Kategori
Agenda

Launching Majalah POROS Edisi IX – Menilik Desa Wisata

TOR Diskusi

SALAM PERS MAHASISWA !!

Saat ini, pariwisata merupakan salah satu aset pendapatan nasional terbesar keempat setelah minyak dan pertambangan. Tak heran jika pemerintah mulai mengupayakan perkembangan wisata di setiap daerah. Bahkan untuk menarik wisatawan, Menteri Pariwisata Arief Yahya dalam pernyataannya (Sektor Wisata Menggeliat Rakyat Ikut Sejahtera, Tempo edisi khusus Agustus 2015) mengatakan pemerintah akan menggenjot penerimaan dari sektor pariwisata. Ia juga menargetkan akan meningkatkan kontribusi Produksi Domestik Bruto (PDB) Nasional sebesar 15 % dengan cara menargetkan 20 juta wisatawan mancanegara pada tahun 2019.

Upaya pemerintah tersebut menjadi isyarat bagi masyarakat daerah untuk mendatangkan wisatawan domestik maupun mancanegara. Saat ini, DIY menawarkan pengembangan kepariwisataan berbasis desa dengan memanfaatkan potensi dan masyarakat didalamnya. Kepariwisataan ini kemudian dikembangkan menjadi sebuah destinasi baru yang disebut dengan desa wisata.

Dinas Pariwisata DIY mencatat, hingga November 2015 terdapat 112 desa wisata yang tersebar di semua kabupaten, seperti Kulonprogo, Bantul, Sleman dan Gunungkidul. Sedangkan di Kota Yogyakarta dikenal dengan istilah kampung wisata.

Gunung Kidul, kabupaten yang dikelilingi bebatuan karst ini menyuguhkan wisata alam, Sleman dengan wisata alam dan penerapan skill bagi wisatawan, Bantul dengan wisata alam dan kebudayaannya, Kulonprogo sama halnya dengan Gunung kidul yaitu menyuguhkan alam, yang terakhir Kota Yogyakarta dengan wisata buatan, alam dan bangunan purbakala.

Melihat masifnya desa dan kampung wisata di DIY, Poros mencoba masuk ke beberapa desa dan kampung wisata di setiap kabupaten dan kota Jogja. Ternyata banyak polemik yang terjadi. Beberapa desa dan kampung wisata nyaris mati akibat pengelolaan yang tidak optimal. Setiap desa dan kampung memiliki objek yang hampir sama. Akibatnya perkembangannya menjadi stagnan.

Tidak hanya itu, bahkan setiap kabupaten dan kota memiliki pandangan yang berbeda tentang pemberlakuan aturan hukum. Keberadaan kampung wisata juga menjadi kegelisahan. Pasalnya para pengelola harus bekerja keras untuk mempertahankan wisata ini di tengah-tengah kota. Hal menarik terjadi di Kulon Progo. Salah satu desa wisatanya, tegas menolak investor yang akan masuk.

Lebih lanjut mengenai polemik Desa dan Kampung Wisata di DIY, akan didiskusikan dalam acara Diskusi dan Launching Majalah POROS edisi IX yang berjudul “MENILIK DESA WISATA”.

Narahubung : 0838-6721-1971 (Dalety)

Kategori
Diskusi

Pak Mahfud MD, Salahkah Jika Saya Ingin Cepat Lulus?

Hampir saja saya memuntahkan kopi yang baru saya seruput setelah membaca berita berjudul Mahfud MD: Mahasiswa Sekarang Hanya Kejar IPK dan Cepat Lulus di sindonews.com, Kamis (25/02/2016). Saya mencoba mengatur nafas agar kopi yang saya seruput bisa tertelan dengan lancar, seraya terus membaca berita itu. Tapi rasanya ada yang aneh di tenggorokan. Kopi di warung langganan saya itu terasa tidak enak setelah saya membaca berita tentang pernyataan Bapak Mahfud MD dalam berita itu. Saya yang notabene adalah mahasiswa pengejar kelulusan sedikit tersinggung dengan pernyataan Pak Mahfud.

Jadi begini, saya yang seorang mahasiswa yang sempat sok-sokan pernah menjadi aktivis ini kurang sepakat dengan pernyataan Bapak Mahfud MD. Karena ketika memasuki perguruan tinggi, yang pertama harus dikejar adalah kelulusan dan Indeks Prestasi Kumulatif (IPK) yang bagus. Nah, jika Bapak Mahfud merasa bahwa negara ini rugi kalau mahasiswa hanya mengejar IPK dan kelulusan, lantas apa yang harus dikejar oleh para mahasiswa? Diluar dedek-dedek mahasiswi yang tidak bisa ditolak lambaian kecantikannya.

Saya sadar Bapak Mahfud adalah alumni salah satu organisasi gerakan mahasiswa terbesar di Indonesia yaitu Himpunan Mahasiswa Islam. Bahkan menjadi Ketua Presidium Nasional Korps Alumni Himpunan Mahasiswa Islam (KAHMI). Sebuah organisasi yang seperti bapak ungkapkan banyak melahirkan tokoh bangsa dulunya. Saya memang salut dengan HMI yang seperti bapak ungkapkan, bahkan dengan organisasi gerakan mahasiswa lain layaknya PMII, GMNI, KAMMI sampai organisasi mahasiswa yang mau menegakkan kekhilafahan di Indonesia. Saya begitu salut dengan keistiqomahan mereka menciptakan tokoh-tokoh bangsa yang memperjuangkan hak golongan, eh maksud saya hak masyarakat.

Maka, ketika saya membaca paragraf ini “Menurut Mahfud, kebanyakan tokoh-tokoh itu masuk ke perguruan tinggi tidak semata mengejar nilai tinggi.” Saya semakin penasaran, apa sebenarnya yang dikejar oleh tokoh-tokoh itu ketika kuliah dulu. Sehingga bisa menjadikan mereka sebagai kader bangsa yang berkualitas layaknya Bapak Mahfud. Rasa penasaran itu semakin membuat kopi saya terasa tidak enak, pak. Karena rasa penasaran saya juga memunculkan sebuah kekalutan. Apakah yang saya lakukan dengan hanya mengejar kelulusan ini tidak benar. Salahkah saya, berdosakah saya ini, pak?

Saya haqqul yakin bahwa bapak Mahfud adalah sosok alumni HMI yang berhasil. Buktinya bapak langsung menyatakan sikap terhadap isu yang sedang panas yaitu tentang LGBT. Selain itu bapak juga secara tidak langsung menunjukkan kepedulian terhadap kaum LGBT melalui akun twitter bapak. Bapak mengatakan bahwa “LGBT itu berbahaya dan menjijikkan, tp penanganannya tak perlu pengawalan Brimob,” Sungguh sebuah contoh kader yang berhasil.

Tapi kekalutan saya semakin besar. Apa sebenarnya yang harus dilakukan oleh mahasiswa agar negara tidak rugi seperti yang bapak ungkapkan. Boro-boro saya mengoordinir kawan-kawan agar bisa melakukan sebuah revolusi untuk negeri ini. Lha wong melakukan perubahan untuk mendekati satu cewek saja sudah kesulitan pak. Apalagi dengan munculnya aturan bahwa jatah waktu kuliah dikurangi dari tujuh tahun menjadi lima tahun. Hidup saya semakin semruweng rasanya.

Selain itu pak, jika harus menunda lulus saya jadi selalu ingat lirik dari salah satu lagu milik The Panas Dalam. Kira-kira begini petikan liriknya, pak: orang tua di desa menunggu // calon istri di rumah menanti // orang desa sudah banyak mengira // aku sukses di negeri orang. Sebwa kengerian. Apalagi jika harus berhadapan dengan sanak saudara yang selalu mengeluarkan pertanyaan andalan, hanya dua kata: kapan lulus? Di situ saya merasa hidup ini begitu kejam.

Lalu apa yang harus saya lakukan, Pak Mahfud?

