Kategori
Diskusi

Pers Mahasiswa dan Segala Kengeriannya

Membaca tulisan dari seorang teman tentang gaya penyajian berita di media Tegalboto cukup membuat tidur saya kurang nyenyak. Kegiatan kami selama ini, menyusun media kepada pembaca dengan proses yang cukup panjang, mulai dipertanyakan. Proses editing semalaman, dengan sebotol kopi pahit dan beberapa linting rokok agar teman-teman saya bertahan tanpa tumbang demi menjamin tulisan yang layak diterima oleh pembaca, dipertaruhkan. Bahkan butuh berhari-hari, tulisan itu disunting dan diperbaiki lagi. Lalu seseorang mengatakan jika berita yang kami buat disajikan dengan ‘banyak gaya’.

Saya mulai bertanya-tanya. Gaya apa yang dimaksudkan dalam tulisan tersebut? Saya sebagai orang awam yang masih butuh banyak belajar mulai kembali membuka-buka materi yang pernah saya pelajari waktu masih menjadi anggota magang kala itu.

Setiap berita memang memerlukan gaya yang berbeda dalam penyajiannya. Sebut saja Straight News dan Features, atau mungkin penulisan opini dengan berita di media buletin yang kami terbitkan secara rutin. Mereka memerlukan gaya penulisan yang berbeda, dengan tetap mempertahankan kelengkapan isinya. Bukan berarti karena berbentuk Features, maka diksi yang digunakan mendayu-dayu, atau mungkin karena Straight News kami bisa memasukkan data-data seenaknya tanpa mempertimbangkan keluwesan kata-kata yang digunakan. Sekali lagi saya masih bingung ‘banyak gaya’ yang dimaksudkan itu gaya yang seperti apa?

Setiap media yang kami susun memiliki karakteristiknya masing-masing. Dari majalah, Newsletter, yang akan diluncurkan Sabtu ini, hingga buletin yang diterbitkan memiliki ciri sendiri yang membuatnya berbeda satu sama lain. Tidak perlu kami berkoar-koar tentang gaya yang kami gunakan di setiap tulisan yang ada di media tersebut. Kami sudah berusaha memastikannya agar sampai di tangan pembaca dengan istimewa.

Jika hasilnya masih belum memuaskan mereka, maafkan kami yang tidak berpedoman pada permintaan pasar. Media kami bukan barang dagangan yang bisa dijadikan komoditas demi menguasai dan memenuhi permintaan pasar. Kami masih mempertahankan disiplin verifikasi, seni mempertanyakan kebenaran dengan proses berkelanjutan. Kami mencoba memahami hal yang disampaikan Bill Kovach dan Tom Rosenstiel dalam buku Sembilan Elemen Jurnalisme bahwa kebenaran adalah prinsip pertama, sekaligus sesuatu yang paling membingungkan. Tidak bisa sekali wawancara pada satu narasumber lalu menuliskannya begitu saja sebagai kebenaran.

Tidak perlu jauh-jauh berbicara tentang mau dibawa ke mana, genre apa yang paling ideal bagi pers mahasiswa, dan apa-apa yang diperjuangkan oleh mereka. Kita saja masih sering lupa memastikan apakah penulisan ejaan yang digunakan sudah sesuai dengan Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI). Tentang penulisan kata ‘verifikasi’, misalnya yang kadang tertukar antara huruf ‘f’ dengan ‘v’. Sebagai salah satu anggota amatir yang setiap editing harus jeli mengoreksi tulisan kawan-kawan saya dari tanda titik, koma, hingga huruf-hurufnya, mata saya cukup merasa tersiksa dengan kejanggalan itu. Tapi saya masih memakluminya, penulis juga manusia. Atau mungkin si penulis sengaja menuliskannya untuk menciptakan suatu gaya yang berbeda, saya juga tak begitu paham maksudnya.

Berbicara tentang genre jurnalisme mahasiswa yang dianggap paling “ngeri”, sarapan saya pagi ini mulai terhenti sejenak. Jika dibandingkan dengan sejarahnya, gerak pers mahasiswa yang mulai mengabur memang sudah tidak bisa disamakan lagi. Namun juga tak bisa dipukul rata jika posisinya tak jauh beda dengan pers umum lainnya. Pers mahasiswa bukan karyawan yang bekerja demi gaji, sekalipun memiliki jam terbang yang berbeda dengan wartawan umum kebanyakan, mereka masih bisa teriak merdeka dari intervensi. Tiada pemilik modal yang bisa mengusik independensi. Mereka, termasuk kami, menulis untuk masyarakat, dengan sesekali nyambi nugas perkuliahan di sela kegiatan liputan. Maafkan jika kami masih berani berteriak sekeras ini.

Belajar bekerja di bawah tekanan dengan aneka media yang dihasilkan menjadikan setiap pers mahasiswa menemukan gayanya. Layaknya pers umum kebanyakan, pers mahasiswa juga bebas menentukan gayanya dengan pedoman pada kode etik jurnalistik. Bukan berarti mereka bekerja tak dibayar lalu tidak bertindak secara profesional. Hanya saja terkadang langkahnya masih sering tersandung batu di tengah jalan.

Tiap media punya gaya yang berbeda dan di situlah keunikannya. Ukuran ideal ataupun tidaknya suatu media bukan hanya dari gaya penulisannya, tapi juga bagaimana suatu media mampu menyajikan tulisan yang menyehatkan pembaca.

Kita hidup di negara yang bernafaskan keanekaragaman di dalamnya. Mengapa memaksa harus mengidentikkan sesuatu yang jelas-jelas memiliki irama yang berbeda? Jika ukuran berat badan ideal yang dimiliki seseorang harus berpatok dengan hasil dari selisih antara tinggi dan berat badannya, bukankah media, khususnya yang ada di pers mahasiswa, harusnya juga memiliki indikator?

Jurnalisme ideal atau yang sering disebut sebagai jurnalisme profesional yang lebih cenderung beraliran positivistik mempersyaratkan adanya obyektivitas dalam penulisan berita. Istilah obyektif dalam buku Sembilan Elemen Jurnalisme juga sering disalahpahami. Bukan wartawannya tapi lebih pada metodenya yang harus obyektif dalam menggali data.

Kenyataannya, setiap media punya cara membingkai berita untuk disajikan kepada pembaca dengan cara yang berbeda. Namun demikian, kita masih punya pedoman dan kode etik sama yang harus dipegang teguh, apapun bentuk media yang dihasilkan oleh pers mahasiswa.

Jika sudah tahu bahwa esensi jurnalisme adalah pada disiplin verifikasi, mengapa masih mempertanyakan gaya, identitas, ataupun arah pergerakannya? Semuanya penting namun jangan sampai kita melupakan hal-hal yang lebih mendasar. Benahi rasa, tingkat kebersihan, dan kesehatan masakanmu dulu, baru belajar bagaimana cara penyajiannya agar enak dipandang mata. Rasa sakit akibat keracunan memerlukan penyembuhan lebih lama daripada rasa sepat di mata saat melihat penampilan luarnya. Sesekali kita perlu belajar banyak membaca KBBI, sebelum memandang tulisan suatu media disajikan dengan ‘banyak gaya’.

Terimakasih atas perhatiannya. Biarkan saya melanjutkan sarapan dan tidur saya yang sempat terganggu sebelumnya.

Kategori
Diskusi

Memahami Karakter Jurnalisme Pers Mahasiswa

Setiap media, jika dibandingkan satu dengan yang lainya, akan kentara perbedaan bagaimana sebuah berita disajikan. Tempo misalnya, cenderung menyajikan berita dengan liputan-liputan mendalam. Membuka apa yang ditutup-tutupi, atau sebut saja bergenre Jurnalisme Investigasi.

Meminjam istilah komodifikasi, katakanlah pilihan genre jurnalisme ini ada sebagai “nilai jual” sebuah media. Semakin terjual, semakin dibaca. Semakin dibaca, maka semakin berpengaruh. Keluasan pengaruh itu yang kemudian dijadikan tolak ukur, sejauh mana salah satu peran jurnalisme, yakni kontrol sosial, dapat diwujudkan.

Tapi perlu diketahui, setiap genre punya pemetaan pasarnya sendiri. Kemudian penentuan pasar adalah politik redaksi. Bergantung kemana arah gerak media tersebut. Dari sekian banyak genre jurnalisme, jurnalisme mahasiswa bisa dibilang paling ngeri! Kalau eksis, genre jurnalisme yang satu itu sulit dicari definisinya.

Definisi Pers Mahasiswa
*Grafik hasil analisa menunjukkan tidak ditemukanya “Definisi Jurnalisme Mahasiswa” pada mesin pencari Daum.net. Data ini menggunakan margin error 0%.

Dari analisis saya pada 6 April 2016 mulai pukul 21:40 hingga 22:41 WIB, 0 data ditemukan terkait “Definisi Jurnalisme Mahasiswa”  pada mesin pencari Daum.net, mesin pencari populer berbahasa Korea Selatan.

Tapi dalam pandangan penulis, genre jurnalisme satu ini sulit didefinisikan. Setiap Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) punya cara yang berbeda-beda dalam menyajikan berita. Unit Aktivitas Pers Mahasiswa (UAPM) Inovasi misalnya, menyajikan berita kelompok marjinal dengan gaya narasi. Atau Unit Kegiatan Pers Kampus Mahasiswa (UKPM) Tegal Boto, menyajikan berita dengan banyak gaya.

Selain cara penyajian berita yang beragam di tiap LPM, pembeda antara jurnalisme mahasiswa dan genre jurnalisme lainya juga kabur, terlebih paska reformasi. Sebelumnya, pada masa orde baru, begitu mudah membedakan antara jurnalisme mahasiswa dan jurnalisme lain. Jurnalisme mahasiswa tajam ke atas, yang lainnya masih cenderung malu-malu luwak. Paska orde baru, keadaan mulai berubah. Semua sudah mulai tajam keatas. Dengan mulai samarnya pembeda jurnalisme mahasiswa dan jurnalisme lain, pendefinisian makin sulit dilakukan. Sekaligus arah gerak makin kabur.

Menurut paparan buku 9 Elemen Jurnalisme karya  Bill Kovach dan Tom Rosentiels yang dikutip Andreas Harsono. Disiplin verivikasi adalah esensi dari jurnalisme. Bukan identitas, genre, bahkan arah gerak. Jika pandangan tersebut diamini, bisa saya simpulkan bahwa apapun genre jurnalismenya, verivikasi data adalah yang utama. Kecuali bagi jurnalis yang tunduk pada himbauan perusahaan konstruksi baja, “Utamakan Sholat dan keselamatan kerja!”.

Foto: dok. Artha Mas Graha Andalan (http://news.detik.com/tokoh/3112887/utamakan-salat-dan-selamat-kunci-kesuksesan-budi-harta-winata)

Verivikasi sendiri menurut saya juga beragam tingkatnya. Verivikasi menggunakan paradigma rasio, paradigma empiris, paradigma positifisme, dan lainya. Sementara, tiga paradigma itu saja yang mampu dicocokologikan dan terdengar cukup saintifik di telinga.

Dalam paradigma rasio, verivikasi dihentikan cukup pada keputusan rasio meng(iya)kan. Misalkan sang narasumber menyatakan bahwa api itu membakar kulit, kemudian karena rasio sang jurnalis sejalan, maka pernyataan dari narasumber dianggap valid, dan tidak diverivikasi lebih lanjut. Padahal, pengikut Nabi Ibrahim punya rasio yang berbeda, bahwa api tak selalu membakar kulit.

