Kategori
Siaran Pers

UNDIP Harus Minta Maaf atas Pembungkaman Kebebasan Mimbar Akademik

Acara diskusi “Ngobrol Pintar (Ngopi)” dengan pembahasan fenomena Lesbian, Gay, Biseksual, Transgender (LGBT) yang diselenggarakan Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Gema Keadilan Fakultas Hukum Universitas Diponegoro (Undip) dibubarkan pihak kampus, pada Kamis (12/11).

Melalui Sambungan telepon, Solechan, Pembantu Dekan III Fakultas Hukum memberitahukan kepada pihak panitia bahwa diskusi tidak boleh diselenggarakan. Karena akan mengganggu Undip, yang sedang dalam proses menuju Perguruan Tinggi Negeri Badan Hukum (PTNBH).

Tidak lama setelah berkomunikasi dengan pihak kampus, pihak kepolisian berpakaian preman mendatangi lokasi diskusi dan menunjukkan percakapan melalui Whatsapp messenger. Percakapan berisi aduan salah satu anggota organisasi masyarakat, yang menyatakan bahwa diskusi bertema “Melihat LGBT dalam Sosial Masyarakat Indonesia” adalah pelegalan homoseksual dan harus diamankan.

Namun Pebri Tuwanto, ketua LPM Gema Keadilan telah menyatakan bahwa diskusi Ngopi ke enam ini bertujuan untuk melihat LGBT dari sudut pandang akademis serta mencari solusinya. Karena LGBT merupakan sesuatu yang nyata dan ada di Kota Semarang.

Menanggapi peristiwa tersebut, Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia (PPMI) Dewan Kota (DK) Semarang menuntut pihak Fakultas Hukum Undip untuk melindungi kebebasan Mimbar Akademik di lingkungan kampus dan minta maaf secara resmi kepada seluruh mahasiswa.

“Jelas sangat memprihatinkan, kampus sebesar Undip masih menutup kebebasan mimbar akademik. Padahal tujuan dari diskusi untuk memberi perspektif baru dan solusi terkait LGBT yang muncul di lingkungan masyarakat,” ungkap Ahmad Fahmi Ashshidiq, Sekretaris Jenderal PPMI DK Semarang.

Selain itu Fahmi juga menghimbau seluruh LPM di Indonesia serta mahasiswa untuk terus aktif menyuarakan perlawanan terhadap kriminalisasi, intimidasi, dan pengekangan terhadap kebebasan pers dan berekspresi yang telah dijamin di dalam Undang-undang Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 1998 tentang kemerdekaan menyampaikan pendapat di muka publik.

Pembubaran diskusi mahasiswa yang terjadi merupakan bentuk pembungkaman kebebasan mimbar akademik, dan otonomi keilmuan di perguruan tinggi yang seharusnya wajib dilindungi dan dilaksanakan oleh pimpinan perguruan tinggi. Sesuai pasal 8 ayat 3 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 12 tahun 2012 Tentang Pendidikan Tinggi. “Jika diibaratkan ini, seperti kita dilarang berpikir” tutup Fahmi.

 

Narahubung:

Sekjend PPMI DK Semarang: Ahmad Fahmi Ashshidiq +628985671169

Ketua LPM Gema Keadilan, FH Undip: Pebri Tuwanto +62 857-4118-5666

Kategori
Siaran Pers

Peduli dan Tolak Kriminalisasi Pers Mahasiswa

Penggembosan terhadap kebebasan berekspresi dan berpendapat masih saja mencuat dalam dinamika berbangsa dan bernegara. Sebagai Negara yang menjunjung tinggi prinsip demokrasi dan nilai-nilai HAM, fenomena sumbat-menyumbat kebebasan berekspresi dan berpendapat terhadap warga Negara menjadi ironi tersendiri. Pembredelan dan pemutihan media mahasiswa baru-baru ini yang terjadi di beberapa daerah di Indonesia, seperti Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Lentera di Universitas Kristen Satya Wacana di Salatiga, LPM Aksara di Fakultas Ilmu Keislaman Universitas Trunojoyo di Madura, serta LPM UKPKM Universitas Mataram merupakan tindakan yang jauh dari pijakan HAM.

Tidak berlebihan jika pembredelan dan pembekuan LPM cenderung merupakan bentuk Kriminalisasi terhadap Pers Mahasiswa. Istilah kriminalisasi memang cenderung terhadap hal-hal yang bersifat yuridis, yakni peenggunaan kewenangan penegakan hukum dengan itikad buruk. Namun kriminalisasi disini bisa dilekatkan pada bentuk pemanfaatan wewenang oleh birokrasi kampus dalam mengeluarkan regulasi secara sepihak (aturan kampus) yang menjurus pada pemutihan lembaga kemahasiswaan (LPM) dan sampai pada tataran intervensi terhadap ranah keredaksian yang berujung pembredelan.

LPM Lentera UKSW Salatiga sendiri dibredel pada tanggal 16 Oktober kemarin dengan alasan pemberitaannya yang resisten terkait seputar dinamika pelanggaran 1965-1966 dengan tema :”Salatiga Kota Merah”. Bahkan pembredelan majalah Lentera bukan hanya dilakukan oleh pihak Dekan Fiskom UKSW, melainkan turut andil juga pihak Polres Kota Salatiga yang melakukan upaya pemanggilan tidak melalui prosedur yang ada. Ancaman Pemberedelan pun dialami oleh LPM Aksara yang beralasan karena tidak menjaga nama baik Fakultas Ilmu keislaman (FIK) Universitas Trunojoyo. Pemberitaan mengenai FIK yang dilakukan oleh LPM Aksara diasumsikan sebagai bentuk penyebaran aib FIK. Pada tanggal 30 September, intervensi kelembagaan dimasifkan terus oleh pihak DPM FIK terhadap LPM Aksara. Nasib tidak beruntung pula terjadi di LPM UKPKM di Mataram. Pembekuan lembaga ironisnya langsung didalangi oleh pihak rektorat dengan alasan pemberitaan LPM UKPKM yang tidak sesuai dengan visi kampus Unram

Selain itu, pembekuan LPM pun terjadi di Makassar yang sampai saat ini masih ibarat benang kusut. LPM Watak STIEM Bongaya yang dibekukan sejak tahun 2007 karena dianggap terlalu kritis, LPM Metanoiac PNUP yang dibredel sekaligus dibekukan pada tahun 2011 yang pada ssaat itu memberitakan mengenai kasus korupsi di Rektoratnya, serta LPM Estetika fakultas Bahasa dan Sastra UNM yang dibekukan sejak tahun 2012 oleh pihak fakultas.

Fenomena-fenomena miris ini merupakan satu bentuk kemunduran demokrasi. Dalam sistem demokratis, pers diberedel atau dibekukan itu tidak lazim. Praktik itu hanya ada dalam sistem otoritarianistik. Kebebasan dan keterbukaan informasi merupakan anak kandung dari reformasi yang harus terus diupayakan. Kebebasan pers mahasiswa sebagai bentuk upaya dalam mewujudkan cita-cita demokrasi, yakni pendistribusian informasi kepada publik diakomodir dalam Instrumen HAM, seperti Pasal 19 DUHAM, Konvensi hak Sipil Politik, serta UU No 39/1999 tentang HAM. Pembredelan dan pembekukan LPM juga sangat jauh dari spirit Konstitusi kita sebagai hukum tertinggi di Republik ini sebagaimana pada pasal 28 E ayat (3) yang mengatur tentang hak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat.