Saya paham kok, Pak, kehawatiran bapak itu sungguh sangat beralasan. Gerakan mahasiswa sekarang memang tak punya taring. Tapi saya tidak menemukan hal reflektif dari statemen yang bapak keluarkan. Saya hanya menemukan hal-hal utopis yang sulit dijangkau di zaman sekarang. Apakah gerakan mahasiswa harus merenungkan hal-hal utopis yang bapak ungkapkan itu. Lantas apa bedanya dengan duduk di bangku kuliah dengan rajin dan lulus dengan predikat cumshot, ah maksud saya cumlaude.

Apakah kegelisahan bapak ini hanya muncul ketika menyambut hari ulang tahun KAHMI saja? Apakah hanya dengan menggelar beberapa acara dapat membuat gerakan mahasiswa berubah semudah membalikkan telapak tangan? Apakah dengan serangkaian kegiatan dalam ulang tahun KAHMI bisa mengalahkan acara Mario Teguh Golden Wise dengan segudang kalimat motivasinya itu?

Sebentar, bapak ingat tidak dengan pembubaran pemutaran Film Senyap yang diadakan oleh mahasiswa di Jogja, lalu pembubaran diskusi LGBT di Semarang dan pembredelan majalah mahasiswa di Salatiga? Bapak masih ingat kan? Ah, masa bapak sudah lupa kejadian yang belum satu tahun lewat. Tapi bapak bisa ingat bagaimana dulu organisasi mahasiswa menelurkan tokoh-tokoh hebat. Sedih rasanya, bapak bisa bilang kalau semua mahasiswa sudah menjadi mesin tapi ketika ada kegiatan mahasiswa yang dibubarkan bapak kok diam saja.

Mahasiswa sekarang memang lebih banyak yang memilih untuk cepat lulus, sedangkan di sisi lain gerakan mahasiswa tak terdengar gaungnya. Sungguh menjadi dilema bagi seorang mahasiswa yang kerjaannya hanya kuliah, tidur dan ngopi seperti saya ini. Mungkin setelah ini kopi yang saya minum tiap hari akan terasa tidak enak, karena berita yang saya baca tentang statement bapak. Bapak Mahfud tak perlu bertanggung jawab kok tentang hal itu. Siapalah saya ini, hanya mahasiswa yang sampai semester 10 belum menempuh Kuliah Kerja Nyata

Tapi pak, tolong jawab pertanyaan saya ini.

Apa yang harus dilakukan oleh gerakan mahasiswa sekarang? Merampok nasi di salah satu rumah makan sebelum berangkat ke acara kongres? Meloby dana kepada para alumni yang menjadi anggota DPR, agar acara yang akan diadakan sukses? Atau merusak fasilitas negara agar bisa mengikuti acara yang diadakan oleh salah satu organisasi mahasiswa?

Kategori
Agenda

Lomba Esai Foto BPPM Kliring

lomba esai foto KLIRING

Kategori
Diskusi

Menggairahkan Gairah Literasi Kita

Beberapa hari yang lalu, saya diminta Pak Sekjend (dan forum OPJ) untuk menjadi pemantik diskusi bertema ‘Gairah Literasi’. Sejenak berpikir, atas dasar apa mereka menunjuk saya sebagai pemantik? Terlebih, diharuskan membuat tulisan sebagai pengantar diskusi. Tapi biarlah, hitung-hitung mengasah keterampilan menulis juga menantang wawasan saya yang tak seberapa.

Di akhir sesi diskusi dua minggu lalu, Pak Sekjend sempat menyampaikan keprihatinannya terhadap budaya literasi di kalangan mahasiswa (wabilkhusus pers mahasiswa) yang kian luntur. Terlebih masyarakat umum, sirna, barangkali. Maka sesungguhnya, berawal dari sini saya mengumpulkan bahan untuk tulisan ini.

Bahan dari diskusi tersebut saya padukan dengan secuil materi dari diskusi Jum’at malam lalu (19 Fabruari 2016), yang diadakan kawan-kawan kiri di SK Cafe, UIN Sunan Kalijaga. Ikut mewarnai perdebatan sengit soal akar kekerasan perempuan, statement: teknologi menjadi biang keladi dari semua ini.  Penemuan teknologi mata bajak beribu-ribu tahun lalu, mengubah budaya hidup manusia. Cara hidup kolektif yang telah membudaya, perlahan luntur seiring kesadaran manusia akan kekuatan dirinya untuk mengolah lahan secara mandiri. Di satu sisi memang menjadi keuntungan besar bagi manusia. Tapi di balik keuntungan itu, sisi gelap kian menyelimuti: tercerai-berainya kehidupan komunal manusia.

Itu logika sederhana saya. Jika dikontekstualisasikan dengan masa kini, saya rasa ada benang merahnya. Kemajuan teknologi yang kian pesat, diimbangi dengan fasilitas gawai bisa diakses sebagian besar manusia (lebih-lebih mahasiswa) akan berdampak pada budaya masyarakat, termasuk budaya literasi.

Beberapa kali saya mengamati kebiasaan mayoritas mahasiswa (termasuk saya sendiri, barangkali). Hingga sampai kepada kesimpulan, bahwa mahasiswa gandrung dengan istilah up to date. Maka segala informasi yang ada, berusaha dilahap semuanya, tanpa ada upaya untuk menelanjangi atribut-atribut yang menghiasinya. Tanpa mencari inti dari permasalahan yang terselip dalam informasi tersebut. Juga tak mampu menyikapi sebuah permasalahan dengan lebih dulu melakukan kajian akademik, dibedah dengan berbagai perspektif.

Keadaan diperparah dengan semakin menjamurnya portal berita atau sebatas informasi online, yang disajikan serampangan. Judul-judul bombastis dimunculkan, untuk mendulang klik. Hal-hal semacam ini yang justru sangat diminati kalangan kita. Beberapa kali saya berbincang dengan kawan, ia lebih fasih bercerita soal life style. Giliran diajak mendiskusikan sebuah isu, mandek. Kalaupun tidak, dalam menyikapi sebuah isu, ia hanya memandang dari satu perspektif, umumnya perspektif agama.

Seolah sudah berkongsi, antara teknologi dan kebijakan kampus (dan dosen). Pemberlakuan jam malam yang kian mempersempit ruang diskusi. Dorongan untuk lulus cepat dari dosen-dosen. Tugas-tugas kuliah yang menumpuk. Seabrek ‘intimidasi’ ini yang membuat mental kalangan kita kian cengeng, terkecuali (sebagian kecil) yang kuat. Tak ada sempat mengabdikan diri untuk dirinya sendiri, terlebih rakyat. Sudah bercokol di batok kepala (sebagian) kalangan kita, angka, rupiah, ‘prestasi’. Forum diskusi sepi. Perpustakaan hanya ramai jika kalangan kita memiliki beban makalah dan skripsi. Selebihnya, lenggang. Hanya tatapan nyiyir yang mereka lemparkan kepada demonstran yang turun ke jalan, memperjuangkan hak-hak kalangan kita, juga rakyat.

Persma Bisa Menggelorakan Gairah Literasi

Pikiran sempit, keputusan yang terburu-buru, dan penghakiman kepada suatu kelompok, terjadi lantaran rendahnya budaya literasi di kalangan kita. Dalam sebuah website, dijelaskan bahwa budaya literasi dimaksudkan untuk melakukan kebiasaan berpikir, diikuti dengan proses membaca dan menulis yang berujung pada terciptanya sebuah karya. Tentu kita, kalangan mahasiswa, mafhum bahwa membaca bukan sebatas melahap teks-teks dalam buku. Diskusi dan analisis realitas sosial juga bagian dari proses membaca.

Sementara menulis merupakan proses lanjutan dari pembacaan yang panjang. Satu kesatuan tak terpisahkan, yang kemudian mampu melahirkan sebuah karya bergizi. Tak heran jika Pram menulis dalam Bumi Manusia-nya melalui tokoh Nyai Ontosoroh: Tahu kau mengapa aku sayang kau lebih dari siapapun? Karena kau menulis. Suaramu takkan padam ditelan angin, akan abadi, sampai jauh, jauh kemudian hari.

Pers mahasiswa tentu tak asing dengan aktivitas membaca dan menulis. Karena memang dua hal tersebut yang menjadi kekuatan persma. Juga sebagian lagi ikut berbaur dengan gerakan mahasiswa, juga masyarakat umum, berdemonstrasi menuntut keadilan pada penguasa.