Mengetahui kebobrokan rasio itu, paradigma empiris kemudian menambalnya dan tak berhenti disitu saja. Jadi kalau anda jurnalis yang berparadigma empiris, anda bakal memverivikasinya dengan menyentuh api, setelah kulit anda terbakar, baru anda tulis sebagai karya jurnalistik.

Tapi ternyata, ada dua orang jurnalis yang mencoba menyentuh api dan hasilnya berbeda. Seorang jurnalis yang merasakan tangannya terbakar kemudian tanpa ragu mengamini pernyataan narasumber. Seorang lagi, karena tak merasakan tangannya terbakar, ia kembali memburu narasumber, guna mendekati “kebenaran”. Dia tak merasakan sensasi terbakar, sama seperti saat telunjuk kita menyentuh api dari lilin secara cepat.

Verivikasi empiris ternyata kemudian juga belum mendekati “kebenaran”, pasalnya metode pengujiannya berbeda-beda. Lantas paradigma positivisme kemudian berupaya membakukan metode pengujian. Jadi ketika dua jurnalis itu hendak memverivikasi apakah api membakar kulit secara empiris. Mereka bakal dipandu untuk mengujinya dengan variabel-variabel pengujian yang sama. Misalkan, dengan lilin yang sama, dan dengan kecepatan menyentuh api yang sama. Hasilnya, semakin mendekati “kebenaran”.

Parahnya, kemudian pengetahuan hasil positivisme ini kembali mengakar sebagai “rasio” tanpa tanda tanya. “Rasio” yang dibangun, tak menyertakan adanya pembatasan variabel dalam paradigma positivisme. Pada metode yang digunakan dalam studi kasus di atas, hanya menguji kebenaran “api itu membakar kulit” dengan dua variabel saja, yaitu jenis lilin dan kecepatan menyentuh api.  Padahal, jenis kulit berpengaruh. Kalau kita tambah lagi jenis kulit sebagai variabel pengujian, masih banyak lagi variabel-variabel lain, seperti suhu atau kelembapan udara. Berapa banyak variabel yang berpengaruh juga tak bisa didefinisikan, karena itu margin error juga tak terdefinisikan. Kemudian, muncul istilah “pembatasan masalah” karena keterbatasan indra manusia tuk menelaah keadaan.

Lebih parahnya lagi, semangat positivisme kemudian menjamur dan menjangkiti kehidupan sosial. Padahal, yang saya yakini bahwa setiap makhluk itu berbeda dan kehidupan sosialnya begitu kompleks. Membelenggu kekompleksan dengan batasan masalah, bisa dibilang kejahatan intelektual yang terstruktur, masif, dan sistematis. Tak ayal, menundukan keragaman dengan saintifikasi ilmu sosial menimbulkan banyak korban.

Mungkin sebagian kelompok tidak begitu ngeh, atau enggan dengan penjelasan yang bersifat filosofis. Jadi baiklah, saya berikan contoh nyatanya. Mungkin ilustrasi di bawah ini bisa membantu memahami akan adanya perbedaan metode verivikasi data.

Sumber Sama, SINDO Tulis “Ekonomi Lesu”, KOMPAS Kasih Judul “Ekonomi Membaik”, Tanya Kenapa? Sumber: http://www.posmetro.info/2016/01/sumber-sama-sindo-tulis-ekonomi-lesu.html (Jangan dibuka, bahaya!)

Di luar itu, katakanlah kita mengamini saintifikasi ilmu sosial di tengah hingar-bingar jurnalisme data dan segala jenis verivikasinya. Pemerintah misalanya, menerbitkan data masyarakat miskin yang pengolonganya didapat dengan batasan 4 variabel atau lebih, yang dipilih atau yang mampu dipikirkan. Kemudian kita mengutip data-data sensus pemerintah, yang sudah dibandingkan dengan data-data lembaga independen, hasilnya sama. Kemudian kita mengutipnya bak dewa, dengan perasaan yang begitu mendekati “kebenaran”. Katakanlah semua orang juga mengamini datanya, terverivikasi dan selesai sudah esensi jurnalismenya. Tapi ternyata dunia memang begitu beragam, coba saja tengok ilustrasi hasil visualisasi data kedua jurnalis ini.

Ilustrasi hasil visualisasi data yang sama di tangan dua jurnalis yang berbeda.
Ilustrasi hasil visualisasi data yang sama di tangan dua jurnalis yang berbeda.

Kedua ilustrasi visualisasi data diatas mengunakan data-data yang diamini bersama, tak ada yang meragukan kevalidanya, namun hasil visualisasinya berbeda. Bisa jadi hasil interpretasinya nanti juga berbeda.

 “Dan pada dasarnya memang tidak ada media yang netral. Media selalu berpihak dan memperjuangkan kepentingan tertentu. Tapi ketika ia menunjukkan kebencian dan penghakiman dengan begitu vulgar terhadap kelompok tertentu, patut kita pertanyakan kepentingan macam apa yang sedang diperjuangkan.” Wisnu Prasetya Utomo, dalam blog Pindai.

Jadi ketika kita sudah selesai dengan pekerjaan auditor (verivikasi) yang dianggap sebagai esensi jurnalisme. Lalu apa? Siapa kita? Ke mana kita? Kepentingan apa yang kita perjuangan? Bagaimana menjadi jurnalisme mahasiswa yang ideal, menjadi Inovasi atau menjadi Tegal Boto? Atau kenapa perlu keragaman yang ada disatukan dalam satu genre yang sama. Adakah yang tahu jawabanya, selain “Ntabs teori, kaget realita!” ?

Kategori
Diskusi

Perlukah Pers Mahasiswa Berharap Pada Dewan Pers?

“Karena melalui pers yang merdeka itu, setiap orang dapat menggunakan pers sebagai wadah untuk menyampaikan harapan-harapannya, keluhannya, protesnya, sehingga dapat diketahui oleh publik.”

Bagir Manan, Ketua Dewan Pers periode 2013-2016

Yosep Adi Prasetyo terpilih menjadi Ketua Dewan Pers Periode 2016-2019. Masyarakat, terutama jurnalis, berharap Dewan Pers terus menjaga ruang kemerdekaan pers di Indonesia. Harapan pada sosok yang akrab disapa Stanley ini tentu juga merupakan harapan aktivis pers mahasiswa.

Sekretaris Jenderal Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia (PPMI), Abdus Somad pun berharap lembaga pers mahasiswa di seluruh perguruan tinggi di Indonesia, ikut merasakan angin segar. Ia berharap, di tangan Ketua Dewan Pers yang baru tersebut Pers Mahasiswa mendapatkan perhatian, terutama saat ditekan oknum di luar redaksi.

Ada satu alasan kuat yang membuat Somad menaruh harapan itu di pundak Stanley. Yaitu, maraknya kasus yang menimpa Pers Mahasiswa, yang selama ini belum mendapatkan perhatian khusus dari Dewan Pers. Di samping itu, Somad menilai Dewan Pers belum mampu melakukan upaya kongkrit dalam menyelesaikan sengketa pers yang dihadapi Pers Mahasiswa.

Terhitung mulai tahun 2014 hingga 2015, PPMI Nasional mencatat tujuh kasus yang menimpa Pers Mahasiswa. Kasus tersebut berupa intimidasi, diskiriminasi, pelecehan, sensor, pelarangan diskusi film, sampai pada pembredelan majalah serta pembekuan pers mahasiswa secara kelembagaan.

Di titik ini, Somad nampaknya merasa bingung untuk menyelesaikan kasus-kasus tersebut. Satu-satunya alat penyelesaian sengketa pers, yakni Undang-Undang Pers nomor 40 tahun 1999, dinilai tak mengakui keberadaan Persma. Sehingga wajar jika Pers Mahasiswa digugat di wilayah pemberitaan, baik di internal kampus maupun di luar kampus, tidak bisa diselesaikan menggunakan perundangan tersebut.

Berangkat dari kegelisahan Somad—akankah Pers Mahasiswa dapat perhatian serius dari pimpinan baru Dewan Pers? Saya turut mengajukan sebuah pertanyaan serupa: Maukah Dewan Pers mencurahkan perhatiannya kepada Persma? Pertanyaan ini saya kira perlu, mengingat Pers Mahasiswa bukanlah jurnalis profesional yang berada dalam payung perusahaan, meski kerja jurnalistiknya pun sudah selayaknya jurnalis profesional.

Ada secercah kebahagian saat membaca tulisannya Somad yang mengutip hasil wawancara dengan Stanley. Setidaknya, saya membaca gelagat bahwa Dewan Pers akan memberikan perhatian kepada Pers Mahasiswa. Karena bagi Stanley, Pers Mahasiswa ikut merawat Indonesia. “Pers Mahasiswa sebetulnya punya sejarah panjang yang penting dalam menumbuhkan demokrasi di negeri ini,” kata Stanley.

Pernyataan Stanley itu tidak lantas membuat saya berhenti bertanya. Apa jaminannya agar saya merasa bahwa Dewan Pers benar-benar memberi perhatian kepada Pers Mahasiswa? Jika pada akhirnya berstatus sebagai bukan bagian dari pers, sehingga awak Pers Mahasiswa tak ada bedanya sebagai pelapor kejadian. Bukan sebagai jurnalis.

Saya berharap kedudukan Pers Mahasiswa dan jurnalis profesional di mata Stanley sama, sebagai elemen pers di Indonesia. Sangat diperlukan bentuk kongkrit perhatian Stanley selaku Ketua Dewan Pers yang baru kepada Persma. Sebagaimana marak terjadi, Pers Mahasiswa juga rawan mendapat perlakuan diskriminatif, baik oleh pimpinan kampus maupun pemerintahan.

Bentuk kriminalisasi yang saya khawatirkan terjadi, misalnya, Persma “meminta” dana penerbitan majalah atau kegiatan lainnya. Pihak penguasa kampus bisa saja menangguhkan permintaan itu. Misalnya dengan cara menggugat konten pemberitaan di media Pers Mahasiswa. Kemudian saat tahu konten pemberitaan Pers Mahasiswa dapat mengancam nama baik kampus, pimpinan kampus bisa saja mengkriminalisasi Pers Mahasiswa dengan tudingan pencemaran nama baik.

Sambil lalu menunggu kerja Dewan Pers, aktivis Pers Mahasiswa justru mencari bantuan ke lembaga lain. Misalnya selama ini yang turut andil menyelesaikan kasus-kasus yang menimpa Pers Mahasiswa bukan dari Dewan Pers, melainkan dari lembaga dan perkumpulan lain, seperti lembaga bantuan hukum, Aliansi Jurnalis Independen, Forum Alumni Pers Mahasiswa, dan jaringan sesama pers mahasiswa.

Kalaupun tetap berharap pada Dewan Pers, seharusnya ada nota kekesepakatan yang ditandatangani antara PPMI dan Dewan Pers. Dalam nota kesepakatan itu dicantumkan pula bentuk kongkrit perhatian Dewan Pers kepada Persma, seperti turut mengadvokasi atau memediasi kasus yang ditimpa Pers Mahasiswa, menjamin kebebasan pers bagi Pers Mahasiswa, dan sebagainya.

Semoga kita semakin giat merawat kebersamaan dan semangat  juang Pers Mahasiswa. Ingat, Pers Mahasiswa tetap ada karena berjejaring dan saling menguatkan.

Kategori
Diskusi

Polisi Harusnya Piknik ke Pulau Buru

Badrodin Haiti sepertinya harus mengajak anak buahnya berpiknik. Mengajak kawan-kawan polisi berpiknik adalah usulan baik daripada menyarankan mereka membaca Dalih Pembunuhan Massal karya John Roosa atau Diburu di Pulau Buru karya Hersri Setiawan.

