Kategori
Riset Siaran Pers

Represi terhadap Pers Mahasiswa Periode 2020-2021 Berdasarkan Provinsi dan Kampus

Kekerasan terhadap pers mahasiswa di Indonesia terus berulang, baik di dalam atau luar akmpus. Fenomena ini merupakan dampak dari tidak adanya integritas kampus untuk menjunjung kebebasan akademik sekaligus nihilnya pengakuan terhadap kebebasan menyampaikan pendapat.

Dalam catatan kasus PPMI periode 2020-2021 terjadi 185 represi yang dialami pers mahasiswa. Pelaku represi mayoritas adalah kampus dengan jumlah 48 kasus. Baca selengkapnya catatan kasus pada tautan berikut: Catatan Kasus Represi terhadap Pers Mahasiswa Periode 2020-2021

Berikut ini adalah daftar represi yang dialami pers mahasiswa periode 2020-2021 berdasarkan kampus dan wilayah (provinsi).

Sementara itu, berikut ini adalah kampus yang menjadi pelaku utama represi terhadap pers mahasiswa. Dalam catatan Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia (PPMI) Nasional, dalam satu perguruan tinggi/kampus bisa terdapat 1-4 Lembaga Pers Mahasiswa, baik di tingkat program studi/fakultas/universitas. Oleh karena itu, represi di dalam kampus bisa menimpa 1-4 LPM tersebut. Sebaran kasus ini didominasi oleh kampus yang berada di Pulau Jawa.

Kategori
Riset

Relevansi dan Tingkat Kepercayaan Publik terhadap Pers Mahasiswa

Pers mahasiswa dinilai ‘masih cukup’ untuk menjadi media alternatif mahasiswa. Hal ini dapat ditunjukan dari penilaian terhadap beberapa aspek, seperti eksistensi, kepercayaan, transparansi, kualitas produk, dll.

Sebelumnya, Tim Penelitian dan Pengembangan (Litbang) Suara Mahasiswa Universitas Indonesia, Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Poros Universitas Ahmad Dahlan, Badan Penerbitan dan Pers Mahasiswa Balairung Universitas Gadjah Mada, dan LPM Progress Universitas Indraprasta (Unindra) telah melakukan survei bertajuk Tingkat Kepercayaan terhadap Pers Mahasiswa. Survei ini dilakukan pada 4 sampai 11 Februari 2022 dengan 165 responden yang berpartisipasi. Adapun, responden ini tidak hanya dari kalangan mahasiswa, tetapi sebagain kecil reponden berasal dari kalangan non-mahasiswa. Hasil survei ini memiliki tingkat kepercayaan 95 persen dengan margin of error sebesar 7.60 persen.

Dalam penelitian ini, Tim Kolaborasi merumuskan beberapa pertanyaan sebagai berikut:

  1. Sejauh mana tingkat kepercayaan mahasiswa terhadap pers mahasiswa?
  2. Bagaimana persepsi mahasiswa terhadap relevansi pers mahasiswa sebagai media alternatif?
  3. Dalam hal apa dan sejauh mana pers mahasiswa memberikan pengaruh bagi wawasan mahasiswa?

Bagaimana hasil selengkapnya dari survei ini, baca selengkapnya pada tautan berikut: https://suaramahasiswa.com/tingkat-kepercayaan-terhadap-pers-mahasiswa-dan-relevansinya-pada-masa-kini

Sumber gambar: Istimewa

Kategori
Riset

Catatan Kasus Represi terhadap Pers Mahasiswa 2020-2021

Kategori
Riset

Benarkah Minat Baca di Indonesia Rendah?

Data hasil survei @kabar_trenggalek bersama Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia (PPMI) dengan jumlah 125 responden menunjukkan bahwa 77,6% responden suka baca, 20,8% biasa saja, dan 1,6% tidak suka baca.

Hasil survei tersebut berbeda jauh dari data UNESCO yang menunjukkan bahwa minat baca masyarakat Indonesia hanya 0,001%. Dalam artian, dari 1000 orang Indonesia, hanya 1 orang yang rajin membaca.
Menurut Gol A Gong, Penulis sekaligus Duta Baca Indonesia, berdasarkan pengalamannya, minat baca masyarakat Indonesia sebenarnya cukup tinggi, namun kendala sulitnya akses buku dan distribusi buku yang tidak merata membuat literasi media Indonesia belum meningkat (tempo.co).

Data hasil survei juga menunjukkan bahwa responden lebih banyak mendapatkan buku bacaan mereka dari toko buku, yaitu 29,6% dari toko buku offline dan 28,8% dari toko buku online . Namun, meskipun menurut sebagian besar responden (69,6%) di daerah mereka sudah terdapat toko buku, beberapa dari mereka menyatakan bahwa lokasi toko buku jauh, tidak menarik, dan kurang lengkap.

“Saya harus menempuh perjalanan ke kota jika ingin membeli buku”
“Ada (toko buku) tapi biasanya sulit kita temui buku-buku yang kita cari”
“Ada (toko buku), tapi jumlahnya sedikit, lokasinya jauh dan kurang lengkap”

Masyarakat Indonesia terutama di luar Jawa, khususnya di wilayah Indonesia timur seperti Papua dan Maluku sulit mendapatkan buku, karena minimnya jumlah percetakan dan penerbitan buku berkualitas.

