Kategori
Diskusi

Kebijakan yang Gagap, dan Mahasiswa yang Gugup

“Kalau SPP saja itu murah. Tapi ada seperti sumbangan yang macem-macem. Dengan berbagai macam pos itu, membuat aliran dana susah dikendalikan,” Mendikbud RI1.

Adalah M. Nuh, menteri pendidikan dan kebudayaan di tahun 2012 (sekarang sudah mantan) yang merupakan pemilik sah dari kalimat yang saya kutip di permulaan tulisan. Pada masanya jugalah diterbitkan UU no 12 tahun 2012 aka UUPT, yang jadi biang kegeraman dan ragam aksi protes di hampir seluruh PTN di Indonesia. UKT, serta isi UU yang sarat komersialisasi, berdasarkan temuan kesamaan beberapa pasal UUPT dengan UU BHP adalah salah satu alasan bagus yang sering di argumentasikan dalam aksi-aksi protes mengenai UUPT dan UKT-nya.

UU BHP sendiri disahkan sejak tahun 2008, hanya jeda dua tahun setelah dinyatakan inkonstitusional oleh MK, dan telah resmi dibatalkan tahun 2010. Salah satu landasan MK dalam pembatalan UU BHP adalah tafsiran atas teks UUD 1945 yang secara tersirat menegaskan bahwa tanggung jawab utama atas pendidikan dibebankan ke Negara. Sementara landasan lain menurut MK, UU BHP menjadikan pendidikan nasional diserahkan sepenuhnya kepada mekanisme pasar tanpa ada perlindungan sama sekali. Misalnya, Pasal 57 huruf b UU BHP memungkinkan sebuah BHP untuk dinyatakan pailit. Proses kepailitan BHP tunduk kepada Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang

Kemudian lahirlah UUPT dalam jeda dua tahun kemudian, dengan ketuk palu di hari yang sama saat isu kenaikan BBM sedang hangat di berbagai kota. Tidak sampai setahun dalam jeda pengesahan, uji materi kembali diajukan terhadap UUPT dengan mengulang beberapa landasan yang digunakan saat uji materi UU BHP. Namun berbeda dengan uji materi pada BHP, pada UUPT nasib baik sedang tidak berpihak pada pemohon. Bukan hal yang mengejutkan sebenarnya, mengingat pemangku kebijakan MK saat uji materi BHP, telah diduduki orang yang berbeda saat uji materi UUPT. Sementara kita mafhum benar, kalau tafsir teks soal kebijakan tidak ubahnya perdebatan soal definisi cinta, beda pelaku jelas beda tafsirnya (baca putusan sidang pengujian tentang UU no 12 tahun 20123).

Sehingga dapat dipastikan, frasa ihwal “gagapnya kebijakan” sebenarnya bukan candaan, melainkan sepenuhnya celaan kepada seluruh pemangku kebijakan. Jadi saat mendengar “kebijakan gagap” yang berwenang seharusnya tidak perlu sekadar tertawa atau marah-marah, tapi tersindir dan lekas berbenah. Sayangnya, mengingat bebalnya pemangku kebijakan berdasarkan bukti-bukti terpapar. Bisa dipastikan kegagapan kebijakan tidak akan berhenti seperti ingatan tentang mantan yang kawin duluan.

****

Mengulang pembahasan soal perbedaan atas tafsir teks di tubuh pemangku kebijakan, hal yang sama terjadi bukan hanya di jajaran MK. Hal yang sama juga terjadi di tubuh kementerian yang dalam hal ini menjadi subjek hukum UUPT, kemenristek dikti. Bila sebelumnya, mekanisme UKT, lewat sistem akumulasi unit cost menjadi satuan pembayaran tunggal, diklaim oleh M.Nuh sebagai sebuah produk mutakhir untuk memberangus pungutan liar pada pos-pos pembayaran yang jadi kecacatan mekanisme SPP. Sehingga lewat UKT, menurut M.Nuh, pengendalian dana akan lebih mudah, dan mahasiswa akan mendapat keuntungan keringanan dari pengendalian yang mudah. Terima kasih perhatiannya pak.

Sayangnya, menristek masa kini sepertinya tidak sepakat dengan pendahulunya itu. Melalui permen nomor 39 tahun 2016 tentang UKT dan BKT, pembiayaan KKN yang sebelumnya ikut serta dalam unit cost UKT, kini telah di singkirkan melalui permen yang dimaksud pada pasal 9 ayat 1 poin b4. Dan disitulah letak kegagapan yang kita maksud, lumrahnya kegagapan terjadi, dalam bentuk pengulangan pengucapan kata yang setengah, patah, atau tidak selesai, sehingga menyebabkan maksud pesan tidak sampai sebagaimana harusnya, dan kata yang diucapkan baru dapat sempurna setelah beberapa kali pengulangan.

Bisa saja, maksud sebenarnya dari pengadaan UKT, memang bukan meringankan pembayaran mahasiswa, bisa saja kata meringankan digunakan hanya untuk membuat mahasiswa kegeeran. Toh hari ini hanya biaya KKN, besok-besok siapa yang tahu, siapa yang peduli sampai kita benar-benar kembali pada bentuk pembayaran semula, dengan banyak pos pembayaran, hanya saja dengan nominal yang lebih mahal. Toh, kita rakyat hanya dapat bersiasat dan berpendapat, bagaimanapun pemimpinnya khianat.

Lagipula hal-hal demikian, tidak terjadi kali pertama, toh sebelumnya terjadi hal yang sama dan kita semua masih tetap dapat hidup, dan dapat menyibuki lini masa, masih dapat nongkrong di tempat-tempat cozy, dan masih dapat mengudap makanan mahal meski kita paham betul bahwa di luar sana ada banyak yang kesusahan untuk makan.

Lalu, jika kebijakan yang gagap, ternyata melahirkan masyarakat yang gugup. Hal yang sama berlaku di kampus, akan melahirkan mahasiswa yang gugup bicara hal yang benar, gugup belajar, gugup melawan, gugup mengkoreksi dan memberi pandangan, gugup bersikap, bahkan gugup berkeyakinan. Semua serba guguplah pokoknya.

Karena mahasiswa yang terlalu percaya diri terhadap keyakinannya biasanya tidak dapat selesai cepat, dan tidak selesai cepat berarti membuang uang lebih banyak, membuang uang lebih banyak berarti menyusahkan orang tua. Tahu sendiri, UKT mahal bos!

Saat hari yang dinantikan itu tiba, pers mahasiswa yang dibebani tanggung jawab besar mengkoreksi dan mengabarkan kebenaran, dan tentu saja dengan resiko menjadi pengulang mata kuliah paling banyak, tentu akan jadi pihak yang menuai banyak kehilangan. Kan tahu sendiri, yang banyak mengulang mata kuliah, akan jadi yang paling bungsu menyabet gelar sarjana. Sekali lagi, kuliah mahal bos!

 

1 http://edukasi.kompas.com/read/2013/02/07/19464057/mendikbud.uang.kuliah.tunggal.ringankan.mahasiswa

2 http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt4bb37a39de6cc/mk-batalkan-uu-badan-hukum-pendidikan

3 pengujian undang-undang nomor 12 tahun 2012 tentang pendidikan tinggi terhadap undang-undang dasar

4 http://www.kopertis12.or.id/2016/07/30/permenristekdikti-no-39-tahun-2016-tentang-bkt-dan-ukt-pada-ptn.html

Kategori
Diskusi

Bunuh Diri dan Kreativitas Pergerakan Mahasiswa

Tulisan ini akan punya nada sebagai berikut: nostalgia, semikritik, dan sedikit sentimental. Perlu saya jelaskan di awal tulisan agar tidak terkesan penipuan, mengingat, saya sadar benar ke mana dan pada siapa tulisan ini akan bermuara.

Saya akan mulai menghembuskan suatu ingatan, beberapa tahun silam, ketika saya begitu aktif bergeliat di dunia pers mahasiswa, justru di titik itu saya kemudian sadar bahwa sesungguhnya saya tidak berkeinginan menjadi seorang jurnalis. Hal ini memang aneh, buat apa menghendaki dunia pers mahasiswa begitu serius, jika nantinya pilihan karir saya adalah bukan seorang wartawan.

Beberapa hal yang membuat saya bertahan adalah ikatan batin dengan beberapa partner kerja dan kecintaan saya terhadap dunia kepenulisan. Meksipun pers mahasiswa adalah suatu ruang yang rumit sekaligus klise, tetapi saya tak sekalipun menyesali keberadaan proses tersebut. Jikalau ada yang perlu dibicarakan lebih lanjut, adalah tentang kultur di dalamnya, baik yang sifatnya sangat kontekstual maupun sesuatu yang menjadi penanda zaman di mana sebuah pergerakan akan dijalankan.

Saya mungkin dapat dikategorikan mahasiswa kurang pergaulan karena cenderung tidak begitu memahami politik kampus, memilih berperan menjadi tim penggembira ketika Pemilu Raya datang, alih-alih menjadi heroik dan kontroversi. Saya cenderung menepi dan lebih memilih menjadi pengamat sebuah keributan, sesekali juga terbawa arus berapi-api, sekali-dua kali menulis suatu ulasan dengan serius tetapi tak banyak yang menghiraukan, dan sering marah-marah sendiri karena tak kunjung dapat menyelesaikan konflik batin antara idealisme pribadi dan lingkungan.

Betapa saat itu saya sering merasa tak baik-baik saja. Tetapi dalam situasi tersebut, kemudian saya mendapat suatu pandangan (yang entah datangnya dari mana), bahwa selain sebuah prinsip atau idealisme, suatu hal yang alpa dari pers mahasiswa sebagai suatu pergerakan alternatif adalah stimulus kreativitas. Entah bagaimana persepsi terhadap pergerakan mahasiswa itu sendiri di zaman kini, sementara pengalaman saya beberapa tahun lalu: pergerakan mahasiswa (khususnya Pers Mahasiswa) masihlah mempertahankan sikap-sikap konvensional untuk menggaungkan performansi sebutan aktivis, yang Hidup Mahasiswa di garis depan para demonstran. Tentu saja potret heroik itu akan selalu terbingkai manis, sebagai spirit anak muda yang mengandung anak sejati berupa empati tingkat tinggi.