Dengan berpiknik, pikiran menjadi ringan. Pikiran akan menjadi berat bila usai membaca buku sarat fakta sejarah. Apalagi fakta-fakta sejarah yang menyoal tragedi kemanusiaan, dijamin moral akan semakin terbebani. Mengingat beban moral pekerjaan kawan-kawan polisi begitu memberatkan, maka menyarankan berpiknik dirasa lebih mulia daripada membaca buku.

Dimohon agar Kapolri segera menginstruksikan anak buahnya berpiknik. Kalau perlu dibikinlah surat edaran kepada ormas-ormas fasis bahwa pihak kepolisian tidak akan melayani laporan dari ormas fasis apapun karena sedang ada agenda piknik akbar. Bila nanti ada acara-acara kebudayaan terancam digrebek ormas fasis, biarlah orang-orang waras pemberani yang akan menghadapinya.

Semoga setelah berpiknik ria, kawan-kawan polisi semakin cerdas dan bernyali menghadapi geng fasis!

Adalah kemuakan yang kian mengganjal perasaan orang-orang waras di negeri ini akibat terus dipaksa menyaksikan geng-geng fasis berulah dengan asyiknya. Kita semua dipaksa menjadi pelupa. Bila perlu sekalian buta, tuli, dan gagap bicara.

Sementara pemerintah terus berkhotbah supaya kita mampu bersaing menghadapi Pasar Bebas Asia Tenggara. Tak mau ketinggalan, aparat-aparatnya pun membual kemuliaan bela negara. Apa kita mau fokus menghadapi bangsa asing sebagai upaya bela negara sedangkan menghadapi kaum fasis lokal saja tidak becus?

Setelah sekian kali mengetahui kabar pelarangan dan pembubaran terhadap acara yang menghadirkan konten-konten wacana tragedi ’65, maka tidak terlalu mengejutkan ketika mengetahui kabar pemutaran film Pulau Buru Tanah Air Beta karya Rahung Nasution batal terlaksana di Goethe Institute, Jakarta. Polsek Menteng mengimbau agar acara tersebut segera dibatalkan lantaran akan ada aksi penentangan dari ormas fasis.  Kejadian sial pada Rabu, 16 Maret 2016 sore itu menandakan bahwa otoritas negeri ini lebih memilih melayani kepentingan ormas fasis daripada melindungi hak-hak asasi orang-orang waras yang peduli terhadap nasib sejarah bangsa dan keadilan kemanusiaan. Maka bangunkanlah pemerintah jika suatu hari nanti masih mengigau soal penegakan HAM bagi warga negaranya!

Beberapa pekan sebelumnya, panitia Belok Kiri.Fest tertimpa kesialan serupa. Sehari sebelum pembukaan acara, mereka mendapat gangguan izin agar tidak melangsungkan festival tersebut di Taman Ismail Marzuki (TIM). Pihak kepolisian berdalih bahwa acara tersebut belum memperoleh izin padahal panitia telah mengirimkan surat permohonan jauh-jauh hari. Usut punya usut, ternyata pihak kepolisian lebih menuruti kemauan pihak ormas fasis agar acara tersebut batal terlaksana. Setidaknya, ormas fasis sudah bisa menyeringai licik mengetahui bahwa pelaksanaan kegiatan tersebut mendapat sedikit kendala. Itulah kerjaan setan!

Hari ini, ormas fasis seakan menjadi warga negara istimewa. Aparat negara semacam polisi dengan gampangnya mengafirmasi kepentingan politik mereka. Disinyalir kepentingan elite penguasa antidemokrasi turut menunggangi setiap gerak langkah bajingan-bajingan fasis tukang gerebek itu. Tidak lain karena wacana pelurusan sejarah, pembongkaran tragedi, dan penegakan HAM sanggup menjungkalkan para elite antidemokrasi dari kursi kekuasaan. Konflik memang sengaja diciptakan antarsesama sipil. Ormas fasis diberdayakan sebagai pasukan tempur sedangkan aparat selalu siap sedia menjadi partner baginya.

Legitimasi penyerangan terhadap setiap agenda pewarasan sejarah ialah bahwa di balik agenda tersebut terselip paham yang diyakini bersifat merusak moral bangsa. Tentunya paham mana lagi kalau bukan komunisme. Barangsiapa mengundang publik untuk mengkaji ulang tragedi ’65 dan mempedulikan nasib korban-korban yang dicap komunis, maka tak segan-segan geng fasis mencap mereka yang waras sebagai antituhan. Antituhan berarti perbuatan tidak baik. Lalu mereka yang waras akan dicurigai membangkitkan lagi hantu komunisme di bumi pertiwi untuk membalas dendam; mencipta pertumpahan darah. Klaim semacam inilah yang menjadi provokasi andalan menebar kebencian kepada mereka yang dicap komunis atau kiri tanpa mau membaca literatur kekirian sekalipun.

Padahal jika kita memakai akal sehat dalam mengkaji tragedi ’65, konflik berdarah tersebut tercipta lantaran konstelasi politik sedang memanas. Banyak pihak terlibat di dalamnya selain beberapa tokoh PKI. Konflik internal di dalam tubuh TNI turut memantik gerakan penculikan jenderal-jenderal di Jakarta. Di saat posisi Soekarno makin terjepit, Soeharto mengomandoi rombongan militer versinya berusaha untuk merebut kursi kekuasaan dengan bermodal “supersemar”. Orde Lama dikebiri, lalu mulailah pembantaian kepada orang-orang yang dicap komunis.

Buku Dalih Pembunuhan Massal karya John Roosa bisa menjadi bacaan ideal untuk mengungkap asal mula tragedi ’65 dan pembantaian setelahnya, siapa saja pelakunya, siapa tokoh yang diuntungkan karena tragedi tersebut, pula bagaimana Soeharto membangun monumen-monumen yang menjustifikasi kebiadaban komunisme. Bahkan literatur Manifesto Komunis karya Marx dan Engels tidak sekalipun menyebutkan bahwa membunuh para jenderal sebagai metode revolusi.

Lantas logika setan macam apa yang menganggap bahwa komunis adalah penjahat, mengkaji wacana progresif kiri sebagai antituhan, dan mempedulikan korban-korban pelanggaran HAM dari tragedi ’65 sebagai komunis-komunis baru?

Entah membaca teori-teori politik Niccolo Machiavelli atau tidak, yang jelas klan-klan fasis yang membenalu di negara ini tengah mempraktikkan kekuasaan secara licik nan lihai. Politik wacana dipermainkan bahwa mereka akan melindungi segenap rakyat dari keberingasan hantu komunisme. Alat-alat kekuasaan macam aparat dan ormas fasis disiagakan sebagai dukun pengusir roh-roh jahat komunisme yang konon katanya akan bangkit bergentayangan.

Bila aparat negara dan ormas fasis begitu kompaknya menghalalkan represivitas, apa lebih baik kita mempercayakan penjaminan hukum atas HAM kepada polisi? Atau lebih baik kita beramai-ramai membuka sumbang dana masyarakat kepada Polri agar bisa membiayai kawan-kawan polisi berpiknik ke Pulau Buru? Usulan kedua jauh lebih mulia dan bisa diterima daripada menyumbang buku-buku sejarah dan literatur kekirian untuk dibaca kawan-kawan polisi.

Penegak Hukum Bukan Pembela Fasis

Kasus-kasus pencekalan yang telah disebutkan sebelumnya adalah bukti bahwa kepada siapa aparat penegak hukum kekinian berpihak. HAM yang menjadi tujuan kenapa hukum ditegakkan tidak lagi menjadi landasan moral untuk mengayomi. Moral hukum kekinian yang menjadi andalan penguasa ialah bagaimana mencap sekelompok warga negara sebagai orang-orang yang memiliki kesalahan fatal terhadap negara akibat aktivitas politik atau kebudayaannya di masa lalu. Ini diberlakukan kepada para mantan tapol Pulau Buru, aktivis Lekra, dan mereka yang dicap komunis. Penegakan HAM seakan tidak berlaku bagi mereka.

Selama kaum fasis bekas klan Orde Baru masih membenalu dalam kekuasaan negara, kemungkinan besar alat-alat penegak hukum sudah dimodifikasi sedemikian rupa agar tidak menjegal kangkangan kuasa mereka. Tidak cukup aparat, kalau bisa merekrut warga sipil untuk difasiskan ke dalam ormas maupun organisasi paramiliter. Memainkan konflik sipil versus sipil, lalu klan oligarki sibuk menghantam klan oligarki lainnya.

Lagi-lagi harus mengutip konsep kekuasaan N. Machiavelli. Analogikan saja ormas fasis tersebut sebagai “tentara bayaran” yang dimaksud dalam buku The Prince. Dikonsepkan bahwa penguasa semestinya lihai dalam mengelola pasukan. Tentara bayaran merupakan jenis pasukan yang sewaktu-waktu bisa digunakan penguasa. Pasukan bayaran memang tidak terlalu setia kepada negara, namun dengan bayaranlah mereka mau bermilitan ria menjadi tameng si penguasa. Kalau dalam buku tersebut, disebutkan bahwa tentara bayaran bisa digunakan dalam berperang untuk menghadapi negara musuh. Namun “musuh” si penguasa di negeri ini tidak harus didefinisikan sebagai orang dari negara lain. Warga domestik pun asal berpotensi menjungkalkan penguasa dari kursinya, bisa dijadikan musuh negara yang wajib diserang tentara bayaran (ormas fasis). Terlebih lagi, dalam catatannya, Machiavelli menyarankan agar bisa menguasai hukum suatu negara maka bikinlah sindikasi oligarki dalam penegakan hukum. Walau belum tentu aparat dan ormas fasis sempat membaca The Prince, tapi setidaknya mereka sudah lihai dalam praktiknya.

Dalam praktik penegakan hukum macam itu, jelas-jelas kepolisian mengkhianati marwah hukumnya sendiri. Dari sekian banyak pasal, bisa dikutip pasal 1 dan 13 No. 22/2012 Tentang Kepolisian bahwa tugas-tugas polisi ialah mengayomi, melindungi, dan menjaga keamanan masyarakat. Menuruti tuntutan pelarangan sebuah acara dari ormas fasis adalah tindakan yang tidak melindungi hak-hak berekspresi sekelompok masyarakat. Bahkan cenderung melestarikan ketidakamanan terhadap mereka yang bernegara secara waras. Dengan begitu, ormas fasis semakin percaya diri untuk mengancam siapapun yang mereka mau.

Bisa dinyatakan bahwa kepolisian mengafirmasi pembenaran kaum fasis di negeri ini. Siapapun yang membela korban pelanggaran HAM, menuntut hak atas hidup, atau meluruskan tragedi sejarah langsung kena cap kiri-komunis. Kemudian yang berlabel kiri atau komunis, halal hukumnya untuk diserang dan dicederai. Sungguh pengecapan yang keji supaya ormas fasis semakin jumawa akan pembenarannya dan klan oligarki bisa terus mengangkang. Kelakuan kepolisian yang terekspos dalam kasus-kasus pencekalan acara merupakan simbol bahwa penegak hukum hari ini begitu siap siaga membela kaum fasis nan oligarkis.

Segera Berpiknik!

Tampaknya cukup untuk membongkar kenapa yang fasis teristimewa haknya di negeri ini sekarang. Kembali lagi membahas usulan dasar dari propaganda ini bahwa kawan-kawan polisi seharusnya berpiknik: ke Pulau Buru!

