Kategori
Siaran Pers

PUTUSAN PTUN AMBON BERSIFAT ULTRA PETITA

Lembaga Pers Mahasiswa Lintas di Institut Agama Islam Negeri Ambon mendaftarkan memori banding ke Pengadilan Tata Usaha Negara atau PTUN Ambon pada Kamis, 8 Desember 2022. Upaya banding ini sebagai jalan untuk memperjuangkan pers mahasiswa itu kembali ke kampus setelah dibekukan pada 17 Maret lalu.

Upaya banding dilakukan kembali setelah gugatan empat pengurus pers mahasiswa ditolak majelis hakim PTUN Ambon. Berdasarkan putusan PTUN Ambon Nomor 23/G/2022/PTUN.ABN, yang diberitahukan melalui e-court 18 November 2022, majelis hakim menyatakan gugatan yang dilayangkan empat anggota pers mahasiswa Lintas ini ditolak.

Dalam pengajuan memori banding para penggugat terdapat beberapa hal yang tidak sesuai dengan fakta hukum pada saat persidangan bahkan dalam amar pertimbangan putusan bersifat ultar petita, sehingga hal tersebut yang menjadi dasar untuk mengajukan memori banding:

Pertama, gugatan Para Penggugat bersifat individu, bukan model gugatan hak gugat organisasi. “Mestinya Majelis Hakim mecermati hal tersebut. Namun didapati dalam amar pertimbangannya para penggugat tidak mempunyai legal standing karena telah berakhir masa kepengurusan. Padahal gugatan individu dengan hak gugat organisasi dua hal yang berbeda,” kata kuasa hukum penggugat, Ahmad Fathanah.

Kedua, dalam amar pertimbannya Majelis Hakim melihat permasalahan ini tidak secara utuh karena, Majelis Hakim menilai hak subjektif dan kepentingan hukum yang mengakibatkan kerugian ditafsirkan secara alternatif padahal secara konsep hal tersebut menjadi satu kesatuan atau Kumulatif yang semestinya dinilai secara bersamaan.

Ketiga, dalam amar pertimbangannya, Majelis Hakim menilai Masa kepengurusan Para Penggugat telah berakhir tertanggal 16 Maret 2022 sebagaimana SK Pengurus Periode 2021-2022. Hal tersebut yang menjadi janggal karena dalam fakta persidangan sejak dibekukan tertanggal 17 Maret 2022, Pengurus LPM Lintas belum sama sekali melakukan Musyawarah sebagaimana dalam AD/RT sehingga pijakan Majelis Hakim dalam hal ini tidak ada.

Keempat, dalam amar pertimbangan menyebutkan pula, tidak adanya hubungan hukum maka tidak ada pula kerugian yang diderita. Majelis Hakim menilai permasalahan ini sepotong-sepotong karena sebelum gugatan diajukan ke Pengadilan para penggugat beserta rekannya telah mengalami kerugian.

“Seperti tidak dapat lagi menjalankan kegiatan jurnalistik, adanya pemberhentian studi, adanya pelaporan polisi ke Polda, dan penahanan Ijazah. Semuanya telah ada di fakta persidangan,” tutur Ahmad.

Lintas menjadi wadah belajar mahasiswa di IAIN Ambon. Tempat pengembangan skill mahasiswa di berbagai bidang, tulis-menulis, desain grafis, videografi, serta fotografi. Bidang-bidang itu selaras dengan Jurusan Jurnalistik Islam di Fakultas Ushuluddin dan Dakwah.

Maka, menon-aktifkan Lintas bukan saja meniadakan sebuah organisasi intra-kampus, melainkan upaya membunuh kreativitas mahasiswa dalam pengembangan ilmu pengetahuan dan pengembangan potensi mahasiswa. “Langkah membekukan Lintas merupakan wujud dari tindakan yang tidak manusiawi, sebab ada hak belajar yang turut terampas di sana,” kata Pemimpin Redaksi Lintas Yolanda Agne.

Pemberitaan pelecehan seksual di majalah Lintas edisi “IAIN Ambon Rawan Pelecehan”, yang diterbitkan pada 14 Maret 2022 adalah karya jurnalistik. Hasil penilaian Dewan Pers atas majalah tersebut menyimpulkan bahwa, tak ada pelanggaran kode etik pada artikel yang terhimpun dalam majalah Lintas edisi ke-II tersebut. Namun, pihak rektorat gegabah menilai isi majalah ini sebagai upaya mempermalukan nama institut.

Dengan spekulasi ini, pihak kampus melaporkan sembilan anggota redaksi di Kepolisian Daerah Maluku dengan tuduhan pencemaran nama. Kriminalisasi awak Lintas menjadi preseden buruk bagi institusi pendidikan. “Tak hanya itu, kampus juga menghentikan studi awak Lintas dan menahan ijazah dua alumni lainnya,” kata dia. Menurut Yolanda, fakta ini membuktikan IAIN Ambon masih melestarikan budaya Orde Baru di tengah kampus. “Siapa pun yang melontar kritik diseret ke polisi, hak pendidikannya diamputasi.”

Dengan rentetan peristiwa dari pemberitaan pelecehan seksual itu, kata Yolanda, seolah-olah perundungan seksual yang diduga dilakukan dosen, pegawai, alumni, mahasiswa ini hal biasa, tapi membongkar kejahatan itu sebuah kesalahan. Yolanda menambahkan, hal ini menunjukkan kejahatan kekerasan seksual memang dipelihara di dalam kampus.

