pun tiba. Tanggal 13 September, warga diundang ke Kantor Desa Parangtritis untuk mendengarkan sosialisasi penggusuran dan Megaproyek PGSP. Sosialisasi tersebut dihadiri pula oleh pihak Pemerintah Desa Parangtritis, Satpol PP Bantul, akademisi UGM, dan Komndo Rayon Militer Kretek. Lagi-lagi, klaim atas SG dan kedok pelestarian gumuk pasir dijadikan alasan pihak penyelenggara PGSP. Pihak penggusur menyatakan bahwa sosialisasi tersebut sebagai “musyawarah”. Namun seusai menghadiri sosialisasi, Bu Kawit dan orang-orang seperjuangannya belum menganggap agenda tersebut sebagai “musyawarah”, karena tidak sesuai kemufakatan dan hanya ajang menyampaikan keinginan pihak penggusur. “Kami tetap tidak sepakat digusur dengan kedok apapun,” terang Bu Kawit di Sanggar Belajar Kuncup Melati Mandiri.

 

Tim Liputan:

Abdus Somad (PPMI), Taufik Nurhidayat (PPMI), Imam Ghazali (Ekspresi), Rimba (Ekspresi), Faris (Rhetor), Javang Kohin P (Rhetor), Bintang W. P. (Poros), Afzal N. I. (Motivasi/Surakarta), dan Widia (Poros).

Kategori
Berita

Kronologi dan Video Represi terhadap LPM Ekspresi sebelum Display UKM

Selasa (23/8), sekitar pukul 10.00, belasan anggota Lembaga Pers Mahasiswa Ekspresi berangkat dengan berjalan kaki dari Student Center menuju GOR Universitas Negeri Yogyakarta (UNY). Sebagai salah satu UKM tingkat universitas, Ekspresi turut tampil di acara Display Unit Kegiatan Mahasiswa di hadapan ribuan mahasiswa baru UNY 2016. Selain mahasiswa baru, pada tahun ini, hadir pula jajaran rektorat untuk menyaksikan acara Display UKM.

Para anggota Ekspresi tiba di GOR sekitar pukul 10.10.

Setibanya di GOR, para anggota Ekspresi kemudian bersantai selama sekira 60 menit di sebelah barat GOR untuk menunggu giliran tampil. Ekspresi kebagian jatah tampil setelah penampilan UKM Magenta. Ketika UKM Magenta sudah di dalam lorong GOR untuk segera masuk GOR dan kemudian tampil, barulah Ekspresi bergegas ke depan lorong GOR.

Di situ, sekitar pukul 11.10, Ekspresi mulai membuka sebuah spanduk besar dan rontek-rontek yang sudah dipersiapkan jauh-jauh hari.

Empat anggota Ekspresi membuka lebar-lebar spanduk tersebut. Sementara lainnya membuka rontek satu per satu. Rontek-rontek tersebut beberapa diantaranya bertuliskan “Didiklah Ra’jat dengan Organisasi, Didiklah Penguasa dengan Perlawanan”, ‘’Mahasiswa Harus Kritis’’, “Merdeka?”, “Uang Kuliah Tinggi”, “Tolak UKT”, “Kebebasan Berekspresi”, “Ayo Terbuka, Tinggalkan Orba”. Adapun beberapa anggota Ekspresi yang tidak memegang spanduk ataupun rontek lantaran mereka sudah dipersiapkan untuk menjadi orator, pembaca puisi, dan pemandu lagu “Darah Juang”.

Untuk diketahui, konsep besar macam spanduk, rontek, orasi, pembacaan puisi, dan penyanyian lagu “Darah Juang”, ialah identitas dan tradisi Ekspresi setiap kali tampil pada Display UKM dari tahun ke tahun.