Akan tetapi, terkadang kita seringkali menutup mata. Seolah satu-satunya untuk mewujudkan cita-cita mulia masyarakat marjinal hanya dengan perasaan marah dan aksi reaktif. Padahal, ada banyak potensi anak muda—salah satunya kreativitas—yang semestinya dapat subur tergarap pada realitas kehidupan seorang aktivis mahasiswa, setidaknya sebagai seorang jurnalis yang mengalami proses kreatif dalam membikin produk jurnalistik.

Tolong jangan salah paham dahulu, kreativitas yang saya maksudkan janganlah diartikan begitu sempit. Bukan berarti kultur ngopi sambil diskusi yang rutin dilakukan di malam Kamis, lantas berubah menjadi pesta disko atas nama apresiasi musik urban remix. Bukan juga berarti awak media kampus bersedia menulis pencitraan seorang birokrat yang kasus korupsinya sudah menjadi rahasia umum, saat hendak mencalonkan diri menjadi rektor atas nama kebutuhan headline produk jurnalistik.

Kreativitas yang saya maksud akan sedikit rumit untuk didefinisikan secara gamblang. Ia lebih kepada sesuatu yang mendorong nasib pergerakan itu sendiri untuk lebih adaptif terhadap situasi dan kondisi. Ia juga diibaratkan sebagai jembatan untuk mentransformasikan inti-inti idealisme pergerakan agar dapat memberikan jalan bagi para pengikutnya untuk menyesuaikan diri.

Saya pun juga sedang mencari contoh yang lebih konkret, mungkin sejauh yang dapat saya jabarkan, kreativitas dapat menjadi semacam penawar bagi yang terlalu lama terjebak dalam romantika pergerakan masa lalu. Sejatinya, Ia (kreativitas) akan mendampingi proses interpretasi dan pola pikir melintasi zaman, sehingga dapat menjadi embrio produksi pemikiran kritis sekaligus solutif. Hal ini tentu terbuka untuk diperdebatkan dan dieksplorasi lebih dalam, mengingat kompleksnya pembahasan soal eksistensi pergerakan di tengah euforia dan gegap gempita perayaan pesta kemapanan yang masih semu wujudnya.

Bahkan kita sendiri tak jarang menjadi paradoks sebagaimana perasaan jatuh cinta dan patah hati dalam satu waktu. Seperti juga perasaan rindu dan benci dalam satu purnama. Ah, jika tak ingin krisis berkepanjangan, jika tak mau mati bunuh diri lantaran tak mampu menghalau rumitnya situasi, maka kreativitas adalah suatu bentuk formula untuk merumuskan strategi menghadapi tantangan di hari depan. Dengan demikian, perputaran roda pergerakan mahasiswa diharapkan dapat membentuk sebuah siklus yang menawarkan ruang adaptasi bagi para kawula untuk terus bertumbuh dan berkembang.

Kategori
Berita

Kronologi dan Video Represi terhadap LPM Ekspresi sebelum Display UKM

Selasa (23/8), sekitar pukul 10.00, belasan anggota Lembaga Pers Mahasiswa Ekspresi berangkat dengan berjalan kaki dari Student Center menuju GOR Universitas Negeri Yogyakarta (UNY). Sebagai salah satu UKM tingkat universitas, Ekspresi turut tampil di acara Display Unit Kegiatan Mahasiswa di hadapan ribuan mahasiswa baru UNY 2016. Selain mahasiswa baru, pada tahun ini, hadir pula jajaran rektorat untuk menyaksikan acara Display UKM.

Para anggota Ekspresi tiba di GOR sekitar pukul 10.10.

Setibanya di GOR, para anggota Ekspresi kemudian bersantai selama sekira 60 menit di sebelah barat GOR untuk menunggu giliran tampil. Ekspresi kebagian jatah tampil setelah penampilan UKM Magenta. Ketika UKM Magenta sudah di dalam lorong GOR untuk segera masuk GOR dan kemudian tampil, barulah Ekspresi bergegas ke depan lorong GOR.

Di situ, sekitar pukul 11.10, Ekspresi mulai membuka sebuah spanduk besar dan rontek-rontek yang sudah dipersiapkan jauh-jauh hari.

Empat anggota Ekspresi membuka lebar-lebar spanduk tersebut. Sementara lainnya membuka rontek satu per satu. Rontek-rontek tersebut beberapa diantaranya bertuliskan “Didiklah Ra’jat dengan Organisasi, Didiklah Penguasa dengan Perlawanan”, ‘’Mahasiswa Harus Kritis’’, “Merdeka?”, “Uang Kuliah Tinggi”, “Tolak UKT”, “Kebebasan Berekspresi”, “Ayo Terbuka, Tinggalkan Orba”. Adapun beberapa anggota Ekspresi yang tidak memegang spanduk ataupun rontek lantaran mereka sudah dipersiapkan untuk menjadi orator, pembaca puisi, dan pemandu lagu “Darah Juang”.

Untuk diketahui, konsep besar macam spanduk, rontek, orasi, pembacaan puisi, dan penyanyian lagu “Darah Juang”, ialah identitas dan tradisi Ekspresi setiap kali tampil pada Display UKM dari tahun ke tahun.

Pada saat semua atribut sudah dipersiapkan, sekitar pukul 11.20, terlihat seorang lelaki, yang kira-kira berusia 30-an, terus-menerus memperhatikan rontek-rontek yang dibawa Ekspresi. Mencurigai gelagat buruk lelaki itu, beberapa anggota Ekspresi saling berbicara dengan suara lirih. Kecurigaan sampai pada kesimpulan bahwa lelaki itu ialah intel. Satu-dua anggota Ekspresi bahkan mendapatinya menyimpan pistol di samping pinggang kirinya (perhatikan menit ke 01.49 dalam rekaman video).

Kecurigaan mulai terbukti ketika pada sekitar 11.30, lelaki itu bertanya kepada beberapa anggota Ekspresi. “Ini apa? Mengapa ada ‘perlawanan’? Mengapa ada ‘penguasa’?” katanya sambil menunjuk ke rontek-rontek.

“Siapa yang dituakan di sini?” lelaki yang mengaku keamanan kampus tersebut kemudian mencari perwakilan Ekspresi untuk berbicara.

Ketika satu-dua anggota Ekspresi mendekatinya, dia dengan suara lantang langsung melarang Ekspresi membawa masuk rontek-rontek. Tak terima dengan perlakuan itu, lima anggota Ekspresi pun mengerumuninya tepat di depan lorong GOR.

Lima anggota Ekspresi kemudian bersitegang dengannya. Ekspresi bersikukuh untuk membawa rontek-rontek sebagai bagian dari penampilan pada Display UKM. Ekspresi lalu mempertanyakan alasan perlarangan tersebut. “Demi keamanan,” jawabnya, dengan nada tinggi. Namun, Ekspresi tak bisa menerima alasan yang dilontarkannya.

Ekspresi kemudian menjelaskan bahwa setiap UKM diperbolehkan membawa identitasnya masing-masing—merujuk pada spanduk dan rontek-rontek sebagai identitas Ekspresi. “Silakan bawa identitas kalian,” kata lelaki itu dengan mata melotot, “Tapi rontek enggak boleh dibawa masuk,” dia masih berbicara dengan nada tinggi.

“Ini identitas kami,” jawab salah satu anggota Ekspresi merujuk ke rontek-rontek.

“Ini bukan identitas kalian. Ini protes.”

“Ini identitas kami. Kami sendiri yang bikin,” bantah seorang anggota Ekspresi.

Di tengah adu argumen antara Ekspresi dan lelaki yang melarang dimasukkannya rontek, seorang anggota Ekspresi datang untuk merekam kejadian tersebut dengan sebuah kamera. Datang pula beberapa panitia acara dan satuan pengamanan.

“Keputusannya, ini (spanduk) boleh dibawa masuk. Poster (maksudnya: rontek) enggak,” perintahnya.

Mendapati perilakunya bikin keributan tengah direkam, dia lalu memukul kamera yang dipegang anggota Ekspresi. “Siapa kamu?” teriaknya.

Tak sampai di situ, dia melanjutkan perilaku represifnya dengan mendorong dan menantang salah satu anggota lain Ekspresi berkelahi. “Apa mau kamu?” katanya, kemudian berusaha menyeret salah satu anggota Ekspresi menjauhi kerumunan. Namun, anggota Ekspresi yang dicoba diseret itu tak meladeninya. Beberapa anggota Ekspresi lain kemudian mengatakan bahwa perilaku lelaki tersebut tidak layak terjadi di lingkungan kampus.

Sekeluar dari kerumunan, dia masih saja mengajak salah satu anggota Ekspresi berkelahi. Namun, lagi-lagi, perkataannya tak dihiraukan oleh anggota Ekspresi. Dia kemudian memberi perintah pada satuan keamanan kampus untuk “mengamankan” rontek-rontek. “Security, amankan!” teriaknya.

Akan tetapi, anggota Ekspresi tetap mempertahankan rontek dan spanduk untuk ditampilkan di acara Display UKM. Tidak terlihat adanya satu komando antara lelaki yang melakukan tindakan repesif itu dan satuan keamanan. Hanya salah satu anggota satuan keamanan yang mematuhi perintah itu dengan melakukan sedikit usaha pelarangan dimasukkannya rontek-rontek.