Tindakan represif terhadap mahasiswa bukan saja menimpa anggota pers kampus itu. Sebelumnya, pihak kampus juga memberhentikan sementara seorang mahasiswa karena membuat pameran karya seni yang mengangkat isu kekerasan seksual di kampus. Ia diskor lantaran dianggap memamerkan gambar bernuansa porno.

Selanjutnya, para penggugat menyesali keputusan majelis hakim, yang menolak gugatan empat anggota pers mahasiswa ini atas surat pembekuan Lintas yang diteken Rektor IAIN Ambon Zainal Abidin Rahawarin. Keputusan majelis hakim jelas mengabaikan rentetan peristiwa dan fakta setelah surat pembredelan itu terbit. Maka, langkah banding yang akan ditempuh kali ini menjadi proses dalam mencari sebuah keputusan hukum yang adil dan bijaksana.

Menurut Ahmad, dari beberapa dasar pengajuan memori banding, dinilai bahwa putusan yang diucapkan pada tanggal 28 November 2022, bersifat ultra petita atau sesuatu hal yang tidak dituntut, namun dikabulkan. “Sehingga kami berharap pada Pengadilan Tinggi dapat memberikan putusan yang seadil-adilnya dengan melihat konteks permasalahan secara utuh,” ucap Ahmad.

Narahubung:
0821-4688-8873 (LBH Pers)

Kategori
Diskusi Esai

Hari Anti-Korupsi Sedunia: Refleksi dan Situasi Pemberantasan Korupsi di Indonesia Pasca-Revisi UU KPK

Korupsi, satu kata yang sering didengar oleh masyarakat dan satu kata yang sering dilakukan oleh hampir sebagian besar penyelenggara negara. Dalam seminggu, mustahil rasanya bagi masyarakat untuk tidak mendengar atau menonton pemberitaan mengenai isu-isu yang menyangkut korupsi. Dan, dalam pemberitaan itu selalu membuat masyarakat marah, frustrasi, dan kecewa, tanpa tahu harus berbuat dan mengambil tindakan apa yang benar-benar dapat mengubah kekacauan itu semua.

Semakin hari semakin mengkhawatirkan kondisi pemberantasan di Indonesia. Selain itu, orang-orang yang melakukan tindakan korupsi atau biasa disebut sebagai koruptor masih cukup banyak yang mendapatkan hak-hak istimewa tertentu. Lembaga yang menjadi harapan publik, yakni Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terus dilemahkan dari satu upaya ke upaya lainnya. Sementara itu, orang-orang atau pegawai KPK yang memiliki integritas dan track record yang baik juga disingkirkan dengan tes yang menggunakan dalih kebangsaan.

Tes Wawasan Kebangsaan (TWK) tersebut merupakan salah satu rangkaian upaya yang sistematis untuk memperlemah KPK. Pelaksanaan TWK terjadi tak lain dan tak bukan dikarenakan adanya pasal dalam UU KPK pasca-revisi. Dalam UU itu disebutkan bahwa pegawai KPK merupakan aparatur sipil negara sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-undangan mengenai aparatur sipil negara.

Aturan itu merupakan satu dari sejumlah pasal yang bermasalah dan melemahkan KPK. Padahal, KPK telah memiliki mekanisme perekrutan pegawai tersendiri sebelum revisi itu terjadi. Pada saat itu, tahun 2019, revisi UU KPK mendapatkan banyak penolakan dari publik. Ada yang menolak dan bersuara melalui media sosial dan ada pula yang menolak dengan melakukan demonstrasi. Terlepas dari apapun caranya, satu hal yang pasti itu semua sebagai bagian dari bentuk kepedulian publik terhadap KPK yang telah menjadi harapan masyarakat dalam memberantas korupsi.

Namun, protes-protes yang dilakukan oleh masyarakat seakan sia-sia dan tak pernah didengarkan oleh orang-orang yang terhormat tersebut. Protes publik dianggap seperti angin lalu saja. Lalu, bagaimana kinerja KPK setelah adanya revisi UU KPK? Apakah kelincahan KPK masih sama atau bahkan jauh lebih gesit dibandingkan sebelumnya? Pertanyaan itu pasti muncul dalam benak publik.

Wajah Baru KPK Pasca-revisi

Revisi UU KPK telah membawa banyak perubahan atau perbedaan bagi KPK sendiri. Pasca-revisi, kinerja KPK terus disoroti oleh publik luas. Pada saat terjadi polemik di publik, para politisi selalu membuat pernyataan bahwa tujuan dari revisi UU KPK adalah untuk memperkuat dan mengoptimalkan KPK dalam memberantas korupsi.

Namun, itu semua hanyalah bualan belaka. Hal ini bisa kita lihat dari statistik KPK dalam melakukan Operasi Tangkap Tangan (OTT) atau seberapa banyak kasus yang berhasil ditangani oleh KPK.  Misalnya, di tahun 2021 ditargetkan dapat mengusut 120 kasus, tetapi KPK hanya menangani 32 perkara. Potensi kerugian negara pada kasus-kasus korupsi itu mencapai Rp596 miliar. Jumlah OTT yang dilakukan oleh KPK juga menurun dibandingkan sebelumnya. Sepanjang tahun 2020-2021, KPK hanya melakukan tujuh OTT. Angka itu turun dari 21 dan 30 OTT dibandingkan dua tahun sebelumnya.

Merosotnya kinerja KPK berdampak pada kepercayaan masyarakat terhadap lembaga antikorupsi tersebut. Temuan lembaga survei Indikator Publik Indonesia, kepercayaan masyarakat terhadap KPK cenderung menurun. Direktur Eksekutif Indikator Politik Indonesia, Burhannudin Muhtadi, menilai bahwa menurunnya kepercayaan publik terhadap KPK berkaitan dengan sejumlah isu, salah satunya revisi UU KPK.