Maka dari itu, kami dari Lembaga Pers Mahasiswa Se-Makassar yang bernaung dalam Perhimpunan Pers mahasiswa Indonesia DK Makassar menyatakan:

  1. Lawan Setiap Tindakan Pembredelan Pers Mahasiswa
  2. Jamin Kebebasan Pers Mahasiswa
  3. Tolak Intervensi Kampus Terhadap Lembaga Pers Mahasiswa

 

Makassar, 13 November 2015

Narahubung:

Irwan Sakkir, Sekjend PPMI DK Makassar +62 852-5576-9004

Abdus Somad, Sekjend PPMI Nasional, +62 812-2654-5705

Kategori
Berita

Kronologi Pembatalan Diskusi LGBT dalam Sosial Masyarakat Indonesia di Universitas Diponegoro

Dalam pemaparan berikut ini, LPM Gema Keadilan menerangkan kronologi dibatalkannya #NGOPI 6. Keterangan ini semata-mata disampaikan atas dasar itikad baik untuk memberikan kejelasan atas peristiwa tersebut, termasuk tujuan dan latar belakang LPM Gema Keadilan dalam menyelenggarakan diskusi tersebut.

6 Oktober 2015

Divisi Litbang LPM Gema Keadilan FH Undip mengadakan rapat untuk menentukan tema yang akan diambil untuk #NGOPI 6. Perlu diketahui sebelumnya, bahwa “Ngopi“ adalah akronim dari “Ngobrol Pintar” yang merupakan program rutin Divisi Litbang GK. Akhirnya, setelah melalui proses diskusi, maka kami sepakat untuk mengambil tema mengenai “LGBT dalam Sosial Masyarakat Indonesia” untuk Ngopi ke-6.

Latar belakang
Kami mengangkat tema ini karena masalah LGBT sudah menjadi fenomena sosial yang berkembang di masyarakat, baik dalam skala global maupun nasional, sehingga dalam rangka menjalankan fungsi pencerdasan dari pers, Divisi Litbang ingin mewadahi diskusi ini agar masyarakat dapat melihat fenomena sosial tersebut dari sudut pandang yang lebih luas, bukan justru sengaja menutup mata atas fenomena sosial yang terjadi atau malah menjustifikasi suatu isu secara naif.

Tujuan dalam diskusi ini murni bukan untuk mendoktrin setuju atau tidak setuju terhadap LGBT tetapi untuk membahas permasalahan LGBT dari sudut pandang yang lebih luas, karena apabila kita cermati secara lebih dalam, fenomena LGBT ini acapkali dicerna secara mentah-mentah oleh masyarakat sehingga perlu pemahaman dari kacamata ilmiah agar dapat dicerna lebih objektif dan jelas. Perlu dicermati pula bahwa kami telah mengundang perwakilan dari LGBT sebagai pelaku, lalu akademisi dari kedokteran dan HAM yang akan melihat fenomena ini dari kacamata ilmiah, sehingga dapat ditarik sebuah garis lurus bahwa diskusi ini berjalan dari berbagai arah dengan berbagai pandangan dari berbagai sisi.

Kami pun meyakini bahwa diskusi ini akan terselenggara dengan baik karena diselenggarakan di kampus yang menurut kami adalah wadah intelektual untuk sirkulasi isu, gagasan, dan ide-ide baru. Perlu ditekankan di sini bahwa diskusi ini bukan untuk melegitimasi suatu paham tertentu karena diskusi berjalan dari berbagai arah. Justru melalui diskusi ini, dapat diperoleh berbagai pandangan dan gagasan untuk menemukan solusi atas suatu fenomena sosial yang terjadi, bukan saling menghujat satu sama lain atau sengaja menutup mata atas masalah ini karena hal itu tidak akan memecahkan masalah tetapi malah membuat keadaan semakin runyam.

11 November 2015

Pukul 13.40 Gema Keadilan mempublikasikan poster COMING SOON diskusi lewat media official Line LPM Gema Keadilan FH Undip serta membubuhkan kalimat “Menantang mahasiswa yang pikirannya terbuka, karena belum tentu LGBT itu keliru dan belum tentu LGBT itu benar. Jangan terburu-buru mengambil sikap, mari datang #NGOPI 6 melihat suatu permasalahan dari sudut pandang yang lebih luas. Mengundang langsung Komunitas Gay Semarang dan para akademisi yang kompeten di bidangnya.”

Pukul 22.04 LPM Gema Keadilan FH Undip mempublikasikan poster #NGOPI 6 melalui official Line LPM Gema Keadilan FH Undip yang berisi poster diskusi dengan kalimat:

LPM Gema Keadilan FH Undip

#NGOPI 6
“LGBT dalam Sosial Masyarakat Indonesia”
Menantang mahasiswa yang pikiran nya terbuka,karena belum tentu LGBT itu keliru dan belum tentu LGBT itu benar. Mari datang #NGOPI 6 melihat suatu permasalahan dari sudut pandang yang lebih luas.
Pembicara :
1.Yosef (Ketua Komunitas Gay Semarang)
2. Marten Hanura,SIP.MPS (Dosen HAM FISIP Undip)
3. dr .Zulfa Juniarto,M.Si,Med,SpAnd,PhD (Dosen FK Undip dan dokter spesialis andrologi)
Hari/tanggal : Kamis,12 November 2015
Tempat : Ruang H 302 FH Undip
Pukul : 15.30-17.00
FREE dan Terbuka untuk UMUM

12 November 2015

Pukul 14.03 WIB salah seorang panitia dihubungi oleh PD III FH Undip, lalu ditanyai mengenai tempat dan pukul berapa diskusi akan diselenggarakan. Selain itu, pihak dekanat juga memberitahu bahwa diskusi tidak boleh diselenggarakan dikarenakan isu tersebut dinilai sensitif dan dirasa akan berimbas pada citra Undip yang sedang dalam proses menuju PTNBH sehingga diskusi ini tidak diperbolehkan diadakan di kampus. Lalu telpon dari PD III sempat diserahkan ke Dekan yang mengatakan bahwa isu yang diadakan tergolong sensitif dan Rektor melarang diskusi tersebut untuk diadakan.

Pukul 14.15 WIB Sekretaris Umum LPM Gema Keadilan FH Undip mendapatkan info bahwa anggota LPM Gema Keadilan FH Undip dipanggil oleh PD III untuk segera menghadap. Lalu, Sekretaris Umum LPM Gema Keadilan bertemu pejabat FH Undip (PD II, PD III, Dekan FH Undip, Dosen Pembimbing LPM Gema Keadilan) dalam hal ini Sekretaris Umum LPM Gema Keadilan FH Undip ditanya mengenai latar belakang mengangkat isu LGBT dan mengapa isu tersebut tidak didiskusikan terlebih dahulu kepada pihak dekanat FH Undip. Sekretaris Umum LPM Gema Keadilan menjawab bahwa setiap isu yang akan diangkat sebelumnya dibahas terlebih dahulu oleh Divisi Litbang, setelah itu didiskusikan kembali oleh para pimpinan LPM Gema Keadilan FH Undip. Namun, pihak dekanat lebih menekankan mengapa tidak ada koordinasi ke pihak dekanat sebelumnya terkait diskusi ini. Dekanat baru mengetahui diskusi ini setelah diberitahu langsung oleh Rektor Undip.