Akhirnya, sekitar pukul 11.40, LPM Ekspresi dapat membawa masuk spanduk dan seluruh rontek ke lorong GOR untuk mempersiapkan penampilan di hadapan mahasiswa baru dan rektorat di dalam GOR. Sementara lelaki itu terlihat berbicara dengan satuan keamanan di tepi lorong. Sayangnya, Ekspresi luput untuk menanyakan identitas lelaki yang melakukan tindakan represif tersebut.

***

LPM Ekspresi mengecam keras tindakan represif tersebut. Dengan alasan apapun, tindakan represif tak bisa dibenarkan. Terlebih tindakan kekerasan dengan cara memukul kamera yang dipegang anggota Ekspresi. Begitu pula dengan ajakannya berkelahi terhadap anggota Ekspresi. LPM Ekspresi juga mengecam keterlibatan lelaki yang membawa pistol tersebut di dalam kegiatan kampus yang tidak hanya merugikan LPM Ekspresi, tetapi juga merugikan pihak lain: panitia Display UKM, panitia Ospek, pegiat UKM, dan universitas.

***

Narahubung:

Mariatul Kibtiyah (Pemimpin Umum LPM Ekspresi) +6285726377758

Taufik Nurhidayat (Sekretaris Jenderal PPMI Dewan Kota Yogyakarta) +6283869971305

Kategori
Siaran Pers

Sudah 20 Tahun, Kapolri Harus Tuntaskan Kasus Udin

Sudah 20 tahun kasus pembunuhan wartawan Harian Bernas, Fuad Muhamad Syafrudin, belum dituntaskan kepolisian. Syafrudin atau yang akrab dipanggil Udin diduga dibunuh karena aktivitasnya sebagai jurnalis yang sering memberitakan isu korupsi di lingkaran pejabat Kabupaten Bantul, yang saat itu dipimpin oleh Bupati Sri Roso Sudarmo.

16 Agustus 1996 tidak bisa menulis berita lagi. Awalnya ia dianiaya oleh orang yang tidak dikenal pada tanggal 13 Agustus 1996, hingga mengalami koma, kemudian meninggal. Sejak saat itu, tidak ada upaya serius dari kepolisian untuk menuntaskan kasus pembunuhan Udin. Klaim yang pernah diberikan kepolisian terhadap Dwi Sumaji sebagai tersangka karena terkait masalah pribadi tidak bisa diterima di Pengadilan Negeri Bantul. Sudah 20 tahun, pembunuh Udin pun masih menjadi rahasia.

Hari ini Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia (PPMI) menuntut Kapolri, Tito Karnavian mengutamakan penuntasan kasus Udin. “20 tahun kasus Udin belum berhasil diungkap oleh kepolisian, ini merupakan sebuah kelemahan penegakan hukum di Indonesia. 20 tahun merupakan waktu yang sangat panjang bagi kepolisian untuk mengungkap pembunuhan terhadap jurnalis Udin,” ungkap Abdus Somad, Sekjend Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia.

Abdus Somad menegaskan, PPMI akan konsisten ikut mengawal kasus Udin. Menuntaskan kasus pembunuhan Udin bagi kepolisian merupakan pintu awal pemerintah menjaga kebebasan pers dan menjalankan amanat undang-undang. Baginya, ketidakseriusan kepolisan dalam menuntaskan kasus pembunuhan Udin juga akan mengancam pelanggaran kebebasan pers dan kebebasan berekspresi di negeri ini.

Pelanggaran kebebasan pers di kampus, yaitu pers mahasiswa saat ini juga sedang marak-maraknya. PPMI mencatat sejak Januari 2013 sampai Mei 2016, dari 64 pers mahasiswa di berbagai daerah yang tercatat, 47 pers mahasiswa mengalami kekerasan sedangkan 17 pers mahasiswa tidak mengalami kekerasan. Kasus pelanggaran kebebasan pers di ranah kampus yang paling banyak adalah kasus intimidasi, kemudian pembredelan, pelecehan, semuanya tercatat sejumlah 72 kasus dari 47 pers mahasiswa.

PPMI juga meminta kepada Presiden Joko Widodo, agar lebih serius dalam menegakkan kebebasan pers, kebebasan berekspresi dan kebebasan berpendapat. Bagi Abdus Somad, dengan menegakkan hal itu akan terwujudkan negara yang demokratis. “Kepolisian juga jangan bertindak arogan dalam menyelesaikan sengketa kebebasan pers dan kebebasan berekspresi” tegasnya.

Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia juga mencatat selama Januari 2015 sampai Agustus 2016, ada 54 kasus kekerasan terhadap jurnalis. Di antara kasus yang dicatat oleh AJI Indonesia yaitu ancaman teror (11), kekerasan fisik (22), penyerangan kantor (1), pembunuhan (1), pemidanaan (1), pengerusakan alat (5), pengusiran/pelarangan liputan (13).  “Maraknya kasus kekerasan terhadap jurnalis atau lembaga pers yang terjadi di Indonesia itu karena tidak adanya keseriusan pemerintah dalam mengawal kebebasan pers. Terbukti kasus pembunuhan jurnalis Udin sudah 20 tahun belum juga terungkap. Pembiaran kasus pembunuhan Udin oleh kepolisian, dikhawatirkan ke depannya  kebebasan pers dan kebebasan berekspresi akan semakin terenggut” tandas Abdus Somad.

 

Narahubung:

Sekjen PPMI Nasional, Abdus Somad ( +6281226545705 )

Litbang PPMI Nasional, Nur Sholikhin (+6285643187271 )

Kategori
Diskusi

Merdeka: Jangan Lupa Pada Mereka Yang Melampaui Zaman

Sebentar lagi warga Indonesia akan merayakan hari kemerdekaan. Pada masa ini pula, masyarakat mulai terlihat sibuk memasang berbagai atribut kemerdekaan, melabur tepian jalan, mengadakan lomba, malam tirakatan, dan malam hiburan. Lebih dari itu, tepat pada 17 Agustus yang akan datang, berbagai elemen masyarakat akan berkumpul di alun-alun kota untuk mengikuti upacara, dan menyanyikan Indonesia Raya. Atau setidaknya, seperti itu lah momen klasik yang sering ku jumpai di hari kemerdekaan. Namun demikian, ada satu hal yang membuatku berfikir sedikit di luar kotak, agar hari jadi Indonesia ke 71 ini lebih bermakna dan tidak larut begitu saja dalam euforia peringatan hari kemerdekaan.

Aku tidak menuntut presidenku adalah dewa, atau gubernur dan pejabat publik lainnya bekerja secara sempurna. Namun, sungguh ironi bila di zaman ini mereka masih berebut kursi, demi udel mereka sendiri atau hanya untuk berburu tiket studi banding –eh berlibur ke luar negeri. Apalagi jika dalih yang mereka gunakan adalah “demi kepentingan rakyat.” Bagiku, itu cuma tedeng aling-aling. Seharusnya, dalam segala tindak tanduknya, pejabat publik perlu memahami persoalan hidup orang-orang, yang pernah hidup di masa penjajahan.

Sri Soekanti adalah salah satu orang yang pernah hidup di masa itu. Bahkan boleh dikatakan, ia telah menelan asam garamnya masa menjelang kemerdekaan. Sri adalah Jugun Ianfu (comfort woman). Istilah tersebut digunakan untuk merujuk kepada perempuan, yang pernah menjadi korban perbudakan seks selama perang dunia II di wilayah koloni Jepang.

Malam itu, (9/08), aku sempat bertemu dengan Sri, di rumahnya. Awalnya, aku tidak tahu kalau ada orang sepertinya, terlebih di Nanggulan, Salatiga. Dewi Candraningrum, Pemimpin Redaksi Junal Perempuan, adalah orang yang pertama kali bercerita kepadaku tentangnya. Jangankan Sri, Jugun Ianfu saja semula aku tak tahu kalau Dewi tidak mengajaku mengunju Sri.

Belakangan ku ketahui dari tulisan Lorraine Riva[1], ternyata Jugun Ianfu terbentuk lantaran, kala itu petinggi militer Jepang ingin membuka pusat rekreasi untuk para tentara yang bertempur di lini depan. Hal itu mereka yakini berguna untuk menjaga tata tertib dan mental para tentara. Padahal, pusat rekreasi hanyalah tipu muslihat untuk bordil militer. Perempuan di rumah bordil tersebut, rata-rata diculik dari rumah atau di sawah. Mereka dipaksa memuaskan birahi para tentara setiap hari, dan diberi hari libur hanya ketika menstruasi. Tentara Jepang sebenarnya juga merekrut anak-anak dan laki-laki dewasa untuk dijadikan romusha. Namun sialnya, perempuan juga bakal ditusuk bayonet jika nafsu tentara Jepang tak terpenuhi. Itu semua terjadi sejak pertama kali Jepang tiba di Indonesia pada 1942 dan berakhir pada 1945.

Aku tak banyak bertanya soal riwayat hidup Sri, kala itu. Memandang kerut di wajahnya sudah cukup membuatku duduk termangu di depannya. Aku merasa iba, pun susah bicara. Bahkan, hampir saja mataku berkaca-kaca. Aku juga sempat mendengar Sri mengeluh soal kakinya. “Iki lho sing tengen (baca: ini yang kanan),” katanya. Kemudian, suasana itu lekas kabur lantaran Sri lebih suka bercanda.

Sebelum pulang, aku sempat di cium Sri, di pipi kanan dan kiri, lalu di dahi. Setelah itu, aku pamit pulang dan ia berkata, “ati-ati yo nang, omong wong omah karo sedulur-sedulur, simbah sehat (baca: hati-hati ya nang[2], bilang sama orang-orang di rumah dan saudara semuanya, kalau simbah sehat).”

Batinku, “aku bukan keluargamu dan sepertinya kita tidak punya silsilah keluarga. Aku yakin kau berkata demikian lantaran kau tidak dapat mengenaliku. Pandanganmu sudah mulai kabur.” Saat ini, kondisi pengelihatan Sri sudah mulai terganggu. Matanya tidak berfungsi secara normal dan sering mengeluarkan air mata, padahal tidak menangis.