Tapi apakah mungkin pena tajam ketika persediaan tintanya seret? Tentu sulit diterima logika (paling tidak logika saya) yang mengatakan mungkin. Maka, berawal dari sini, saya menyadari, media pers mahasiswa perlu berbenah diri. Kajian-kajian tentang wacana dan teks-teks, perlu digelorakan kembali. Sumber daya anggota perlu diberikan asupan bacaan yang bergizi.

Gairah literasi bisa digelorakan dengan terlebih dulu oleh insan pers mahasiswa. Karena, pers mahasiswa satu-satunya organisasi di kampus yang memiliki konsentrasi pada aktivitas jurnalistik. Sementara untuk menghasilkan produk jurnalistik berkualitas, diperlukan wacana kuat. Selain sebagai bekal ‘propaganda’ untuk membentuk (paling tidak) opini mahasiswa, juga menjadi benteng dari serangan intimidasi dari birokrat kampus maupun masa reaksioner yang menghalang-halangi agenda jurnalistik, maupun perjuangan sebagaimana yang dilakukan insan persma pada kasus-kasus anti-demokrasi.

Barangkali kita perlu menengok peran persma dalam mencipta sejarahnya sendiri. Menjelang kejatuhan Soeharto–tentu insan persma akrab dengan ‘fenomena’ ini- mahasiswa UI Depok membuat produk buletin Bergerak!. Bergerak! didirikan lantaran krisis ekonomi di Indonesia yang kian mencekik di era 1998, oleh aktivis pers mahasiswa pengelola Majalah Berita Mahasiswa Suara Mahasiswa UI.

Di saat pers umum tak berani bergaung lantang, Bergerak! dengan bernas menyajikan fakta di lapangan dalam perspektif mahasiswa. Bergerak! mampu menjadi corong gerakan mahasiswa –bukan satu kelompok gerakan saja. Ia menjalankan fungsinya sebagai kontrol sosial, mengawal reformasi. Ia juga cukup berhasil menjadi media alternatif. Runtuhnya rezim Soeharto, menjadi alamat matinya Bergerak!

Iseng-iseng saya coba melakukan analisis sederhana. Jika melihat kondisi pada waktu itu, gerakan-gerakan mahasiswa cukup kuat. Karena memiliki satu musuh bersama: Seoharto. Melihat realita semacam ini, aktivis persma Suara Mahasiswa merasa perlu membuat produk sebagai wadah dan media komunikasi antar gerakan mahasiswa. Maka dibentuklah Bergerak!, yang sempat terbit setiap hari kecuali hari Sabtu dan Minggu.

Dari segi basis wacana dan kajian gerakan mahasiswa, saya kira kuat sekali. Bergerak! hadir untuk menampung segala aspirasi kritis mahasiswa terkait represifitas rezim Orde Baru. Maka kemudian saya sampai pada kesimpulan (terinspirasi dari Pram): Orang boleh kritis setajam silet, tapi selama tidak menulis, ia akan tenggelam dalam sejarah dan masyarakat. Menulis adalah bekerja untuk perjuangan.
Gairah literasi yang menggelora, pada waktunya akan membentuk karakter media persma, baik media cetak, terlebih portal online. Semoga!

Bacaan:
Arismunandar, Satrio. 2005.  Bergerak!: Peran Pers Mahasiswa dalam Penumbangan Rezim Soeharto. Yogyakarta: Genta Press.

 

Kategori
Diskusi

Revitalisasi Tanpa Meninggalkan Ciri

Apa yang Anda pikirkan pertama kali ketika mendengar kata ‘pasar tradisional? Mungkin akan muncul di benak Anda tentang suatu tempat jual-beli yang kumuh, kotor, bau, panas, pengap, dan sebagainya. Memang tidak bisa dipungkiri, itulah kondisi yang terjadi pada mayoritas pasar tradisional di Indonesia saat ini. Kondisi ini diperparah ketika memasuki musim penghujan, pasar berubah menjadi kubangan lumpur dimana-mana, becek, dan tentunya kurang sedap dipandang. Seiring dengan perkembangan zaman, mulai muncul pasar modern yang kini dapat bersaing secara ketat dengan pasar tradisional dalam hal menarik calon pembeli. Bahkan saat ini pasar modern mampu untuk menjaring calon pembeli lebih banyak daripada pasar tradisional dikarenakan kondisi pasar modern jauh lebih terawat, banyak promo yang ditawarkan, harga produk yang bersaing, dan sebagainya. Oleh karena itu, sudah saatnya pasar tradisional di Indonesia ini untuk direvitalisasi secara masif karena kondisi pasar tradisional hari ini secara kasat mata sudah cukup memprihatinkan baik secarra fisik (bangunan) maupun infrastruktur penunjang seperti tempat pembuangan sampah, jalan, sistem drainase, dan sebagainya.

Mungkin akan muncul pendapat  bahwa ketika suatu pasar tradisional direvitalisasi secara besar-besaran, budaya jual-beli secara tradisional yang telah diwariskan secara turun-temurun akan luntur, seiring dengan pembangunan pasar baru yang lebih tertata secara keseluruhan. Revitalisasi pasar yang saya maksud adalah perbaikan secara menyeluruh terhadap kondisi pasar yang sudah sedemikian parah. Akan tetapi, tidak mengubah lokasi pasar yang sudah ada karena selain menentukan tingkat penjualan para pedagang juga terdapat nilai historis yang tertanam pada lokasi pasar tradisional tersebut. Tentunya, dengan adanya revitalisasi tidak akan mengubah ciri khas dari sebuah pasar tradisional yakni: adanya tawar-menawar dalam hal pembelian, komunikasi yang interaktif antara penjual dan pembeli, kesempatan pembeli untuk mengecek sendiri produk yang ditawarkan pedagang, dan sebagainya. Ciri khas ini dapat dipertahankan apabila pengelola pasar tradisional tidak mengubah sistem yang berlaku di pasar tradisional dengan sistem yang diterapkan pada pasar modern.

Namun penerapan dari revitalisasi pasar tradisional ini tidak jarang menimbulkan masalah, seperti: masalah relokasi pasar yang tidak strategis, mahalnya harga kios yang baru, hingga permasalahan tentang lahan pasar. Dilansir oleh merdeka.com (8/8/12), ratusan Pedagang Pasar Tradisional Babat Bersatu (PPTBB) yang berasal dari kota Babat, Kabupaten Lamongan, mendatangui Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Surabaya untuk mendengarkan putusan gugatan mereka terhadap Bupati Lamongan dan sekretaris daerah. Alasan mereka melakukan gugatan kepada Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Lamongan tersebut adalah ketidakpuasan sekitar 2.300 pedagang terhadap kebijakan Pemkab terkait dengan pengelolaan pasar seperti harga stan yang terlalu mahal, penggusuran pedangang secara seenaknya tanpa ada keputusan dari Pengadilan Negeri (PN), hingga gugatan tentang lahan pasar Babat yang tidak memiliki Hak Pengelolaan Lingkungan (HPL). Demi mengurangi potensi masalah seperti ini, para pemangku kepentingan terkait pasar tradisional ini bisa duduk bersama terlebih dahulu untuk membicarakan konsep revitalisasi pasar tradisional yang akan dilaksanakan. Metode diskusi yang dapat  dilakukan yakni brainstorming . Brainstorming menurut M. Sobry Sutikno (2007:98) adalah suatu bentuk diskusi dalam rangka menghimpun gagasan, pendapat, informasi, pengetahuan, pengalaman dari seluruh peserta. Gagasan dan ide dari peserta tersebut tidak ditolak, namun dianalisis secara mendalam oleh forum untuk menemukan formulasi kebijakan terbaik yang dapat diterapkan sebagai konsep revitalisasi pasar tradisional. Dengan cara seperti ini, semua pihak yang berkepentingan dapat terakomodasi kepentingannya sehingga nantinya revitalisasi yang dijalankan sesuai dengan harapan semua pihak.