Bahkan, permasalahan ini sudah dibahas dalam rapat senat universitas. Dekan pun menambahkan bahwa Undip sedang proses menuju PTNBH, sehingga ditakutkan hal ini dapat mempengaruhi proses tersebut. Dekan juga mempermasalahkan bahwa beberapa proses prosedural dinilai belum dilakukan, seperti proposal yang belum sampai ke PD III, undangan pembukaan acara oleh pihak dekanat tidak ada sehingga pihak dekanat merasa kurangnya koordinasi. Undangan kepada dosen pembimbing pun hanya diucapkan secara lisan. Dekan mengakhiri pernyataannya dengan kalimat “diskusi ini ditunda sampai waktu yang tidak ditentukan”.

Sekretaris Umum LPM Gema Keadilan dalam hal ini menanggapi mengenai adanya kendala dalam prosedur pengesahan proposal dikarenakan adanya beberapa kendala:

1) Ketua Senat sedang tidak berada di Semarang dikarenakan mengikuti KKL sehingga dialihkan ke Wakil Ketua Senat .

2) Ketika proposal sudah diajukan ke PD III, proposal dikembalikan karena ada revisi berupa kewajiban mencantumkan tanda-tangan dosen pembimbing, di mana kebijakan tersebut baru saja diketahui pada tanggal 12 November 2015, sehingga pada waktu acara akan berlangsung, proposal tersebut masih dalam proses revisi. Untuk permasalahan undangan pembukaan acara, Sekretaris Umum LPM Gema Keadilan FH Undip menanggapi bahwa pada program kerja divisi ini memang tidak mengundang pihak dekanat untuk membuka acara secara resmi karena acara ini termasuk program kerja dalam skala kecil. Dari 5 diskusi yang diselenggarakan sebelumnya, yakni Ngopi 1, 2, 3, 4, dan 5 tidak mengundang pihak dekanat untuk membuka acara secara resmi dan tidak pernah ada permasalahan prosedural terkait program ini.

Pukul 14.35 WIB Divisi Litbang yang sedang mempersiapkan ruangan untuk diskusi #NGOPI 6 didatangi oleh satpam dan petugas kebersihan FH Undip yang menyampaikan bahwa acara ini harus dibatalkan karena tidak diperbolehkan oleh Rektor. Satpam juga menanyakan perihal surat peminjaman tempat. Setelah mendapatkan surat tersebut dari petugas kebersihan, satpam langsung menyampaikan kedua kalinya bahwa acara diskusi #NGOPI 6 tidak dapat diselenggarakan dan langsung menutup ruangan H.302.

Tidak lama kemudian, PD III dan dosen pembimbing kami langsung menuju ke lantai 3 Gedung H untuk memastikan batalnya diskusi #NGOPI 6. Dalam diskusi antara PD III dengan kawan-kawan LPM Gema Keadilan, PD III menyampaikan, “Ini persoalan teknis, tetapi meskipun Anda sudah menyelenggarakan beberapa kali kegiatan, tema kali ini dipandang sensitif. Tema-tema lain yang sebelumnya nggak masalah. Hukuman mati nggak masalah, koruptor nggak masalah, urusan gay sama transgender itu yang jadi persoalan, seolah-olah Undip itu nanti bisa menerima pemikiran-pemikiran gay dan itu mengganggu persiapan untuk PTNBH dan itu yang jadi masalah.”

Pukul 15.38 WIB LPM Gema Keadilan memberitahukan pembatalan diskusi melalui official Line LPM Gema Keadilan dengan kalimat:

Selamat Sore peserta diskusi yang kami banggakan. Memberitahukan kepada seluruh peserta diskusi #NGOPI 6 dengan tema “LGBT dalam Sosial Masyarakat Indonesia” dengan ini kami selaku panitia dengan berat hati menyatakan bahwa demi keamanan peserta dan pembicara,diskusi tersebut dibatalkan karena:

1. Tidak diizinkan dan dilarang oleh Rektor dengan alasan merupakan suatu isu sensitif sedangkan Undip dalam proses menuju PTNBH.
2. Polrestabes Semarang dan Polsek Tembalang mendatangi lokasi diskusi dan memberitahukan bahwa akan ada ormas Islam yang bertindak apabila diskusi tetap dilaksanakan.

Pukul 15.52 WIB Polrestabes Semarang mendatangi lokasi diskusi dengan membawa surat perintah untuk melaksanakan pengamanan tertutup yang didelegasikan pada 3 petugas kepolisian. Dua petugas yang mendatangi lokasi diskusi tersebut memotret kertas yang ditempelkan pada pintu H.302 dengan tulisan “DISKUSI LGBT dalam Sosial Masyarakat Indonesia DIBATALKAN” dan kemudian menyampaikan bahwa, “Apabila acara terus dijalankan, maka akan ada ormas yang bertindak.”

*SMS yang ditunjukkan terkait ormas.
*SMS yang ditunjukkan terkait ormas.
*Chat BBM yang menunjukkan adanya protes dari ormas tertentu.
*Chat BBM yang menunjukkan adanya protes dari ormas tertentu.

Pukul 16.10 WIB menurut kesaksian beberapa anggota LPM Gema Keadilan FH Undip, satpam dan pihak dekanat menyaksikan sendiri adanya beberapa ormas yang masuk ke dalam lingkungan kampus FH Undip untuk melakukan sweeping acara.

 

Narahubung: +62 857-4118-5666 (Pebri, Pemimpin Umum LPM Gema Keadilan)

Kategori
Siaran Pers

PPMI Tuntut Rektor Universitas Mataram Kembalikan Kebebasan Pers Mahasiswa

Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia (PPMI) mengecam tindakan Rektor Universitas Mataram (Unram), Sunarpi yang membekukan Unit Kegiatan Pers Kampus Mahasiswa (UKPKM) Media Unram. “Pembekuan terhadap aktivitas UKPKM Media Unram yang dilakukan Rektor merupakan tindakan represif,” kata Abdus Somad, Sekretaris Jenderal PPMI. “Sunarpi tak mau berdialog dengan mahasiswa dalam kasus ini.”

Sunarpi menyatakan bahwa pemberitaan Media Unram tidak satu visi dengan kampus, yaitu menjadi perguruan tinggi yang berdaya saing tinggi, sehingga perlu dilakukan pembinaan. Namun, pembinaan yang dilakukan oleh Rektor lebih mengarah pada pembekuan lembaga. “Karena yang dilakukan rektor nyatanya berupa pembekuan UKPKM Media secara kelembagaan dan pembentukan secara sepihak kepengurusan baru berdasarkan kepentingan rektor,” jelas Somad.