“Sementara membeli buku bermutu berat ongkos kirim, terkadang bahkan biaya kirim buku bisa dua kali lipat dari harga buku, sehingga perlu dukungan politik anggaran untuk meningkatkan minat baca di Indonesia.” – Gol A Gong
“Misalnya mendukung keberadaan usaha penerbitan buku, menyediakan dana untuk pengembangan perpustakaan dan taman baca masyarakat, bahkan jika perlu memberikan subsidi ongkos kirim pembelian buku.” – Gol A Gong

Jadi, bagaimana menurut kalian? Apakah kalian juga kesulitan akses buku di daerah kalian?

Kategori
Riset Wawancara

Kronologi dan Duduk Perkara Represi yang Dialami LPM Poros

Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) merupakan wadah berproses bagi mahasiswa yang berkutat pada persoalan jurnalistik. Dalam peranannya tak jauh berbeda dengan perusahaan media pada umumnya yang melakukan kegiatan jurnalistik seperti mencari berita, meliput, menulis, dan mengolah informasi menjadi sebuah karya yang akan disampaikan ke masyarakat atau publik. Hal ini sebagai bentuk implementasi fungsi pers sebagai media informasi, pendidikan, hiburan, dan kontrol sosial yang termaktub dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 40 tahun 1999 tentang Pers.

Dalam kehidupan di kampus, adalah hal yang lumrah ketika pers mahasiswa (persma) melaksanakan peran dan fungsinya. Apalagi kampus merupakan ruang akademis yang dihuni para kaum intelektual. Namun apa jadinya jika kampus saja tabuh dalam menanggapi sebuah pemberitaan yang diterbitkan oleh persma? Sebagaimana perkara yang saat ini tengah dialami oleh LPM Poros Universitas Ahmad Dahlan (UAD), Yogyakarta.

Kronologi Kasus Represi yang Dialami LPM Poros UAD

Kasus ini bermula ketika Poros menulis tentang praktek penjualan buku yang dilakukan oleh seorang dosen berinisial MN. Melalui pesan WhatsApp Grup, dosen tersebut meminta mahasiswa Ilmu Komunikasi (Ilkom) untuk membeli buku mata kuliah Kemuhammadiyahan berjudul “Kuliah Muhammadiyah Gerakan Tajdid”. Buku tersebut dituliskan oleh H. Anhar Anshori yang diterbitkan oleh UAD PRESS, bekerjasama dengan Lembaga Pengembangan Studi Islam (LPSI) UAD. MN diduga memaksa mahasiwa membeli buku kuliah tersebut dan menyebutkan jika mahasiswa membeli buku, maka akan mendapatkan nilai rata-rata A, dan yang tidak membeli akan mendapatkan nilai B-, C, bahkan D. Menurut pengakuan MN, buku tersebut sudah dicetak UAD sebanyak jumlah mahasiswa di kelasnya.

Poros mewawancarai salah satu mahasiswa di kelas yang diampu MN. Mahasiswa itu memberi bukti-bukti ketika dosen MN mengirim pesan singkat yang bertendensi memaksa dengan ancaman nilai. Poros juga menerima tangkapan layar percakapan MN dan mahasiswa melalui pesan WhatsApp grup dari salah satu mahasiswa yang diampu MN. Selanjutnya, Poros meminta klarifikasi dengan mewawancarai pihak LPSI melalui saluran siaga (16/8). Menurut keterangan LPSI, polemik yang disebabkan MN hanya masalah miskomunikasi. Lebih lanjut, melalui pesan WhatsApp grup angkatan 19 Ilkom, Kaprodi Ilkom mengirimkan bukti obrolan dengan pihak LPSI yang menegaskan bahwa buku yang diterbitkan oleh LPSI sifatnya anjuran dan tidak terkait dengan nilai tertentu. Lalu Poros juga meminta tanggapan dari Dewan Perwakilan Mahasiswa Fakultas Agama Islam terkait polemik penjualan buku tersebut.

Poros kemudian memberitakan hal tersebut yang berjudul “Nilai A Seharga Buku Tiga Puluh Lima Ribu Rupiah”, diterbitkan pada 19 Agustus 2021. Kesimpulan dari berita ini adalah mahasiswa tidak lagi diwajibkan membeli buku dan tidak ada kaitannya dengan perolehan nilai. Namun sehari setelahnya (20/8), LPSI melakukan pemanggilan kepada redaksi Poros di Ruang Rapat LPSI dengan dalih berkeberatan (dirugikan) dengan pemberitaan yang telah diterbitkan oleh Poros.

Dalam forum audiensi, Kepala LPSI, Anhar Anshori, menegaskan bahwa lembaganya tidak pernah mewajibkan mahasiswa untuk membeli buku, apalagi sampai memengaruhi nilai akhir mahasiswa. Sebab, pihak LPSI paham mengenai latar belakang mahasiswa yang berbeda-beda. Menurutnya, jika ada dosen yang mengatakan beli buku dapat nilai A, seharusnya mahasiswa perlu menanyakan terlebih dahulu. Hal itu perlu dilakukan karena bisa saja lidah dosen yang mengatakan beli buku dapat nilai A ketlingsut alias salah bicara.

Dalam forum ini, Poros menawarkan hak jawab jika LPSI memang merasa dirugikan. Namun LPSI terus menawarkan opsi yang sama, yaitu menghapus pemberitaan tersebut. Perdebatan ini berlangsung hingga satu jam, hingga akhirnya Poros memutuskan menghapus pemberitaannya lantaran forum sudah semakin tendensius, tidak berimbang, dan represif.