Menguatkan daya saing terhadap pasar modern

Keberadaan pasar modern seperti minimarket, supermarket, department store, dan sebagainya kini telah mengancam eksistensi dari pasar tradisional. Dengan strategi pemasaran serta sumber daya modal yang melimpah, tidak sulit bagi pasar modern untuk terus melakukan ekspansi pasar dengan membuka cabang di pelbagai daerah. Mirisnya lagi, banyak dari pelaku usaha pasar modern ini membuka cabangnya di dekat pasar tradisional. Hal ini mengindikasikan adanya upaya untuk merebut pangsa pasar yang dimiliki pasar tradisional. Ditambah lagi dengan peraturan yang tidak tegas dari pemerintah pusat seperti Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 17 Tahun 2012 yang tidak mengatur secara tegas tentang batasan jarak antara pasar modern dan pasar tradisional. Di sisi lain, Peraturan Menteri Perdagangan (PERMENDAG) Nomor 70/M-DAG/PER/12/2013 yang menyerahkan kewenangan pengaturan jarak antara pasar modern dan tradisional kepada pemerintah daerah setempat. Belum lagi implementasi dari Peraturan Daerah (Perda) yang mengatur tentang jarak antara pasar ini juga masih banyak yang tidak sesuai.

Dengan kondisi serba sulit seperti itu, apakah para pelaku pasar tradisional harus pasrah terhadap keadaan? Tentu tidak. Para pedagang di pasar tradisional harus secara proaktif mengajak pemerintah untuk  melakukan revitalisasi pasar untuk mewujudkan pasar yang layak kunjung dan enak dilihat. Pemerintah daerah setempat juga harus peduli dengan keberadaan dari pasar tradisional melihat geliat dari pasar modern saat ini yang terus mempercantik diri demi menarik minat beli konsumen. Perlu diingat bahwa banyak dari pedagang di pasar tradisional adalah masyarakat dengan sumber daya modal terbatas yang tentunya akan kalah bersaing dengan para pelaku pasar modern, sehingga peran serta pemerintah daerah sangat dibutuhkan demi meningkatkan daya saing pasar tradisional terhadap pasar modern.

Kita bisa berkaca dari niat Pemerintah Kota Malang untuk mempercantik pasar tradisionalnya dengan melakukan revitalisasi pasar Oro-Oro Dowo menjadi pasar yang memiliki bangunan semi modern yang dilengkapi dengan fasilitas ibadah, toilet, ruang ibu menyusui, serta sistem drainase yang baik sehingga tidak menimbulkan genangan pada pasar tersebut. Langkah positif pemerintah tersebut perlu diapresiaasi karena melakukan revitalisasi pada bangunan pasar menjadi semi modern namun tetap mempertahankan ciri pasar tradisional. Ini juga menjadi salah satu upaya untuk tetap mempertahankan eksistensi pasar tradisional di tengah kepungan pasar modern dengan segala kelebihan sumber dayanya.

Upaya lain yang dapat dilakukan untuk meningkatkan daya saing pasar tradisional adalah dengan memberikan pengarahan kepada para pedagang  yang dilakukan oleh pemerintah maupun akademisi mengenai bagaimana caranya untuk melakukan strategi pemasaran atas produk yang dijual dengan baik. Ini penting karena pelaku pasar modern sudah selangkah lebih maju dalam hal formulasi strategi pemasaran yang bisa dibuktikan dengan banyaknya iklan, promo merek, dan sebagainya. Untuk itu, konsep pemasaran yang dapat dipakai adalah konsep bauran pemasaran (marketing mix). Kotler (2000:18) mendefinisikan bauran pemasaran adalah seperangkat alat pemasaran yang digunakan perusahaan untu terus-menerus mencapai pasar tujuan pemasarannya di pasar sasaran. variabel yang biasa dipakai untuk menjalankan bauran pemasaran ini adalah variabel 4 P (place, product, price, promotion) dimana konsep ini banyak disebut oleh para ahli pemasaran seperti Phillp Kotler, Buchari Alma, dan sebagainya. Place atau tempat harus sangat diperhatikan oleh para pedagang pasar tradisional dalam menjual barang dagangannya. Kebersihan tempat serta tata letak produk yang menarik tentunya mempengaruhi keputusan pembelian para pembeli. Price atau harga juga menjadi variabel penting apakah para pembeli tertarik untuk membeli dagangan para penjual di pasar tradisional. Dengan ciri khas pasar tradisional yaitu adanya tawar-menawar harga suatu barang, penjual harus cermat untuk menentukan harga jual dimana harga yang nantinya dilepas pada pembeli tidak terlalu tinggi namun juga masih menyumbang laba terhadap pendapatan pedagang. Selanjutnya adalah product atau produk, barang dagangan yang dijual oleh pedagang harus barang dengan kualitas baik agar nantinya persepsi pembeli terhadap pedagang di pasar tradisional tetap baik dan tidak beralih ke pasar modern. Yang terakhir adalah promotion atau promosi, untuk dapat bersaing dengan pasar modern, pedagang di pasar tradisional juga perlu melakukan promosi atas barang yang dijualnya. Mengingat keterbatasan yang dimiliki oleh para pedagang pasar tradisional dalam hal menjalankan strategi pemasaran di atas, perlu adanya peran pemerintah untuk memberikan sokongan dalam pemberian ilmu, akses, kemudahan distribusi barang, bantuan modal, dan sebagainya. Karena di balik segala kesederhanaan yang terdapat di dalam pasar tradisional, ada nilai ke Indonesiaan, sepert: gotong royong, interaksi antar sesama yang santun, dan jangan dilupakan bahwa hasil bumi rakyat Indonesia sebagian besar mengalir ke pasar tradisional sehingga ada jutaan penghidupan yang bergantung pada keberadaan pasar tradisional.

Catatan redaksi: Naskah ini terpilih menjadi juara dua Lomba Esai bertema “Eksistensi Pasar Tradisional” yang diadakan pada Dies Natalis Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia (PPMI) ke-23 di Semarang.

 

 

Kategori
Diskusi

Masih Mau Dibungkam? Ketinggalan Zaman!

“Jangan kau penjarakan ucapanmu. Jika kau menghamba pada ketakutan, kita akan memperpanjang barisan perbudakan.” Wiji Thukul

Berbicara, berpendapat, dan beraspirasi pada hakikatnya adalah hak setiap manusia sebagai suatu bentuk perwujudan eksistensi diri. Kebenaran, dalam hal ini adalah suatu keniscayaan bagi setiap manusia berakal dan beradab untuk diungkapkan secara terbuka. Mereka yang menolak untuk mengungkap kebenaran ataupun berusaha menyembunyikannya dengan dalih kebaikan, tetaplah salah dari segi manapun. Karena kejahatan yang sebenarnya ialah mengetahui kebenaran tetapi memilih bungkam dan bersembunyi dalam kepura-puraan. Pura-pura tuli, pura-pura bisu, pura-pura buta, bahkan pura-pura lupa.

Zaman telah bergulir. Era pembungkaman telah berakhir. Rezim yang mengekang dan sewenang-wenang sekarang hanya tinggal kenangan. Siapapun boleh berbicara, berpendapat, mengkritik, ataupun berkomentar sepanjang sejalan dengan kebenaran. Lalu, mengapa hingga saat ini telinga kita masih sering mendengar kisah beberapa kawan yang menjadi korban dari ‘kampus otoriter’? Kebebasan berpendapat seakan menjadi hal tabu sehingga mereka yang suka ‘menyentil’ birokrat kampus harus siap menerima risikonya. Risiko yang ditawarkan pun beragam: ada yang menjadi ‘bulan-bulanan’ dosen di kelas, diberi surat peringatan, pemanggilan orangtua, sanksi akademik, hingga yang baru-baru ini menimpa kawan kita di Jakarta yang harus menuai drop out (DO) karena sikap kritisnya terhadap carut-marut kehidupan kampus. Bukankah ironis?

Kebebasan berpendapat telah dijamin dalam Undang-Undang (UU) Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum. UU tersebut rasanya cukup untuk dijadikan sebuah payung hukum yang melindungi setiap insan yang ingin menyampaikan pendapatnya. Namun kenyataannya, kebebasan pendapat seakan masih dikebiri melalui berbagai cara. Sudah menjadi rahasia umum apabila kampus-kampus yang ada di negeri kita ini masih menganut paham otoriter. Sehingga tidak sedikit mahasiswa yang merasa takut untuk mengkritik kekurangan di kampus tempatnya belajar. Takut kalau kena DO, takut akan mendapatkan sanksi akademik, takut dipersulit untuk lulus, takut dibilang mencari muka, dan ketakutan-ketakutan lain yang masih membayangi pikiran mahasiswa saat ini.