Somad menambahkan bahwa pers mahasiswa selama bertahun-tahun berfungsi sebagai pendorong daya kritis mahasiswa terhadap lingkungan sekitar. “Sehingga wajar bila produk jurnalistik terbitan pers mahasiswa bernilai kritis dan mendalam saat menyoroti kebijakan kampus,” tambah Somad.

Kalaupun ada pemberitaan yang tidak berimbang, kata Somad, publik bisa mengirim hak jawab dan hak koreksi mereka. Bukan bertindak sewenang-wenang atas kekuasaan mereka. “Pers mahasiswa dalam menjalankan kerja jurnalistik pun sangat menjunjung tinggi kode etik, serta memposisikan dirinya sebagai penyalur suara mahasiswa dan kontrol sosial.”

“Kami menilai tindakan Rektor Unram terhadap UKPKM Media merupakan tindakan yang menyalahi undang-undang pers,” tegas Somad.

Selain itu, PPMI memandang tindakan yang telah dilakukan oleh Rektor Unram tidak mencerminkan perilaku seorang akademisi dan sangat tidak demokratis. “Seharusnya rektor bisa berpikir jernih dan bertindak dengan nalar sehat dalam menanggapi pemberitaan media Unram.” tutur Somad.

PPMI berharap Rektor Unram bisa memahami bahwa pers mahasiswa bersikap independen dalam melakukan pemberitaan. “Jika pers mahasiswa tidak boleh bersikap independen, tentu kami menilai ada indikasi bahwa pimpinan kampus takut jika kebijakannya dikritisi dan dibicarakan oleh mahasiswanya,” terang Somad.

Tindakan pembekuan lembaga pers mahasiswa, bagi Somad, merupakan indikasi terhadap pembungkaman sikap kritis mahasiswa. Apalagi disertai pengusiran anggota UKPKM Media serta penggantian pengurus secara sepihak oleh rektor. Kebebasan berpendapat, berekspresi, keterbukaan informasi publik dan kebebasan pers pun telah diatur dalam undang-undang dan menjadi pedoman kehidupan demokrasi di Indonesia. “Apalagi memaksa pers mahasiswa untuk menjadi humas kampus yang hanya boleh mencitrakan kampus menjadi lembaga tanpa dosa,” kata Somad.

Karena itu, PPMI menuntut kepada Rektor Unram untuk kembali mengaktifkan kepengurusan LPM Media Unram yang dibekukan secara sepihak dan diusir dari sekretariat, serta memberikan jaminan kepada UKPKM Media Unram agar dapat melakukan kegiatan jurnalistik seperti semula tanpa ada intervensi. “Rektor seharusnya bersikap bijaksana. Daripada melakukan pembekuan, bukankah lebih baik jika mau melakukan hak jawab dan menghidupkan pola interaksi dan dialog yang baik, agar menjadi kampus yang berdaya saing tinggi. Bukan sewenang-wenang dengan kekuasaan yang dimiliki,” tandas Somad.[]

 

Narahubung:

Sulton Anwar, Pemimpin Umum UKPKM Media Unram, +62 878-6536-2040

⁠⁠⁠M. Fathur Rohman, BP Advokasi PPMI Nasional, +62 895-2744-0416

Abdus Somad, Sekjend PPMI Nasional, +62 812-2654-5705

Kategori
Berita

Kronologi Pembekuan UKPKM Media Universitas Mataram

Kamis, 1 Oktober 2015. Pemimpin Umum UKPKM Media Unram Sulton Anwar, dipanggil pihak birokrat untuk menghadap ke Wakil Rektor III Unram. Karena beberapa anggota sibuk menyiapkan Latihan Jurnalistik Tingkat Dasar (LJTD) Media ke 24, Sulton menghadap sendiri ke ruang WR III Unram.

Saat ditemui di ruangannya, WR III menyampaikan beberapa hal berkaitan dengan keberlangsungan Media. Awalnya bapak WR III mengkritisi konten pemberitaan Media yang dianggap tidak satu visi dengan Unram. Di samping itu, beliau juga mengomentari crew Media yang dianggap sering kali menjadi orator di setiap aksi massa.

Menimbang hal tersebut, WR III menyampaikan keinginan Rektor Unram yang dimandatkan kepadanya. “Media memiliki dua pilihan. Pertama, Media menandatangani surat berisi kesanggupan Media untuk satu visi dengan Unram, media tidak boleh memberitakan hal-hal negative terkait masalah kampus dan  fokus untuk memberitakan kegiatan-kegiatan ataupun prestasi yang diraih Unram, baik prestasi mahasiswa maupun dosen,” tuturnya pada Sulton.

“Kedua, jika Media tidak bersedia menandatangani surat pernyataan tersebut, kepengurusan Media akan dialihkan pada mahasiswa jurusan Hubungan Internasional (HI),” tambah bapak WR III.

Setelah mendengar pernyataan tersebut, sore harinya Sulton langsung mengumpulkan pengurus Media untuk merapatkan suara terkait pernyataan WR III. Dari hasil rapat pengurus, Media sepakat untuk mengundang WR III berdiskusi di sekretariat Media, sabtu sore (3/10).

Jum’at, 2 Oktober 2015. Media bersurat pada WR III, meminta kesediaan beliau untuk berdiskusi. WR III menyetujui undangan diskusi tersebut.

Sabtu, 3 Oktober 2015. Secara tiba-tiba WR III menghubungi Sulton karena tidak bisa menghadiri diskusi sore di sekretariat Media. Beliau meminta crew Media untuk datang langsung ke ruangannya siang hari, sabtu (3/10).

Sekitar pukul 13.00, beberapa crew Media menghadiri undangan WR III. Termasuk pimum, sekretaris, pemred, dan beberapa senior Media. Tapi sayangnya, WR III hanya meluangkan sedikit waktu. Saat itu hanya seperti diskusi sepihak. Beliau hanya menegaskan bahwa sampai akhir tahun, Media tidak lagi boleh berkegiatan. Nanti di awal tahun, birokrat kampus akan mengaktifkan Media kembali, tapi dengan personil yang baru dari mahasiswa-mahasiswa HI Unram.

Mendengar tawaran tersebut, beberapa crew Media yang hadir, keberatan dan mencoba mencari jalan keluar yang lain. Tapi karena harus menghadiri suatu acara, WR III memberikan mandat pada kabag Kemahasiswaan Unram, pak Musanif untuk mendengarkan aspirasi crew Media.

Tapi saat itu, bukan aspirasi yang dapat disuarakan. Justru kabag Kemahasiswaan secara sepihak bersikukuh akan tetap menjalankan perintah Rektor Unram untuk mengalihkan kepengurusan Media dan membekukan kepengurusan tahun ini.

“Kalian fokus saja pada studi masing-masing, raih IPK tinggi. Jangan menomorduakan akademik hanya karena organisasi,” tegas pak Musanif pada crew Media saat itu.