Di samping itu, faktor yang membuat kepercayaan publik menurun adalah ulah dari pimpinan KPK itu sendiri. Terdapat permasalahan-permasalahan yang terjadi dalam internal KPK, seperti pelanggaran etik. Sejumlah pelanggaran etik yang pernah terjadi dilakukan oleh Wakil Ketua KPK, Lili Pantauli. Saat itu, Lili pernah berkomunikasi dengan calon tersangka kasus suap lelang jabatan di Tanjungbalai. Selain itu, Lili juga pernah diadukan ke Dewan Pengawas karena diduga menerima tiket menonton MotoGp Mandalika.

Pelanggaran etik juga dilakukan oleh ketua KPK langsung, Firli Bahuri. Beberapa waktu lalu, Firli Bahuri menghadiri acara Hari Anti-Korupsi Sedunia yang juga dihadiri oleh terduga tersangka korupsi. Sebelumnya, Firli juga bertemu dengan Gubernur Papua yang juga berstatus sebagai tersangka kasus korupsi. Fenomena ini memperjelas apa yang dilakukan oleh pimpinan KPK mencoreng dan merusak nama sekaligus marwah KPK sebagai lembaga anti-korupsi.

Padahal, terdapat aturan yang menyatakan bahwa pimpinan KPK dilarang melakukan hubungan, baik secara langsung atau tidak langsung dengan tersangka kasus korupsi. Ini tentu suatu ironi yang dipertunjukkan oleh pimpinan KPK yang gagal memberikan keteladanan dan contoh bagi para bawahannya. Pimpinan KPK harus berbenah secepat mungkin terhadap permasalahan yang ada di dalam tubuh KPK sendiri. Jika tidak segera berbenah dan membiarkan “penyakit” tersebut, tentu akan semakin merusak wibawa KPK. Dan, apa yang ditunjukkan oleh KPK dari hari ke hari semakin mengecewakan publik. Dari permasalahan internal, seperti pelanggaran etik.  Dan permasalahan eksternal, seperti penanganan kasus-kasus strategis, yaitu penangkapan Harun Masiku yang sampai saat ini menjadi buronan karena terkait kasus suap terhadap komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU), Wahyu Setiawan. Semua permasalahan yang terjadi pada KPK tak bisa dilepaskan dari adanya revisi UU KPK yang dalam prosesnya juga banyak permasalahan.

Melawan Korupsi Sebatas Jargon Gagah-Gagahan

Tujuan dari lahirnya KPK sebenarnya untuk menjawab tantangan atau persoalan dalam pemberantasan korupsi di Indonesia yang gagal ditangani secara optimal oleh kepolisian dan kejaksaan. Selain itu, pemberantasan korupsi merupakan cita-cita reformasi yang sampai saat ini belum terwujud. Bahkan, dengan adanya revisi UU KPK menjauhkan kita dari semangat dan cita-cita reformasi itu. Dengan dikebirinya kekuatan KPK, setidaknya ada dua pihak yang bertanggung jawab terhadap kerusakan KPK, yakni presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Republik Indonesia.

Dalam masa kampanye, Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengumbar janji untuk memperkuat KPK. Bahkan, dalam beberapa kesempatan di depan media, Presiden Jokowi selalu membuat pernyataan yang begitu meyakinkan, yakni akan memperkuat KPK dengan menambah 1000 penyidik. Namun, janji-janji manis tersebut hanyalah sekadar lip service. Ketika gelombang protes membesar, Presiden Jokowi akan mempertimbangkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang alias Perppu, tetapi janji itu tidak pernah dilakukan.

Selain presiden, pihak lain yang bertanggung jawab adalah DPR. Lembaga negara yang konon diisi oleh orang-orang terbaik ini tentu merasa berkepentingan dan berperan penting dalam revisi UU KPK. Sebab, selama ini KPK telah menjadi momok yang menakutkan bagi mereka. Dengan melakukan revisi UU KPK, tentu itu menjadi kemenangan dan kebahagiaan yang tiada duanya.

Sejak KPK berdiri pada tahun 2003 hingga 2019, KPK telah menangani 1.064 perkara dengan tersangka dari berbagai macam latar belakang. Dan, sebagian besar dari mereka berasal dari kalangan politisi, anggota DPR/DPRD, hingga pimpinan partai politik. Jadi, berdasarkan data tersebut tentu tidak mengaggetkan lagi mengapa DPR dan pemerintah terus menggencarkan revisi UU KPK.

Selain banyak pasal yang melemahkan KPK, dalam proses legislasinya UU KPK dilakuakn secara ugal-ugalan dan tergesa-gesa. Partsipasi mandek dan aspirasi dari masyarakat tak pernah didengar. Semua dibuat berdasarkan keinginan dan kepentingan kelompok tertentu, sedangkan kepentingan publik dikesampingkan. Jika suatu undang-undang lebih sarat dengan kepentingan politik, akan muncul potensi atau kecenderungan bahwa berlakunya undang-undang itu hanya memberikan manfaat kepada pihak-pihak tertentu.

Melawan atau memberantas korupsi dibutuhkan komitmen yang kuat dan serius, khususnya bagi pemangku kebijakan. Memberantas korupsi tidak dapat diatasi dengan narasi gagah-gagahan yang sifatnya sloganistik dan tanpa ada langkah konkret. Biasanya, hal semacam ini dapat kita temui di tahun-tahun politik menjelang pemilu untuk mencari muka. Korupsi adalah masalah serius yang dampaknya dapat dirasakan langsung oleh masyarakat luas, terlebih-lebih masyarakat kelas bawah. Oleh karena itu, sudah seharusnya diatasi pula dengan cara-cara yang serius. Namun, di negeri ini tampaknya korupsi memang menjadi masalah serius, tetapi sengaja dibiarkan. Ironi.