Melihat kenyataan tersebut, tidak heran jika hanya segelintir mahasiswa yang menolak bungkam dan dengan tegas berani menyuarakan kebenaran. Masih untung negara kita memiliki akademisi yang tak hanya melulu menggali ilmu untuk mencari fakta ilmiah belaka, tetapi masih peduli dan kritis dalam memperjuangkan kebenaran dan keadilan. Seharusnya kampus bangga jika mahasiswanya memiliki pola pikir kritis demi kebaikan dan perbaikan kampus. Bukan hanya berkutat mencari nama dan bersaing di antara kampus-kampus lain, lantas memakai topeng kecantikan yang terlihat indah di luar namun ternyata busuk di dalam. Sampai kapan kita akan diam?

Sebagai makhluk yang memiliki nalar, wajar jika mahasiswa protes ketika mendapati sesuatu yang tidak beres dalam kampusnya. Persoalan transparansi anggaran, berbelit-belitnya proses pengajuan penurunan Uang Kuliah Tunggal (UKT), dan proses administratif yang membingungkan merupakan momok yang biasa ditemui di kampus-kampus negeri ini. Pihak kampus seharusnya dapat bersikap dewasa dalam menghadapi kritik dari mahasiswa. Sebab, melalui kritik-kritik tersebutlah kampus dapat menyadari kekurangannya dan segera berbenah diri menjadi lebih baik. Bukannya malah membungkam dan mengancam mahasiswa yang berani mengkritik kebobrokan kampus. Ironis jika saat ini masih ada mahasiswa yang kritis dalam berpendapat justru diberi label subversif dan dituduh mengganggu ketertiban.

Mahasiswa sebagai ujung tombak perubahan nyatanya masih belum sepenuhnya memiliki ruang gerak yang bebas untuk berbicara. Represi kampus semakin hari semakin tampak jelas melalui refleksi kasus-kasus pembungkaman yang dialami kawan-kawan mahasiswa di berbagai daerah. Perasaan geram dan muak terhadap birokrasi kampus yang berlabel “otoriter” seakan semakin memuncak ketika kebebasan berpendapat sedikit demi sedikit dikikis oleh tajamnya pola pikir oknum-oknum bermental Orba. Hal tersebut ditunjukkan dengan semangat mengungkap kebenaran yang masih berkobar dalam diri mahasiswa yang berakal kritis dan demokratis. Lalu wajarkah jika praktik-praktik pembungkaman masih dibiarkan tumbuh subur menjangkiti ranah pendidikan di rahim ibu pertiwi? Bukankah negara kita menganut paham demokrasi? Pikirkan kembali!

Sebagai bangsa yang memiliki cita-cita setinggi langit, Indonesia harus mampu bekerja sehebat mimpi-mimpinya. Perbaikan demi perbaikan harus terus dilakukan, sehingga masyarakat madani yang sedari dulu didambakan bukan hanya sekedar menjadi fantasi belaka. Mahasiswa, dengan ilmu dan daya nalar kritisnya adalah obat penyembuh bagi kehidupan kampus maupun negara yang sedang “sakit”. Penyakit-penyakit Orba seperti represi dan pembungkaman kebebasan berpendapat yang merebak bak virus harus segera dimusnahkan. Mengapa harus? Sebelum menjawab pertanyaan ini, sebaiknya kita tanyakan pada diri kita masing-masing, maukah kita hidup bernegara dalam kebusukan dan kebohongan?

Tidak dipungkiri masih banyak mahasiswa yang memilih apatis karena terlalu terbuai oleh kenyamanan. Dengan dalih ogah “ribet” dengan birokrasi kampus, seolah-olah mereka lupa dengan tugasnya sebagai agent of change. Datang, duduk, diam, dan dengarkan, menjadi slogan yang dianut dalam kehidupan kampus. Seolah-olah buta dengan penyimpangan-penyimpangan dalam kampus, mahasiswa tak berani mengkritik dan memilih ngomel di belakang. Mental-mental seperti ini yang harus diluruskan. Jika tidak, kampus tempat kita menuntut pelbagai ilmu justru menjadi lahan para oknum birokrat untuk semakin leluasa menjalankan kesewenang-wenangannya.

Rentetan peristiwa yang melambangkan represi kampus terekam secara gamblang dalam bentuk gambar maupun tulisan. Catatan-catatan tersebut telah banyak memenuhi jendela dunia maya. Bahkan dengan duduk diam sambil bersantaipun kita bisa menyaksikan bentuk-bentuk pengekangan tersebut dalam genggaman. Namun, perubahan tidak akan terjadi manakala kita hanya duduk diam sambil berdecak heran mengutuk oknum birokrat bermental Orba. Lain halnya jika kita berdiri tegak dan berani melakukan hal yang nyata demi menolak pembungkaman berpendapat.

Semuanya dapat menjadi pembelajaran bersama baik bagi sivitas akademika maupun masyarakat awam. Tugas kita adalah sedikit demi sedikit mengganti catatan-catatan kelam tersebut dengan suatu hal yang baru. Kisah-kisah tentang keberhasilan mahasiswa dalam membangun iklim demokratis di kampus dan menggalakkan budaya berpendapat yang beradab. Begitupun dengan birokrat kampus sendiri, mereka harus mau bersikap transparan dan terbuka terhadap setiap kritik yang bersifat membangun. Semua hal tersebut tidak lain adalah upaya untuk menciptakan suasana pendidikan yang kondusif.

Sekarang saatnya mahasiswa bangkit dan melawan pembungkaman. Jangan kita perpanjang lagi rentetan cerita pemberangusan kebebasan berpendapat khususnya di lingkungan kampus. Kebenaran tidak boleh dibiarkan tersembunyi di balik ketiak birokrat. Keberanian adalah kunci utama dalam mengungkapkan kebenaran dan menegakkan keadilan. Karena sedalam apapun bangkai disembunyikan, cepat atau lambat bau busuk akan menyeruak juga. Jika kita masih takut dan memilih bungkam ketika melihat sesuatu yang salah, sampai kapanpun bangsa ini akan terpenjara dalam kebohongan dan semakin terpuruk dalam kesengsaraan.

“Apabila usul ditolak tanpa ditimbang, suara dibungkam, kritik ditolak tanpa alasan, dituduh subversif dan mengganggu keamanan, maka hanya ada satu kata: LAWAN!” Wiji Thukul

Catatan redaksi: Naskah ini terpilih menjadi juara dua Lomba Esai bertema “Mahasiswa Bangkit Melawan Pembungkaman” yang diadakan pada Dies Natalis Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia (PPMI) ke-23 di Semarang.

 

Kategori
Agenda

Talkshow dan Kompetisi Fotografi Nasional “Indonesiakah Aku?”

Kamu orang Indonesia? Seberapa Indonesiakah kamu? Asah jiwa nasionalismemu di acara HUT GENTA Ke-52 “Indonesiakah Aku?”, 3-5 Maret 2016, yang diselenggarakan oleh Pers Mahasiswa Universitas Kristen Petra Surabaya. Adapun serangkaian acara menarik mulai dari talkshow nasional dengan pembicara yang ahli di bidangnya, bincang-bincang Pers Mahasiswa Nasional, kompetisi fotografi, dan pameran karya Pers Mahasiswa Nasional. Informasi lebih lanjut http://indonesiakahaku.petra.ac.id atau kunjungi booth pendaftaran di selasar B UK. Petra.
CP :
Eunike – 081803112603
Angela – 081357782403
Jasmine – 081283604170
Regards,
LEMBAGA PERS MAHASISWA GENTA
Universitas Kristen Petra
Jl. Siwalankerto 121-131
Surabaya 60236, Gedung S
T.ext 3917
Kategori
Diskusi

Pertahankan Sikap Mahasiswamu!