Dasar Hukum dan Analisis Kasus LPM Poros

Mencari titik terang dari perkara pemberitaan Poros yang ditanggapi secara represif oleh LPSI. Badan Pekerja Advokasi Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia (PPMI) Nasional kemudian melakukan kajian dan analisis hukum serta mewawancarai beberapa pihak terkait. Menilai sikap LPSI yang cenderung lebih mempermasalahkan terkait pemberitaan Poros ketimbang menindaklanjuti temuan fakta yang disampaikan oleh Poros dalam pemberitaannya terkait dengan praktek penjualan buku yang dilakukan oleh MN patutlah dipertanyakan.

Mengenai praktek dosen jual buku, dilandaskan pada beberapa ketentuan hukum yang terindikasi telah dilanggar oleh MN. Dalam melaksanakan tugas keprofesionalan, dosen memiliki kewajiban sebagaimana telah diatur pada ketentuan Undang-undang tentang Guru dan Dosen No. 14 tahun 2005 (UUGD No.15 Tahun 2005), pasal 60, poin (d) bertindak objektif dan tidak diskriminatif atas dasar pertimbangan jenis kelamin, agama, suku, ras, kondisi fisik tertentu, atau latar belakang sosioekonomi peserta didik dalam pembelajaran, serta poin (e) menjunjung tinggi peraturan perundang-undangan , hukum, dan kode etik, serta nilai-nilai agama dan etika.

Hal tersebut juga berkaitan dengan Peraturan Menteri nomor 2 tahun 2008 tentang Buku, pada ketentuan pasal 11, berbunyi: “Pendidik, tenaga kependidikan, anggota komite sekolah/madrasah, dinas pendidikan pemerintah daerah, pegawai dinas pendidikan pemerintah daerah, dan/atau koperasi yang beranggotakan pendidik dan/atau tenaga kependidikan satuan pendidikan, baik secara langsung maupun bekerjasama dengan pihak lain, dilarang bertindak sebagai distributor atau pengecer buku kepada peserta didik di satuan pendidikan yang bersangkutan, kecuali untuk buku-buku yang hak ciptanya sudah dibeli oleh Departemen, departemen yang menangani urusan agama, dan/atau Pemerintah daerah sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 3 ayat (4) dan dinyatakan dapat diperdagangkan sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 8 ayat (1).”

Di samping itu represi yang dialami Poros semakin menegaskan persma dalam kondisi rentan. Pasalnya, posisi persma belum dianggap sebagai entitas pers yang layak mendapatkan proteksi. Dari sisi hukum persma rentan karena secara eksplisit mereka tidak masuk dalam kategori perusahaan pers berbadan hukum seperti yang tertulis dalam UU Pers No. 40 Tahun 1999. Akibatnya pelarangan atau pembatasan kerja-kerja jurnalistik kerap dialami oleh pers mahasiswa dengan dalih tidak memiliki legitimasi.

Namun, meski tak dijamin secara spesifik dalam undang-undang No. 40 Tahun 1999, pers mahasiswa memiliki perlindungan secara konstitusional maupun perundang-undangan dengan pendekatan kebebasan akademik. Seperti Undang-Undang Dasar 1945, kebebasan akademik bisa dijamin melalui penafsiran meluas atas ketentuan Pasal 28, 28C, 28E, 28F Undang-Undang Dasar (UUD) Republik Indonesia (RI) Tahun 1945.

Selain itu, secara umum, kebebasan akademik juga dijamin dalam Undang-Undang No.39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (HAM), serta pasal-pasal dalam UU Nomor 11 dan 12 Tahun 2005 tentang Ratifikasi Perjanjian Internasional Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya, yakni Pasal 13 terkait hak atas pendidikan dan mengembangkan ilmu pengetahuan serta Pasal 19 terkait Hak Sipil dan Politik. Dan, secara khusus, kebebasan akademik dilindungi dalam Undang-Undang No. 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi pada Pasal 8 ayat 1 dikatakan “Dalam penyelenggaraan Pendidikan dan pengembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi berlaku kebebasan akademik, kebebasan mimbar akademik, dan otonomi keilmuan.” Dan ayat 3, Pelaksanaan kebebasan akademik, kebebasan mimbar akademik, dan otonomi keilmuan di Perguruan Tinggi merupakan tanggung jawab pribadi Sivitas Akademika, yang wajib dilindungi dan difasilitasi oleh pimpinan Perguruan Tinggi”. Dan lebih lanjut mengenai kebebasan akademik diterangkan pada pasal 9 dan 54 UU Dikti.

Di luar aturan hukum negara, kebabasan akademik juga diatur dengan adanya aturan internal kampus masing-masing. Namun, baik UU Dikti maupun aturan internal, masih belum cukup memberikan perlindungan terhadap keberadaan persma. Dari beberapa regulasi di atas, persma sebagai entitas yang bekerja dengan semangat dan nilai-nilai kemerdekaan pers, mestinya memiliki hak dan porsi yang sama dengan pers umum.

Akan tetapi, kekerasan terhadap jurnalis mahasiswa bukan hanya karena minimnya perlindungan secara spesifik, namun juga karena sikap otoritarianisme yang semakin mengakar yang bahkan juga terjadi dalam lingkungan akademik.