DAFTAR PUSTAKA

Buku:

  • Arifin Mochtar, Zainal. 2022. Politik Hukum Pembentukan Undang-Undang. Yogyakarta. EA Books.

Internet :

Tentang penulis:

Arman Ramadhan (22) merupakan mahasiswa aktif di Institut Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (IISIP) Jakarta. Jika ingin berkorespondensi dengan Arman, dia bisa dihubungi melalui Instagram @armanrmdhan3.

Editor: Adil Al Hasan/Redaksi PPMI


Kategori
Siaran Pers

Majelis Hakim Tidak Progresif dalam Memahami Legal Standing Penggugat dalam Gugatan Pembekuan Lembaga Pers Mahasiswa Lintas

Pengadilan Tata Usaha Negara atau PTUN Ambon memaparkan putusan Nomor 23/G/2022/PTUN.ABN yang menolak permohonan penundaan pelaksanaan objek sengketa yang dimohonkan para penggugat, terkait Keputusan Rektor IAIN Ambon Nomor 92 Tahun 2022 tentang Pembekuan Lembaga Pers Mahasiswa Lintas IAIN Ambon tertanggal 17 Maret 2022.

Adapun yang menjadi pertimbangan hukum dalam putusan tersebut, para penggugat tidak memiliki kedudukan hukum (legal standing) untuk mengajukan gugatan. Majelis hakim mendapatkan fakta hukum bahwa masa kepengurusan LPM Lintas adalah satu tahun sebagaimana terdapat dalam bukti Anggaran Dasar Anggaran Rumah Tangga atau AD/ART LPM Lintas. Sehingga hakim berkesimpulan, masa kepengurusan para penggugat sebagai pengurus LPM Lintas IAIN Ambon berakhir pada 16 Maret 2022.

Hal tersebut bertentangan dengan fakta hukum dan bukti-bukti yang diajukan para pihak. Di mana SK yang dimaksud tak ada satu keterangan tanggal dan bulan dalam konsiderans mengenai masa kepengurusan. Hakim hanya berkesimpulan SK tersebut merujuk pada tanggal pengesahan, sehingga menurut kuasa hukum para penggugat, hakim tidak melihat secara global pemasalahan yang terjadi.

Hakim juga menilai bahwa berakhirnya masa kepengurusan para penggugat pada 16 Maret 2022, maka tidak ada lagi hubungan hukum atau hubungan kausal langsung antara penggugat dengan LPM Lintas.

“Menimbang bahwa, berdasarkan fakta-fakta hukum dan doktrin sebagaimana yang telah diuraikan dalam pertimbangan hukum di atas, majelis hakim menilai bahwa dengan berakhirnya masa kepengurusan para penggugat pada tanggal 16 Maret 2022, maka tidak ada lagi hubungan hukum atau hubungan kausal langsung antara para penggugat dengan LPM Lintas IAIN Ambon,” bunyi putusan yang diterbitkan pada Senin siang, 28 November 2022.

Alasan penggugat tidak memiliki hubungan hukum dengan LPM Lintas IAIN Ambon, maka majelis hakim menilai tidak ada kerugian yang diderita para penggugat atas terbitnya SK pembekuan yang menjadi objek sengketa. Kuasa hukum LPM Lintas menilai, putusan majelis hakim tidak mencermati isi SK yang menjadi objek gugatan, dan majelis hakim menilai isi subtansi tersebut secara tidak langsung dengan mengatakan “tidak ada kerugian yang diderita”.

Dalam bagian menimbang pada SK Pembekuan, “Bahwa untuk menerbitkan peran dan fungsi kepengurusan Lembaga Pers Mahasiswa Lintas IAIN Ambon serta telah berakhirnya masa kepengurusan periode Tahun 2021/2022, perlu dibekukan”. Hal ini sebagaimana tertuang dalam Pasal 1 angka 9 UU PTUN, yang menyebutkan:

“Keputusan Tata Usaha Negara adalah suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh badan atau pejabat tata usaha negara yang berisi tindakan hukum tata usaha negara yang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang bersifat konkret, individual, dan final, yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata”. Padahal, dalam bagian menimbang SK, tidak menyebutkan secara tertulis masa kepengurusan berakhir di tanggal 16 Maret 2022.

Majelis hakim juga tidak membaca AD/ART LPM Lintas secara keseluruhan mengenai masa kepengurusan LPM Lintas. Masa kepengurusan LPM Lintas ialah satu tahun, tetapi hakim tidak membaca di bagian pasal mengenai permusyawaratan dalam AD/ART yang menyebutkan bahwa pembubaran LPM Lintas hanya dilakukan melalui Musyawarah Akbar.

Begitu juga masa kepengurusan tidak secara otomatis terhitung berakhir satu tahun, sesuai tanggal diterbitkan surat keputusan masa kepengurusan, tapi harus melalui Musyawarah Akbar, yang berakhir dengan terpilihnya pengurus baru.

Dalam musyawarah tersebut, dipilih pengurus baru dan anggota pengurus, setelah itu disahkan melalui surat keputusan. Sehingga pergantian pengurus tidak ditentukan pihak kampus, melainkan melalui musyawarah di dalam internal LPM Lintas. Musyawarah memilih pengurus baru sudah diatur dalam AD ART.