Bentuk kolektif perilaku mahasiswa yang condong ke arah demokratis yang ingin bebas berkreasi sesuai dengan keilmuannya sebenarnya selaras dengan cita-cita bangsa ini. Dari generasi ke generasi kita bisa melihat dan mengalami sendiri bagaimana mahasiswa selalu berada di garda terdepan dalam pergerakan. Sebut saja reformasi 1998, untuk kalangan kita (mahasiswa) hampir mustahil tidak tahu apa-apa soal aksi besar-besaran yang menumbangkan Rezim Orba ini. Jauh sebelum itu, walau terlihat samar-samar, eksistensi dari Perhimpunan Indonesia cukup terkenal dengan Muhammad Hatta sebagai promotornya. Dan dari semua gerakan-gerakan mahasiswa ada satu kesamaan, yakni kritis terhadap segala bentuk penindasan.

Kalangan mahasiswa di Indonesia secara kasat mata dari zaman penjajahan sampai sekarang berasal dari masyarakat yang berstatus sosial-ekonomi menengah kebawah, maka bisa dikatakan mahasiswa di Indonesia bukan dari kalangan penguasa yang hanya segelintir orang itu saja melainkan wakil dari tiap-tiap rakyat Indonesia yang sampai sekarang masih terus bergelut dengan kata “perubahan”. Kalangan ini pernah ada di zaman Tan Malaka saat pulang dari pelarian, dan disebutnya sebagai kaum ploretar.

Berbeda dengan kondisi rakyat saat itu yang ditemui Tan Malaka, yang masih belum berpendidikan. Saat ini kaum ploletar itu bisa ditemui di kampus-kampus yang tersebar di seluruh penjuru tanah air. Mungkin inilah suatu kondisi yang diharapkannya dulu, dimana semangat juang dan pendidikan ada pada kalangan ploretar. Suatu kombinasi yang sempurna untuk menjadi agen of change dan agen of control yang sering digaungkan saat Ospek di kampus-kampus. Mahasiswa mempunyai 2 sisi itu, sisi dimana dia merasakan secara langsung kondisi real masyarakat dan sisi lainnya dia bisa hadir menyodorkan solusi.

Idealnya kaum ploretar hanyalah sebuah kondisi yang sebenarnya tidak diinginkan. Namun kita tetap harus mempertahankan perspektif dimana kita bisa melihat dari kacamata rakyat meskipun tingkat pergaulan kita sudah bisa menembus gedung-gedung pejabat elit. Banyak capaian-capaian yang telah diraih oleh mahasiswa pergenerasi. Dengan sendirinya kita merasa terwarisi akan cara berpikir anti penindasan, maka tak heran ada yang namanya “sumpah mahasiswa Indonesia” yang merupakan manifesto dari penolakan mahasiswa tahun 70-an terhadap NKK/BKK buatan Soeharto itu. Tak perlu heran, “sumpah mahasiswa” ini dengan cepat merambat ke kampus dan bisa didengar saat aksi-aksi mahasiswa, meski tak banyak yang tahu siapa penciptanya. Hal ini bisa kita asumsikan mahasiswa mempunyai semangat dan cara yang hampir sama dalam menilai fenomena sosial.

Katak Rebus

Cara berpikir mahasiswa yang kritis dan gerakannya pada masa kini kian sunyi. Mungkin saja karena persoalan NKK/BKK atau sejenisnya sudah tidak ada lagi untuk menjadi pemicu. Banyak para mantan aktivis dulu yang sekarang menjadi dosen, pejabat dan politisi sering berceloteh tentang kisah-kisah heroik mereka saat menggelar parlemen jalanan. Namun di saat yang sama justru berusaha meredam gerakan mahasiswa. Bentuk nyatanya banyak, di Univeritas Negeri Gorontalo (kampus saya) pihak lembaga sudah berusaha ikut campur dalam kegiatan mahasiswa, sikap yang anti kritik (terbukti saat persma menerbitkan berita tentang Bidik Misi), pengarahan Persma ke bidang Kehumasan, dan pelarangan kepada mahasiswa Bidik Misi yang ikut kegiatan organisasi mahasiswa, dan masih banyak lagi gerak-gerik birokrat kampus maupun pemerintah dalam membungkam aspirasi mahasiswa. Bedanya yang kita lawan adalah mereka mantan mahasiswa. Benar juga apa kata orang “pergunakanlah masa mahasiswamu untuk menjadi seidealis mungkin, karena setelah itu tidak ada yang bisa menjamin”.

Ada juga yang mengatakan bahwa hilangnya gerakan mahasiswa adalah sebuah hasil dari lingkungan mahasiswa itu sendiri. Dulu lingkungan sekitar mahasiswa bergejolak dan setiap saat terdapat kegelisahan. Bahkan pada beberapa kasus, mahasiswa secara khusus menjadi incaran pemerintah. Setidaknya ada mahasiswa di antara 14 orang hilang (1997-1998) yang belum ditemukan hingga kini. Saya rasa tidak perlu menunggu giliran untuk diculik agar bisa menjadi kritis. Saya cukup dikesankan dengan kedatangan Tim Ekspedisi Indonesia Biru, Dhandy Dwi Laksono dan Suparta yang memberi kuliah kreatif tentang Jurnalistik, sebelumnya kami tidak tahu siapa dan apa yang dilakukan Dhandi dan Ucok itu, belum lagi ditambah perkenalan oleh dosen kami yang sama sekali berbeda dengan  apa yang disampaikan Dhandy saat memberikan kuliah. Dia justru lebih banyak memberikan “nasehat” dibanding materi Jurnalistik. Kami yang duduk di situ disuguhi dengan karya-karyanya tentang reformasi dan kondisi Indonesia yang belum banyak diketahui oleh masyarakat. Dia pun berulang kali bertanya, enak mana zaman orba dengan reformasi? Apakah di zaman reformasi ini, bentuk feodalisme sudah lenyap? Yang paling “menampar” adalah pertanyaan dimana mahasiswa sekarang? Dan pernyataan mahasiswa sekarang sama dengan katak yang direbus, tak sadar dirinya di ambang “kematian”.

Barangkali memang benar apa yang dikatan Dhandy itu, pembungkaman di masa sekarang metodenya sudah dikemas dengan cantik. Banyak konsep anti demo yang beredar di kalangan mahasiswa, dan lucunya mahasiswa mendukungnya. Sekarang mahasiswa lebih sibuk memikirkan persoalan kuliah tanpa mau sibuk-sibuk mengurus persoalan organisasi, ini berhubungan dengan otoritas dosen yang berhak membubuhi nilai akhir mata kuliah mahasiswnya, walau tak jarang ukuran penilaian masih mengandalkan subjektifitas pribadinya. Orientasi mahasiswa sekarang lebih kepada mendapat nilai A pada Kartu Hasil Studinya, dengan harapan mudah mendapat kerja saat sudah lulus nanti. Namun nahas, banyak sarjana yang justru kerja di bidang yang tidak sesuai dengan studinya.

Ini merupakan bentuk kesengajaan dari antek-antek penguasa yang tidak ingin dikritik oleh mahasiswa. Konsep pemikiran mahasiswa yang apatis, pragmatis dan hedonis dibentuk saat calon mahasiswa baru masuk ke kampus dan mendapati kualitas Ospek “kurang menarik” karena banyak yang hanya mengandung materi tentang SKS, KRS, KHS, IPK, IPS, dan beasiswa. Begitu selesai ospek, si maba ini menemui selebaran pendaftaran organisasi-organisasi intra dan ekstra kampus, “mungkin ini sedikit menarik” pikir si maba saat memutuskan untuk mengikuti proses pengkaderan organisasi yang dipilihnya. Saat sudah mendekati hari H, dia bertanya pada sang dosen, “pak saya mau minta izin tidak bisa kuliah karena mau ikut pengkaderan organisasi” dengan santai dosen biasa menjawab “itu terserah kamu, yang jelasnya kamu tetap dihitung absen pada mata kuliah saya” dengan putus asa si maba tadi tak berkutik. Lebih parah lagi yang terjadi pada mahasiswa penerima beasiswa Bidik Misi, serangkaian peraturan telah dibacakan kepada mereka, seperti: wajib berasrama, wajib mentaati peraturan kampus, wajib mengikuti program yang kampus canangkan, wajib mempertahankan IPK di atas rata-rata dan tak ketinggalan ancaman dari pengelola Bidik Misi: “ingat kami berhak mengeluarkan kalian dari status penerima Bidik Misi!”.