Pada saat semua atribut sudah dipersiapkan, sekitar pukul 11.20, terlihat seorang lelaki, yang kira-kira berusia 30-an, terus-menerus memperhatikan rontek-rontek yang dibawa Ekspresi. Mencurigai gelagat buruk lelaki itu, beberapa anggota Ekspresi saling berbicara dengan suara lirih. Kecurigaan sampai pada kesimpulan bahwa lelaki itu ialah intel. Satu-dua anggota Ekspresi bahkan mendapatinya menyimpan pistol di samping pinggang kirinya (perhatikan menit ke 01.49 dalam rekaman video).

Kecurigaan mulai terbukti ketika pada sekitar 11.30, lelaki itu bertanya kepada beberapa anggota Ekspresi. “Ini apa? Mengapa ada ‘perlawanan’? Mengapa ada ‘penguasa’?” katanya sambil menunjuk ke rontek-rontek.

“Siapa yang dituakan di sini?” lelaki yang mengaku keamanan kampus tersebut kemudian mencari perwakilan Ekspresi untuk berbicara.

Ketika satu-dua anggota Ekspresi mendekatinya, dia dengan suara lantang langsung melarang Ekspresi membawa masuk rontek-rontek. Tak terima dengan perlakuan itu, lima anggota Ekspresi pun mengerumuninya tepat di depan lorong GOR.

Lima anggota Ekspresi kemudian bersitegang dengannya. Ekspresi bersikukuh untuk membawa rontek-rontek sebagai bagian dari penampilan pada Display UKM. Ekspresi lalu mempertanyakan alasan perlarangan tersebut. “Demi keamanan,” jawabnya, dengan nada tinggi. Namun, Ekspresi tak bisa menerima alasan yang dilontarkannya.

Ekspresi kemudian menjelaskan bahwa setiap UKM diperbolehkan membawa identitasnya masing-masing—merujuk pada spanduk dan rontek-rontek sebagai identitas Ekspresi. “Silakan bawa identitas kalian,” kata lelaki itu dengan mata melotot, “Tapi rontek enggak boleh dibawa masuk,” dia masih berbicara dengan nada tinggi.

“Ini identitas kami,” jawab salah satu anggota Ekspresi merujuk ke rontek-rontek.

“Ini bukan identitas kalian. Ini protes.”

“Ini identitas kami. Kami sendiri yang bikin,” bantah seorang anggota Ekspresi.

Di tengah adu argumen antara Ekspresi dan lelaki yang melarang dimasukkannya rontek, seorang anggota Ekspresi datang untuk merekam kejadian tersebut dengan sebuah kamera. Datang pula beberapa panitia acara dan satuan pengamanan.

“Keputusannya, ini (spanduk) boleh dibawa masuk. Poster (maksudnya: rontek) enggak,” perintahnya.

Mendapati perilakunya bikin keributan tengah direkam, dia lalu memukul kamera yang dipegang anggota Ekspresi. “Siapa kamu?” teriaknya.

Tak sampai di situ, dia melanjutkan perilaku represifnya dengan mendorong dan menantang salah satu anggota lain Ekspresi berkelahi. “Apa mau kamu?” katanya, kemudian berusaha menyeret salah satu anggota Ekspresi menjauhi kerumunan. Namun, anggota Ekspresi yang dicoba diseret itu tak meladeninya. Beberapa anggota Ekspresi lain kemudian mengatakan bahwa perilaku lelaki tersebut tidak layak terjadi di lingkungan kampus.

Sekeluar dari kerumunan, dia masih saja mengajak salah satu anggota Ekspresi berkelahi. Namun, lagi-lagi, perkataannya tak dihiraukan oleh anggota Ekspresi. Dia kemudian memberi perintah pada satuan keamanan kampus untuk “mengamankan” rontek-rontek. “Security, amankan!” teriaknya.

Akan tetapi, anggota Ekspresi tetap mempertahankan rontek dan spanduk untuk ditampilkan di acara Display UKM. Tidak terlihat adanya satu komando antara lelaki yang melakukan tindakan repesif itu dan satuan keamanan. Hanya salah satu anggota satuan keamanan yang mematuhi perintah itu dengan melakukan sedikit usaha pelarangan dimasukkannya rontek-rontek.