Jika kampus menunjuk pengurus baru secara sepihak dan menjadi dasar pembekuan Lintas, jelas SK itu bermasalah. Di situlah lemahnya SK Rektor Nomor 92 yang menjadi objek gugatan. Oleh karena itu, alasan Lintas harus ditutup karena masa kepengurusan telah lewat satu hari tidak bisa dibenarkan. Kelemahan isi surat pembekuan ini tidak dilihat majelis hakim secara cermat sebelum memutuskan menolak gugatan para penggugat.

Selanjutnya, jika SK itu cacat karena menabrak AD/ART pers mahasiswa Lintas, bagaimana mungkin majelis hakim mengabulkan eksepsi tergugat yang mengatakan para penggugat tidak memiliki legal standing sebagai penggugat, sehingga permohonan penundaan SK pembekuan LPM Lintas ditolak.

SK yang diteken Rektor IAIN Ambon, Zainal Abidin Rahawarin, ini juga berdampak kepada sembilan anggota Lintas dilaporkan ke Kepolisian Daerah Maluku dengan tuduhan pencemaran nama baik melalui tangan Gilman Pary, Fungsional Analisis Kepegawaian Ahli Madya IAIN Ambon pada 18 Maret 2022. Pada 11 dan 15 Mei lalu, sembilan pegiat Lintas menerima surat panggilan klarifikasi dari Polda Maluku.

Efek lain dari SK Rektor Nomor 92 yang diterbitkan setelah tiga hari majalah Lintas edisi “IAIN Ambon Rawan Pelecehan” beredar, menjadi legitimasi bagi pejabat kampus terus melakukan upaya intimidasi dan ancaman terhadap studi Pemimpin Redaksi Lintas serta penahanan ijazah alumni Lintas.

Maka objek sengketa yang diperkarakan di PTUN Ambon bukan saja bertujuan mengembalikan Lintas sebagai tempat belajar dan mengasah kreativitas, melainkan upaya memperjuangkan nasib mahasiswa yang studinya dicekal, serta hak-hak korban kekerasan seksual yang suaranya tidak pernah didengar di IAIN Ambon.

Narahubung:
0821-4688-8873 (LBH Pers

Kategori
Riset

Catatan Kasus Represi terhadap Pers Mahasiswa 2020-2021

Kategori
Siaran Pers

Saksi Tergugat yang Dihadirkan Tak Pernah Membaca Karya Jurnalistik Lintas yang Dipermasalahkan Oleh Kampus

Sidang kasus gugatan SK Rektor No 92 tentang pembekuan LPM Lintas kembali digelar pada Senin, 24 Oktober 2022 di Pengadian Tata Usaha Negara (PTUN) Ambon. Agenda sidang adalah mendengar keterangan saksi fakta dan ahli dari pihak tergugat. Pihak tergugat mendatangkan 3 saksi fakta dan satu ahli Hukum Administrasi Negara (HAN) Universitas Muslim Indonesia yaitu Fahri Bachmid.

Tiga saksi fakta yang dihadirkan tergugat merupakan wakil rektor III, M Faqih Seknun, Mochtar Touwe dan Ilham Ohoirenan.
Dua nama tersebut masing-masing tercatat sebagai pembina dan anggota LPM baru yang dibentuk Rektor IAIN Ambon paska LPM Lintas dibekukan.

Para saksi tersebut mengaku dalam fakta persidangan tidak pernah membaca malajah lintas edisi II. Padahal terbitnya Surat Keputusan (SK) Rektor No 92 tentang pembekuan LPM Lintas disebabkan oleh Majalah edisi II.

“Hal ini menjadi tanda tanya apa urgensi diterbitkan SK Rektor No 92 tentang pembekuan LPM Lintas tersebut,” kata Kuasa Hukum LPM Lintas,  Ahmad Fathanah.

Wakil rektor III, M Faqih Seknun mengaku ada dosen yang dirugikan karena terbitnya majalah lintas, ketika hal tersebut di konfirmasi siapa dosen tersebut, saksi tidak mau menjawab. Dalam kesaksiannya, M Fqkih Seknun mengaku telah menjadi dosen hampir 25 tahun di IAIN Ambon hingga kini belum memiliki dewan penyantun sebagaimana telah diatur dalam Statuta IAIN Ambon. Dia juga tidak bisa menjelaskan dalam SK tersebut dapat menjadi acuan berakhirnya masa kepengurusan.

Hal itu bertentangan dengan pendapat ahli Hukum Administrasi Negara bahwa dalam suatu Surat Keputusan  mesti memenuhi unsur Final, Kongkrit dan Individual, dimana Ahli menjelaskan dalam suatu SK mesti jelas dan tegas kapan berakhir masa kepengurusan, misalnya ada tanggal, bulan dan tahun yang ditentukan. Jika tidak ada, maka itu tidak bersifat final, kongkrit dan individual.  

“Ketika Kuasa Hukum Penggugat mengkonfirmasi ke saksi pertama dia tidak bisa menjelaskan ada tanggal atau bulan masa kepengurusan berakhir di bagian konsideran SK yang dianggap telah berkahir. Hal itu pun ditegaskan oleh ahli yang dihadirkan oeh tergugat  bahwa dalam suatu SK itu harus jelas tanggal waktu untuk masa kepengurusan,” ujar Ahmad Fathanah.

Sedangkan saksi ke dua, Mochtar Touwe, Dosen Jurnalistik IAIN Ambon, sekaligus merupakan Ketua Komisi Imformasi Publik (KIP) dalam keterangannya tidak spesifik mengetahui persitiwa pembekuan.  