Sikap Kontra Universitas atas Tindakan LPSI yang Represif

Praktek penjualan buku dengan sebuah ancaman nilai yang dilakukan oleh tenaga pendidik jelas bertentangan dengan ketentuan peraturan di atas dan tentu tidaklah dapat dibenarkan dalam sebuah Perguruan Tinggi. Sebagaimana yang diterangkan oleh Wakil Rektor (WR) Bidang Kemahasiswaan UAD, Gatot Sugiarto, “UAD tidak membenarkan tindakan seperti itu, kalau menjual buku dengan paksaan, yah, tentu tidak boleh karena mahasiswa punya hak untuk membeli atau tidak, itu kebebasannya memilih, ini etika akademik, yah, dan ini harus dijaga juga,” ujarnya via WhatsApp saat diwawancarai oleh awak PPMI (25/8).

Lebih lanjut, Gatot Sugiharto mengatakan bahwa saat ini pihak rektorat tengah melakukan evaluasi terhadap sistem pembelajaran, khususnya di mata kuliah Al Islam dan Kemuhammadiyahan (AIK) dan juga melakukan upaya tabayyun terhadap pemberitaan Poros sebagai langkah tindaklanjut dari temuan fakta dalam pemberitaan tersebut. “Kalau seandainya nanti ada hal-hal yang bisa dibuktikan itu akan menjadi bahan evaluasi dan pertimbangan dalam pengambilan keputusan. Ini juga banyak yang bertanya ke saya, apakah poros ini akan dibredel? Saya kira tidaklah, UAD tidak akan sampai membredel, karena kita juga menjaga kebebasan berpendapat dan kreatifitasnya”.

Perihal keputusan sikap yang diambil oleh rektorat, dalam hal ini Rektor UAD mengamanahkannya kepada WR bidang AIK, Parjiman, yang menaungi dan bertanggungjawab atas mata kuliah yang sifatnya institusional. Melalui wawancara via telepon (27/8), Parjiman mengatakan bahwa dosen yang bersangkutan telah dimintai klarifikasinya, “memang, yah, buku itu sangat dianjurkan tapi tidak harus berakibat kalau beli buku dapat nilai sekian, nah, itu sangat fatal, itukan melanggar karena itu bukan standar pembelajaran”.

Dari hasil evaluasi dan upaya tabayyun yang dilakukan oleh pihak jajaran rektorat, Parjiman menyampaikan bahwa ke depannya buku Kuliah Muhammadiyah Gerakan Tajdid akan dibuat dalam bentuk e-book agar mahasiswa dapat secara mudah mendapatkannya sebagai bahan pembelajaran. Dan secara khusus sanksi yang akan diberikan bagi oknum dosen yang bersangkutan berdasarkan fakta dan bukti dari hasil evaluasi dan tabayyun. “Praktis sanksinya sudah tidak kita pakai, kalau untuk catatan-catatan yang berat seperti itu,” tegas Parjiman.

Parjiman juga membantah terkait beredarnya kabar isu terkait ancaman sanksi yang akan dikenakan kepada Poros. Dalam perkara ini, ia menegaskan kembali komitmen UAD sebagai lembaga pendidikan yang bertujuan mencerdaskan kehidupan bangsa dengan mengedepankan nilai-nilai demokrasi. “Kalau di rektorat dari rektor sampai semua wakilnya itu satu bahasa, jadi kita berpihak kepada siapa yang jujur dan siapa yang benar, insyaalah tidak ada itu”.

Kembali pada tindakan LPSI yang mendesak Poros untuk menghapus pemberitaanya dan menolak menggunakan hak jawabnya. Menanggapi hal tersebut, pada saat wawancara, Parjiman terdengar kaget ketika mengetahui bahwa pemberitaan poros berjudul “Nilai A Seharga Buku Tiga Puluh Lima Ribu” tak lagi dapat diakses. Menurutnya menghapus pemberitaan tersebut telah bertentangan dengan kode etik jurnalistik, “itu sebenarnya tidak boleh yah, jadi kami di pimpinan sepakat, yah, menggunakan hak jawab dan tidak harus ditakedown kayak gini, jadi hanya tinggal diklarifikasi saja”.

Kasus represi yang dialami oleh Poros hingga saat inipun juga tengah menjadi sorotan dan terus mendapat dukungan publik dari jejaring media umum, persma, dan individu atau organisasi pro demokrasi. Pasalnya tindakan LPSI dianggap telah mencederai demokrasi dikarenakan sangat berlebihan dalam menanggapi pemberitaan yang diterbitkan oleh Poros. Menindak hal ini, BP Advokasi PPMI Nasional juga mencoba mewawancarai pihak LPSI melalui kontak hotline untuk meminta klarifikasi terkait hal yang dianggap telah merugikan LPSI dalam pemberitaan Poros. Selama beberapa hari BP Advokasi PPMI Nasional meminta klarifikasinya melalui saluran siaga lembaga namun hingga tulisan ini diterbitkan, LPSI enggan memberikan tanggapan.

Kategori
Riset

Ringkasan Represi terhadap Pers Mahasiswa Tahun 2017-2019

Badan Pekerja Advokasi Nasional Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia (BP Advokasi Nas PPMI) melakukan riset tentang represi terhadap pers mahasiswa di Indonesia. Riset ini merupakan ringkasan dari kasus represi yang diadvokasi serta data-data yang sudah dihimpun BP Advokasi Nas PPMI selama 2017-2019. Ringkasan ini disusun dari gabungan data BP Advokasi Nas PPMI periode 2018-2019 dan BP Advokasi Nas PPMI periode 2017-2018 (oleh Imam Abu Hanifah dan Taufik Nur Hidayat).