Saat berjalan ke luar rumah, Dewi sempat bercerita kepadaku soal riwayat hidup Sri. Kata Dewi, waktu itu, Sri baru berusia 9 tahun, tatkala dirinya diperkosa oleh salah seorang serdadu Jepang. Akibat perlakuan tersebut, Sri divonis tidak dapat memiliki keturunan seumur hidup karena rahimnya rusak.

Aku tidak tahu apakah Sri, sempat menerima cemooh dan perlakuan dari masyarakat di sekitarnya, seperti yang dialami (Almh.) Mardiyem (Momoye)[3]. Hanya saja, jika hal tersebut sungguh terjadi, saya anggap masyarakat di sekitarnya sangat tidak waras. Sudah kehidupan mereka direnggut, di cemooh pula. Duh!

Kisah ini lah, yang membuat ku berfikir, bahwa, seharusnya kemerdekaan juga dapat dimaknai dengan, bangkitnya semangat untuk menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan. Bangsa yang arif dan budiman tidak boleh lupa dengan orang-orang yang pernah hidup pada masa sebelum, maupun sesudah kemerdekaan. Merdeka, bukan melulu soal mengepalkan tangan sebagai tanda kemenangan. Mereka yang melampaui zaman juga berhak menerima hajat hidup yang nikmat dan berkelimpahan.[]

 

Catatan:

[1]Tulisan Lorraine Riva, Jugun Ianfu: Seandainya Saya Dulu Jelek terbit pada, 13 Februari Dapat diakses melalui https://komunitasaleut.com/2013/02/13/jugun-ianfu-seandainya-saya-dulu-jelek/

[2]Nang/Sinang/Lanang adalah panggilan untuk anak laki-laki dari orang yang usianya lebih tua. Biasa dijumpai di Jawa Tengah dan Yogyakarta.

[3](Almh.) Mardiyem, adalah mantan Jugun Ianfu yang kini telah tutup usia. Ia pernah mewakili rekan-rekan senasib untuk memperjuangkan keadilan, di hadapan masyarakat internasional dan aktivis LSM dari Jepang. Hasil dari perjuangannya adalah, Peradilan Internasional di Den Haag, Belanda, pada 4 Desember 2001 memutuskan bahwa, Kasiar Jepang Hirohito dan para pejabat senior Jepang lainnya dinyatakan bersalah, atas perbudakan yang terjadi pada sekitar 200 ribu perempuan Asia, termasuk para perempuan usia muda di Indonesia, semasa penjajahan Jepang pada Perang Dunia II, 1942—1945. Lebih lanjut baca tulisan Farida, (Almh.) Mardiyem (Momoye): Keadilan Untuk Jugun Ianfu. Dapat diakses melalui http://www.jurnalperempuan.org/tokoh/almh-mardiyem-momoye-keadilan-untuk-jugun-ianfu  

Kategori
Diskusi

Donald Trump Adalah Pejabat Kita

Donald Trump geram pada hampir semua media massa yang menulis soal dirinya dengan buruk. Awal Agustus kemarin, calon Presiden Amerika Serikat yang didukung Partai Republik itu, dalam sebuah wawancara di televisi, mengklaim The New York Times memperlakukan dirinya sangat tidak adil.

Trump menghitung The New York Times menulis sekitar tiga atau empat tulisan tentang dirinya dalam satu hari. Meski sebaik apapun yang telah dilakukan Trump, “mereka tidak akan pernah menulis dengan baik.”

Bahkan Maggie Haberman, wartawan The New York Times dalam wawancara berdurasi 20 menit itu, dituding Trump sebagai seorang wartawan yang tidak tahu bagaimana cara menulis dengan baik. Haberman tak mau ambil pusing, karena “baik” bagi Trump adalah prestasi dan hal-hal baik tentang sosok dan kampanye retoriknya.

Trump bisa saja benar. Bahwa The New York Times media massa yang berusia lebih dari satu abad itu, tidak pernah dan tidak akan pernah bisa menulis dengan bagus. Membaca The New York Times bagi Trump hanya buang-buang uang. Tapi saya kira Trump juga bukan pembaca media yang baik.

Pada 1949, tiga tahun setelah hari kelahiran Trump, Mayer Berger membuat laporan sepanjang 3.170 kata tentang penembakan berantai di Camden, New Jersey. Laporan itu berisi kisah penembakan 12 orang warga oleh seorang pria bekas tentara bernama Howard Barton Unruh. Ia menulis dengan detail bagaimana Unruh melancarkan pembunuhan membabi-buta selama sekitar 12 menit, berjalan kaki dari satu kios dan warung, lalu mendorong pelatuk pistol Luger berisi peluru ke arah para korban, yang salah satunya adalah anak kecil berusia 6 tahun.

Tidak ada yang menarik dari laporan Berger. Selain laporan enam babak penuh adegan menegangkan dan ketakutan orang-orang di sekitar kejadian. Upaya Berger merinci latar belakang atau motif dari tragedi berdarah itu. Kegigihan mewawancarai sekitar 20 narasumber dalam waktu satu hari. Lalu absennya penghakiman Berger atas pelaku pembunuhan.

Itu tentu bukan perkara enteng. Menyulam fakta di balik sebuah tragedi berdarah, yang mulanya disulut oleh gosip antar tetangga, menjadi sebuah narasi sinematik. Mark Johnshon, peraih penghargaan Pulitzer untuk kategori Explanatory Reporting, ketika membaca laporan itu merasa sedang melihat rekaman video dari kamera yang membuntuti Unruh.

Laporan itu terbit di The New York Times, dengan judul Veteran Kills 12 in Mad Rampage on Camden Street. Beberapa bulan kemudian Berger meraih penghargaan Pulitzer untuk kategori laporan lokal terbaik.

Trump tentu setuju bahwa laporan Berger tak menarik. Karena tidak ada kisah heroik seorang tokoh tenar, atau seorang negarawan tulen yang memimpikan diri menjadi presiden. Tapi saya kira Trump juga perlu belajar dari Margalit Fox, wartawati The New York Times yang telah menulis hampir seribu obituarium.

Bahwa sebuah laporan jurnalistik tak melulu bicara tentang pahlawan kontroversial, atau sekadar hitam dan putih. Fox percaya sebuah kisah obituarium misalnya, yang paling bagus adalah kisah tentang pemain di balik layar, orang-orang tanpa tanda jasa, meski tidak ada yang tahu nama mereka, “tapi perlu gagasannya perlu hadir dalam tatanan masyarakat.”

Misalnya Fox lebih memilih menulis obituarium Alice Kober. Seorang profesor bergaji rendah di Brooklyn College, yang berusaha memecahkan kode dan membuat katalog tentang Linear B, Sebuah aksara kuno berusia sekitar 3000 tahun. Hampir tiap malam Kober memilah dan membuat catatan statistik. Sayangnya ia gagal.

Kober meninggal di usia 43, dua tahun sebelum Michael Ventris, seorang arsitek menjadi tenar karena berhasil memecahkan Linear B. Sebaliknya, nama Kober tak banyak diketahui. Hal ini, bagi Fox, karena sejarah selalu ditulis oleh para pemenang.

Roy Peter Clark, guru besar di Poynter Institute, menyebut nama Berger dan Fox sebagai ‘ahli kitab’ di The New York Times. Berger adalah “the captain of this All-Star team.” Clark bahkan berharap Fox mau menulis obituariumnya saat ia meninggal.

Bagaimana dengan Trump? Mungkin setelah Fox menulis obituarium untuknya, Trump akan paham bagaimana media massa menulis dengan baik atau buruk.

Pada titik ini, ada kesamaan antara pemahaman Trump dan pola pikir para pejabat di Indonesia. Sebagaimana banyak orang yang menganggap bahwa media massa harus selalu menulis hal-hal baik. Tidak perlu menulis hal-hal buruk.

Di kampus, banyak pejabat menekankan doktirn itu pada media pers mahasiswa. Tidak perlu melaporkan keluhan mahasiswa soal metode pengajaran dosen, soal mahalnya biaya pendidikan, apalagi simpang-siur dana proyek pembangunan gedung dan kelengkapan kampus. Media pers mahasiswa cukup menulis prestasi kampus, proyek penelitian dosen, atau tidak perlu melakukan semuanya. Agar bisa lulus dalam tempo yang sesingkat-singkatnya.

Jika perintah itu dihiraukan, maka klaim dan penghakiman kelompok yang merasa dirinya superior bergeriliya. Mereka bisa memakai kuasa dan regulasi untuk membenarkan pernyataannya. Mereka bisa menekan, mengintimidasi, atau menyingkirkan gagasan yang mengancam stabilitas negara kecil mereka.

Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia (PPMI) pada Mei 2016, mencatat ada 47 lembaga pers mahasiswa di Indonesia yang mengalami kekerasan sepanjang 2013-2016. Riset itu mendefinisikan kekerasan sebagai bentuk intimidasi pada reporter, penghambatan dana organisasi, dan pemberedelan media pers mahasiswa.

Ada 11 media pers mahasiswa yang diberedel. 33 lembaga pers mahasiswa yang mendapat intimidasi saat melakukan kerja jurnalistik. Bahkan sebanyak 5 pers mahasiswa dikriminalkan. Aktor tertinggi dari kasus tersebut, sebanyak 11,3 % adalah pejabat kampus.

Hasil itu tentu sah jika dianggap hanya sebuah angka-angka atau statistik. Terutama bagi pejabat yang mengira kerja jurnalisme pers mahasiswa yang ideal seharusnya cukup memberitakan hal-hal ringan. Atau bagi seorang yang tak paham bagaimana lahirnya karya jurnalistik harus melewati beberapa tahapan, dengan susah payah.

Seperti humor yang dibuat Abdul Fadlil, setelah mengancam akan membekukan pers mahasiswa Poros Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta. Humor itu menuai bertubi-tubi kritik dari beragam kalangan. Ia geram mengapa tindakan konyolnya terus dibicarakan di media sosial.