Rabu, 21 Oktober 2015. Pihak birokrat kampus yang diwakili WR III Unram, mengeluarkan pernyataan di surat kabar Suara NTB. Isi berita tersebut, Unram mengoreksi konten pemberitaan Media yang dianggap tidak satu visi dengan Unram. Selain itu Unram juga menganggap pemberitaan Media tidak sesuai dengan semangat pemberitaan pers mahasiswa. Berikut kutipan komentar WR III di koran Suara NTB:

“Kalau kemarin itu lebih pada berorientasi pada berpikir koran. Padahal ini koran mahasiswa, padahal harusnya memuat aktivitas-aktivitas kemahasiswaan. Dia harus lebih menjadi media promosi kegiatan mahasiswa Unram.”

“Visi misi Unram jadi lembaga perguruan tinggi yang berdaya saing tinggi, walau begitu Unram tidak berarti akan membredel UKM Media, melainkan akan dibina dan dibentuk dengan pola pembinaan yang lebih baik lagi.”

Terkait dengan hal tersebut, dua hari setelah keluarnya berita itu, Jum’at (23/10) UKPKM Media melalui Pemimpin Umumnya menanggapi pernyataan WR III yang juga di muat harian Suara NTB. Media secara tegas menyatakan bahwa Media tetap mengedepankan kode etik dalam menjalankan tugas sebagai media kampus. Selain itu pemberitaan Media tetap menjunjung tinggi cover both sides (keberimbangan).

Rabu, 21 oktober 2015. UKPKM Media melayangkan surat audiensi kepada Rektor Unram dalam rangka membahas pernyataan WR III tentang pembekuan kepengurusan Media tahun ini.

Senin, 27 oktober 2015. Tanggapan atas surat audiensi tersebut menyatakan bahwa Rektor tidak bersedia berdialog dengan segenap pengurus UKPKM  Media. Hal ini diungkapkan oleh kabag kemahasiswaan  Unram Musanif, yang menyatakan bahwa Rektor menganggap surat tersebut cukup audiensinya hanya sampai WR III saja.

Kamis, 29 Oktober 2015. Sekitar pukul 08.00 WITA. WR III, kabag Kemahasiswaan, dan beberapa staf melakukan sweeping di gedung PKM. Saat bertandang ke sekretariat Media, Kabag mahasiswaan Unram meminta pengurus UKPKM Media angkat kaki dari sekret. Musanif berkata, Media harus mengemasi barang-barang di sekretariat maksimal minggu (1/11) besok. Saat itu selain Sulton, ada juga Rahman (angota Media) yang sedang mengerjakan tugas kuliahnya di sekretariat Media.

Diakui Rahman, ia tiba di sekretariat Media sekitar pukul 07.30. Setelah beberapa lama membaca, kabag Kemahasiswaan Unram masuk seraya memotret suasana sekretariat Media. Berdasarkan kesaksian Rahman, pak Musanif meminta agar Media segera mengemasi barang-barang pribadi dan mengosongkan secretariat maksimal minggu (1/11) besok. Jika tidak, pihak birokrat akan mengutus satpam Unram untuk membereskan semuanya.

Saat Sulton menanyakan apa dasar Media harus hengkang dari sekretariat, pak Musanif mengatakan tidak ada yang perlu dibahas lagi. Sulton menambahkan sampai saat ini tidak ada SK yang dikeluarkan pihak birokrat terkait pengusiran paksa crew Media dari sekretariatnya.

 

Narahubung:

+6287865362040 Sulton, Pemimpin Umum UKPKM Media Universitas Mataram

Kategori
PPMI di Media

Majalah Lentera Dilarang, Ini Tuntutan ke Komnas HAM

TEMPO.CO, Jakarta – Pelarangan majalah Lentera yang dibuat oleh Lembaga Pers Mahasiswa Lentera, Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW) Salatiga terus menuai protes. Sejumlah kalangan menilai perbuatan itu telah merampas kebebasan berekspresi dan hak menyebarkan informasi. Penarikan majalah Lentera juga dianggap melanggar hak asasi manusia masyarakat untuk memperoleh informasi dan karya jurnalistik.

“Kami ke sini untuk melaporkan perampasan kebebasan berekspresi dan hak menyebarluaskan informasi yang dialami Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Lentera, Salatiga,” kata Ketua Presidium Forum Alumni Aktivis Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia (FAA PPMI) Agung Sedayu, salah satu pelapor, di gedung Komnas HAM, Menteng, Jakarta Pusat, Kamis 22 Oktober 2015.

Selain FAA PPMI terdapat 23 perwakilan lembaga dan individu yang ikut melaporkan kasus pelarangan majalah Lentera. Antara lain Aliansi Jurnalis Independen Indonesia, Lembaga Bantuan Hukum Pers, Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan, Serikat Pengajar Hak Asasi Manusia, Aliansi Jurnalis Independen Semarang, Aliansi Jurnalis Independen Jakarta, Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia, Forum Alumni Aktivis Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia Makassar, Yayasan Pulih, Indonesia untuk Kemanusiaan, dan Pusham Unimed.

Pelarangan majalah Lentera juga dianggap melanggar Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, pelarangan majalah Lentera juga melanggar Pasal 28F Undang-undang Dasar 1945. Pasal itu menjamin hak setiap warga negara untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia.

Karena itu Komnas HAM diminta untuk bersikap tegas dalam kasus majalah Lentera. Dalam surat aduannya, puluhan perwakilan lembaga dan individu itu menuntut enam hal pada Komnas HAM.

Pertama, penghentian upaya penarikan peredaran majalah Lentera edisi “Salatiga Kota Merah”. Kedua, pengembalian peredaran seluruh majalah yang telah ditarik berbagai pihak agar bisa diperoleh publik. Ketiga, penghentian segala bentuk intimidasi dan stigmatisasi kepada mahasiswa dan jurnalis yang tergabung dalam Lembaga Pers Mahasiswa Lentera.

Keempat, para mahasiswa dan jurnalis yang ada dalam Lembaga Pers Mahasiswa Lentera tidak dikenai sanksi ataupun tuntutan hukum apapun dari Rektorat UKSW dan jajarannya, Kepolisian Republik Indonesia dan jajarannya, Tentara Nasional Indonesia dan jajarannya—baik  pada masa sekarang ataupun pada masa yang akan datang. “Komnas harus bisa memastikan tidak akan ada sanksi atau akibat hukum apapun kepada mahasiswa, sekarang maupun di masa depan.” kata Aryo Wisanggeni dari Aliansi Jurnalis Independen (AJI) yang ikut datang melaporkan.

Tuntutan kelima adalah supaya Lembaga Pers Mahasiswa Lentera dapat melanjutkan aktivitasnya sebagai unit kegiatan mahasiswa yang resmi, bebas dari praktik sensor dan bredel dari pihak mana pun. Dan keenam, kebebasan akademik civitas akademika UKSW dapat dilaksanakan tanpa intimidasi dan intervensi dari pihak mana pun.

Koordinator Sub-Mediasi Komnas HAM Anshori Sinungga mengatakan bahwa Komnas HAM akan menindaklanjuti laporan itu. Komnas HAM akan datang ke Salatiga untuk menemui pihak kampus, polisi, serta pihak lain yang diduga terlibat di kasus itu. Komnas HAM juga berjanji akan berupaya supaya tuntutan tersebut bisa dipenuhi. “Insya Allah akan menjamin tidak akan terjadi diskriminasi pada masa depan mahasiswa,” katanya.