Riset Ringkasan Represi terhadap Persma Tahun 2017-2019 merupakan bentuk tanggung jawab BP Advokasi Nas PPMI sebagai fungsi pendampingan advokasi. Pendampingan yang dilakukan BP Advokasi Nas PPMI mengacu pada UU Pers No 40 tahun 1999, Kode Etik Jurnalistik, Kode Etik PPMI, UU No 9 tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum, dan UU No 12 tahun 2012 tentang Perguruan Tinggi. Selain itu, BP Advokasi Nas PPMI juga mengacu pada Buku Pedoman Advokasi PPMI serta kajian keilmuan lainnya.

Beberapa bentuk pendampingan yang dilakukan BP Advokasi Nas PPMI, yaitu 1) pendampingan litigasi dan non-litigasi, 2) memberi saran penyelesaian kasus, 3) membuat kronologis, pernyataan sikap, dan kajian advokasi, 4) blow up kasus dan membuat konten media sosial (infografis/video), 5) perluas jejaring pers mahasiswa, mahasiswa, serta kelompok/individu masyarakat pro-demokrasi.

BP Advokasi Nas PPMI mencatat ada 58 jenis represi dari 33 kasus represi terhadap pers mahasiswa selama 2017-2019. Jenis represi yang paling sering dialami pers mahasiswa adalah intimidasi dengan jumlah 20 kali. Berikutnya ada pemukulan (delapan kali), ancaman drop out (DO) (empat kali), kriminalisasi (empat kali), dan penculikan (tiga kali).

Ada juga penyensoran berita, ancaman pembekuan dana, pembubaran aksi, pembekuan organisasi, kekerasan seksual, serta ancaman pembunuhan yang masing-masing tercatat pernah terjadi sebanyak dua kali. Selain itu, ada satu kali represi pada beberapa jenis represi seperti penyebaran hoaks, pencabutan tulisan, ancaman perusakan sekretariat, pembubaran diskusi, pemecatan anggota, peleburan organisasi, dan perundungan (bullying).

Pelaku represi terhadap pers mahasiswa yang paling banyak adalah pejabat kampus dengan jumlah 18 kali. Berikutnya ada mahasiswa (tujuh kali), dosen (tiga kali), Satuan Keamanan Kampus (tiga kali), oknum organisasi mahasiswa (dua kali), serta warganet kampus (dua kali). Selain itu ada juga represi yang dilakukan oleh pihak luar kampus seperti polisi (tujuh kali), masyarakat sipil (satu kali), dan oknum organisasi masyarakat (dua kali).

Berdasarkan daerah terjadinya represi, Kota Malang mendapat peringkat terbanyak dalam kasus represi terhadap pers mahasiswa yaitu sembilan kasus. Selanjutnya ada Kediri dan Surabaya masing-masing tiga kasus. Lalu ada dua kasus masing-masing di Kota Gorontalo, Medan, Yogyakarta, dan Makassar. Ada juga di Jombang, Ponorogo, Pangkep, Solo, Jember, Pekalongan, Surakarta, Jakarta, Bandung, dan Mataram masing-masing satu kasus.

Berdasarkan kampus dari pers mahasiswa yang mengalami represi, peringkat terbanyak ada UIN Maulana Malik Ibrahim Malang dengan lima kasus. Berikutnya ada UIN Sunan Ampel Surabaya, IAIN Gorontalo, Universitas Negeri Malang, dan IAIN Kediri dengan masing-masing dua kasus. Selain itu ada satu kasus pada masing-masing kampus di Universitas Sumatera Utara, Politeknik Pertanian Negeri Pangkep, Politeknik Elektronika Negeri Surabaya, dan IAIN Ponorogo.

Kampus lain dengan jumlah satu kasus juga ada di Universitas Muhamadiyah Malang, Universitas Muslim Indonesia Makassar, Universitas Pesantren Darul Ulum Jombang, Universitas Gadjah Mada, Universitas Hasanuddin Makassar, serta Universitas Brawijaya Malang. Selain itu ada juga satu kasus di kampus UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Universitas Negeri Yogyakarta, Institut Agama Islam Tribakti Kediri, Universitas Indra Prasta Jakarta, UIN Mataram, Universitas Muhamadiyah Mataram, Universitas Negeri Jember, Universitas Pekalongan, Institut Teknologi Medan, UIN Sunan Gunung Djati Bandung, serta Universitas Muhamadiyah Surakarta.

Melihat berbagai tindakan represi yang dialami pers mahasiswa perlu digarisbawahi bahwa akar permasalahannya adalah tidak adanya pengakuan hak untuk menyampaikan pendapat. Kampus kerap mengerdilkan persoalan dengan memberi tuduhan kepada pers mahasiswa bahwa kritik adalah bentuk pencemaran nama baik kampus. Ketika pers mahasiswa mengkritik, kampus tidak mau menerima bahwa kritik adalah salah satu bentuk dari kebebasan menyampaikan pendapat.

Hampir tak ada kampus yang melakukan kajian secara akademik untuk menanggapi kritik dari pers mahasiswa. Padahal, seharusnya kampus bisa melakukan kajian akademis misalnya dengan instrumen hukum seperti UU No 9 tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum maupun UU No 40 tahun 1999 tentang Pers.