Sebelumnya, setelah menerbitkan majalah dengan judul “IAIN Ambon Rawan Pelecehan”  LPM Lintas dibekukan oleh pihak kampus karena dianggap telah melanggar visi misi IAIN Ambon. Selain itu kampus juga beralasan kepengurusan yang dipimpin oleh Sofyan Hatapayo telah berakhir dan harus digantikan dengan anggota baru.

Dalam sidang yang dipimpin I Gede Eka Putra Suartana ini, pihak tergugat mengaku telah mengaktifkan kembali LPM melalui SK 108 Tentang Penetapan Pengurus Lembaga Pers Mahasiswa Lintas Institut Agama Islam Negeri Ambon Periode Tahun 2022/2023.

“Saya tidak tahu karena pada saat itu nama saya telah ada dalam Sk,” kata Ilham Ohoirenan saat ditanya kuasa hukum penggugat di persidangan.

Ketika kuasa hukum penggugat mengkonfirmasi terkait apakah itu karya jurnalistik?, saksi mengaku tidak tahu apa itu karya jurnalistik. Bahkan, dirinya telah melakukan kerja-kerja jurnalistik namun tidak pernah membaca berita yang dia tulis sendiri. 

Dia menambahkan, namanya masuk menjadi anggota LPM tidak melalui musyawarah besar. Hal ini bertentangan dengan Anggaran Dasar Rumah Tangga (AD ART) Lintas yang mana setiap pergantian kepengurusan harus melalui musyawarah besar.

“Dari rentan waktu April hingga saat ini belum ada berita yang bisa dijadikan bukti di persidangan bahwa LPM baru itu telah melakukan kerja-kerja jurnalistik,” kata Pemimpin Redaksi LPM Lintas, Yolanda Agne.

Narahubung
Ahmad fathanah haris 085341168026

Kategori
Siaran Pers

Koalisi Pembela LPM Lintas Laporkan Rektor IAIN Ambon dan DIRJEN Pendis ke OMBUDSMAN RI Atas Dugaan Maladministrasi

KOALISI Pembela Lintas melaporkan Rektor IAIN Ambon Zainal Abidin Rahawarin dan Direktorat Jenderal Pendidikan Islam Kementerian Agama ke Ombudsman RI pada Selasa, 9 Agustus 2022. Laporan itu dilakukan akibat dugaan maladministrasi dalam penanganan kasus kekerasan seksual dan pembekuan pers mahasiswa Lintas di Insitut Agama Islam Negeri Ambon.

Koalisi menilai IAIN Ambon melakukan maladministrasi yakni: 1) melampaui kewenangan dengan mengkriminalisasi pengurus LPM Lintas; 2) melakukan pengabaian kewajiban hukum dengan membiarkan dan melindungi terduga pelaku penganiayaan terhadap pengurus LPM Lintas; 3) melakukan perbuatan melawan hukum dengan membekukan aktivitas LPM Lintas; 4) melakukan perbuatan melawan hukum dengan ancaman akademik terhadap pengurus LPM Lintas.

Selain iru, Koalisi menilai IAIN Ambon melakukan pengabaian terhadap dugaan kasus kekerasan seksual di lingkungan kampus IAIN Ambon atas temuan yang dilakukan LPM Lintas.

Pengabaian Rektor IAIN Ambon atas dugaan kasus kekerasan seksual terjadi di lingkungan kampus IAIN Ambon menyebabkan tidak adanya kepastian penyelesaian. Sehingga korban kekerasan seksual tidak mendapatkan pemulihan atau rasa aman beraktivitas di lingkungan kampus.

Sementara, laporan terhadap Direktorat Jenderal Pendidikan IsIam Kementerian Agama RI karena telah lalai dan mengabaikan kewajiban hukum dalam penyelenggaraan pelayanan publik yang dilakukan oleh Terlapor I yang menimbulkan kerugian materiil dan atau imateril bagi Pengurus LPM Lintas.

“Serangan terhadap LPM Lintas merupakan bentuk kesewenang-wenangan dan melanggar asas-asas pemerintahan yang baik serta tindakan yang tidak mencerminkan slogan Kampus Merdeka,” kata Direktur Eksekutif Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers Ade Wahyudin.

Sebelumnya, Senin, 14 Maret lalu—majalah Lintas edisi “IAIN Ambon Rawan Pelecehan” terbit. Lintas menemukan 32 orang diduga korban pelecehan seksual di Kampus Hijau—sebutan IAIN Ambon. Korban terdiri dari 25 perempuan dan 7 laki-laki. Sementara terduga pelaku perundungan seksual 14 orang. Di antaranya 8 dosen, 3 pegawai, 2 mahasiswa, dan 1 alumnus. Liputan pelecehan ini ditelusuri sejak 2017 dengan kasus terjadi sejak 2015-2021.

IAIN Ambon melalui Rektor Zainal Abidin Rahawarin membekukan Lintas setelah tiga hari menerbitkan liputan khusus terkait kekerasan seksual. Pembekuan Lintas tercantum dalam SK Rektor Nomor 92 Tahun 2022, dikeluarkan pada Kamis, 17 Maret lalu. Alasan pembekuan Lintas: pertama, berakhirnya masa kepengurusan anggota Lintas periode 2021-2022. Kedua, keberadaan Lintas tidak sejalan dengan visi dan misi IAIN Ambon.

Sehari sebelum surat sensor dilayangkan, pengurus Lintas diminta mengikuti rapat bersama petinggi kampus di Ruang Senat Institut, gedung Rektorat lantai tiga, Rabu, 16 Maret. Rapat itu dipimpin Kepala Biro Administrasi Umum Akademik dan Kemahasiswaan (AUAK) Jamaludin Bugis. Petinggi yang lain, Ketua Senat Institut Abdullah Latuapo, Dekan Fakultas Ushuluddin dan Dakwah (Uswah) Yamin Rumra, Dekan Fakultas Syariah dan Ekonomi Islam Anang Kabalmay, serta sejumlah dosen dan pegawai.