Sebelumnya, pihak dekanat dan rektorat UKSW Salatiga dan polisi meminta supaya LPM Lentera menarik semua majalah Lentera. Alasannya, hal itu untuk menciptakan situasi yang kondusif di Salatiga. (EGI ADYATAMA/Tempo.co)

Kategori
Siaran Pers

Pimpinan Kampus Harus Jamin Kegiatan Akademik dan Kebebasan Pers Mahasiswa

Majalah Lentera yang telah diedarkan di kota Salatiga dan kota sekitarnya, dipaksa untuk ditarik lagi oleh birokrasi kampus. Penarikan tersebut berdasarkan pertemuan antara pengurus Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Lentera dengan Rektor Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW), Pembantu Rektor II UKSW, Dekan Fiskom UKSW, dan Koordinator Bidang Kemahasiswaan (Koorbidkem) di Gedung Administrasi Pusat UKSW pukul 21.00 WIB, pada Jumat 16 Oktober 2015.

Ketika pengurus LPM Lentera hendak mengambil majalah di salah satu agen majalah Lentera di Salatiga, pihak Kepolisian Resor (Polres) Salatiga lebih dulu mengambil majalah Lentera, tepatnya pada Sabtu 17 Oktober 2015.

Tanpa adanya surat pemanggilan, pada Minggu 18 Oktober 2015, Arista Ayu Nanda (Pemimpin Umum Lentera), Bima Satria Putra (Pimpinan Redaksi Lentera), dan Septi Dwi Astuti (Bendahara LPM Lentera), diminta datang ke Polres Salatiga untuk memberi keterangan soal penerbitan majalah itu.

Sebelumnya, perwakilan pengurus Lentera dipertemukan dengan Dekan Fiskom, Pembantu Rektor. Hasil pertemuan tersebut, beberapa yang dipermasalahkan oleh jajaran pimpinan kampus itu adalah judul sampul yang menimbulkan persepsi bahwa Kota Salatiga adalah kota PKI. Selain itu, berdasarkan keterangan redaksi Lentera, bahwa lambang palu arit yang berada di sampul depan. Bukan hanya itu, soal narasumber juga diragukan kevalidannya oleh pimpinan kampus.

Majalah yang berjudul “Salatiga Kota Merah” dengan nomor 3/2015, dengan terbit 500 eksemplar. Majalah tersebut bukan hanya didistribusikan di kampus, melainkan dititipkan juga di beberapa tempat umum. Redaksi Lentera memberi keterangan bahwa Majalah Lentera pemilihan judul majalah bermaksud untuk mendukung bukti-bukti bahwa simpatisan PKI di Salatiga tidak terlibat dalam peristiwa G30S. Juga sebagai dokumentasi sejarah atas peristiwa berdarah yang terjadi pada 1965.

Redaksi Lentera mengaku bahwa proses penulisan dan kerja jurnalisme telah menerapkan asas-asas jurnalisme presisi dengan melakukan riset dan penelusuran kepustakaan yang mendalam, observasi lapangan dan verifikasi narasumber untuk menghasilkan reportase sesuai prosedur jurnalistik.

Atas peristiwa penarikan majalah tersebut, Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia (PPMI) menuntut pimpinan kampus UKSW melindungi kebebasan akademik, kebebasan mimbar akademik, dan otonomi keilmuan. “Pengembangan budaya akademik termasuk kegiatan penerbitan majalah yang dilakukan pers mahasiswa,” kata Sekjend PPMI, Abdus Somad. “Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi, pada Bab II tentang Penyelenggaraan Pendidikan Tinggi, pasal 6 poin C telah mengatur hal itu.”

Selain itu juga ditegaskan soal kewajiban kampus memberikan dan melindungi mahasiswa dalam melakukan kajian akademis. Pelaksanaan kebebasan akademik, kebebasan mimbar akademik, dan otonomi keilmuan di Perguruan Tinggi merupakan tanggung jawab pribadi sivitas Akademika. “Ini wajib dilindungi dan difasilitasi oleh pimpinan Perguruan Tinggi,” jelas Somad.

Pada pasal 9 juga dijelaskan bahwa otonomi keilmuan merupakan otonomi sivitas akademika pada suatu cabang ilmu Pengetahuan dan atau Teknologi dalam menemukan, mengembangkan, mengungkapkan, dan atau mempertahankan kebenaran ilmiah menurut kaidah metode keilmuan, dan budaya akademik. “Aktivitas yang dilakukan oleh Lentera merupakan sebuah kerja akademik. Maka ketika birokrasi menarik majalah harus melakukan kerja akademik juga. “Yaitu dengan menguji kebenaran majalah Lentera dan membuktikan dengan karya tulis bahwa majalah Lentera datanya tidak valid, bukannya langsung melarang beredarnya sebuah produk jurnalistik,” ungkap Somad.

Rektor UKSW serta jajarannya wajib menjamin kebebasan berekspresi, berpendapat dan kebebasan pers di lingkungannya. “Kami menilai Penerbitan majalah lentera murni kerja jurnalistik. Orang yang meragukan atas validitas data, bisa melakukan hak koreksi. Orang yang bersangkutan mengoreksi atau membetulkan kekeliruan informasi yang diberitakan oleh pers, baik tentang dirinya maupun tentang orang lain.” kata Somad.

Selain itu PPMI juga menuntut Drs. Daru Purnomo, M.Si., Dekan Fiskom UKSW untuk mengembalikan Majalah Lentara yang dirampas. “Karena bagi kami tindakan itu telah mengekang kebebasan pers. Penyitaan adalah usaha melakukan pembredelan terhadap pers mahasiswa,” jelas Somad. “Alasan birokrasi kampus yang menilai Lentera menyalahi prosedur  dalam membuat majalah  yang kemudian menjadi salah satu indikator penyitaan majalah adalah penilaian yang keliru. Harusnya kampus mendukung pada apa yang dilakukan oleh Lentra, bukan malah melakukan upaya penyitaan.”

PPMI juga menuntut Polres Salatiga agar tidak bertindak sewenang-wenang terhadap aktivitas pers mahasiswa Lentera, mengingat upaya pemanggilan yang dilakukan pihak kepolisian tidak melalui prosedur yang ada. Juga meminta kepada seluruh elemen organisasi pers, organisasi mahasiswa, dan penyeru Hak Asasi Manusia agar membantu dan mengawal kejadian yang menimpa pers mahasiswa Lentera. Karena pembiaran pada peristiwa semacam ini, akan berakibat fatal pada segala bentuk pengekangan kebebasan pers, kebebasan akademik, dan pembatasan pada distribusi pengetahuan.[]

 

Narahubung:

Sekjend PPMI Nasional, Abdus Somad (+6281226545705)

Pemimpin Redaksi Majalah Lentera,  Bima Satria Putra (+6285600220516)

Pemimpin Umum LPM Lentera, Arista Ayu Nanda (+6285727384378)

Kategori
Berita

Penjelasan Redaksi Lentera perihal Majalah ‘Salatiga Kota Merah’

Tulisan ini dimaksudkan agar masyarakat umum dapat mengetahui secara pasti mengenai latar belakang dan kronologis penghentian distribusi Majalah Lentera Nomor 3/2015 dengan judul ‘Salatiga Kota Merah’. Selain itu juga sebagai bentuk itikad baik Lentera untuk berusaha menyelesaikan masalah ini.