Soekarno pernah bilang, “jangan sekali-kali meninggalkan sejarah”. Piknik ke Pulau Buru nantinya bisa jadi piknik ke laboratorium sejarah bagi kawan-kawan polisi. Kalau bingung mencari pemandu study tour,  kalian bisa mengajak Hersri Setiawan sekaligus Rahung Nasution yang lebih paham sejarah. Diburu di Pulau Buru dan Dalih Pembunuhan Massal bisa menjadi buku panduan study tour kawan-kawan polisi. (Oh ya maaf, berdasarkan saran di awal propaganda ini dituliskan bahwa kawan-kawan polisi tidak perlu membaca buku, nanti malah pikniknya jadi enggak asyik).

Hersri menceritakan dalam bukunya bahwa para tapol saat itu bekerja mati-matian membangun sawah dan ladang namun mereka tidak bisa menikmati hasil kerja kerasnya. Di bawah pengawasan ketat militer, mereka sehari-hari bertahan hanya dengan memakan singkong. Ada beberapa rekannya yang tewas akibat bunuh diri dan menderita penyakit. Memoar-memoar tertulisnya menjadi rekam sejarah yang bisa dipelajari generasi kekinian bahwa kejadian tidak manusiawi pernah menimpa segelintir anak bangsa ini. Bila kawan-kawan polisi ternyata memiliki hasrat kuat untuk membaca memoar-memoar tersebut, tak apalah membacanya sambil berpiknik tapi hati-hati lho nanti malah jadi pemikir tragedi.

Mampir juga ke Desa Savanajaya yang menjadi lumbung padi di sana. Itulah bukti nyata kerja keras para tapol yang dituduh komunis. Sungguh hasil kerja keras mereka begitu berguna bagi sesama manusia dibanding kerja ormas fasis yang sukanya mengumpat orang lain sebagai “komunis”.

Jangan lupa di sana bikin party di tepi pantai dengan menu singkong sebagai camilannya. Putarlah lagu-lagu karya Homicide sebagai pengiring pesta. Nyanyikan bersama-sama dengan kompak dan keras lantunan lirik lagu Puritan.

“Fasis yang baik adalah fasis yang mati…

Fasis yang baik adalah fasis yang mati…

Fasis yang baik adalah fasis yang mati…

Tunggu di ujung jalan yang sama saat kalian mengancam kami!”

Seusai berpiknik dan mulai paham sejarah, kembalilah bekerja mengabdi pada nurani!

Kategori
Diskusi

Di Tangan Pemimpin Baru Dewan Pers, Akankah Pers Mahasiswa Dapat Perhatian Serius?

sumber: http://i67.tinypic.com/2mzmm9z.jpg

Pada Rabu 23 maret 2016 mungkin merupakan momentum yang sangat bahagia bagi Yosep Adi Prasetyo, atau yang sering disapa Stanley. Yap, betul sekali, beliau dipilih sebagai ketua Dewan Pers periode 2016-2019 menggantikan Bagir Manan yang telah menjabat dua periode. Stanley merupakan alumnus  Universitas Kristen Setya Wacana (UKSW) Salatiga yang senantiasa memperjuangkan ketidakadilan dan kebebasan berpendapat, untuk mewujudkan negara yang demokratis.

Sumber: http://i64.tinypic.com/1zgxc38.jpg

Kepemimpinan baru  tentu sangat identik dengan semangat baru, hal ini tidak bisa dilewatkan begitu saja oleh pers mahasiswa (Persma) dalam melihat masa depannya di era kepemipinan Dewan Pers yang baru. Lantas apa korelasinya antara ketua Dewan Pers yang baru dengan nasib Persma? Akankah awak Persma dapat menjadi jurnalis, layaknya jurnalis profesional yang dapat melakukan reportase dengan bebas? Ini sebuah pertanyaan yang menarik untuk diulas. Namun sebelum memberi ulasan, mari kita menikmati kopi sejenak sebelum melihat resolusi yang akan dilakukan oleh Stanley pada Persma.

Memandang persoalan Persma, berarti memadang pula masa depan para jurnalis. Sebab persoalan Persma bukan hanya berbicara soal institusi pendidikan di dalam kampus, melainkan semangat dalam merubah keadaan dan mengontrol kebijakan-kebijakan yang merugikan masyarakat. Seperti yang kita ketahui bersama dalam sejarah perjalanan Persma, keberadaannya terciptakan karena keberanian dalam meperjuangkan dan menegakkan kebenaran. Untuk itu, memperhatikan Persma  akan menemukan gambaran bagaimana jurnalisme di indonesia yang akan datang.

Seperti yang kita ketahui bersama, Persma sering kali mendapat perlakuan yang tidak adil oleh institusi perguruan tinggi. Ketidakadilan yang senantiasa menyelimuti perjalanan Persma dalam melakukan kerja-kerja jurnalistik yang pada akhirnya membuat awak Persma banyak terbebani, bahkan tekanan batin yang berujung paranoid pada dirinya sendiri.

Ada beberapa persoalan yang membelenggu Persma kini, mulai dari persoalan kekerasan sampai pembungkaman Persma. Sejauh yang saya pahami, hal ini belum mendaptkan perhatiaan khusus oleh Dewan Pers, pada tahun 2014-2015 Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia (PPMI) Nasional Mendata ada 7 kasus yang terjadi di tubuh Persma. Kasus tersebut diantaranya berupa intimidasi, diskiriminasi, pelecehan, sensor, pelarangan diskusi dan pemutaran film, sampai pada pembredelan majalah serta pembekuan lembaga Persma.

Tentu saja hal tersebut kurang mendapatkan perhatian oleh Dewan Pers, bahkan belum mampu melakukan upaya kongkrit dalam menyelesaikan masalah yang dihadapi Persma. Tentu saja hal tersebut bukan tanpa alasan, lagi- lagi yang menjadi alat penyelesaian sengketa pers adalah Undang-Undang Pers No 40 tahun 1999. Jelas sudah jika dalam UU tersebut tak mengakui keberadaan Persma. Sehingga jika persma bermasalah baik di internal kampus maupun di luar kampus tentu tidak bisa menggunakan UU tersebut.

Persma Semakin Berkembang, Namun Sering Dipermasalahkan

Menyaksikan fenomena Persma saat ini, kita akan menyaksikan kemajuan yang cukup pesat di tubuh Persma, mereka mulai berbondong-bondong memanfaatkan teknologi seperti halnya mengkonversi dari media cetak ke media online. Dalam catatan Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia (PPMI) Nasional Kurang lebih media online Persma kini sudah mencapai 200 portal media online.  Persma akhirnya mulai menemukan identitasnya, seperti tidak memberitakan isu-isu yang ada di dalam kampus saja, melainkan juga isu yang berada di luar kampus. Ini bisa menjadi pertanda, jika suatu saat nanti Persma akan menjadi salah satu sumber informasi yang dapat dipercaya dan terverifikasi.

Namun ada beberapa permasalahan yang belum juga bisa terselesaikan dalam tubuh Persma. Dalam diskusi yang oleh lakukan oleh Persma di Yogyakarta, dengan mencoba membedah persoalan media online Persma, ternyata permasalahan media online kedepannya bisa menjadi sebuah persoalan yang sangat serius. Hal itu bisa dilihat dari keberadaan UU yang tidak memberikan ruang gerak yang bebas kepada awak  Persma dalam melakukan kerja-kerja jurnalistik, seperti UU ITE. Kasus ini bisa dilihat dari awak Persma Didaktika yang dilaporkan oleh salah satu Dosen UNJ karena dirasa mencemarkan nama baik sang dosen.

Tak hanya itu, dalam melakukan reportasenya Persma masih dianggap sesuatu hal yang remeh oleh narasumber, alasannya hanya satu, Persma dipandang sebuah media yang hanya fokus untuk memberitakan informasi seputar kampus, jadi tidak bisa memberitakan isu luar kampus. Sehingga jika ada Persma yang mau melakukan reportase terkait dengan kebijakan Pemerintah ataupun apparatus Negara seringkali mendapat kesulitan untuk memperoleh informasi.

Awak persma bahkan sering disuruh untuk membuat surat terlebih dahulu sebelum mewawancarai narasumber yang ditujukan kepada pimpinan perusahaan, institusi perguruan tinggi serta para pejabat-pejabat daerah andai ingin melakukan wawancara. Jika tidak ada surat, maka tidak diterima untuk wawancara, kalaupun sudah menyertakan surat harus menunggu lama. Saya tidak habis pikir kenapa perlakuan kepada Persma berbeda dengan pers pada umumnya.  Ini  adalah sebuah fenomena, ternyata Persma belum bebas dalam mendapatkan dan menyampaikan informasi kepada masyarakat. Kita memang pantas bertanya, di mana posisi kebebasan pers bagi Persma?

Selain itu, ada pula persmasalahan awak reporter Persma yang seringkali mendapat tindakan kekerasan, seperti intimidasi, diskriminasi, dan Drop Out (DO). Kasus intimidasi adalah kasus yang paling sering dialami oleh awak persma, data sementara yang tercatat di PPMI sebanyak 22 kasus intimidasi yang dialami oleh persma. Saya memandang nampaknya masih banyak kasus intimidasi yang terjadi pada awak persma, hanya saja belum berani mengungkapnya. Semoga awak persma yang mengalami intimidasi segera membuka diri. Saya menyadari masih ada ketakutan bagi awak persma untuk terbuka akan kasus yang dialami. Untuk itu, mungkin awak persma yang mengalami tindakan kekerasan bisa melaporkan ke PPMI ataupun organisasi Jurnalis yang lain.

Dalam setiap kasus yang terjadi, ternyata kebanyakan semua itu dilakukan oleh birokrat kampus di dalam institusi Pendidikan Tinggi. Setiap ada pemberitaan yang dirasa menjelekan kampus, birokrat kampus merespon dengan tindakan yang yang berlebihan, seperti melakukan intimidasi dan memanggil penulis kemudian menghimbau agar menghapus berita yang dianggap menjelekkan kampus.

Ada pula kejadian dimana awak Persma diancam oleh pihak luar, seperti saat melakukan peliputan isu-isu sensitif seperti penambangan. Awak Persma dipaksa untuk tidak mendokumentasikan hasil penambangan dengan cara mengambil memory card dari camera reporter. Ini menjadi persoalan yang sangat serius. Lantas apa yang akan dilakukan oleh Dewan Pers di masa kepemimpinan Stanley  jika melihat permsalahan yang dihadapi Persma?

Saya amat sangat  percaya semangat ketua Dewan Pers yang baru adalah semangat untuk melakukan perubahan dan memperhatikan serius jurnalisme di Indonesia, begitu juga Pers Mahasiswa. Saya sadar jika Abang Stanley lebih menjiwai pers mahasiswa ketimbang awak Persma, seperti apa yang pernah abang Stanley katakan dalam sebuah wawancara di portal Persma.org “Pers mahasiswa sebetulnya punya sejarah panjang yang penting dalam menumbuhkan demokrasi di negeri ini”.

Ditangan Abang Stanley, saya percaya jika keberadaan Dewan Pers adalah sebagai wadah  untuk menjaga dan melindungi kebebasan pers. Untuk itu, saya berharap keberadaan  Pers Mahasiswa agar dapat diperhatian secara serius oleh Dewan Pers agar terciptnya sebuah kemerdekaan pers  bagi Persma, dan tentunya untuk mewujudkan sebuah tatanan demokrasi di negeri kita.

Tentu saya tidak ingin melewatan momentum terpilihnya ketua Dewan Pers yang baru, untuk itu saya mengucapkan selamat atas terpilihya Yoseph Adi Prasetyo sebagai ketua Dewan Pers dan Ahmad Djauhari sebagai Wakil Ketua Dewan Pers. Tentu saja selamat bukan hanya sebatas ucapan, melainkan di dalamnya terdapat sebuah pesan  agar pers mahasiswa dapat dengan bebas menyampaikan informasi kepada masyarakat, kekerasan kepada Persma tidak terulang kembali lagi dan terakhir kebebasan pers dapat berjalan pula di dalam pers mahasiswa. Seperti semangat Dewan Pers dalam menjaga kemerdekaan pers.