Saya kira pejabat kampus di Indonesia sama ngawurnya dengan Trump. Begitu nama mereka disebut, mereka bisa menjadi temperamental atau marah. Seperti Voldemort, tokoh fiksi ciptaan JK Rowling dalam serial novel Harry Potter. Mereka tidak akan pernah paham bagaimana loyalitas jurnalis harus ditempatkan, untuk kepentingan publik atau hanya menjadi gincu.[]

Kategori
Diskusi

Menjadi Asing di Bumi Pertiwi

Wahai Cenderawasiku …..

Keindahan bulumu sangat mempesona

Bak sebatang emas terkena sinar matahari

Membuat mata sang elang membayangimu

Wahai Cenderawasiku……..

Kicauan suaramu yang begitu merdu

Memanggil semua makhluk mencarimu

Segala makhluk di bumi, seakan ingin memilikimu

Wahai Cenderawasiku……..

Pantaslah kamu berbangga hati

Mempunyai bulu indah

suara merdu

Tapi…

Ingatlah Cenderawasiku……

Bulu tubuhmu yang mempertahankan hidupmu

Kicauanmu yang mempertahankan keberadaanmu

Ketika semuanya itu habis

Kau akan ditendang

Kau akan diterlantarkan

Sepenggal puisi di atas rasanya tidak perlu saya jelaskan, sebab para pembaca yang akan menafsirkan. Pada tanggal 14-16 juli 2016, sebuah kejadian yang begitu memilukan terjadi di kota yang memiliki slogan “berhati nyaman” tersebut. Kota yang disebut sebagai City of Tolerance sekaligus yang menyadang kota pelajar,menjadi pusat perhatian nasional maupun internasional.” Hal tersebut dikatakan oleh Komisaris Komnas Ham, Natalius Pigai.

Mengapa City of Tolerance menjadi pusat perhatian dunia? Sebab kejadian yang terjadi pada tanggal 14-16 Juli 2016 tersebut, mengindikasikan adanya tindakan-tindakan oleh pihak kepolisian terhadap mahasiswa Papua yang melanggar Hak Asasi Manusia (HAM). Bukan hanya itu, Yogyakarta pada tanggal 15 Juli 2016 tepatnya, menjadi pusat tindakan rasial, diskriminatif, dan represif yang dilakukan oleh pihak ormas terhadap mahasiswa-mahasiswi asal Papua. Sementara polisi yang berada di tempat kejadian cenderung membiarkan.

Apakah Tugas Polisi?

Jika kita hendak bertanya, sebenarnya apa tugas Polisi? Apakah menjaga keamanan atau menjadi pelindung dan pengayom masyarakat Indonesia. Apakah menilang orang merupakan salah satu tugas primernya. Atau apa tugas sebenarnya?

Pertanyaan tersebut yang selalu melekat di benak setiap Warga Negara Indonesia. Tugas polisi dan kredibilitasnya di pertanyakan. Mengapa di pertanyakan? Supaya lebih jelas, baiknya kita mengangkat sebuah peristiwa berdasarkan kehidupan nyata (kontekstual) dan sesuai realita yang terjadi di lapangan.

Pada tanggal 15 hingga 16 Juli 2016 lalu, Polisi mengepung asrama mahasiswa Papua Kamasan I yang berada di Jl. Kusumanegara, Yogyakarta. Dalam pengepungan tersebut, Kapolda yang bekerjasama dengan Kapolresta, mengerakan kurang lebih seratus personel kepolisian dengan berpakaian lengkap bak pengandil yang “bijak”. Para Brigader Mobil (Brimob), berada pula di tempat kejadian menggunakan motor-motornya dan berpakaian lengkap, serta menyandang alat negara yang sering di salah gunakan. Tujuan dari pengepungan tersebut ialah, untuk mencegah Mahasiswa Papua yang hendak melakukan orasi di nol kilometer pada tanggal 15 juli 2016.

Mahasiswa Papua yang tergabung dalam Persatuan Rakyat untuk Pembebasan Papua Barat (PRPPB) rencananya akan melakukan aksi pernyataan sikap pada tanggal 15 juli 2016. Berdasarkan pernyata dari salah satu mahasiswa Papua, acara tersebu terkait dengan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Melanesia Spearhead Group (MSG) di Honiara, Kepulauan Solomon pada 14-16 Juli. Di samping itu, aksi tersebut bertepatan dengan peringatan 47 tahun Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) tanggal 14 Juli. Aksi yang akan dilakukan oleh Mahasiswa Papua tersebut, ternyata dibatalkan oleh pihak kepolisian dan ormas yang katanya adil dan menjunjung tinggi nilai-nilai Pancasila.

Pada hari pertama aksi, salah satu mahasiswa Papua mendapat luka di dahi akibat terkena pukulan rotan dari salah seorang pihak kepolisian. Hal tersebut terjadi ketika terjadi aksi saling dorong antara mahasiswa Papua dan pihak kepolisian.

Pada tanggal 15 juli 2016 saya sedang menjalankan tugas sebagai reporter, sekaligus menjalankan salah satu fungsi pers yang tercantum dalam UU Pers nomor 40 tahun 1999 BAB II (4) butir ketiga. Sayangnya saya mendapat perlakuan rasial dan intimidasi dari pihak kepolisian. Mengapa saya katakan demikian? Pertama saya diinterogasi dan kedua saya mendapat perlakuan kasar dari salah seorang aparat yang kemudian menanyakan identitas saya. Semua perlakuan tersebut disebabkan karena kulit saya hitam. Begitu ironis Pak Polisi yang “bijaksana”.

Pada saat saya diperlakukan demikian, rasa kekecewaan yang mendalam timbul di dalam hati saya. Pihak kepolisian yang seharusnya bertugas sebagai pelindung masyarakat, justru menjadi musuh bagi masyarakat sendiri.

Mengutip apa yang dikatakan oleh Komisaris Komnas Ham, Natalius Pigai, “Tak ada hak bagi negara untuk membatasi kebebasan berekspresi, berkumpul dan berpendapat.” Apa yang dikatakan Natalius Pigai benar adanya, sebab hak setiap manusia sudah ada ketika seseorang dilahirkan ke dunia. Seperti yang telah dikatakan, negara tidak mempunyai hak untuk membatasi apalagi menghalangi kebebasan berekspresi, berkumpul dan berpendapat, begitu pula polisi dan pemerintahan daerah.

Menurut premis saya, apa yang dilakukan aparat pada beberapa hari lalu, merupakan sebuah pengedukasian terhadap masyarakat Indonesia umumnya dan Jawa khususnya, tentang begitu berbahaya masyarakat Papua. Mengapa dikatakan demikian? Penerjunan personel yang begitu banyak, dan berpakaian lengkap serta membawa senjata, seakan-akan ingin mengatakan ke masyarakat umum bahwa, suasana pada saat itu benar-benar bahaya. Ironis sekali.

Kontribusi Mahasiswa Papua di Yogyakarta

Banyak pemberitaan yang mengatakan bahwa, anak-anak Papua makan dan tidak mau bayar. Adapula yang mengatakan anak-anak Papua tidak bayar kos. Semua pemberitaan maupun opini publik tersebut benar adanya. Akan tetapi, yang perlu diingat adalah, streotip yang diberikan oleh sekolompok masyarakat kepada masyarakat lain yang berbeda wilayah merupakan sebuah kesalahan yang fatal dan berbahaya. Mengutip perkataan Komisaris Komnas Ham, Natalius Pigai, “Setiap mahasiswa yang datang ke Yogyakarta memberikan kontribusi terhadap perekonomian daerah dan pemasukan APBD yang tidak sedikit (begitu pula mahasiswa yang berada dari kota lainnya).

Setiap anak yang datang ke Yogyakarta minimal membawa uang sebanyak lima sampai sepuluh juta, coba dikalikan saja”. Berdasarkan pernyataan tersebut, rasanya jika suatu kelompok masyarakat mengatakan bahwa kelompok masyarakat tertentu makan dan tidak bayar, merupakan kekeliruan yang besar. Jika ingin membuktikan secara lebih jelas, silakan dihitung, berapa jumlah anak Papua yang makan tidak bayar dan jumlah yang membayar. Perlakukan hal yang sama terhadap masalah yang ditimbulkan oleh anak Papua dengan kategori berbeda. Dengan begitu, anda akan mengetahui kebenarannya.

Streotip yang diberikan kepada sebuah kelompok masyarakat kepada masyarakat lain, jelasnya dilatarbelakangi oleh pandangan masyarakat terhadap kejadian yang terjadi di permukaan saja. Maksudnya, masyarakat kebanyakan entah berpendidikan maupun yang tidak memiliki kesempatan untuk memperoleh pendidikan, hanya melihat permasalahan yang terjadi di lingkungannya tanpa ada upaya untuk memverifikasinya, sehingga pemberitaan atau apa yang dilihat tersebut “ditelan” dengan bulat-bulat. Saya sebagai seseorang yang cukup lama berdomisili bersama masyarakat Papua, tahu persis sifat dan karakter mereka. Jadi jika boleh saya usulkan, jika kita ingin mengetahui kehidupan suatu kelompok masyarakat, haruslah kita mengetahui kebudayaannya dan bila perlu tinggal bersama-sama dengan mereka.

Kategori
Berita

Kronologi Intimidasi dan Interogasi Reporter Lembaga Pers Mahasiswa Natas oleh Polisi

Pada 15 Juli sekitar pukul 09.31 WIB, Benidiktus Fatubun (Benfa) bersama rekannya Fileksius Gulo (Fileks) yang merupakan reporter pers mahasiswa Natas Universitas Sanata Dharma Yogyakarta berniat melakukan liputan, terkait aksi yang dilakukan oleh mahasiwa Papua dan Persatuan Rakyat Untuk Pembebasan Papua Barat (PRPPB). Benfa dan Fileks tiba di depan Asrama Kamasan Papua pada pukul 10.31 menggunakan atribut lengkap pers.