Rapat yang dipimpin Jamaludin Bugis itu bertujuam meminta Lintas memberikan data korban kekerasan seksual untuk membuktikan bahwa berita yang diturunkan Lintas bukanlah berita bohong. Jamaludin mendesak Pemimpin Redaksi Lintas Yolanda Agne menyerahkan data itu di dalam rapat tersebut. Namun, Yolanda, penjabat Direktur Utama Lintas M. Sofyan Hatapayo, dan Redaktur Pelaksana Majalah Lintas Taufik Rumadaul, menolak.

Alasannya, membuka nama korban pelecehan seksual merupakan pelanggaran Kode Etik Jurnalistik, yang mengatur soal kewajiban wartawan melindungi identitas korban kekerasan seksual. Yolanda menawarkan, jika kampus mau serius mengusut kasus kejahatan seksual, maka harus membuat tim investigasi atau satuan tugas penanganan kekerasan seksual.

Anggota tim ini harus melibatkan mahasiswa, dosen, pegawai, dan ahli dalam penanganan korban kekerasan seksual. Artinya, proses penanganan ini harus berdasarkan Surat Keputusan Direktur Jenderal Pendidikan Islam Kementerian Agama Nomor 5494 Tahun 2019 tentang Pedoman Pencegahan dan Penanggulangan Kekerasan Seksual pada Perguruan Tinggi Keagamaan Islam.

Atau membentuk satuan tugas seperti diatur dalam Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Tekonologi Nomor 30 Tahun 2021 tentang Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi. Sehinggah kampus bekerja sesuai regulasi yang dikeluarkan dua kementerian tersebut dalam penanganan kekerasan seksual.

Tim itu bertujuan menghindari konflik kepentingan di dalam, yang berdampak pada mandeknya pengusutan kasus atau penyelesaian problem serius di lembaga pendidikan itu. Namun, hingga kasus ini berbuntut panjang, tidak ada pembentukan satgas tersebut di kampus. Menurut Lintas, ini upaya melindungi terduga pelaku pelecehan di kampus. Padahal, IAIN Ambon semestinya membuat tim itu seperti perintah dua kementerian tersebut.

Koalisi yang terdiri dari dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers, Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia, Kaukus Indonesia untuk Kebebasan Akademik (KIKA), AJI Ambon, Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI) Pengda-Maluku, Persatuan Pers Mahasiswa Indonesia (PPMI), mendesak Ombudsman RI Pusat untuk:

  1. Segera memeriksa Rektor IAIN Ambon dan Dirjen Pendis.
  2. Menyatakan terdapat maladministrasi terhadap pengabaian dugaan kasus kekerasan seksual; pembekuan LPM Lintas IAIN Ambon; upaya kriminalisasi tuduhan pencemaran nama baik ke kepolisian; pembatasan akademik anggota LPM Lintas; pembiaran tindak kekerasan terhadap pengurus LPM Lintas IAIN Ambon.
  3. Dirjen Pendis mengabaikan pengaduan dan tidak menjalankan mandatnya menyelesaikan permasalahan hukum kepada rektor IAIN Ambonyang terjadi antara Para Pengadu dengan Terlapor I.
  4. Memberikan Rekomendasi membatalkan pembekuan LPM Lintas IAIN Ambon.
  5. Memberikan rekomendasi kepada Dirjen Pendis membuka forum audiensi terkait penanganan dugaan kekerasan seksual dan pembekuan LPM Lintas.

Menormalisasi represi, secara tidak langsung menormalisasi pelanggaran hak asasi manusia. Dan ini tidak boleh!

Narahubung:

  1. LBH Pers Jakarta (082146888873)
  2. AJI Indonesia (08111137820)
Kategori
Berita

LPM Lintas IAIN Ambon Meraih Penghargaan Pers Mahasiswa dari Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia

Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Lintas IAIN Ambon meraih Penghargaan Pers Mahasiswa dari Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia. Penghargaan tersebut diberikan pada Malam Resepsi Hari Ulang Tahun (HUT) ke-28 AJI yang berlangsung secara virtual, Minggu malam, 7 Agustus 2022.

Penghargaan Pers Mahasiswa merupakan penghargaan khusus kepada pers mahasiswa yang mengalami berbagai bentuk tekanan atau represi karena aktivitas jurnalistik. Penghargaan ini menjadi pertama yang diberikan oleh AJI Indonesia. Sebelumnya, saat hari ulang tahun AJI hanya mengadakan kompetisi karya jurnalistik bagi pers mahasiswa.

Dalam perjalan kasus LPM Lintas, mereka menerima berbagai tekanan setelah mengungkap kekerasan seksual di lingkungan kampus. Kemudian, sekretariat mereka dirusak, sejumlah pengurusnya dianiaya, dan ada upaya kriminalisasi sembilan awak ke Polda Maluku karena dituduh melakukan pencemaran nama baik.

Saat ini, LPM Lintas tengah berjuang. Mereka menggugat pemberedelan oleh rektorat kampus ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Ambon dan mengadukan rektor IAIN Ambon sekaligus Ditjen Pendis ke Ombudsman Republik Indonesia.

