Kategori
Siaran Pers

Hentikan Upaya Kriminalisasi Aktivis Perempuan di Jombang

Press Release

Jombang, 28 Juni 2021 – Solidaritas Masyarakat sipil yang tergabung dalam Jaringan Advokasi Kasus Penganiayaan mendesak agar Polres Jombang menghentikan pemeriksaan terhadap Siamroatul Ayu Masruroh yang dilaporkan balik oleh orang-orang yang diduga sebagai pelaku penganiaayan dan perampasan, dengan dugaan perusakan terhadap barang dengan Nomor LP-B/46/V/RES.1.10/2021/RESKRIM/SPKT Polres Jombang tanggal 12 Mei 2021. Laporan ini sendiri terjadi setelah Ayu melaporkan dugaan tindak pidana penganiayaan dan perampasan yang terjadi pada tanggal 09 Mei 2021, dengan bukti lapor TBL-B/15/III/Res.1.6/2021/RESKRIM/SPKT yang diduga dilakukan oleh sejumlah orang yang diduga sebagai pengawal MSAT tersangka pelaku pelecehan seksual terhadap santriwati yang hingga hari ini berkas perkaranya masih mandek di Polda Jatim dan Kejaksaan Tinggi Jawa Timur. 

Dalam hal pemanggilan Siamroatul Ayu Masruroh yang rencana dilakukan oleh penyelidik Polres Jombang pada Senin, 28 Juni 2021 jelas merupakan upaya kriminalisasi terhadap korban. Fakta ini terlihat bahwa laporan penganiayaan dan perampasan terhadap korban hingga hari ini belum ada upaya pemanggilan terhadap orang-orang yang diduga sebagai pelaku, padahal semua saksi terhadap peristiwa tersebut telah diperiksa oleh penyelidik Polres Jombang. 

Selain hal tersebut, sejumlah saksi menyampaikkan bahwa dia beberapa kali didatangi oleh orang-orang yang diduga dari pihak pelaku dan meminta agar saksi memberikan keterangan palsu. Orang tersebut juga berupaya untuk memberikan amplop diduga berisi uang, selain itu ada juga saksi yang mengalami terror via pesan Whatsapp hingga 500 pesan. Sampai hari ini keluarga Siamroatul Ayu Masruroh mengalami intimidasi dalam bentuk pengepungan rumah bahkan mau mendobrak pintu rumah dan mengintai terus menerus aktifitas orang tua. 

Dalam hal ini kami dari Jaringan Advokasi Kasus Penganiayaan melihat peristiwa penganiayaan dan perampasan yang dialami Siamroatul Ayu Masruroh akibat dari lambanya proses hukum terhadap kasus pelecehan seksual yang terjadi 3 tahun silam. Hal ini terlihat dari ancaman yang disampaikan oleh para pelaku pada saat mendatangi Siamroatul Ayu Masruroh di tempat kejadian perkara. Perlu diketahui bahwa Siamroatul Ayu Masruroh merupakan korban sekaligus saksi dalam perkara kasus pelecehan seksual dengan Tersangka MSA, dan Siamroatul Ayu Masruroh merupakan saksi korban yang telindung di Lembaga Perlindungan Saksi Korban (LPSK). 

Bahwa berdasarkan ketentuan UU LPSK No. 31 Tahun 2014 atas perubahan UU No. 13 Tahun 2006 pasal 10 ayat (1) Saksi, Korban, Saksi Pelaku, dan/atau Pelapor tidak dapat dituntut secara hukum, baik pidana maupun perdata atas kesaksian dan/atau laporan yang akan, sedang, atau telah diberikannya, kecuali kesaksian atau laporan tersebut diberikan tidak dengan iktikad baik. Ayat (2) Dalam hal terdapat tuntutan hukum terhadap Saksi, Korban, Saksi Pelaku, dan/atau Pelapor atas kesaksian dan/atau laporan yang akan, sedang, atau telah diberikan, tuntutan hukum tersebut wajib ditunda hingga kasus yang ia laporkan atau ia berikan kesaksian telah diputus oleh pengadilan dan memperoleh kekuatan hukum tetap. 