Bahkan seharusnya kampus mengkaji kritik pers mahasiswa dengan instrumen hukum yang berlaku di lingkungan perguruan tinggi seperti Kebebasan Akademik di dalam UU No 12 tahun 2012. Selain itu, ada juga peraturan yang berlaku di kampus sendiri seperti statuta kampus, pedoman kemahasiswaan, ataupun kode etik mahasiswa.

Ketika hak untuk menyampaikan pendapat bagi pers mahasiswa tidak diakui dan tindakan kampus tidak mencerminkan kebebasan akademik, maka represi terhadap pers mahasiswa akan terus terjadi. Tentu perlu ada perbaikan sistem pendidikan di dalam kampus untuk menyelesaikan permasalahan ini.

Ke depannya, pers mahasiswa perlu memperjuangkan kebenaran dan melawan segala bentuk pembungkaman kebebasan berekspresi, kebebasan pers, dan kebebasan akademik. Apalagi perjuangan semakin sulit ketika alat pembungkam negara semakin beragam, seperti munculnya Revisi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) dan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).

Maka dari itu, pers mahasiswa perlu membangun gerakan bersama. Pers mahasiswa perlu memperkuat jejaring antarpers mahasiswa maupun dengan kelompok masyarakat atau individu yang mendukung kebebasan berekspresi. Selain itu, pers mahasiswa harus lebih memperkuat gerakan advokasi (dengan melakukan kelas advokasi LPM dan sebagainya) serta memperkuat kajian tentang isu sosial yang ada (seperti isu komersialisasi pendidikan dan transparansi di kampus). Ketika pers mahasiswa dan kelompok masyarakat maupun individu lainnya saling mendukung dan menguatkan, maka gerakan bersama yang lebih kuat akan terwujud.

Salam Solidaritas…!!! Salam Pers Mahasiswa…!!!

Narahubung BP Advokasi Nas PPMI:

Wahyu Agung (085211994458), Jenna M. Aliffiana (085220497184)

Lampiran: Data Ringkasan Represi terhadap Persma Tahun 2017-2019

Kategori
Riset

Dinamika Pers Mahasiswa Tahun 2013-2016: Gerakan Bermedia dan Resiko Pembungkaman

Kajian tentang “Dinamika Pers Mahasiswa Tahun 2013-2016: Gerakan Bermedia dan Resiko Pembungkaman” dilakukan oleh BP Litbang PPMI Nasional 2015/2016. Kajian ini tidak dimaksudkan sebagai penelitian mendalam, namun sebagai upaya awal untuk membongkar pola kekerasan terhadap pers mahasiswa. Kajian ini menyoroti perkembangan pers mahasiswa dalam kurun waktu tahun 2013-2016. Karenanya, hasil kajian perlu diperdalam dengan penelitian-penelitian lanjutan.

Kajian ini dilakukan mulai 18 Februari sampai 3 Mei 2016, namun banyak pers mahasiswa yang tidak mengisi angket yang disebar melalui online. Akhirnya, kajian dilanjutkan kembali pada bulan November sampai tanggal 3 Desember 2016. Sejumlah 108 pers mahasiswa yang tersebar di Indonesia menjadi bahan kajian kami.

Dalam kajian ini, peneliti menemukan sejumlah 88 pers mahasiswa mengalami tindak kekerasan dan 20 pers mahasiswa tidak mengalami kekerasan. Dari 88 kasus kekerasan yang diterima oleh pers mahasiswa, ada 9 jenis bentuk kekerasan. Di antara 9 jenis kasus tersebut adalah fitnah, intimidasi, kriminalisasi, pelecehan, pembatalan izin, pembekuan, pembredelan, pembubaran acara dan perusakan karya.

Jenis kekerasan yang paling banyak menimpa pers mahasiswa adalah intimidasi, sejumlah 66 kasus. Pembredelan sejumlah 13 kasus, pelecehan 12 kasus, pembekuan 9 kasus, kriminalisasi 6 kasus, pembubaran acara 2, sedangkan fitnah, pembatalan izin dan perusakan karya sejumlah 1 kasus.

Dari sekian banyak kasus, pers mahasiswa lebih banyak bersinggungan dengan birokrasi kampus. Dari hasil kajian, pihak yang banyak melakukan kekerasan terhadap pers mahasiswa adalah birokrasi sebanyak 65 kali. Kemudian disusul organisasi mahasiswa sebanyak 21 kali, Dewan Mahasiswa 13 kali, narasumber 12 kali, organisasi masyarakat enam kali, instansi pemerintah dan Aparat Keamanan Negara masing-masing sebanyak lima kali, warga sipil tiga kali, sedangkan mahasiswa, satpam dan tidak diketahui oknumnya masing-masing satu kali.

 

Kategori
Riset

Pedoman Advokasi untuk Pers Mahasiswa Indonesia

Dalam sebuah riset yang dilakukan oleh BP Litbang PPMI mengenai kekerasan terhadap Pers Mahasiswa, dengan data mewakili delapan provinsi dan jumlah responden sebanyak 64 LPM, dan metode pengumpulan data menggunakan angket yang disebar secara online. Ditemukan beberapa fakta, dalam kurun waktu antara 2013-2016 setidaknya ada 47 LPM yang pernah mengalami tindak kekerasan.