Jati Diri Mahasiswa

Kalau sudah demikian, usaha organisasi mahasiswa untuk merekrut anggota baru sangat sulit. Plak! Serangan Pembungkaman telak mengenai psikologi para generasi baru. Untung-untung jika salah satu-dua diantara mereka berani mengkritisi. Pola yang dibentuk kampus ini sangat tidak profesional, mahasiswa seharusnya diajari cara berpikir radikal, berpandangan luas dan berkreasi sesuai keinginan. Adapun kesalahan adalah hal yang lumrah bagi para pelajar tingkat atas ini. Kampus sejatinya harus menjadi pelindung akan kebebasan gerak mahasiswanya, menjamin segala kebutuhan yang dibutuhkan mahasiswa, tidak membatasi eksplorasi yang dilakukan para mahasiswa.

Kembali ke jati diri mahasiswa, mahasiswa dilihat dari segi sosial-ekonominya adalah pembaharu bagi bangsa ini. Jawaban dari segala pertanyaan bertumpu pada mahasiswa. Dengan proses studinya dia mencari sesuatu yang bisa dipertanggung-jawabkannya saat sudah menyandang gelar. Persoalan bangsa yang dirasakan langsung oleh mahasiswa sebagai kaum ploteran menjadi pemicu baginya untuk mencari solusi, hanya tinggal bagaimana mahasiswa bisa saling terhubung satu sama lain dalam suatu perhimpunan organisasi mahasiswa. Saling berbagi dan menceritakan ke-bhineka-an sehingga bisa bersama-sama bersatu dalam satu ikatan: Indonesia.

Kategori
Diskusi

Revolusi Pasar Tradisional

Mopanas ..
ramai ..
bau ..
kotor ..
jorok ..
becek ..
pedagang
pembeli beradu mulut
tawar
menawar barang disini

sampah yang menumpuk
ulah orang yang tidak
bertanggungjawab

tukang ojek
tukang
parkir
menimbulkan
sakit di telinga

Akankah semua ini akan berubah ?

Anna Theresia Irawan

Inilah sepenggal puisi yang berjudul pasar tradisional dari Anna Theresia Irawan. Puisi tersebut secara terang-terangan mendukung bahwa kalimat ‘tradisional’ selalu dikontraskan dengan modern. Tradisional identik dengan kumuh, jorok, becek, dan membosankan; sementara modern lebih mengesankan bersih, nyaman, dan menarik.

Dalam UU Perdagangan no.7 tahun 2014, pasar tradisional berubah menjadi pasar rakyat, dan pasar modern berubah jadi pasar swalayan. Bisa jadi hal tersebut berpengaruh pada eksistensi pasar tradisional. Lalu eksistensi seperti apa yang dimaksudkan? dalam aktivitas ekonomi eksistensi ini seringkali dihubungkan dengan kemampuan bersaing.

Saat ini pasar modern di Indonesia mengalami perkembangan yang cukup pesat. Keberadaan pasar modern di Indonesia kemungkinan besar akan berkembang dari tahun ke tahun. Perkembangan dapat menjadi tantangan keberadaan pasar tradisional. Pasar modern yang pada dasarnya dimiliki oleh pengusaha asing dan para investor lokal dapat dengan mudah menggantikan peran pasar tradisional yang mayoritas dimiliki oleh masyarakat kecil.

Pada tahun 2012, data dari Dinas Perdagangan dan Perindustrian Kota Malang mencatat bahwa terdapat 91 ritel atau pasar modern berbentuk minimarket yakni 57 Indomaret dan 37 berbentuk Alfamart dan jumlah swalayan modern di wilayah Kota Malang telah melebihi batas ideal yang seharusnya antara 18-20 lokasi.

Pasar tradisional seakan tak mau kalah dengan pasar modern. Pasar tradisional berupaya mengembangkan strategi untuk memenuhi kebutuhan atau tuntutan konsumen sebagaimana yang telah dilakukan oleh pasar modern.

Beberapa pasar tradisional di kota Malang mengalami revitalisasi dengan alasan kenyamanan konsumen saat berbelanja. Hal ini bisa dilihat dari tulisan Eko Widianto dalam Tempo.co (02/14). Dalam tulisan tersebut dijelaskan bahwa pemerintah Kota Malang bakal merevitalisasi 14 pasar tradisional di kota Malang untuk memperbaiki citra buruk pasar tradisional.

Citra buruk yang dimaksudkan adalah tampilan pasar, atmosfir (udara atau suasana), tata ruang, tata letak, keragaman dan kualitas barang, promosi penjualan, jam operasional pasar yang terbatas, serta optimalisasi pemanfaatan ruang jual. Salah satu pasar tradisional yang direvitalisasi adalah pasar Dinoyo Malang.

Pasar Dinoyo yang dulunya  kumuh, kini sudah bermetamorfosis menjadi pasar tradisional yang bersih. Bukan hanya suasana saja yang baru, nama pasar Dinoyo pun kini diubah menjadi Pasar Terpadu Dinoyo (PTD). Pasar tiga lantai tersebut juga bersebelahan dengan Mall Dinoyo City (MDC).

Walaupun PTD merupakan pasar tradisional, tapi konsep pengelolaannya seperti pasar modern. Di pasar terpadu ini terdapat tiga lantai. Di lantai dasar akan digunakan untuk menjual bahan-bahan kering seperti sayur-sayuran, pakaian, dan sembako. Sedangkan di lantai satu akan dibuat menjual bahan-bahan basah seperti daging, ayam, dan lain sebagainya.

Tidak hanya itu, untuk parkir pun akan ditata layaknya mal. Semua parkir akan dipusatkan di lantai dua. Selain penataan, untuk pengelolaan di dalam pasar tradisional sudah menggunakan SOP (standard operating procedure) seperti mal. Jadi, disetiap lantai ditempatkan sejumlah  penjaga keamanan. Sehingga keamanan pengunjung benar-benar terjamin.

Dengan fasilitas yang seperti itu tentunya pedagang harus merogoh kocek lebih dalam untuk dapat menyewa gerai atau toko untuk tempat berjualan .Ketika pasar Tradisional sibuk berbenah diri dan menyamakan segala sesuatunya dengan pasar modern. Mereka melupakan sesuatu yang penting. Adanya proses tawar menawar antara pedagang dan pembeli bias jadi tidak akan bisa kita jumpai lagi. Apakah ada yang pernah melihat  pembeli yang menawar harga saat berbelanja di supermarket?

Dalam pasar Tradisional seorang pedagang tidak sekedar menerima uang dan pihak lain menerima barang, tetapi terdapat kebutuhan sosial yang ingin didapat dari pihak lain, yakni penghargaan yang bersifat timbal-balik berlangsung dalam hubungan yang setara, terjalin ikatan hubungan personal emosional. Demikian juga dengan konsumen atau pelanggan tidak semata mendapat sesuatu barang yang diperlukan, tetapi terdapat “kepuasan” lain yang diperlukan, diantaranya tempat dan dengan siapa penjual yang dihadapinya.

Dalam budaya masyarakat timur, berbelanja sambil bersosialisasi adalah lebih menjadi preferensi dari pada berbelanja secara individualis, maka berbelanja sambil tukar bicara adalah salah satu modus pemuas kebutuhan, atau sebagai salah satu bagian yang menyertai komoditi yang harus dipenuhi.

Dalam penelitian S. Leksono (2009) menemukan bahwa pasar tradisional adalah sebagai modus interaksi sosial-budaya bahkan pasar juga mengandung fungsi religius sebagai sarana ibadah. Didalam proses tawar-menawar akan berlangsung proses komunikasi yang dapat menunjukkan kejelasan tentang karakter obyek barang yang diperjual belikan serta terjadi proses penyesuaian harga.