Akhirnya, sekitar pukul 11.40, LPM Ekspresi dapat membawa masuk spanduk dan seluruh rontek ke lorong GOR untuk mempersiapkan penampilan di hadapan mahasiswa baru dan rektorat di dalam GOR. Sementara lelaki itu terlihat berbicara dengan satuan keamanan di tepi lorong. Sayangnya, Ekspresi luput untuk menanyakan identitas lelaki yang melakukan tindakan represif tersebut.

***

LPM Ekspresi mengecam keras tindakan represif tersebut. Dengan alasan apapun, tindakan represif tak bisa dibenarkan. Terlebih tindakan kekerasan dengan cara memukul kamera yang dipegang anggota Ekspresi. Begitu pula dengan ajakannya berkelahi terhadap anggota Ekspresi. LPM Ekspresi juga mengecam keterlibatan lelaki yang membawa pistol tersebut di dalam kegiatan kampus yang tidak hanya merugikan LPM Ekspresi, tetapi juga merugikan pihak lain: panitia Display UKM, panitia Ospek, pegiat UKM, dan universitas.

***

Narahubung:

Mariatul Kibtiyah (Pemimpin Umum LPM Ekspresi) +6285726377758

Taufik Nurhidayat (Sekretaris Jenderal PPMI Dewan Kota Yogyakarta) +6283869971305

Kategori
Siaran Pers

Sudah 20 Tahun, Kapolri Harus Tuntaskan Kasus Udin

Sudah 20 tahun kasus pembunuhan wartawan Harian Bernas, Fuad Muhamad Syafrudin, belum dituntaskan kepolisian. Syafrudin atau yang akrab dipanggil Udin diduga dibunuh karena aktivitasnya sebagai jurnalis yang sering memberitakan isu korupsi di lingkaran pejabat Kabupaten Bantul, yang saat itu dipimpin oleh Bupati Sri Roso Sudarmo.

16 Agustus 1996 tidak bisa menulis berita lagi. Awalnya ia dianiaya oleh orang yang tidak dikenal pada tanggal 13 Agustus 1996, hingga mengalami koma, kemudian meninggal. Sejak saat itu, tidak ada upaya serius dari kepolisian untuk menuntaskan kasus pembunuhan Udin. Klaim yang pernah diberikan kepolisian terhadap Dwi Sumaji sebagai tersangka karena terkait masalah pribadi tidak bisa diterima di Pengadilan Negeri Bantul. Sudah 20 tahun, pembunuh Udin pun masih menjadi rahasia.

Hari ini Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia (PPMI) menuntut Kapolri, Tito Karnavian mengutamakan penuntasan kasus Udin. “20 tahun kasus Udin belum berhasil diungkap oleh kepolisian, ini merupakan sebuah kelemahan penegakan hukum di Indonesia. 20 tahun merupakan waktu yang sangat panjang bagi kepolisian untuk mengungkap pembunuhan terhadap jurnalis Udin,” ungkap Abdus Somad, Sekjend Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia.

Abdus Somad menegaskan, PPMI akan konsisten ikut mengawal kasus Udin. Menuntaskan kasus pembunuhan Udin bagi kepolisian merupakan pintu awal pemerintah menjaga kebebasan pers dan menjalankan amanat undang-undang. Baginya, ketidakseriusan kepolisan dalam menuntaskan kasus pembunuhan Udin juga akan mengancam pelanggaran kebebasan pers dan kebebasan berekspresi di negeri ini.

Pelanggaran kebebasan pers di kampus, yaitu pers mahasiswa saat ini juga sedang marak-maraknya. PPMI mencatat sejak Januari 2013 sampai Mei 2016, dari 64 pers mahasiswa di berbagai daerah yang tercatat, 47 pers mahasiswa mengalami kekerasan sedangkan 17 pers mahasiswa tidak mengalami kekerasan. Kasus pelanggaran kebebasan pers di ranah kampus yang paling banyak adalah kasus intimidasi, kemudian pembredelan, pelecehan, semuanya tercatat sejumlah 72 kasus dari 47 pers mahasiswa.