Menurut perwakilan Dewan Juri, Erick Tanjung, upaya LPM Lintas menyuarakan kebenaran melalui aktivitas jurnalistik layak diapresiasi. Melalui kerja-kerja jurnalistiknya, LPM Lintas telah menjalankan fungsi pers yaitu kontrol sosial. Kemudian, perlawanan mereka atas pembreidelan merupakan manifestasi dalam menjaga kebebasan pers yang sesuai dengan nilai-nilai perjuangan AJI.

“Bagi AJI, pers mahasiswa punya peran penting dalam memperjuangkan dan mempertahankan kebebasan pers serta kebebasan berekspresi. Keberadaan mereka dapat memperkuat demokrasi yang bisa mendorong pemenuhan kepentingan publik,” kata Erick saat menyampaikan pengumuman pemenang.

Dalam penghargaan pers mahasiswa ini, AJI menerima usulan 27 kandidat dari masyarakat. Pengusul terdiri dari individu dan organisasi. Setelah diseleksi dengan memerhatikan alasan pengusulan dan pemantauan rekam jejak, terdapat lima kandidat yang patut dipertimbangkan untuk menerima penghargaan. Kelima nomine tersebut, yaitu LPM Limas FISIP Universitas Sriwijaya, LPM Lintas IAIN Ambon, LPM Poros Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta, BOPM Wacana, dan BPPM Balairung Universitas Gadjah Mada (UGM). Pelajaran Apa yang Bisa Kita Ambil?

Menjadi pers mahasiswa kritis memang memiliki risiko besar, tetapi kita tidak boleh membiarkan ketidakadilan terjadi di depan mata kita. Kalau kampus atau negara bisa membuat pers mahasiswa tidak kritis, artinya represi itu benar-benar terjadi sejak dari pikiran.

Represi dalam bentuk paradigmatik atau fisik, sekecil apa pun itu, tidak boleh dibiarkan. Menormalisasi represi, secara tidak langsung menormalisasi hak asasi manusia. Dan ini tidak boleh! Mari berjabat erat, bersolidaritas, dan lawan represi.

Kategori
Siaran Pers

Seruan Solidaritas Atas Upaya Kriminalisasi Sembilan Awak Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) IAIN Ambon

Kategori
Agenda

Broadcast Journalism: Teknik Menyampaikan Berita

Pers Mahasiswa saat ini dalam menyampaikan berita, selain menggunakan media tulisan, juga menggunakan video jurnalistik. Peran pembawa berita disini dirasa sangat penting.
Belakangan ini terdapat beberapa istilah mengenai pembawa berita, diantaranya news anchor. Menjadi seorang news anchor harus dapat menguasai teknis-teknis krusial dalam jurnalisme. Tidak hanya sekedar membacakan berita saja.
Untuk itu, perlu adanya pengenalan lebih dalam mengenai pembawa berita serta bagaimana teknis yang harus diperhatikan.

Oleh karena itu, Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia (PPMI) mengadakan bincang virtual, pada;
?Hari/tanggal : Jumat, 20 Mei 2022
?Waktu : 20.00 – 20.35 WIB
?Tempat : Virtual Meeting via Live Instagram PPMI

?Dengan pembicara:
Bram Herlambang (News Anchor CNN Indonesia)
Kirana A. Wardani (BP Litbang PPMI Nasional) – selaku moderator.

Salam Pers Mahasiswa ‼️

Kategori
Riset

Benarkah Minat Baca di Indonesia Rendah?

Data hasil survei @kabar_trenggalek bersama Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia (PPMI) dengan jumlah 125 responden menunjukkan bahwa 77,6% responden suka baca, 20,8% biasa saja, dan 1,6% tidak suka baca.

Hasil survei tersebut berbeda jauh dari data UNESCO yang menunjukkan bahwa minat baca masyarakat Indonesia hanya 0,001%. Dalam artian, dari 1000 orang Indonesia, hanya 1 orang yang rajin membaca.
Menurut Gol A Gong, Penulis sekaligus Duta Baca Indonesia, berdasarkan pengalamannya, minat baca masyarakat Indonesia sebenarnya cukup tinggi, namun kendala sulitnya akses buku dan distribusi buku yang tidak merata membuat literasi media Indonesia belum meningkat (tempo.co).

Data hasil survei juga menunjukkan bahwa responden lebih banyak mendapatkan buku bacaan mereka dari toko buku, yaitu 29,6% dari toko buku offline dan 28,8% dari toko buku online . Namun, meskipun menurut sebagian besar responden (69,6%) di daerah mereka sudah terdapat toko buku, beberapa dari mereka menyatakan bahwa lokasi toko buku jauh, tidak menarik, dan kurang lengkap.

“Saya harus menempuh perjalanan ke kota jika ingin membeli buku”
“Ada (toko buku) tapi biasanya sulit kita temui buku-buku yang kita cari”
“Ada (toko buku), tapi jumlahnya sedikit, lokasinya jauh dan kurang lengkap”

Masyarakat Indonesia terutama di luar Jawa, khususnya di wilayah Indonesia timur seperti Papua dan Maluku sulit mendapatkan buku, karena minimnya jumlah percetakan dan penerbitan buku berkualitas.

“Sementara membeli buku bermutu berat ongkos kirim, terkadang bahkan biaya kirim buku bisa dua kali lipat dari harga buku, sehingga perlu dukungan politik anggaran untuk meningkatkan minat baca di Indonesia.” – Gol A Gong
“Misalnya mendukung keberadaan usaha penerbitan buku, menyediakan dana untuk pengembangan perpustakaan dan taman baca masyarakat, bahkan jika perlu memberikan subsidi ongkos kirim pembelian buku.” – Gol A Gong

Jadi, bagaimana menurut kalian? Apakah kalian juga kesulitan akses buku di daerah kalian?