Mulai dari intimidasi yang dalam hasil kajian PPMI ditemukan sebanyak 33 kasus, pemberedelan 11 kasus, pelecehan 7 kasus, dan pemberedelan serta kriminalisasi 5 kasus.

Mengapa sangat banyak bermunculan kekerasan terhadap pers mahasiswa? Apakah karena semua produk yang dibuat pers mahasiswa semakin menurun secara kualitas. Atau pers mahasiswa hari ini belum memiliki pola penguatan terhadap lembaganya sendiri. Terutama saat lembaga mereka mendapat intimidasi dari pihak kampus atau aparatus negara.

Maraknya kekerasan terhadap pers mahasiswa ini, mendorong BP Advokasi PPMI Nasional menyusun buku Pedoman Teknis Advokasi. Buku ini disusun oleh tim penyusun buku. Bukan pula wacana yang dibuat oleh sekelompok orang, namun dalam penyusunan ini melibatkan banyak awak pers mahasiswa. Terutama awak pers mahasiswa yang juga berpengalaman di bidang advokasi. Baik advokasi di wilayah internal maupun eksternal pers mahasiswa.

Munculnya buku ini tentu saja setelah BP Advokasi PPMI Nasional melakukan kajian bersama BP Litbang PPMI Nasional, konsolidasi bersama PPMI kota atau dewan kota.

Secara garis besar, buku ini memang berisi mengenai panduan taktis dan praktis. Meski demikian, kami kira buku ini memang perlu untuk disusun. Karena masih banyak pula lembaga pers mahasiswa yang belum memiliki gambaran saat dirinya mendapat kekerasan, intimidasi, pelecehan, pemberedelan, dan lain sebagainya. Bahkan ada pula lembaga pers mahasiswa yang tidak tahu apa yang harusnya mereka lakukan saat mendapat ancaman. Tidak tahu apa perlunya membuat kronologi dan siaran pers, untuk menyebarkan peristiwa yang dialami lembaganya.

Kami berharap buku ini dapat memperluas gambaran lembaga pers mahasiswa di Indonesia, soal langkah taktis-strategis untuk melakukan advokasi lembaganya. Semoga di kemudian hari buku ini dapat dikembangkan, mengikuti semangat zaman yang diusung pers mahasiswa di Indonesia.

n.b. buku Panduan Teknis Advokasi Pers Mahasiswa Indonesia dapat diunduh lewat tautan berikut: bit.ly/PedomanAdvokasiPPMI

Salam pers mahasiswa!

 

Tim Penyusun

Yogyakarta, 3 Desember 2016

Kategori
Riset

Membongkar Fenomena Pembelengguan Terhadap Pers Mahasiswa

Hasil Riset Sementara!

Sejak 18 Februari 2016 Penelitian dan Pengembangan (Litbang) beserta Jajaran
Pengurus Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia (PPMI) Nasional melakukan kajian
“Riset Media dan Kekerasan Terhadap Pers Mahasiswa di Indonesia”. Pada riset tersebut,
kami memotret perkembangan isu yang diangkat oleh pers mahasiswa (pers mahasiswa),
intensitas terbitan, hingga kasus­kasus kekerasan yang menimpa pers mahasiswa selama 4
tahun mulai tahun 2013 hingga 2016. Riset tersebut masih berlanjut hingga angket terisi
oleh pers mahasiswa di tiap kota.

Pada tulisan ini, Pengurus Nasional PPMI menarasikan data riset sementara yang
sudah terkumpul per 3 Mei 2016. Pada bagian ini, hanya akan menyoroti bentuk kekerasan dan pihak­-pihak yang melakukan kekerasan terhadap pers mahasiswa. Tentunya data ini belum mewakili tiap provinsi, namun dengan beberapa data yang sudah terkumpul di 8 provinsi akan dinarasikan untuk membongkar kekerasan terhadap pers mahasiswa.

Data masuk

Data Masuk

Dari 8 provinsi ada 64 pers mahasiswa yang sudah mengisi. Sebaran data dari tiap
provinsi adalah Jawa Barat 1 pers mahasiswa yang mengisi, Jawa Tengah 17, Jawa Timur
26, Maluku 1, Sulawesi Selatan 1, Sulawesi Utara, Sumatera Selatan 4 dan Yogyakarta 13.
Pengumpulan data tersebut dengan metode pengisian angket secara online yang disebar
sekitar 200 koresponden yaitu pers mahasiswa yang tersebar di Indonesia, namun hanya
64 pers mahasiswa yang mengisi.

Pada 2013­-2016, dari total 64 pers mahasiswa yang sudah mengisi angket, sebanyak 47 pers mahasiswa pernah kekerasan. Sisanya sejumlah 17 pers mahasiswa tidak pernah mengalami tindak kekerasan. Selebihnya data litbang PPMI menunjukkan, pers mahasiswa tidak hanya mengalami satu bentuk kekerasan bahkan hingga mengalami berbagai bentuk kekerasan.

Misalnya pers mahasiswa Pendapa Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa Yogyakarta, tercatat paling banyak mendapatkan kekerasan bentuk kekerasan selama jangka waktu 2013­2016 yaitu intimidasi, ancaman pembekuan, ancaman pembredelan, kriminalisasi dan fitnah. Di antara kasus kekerasan yang dialami oleh pers mahasiswa adalah bentuk intimidasi, dari hasil kajian PPMI terdapat 33 intimidasi yang diterima oleh 47 pers mahasiswa.

bentuk kekersan terhadap persma

Bentuk kekerasan kedua terhadap pers mahasiswa yang paling banyak dialami pers
mahasiswa adalah pembredelan. Ada 11 dari 47 pers mahasiswa yang mengalami
pemberedelan.