Kategori
Diskusi

Pak Mahfud MD, Salahkah Jika Saya Ingin Cepat Lulus?

Hampir saja saya memuntahkan kopi yang baru saya seruput setelah membaca berita berjudul Mahfud MD: Mahasiswa Sekarang Hanya Kejar IPK dan Cepat Lulus di sindonews.com, Kamis (25/02/2016). Saya mencoba mengatur nafas agar kopi yang saya seruput bisa tertelan dengan lancar, seraya terus membaca berita itu. Tapi rasanya ada yang aneh di tenggorokan. Kopi di warung langganan saya itu terasa tidak enak setelah saya membaca berita tentang pernyataan Bapak Mahfud MD dalam berita itu. Saya yang notabene adalah mahasiswa pengejar kelulusan sedikit tersinggung dengan pernyataan Pak Mahfud.

Jadi begini, saya yang seorang mahasiswa yang sempat sok-sokan pernah menjadi aktivis ini kurang sepakat dengan pernyataan Bapak Mahfud MD. Karena ketika memasuki perguruan tinggi, yang pertama harus dikejar adalah kelulusan dan Indeks Prestasi Kumulatif (IPK) yang bagus. Nah, jika Bapak Mahfud merasa bahwa negara ini rugi kalau mahasiswa hanya mengejar IPK dan kelulusan, lantas apa yang harus dikejar oleh para mahasiswa? Diluar dedek-dedek mahasiswi yang tidak bisa ditolak lambaian kecantikannya.

Saya sadar Bapak Mahfud adalah alumni salah satu organisasi gerakan mahasiswa terbesar di Indonesia yaitu Himpunan Mahasiswa Islam. Bahkan menjadi Ketua Presidium Nasional Korps Alumni Himpunan Mahasiswa Islam (KAHMI). Sebuah organisasi yang seperti bapak ungkapkan banyak melahirkan tokoh bangsa dulunya. Saya memang salut dengan HMI yang seperti bapak ungkapkan, bahkan dengan organisasi gerakan mahasiswa lain layaknya PMII, GMNI, KAMMI sampai organisasi mahasiswa yang mau menegakkan kekhilafahan di Indonesia. Saya begitu salut dengan keistiqomahan mereka menciptakan tokoh-tokoh bangsa yang memperjuangkan hak golongan, eh maksud saya hak masyarakat.

Maka, ketika saya membaca paragraf ini “Menurut Mahfud, kebanyakan tokoh-tokoh itu masuk ke perguruan tinggi tidak semata mengejar nilai tinggi.” Saya semakin penasaran, apa sebenarnya yang dikejar oleh tokoh-tokoh itu ketika kuliah dulu. Sehingga bisa menjadikan mereka sebagai kader bangsa yang berkualitas layaknya Bapak Mahfud. Rasa penasaran itu semakin membuat kopi saya terasa tidak enak, pak. Karena rasa penasaran saya juga memunculkan sebuah kekalutan. Apakah yang saya lakukan dengan hanya mengejar kelulusan ini tidak benar. Salahkah saya, berdosakah saya ini, pak?

Saya haqqul yakin bahwa bapak Mahfud adalah sosok alumni HMI yang berhasil. Buktinya bapak langsung menyatakan sikap terhadap isu yang sedang panas yaitu tentang LGBT. Selain itu bapak juga secara tidak langsung menunjukkan kepedulian terhadap kaum LGBT melalui akun twitter bapak. Bapak mengatakan bahwa “LGBT itu berbahaya dan menjijikkan, tp penanganannya tak perlu pengawalan Brimob,” Sungguh sebuah contoh kader yang berhasil.

Tapi kekalutan saya semakin besar. Apa sebenarnya yang harus dilakukan oleh mahasiswa agar negara tidak rugi seperti yang bapak ungkapkan. Boro-boro saya mengoordinir kawan-kawan agar bisa melakukan sebuah revolusi untuk negeri ini. Lha wong melakukan perubahan untuk mendekati satu cewek saja sudah kesulitan pak. Apalagi dengan munculnya aturan bahwa jatah waktu kuliah dikurangi dari tujuh tahun menjadi lima tahun. Hidup saya semakin semruweng rasanya.

Selain itu pak, jika harus menunda lulus saya jadi selalu ingat lirik dari salah satu lagu milik The Panas Dalam. Kira-kira begini petikan liriknya, pak: orang tua di desa menunggu // calon istri di rumah menanti // orang desa sudah banyak mengira // aku sukses di negeri orang. Sebwa kengerian. Apalagi jika harus berhadapan dengan sanak saudara yang selalu mengeluarkan pertanyaan andalan, hanya dua kata: kapan lulus? Di situ saya merasa hidup ini begitu kejam.

Lalu apa yang harus saya lakukan, Pak Mahfud?

Saya paham kok, Pak, kehawatiran bapak itu sungguh sangat beralasan. Gerakan mahasiswa sekarang memang tak punya taring. Tapi saya tidak menemukan hal reflektif dari statemen yang bapak keluarkan. Saya hanya menemukan hal-hal utopis yang sulit dijangkau di zaman sekarang. Apakah gerakan mahasiswa harus merenungkan hal-hal utopis yang bapak ungkapkan itu. Lantas apa bedanya dengan duduk di bangku kuliah dengan rajin dan lulus dengan predikat cumshot, ah maksud saya cumlaude.

Apakah kegelisahan bapak ini hanya muncul ketika menyambut hari ulang tahun KAHMI saja? Apakah hanya dengan menggelar beberapa acara dapat membuat gerakan mahasiswa berubah semudah membalikkan telapak tangan? Apakah dengan serangkaian kegiatan dalam ulang tahun KAHMI bisa mengalahkan acara Mario Teguh Golden Wise dengan segudang kalimat motivasinya itu?

Sebentar, bapak ingat tidak dengan pembubaran pemutaran Film Senyap yang diadakan oleh mahasiswa di Jogja, lalu pembubaran diskusi LGBT di Semarang dan pembredelan majalah mahasiswa di Salatiga? Bapak masih ingat kan? Ah, masa bapak sudah lupa kejadian yang belum satu tahun lewat. Tapi bapak bisa ingat bagaimana dulu organisasi mahasiswa menelurkan tokoh-tokoh hebat. Sedih rasanya, bapak bisa bilang kalau semua mahasiswa sudah menjadi mesin tapi ketika ada kegiatan mahasiswa yang dibubarkan bapak kok diam saja.

Mahasiswa sekarang memang lebih banyak yang memilih untuk cepat lulus, sedangkan di sisi lain gerakan mahasiswa tak terdengar gaungnya. Sungguh menjadi dilema bagi seorang mahasiswa yang kerjaannya hanya kuliah, tidur dan ngopi seperti saya ini. Mungkin setelah ini kopi yang saya minum tiap hari akan terasa tidak enak, karena berita yang saya baca tentang statement bapak. Bapak Mahfud tak perlu bertanggung jawab kok tentang hal itu. Siapalah saya ini, hanya mahasiswa yang sampai semester 10 belum menempuh Kuliah Kerja Nyata

Tapi pak, tolong jawab pertanyaan saya ini.

Apa yang harus dilakukan oleh gerakan mahasiswa sekarang? Merampok nasi di salah satu rumah makan sebelum berangkat ke acara kongres? Meloby dana kepada para alumni yang menjadi anggota DPR, agar acara yang akan diadakan sukses? Atau merusak fasilitas negara agar bisa mengikuti acara yang diadakan oleh salah satu organisasi mahasiswa?

Kategori
Diskusi

Menggairahkan Gairah Literasi Kita

Beberapa hari yang lalu, saya diminta Pak Sekjend (dan forum OPJ) untuk menjadi pemantik diskusi bertema ‘Gairah Literasi’. Sejenak berpikir, atas dasar apa mereka menunjuk saya sebagai pemantik? Terlebih, diharuskan membuat tulisan sebagai pengantar diskusi. Tapi biarlah, hitung-hitung mengasah keterampilan menulis juga menantang wawasan saya yang tak seberapa.

Di akhir sesi diskusi dua minggu lalu, Pak Sekjend sempat menyampaikan keprihatinannya terhadap budaya literasi di kalangan mahasiswa (wabilkhusus pers mahasiswa) yang kian luntur. Terlebih masyarakat umum, sirna, barangkali. Maka sesungguhnya, berawal dari sini saya mengumpulkan bahan untuk tulisan ini.

Bahan dari diskusi tersebut saya padukan dengan secuil materi dari diskusi Jum’at malam lalu (19 Fabruari 2016), yang diadakan kawan-kawan kiri di SK Cafe, UIN Sunan Kalijaga. Ikut mewarnai perdebatan sengit soal akar kekerasan perempuan, statement: teknologi menjadi biang keladi dari semua ini.  Penemuan teknologi mata bajak beribu-ribu tahun lalu, mengubah budaya hidup manusia. Cara hidup kolektif yang telah membudaya, perlahan luntur seiring kesadaran manusia akan kekuatan dirinya untuk mengolah lahan secara mandiri. Di satu sisi memang menjadi keuntungan besar bagi manusia. Tapi di balik keuntungan itu, sisi gelap kian menyelimuti: tercerai-berainya kehidupan komunal manusia.

Itu logika sederhana saya. Jika dikontekstualisasikan dengan masa kini, saya rasa ada benang merahnya. Kemajuan teknologi yang kian pesat, diimbangi dengan fasilitas gawai bisa diakses sebagian besar manusia (lebih-lebih mahasiswa) akan berdampak pada budaya masyarakat, termasuk budaya literasi.

Beberapa kali saya mengamati kebiasaan mayoritas mahasiswa (termasuk saya sendiri, barangkali). Hingga sampai kepada kesimpulan, bahwa mahasiswa gandrung dengan istilah up to date. Maka segala informasi yang ada, berusaha dilahap semuanya, tanpa ada upaya untuk menelanjangi atribut-atribut yang menghiasinya. Tanpa mencari inti dari permasalahan yang terselip dalam informasi tersebut. Juga tak mampu menyikapi sebuah permasalahan dengan lebih dulu melakukan kajian akademik, dibedah dengan berbagai perspektif.

Keadaan diperparah dengan semakin menjamurnya portal berita atau sebatas informasi online, yang disajikan serampangan. Judul-judul bombastis dimunculkan, untuk mendulang klik. Hal-hal semacam ini yang justru sangat diminati kalangan kita. Beberapa kali saya berbincang dengan kawan, ia lebih fasih bercerita soal life style. Giliran diajak mendiskusikan sebuah isu, mandek. Kalaupun tidak, dalam menyikapi sebuah isu, ia hanya memandang dari satu perspektif, umumnya perspektif agama.

Seolah sudah berkongsi, antara teknologi dan kebijakan kampus (dan dosen). Pemberlakuan jam malam yang kian mempersempit ruang diskusi. Dorongan untuk lulus cepat dari dosen-dosen. Tugas-tugas kuliah yang menumpuk. Seabrek ‘intimidasi’ ini yang membuat mental kalangan kita kian cengeng, terkecuali (sebagian kecil) yang kuat. Tak ada sempat mengabdikan diri untuk dirinya sendiri, terlebih rakyat. Sudah bercokol di batok kepala (sebagian) kalangan kita, angka, rupiah, ‘prestasi’. Forum diskusi sepi. Perpustakaan hanya ramai jika kalangan kita memiliki beban makalah dan skripsi. Selebihnya, lenggang. Hanya tatapan nyiyir yang mereka lemparkan kepada demonstran yang turun ke jalan, memperjuangkan hak-hak kalangan kita, juga rakyat.