PPMI juga meminta kepada Presiden Joko Widodo, agar lebih serius dalam menegakkan kebebasan pers, kebebasan berekspresi dan kebebasan berpendapat. Bagi Abdus Somad, dengan menegakkan hal itu akan terwujudkan negara yang demokratis. “Kepolisian juga jangan bertindak arogan dalam menyelesaikan sengketa kebebasan pers dan kebebasan berekspresi” tegasnya.

Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia juga mencatat selama Januari 2015 sampai Agustus 2016, ada 54 kasus kekerasan terhadap jurnalis. Di antara kasus yang dicatat oleh AJI Indonesia yaitu ancaman teror (11), kekerasan fisik (22), penyerangan kantor (1), pembunuhan (1), pemidanaan (1), pengerusakan alat (5), pengusiran/pelarangan liputan (13).  “Maraknya kasus kekerasan terhadap jurnalis atau lembaga pers yang terjadi di Indonesia itu karena tidak adanya keseriusan pemerintah dalam mengawal kebebasan pers. Terbukti kasus pembunuhan jurnalis Udin sudah 20 tahun belum juga terungkap. Pembiaran kasus pembunuhan Udin oleh kepolisian, dikhawatirkan ke depannya  kebebasan pers dan kebebasan berekspresi akan semakin terenggut” tandas Abdus Somad.

 

Narahubung:

Sekjen PPMI Nasional, Abdus Somad ( +6281226545705 )

Litbang PPMI Nasional, Nur Sholikhin (+6285643187271 )

Kategori
Diskusi

Donald Trump Adalah Pejabat Kita

Donald Trump geram pada hampir semua media massa yang menulis soal dirinya dengan buruk. Awal Agustus kemarin, calon Presiden Amerika Serikat yang didukung Partai Republik itu, dalam sebuah wawancara di televisi, mengklaim The New York Times memperlakukan dirinya sangat tidak adil.

Trump menghitung The New York Times menulis sekitar tiga atau empat tulisan tentang dirinya dalam satu hari. Meski sebaik apapun yang telah dilakukan Trump, “mereka tidak akan pernah menulis dengan baik.”

Bahkan Maggie Haberman, wartawan The New York Times dalam wawancara berdurasi 20 menit itu, dituding Trump sebagai seorang wartawan yang tidak tahu bagaimana cara menulis dengan baik. Haberman tak mau ambil pusing, karena “baik” bagi Trump adalah prestasi dan hal-hal baik tentang sosok dan kampanye retoriknya.

Trump bisa saja benar. Bahwa The New York Times media massa yang berusia lebih dari satu abad itu, tidak pernah dan tidak akan pernah bisa menulis dengan bagus. Membaca The New York Times bagi Trump hanya buang-buang uang. Tapi saya kira Trump juga bukan pembaca media yang baik.

Pada 1949, tiga tahun setelah hari kelahiran Trump, Mayer Berger membuat laporan sepanjang 3.170 kata tentang penembakan berantai di Camden, New Jersey. Laporan itu berisi kisah penembakan 12 orang warga oleh seorang pria bekas tentara bernama Howard Barton Unruh. Ia menulis dengan detail bagaimana Unruh melancarkan pembunuhan membabi-buta selama sekitar 12 menit, berjalan kaki dari satu kios dan warung, lalu mendorong pelatuk pistol Luger berisi peluru ke arah para korban, yang salah satunya adalah anak kecil berusia 6 tahun.

Tidak ada yang menarik dari laporan Berger. Selain laporan enam babak penuh adegan menegangkan dan ketakutan orang-orang di sekitar kejadian. Upaya Berger merinci latar belakang atau motif dari tragedi berdarah itu. Kegigihan mewawancarai sekitar 20 narasumber dalam waktu satu hari. Lalu absennya penghakiman Berger atas pelaku pembunuhan.