Kemudian angka tertinggi ketiga dari bentuk kekerasan terhadap pers mahasiswa adalah
pelecehan. Sebanyak 7 pers mahasiswa pernah mengalami pelecehan.

Sementara itu kekerasan pembekuan pers mahasiswa dan kriminalisasi dialami oleh
masing­masing 5 pers mahasiswa.

Kasus pembekuan anggaran misalnya pernah dialami oleh pers mahasiswa
Pendapat Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa Yogyakarta tahun 2015. Berdasarkan
data riset yang dikumpulkan oleh PPMI, pers mahasiswa Pendapa pernah dibekukan
anggarannya karena pemberitaan yang ada di buletinnya. Namun kasus itu sudah bisa
diatasi dengan bantuan alumni.

Kasus intimidasi hingga penerbitan surat drop­out missal juga pernah dialami oleh
pers mahasiswa Solidaritas UIN Sunan Ampel Surabaya pada tahun 2013. Karena
pemberitaan yang kritis, birokrasi kampus menerbitkan surat drop­out kepada pimpinan
umum pers mahasiswa Solidaritas. Pada tahun yang sama, kasus intimidasi diterima oleh
pers mahasiswa Ideas Universitas Negeri Jember. Sebab isi majalah “Malapetaka Pasar
Tradisional” yang memuat penolakan aturan jam malam yang disuarakan mahasiswa,
beberapa anggota pers mahasiswa Ideas diintimidasi saat liputan dan berdampak
terhambatnya agenda organisasi.


Aktor di balik Kekerasan terhadap pers mahasiswa

Lantaran banyak kasus kekerasan terhadap pers mahasiswa, dari data riset PPMI Nasional, mencoba untuk membongkar pihak siapa yang paling banyak melakukan kekerasan terhadap pers mahasiswa. Dari data yang diperoleh PPMI, pihak yang banyak melakukan kekerasan terhadap pers mahasiswa adalah birokrasi kampus. Birokrasi kampus sebanyak 11 kali melakukan kekerasan terhadap pers mahasiswa dari 47 pers mahasiswa. Sedangkan pihak kedua yang paling banyak melakukan kekerasan terhadap pers mahasiswa adalah organisasi pers mahasiswa, yaitu 6 kali. Kemudian disusul oleh narasumber yaitu 4 kali.

Pihak yang Melakukan Kekerasan Terhadap Persma

Hasil riset sementara ini masih sebatas pada kajian dari data yang terkumpul di litbang PPMI Nasional. Data ini sebagai gambaran sementara untuk merespon fenomena kasus yang ditimpa oleh pers mahasiswa. Narasi ini belum cukup untuk dikatan sebagai sebuah riset, selain alasan angket yang belum tersebar secara luas di tiap kota, deskripsi
tentang kekerasan terhadap pers mahasiswa pun masih banyak multitafsir. Narasi tentang bentuk kekerasan dan pihak yang melakukan kekerasan pun belum dijelaskan secara detail.

PPMI Nasional akan melakukan riset lanjutan guna untuk membongkar akar permasalahan kekerasan terhadap pers mahasiswa dan membongkar pihak­pihak yang banyak melakukan kekerasan terhadap pers mahasiswa.

Kategori
Riset

Riset Media dan Kekerasan Terhadap Pers Mahasiswa di Indonesia

Riset-LitbangKekerasan terhadap pers mahasiswa rentan terjadi di akhir 2015, walaupun pada tahun-tahun sebelumnya kekerasan terhadap pers mahasiswa juga mengalami peristiwa serupa. Mulai kasus intervensi yang dialami oleh pers mahawiswa Aksara (September 2015), penarikan majalah yang dialami oleh pers mahasiswa Lentera (Oktober 2015), hingga pembekuan terhadap pers mahasiswa Media Universitas Mataram (November 2015). Atas dasar itu, LITBANG Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia (PPMI) Nasional melakukan riset “Media dan Kekerasan Terhadap Pers Mahasiswa di Indonesia.”

Riset ini untuk mengetahui bagaimana kekerasan yang ditimpa oleh pers mahasiswa di Indonesia dan siapa yang paling banyak melakukan pembungkaman pers mahasiswa. Riset yang dilakukan LITBANG PPMI bukan hanya terbuka bagi anggota PPMI, melainkan bagi pers mahasiswa secara umum di Indonesia. Riset ini bukan hanya sekedar dokumentasi ilmu, melainkan sebagai bahan advokasi serta kajian terhadap media dan kekerasan yang menimpa pers mahasiswa di Indonesia.

Hasil riset ini akan didistribusikan kembali ke pers mahasiswa dan pengisi form riset ini. Terimakasih, salam pers mahasiswa!

Form Riset “Media dan Kekerasan Terhadap Pers Mahasiswa di Indonesia” bisa diisi lewat tautan berikut:

bit.ly/RisetPersma

https://www.persma.id/riset/riset-kekerasan-terhadap-pers-mahasiswa-di-indonesia/

Jika ada kesulitan dalam mengisi formulir tersebut, bisa menghubungi narahubung: 08963676392 (Nur Sholikhin/Litbang PPMI Nasional)