Untuk itu kami atas nama Jaringan Advokasi Kasus Penganiayaan mendesak: 

  1. Polres Jombang segera menghentikan pemeriksaan terhadap Siamroatul Ayu Masruroh. 
  2. Kejaksaan Agung untuk mengevaluasi kinerja Kejaaksaan Tinggi Jawa Timur yang masih membolak-balik berkas perkara pelecehan seksual dengan Tersangka MSAT. 

#StopKriminalisasiKorban 
#KamiBersamaKorban 
#LawanKekerasanTerhadapPerempuan 
#SahkanRUUPenghapusanKekerasanSeksual 

Hormat kami, 
Jaringan Advokasi Kasus Penganiayaan 

CP:
081230593651 (Fatkhul Khoir) 
089682373953 (Wahyu) 

Kategori
Diskusi Esai

Sebuah Mukadimah atas Kekuasaan

Power dalam bingkai studi hubungan internasional sering disebut dengan kekuasaan. Dengan koleganya, ilmu politik, power didefinisikan sebagai perebutan kekuasaan. Namun dalam HI, power adalah segala sesuatu (atribut, atau tujuan) yang bisa menciptakan dan mempertahankan pengendalian seseorang atas orang lain.

Bila dilihat dari intensitasnya, istilah power merupakan kata yang paling sering diucap dosen saat mengajar di kelas-kelas. Bila dilihat lebih dalam lagi, power (kekuasaan) merupakan inti dari setiap upaya menyelami ilmu hubungan internasional. Siapapun yang belajar tentang HI, seyogyanya tau akan hal ini. Siapapun yang (niat) belajar ilmu ini, ia bakal dihadapkan dengan pencarian makna dan konsekuensi praktisnya, sebagai upaya untuk merebut, mencapai dan mempertahankan sebuah kekuasaan.

Memaknai power bukan berarti kita harus bergabung di dalamnya. Bukan berarti kita harus menjadi presiden, Jendral, atau bos kartel narkoba untuk bisa mengerti tentang power, apa itu kekuasaan dan bagaimana ia bekerja. Tapi, jika ingin merasakannya secara langsung, saya kira opsi untuk menjadi pemimpin dalam sebuah institusi (lembaga, organisasi) bisa menjadi pilihan yang baik (asal bertanggung jawab).

Sebelum memulai lebih lanjut, perlu saya jelaskan disini bahwa pendefinisian power itu sendiri banyak memicu perdebatan. Columbius dan Wolfe menyebut ada dua hal yang masih disilangpendapat kan, yaitu tentang power sebagai atribut (militer, tingkat ekonomi), atau hubungan antara dua aktor politik yang berbeda. Namun saya tidak akan menjelaskannya dalam catatan singkat ini.

Hans Morgenthau, dalam bukunya “Politic among Nations”, mendefinisikan power sebagai hubungan antara dua aktor politik dimana aktor A memiliki kemampuan untuk mengendalikan pikiran dan tindakan aktor B.

Jadi, power menurut Morgenthau bisa berupa apa saja, dari ancaman fisik hingga tekanan psikologis yang menciptakan dan mempertahankan pengendalian seseorang terhadap orang lain.

Dalam pengertian ini, misalnya : Fulan, seorang yang tinggi berotot menyuruh Alan yang kering kerontang untuk membelikannya sebungkus rokok di warung. Jika si Alan menolak, Fulan berjanji akan meninju Alan habis-habisan. Alan akhirnya mau, meski dengan terpaksa.

Pada contoh diatas, “badan tinggi dan otot kuat” merupakan sebuah atribut yang dimiliki oleh Fulan untuk bisa mengendalikan Alan untuk mau menuruti perintahnya. Jika menolak permintaan itu, Alan takut dirinya bakal diberi bogem mentah di sekujur tubuhnya. Dengan kata lain, Fulan mempunyai power (kuasa) terhadap Alan.

Columbius dan Wolfe lebih lanjut menjelaskan tiga unsur penting dalam power. Pertama adalah daya paksa. Yaitu beragam ancaman kasat mata sebagai faktor pemaksa oleh aktor A terhadap aktor B. Unsur kedua ialah pengaruh (influence), yang diartikan sebagai alat-alat persuasi (tanpa kekerasan) untuk menjamin perilaku aktor B agar sesuai keinginan aktor A.