Pukul 10.40 Benfa dan Fileks melihat langsung peristiwa penangkapan mahasiswa Papua yang kemudian dibawa ke mobil polisi. Benfa pun berlari dan bergegas untuk mengambil gambar penagkapan tersebut. Tiba di depan mobil polisi, ia kemudian naik ke mobil polisi untuk mengambil gambar namun dihalangi oleh tameng polisi yang berada di depannya. Karena mobil polisi sudah jalan, ia kemudian turun dari mobil polisi.

Pukul 10.43 Mobil polisi melaju kencang. Kemudian, Fileks dan Benfa melihat kawannya satu kelas bersama mereka yang berasal dari Papua. Karena melihat kondisi yang sudah tidak kondusif, Benfa dan Fileks menyuruh Ninon Kobak (Ninon) pulang ke kos. Sebelum Ninon pergi, tiba- tiba datang seseorang yang berpakaian jaket kulit dan berbadan gempal datang menghampiri Benfa dan Ninon, Setelah itu mereka digiring bertemu dengan AKP Rijal (nama yang dilihat Benfa di baju yang digunakan) di depan kampus Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa (UST), Jalan Kusumanegara, Yogyakarta.

Pukul 10.45 Mereka bertemu dengan Rijal. Tanpa basa-basi, Rijal kemudian melakukan interogasi dengan menanyakan sekaligus meminta identitas Benfa dengan nada yang tegas “ Kamu dari pers mana? mana ID card-mu?” kata Benfa menirukan omongan Rijal.

Benfa kemudian menunjukkan ID persnya yang menggantung di leher. Karena tidak jelas, Rijal kemudian meminta dengan paksa dengan menyuruh Benfa melepaskan ID pers dari lehernya. Tidak sampai disitu, merasa tidak puas dengan ID Pers, Rijal kemudian meminta identitas yang lain seperti KTP dan KTM.

Benfa kemudian menjawab dengan pelan dan mengatakan jika ia tidak mempunyai KTP dan KTM. Mengingat KTP dan KTM-nya digunkan untuk merental motor yang digunkan untuk reportase. Merasa diintimidasi terus, Benfa sempat bersitegang dengan Rijal, “Kalau tidak percaya ikut saya ke kantor Natas saja Pak,” ungkap Benfa. “Saya tidak perlu ke sana, saya hanya perlu KTP dan KTM kamu” tegas Rijal kepada Benfa

Merasa posisinya semakin tertekan, Benfa kemudian meminta kepada Rijal agar ia bisa memanggil Fileks. Rijal kemudian berkata, “Kalau begitu, panggil temanmu suruh ke sini segera!”

Pukul 11.05 Benfa dan Fileks kemudian menghadap Rijal. Setelah bertemu. Rijal kembali melakukan interogasi, kali ini kepada Fileks, kemudian meminta KTM berserta kartu pers yang digunakan oleh Fileks. Setelah identitas Benfa dan Fileks berada di tangan Rijal, ia meminta rekannya untuk mengambil gambar menggunakan handphone.

Pukul 11.10 Setelah interogasi selesai dilakukan, Benfa dan Fileks menuju sebuah ruko yang berada di seberang Kampus UST untuk menenangkan diri.

Pukul 11.13 Gregorius (Egi) yang merupakan reporter Natas datang menghampiri Benfa dan Fileks. Mereka berdua pun sempat bercerita terkait kejadian yang mereka alami kepada Egi.

Pukul 11. 15 Benfa, Egi, dan Fileks memutuskan untuk melakukan reportase bersama kembali.

Pukul 11.17 Terjadi aksi dorong- dorongan di depan gerbang Asrama Kamasan Papua. Benfa yang awalnya bersama Egi dan Fileks, kemudian pergi dan mencari posisi yang pas untuk mengambil gambar. Tibalah dia tepat di sebelah kanan hotel Fave yang berdekatan dengan Asrama Papua . Tiba-tiba dari belakang ada seseorang yang menarik kerah baju Benfa. Ciri-cirinya menggunakan baju hitam ketat dengan perawakan besar, menggunakan masker, dan hanya terlihat bagian mata saja. Setelah ditarik, Benfa ditanya identitasya dengan suara yang lebih keras, “Mana ID cardmu, keperluan kamu apa di sini?” teriak orang tersebut yang masih diingat oleh Benfa.

Setelah itu, Benfa menunjukan id persnya yang masih melekat di leher, tetiba orang tersebut menarik dengan kasar sampai Benfa tertarik ke depan. Benfa kembali ditanya, “Mana surat izinmu?” Benfa menjawab dengan polos, “Bukanya ini era keterbukaan informasi Pak? Masyarakat berhak tahu akan kejadian ini.” Orang tersebut membentak dengan keras, “Kamu tahu apa soal itu?” Ia pun mendorong Benfa sampai terdorong ke belakang.

Pukul 11.19 Benfa memutuskan untuk pergi mencari tempat yang lebih aman karena merasa posisi sudah tidak aman dan intel sudah banyak yang curiga. Ia berjalan sampai ke depan Bank BRI Kusumanegara untuk duduk menenangkan dirinya.

Pukul 11.22 Setelah merasa dirinya aman, ia kemudian pergi dan mencari dua rekannnya, Egi dan Fileks. Tidak menginginkan adanya intimidasi dan interogasi lanjutan, Benfa kemudian memutuskan untuk selalu pergi bersama dua rekannya sampai pulang menuju kantor Natas.

 

Narahubung :

Gregorius Adhytama (Pimpinan Umum Natas): +6281217497196

Taufik Hidayat (Sekjen PPMI DK Jogja): +6283869971305

Kategori
Diskusi

Bahaya Laten Merazia Hantu Komunisme

Sekitar pekan kedua Mei 2016, kawan-kawan polisi dan tentara gemar merazia aneka pernak-pernik yang disinyalir berunsur komunisme. Kabar tololnya, akan ada kebangkitan hantu-hantu komunis bersenjatakan palu dan arit yang siap mengganyang orang-orang bertuhan. Maka razia, main sita, sekaligus asal tangkap pun diterapkan oleh kawan-kawan polisi dan tentara; katanya menjaga keutuhan NKRI.

Adlun Fiqri dan kamerad-kameradnya lah yang kena sial. Ia dan ketiga kawannya dijemput pihak Kodim Ternate pada Selasa, 10 Mei, lantaran dicurigai menyebarkan simbol-simbol komunis melalui apa yang mereka kenakan, yakni kaos bergambar segelas kopi bercampurkan palu dan arit di dalamnya. Palu-arit, lambang identik PKI tersebut memancing kepekaan pengendusan intelijen untuk mencekal Adlun dan kawan-kawan. Ketika target didapat di sekretariat Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), tak hanya para aktivis yang dibawa tentara, buku-buku pun disita.

Ternyata, di luar Ternate, aksi-aksi pemberangusan pernak-pernik komunisme pun juga digiatkan kawan-kawan aparat negara. Majalah Tempo edisi Fobia Hantu Komunisme mengabarkan bahwa praktik pemberangusan juga terjadi di berbagai daerah: Polda Metro Jaya dan Kodam Jaya merazia toko penjual kaos kelompok death metal Kreator yang bergambar palu arit di Jakarta Selatan, Polresta Semarang memburu pemakai atribut berunsur PKI di tempat umum, Polres Grobogan menyita buku-buku biografi tokoh PKI, dan masih banyak lagi kelakuan aparat yang reaksioner terhadap keberadaan pernak-pernik komunisme.

Benak saya khawatir sehingga mengimajinasikan hal yang bukan-bukan. Seandainya, Ryamizard Ryacudu dan Badrodin Haiti jogging bareng di alun-alun Sukoharjo kemudian berpapasan Katrina Kaif yang mengenakan tank top merah berlogo palu-arit, apa mereka akan merazianya? Lantas yang akan disita cuma tank top-nya atau sekalian orangnya? Imajinasi saya pun kian menggagas liar.

Sensitivitas pihak-pihak komunisfobia terhadap fenomena yang dilabeli “komunis” memang sengaja dipelihara oleh lembaga-lembaga berkuasa bahwa sejatinya masyarakat yang Pancasilais-bertuhan adalah masyarakat yang sudi membela negaranya dengan cara tidak memakai atribut palu-arit, menikmati lagu Genjer-genjer atau Internationale, membaca skrip-skrip Marxisme, dan ikut gerakan pengorganisiran massa buruh juga petani. Sungguh pelabelan keji nan mematikan apabila tidak segera dinalar sehat dengan memproduksi wacana tandingan bahwa ada kepentingan kekuasaan di balik kelakuan kubu antikomunis reaksioner.

Saya bisa memaklumi kenapa kawan-kawan polisi, tentara, dan ormas antikomunis akhir-akhir ini merasa waswas akan kebangkitan hantu komunis. Menurut kemakluman saya, mereka tidak ingin apabila rekonsiliasi tragedi ’65 menjadi sukses karena nantinya mereka tidak punya kesibukan lagi untuk kampanye antikomunisme.

Selain itu, pengalihan isu menjadi trik supaya masyarakat tidak fokus mengontrol kebijakan pejabat publik yang abai kepentingan rakyat. Misal bila isu kebangkitan PKI bergulir meriah di Jawa Tengah sehingga masyarakat terlalu waspada, bagaimana masyarakat akan memikirkan pelbagai kasus darurat agraria di bawah kepemimpinan Ganjar Pranowo?

Ironisnya lagi, gerakan-gerakan rakyat pejuang daulat agraria di Kendeng Utara, Urutsewu, Gombong, dan Surokonto bisa dianggap gerakan komunis karena mirip manifesto politik PKI. Kemudian, penguasa menyuruh aparat negara memberangus gerakan-gerakan tersebut; upaya politik lempar batu sembunyi tangan. Anjingsaurus tenan!