Itu tentu bukan perkara enteng. Menyulam fakta di balik sebuah tragedi berdarah, yang mulanya disulut oleh gosip antar tetangga, menjadi sebuah narasi sinematik. Mark Johnshon, peraih penghargaan Pulitzer untuk kategori Explanatory Reporting, ketika membaca laporan itu merasa sedang melihat rekaman video dari kamera yang membuntuti Unruh.

Laporan itu terbit di The New York Times, dengan judul Veteran Kills 12 in Mad Rampage on Camden Street. Beberapa bulan kemudian Berger meraih penghargaan Pulitzer untuk kategori laporan lokal terbaik.

Trump tentu setuju bahwa laporan Berger tak menarik. Karena tidak ada kisah heroik seorang tokoh tenar, atau seorang negarawan tulen yang memimpikan diri menjadi presiden. Tapi saya kira Trump juga perlu belajar dari Margalit Fox, wartawati The New York Times yang telah menulis hampir seribu obituarium.

Bahwa sebuah laporan jurnalistik tak melulu bicara tentang pahlawan kontroversial, atau sekadar hitam dan putih. Fox percaya sebuah kisah obituarium misalnya, yang paling bagus adalah kisah tentang pemain di balik layar, orang-orang tanpa tanda jasa, meski tidak ada yang tahu nama mereka, “tapi perlu gagasannya perlu hadir dalam tatanan masyarakat.”

Misalnya Fox lebih memilih menulis obituarium Alice Kober. Seorang profesor bergaji rendah di Brooklyn College, yang berusaha memecahkan kode dan membuat katalog tentang Linear B, Sebuah aksara kuno berusia sekitar 3000 tahun. Hampir tiap malam Kober memilah dan membuat catatan statistik. Sayangnya ia gagal.

Kober meninggal di usia 43, dua tahun sebelum Michael Ventris, seorang arsitek menjadi tenar karena berhasil memecahkan Linear B. Sebaliknya, nama Kober tak banyak diketahui. Hal ini, bagi Fox, karena sejarah selalu ditulis oleh para pemenang.

Roy Peter Clark, guru besar di Poynter Institute, menyebut nama Berger dan Fox sebagai ‘ahli kitab’ di The New York Times. Berger adalah “the captain of this All-Star team.” Clark bahkan berharap Fox mau menulis obituariumnya saat ia meninggal.

Bagaimana dengan Trump? Mungkin setelah Fox menulis obituarium untuknya, Trump akan paham bagaimana media massa menulis dengan baik atau buruk.

Pada titik ini, ada kesamaan antara pemahaman Trump dan pola pikir para pejabat di Indonesia. Sebagaimana banyak orang yang menganggap bahwa media massa harus selalu menulis hal-hal baik. Tidak perlu menulis hal-hal buruk.

Di kampus, banyak pejabat menekankan doktirn itu pada media pers mahasiswa. Tidak perlu melaporkan keluhan mahasiswa soal metode pengajaran dosen, soal mahalnya biaya pendidikan, apalagi simpang-siur dana proyek pembangunan gedung dan kelengkapan kampus. Media pers mahasiswa cukup menulis prestasi kampus, proyek penelitian dosen, atau tidak perlu melakukan semuanya. Agar bisa lulus dalam tempo yang sesingkat-singkatnya.

Jika perintah itu dihiraukan, maka klaim dan penghakiman kelompok yang merasa dirinya superior bergeriliya. Mereka bisa memakai kuasa dan regulasi untuk membenarkan pernyataannya. Mereka bisa menekan, mengintimidasi, atau menyingkirkan gagasan yang mengancam stabilitas negara kecil mereka.

Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia (PPMI) pada Mei 2016, mencatat ada 47 lembaga pers mahasiswa di Indonesia yang mengalami kekerasan sepanjang 2013-2016. Riset itu mendefinisikan kekerasan sebagai bentuk intimidasi pada reporter, penghambatan dana organisasi, dan pemberedelan media pers mahasiswa.