Pada Jumat, 9 Oktober 2015 lalu, Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Lentera, Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW) menerbitkan sebuah majalah yang berjudul “Salatiga Kota Merah”. Majalah yang ketiga ini kami sebarluaskan pula ke masyarakat Kota Salatiga dengan menitipkannya di kafe serta beberapa tempat yang memasang iklan dalam majalah tersebut. Majalah terbit 500 eksemplar dan dijual dengan harga Rp 15.000. Lentera juga menyebarluaskan majalah tersebut ke instansi pemerintahan di Salatiga dan organisasi kemasyarakatan di Semarang, Jakarta dan Yogyakarta.

Di dalamnya, redaksi melakukan investigasi mengenai G30S di kota Salatiga dengan melakukan penelusuran tentang Walikota Salatiga Bakri Wahab yang diduga anggota PKI, serta penangkapan Komandan Korem 73/Makutarama Salatiga. Peristiwa pembantaian simpatisan dan terduga PKI pada 1965 di Kota Salatiga dan sekitarnya. Lentera menemukan empat titik pembantaian yang terletak di Lapangan Skeep Tengaran, Kebun Karet di Tuntang dan Beringin, serta di Gunung Buthak di Susukan.

Setelah majalah tersebut terbit, redaksi Lentera menerima respon baik pro dan kontra. Pihak yang pro menjelaskan bahwa majalah tersebut menjadi sebuah kemajuan yang positif bagi perkembangan dan pengarusutamaan korban 1965. Sementara itu pihak yang kontra menjelaskan bahwa mengangkat isu semacam itu di tengah kondisi sosial-budaya Indonesia saat ini, dirasa masih kurang tepat dan menimbulkan ketidakstabilan keamanan kota Salatiga dan kampus UKSW.

Pada Jumat, 16 Oktober 2015, pimpinan Lentera diminta untuk menghadap Rektor UKSW, Pembantu Rektor UKSW, Dekan Fiskom, dan Koordinator Bidang Kemahasiswaan (Koordbidkem) Fiskom pukul 21.00 WIB bertempat di Gedung Administrasi Pusat UKSW. Kesepakatan yang dihasilkan adalah redaksi Lentera harus menarik semua majalah yang tersisa dari semua agen. Hal ini dimaksudkan untuk menciptakan situasi yang kondusif pada masyarakat Kota Salatiga.

Hingga Sabtu, 17 Oktober 2015, dua orang anggota Lentera hendak mengambil majalah di salah satu agen majalah di Salatiga. Namun kurang beruntungnya, pihak kepolisian terlebih dahulu mengambil majalah tersebut. Akibatnya, keseriusan Lentera dalam menarik majalah dari peredaran dipertanyakan oleh Dekan Fiskom dan kepolisian. Pengambilan majalah tersebut, kami nilai juga menimbulkan kabar di kalangan masyarakat Salatiga bahwa polisi telah menyita majalah-majalah Lentera.

Oleh karena itu, pada Minggu, 18 Oktober 2015, Arista Ayu Nanda, Pemimpin Umum LPM Lentera, Bima Satria Putra, Pemimpin Redaksi LPM Lentera bersama Septi Dwi Astuti, bendahara LPM Lentera menghadap ke Polres Salatiga untuk diinterogasi. Sebelum diinterogasi, perwakilan Lentera dipertemukan dengan Dekan Fiskom, Koorbidkem Fiskom, Pembantu Rektor II, III dan V. Beberapa hal yang dipermasalahkan dari masalah tersebut antara lain adalah judul sampul yang menimbulkan persepsi bahwa Kota Salatiga adalah kota PKI. Selain itu, terdapat simbol palu arit yang dilarang di sampul depannya. Informasi dari narasumber pun juga diragukan kevalidannya.

Akhirnya, untuk mempertimbangkan keamanan anggota redaksi Lentera dan untuk menjaga situasi kota Salatiga tetap kondusif, majalah tersebut harus ditarik sebanyak-banyak dan secepat-cepatnya. Kemudian dikumpulkan ke Polres untuk dibakar. Anggota LPM Lentera saat ini sedang dalam mengumpulkan majalah-majalah tersebut.

Dengan catatan ini pula Lentera hendak pertama, menyatakan permintaan maaf kepada seluruh masyarakat umum dan pimpinan UKSW yang telah resah dengan terbitnya majalah tersebut. Kedua, redaksi Lentera tidak pernah bermaksud dan memiliki niatan untuk menyerang golongan dan kelompok masyarakat tertentu. Ketiga, redaksi Lentera telah menerapkan asas-asas jurnalisme presisi dengan melakukan riset dan penelusuran kepustakaan yang mendalam, observasi lapangan dan verifikasi narasumber untuk menghasilkan reportase yang baik dan benar.

Pertanyaan yang sering timbul adalah, apa tujuan Lentera menerbitkan majalah tersebut? Lentera bermaksud untuk mendukung bukti-bukti bahwa simpatisan PKI di Salatiga tidak terlibat dalam peristiwa G30S. Selain itu, majalah ini juga sebagai bentuk dokumentasi sejarah atas peristiwa berdarah yang terjadi pada 1965. Karena untuk area di Salatiga dan sekitarnya, informasi peristiwa pembantaian pada 1965 tersebut masih sedikit.

Saat ini, telah mengalir dukungan baik dari Lembaga Bantuan Hukum Pers, Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia (PPMI), Aliansi Jurnalis Independen (AJI), Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) di banyak kampus di Indonesia aktivis HAM dan jurnalis lainnya di Indonesia. Kami menyatakan terimakasih yang sebesar-besarnya atas dukungan tersebut, dan kami tetap berharap agar kebebasan berekspresi dalam iklim demokrasi yang positif di Indonesia tetap dijunjung tinggi.[]

 

Redaksi Lentera

Kategori
PPMI di Media

Lentera Dibredel, PPMI: Pengekangan Kebebasan Pers

TEMPO.CO, Jakarta – Sekretaris Jendral Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia (PPMI), Abdul Somad menyayangkan tindakan penarikan dan pembakaran majalah pers mahasiswa Lentera. Menurutnya kejadian tersebut merupakan pengekangan terhadap kebebasan pers. “Ini jelas menunjukan bahwa demokrasi di Indonesia belum berjalan sehat,” katanya saat dihubungi Tempo, Minggu, 18 Oktober 2015.

Majalah Lentera dibuat oleh redaksi pers mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Komunikasi Universitas Kristen Satya Wacana, Salatiga. Menurut Somad, penarikan majalah Lentera yang dilakukan oleh  kepolisian Salatiga, Jawa Tengah.  Ia mengaku kalau Informasi tersebut didapat dari anggota redaksi Lentera yang mengatakan bahwa majalah yang didistribusikan di agen-agen tertentu ditarik peredarannya oleh kepolisian. “Saya sudah mendapat informasinya kemarin,” ujar dia.