Saya hanya ingin mengingatkan bahwa ada geng hantu yang lebih berbahaya daripada hantu komunisme, yakni hantu-hantu kapital yang seenak-kejamnya sendiri menyerobot lahan hidup masyarakat lokal. Tidak dipungkiri pula, hantu-hantu itu mendapat restu negara untuk main sikat lahan. Apalagi memperoleh hak istimewa untuk dikawal polisi dan tentara supaya dengan mudah menggebuk gerakan protes warga lokal.

Persekongkolan antara geng kapital, penguasa negara, dan aparat adalah perpaduan sempurna menjalankan megaproyek. Kita hanya disemburi janji-janji manis kesejahteraan. Perlu bukti nyata?

Coba amati kasus megaproyek Merauke Integrated Food and Energy Estate (MIFEE) yang bernafsu mengkonversi jutaan hektar lahan menjadi area perkebunan yang dikelola oleh banyak perusahaan. Di Kabupaten Merauke, berlangsungnya megaproyek ini menggusur kelangsungan hidup masyarakat adat. Hutan yang dibabat membikin suku-suku sekitar kesusahan mencari sagu sebagai makanan pokok. Jokowi malah mengumumkan akan mengkonversi lagi sekitar 1,2 juta hektar hutan adat pada Mei 2015.

Orang Malind dan Marind adalah golongan yang dirugikan oleh megaproyek industrialisasi pangan dan energi tersebut. Sungai Bian, Maro, dan Kum tercemar sehingga banyak ikan mati dan buaya naik ke daratan. Jahatnya, warga yang memperjuangkan kesejahteraan sembari menyuarakan anti-MIFEE di Merauke justru dituduh Organisasi Papua Merdeka.

Contoh di atas hanyalah salah satu contoh megaproyek. Masih ada proyek-proyek lain sebagai kelanjutan dari Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) 2011-2025 yang diresmikan pada era rezim SBY kemudian beralih tugas proyek ke Jokowi-JK. Maka tidak aneh jika pembangunan infrastruktur menjadi terlihat masif; sinergitas tol Trans-Jawa, bandara, pelabuhan, dan jalinan jalan antardaerah yang ternyata masih merampas sebagian banyak hak ruang hidup rakyat. Pikirkanlah secara menajam-mendalam. Penguasa negara hari ini sedang berpihak untuk siapa?

Di saat maraknya kampanye megaproyek pembangunan ekonomi kekinian nan mengalpakan kebutuhan dasar rakyat lokal, konflik kelas antara pemodal dengan rakyat pejuang kesejahteraan terekspos dimana-mana. Rezim negara saat ini tidak secara tegas memperlihatkan keberpihakan pada kesejahteraan rakyat yang sedang berjuang dalam konflik. Janji idealis berkonsep Trisakti gagasan Soekarno; berdaulat secara politik, berdikari secara ekonomi, berkepribadian secara sosial budaya, hanyalah isapan jempol pada Pilpres 2014. Kenyataannya, megaproyek masih dipaksakan terwujud walaupun kian memakan korban, memperparah konflik horizontal dan vertikal, juga melanggar HAM.

Jujur saja, saya tertarik membahas lebih lanjut soal proyek-proyek pembangunan ekonomi, namun mari membongkar perkara pengalihan isu dengan cara membangkitkan hantu komunisme, supaya penguasa merasa halal membungkam nalar kritis sekaligus gerakan pembebasan.

Semoga bung dan nona pembaca juga bisa paham atas penyampaian analisa saya. Bahwasanya tidak ada hal kebetulan begitu saja kenapa isu miring kebangkitan PKI bisa muncul ke permukaan khalayak. Sembari bereaksi, kita harus paham soal betapa bahayanya pengguliran isu tersebut di tengah labilnya kemajemukan sosial. Bukan perkara gerakan ideologi komunisme yang dipersoalkan, melainkan apa pentingnya isu tersebut digaungkan dan oleh siapa? Pastinya ada persoalan lain yang harus ditutupi dari sorotan mata para pembaca teks media.

Kita boleh turut mengecam tindakan tidak waras kawan-kawan polisi, tentara, dan ormas antikomunis bahwa pemberangusan simbol-simbol komunisme hingga berupaya menutup akses wacana sejarah dan gagasan kekiri-kirian adalah kekejian terhadap kepemilikan nalar sehat; menyeragamkan pengetahuan dari kacamata penguasa.

Soalnya kita yang waras pun pasti tak mau bila anak cucu kita kena tipu daya penguasa licik dan menjadi korban kekonyolan nafsu geng fasis. Para keluarga tapol ’65 adalah barisan yang sempat dikorbankan atas label tidak menyenangkan dari penguasa Orba. Apa kita mau menambah jumlah korban label tersebut di masa kini? Tentunya, kita juga tidak ingin terlalu sibuk melayani stigma klan fasis yang memang sengaja mencacatkan nalarnya. Sungguh buang-buang waktu.

Hal terpenting, seharusnya kita menyadari bahwa struktur kekuasaan punya peran mengendalikan wacana di khalayak. Negara yang sedang dibajak klan fasis berupaya mengontrol pola pikir dengan cara memproduksi pengetahuan naif. Kesadaran kritis sedang dialihkan supaya kelompok-kelompok sosial tertentu tidak peka bahwa penguasa negara gagal memenuhi hajat hidup rakyat. Makanya, selain mereaksi agenda-agenda pemberangusan fesyen intelektual kiri dan ruang berwacana, sebaiknya kita tetap terus menaikkan wacana marjinalisasi ruang hidup: petani, buruh, dan kaum miskin kota.

Kelas Penyebar Benih Wacana

Kenapa kita harus terus memproduksi wacana tandingan?

Struktur negara melalui aparatusnya sedang berupaya menormalisasi nalar warganya melalui produksi ulang pengetahuan usang bahaya komunisme. Kekuasaan dan pengetahuan adalah hal yang bertimbal balik. Pengetahuan usang bahwa komunisme adalah momok jahat penebar kekejian sedang direproduksi untuk konsumsi nalar khalayak. Lewat narasi-narasi bahwa G 30 S 1965 adalah aksi sepihak PKI yang antituhan, aparat berusaha mencari simpati massa bahwa siapapun yang berfesyen dan bergagasan kekirian adalah musuh masyarakat. Malahan ada tokoh militer dan ormas antikomunis yang menyarankan agar film Pengkhianatan G 30 S/PKI karya Arifin C. Noer diputar di sekolah-sekolah.

Bagi kaum awam yang buta histori, hal itu bukanlah represi karena mereka merasa tidak dipaksa mengonsumsi pengetahuan lawas bahaya komunisme. Kaum awam nan pemuja konservatisme negara justru merasa nyaman saja dan perlu adanya upaya mempertahankan (menghadirkan lagi) wacana kejahatan komunisme supaya tidak ada gerakan kritis-progresif yang berpotensi menimbulkan pergolakan sosial. Nalar awam cenderung menyukai kestabilan yang statis.

Maka aparatus negara nan fasistik memainkan relasi antarkelompok: bertuhan-antituhan, patriotik-musuh negara, baik-jahat. Tentunya akan ada relasi yang dibikin penguasa struktur guna menghegemonikan pengetahuan kejahatan komunisme atau marabahaya gerakan kekirian. Nantinya, anggota masyarakat yang terhegemoni akan merelasikan perkubuan antara patriotik-Pancasilais-bertuhan (kubu baik) dengan kekirian-musuh negara-antituhan (kubu jahat). Ya, kekuasaan memanglah strategi relasional berbasis pengetahuan. Gagasan knowledge to power-nya Michael Foucault benar-benar terbukti.

Sesekali, kita perlu memainkan kuasa bagi kaum awam. Namun kuasa yang kita hadirkan bisa dengan cara antirepresi, yakni mengedarkan wacana tanding bahwa G 30 S adalah konflik politik yang berujung pada tindakan pemberangusan anak-anak bangsa berlabel komunis. Di balik wacana G 30 S versi klan fasis ada kezaliman terhadap HAM dan pembengkokan sejarah. Ruang diskusi, sebaran literatur, proyek kesenian, hingga gerakan jalanan adalah wahana potensial untuk menandingi wacana picik penguasa.

Apabila nantinya terjamah geng fasis kemudian dibubarkan, itulah pemicu bibit-bibit wacana tanding supaya tumbuh subur. Jadi, semakin diganyang justru semakin pintar, menjalar, liar, dan bayangkan betapa repotnya aparat penguasa main gebuk sana-sini. Menggairahkan, bukan? Generasi waras bangsa ini tentunya semakin militan, semakin cerdas; kaum awam berkurang.

Menghadirkan wacana tanding adalah alternatif penyadaran sebelum orang-orang tertarik bergerak memperjuangkan kebebasan berekspresi maupun kemerdekaan ruang penghidupan. Wacana-wacana tersebut bisa tidak melulu menyoal tragedi ’65 dan akibatnya. Persoalan yang perlu dipropagandakan ialah perihal gagalnya kekuasaan (negara dan kapital) menjamin kesejahteraan hidup umat; kekuasaan tersebut sekaligus berfungsi sebagai mesin penindas.

Perlawanan dari Bawah

Saya mengapresiasi mulia untuk sekawanan orang yang hari ini masih gigih menebar ruang-ruang diskusi menyoal fasis intoleran, darurat agraria, dan kesenjangan sosial modernitas. Walau seringkali ruang-ruang mereka dibredel penguasa sekaligus antek-antek aparatusnya, mereka terus memperjuangkan manifesto liar nan memerdekakan.