Proses transaksi mempunyai peluang berkelanjutan berdasarkan interaksi social yang terjadi karena diantara keduanya menjadi saling kenal. Jika Anna TheresiaIrawan tadi bertanya dalam puisinya apakah semua akan berubah? Tentu jawabannya iya. Bayangkan jika semua pasar tradisional berevolusi menjadi swalayan atau bentuk pasar modern seperti hypermart, supermarket dan lain sebagainya.

 

Catatan redaksi: Naskah ini terpilih menjadi juara satu Lomba Esai bertema “Eksistensi Pasar Tradisional” yang diadakan pada Dies Natalis Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia (PPMI) ke-23 di Semarang.

Kategori
Diskusi

Membaca Esai atau Pidato

Saya selalu merasa bahagia ketika mengetahui ada mahasiswa masih bergairah menulis, apalagi menulis esai. Esai, dalam pemahaman saya, adalah jenis tulisan yang tidak terlalu banyak memiliki kaum pembaca. Dugaan ini berangkat dari sebuah survei sederhana: untuk menjadi penulis yang digemari, seorang cerpenis, novelis, atau penyair, bisa saja hanya cukup menulis satu karya, atau satu buku, yang akan membuat penulisnya mendapat pembaca sekaligus penggemar, juga pengakuan. Iksaka Banu, misalnya. Ia cukup menerbitkan sebuah buku kumpulan cerpen, yang mengantarkannya mendapat penghargaan sebagai karya terbaik pada tahun 2014. Atau, Rio Johan yang berhasil mendapat pengakuan sebagai tokoh sastra dari sebuah majalah terkemuka hanya dengan menerbitkan sebuah novel. Kita bisa saja bergumam: mungkin itu sudah nasib mereka.

“Hukum” di atas, tentu saja, tidak berlaku bagi esais. Silakan bertanya pada diri sendiri, berapa banyak penulis di negeri ini yang konsisten menyandang predikat esais? Tak banyak. Seorang esais mesti memiliki kelebihan dalam hal referensi bacaan, kedalaman permenungan, serta kecakapan bertutur—kita biasa menyebutnya “gaya menulis”. Juga keberanian dalam bermain-main dengan pikiran-pikiran liar. Dan, tentunya, tak melulu bicara data dan fakta. Esai memungkinkan untuk mengaitkan imajinasi dan hal-hal personal berkelindan sekaligus bertentangan dengan yang umum, yang tabu, yang banal, juga yang ideologis sekalipun. Esai, dalam bahasa Goenawan Mohamad, bisa dimaknai sebagai ajang untuk “coba-coba”. Karena itu, kesimpulan dan usul konkrit tidak menjadi sesuatu yang wajib.

Esai tak melulu membicarakan hal-hal besar dan rumit. Esai bisa saja mengajak kita melihat diri sendiri. Saya pribadi, memberi “hormat” pada esai-esai yang tak memberi teror, paksaan, atau serentetan doktrin yang mesti dipercaya. Maka, mereka yang berpikir bahwa esai bisa dipakai untuk ajang demonstrasi dalam bentuk teks, tentu saja akan saya singkirkan jauh-jauh. Tak hanya toa dan radio rusak saja yang bisa “memekakkan” telinga. Esai juga bisa berlaku sama.

Nah, beberapa tulisan mahasiswa peserta lomba menulis diadakan Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia (PPMI) ini, sebagian besar masih menganggap esai adalah mimbar, panggung, atau podium, tempat suara harus keras. Mereka menganggap teriakan saat demonstrasi di jalan-jalan “layak” dituangkan dalam tulisan. Saya memilih kata “layak” karena bagi sebagian orang hal itu diperbolehkan. Maka, yang saya persoalkan di sini, lebih tepatnya terkait layak atau tidak, bukan boleh atau tidak. Dan karena ini adalah lomba menulis, pada mulanya sekali, saya akan mempertimbangkan sekali kapasitas dasar yang mesti dipahami dan (harus) dimiliki oleh seorang penulis: teknis, etika, dan hal dasar dalam menulis. Taruhlah semisal, bagaimana penulis menyusun kalimat yang baik—dan benar—dan paham bagaimana EYD mesti dipergunakan. Sayangnya, panitia lupa mencantumkan hal dasar ini dalam kriteria penilaian. Saya beranggapan: panitia mungkin menilai para peserta lomba ini sudah khatam untuk urusan-urusan dasar tersebut. Tetapi mereka keliru….

***

Ada dua tema lomba. Pertama, “Mahasiswa Bangkit dan Melawan Pembungkaman”. Para esais dalam tema ini, seperti sudah saya singgung, begitu “berisik” dan kerap “berteriak” dalam tulisannya. Pantas kita renungkan bersama: apakah dalam keadaan berteraik-teriak kita sanggup merenungkan sesuatu dengan khusyuk? Esai yang demikian, pada akhirnya akan menjadi deretan slogan, untuk tidak menyebutnya optimisme yang berlebihan. Tulisan berbeda disajikan oleh Salis Fahrudin dengan judul tulisan Hilang. Salis menarik dua peristiwa yang beberapa pekan silam heboh di media sosial, yaitu terkait keluhan Bre Redana menghadapi gempuran medai digital, untuk kemudian menariknya ke dalam pembahasan yang sederhana namun substantif. Sayang sekali tulisan tersebut tidak disangga dengan judul yang “kuat”.

Dua esai berikutnya yang menonjol adalah Kampus Ladang Demokrasi Antikritik karya Pebri Tuwanto dan Pertahankan Sikap Mahasiswamu! Karya Defri Sofyan. Esai pertama kuat dan tajam dari sisi judul dan diperkuat dengan penjelasan yang runtut, dengan logika dan penjelasan yang tertata pula. Pebri Tuwanto merunut hal mendasar yang menyebabkan terjadinya represi dari kampus. Di akhir tulisan, ia memberi kritik tajam terhadap sistem birokrasi kampus yang berjasa melahirkan “jambret-jambret”. Esai ini akan semakin bernas bila disampaikan pula faktor dari “dalam”, yaitu dari pihak mahasiswa: semacam otokritik. Esai kedua, justru lebih mendakik, terutama bagaimana ia mengisahkan birokrasi yang terjadi di dalam kampus. Meski menggunakan judul yang keras, di akhir tulisan Defri Sofyan mengajukan sejumlah otokritik yang berpangkal pada persatuan mahasiswa. Kedua esai ini, dibanding esai yang lain, termasuk yang paling bisa dibaca sebagai sebuah tulisan—bukan sebagai sebuah debat atau pidato.

Tema lomba yang kedua adalah “Eksistensi Pasar Tradisional”. Ada tiga esai yang memiliki kelebihan. Pertama, esai Kemahalan yang Diterima vs Harga yang Terus Ditawar karya Nasrul Muhammad Rizal. Esai yang reflektif, sederhana, namun sangat substantif. Nasrul memberi kritik bukan pada sudut pandang pasar melainkan lebih kepada bagaimana mentalitas manusia Indonesia melihat dan memperlakukan renik-renik dalam sebuah objek besar bernama “pasar”. Kedua, Revolusi Pasar Tradisional karya Reni Dwi Anggraini. Meski memasang judul yang terkesan bombastis dan klise—hal yang banyak dilakukan oleh para penulis dalam lomba ini—esai ini berbeda karena mengutip puisi sebagai analogi pengisahan. Reni kemudian mengajak pembaca untuk menengok kembali bagaimana pasar dalam perspektif kejawaan—hal yang tidak dikerjakan oleh penulis lain. Tulisan Reni lemah dalam kaidah penulisan. Esai ketiga Pasar Tradisional, Mengapa Ditinggalkan? karya Ayu Dyah Hapsari nyaris begitu tertata dalam penyajiannya. Saya memberi penghargaan lebih kepada penulis yang sanggup menyajikan tulisan dengan bermartabat. Kesalahan hanya satu-dua. Ayu menyorot keseriusan pemerintah dalam mengelola pasar.

Esai-esai yang saya pilih tersebut masih memungkinkan untuk menjadi perdebatan. Namun, tentu saja, setelah perlombaan ini selesai. Karena sangat memungkinkan, pembaca memiliki perspektif dan penilaian lain. Sekian.

Widyanuari Eko Putra