Persma Bisa Menggelorakan Gairah Literasi

Pikiran sempit, keputusan yang terburu-buru, dan penghakiman kepada suatu kelompok, terjadi lantaran rendahnya budaya literasi di kalangan kita. Dalam sebuah website, dijelaskan bahwa budaya literasi dimaksudkan untuk melakukan kebiasaan berpikir, diikuti dengan proses membaca dan menulis yang berujung pada terciptanya sebuah karya. Tentu kita, kalangan mahasiswa, mafhum bahwa membaca bukan sebatas melahap teks-teks dalam buku. Diskusi dan analisis realitas sosial juga bagian dari proses membaca.

Sementara menulis merupakan proses lanjutan dari pembacaan yang panjang. Satu kesatuan tak terpisahkan, yang kemudian mampu melahirkan sebuah karya bergizi. Tak heran jika Pram menulis dalam Bumi Manusia-nya melalui tokoh Nyai Ontosoroh: Tahu kau mengapa aku sayang kau lebih dari siapapun? Karena kau menulis. Suaramu takkan padam ditelan angin, akan abadi, sampai jauh, jauh kemudian hari.

Pers mahasiswa tentu tak asing dengan aktivitas membaca dan menulis. Karena memang dua hal tersebut yang menjadi kekuatan persma. Juga sebagian lagi ikut berbaur dengan gerakan mahasiswa, juga masyarakat umum, berdemonstrasi menuntut keadilan pada penguasa.

Tapi apakah mungkin pena tajam ketika persediaan tintanya seret? Tentu sulit diterima logika (paling tidak logika saya) yang mengatakan mungkin. Maka, berawal dari sini, saya menyadari, media pers mahasiswa perlu berbenah diri. Kajian-kajian tentang wacana dan teks-teks, perlu digelorakan kembali. Sumber daya anggota perlu diberikan asupan bacaan yang bergizi.

Gairah literasi bisa digelorakan dengan terlebih dulu oleh insan pers mahasiswa. Karena, pers mahasiswa satu-satunya organisasi di kampus yang memiliki konsentrasi pada aktivitas jurnalistik. Sementara untuk menghasilkan produk jurnalistik berkualitas, diperlukan wacana kuat. Selain sebagai bekal ‘propaganda’ untuk membentuk (paling tidak) opini mahasiswa, juga menjadi benteng dari serangan intimidasi dari birokrat kampus maupun masa reaksioner yang menghalang-halangi agenda jurnalistik, maupun perjuangan sebagaimana yang dilakukan insan persma pada kasus-kasus anti-demokrasi.

Barangkali kita perlu menengok peran persma dalam mencipta sejarahnya sendiri. Menjelang kejatuhan Soeharto–tentu insan persma akrab dengan ‘fenomena’ ini- mahasiswa UI Depok membuat produk buletin Bergerak!. Bergerak! didirikan lantaran krisis ekonomi di Indonesia yang kian mencekik di era 1998, oleh aktivis pers mahasiswa pengelola Majalah Berita Mahasiswa Suara Mahasiswa UI.

Di saat pers umum tak berani bergaung lantang, Bergerak! dengan bernas menyajikan fakta di lapangan dalam perspektif mahasiswa. Bergerak! mampu menjadi corong gerakan mahasiswa –bukan satu kelompok gerakan saja. Ia menjalankan fungsinya sebagai kontrol sosial, mengawal reformasi. Ia juga cukup berhasil menjadi media alternatif. Runtuhnya rezim Soeharto, menjadi alamat matinya Bergerak!

Iseng-iseng saya coba melakukan analisis sederhana. Jika melihat kondisi pada waktu itu, gerakan-gerakan mahasiswa cukup kuat. Karena memiliki satu musuh bersama: Seoharto. Melihat realita semacam ini, aktivis persma Suara Mahasiswa merasa perlu membuat produk sebagai wadah dan media komunikasi antar gerakan mahasiswa. Maka dibentuklah Bergerak!, yang sempat terbit setiap hari kecuali hari Sabtu dan Minggu.

Dari segi basis wacana dan kajian gerakan mahasiswa, saya kira kuat sekali. Bergerak! hadir untuk menampung segala aspirasi kritis mahasiswa terkait represifitas rezim Orde Baru. Maka kemudian saya sampai pada kesimpulan (terinspirasi dari Pram): Orang boleh kritis setajam silet, tapi selama tidak menulis, ia akan tenggelam dalam sejarah dan masyarakat. Menulis adalah bekerja untuk perjuangan.
Gairah literasi yang menggelora, pada waktunya akan membentuk karakter media persma, baik media cetak, terlebih portal online. Semoga!

Bacaan:
Arismunandar, Satrio. 2005.  Bergerak!: Peran Pers Mahasiswa dalam Penumbangan Rezim Soeharto. Yogyakarta: Genta Press.

 

Kategori
Diskusi

Revitalisasi Tanpa Meninggalkan Ciri

Apa yang Anda pikirkan pertama kali ketika mendengar kata ‘pasar tradisional? Mungkin akan muncul di benak Anda tentang suatu tempat jual-beli yang kumuh, kotor, bau, panas, pengap, dan sebagainya. Memang tidak bisa dipungkiri, itulah kondisi yang terjadi pada mayoritas pasar tradisional di Indonesia saat ini. Kondisi ini diperparah ketika memasuki musim penghujan, pasar berubah menjadi kubangan lumpur dimana-mana, becek, dan tentunya kurang sedap dipandang. Seiring dengan perkembangan zaman, mulai muncul pasar modern yang kini dapat bersaing secara ketat dengan pasar tradisional dalam hal menarik calon pembeli. Bahkan saat ini pasar modern mampu untuk menjaring calon pembeli lebih banyak daripada pasar tradisional dikarenakan kondisi pasar modern jauh lebih terawat, banyak promo yang ditawarkan, harga produk yang bersaing, dan sebagainya. Oleh karena itu, sudah saatnya pasar tradisional di Indonesia ini untuk direvitalisasi secara masif karena kondisi pasar tradisional hari ini secara kasat mata sudah cukup memprihatinkan baik secarra fisik (bangunan) maupun infrastruktur penunjang seperti tempat pembuangan sampah, jalan, sistem drainase, dan sebagainya.

Mungkin akan muncul pendapat  bahwa ketika suatu pasar tradisional direvitalisasi secara besar-besaran, budaya jual-beli secara tradisional yang telah diwariskan secara turun-temurun akan luntur, seiring dengan pembangunan pasar baru yang lebih tertata secara keseluruhan. Revitalisasi pasar yang saya maksud adalah perbaikan secara menyeluruh terhadap kondisi pasar yang sudah sedemikian parah. Akan tetapi, tidak mengubah lokasi pasar yang sudah ada karena selain menentukan tingkat penjualan para pedagang juga terdapat nilai historis yang tertanam pada lokasi pasar tradisional tersebut. Tentunya, dengan adanya revitalisasi tidak akan mengubah ciri khas dari sebuah pasar tradisional yakni: adanya tawar-menawar dalam hal pembelian, komunikasi yang interaktif antara penjual dan pembeli, kesempatan pembeli untuk mengecek sendiri produk yang ditawarkan pedagang, dan sebagainya. Ciri khas ini dapat dipertahankan apabila pengelola pasar tradisional tidak mengubah sistem yang berlaku di pasar tradisional dengan sistem yang diterapkan pada pasar modern.

Namun penerapan dari revitalisasi pasar tradisional ini tidak jarang menimbulkan masalah, seperti: masalah relokasi pasar yang tidak strategis, mahalnya harga kios yang baru, hingga permasalahan tentang lahan pasar. Dilansir oleh merdeka.com (8/8/12), ratusan Pedagang Pasar Tradisional Babat Bersatu (PPTBB) yang berasal dari kota Babat, Kabupaten Lamongan, mendatangui Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Surabaya untuk mendengarkan putusan gugatan mereka terhadap Bupati Lamongan dan sekretaris daerah. Alasan mereka melakukan gugatan kepada Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Lamongan tersebut adalah ketidakpuasan sekitar 2.300 pedagang terhadap kebijakan Pemkab terkait dengan pengelolaan pasar seperti harga stan yang terlalu mahal, penggusuran pedangang secara seenaknya tanpa ada keputusan dari Pengadilan Negeri (PN), hingga gugatan tentang lahan pasar Babat yang tidak memiliki Hak Pengelolaan Lingkungan (HPL). Demi mengurangi potensi masalah seperti ini, para pemangku kepentingan terkait pasar tradisional ini bisa duduk bersama terlebih dahulu untuk membicarakan konsep revitalisasi pasar tradisional yang akan dilaksanakan. Metode diskusi yang dapat  dilakukan yakni brainstorming . Brainstorming menurut M. Sobry Sutikno (2007:98) adalah suatu bentuk diskusi dalam rangka menghimpun gagasan, pendapat, informasi, pengetahuan, pengalaman dari seluruh peserta. Gagasan dan ide dari peserta tersebut tidak ditolak, namun dianalisis secara mendalam oleh forum untuk menemukan formulasi kebijakan terbaik yang dapat diterapkan sebagai konsep revitalisasi pasar tradisional. Dengan cara seperti ini, semua pihak yang berkepentingan dapat terakomodasi kepentingannya sehingga nantinya revitalisasi yang dijalankan sesuai dengan harapan semua pihak.

Menguatkan daya saing terhadap pasar modern

Keberadaan pasar modern seperti minimarket, supermarket, department store, dan sebagainya kini telah mengancam eksistensi dari pasar tradisional. Dengan strategi pemasaran serta sumber daya modal yang melimpah, tidak sulit bagi pasar modern untuk terus melakukan ekspansi pasar dengan membuka cabang di pelbagai daerah. Mirisnya lagi, banyak dari pelaku usaha pasar modern ini membuka cabangnya di dekat pasar tradisional. Hal ini mengindikasikan adanya upaya untuk merebut pangsa pasar yang dimiliki pasar tradisional. Ditambah lagi dengan peraturan yang tidak tegas dari pemerintah pusat seperti Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 17 Tahun 2012 yang tidak mengatur secara tegas tentang batasan jarak antara pasar modern dan pasar tradisional. Di sisi lain, Peraturan Menteri Perdagangan (PERMENDAG) Nomor 70/M-DAG/PER/12/2013 yang menyerahkan kewenangan pengaturan jarak antara pasar modern dan tradisional kepada pemerintah daerah setempat. Belum lagi implementasi dari Peraturan Daerah (Perda) yang mengatur tentang jarak antara pasar ini juga masih banyak yang tidak sesuai.

Dengan kondisi serba sulit seperti itu, apakah para pelaku pasar tradisional harus pasrah terhadap keadaan? Tentu tidak. Para pedagang di pasar tradisional harus secara proaktif mengajak pemerintah untuk  melakukan revitalisasi pasar untuk mewujudkan pasar yang layak kunjung dan enak dilihat. Pemerintah daerah setempat juga harus peduli dengan keberadaan dari pasar tradisional melihat geliat dari pasar modern saat ini yang terus mempercantik diri demi menarik minat beli konsumen. Perlu diingat bahwa banyak dari pedagang di pasar tradisional adalah masyarakat dengan sumber daya modal terbatas yang tentunya akan kalah bersaing dengan para pelaku pasar modern, sehingga peran serta pemerintah daerah sangat dibutuhkan demi meningkatkan daya saing pasar tradisional terhadap pasar modern.