Tentunya ini memang tugas kaum intelektual-waras untuk mengorganisir dan menelusupkan ide-ide cerahnya kepada segelintir awam yang bertebaran. Kata Edward Said, fungsi kaum intelektual adalah mengontrol wacana kekuasaan yang menindas; memberi pencerahan pula. Sebelum doktrinasi naif penguasa picik semakin menguat di masyarakat, bahkan meracuni otak para murid di institusi pendidikan, intelektual-waras yang berani bermain konflik wacana memang harusnya terus-menerus membangun hegemoni. Kelompok-kelompok yang memperjuangkan hak berekspresi dan ruang penghidupan wajibnya bersolidaritas; mempersolid jejaring sindikasi, mengkontra penguasa lalim.

Hegemoni bikinan kaum intelektul-waras memang harusnya bersifat multiwacana namun ada satu keantagonisan yang ditarget: penguasa memproduksi kejahatan dengan cara menaifkan masyarakat, membatasi akses sumber daya, dan mengakomodir kepentingan pemodal. Inilah yang digagas duo begundal pos-marxis bernama Laclau dan Mouffe bahwa membangun hegemoni pembebasan harus mengandalkan artikulasi diskursif; menjelaskan wacana-wacana waspada penindasan. Untuk menghadapi rezim kapitalisme lanjut memang dibutuhkan chain of equivalences, rangkaian rantai wacana dari pihak-pihak tertindas supaya dibentuk kanal wacana antisistem penguasa-penindas.

Apabila kanal wacana alternatif-hegemonik itu kuat dan menyeruak ke khalayak, setidaknya kelatahan menghadapi hantu komunisme versi penguasa bisa diminimalisir. Kita, yang mengklaim diri sebagai intelektual pun jadi tidak gagap pergerakan atau asing memandang perjuangan radikal. Selebihnya, fokus akan memperjuangkan pembebasan ruang hidup pun semakin masif. Kaum waras-kaum tertindas berkolaborasi, penguasa-pemodal jauh dari simpati. Simbol-simbol subversif pun dimaknai positif.

Tunggu apalagi wahai bung dan nona pembangkang? Motif licik penguasa sudah terkuak, ayo tandingi, selamatkan si awam, jangan biarkan simbol subversifmu dikoyak-koyak!

Begitulah analisanya mengapa praktik-praktik pemberangusan simbol komunisme bisa dikatakan sebagai “bahaya laten”. Apalagi kalau bukan sebagai strategi pemberangusan terhadap wacana-wacana antipenindasan? Jargon “kami akan tetap ada dan berlipatganda” bukanlah sekadar fesyen bergaya intelektual. Mari tandingi penguasa, bangun hegemoni baru. Semua orang berpotensi jadi intelektual, kenapa tidak dicuci saja otaknya supaya lebih pintar? Sungguh terpuji!

Razia dan penggerebekan yang kemarin hari terjadi bukan hanya soal mengamankan simbol-simbol yang dicap subversif. Simbol memiliki makna yang bisa diwacanakan. Wacana punya manifesto yang kian menggelorakan aspirasi dan praktik pergerakan. Suatu rangkaian analogi: palu-arit identik komunis, komunis dekat dengan kajian Marxisme, kajian Marxisme mengajarkan perjuangan kelas melawan penindasan, maka aspirasi kritis di bawah era kangkangan kapital adalah kerikil bagi penguasa lalim. Intinya, yang diberangus adalah aspirasi.

Alangkah mengerikan apabila aspirasi diberantas dengan pengecapan simbolik yang memantik masyarakat majemuk berkonflik dengan cara menganggap mereka yang memperjuangkan keadilan adalah “komunis” dan menjadi “komunis” adalah musuh negara yang harusnya tiada. Rakyat saling menghabisi, penguasa-pemodal ongkang-ongkang kaki. Berandal-berandal kampus terancam hedon tidak progresif. Kaum marjinal makin banyak berserakan, tiada yang peduli.

Bayangkan, bila skrip-skrip Marxisme nantinya dihanguskan hanya karena dicap komunis. Kajian hegemoni, intelektual organik, budaya konsumtif, posmo, dan ekonomi kerakyatan tidak akan ada yang diketahui.

Mengkaji wacana kekirian yang menyoal kemapanan memang memiliki efek dahsyat. Secara ideologis bisa bikin mahasiswa-mahasiswi sekampus membolos kuliah untuk berangkat berdemo, aksi pemogokan ujian semester, penolakan massal menggarap skripsi secara masif, atau malah mengangkat Bu Sukinah dan Pak Gunretno sebagai profesor. Sedangkan efek non-ideologisnya, bisa menyebabkan pria muda jomblo memiliki banyak antrian kader perempuan karena idiom sakti “kiri itu seksi” bisa memancarkan pesona kepada lawan jenis. Dahsyat, bukan?

Inilah kenyataannya, kaum kekirian atau klan pembebasan memang rentan dicap rata sebagai “komunis”. Kiri kerap diperhantukan oleh para setan fasis. Di balik tuduhan “hantu komunis” itu, wacana pembebasan arek-arek kiri akan dikebiri sampai pingsan, bahkan mati. Sadarlah bahwa apa yang menimpa Adlun Fiqri dan kamerad-kameradnya adalah represi nalar dari penguasa.

Siapapun yang hidup di atas tanah air kekuasaan negara renta ini bisa kena kesialan yang sama. Dicap subversif supaya diasingkan; menuju kematian perjuangan. Hantu-hantu sebenarnya ialah kaum tukang gebuk, geng pemberangus, patriotis-fasis, moralis-antikritis, dan semuanya berkawan dengan aparat yang dibelai pemodal.

Lalu, sebagai sekawanan manusia yang mengatasnamakan kebebasan berekspresi, apa kita hanya cukup menggeleng kepala-mengelus dada sambil mengamati kelakuan pemberangusan dari aparat dan ormas antikomunis? Hei bung dan nona, masih banyak orang-orang lapar berlalu lalang di jalanan negara. Petani desa pun terancam tiada bertanah.

Megaproyek akan menghisap tenaga-tenaga mantan akademisi dan mengasingkannya dari kecerahan nurani. Saya harap bung dan nona pembaca bisa memaksimalkan fungsi akal yang dikaruniakan Gusti Allah. Semoga Kivlan Zen pun bisa pandai bersyukur!

Kategori
Siaran Pers

Deklarasi Jember

Persoalan bangsa dan pendidikan makin menjerumus pada penghancuran semangat demokrasi dan penistaan terhadap intelektualitas. Ini terlihat dari maraknya pengekangan kebebasan berekspresi di ranah akademik dan ruang publik oleh kelompok-kelompok antidemokrasi. Kasus-kasus yang terjadi meliputi pembungkaman berpendapat, pembredelan lembaga pers mahasiswa, intimidasi jurnalis mahasiswa, penangkapan aktivis yang diduga menyebarkan paham komunisme, penyitaan buku-buku kiri, hingga pelarangan serta pembubaran paksa acara pemutaran di film sejarah di wilayah perguruan tinggi.

Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia (PPMI) sebagai simpul gerakan pers mahasiswa, mencatat ada 47 kasus kekerasan terhadap aktivis pers mahasiswa selama tahun 2013-2016. Pelaku kekerasan terhadap aktivis pers mahasiswa berasal dari aparatus keamanan negara, birokrasi kampus, dan instansi pemerintah lainnya.

Oleh karena itu buruknya kebebasan berekspresi di Indonesia perlu disikapi secara serius. Dengan demikian kelompok-kelompok yang mencederai semangat berdemokrasi tidak lagi berlaku sewenang-wenang. Undang-Undang Dasar 1945 menjamin kebebasan berekspresi sesuai dengan pasal 28 ayat 2 dan 3, serta pasal 28 F sebagai jaminan perlindungan terhadap kehidupan demokrasi yang sehat dan negara hukum yang berdaulat.

Begitu pula dengan undang-undang nomor 12 tahun 2012 pada pasal 8 dan 9. Sangat jelas bahwa kebebasan mimbar akademik dan otonomi keilmuan merupakan tanggung jawab pimpinan perguruan tinggi untuk melindungi kebebasannya.

Melihat kondisi bangsa dan nasib pendidikan tinggi saat ini kian jauh dari semangat demokrasi. Tidak mengindahkan semangat tri dhrama perguruan tinggi yang jadi landasan perguruan tinggi dalam mengambil peran untuk kepentingan masyarakat dan negara.

Merespons hal tersebut, PPMI pada kegiatan Rapat Pimpinan Nasional di Jember pada 29 Mei 2016 menyusun “Deklarasi Jember” sebagai upaya mewujudkan perubahan serta menjunjung tinggi semangat demokrasi di negeri ini. Sekaligus menyikapi persoalan demokratisasi yang semakin dirampas oleh kelompok-kelompok tertentu, khususnya di dalam perguruan tinggi. PPMI menghimbau peran aktif semua aktivis pers mahasiswa di Indonesia untuk:

  1. Memperkuat simpul jaringan dan kekuatan untuk melawan segala bentuk kekerasan terhadap pers mahasiswa dan ancaman terhadap kebebasan berekspresi. Kemudian menerapkan konsep berjejaring dan saling menguatkan sebagai upaya membangun semangat pers mahasiswa.
  2. Mendesak Presiden Joko Widodo agar segera mengambil peran serta menyusul langkah strategis untuk melindungi dan menyelesaikan masalah kebebasan berekspresi di Indonesia.
  3. Meminta Mohamad Nasir, Menteri Riset Teknologi Dan Pendidikan Tinggi Republik (Menristekdikti) beserta pimpinan perguruan tinggi di seluruh Indonesia. Agar mengambil sikap dan langkah yang konkret untuk memurnikan kembali peran perguruan tinggi. Sebagai ruang akademis yang bebas mengkaji pengetahuan apapun tanpa ada intervensi dari pihak lain.
  4. Menyerukan kepada seluruh pers mahasiswa agar bersatu dan tidak mementingkan golongan individu dan lembaga tertentu, yang berpotensi memperlemahkan semangat perjuangan pers mahasiswa.

 

Narahubung:

Abdus Somad, Sekjend PPMI Nasional, +6281226545705