Ada 11 media pers mahasiswa yang diberedel. 33 lembaga pers mahasiswa yang mendapat intimidasi saat melakukan kerja jurnalistik. Bahkan sebanyak 5 pers mahasiswa dikriminalkan. Aktor tertinggi dari kasus tersebut, sebanyak 11,3 % adalah pejabat kampus.

Hasil itu tentu sah jika dianggap hanya sebuah angka-angka atau statistik. Terutama bagi pejabat yang mengira kerja jurnalisme pers mahasiswa yang ideal seharusnya cukup memberitakan hal-hal ringan. Atau bagi seorang yang tak paham bagaimana lahirnya karya jurnalistik harus melewati beberapa tahapan, dengan susah payah.

Seperti humor yang dibuat Abdul Fadlil, setelah mengancam akan membekukan pers mahasiswa Poros Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta. Humor itu menuai bertubi-tubi kritik dari beragam kalangan. Ia geram mengapa tindakan konyolnya terus dibicarakan di media sosial.

Saya kira pejabat kampus di Indonesia sama ngawurnya dengan Trump. Begitu nama mereka disebut, mereka bisa menjadi temperamental atau marah. Seperti Voldemort, tokoh fiksi ciptaan JK Rowling dalam serial novel Harry Potter. Mereka tidak akan pernah paham bagaimana loyalitas jurnalis harus ditempatkan, untuk kepentingan publik atau hanya menjadi gincu.[]

Kategori
Berita

Kronologi Intimidasi dan Interogasi Reporter Lembaga Pers Mahasiswa Natas oleh Polisi

Pada 15 Juli sekitar pukul 09.31 WIB, Benidiktus Fatubun (Benfa) bersama rekannya Fileksius Gulo (Fileks) yang merupakan reporter pers mahasiswa Natas Universitas Sanata Dharma Yogyakarta berniat melakukan liputan, terkait aksi yang dilakukan oleh mahasiwa Papua dan Persatuan Rakyat Untuk Pembebasan Papua Barat (PRPPB). Benfa dan Fileks tiba di depan Asrama Kamasan Papua pada pukul 10.31 menggunakan atribut lengkap pers.

Pukul 10.40 Benfa dan Fileks melihat langsung peristiwa penangkapan mahasiswa Papua yang kemudian dibawa ke mobil polisi. Benfa pun berlari dan bergegas untuk mengambil gambar penagkapan tersebut. Tiba di depan mobil polisi, ia kemudian naik ke mobil polisi untuk mengambil gambar namun dihalangi oleh tameng polisi yang berada di depannya. Karena mobil polisi sudah jalan, ia kemudian turun dari mobil polisi.

Pukul 10.43 Mobil polisi melaju kencang. Kemudian, Fileks dan Benfa melihat kawannya satu kelas bersama mereka yang berasal dari Papua. Karena melihat kondisi yang sudah tidak kondusif, Benfa dan Fileks menyuruh Ninon Kobak (Ninon) pulang ke kos. Sebelum Ninon pergi, tiba- tiba datang seseorang yang berpakaian jaket kulit dan berbadan gempal datang menghampiri Benfa dan Ninon, Setelah itu mereka digiring bertemu dengan AKP Rijal (nama yang dilihat Benfa di baju yang digunakan) di depan kampus Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa (UST), Jalan Kusumanegara, Yogyakarta.

Pukul 10.45 Mereka bertemu dengan Rijal. Tanpa basa-basi, Rijal kemudian melakukan interogasi dengan menanyakan sekaligus meminta identitas Benfa dengan nada yang tegas “ Kamu dari pers mana? mana ID card-mu?” kata Benfa menirukan omongan Rijal.

Benfa kemudian menunjukkan ID persnya yang menggantung di leher. Karena tidak jelas, Rijal kemudian meminta dengan paksa dengan menyuruh Benfa melepaskan ID pers dari lehernya. Tidak sampai disitu, merasa tidak puas dengan ID Pers, Rijal kemudian meminta identitas yang lain seperti KTP dan KTM.