Mengenai kronologi dan proses penarikan majalah tersebut, Somad mengaku belum bisa memberikan keterangan rinci. Sebab pihak Lentera juga belum membuat keterangan kronologi secara resmi. “Yang jelas indikatornya bisa jadi karena mereka mewawancara korban 1965 di Salatiga,” kata Somad.

Menindak lanjuti hal tersebut, Somad rencananya akan datang ke kantor redaksi majalah Lentera besok. “Kami akan ke sana untuk membantu kawan-kawan Lentera, soalnya tadi saya komunikasi dengan anak Lentera katanya mereka mendapatkan intimidasi dari tentara, intel, dan walikota,” kata Somad.

Sementara itu Pemimpin Redaksi Majalah Lentera Bima Satria Putra mengatakan Edisi majalah Lentera yang mengangkat tema tentang tragedi 1965 itu terbit pada 10 Oktober 2015. Saat itu Lentera langsung mendapat respon keras dari kepolisian, tentara, hingga Wali Kota Salatiga. Polisi lantas meminta supaya majalah itu ditarik kembali dari peredaran. “Mereka memprotes konten dari majalah tersebut,” kata dia.

Protes dari banyak pihak tersebut akhirnya membuat pimpinan lembaga pers mahasiswa diinterogasi pada Minggu, 18 Oktober 2015, oleh polisi. Mereka kemudian diminta menghentikan distribusi majalah itu untuk dikumpulkan lalu dibakar. “Mereka minta agar semua majalah dihanguskan,” kata Bima.

Tidak hanya itu, Bima menuturkan, imbas dari peredaran majalah tersebut kepolisian memberikan peringatan dan teguran keras terhadap kampus. Pihak kepolisian menyatakan penerbitan majalah ini tidak disertai izin-izin serta tidak sesuai perundang-undangan dan tidak layak untuk disebarluaskan secara umum. “Yang kami tau mereka memang mempermasalahkan izin, tapi konten PKI juga menjadi senjata mereka untuk menarik kembali majalah dari peredaran,” ucap Bima.

Sebelumnya, Bima menjelaskan bahwa Lembaga Bantuan Hukum Pers di Jakarta, Aliansi Jurnalis Independen (AJI) serta Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia (PPMI) juga sudah menawarkan bantuan tapi karena beberapa hal redaksi memutuskan agar majalah tersebut diserahkan kepada polisi. (ABDUL AZIS/Tempo.co)

Kategori
Diskusi

Tingkah Dewan Perwakilan Mahasiwa dan Minimnya Pemahaman Jurnalisme

Sekelompok mahasiswa minta redaksi Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Aksara tak bikin berita buruk soal kampus Universitas Trunojoyo Madura, terutama Fakultas Ilmu Keislaman. Mereka tergabung dalam wadah bernama Dewan Perwakilan Mahasiswa (DPM). Sekilas, namanya mirip dengan lembaga legislatif di Indonesia. Tugasnya pun tak jauh beda, membuat undang-undang.

Tak cukup dengan meminta LPM Aksara agar tak menyiarkan berita berita buruk, yang memicu stigma negatif pada kampus mereka. Mereka khawatir jika nama kampus mereka tercemar. Apalagi hanya karena hal sepele, seperti pemberitaan dan opini yang muncul di media LPM Aksara.

Lebih gila lagi, DPM minta LPM Aksara membuat kode etik jurnalistik, sesuai dengan nilai dan etika yang berlaku di kampus mereka. Jurnalisme yang menutup aib kelompok tertentu, jurnalisme yang berpihak pada kekuasaan.

Saya curiga jika organisasi mahasiswa sekelas DPM tak paham betul esensi jurnalisme dan perjalanan panjang yang melahirkannya. Sehingga mereka dengan enteng, melempar tuntutan itu pada pimpinan kampus agar LPM Aksara segera dibredel. Jika permintaan itu tak dikabulkan dekan FIK, ketua DPM mengancam akan mengundurkan dirinya dari jabatannya.

Dalam buku Sembilan Elemen Jurnalisme, Bill Kovach dan Tom Rosenstiel menulis paparan gamblang soal esensi jurnalisme. Salah satu elemennya mempertanyakan pada siapa loyalitas jurnalis diberikan.

Loyalitas utama, oleh Kovach dan Resenstiel, ditempatkan pada urutan ketiga. Setelah dua elemen vital, yaitu pencarian kebenaran dan disiplin verifikasi.

Secara sederhana, loyalitas bisa dilihat dari bagaimana cara sebuah media menyediakan informasi kepada publik. Isu apa yang disajikan pada publik, dan bagaimana cara media itu mengemasnya. Misalnya rivalitas dua stasiun televisi swasta di Indonesia, TV One dan Metro TV, yang selama ini sarat akan unsur politik kepemilikan modal. Kedua media ini tentu menyiarkan kebenaran dalam versinya masing-masing, serta atas nilai dan ideologi yang diusung oleh masing-masing pemilik modalnya.

Apakah pers mahasiswa mau disamakan dengan TV One atau Metro TV? Sehingga harus ada organisasi mahasiswa yang merengek minta pimpinan kampus mereka agar membredel media terbitan LPM Aksara, dengan dalih mencemarkan nama baik kampus.

Saya kira tidak, karena pers mahasiswa tak punya kaitan dengan pemilik modal. Sebab dalam kode etik Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia (PPMI) pun menyebutkan bahwa pers mahasiswa harus menjunjung tinggi independensi. Tak hanya PPMI, Aliansi Jurnalis Independen pun menolak segala bentuk campur tangan pihak di luar redaksi yang menghambat kebebasan pers dan independensi pemberitaan.

Hal semacam inilah yang perlu dijadikan bahan kajian oleh mahasiswa, terutama mereka yang terlibat dalam organisasi mahasiswa berembel-embel dewan perwakilan. Mereka perlu memikirkan lagi sejauh mana LPM Aksara tak boleh memberitakan keburukan kampus. Sehingga LPM Aksara dipaksa menjadi satu media yang tak punya independensi, lalu menjadi boneka bagi kekuasaan yang ada.

Mereka perlu tahu bahwa kerja-kerja jurnalisme tak semudah beretorika laiknya anggota dewan atau simpatisan partai. Di dalamnya, ada pencarian kebenaran, fakta yang digali lewat reportase dan wawancara. Ada banyak sumber dan narasumber yang perlu didatangi, ditemui, serta diminta keterangan. Tak cukup itu saja, jurnalisme mengharuskan seorang jurnalis untuk disiplin dalam memvalidasi dan verifikasi sumber yang telah ia dapat.

Tak cukup itu saja, DPM juga nampaknya perlu belajar mengenai hak jawab, hak koreksi yang mereka bisa lakukan. Jika memang ada pemberitaan LPM Aksara yang tak sesuai dengan kode etik dan undang-undang pers yang ada. Bukan buru-buru merengek dan melapor ke dekan, apalagi mengadukan dengan dasar undang-undang pencemaran nama baik.[]