Kita bisa berkaca dari niat Pemerintah Kota Malang untuk mempercantik pasar tradisionalnya dengan melakukan revitalisasi pasar Oro-Oro Dowo menjadi pasar yang memiliki bangunan semi modern yang dilengkapi dengan fasilitas ibadah, toilet, ruang ibu menyusui, serta sistem drainase yang baik sehingga tidak menimbulkan genangan pada pasar tersebut. Langkah positif pemerintah tersebut perlu diapresiaasi karena melakukan revitalisasi pada bangunan pasar menjadi semi modern namun tetap mempertahankan ciri pasar tradisional. Ini juga menjadi salah satu upaya untuk tetap mempertahankan eksistensi pasar tradisional di tengah kepungan pasar modern dengan segala kelebihan sumber dayanya.

Upaya lain yang dapat dilakukan untuk meningkatkan daya saing pasar tradisional adalah dengan memberikan pengarahan kepada para pedagang  yang dilakukan oleh pemerintah maupun akademisi mengenai bagaimana caranya untuk melakukan strategi pemasaran atas produk yang dijual dengan baik. Ini penting karena pelaku pasar modern sudah selangkah lebih maju dalam hal formulasi strategi pemasaran yang bisa dibuktikan dengan banyaknya iklan, promo merek, dan sebagainya. Untuk itu, konsep pemasaran yang dapat dipakai adalah konsep bauran pemasaran (marketing mix). Kotler (2000:18) mendefinisikan bauran pemasaran adalah seperangkat alat pemasaran yang digunakan perusahaan untu terus-menerus mencapai pasar tujuan pemasarannya di pasar sasaran. variabel yang biasa dipakai untuk menjalankan bauran pemasaran ini adalah variabel 4 P (place, product, price, promotion) dimana konsep ini banyak disebut oleh para ahli pemasaran seperti Phillp Kotler, Buchari Alma, dan sebagainya. Place atau tempat harus sangat diperhatikan oleh para pedagang pasar tradisional dalam menjual barang dagangannya. Kebersihan tempat serta tata letak produk yang menarik tentunya mempengaruhi keputusan pembelian para pembeli. Price atau harga juga menjadi variabel penting apakah para pembeli tertarik untuk membeli dagangan para penjual di pasar tradisional. Dengan ciri khas pasar tradisional yaitu adanya tawar-menawar harga suatu barang, penjual harus cermat untuk menentukan harga jual dimana harga yang nantinya dilepas pada pembeli tidak terlalu tinggi namun juga masih menyumbang laba terhadap pendapatan pedagang. Selanjutnya adalah product atau produk, barang dagangan yang dijual oleh pedagang harus barang dengan kualitas baik agar nantinya persepsi pembeli terhadap pedagang di pasar tradisional tetap baik dan tidak beralih ke pasar modern. Yang terakhir adalah promotion atau promosi, untuk dapat bersaing dengan pasar modern, pedagang di pasar tradisional juga perlu melakukan promosi atas barang yang dijualnya. Mengingat keterbatasan yang dimiliki oleh para pedagang pasar tradisional dalam hal menjalankan strategi pemasaran di atas, perlu adanya peran pemerintah untuk memberikan sokongan dalam pemberian ilmu, akses, kemudahan distribusi barang, bantuan modal, dan sebagainya. Karena di balik segala kesederhanaan yang terdapat di dalam pasar tradisional, ada nilai ke Indonesiaan, sepert: gotong royong, interaksi antar sesama yang santun, dan jangan dilupakan bahwa hasil bumi rakyat Indonesia sebagian besar mengalir ke pasar tradisional sehingga ada jutaan penghidupan yang bergantung pada keberadaan pasar tradisional.

Catatan redaksi: Naskah ini terpilih menjadi juara dua Lomba Esai bertema “Eksistensi Pasar Tradisional” yang diadakan pada Dies Natalis Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia (PPMI) ke-23 di Semarang.

 

 

Kategori
Diskusi

Masih Mau Dibungkam? Ketinggalan Zaman!

“Jangan kau penjarakan ucapanmu. Jika kau menghamba pada ketakutan, kita akan memperpanjang barisan perbudakan.” Wiji Thukul

Berbicara, berpendapat, dan beraspirasi pada hakikatnya adalah hak setiap manusia sebagai suatu bentuk perwujudan eksistensi diri. Kebenaran, dalam hal ini adalah suatu keniscayaan bagi setiap manusia berakal dan beradab untuk diungkapkan secara terbuka. Mereka yang menolak untuk mengungkap kebenaran ataupun berusaha menyembunyikannya dengan dalih kebaikan, tetaplah salah dari segi manapun. Karena kejahatan yang sebenarnya ialah mengetahui kebenaran tetapi memilih bungkam dan bersembunyi dalam kepura-puraan. Pura-pura tuli, pura-pura bisu, pura-pura buta, bahkan pura-pura lupa.

Zaman telah bergulir. Era pembungkaman telah berakhir. Rezim yang mengekang dan sewenang-wenang sekarang hanya tinggal kenangan. Siapapun boleh berbicara, berpendapat, mengkritik, ataupun berkomentar sepanjang sejalan dengan kebenaran. Lalu, mengapa hingga saat ini telinga kita masih sering mendengar kisah beberapa kawan yang menjadi korban dari ‘kampus otoriter’? Kebebasan berpendapat seakan menjadi hal tabu sehingga mereka yang suka ‘menyentil’ birokrat kampus harus siap menerima risikonya. Risiko yang ditawarkan pun beragam: ada yang menjadi ‘bulan-bulanan’ dosen di kelas, diberi surat peringatan, pemanggilan orangtua, sanksi akademik, hingga yang baru-baru ini menimpa kawan kita di Jakarta yang harus menuai drop out (DO) karena sikap kritisnya terhadap carut-marut kehidupan kampus. Bukankah ironis?

Kebebasan berpendapat telah dijamin dalam Undang-Undang (UU) Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum. UU tersebut rasanya cukup untuk dijadikan sebuah payung hukum yang melindungi setiap insan yang ingin menyampaikan pendapatnya. Namun kenyataannya, kebebasan pendapat seakan masih dikebiri melalui berbagai cara. Sudah menjadi rahasia umum apabila kampus-kampus yang ada di negeri kita ini masih menganut paham otoriter. Sehingga tidak sedikit mahasiswa yang merasa takut untuk mengkritik kekurangan di kampus tempatnya belajar. Takut kalau kena DO, takut akan mendapatkan sanksi akademik, takut dipersulit untuk lulus, takut dibilang mencari muka, dan ketakutan-ketakutan lain yang masih membayangi pikiran mahasiswa saat ini.

Melihat kenyataan tersebut, tidak heran jika hanya segelintir mahasiswa yang menolak bungkam dan dengan tegas berani menyuarakan kebenaran. Masih untung negara kita memiliki akademisi yang tak hanya melulu menggali ilmu untuk mencari fakta ilmiah belaka, tetapi masih peduli dan kritis dalam memperjuangkan kebenaran dan keadilan. Seharusnya kampus bangga jika mahasiswanya memiliki pola pikir kritis demi kebaikan dan perbaikan kampus. Bukan hanya berkutat mencari nama dan bersaing di antara kampus-kampus lain, lantas memakai topeng kecantikan yang terlihat indah di luar namun ternyata busuk di dalam. Sampai kapan kita akan diam?

Sebagai makhluk yang memiliki nalar, wajar jika mahasiswa protes ketika mendapati sesuatu yang tidak beres dalam kampusnya. Persoalan transparansi anggaran, berbelit-belitnya proses pengajuan penurunan Uang Kuliah Tunggal (UKT), dan proses administratif yang membingungkan merupakan momok yang biasa ditemui di kampus-kampus negeri ini. Pihak kampus seharusnya dapat bersikap dewasa dalam menghadapi kritik dari mahasiswa. Sebab, melalui kritik-kritik tersebutlah kampus dapat menyadari kekurangannya dan segera berbenah diri menjadi lebih baik. Bukannya malah membungkam dan mengancam mahasiswa yang berani mengkritik kebobrokan kampus. Ironis jika saat ini masih ada mahasiswa yang kritis dalam berpendapat justru diberi label subversif dan dituduh mengganggu ketertiban.

Mahasiswa sebagai ujung tombak perubahan nyatanya masih belum sepenuhnya memiliki ruang gerak yang bebas untuk berbicara. Represi kampus semakin hari semakin tampak jelas melalui refleksi kasus-kasus pembungkaman yang dialami kawan-kawan mahasiswa di berbagai daerah. Perasaan geram dan muak terhadap birokrasi kampus yang berlabel “otoriter” seakan semakin memuncak ketika kebebasan berpendapat sedikit demi sedikit dikikis oleh tajamnya pola pikir oknum-oknum bermental Orba. Hal tersebut ditunjukkan dengan semangat mengungkap kebenaran yang masih berkobar dalam diri mahasiswa yang berakal kritis dan demokratis. Lalu wajarkah jika praktik-praktik pembungkaman masih dibiarkan tumbuh subur menjangkiti ranah pendidikan di rahim ibu pertiwi? Bukankah negara kita menganut paham demokrasi? Pikirkan kembali!

Sebagai bangsa yang memiliki cita-cita setinggi langit, Indonesia harus mampu bekerja sehebat mimpi-mimpinya. Perbaikan demi perbaikan harus terus dilakukan, sehingga masyarakat madani yang sedari dulu didambakan bukan hanya sekedar menjadi fantasi belaka. Mahasiswa, dengan ilmu dan daya nalar kritisnya adalah obat penyembuh bagi kehidupan kampus maupun negara yang sedang “sakit”. Penyakit-penyakit Orba seperti represi dan pembungkaman kebebasan berpendapat yang merebak bak virus harus segera dimusnahkan. Mengapa harus? Sebelum menjawab pertanyaan ini, sebaiknya kita tanyakan pada diri kita masing-masing, maukah kita hidup bernegara dalam kebusukan dan kebohongan?

Tidak dipungkiri masih banyak mahasiswa yang memilih apatis karena terlalu terbuai oleh kenyamanan. Dengan dalih ogah “ribet” dengan birokrasi kampus, seolah-olah mereka lupa dengan tugasnya sebagai agent of change. Datang, duduk, diam, dan dengarkan, menjadi slogan yang dianut dalam kehidupan kampus. Seolah-olah buta dengan penyimpangan-penyimpangan dalam kampus, mahasiswa tak berani mengkritik dan memilih ngomel di belakang. Mental-mental seperti ini yang harus diluruskan. Jika tidak, kampus tempat kita menuntut pelbagai ilmu justru menjadi lahan para oknum birokrat untuk semakin leluasa menjalankan kesewenang-wenangannya.

Rentetan peristiwa yang melambangkan represi kampus terekam secara gamblang dalam bentuk gambar maupun tulisan. Catatan-catatan tersebut telah banyak memenuhi jendela dunia maya. Bahkan dengan duduk diam sambil bersantaipun kita bisa menyaksikan bentuk-bentuk pengekangan tersebut dalam genggaman. Namun, perubahan tidak akan terjadi manakala kita hanya duduk diam sambil berdecak heran mengutuk oknum birokrat bermental Orba. Lain halnya jika kita berdiri tegak dan berani melakukan hal yang nyata demi menolak pembungkaman berpendapat.