Benfa kemudian menjawab dengan pelan dan mengatakan jika ia tidak mempunyai KTP dan KTM. Mengingat KTP dan KTM-nya digunkan untuk merental motor yang digunkan untuk reportase. Merasa diintimidasi terus, Benfa sempat bersitegang dengan Rijal, “Kalau tidak percaya ikut saya ke kantor Natas saja Pak,” ungkap Benfa. “Saya tidak perlu ke sana, saya hanya perlu KTP dan KTM kamu” tegas Rijal kepada Benfa

Merasa posisinya semakin tertekan, Benfa kemudian meminta kepada Rijal agar ia bisa memanggil Fileks. Rijal kemudian berkata, “Kalau begitu, panggil temanmu suruh ke sini segera!”

Pukul 11.05 Benfa dan Fileks kemudian menghadap Rijal. Setelah bertemu. Rijal kembali melakukan interogasi, kali ini kepada Fileks, kemudian meminta KTM berserta kartu pers yang digunakan oleh Fileks. Setelah identitas Benfa dan Fileks berada di tangan Rijal, ia meminta rekannya untuk mengambil gambar menggunakan handphone.

Pukul 11.10 Setelah interogasi selesai dilakukan, Benfa dan Fileks menuju sebuah ruko yang berada di seberang Kampus UST untuk menenangkan diri.

Pukul 11.13 Gregorius (Egi) yang merupakan reporter Natas datang menghampiri Benfa dan Fileks. Mereka berdua pun sempat bercerita terkait kejadian yang mereka alami kepada Egi.

Pukul 11. 15 Benfa, Egi, dan Fileks memutuskan untuk melakukan reportase bersama kembali.

Pukul 11.17 Terjadi aksi dorong- dorongan di depan gerbang Asrama Kamasan Papua. Benfa yang awalnya bersama Egi dan Fileks, kemudian pergi dan mencari posisi yang pas untuk mengambil gambar. Tibalah dia tepat di sebelah kanan hotel Fave yang berdekatan dengan Asrama Papua . Tiba-tiba dari belakang ada seseorang yang menarik kerah baju Benfa. Ciri-cirinya menggunakan baju hitam ketat dengan perawakan besar, menggunakan masker, dan hanya terlihat bagian mata saja. Setelah ditarik, Benfa ditanya identitasya dengan suara yang lebih keras, “Mana ID cardmu, keperluan kamu apa di sini?” teriak orang tersebut yang masih diingat oleh Benfa.

Setelah itu, Benfa menunjukan id persnya yang masih melekat di leher, tetiba orang tersebut menarik dengan kasar sampai Benfa tertarik ke depan. Benfa kembali ditanya, “Mana surat izinmu?” Benfa menjawab dengan polos, “Bukanya ini era keterbukaan informasi Pak? Masyarakat berhak tahu akan kejadian ini.” Orang tersebut membentak dengan keras, “Kamu tahu apa soal itu?” Ia pun mendorong Benfa sampai terdorong ke belakang.

Pukul 11.19 Benfa memutuskan untuk pergi mencari tempat yang lebih aman karena merasa posisi sudah tidak aman dan intel sudah banyak yang curiga. Ia berjalan sampai ke depan Bank BRI Kusumanegara untuk duduk menenangkan dirinya.

Pukul 11.22 Setelah merasa dirinya aman, ia kemudian pergi dan mencari dua rekannnya, Egi dan Fileks. Tidak menginginkan adanya intimidasi dan interogasi lanjutan, Benfa kemudian memutuskan untuk selalu pergi bersama dua rekannya sampai pulang menuju kantor Natas.

 

Narahubung :

Gregorius Adhytama (Pimpinan Umum Natas): +6281217497196

Taufik Hidayat (Sekjen PPMI DK Jogja): +6283869971305