Semuanya dapat menjadi pembelajaran bersama baik bagi sivitas akademika maupun masyarakat awam. Tugas kita adalah sedikit demi sedikit mengganti catatan-catatan kelam tersebut dengan suatu hal yang baru. Kisah-kisah tentang keberhasilan mahasiswa dalam membangun iklim demokratis di kampus dan menggalakkan budaya berpendapat yang beradab. Begitupun dengan birokrat kampus sendiri, mereka harus mau bersikap transparan dan terbuka terhadap setiap kritik yang bersifat membangun. Semua hal tersebut tidak lain adalah upaya untuk menciptakan suasana pendidikan yang kondusif.

Sekarang saatnya mahasiswa bangkit dan melawan pembungkaman. Jangan kita perpanjang lagi rentetan cerita pemberangusan kebebasan berpendapat khususnya di lingkungan kampus. Kebenaran tidak boleh dibiarkan tersembunyi di balik ketiak birokrat. Keberanian adalah kunci utama dalam mengungkapkan kebenaran dan menegakkan keadilan. Karena sedalam apapun bangkai disembunyikan, cepat atau lambat bau busuk akan menyeruak juga. Jika kita masih takut dan memilih bungkam ketika melihat sesuatu yang salah, sampai kapanpun bangsa ini akan terpenjara dalam kebohongan dan semakin terpuruk dalam kesengsaraan.

“Apabila usul ditolak tanpa ditimbang, suara dibungkam, kritik ditolak tanpa alasan, dituduh subversif dan mengganggu keamanan, maka hanya ada satu kata: LAWAN!” Wiji Thukul

Catatan redaksi: Naskah ini terpilih menjadi juara dua Lomba Esai bertema “Mahasiswa Bangkit Melawan Pembungkaman” yang diadakan pada Dies Natalis Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia (PPMI) ke-23 di Semarang.

 

Kategori
Diskusi

Pertahankan Sikap Mahasiswamu!

Bentuk kolektif perilaku mahasiswa yang condong ke arah demokratis yang ingin bebas berkreasi sesuai dengan keilmuannya sebenarnya selaras dengan cita-cita bangsa ini. Dari generasi ke generasi kita bisa melihat dan mengalami sendiri bagaimana mahasiswa selalu berada di garda terdepan dalam pergerakan. Sebut saja reformasi 1998, untuk kalangan kita (mahasiswa) hampir mustahil tidak tahu apa-apa soal aksi besar-besaran yang menumbangkan Rezim Orba ini. Jauh sebelum itu, walau terlihat samar-samar, eksistensi dari Perhimpunan Indonesia cukup terkenal dengan Muhammad Hatta sebagai promotornya. Dan dari semua gerakan-gerakan mahasiswa ada satu kesamaan, yakni kritis terhadap segala bentuk penindasan.

Kalangan mahasiswa di Indonesia secara kasat mata dari zaman penjajahan sampai sekarang berasal dari masyarakat yang berstatus sosial-ekonomi menengah kebawah, maka bisa dikatakan mahasiswa di Indonesia bukan dari kalangan penguasa yang hanya segelintir orang itu saja melainkan wakil dari tiap-tiap rakyat Indonesia yang sampai sekarang masih terus bergelut dengan kata “perubahan”. Kalangan ini pernah ada di zaman Tan Malaka saat pulang dari pelarian, dan disebutnya sebagai kaum ploretar.

Berbeda dengan kondisi rakyat saat itu yang ditemui Tan Malaka, yang masih belum berpendidikan. Saat ini kaum ploletar itu bisa ditemui di kampus-kampus yang tersebar di seluruh penjuru tanah air. Mungkin inilah suatu kondisi yang diharapkannya dulu, dimana semangat juang dan pendidikan ada pada kalangan ploretar. Suatu kombinasi yang sempurna untuk menjadi agen of change dan agen of control yang sering digaungkan saat Ospek di kampus-kampus. Mahasiswa mempunyai 2 sisi itu, sisi dimana dia merasakan secara langsung kondisi real masyarakat dan sisi lainnya dia bisa hadir menyodorkan solusi.

Idealnya kaum ploretar hanyalah sebuah kondisi yang sebenarnya tidak diinginkan. Namun kita tetap harus mempertahankan perspektif dimana kita bisa melihat dari kacamata rakyat meskipun tingkat pergaulan kita sudah bisa menembus gedung-gedung pejabat elit. Banyak capaian-capaian yang telah diraih oleh mahasiswa pergenerasi. Dengan sendirinya kita merasa terwarisi akan cara berpikir anti penindasan, maka tak heran ada yang namanya “sumpah mahasiswa Indonesia” yang merupakan manifesto dari penolakan mahasiswa tahun 70-an terhadap NKK/BKK buatan Soeharto itu. Tak perlu heran, “sumpah mahasiswa” ini dengan cepat merambat ke kampus dan bisa didengar saat aksi-aksi mahasiswa, meski tak banyak yang tahu siapa penciptanya. Hal ini bisa kita asumsikan mahasiswa mempunyai semangat dan cara yang hampir sama dalam menilai fenomena sosial.

Katak Rebus

Cara berpikir mahasiswa yang kritis dan gerakannya pada masa kini kian sunyi. Mungkin saja karena persoalan NKK/BKK atau sejenisnya sudah tidak ada lagi untuk menjadi pemicu. Banyak para mantan aktivis dulu yang sekarang menjadi dosen, pejabat dan politisi sering berceloteh tentang kisah-kisah heroik mereka saat menggelar parlemen jalanan. Namun di saat yang sama justru berusaha meredam gerakan mahasiswa. Bentuk nyatanya banyak, di Univeritas Negeri Gorontalo (kampus saya) pihak lembaga sudah berusaha ikut campur dalam kegiatan mahasiswa, sikap yang anti kritik (terbukti saat persma menerbitkan berita tentang Bidik Misi), pengarahan Persma ke bidang Kehumasan, dan pelarangan kepada mahasiswa Bidik Misi yang ikut kegiatan organisasi mahasiswa, dan masih banyak lagi gerak-gerik birokrat kampus maupun pemerintah dalam membungkam aspirasi mahasiswa. Bedanya yang kita lawan adalah mereka mantan mahasiswa. Benar juga apa kata orang “pergunakanlah masa mahasiswamu untuk menjadi seidealis mungkin, karena setelah itu tidak ada yang bisa menjamin”.

Ada juga yang mengatakan bahwa hilangnya gerakan mahasiswa adalah sebuah hasil dari lingkungan mahasiswa itu sendiri. Dulu lingkungan sekitar mahasiswa bergejolak dan setiap saat terdapat kegelisahan. Bahkan pada beberapa kasus, mahasiswa secara khusus menjadi incaran pemerintah. Setidaknya ada mahasiswa di antara 14 orang hilang (1997-1998) yang belum ditemukan hingga kini. Saya rasa tidak perlu menunggu giliran untuk diculik agar bisa menjadi kritis. Saya cukup dikesankan dengan kedatangan Tim Ekspedisi Indonesia Biru, Dhandy Dwi Laksono dan Suparta yang memberi kuliah kreatif tentang Jurnalistik, sebelumnya kami tidak tahu siapa dan apa yang dilakukan Dhandi dan Ucok itu, belum lagi ditambah perkenalan oleh dosen kami yang sama sekali berbeda dengan  apa yang disampaikan Dhandy saat memberikan kuliah. Dia justru lebih banyak memberikan “nasehat” dibanding materi Jurnalistik. Kami yang duduk di situ disuguhi dengan karya-karyanya tentang reformasi dan kondisi Indonesia yang belum banyak diketahui oleh masyarakat. Dia pun berulang kali bertanya, enak mana zaman orba dengan reformasi? Apakah di zaman reformasi ini, bentuk feodalisme sudah lenyap? Yang paling “menampar” adalah pertanyaan dimana mahasiswa sekarang? Dan pernyataan mahasiswa sekarang sama dengan katak yang direbus, tak sadar dirinya di ambang “kematian”.

Barangkali memang benar apa yang dikatan Dhandy itu, pembungkaman di masa sekarang metodenya sudah dikemas dengan cantik. Banyak konsep anti demo yang beredar di kalangan mahasiswa, dan lucunya mahasiswa mendukungnya. Sekarang mahasiswa lebih sibuk memikirkan persoalan kuliah tanpa mau sibuk-sibuk mengurus persoalan organisasi, ini berhubungan dengan otoritas dosen yang berhak membubuhi nilai akhir mata kuliah mahasiswnya, walau tak jarang ukuran penilaian masih mengandalkan subjektifitas pribadinya. Orientasi mahasiswa sekarang lebih kepada mendapat nilai A pada Kartu Hasil Studinya, dengan harapan mudah mendapat kerja saat sudah lulus nanti. Namun nahas, banyak sarjana yang justru kerja di bidang yang tidak sesuai dengan studinya.

Ini merupakan bentuk kesengajaan dari antek-antek penguasa yang tidak ingin dikritik oleh mahasiswa. Konsep pemikiran mahasiswa yang apatis, pragmatis dan hedonis dibentuk saat calon mahasiswa baru masuk ke kampus dan mendapati kualitas Ospek “kurang menarik” karena banyak yang hanya mengandung materi tentang SKS, KRS, KHS, IPK, IPS, dan beasiswa. Begitu selesai ospek, si maba ini menemui selebaran pendaftaran organisasi-organisasi intra dan ekstra kampus, “mungkin ini sedikit menarik” pikir si maba saat memutuskan untuk mengikuti proses pengkaderan organisasi yang dipilihnya. Saat sudah mendekati hari H, dia bertanya pada sang dosen, “pak saya mau minta izin tidak bisa kuliah karena mau ikut pengkaderan organisasi” dengan santai dosen biasa menjawab “itu terserah kamu, yang jelasnya kamu tetap dihitung absen pada mata kuliah saya” dengan putus asa si maba tadi tak berkutik. Lebih parah lagi yang terjadi pada mahasiswa penerima beasiswa Bidik Misi, serangkaian peraturan telah dibacakan kepada mereka, seperti: wajib berasrama, wajib mentaati peraturan kampus, wajib mengikuti program yang kampus canangkan, wajib mempertahankan IPK di atas rata-rata dan tak ketinggalan ancaman dari pengelola Bidik Misi: “ingat kami berhak mengeluarkan kalian dari status penerima Bidik Misi!”.

Jati Diri Mahasiswa

Kalau sudah demikian, usaha organisasi mahasiswa untuk merekrut anggota baru sangat sulit. Plak! Serangan Pembungkaman telak mengenai psikologi para generasi baru. Untung-untung jika salah satu-dua diantara mereka berani mengkritisi. Pola yang dibentuk kampus ini sangat tidak profesional, mahasiswa seharusnya diajari cara berpikir radikal, berpandangan luas dan berkreasi sesuai keinginan. Adapun kesalahan adalah hal yang lumrah bagi para pelajar tingkat atas ini. Kampus sejatinya harus menjadi pelindung akan kebebasan gerak mahasiswanya, menjamin segala kebutuhan yang dibutuhkan mahasiswa, tidak membatasi eksplorasi yang dilakukan para mahasiswa.

Kembali ke jati diri mahasiswa, mahasiswa dilihat dari segi sosial-ekonominya adalah pembaharu bagi bangsa ini. Jawaban dari segala pertanyaan bertumpu pada mahasiswa. Dengan proses studinya dia mencari sesuatu yang bisa dipertanggung-jawabkannya saat sudah menyandang gelar. Persoalan bangsa yang dirasakan langsung oleh mahasiswa sebagai kaum ploteran menjadi pemicu baginya untuk mencari solusi, hanya tinggal bagaimana mahasiswa bisa saling terhubung satu sama lain dalam suatu perhimpunan organisasi mahasiswa. Saling berbagi dan menceritakan ke-bhineka-an sehingga bisa bersama-sama bersatu dalam satu ikatan: Indonesia.