Terakhir, yang ketiga, adalah authorithy (wewenang). Konsep ini merujuk pada sikap tunduk secara sukarela aktor B lewat nasehat, perintah, atau karisma yang ditunjukan oleh aktor A.

Pada contoh diatas, Fulan memakai power yang dimilikinya untuk mengendalikan tindakan Alan. Unsur yang digunakan ialah daya paksa, dengan atribut berupa ancaman fisik (tinju) yang bakal didaratkan Fulan kepada Alan jika ia tak mau menerima perintahnya.

Paradoks Kekuasaan

Yang menarik dari sebuah kekuasaan adalah wujudnya yang paradoks. Persis seperti dua sisi mata koin yang saling berlainan, kekuasaan menampilkan dirinya sebagai entitas berwajah ganda.

Di satu sisi, di tangan yang tepat, kekuasaan bisa menjadi pintu gerbang bagi manusia dalam rangka mencapai mimpi-mimpi indahnya. Upaya-upaya menciptakan kedamaian, ketertiban, keadilan hingga kesetaraan, dapat terwujud jika kekuasaan digunakan dengan dan oleh pemimpin yang tepat.

Di sisi yang lain, kekuasaan adalah rahim bagi lahirnya neraka duniawi. Terutama bila ia berwujud penindasan, pemiskinan, pembodohon atau penyalahgunaan sewenang-wenang oleh pemimpin, institusi hingga lembaga yang menjelma sebagai iblis berkaki dua kepada warganya.

Menariknya, yang terakhir ini bisa kita temukan sehari-hari dalam institusi yang bernama negara. Baik dalam bentuk kebijakan maupun tindakan aparatusnya, negara acap kali bertindak di luar batas dalam maksud menggunakan kekuasaan yang ia miliki. Soal ini kita bisa menyebutnya sebagai penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power).

Kekuasaan, dalam sifat dan praktiknya, punya batasan-batasan yang terkait dengan ruang lingkupnya. Batasan-batasan inilah yang memungkinkan para pemimpin atau orang yang punya kuasa untuk tidak menyalahgunakannya secara sewenang-wenang. Di ranah negara, batasan ini dimanifestasikan dengan bentuk peraturan perundang-undangan yang mengikat dan punya sifat memaksa. Ia disebut hukum. Hukum ibarat wasit yang menjaga pemimpin agar tidak keluar jalur saat melakukan pekerjaan.

Sebagai pemimpin umum, saya punya kuasa untuk mengatur dan menyuruh pengurus saya untuk mengerjakan tugas sesuai dengan tupoksinya. Namun, saya tak punya wewenang untuk memaksa mereka. Kekuasaan dalam organisasi sifatnya terbatas, didapatkan dari konsensus bersama melalui musyawarah dan batasan-batasannya amat kabur. Misalnya, mendorong mereka untuk mau menulis merupakan salah satu tugas (baca: kuasa) saya, tapi, menggunakan jabatan ini untuk mendekati perempuan demi dijadikan pacar adalah hal yang tidak patut, setidaknya dalam pertimbangan etis dan moral.

Beda lagi dengan kekuasaan yang ada pada negara (saya menyebut negara sebagai kesatuan dari pemerintah dan para aparatusnya). Di tangan mereka, kekuasaan menjelma sebagai barang yang bisa dipermainkan sekehendak hatinya. Sia-sia saja menuliskan disini pelbagai catatan kelam penyalahgunaan kekuasan oleh negara terhadap warganya sendiri. Sebuah roman 1000 halaman pun takan cukup. Konflik Wadas bisa menjadi cerminan paling anyar dari upaya negara untuk menukar sumber kehidupan warga Kecamatan Bener, Purwerojo dengan sebuah bendungan yang entah dibuat untuk siapa.

Kekerasan Aktifis di Jombang

Salah satu unsur yang bisa digunakan untuk mengendalikan orang lain ialah wewenang (authorithy). Wewenang ini menurut saya bisa dibedakan menjadi dua, formal dan non formal. Yang pertama bisa didapatkan ketika mempunyai jabatan/posisi sebuah institusi (negara, organisasi dll). Ada kerangka legal dimana kita menggunakan kuasa kita (hukum, AD-ART).

Yang kedua sifatnya tak terlihat. Ia berasal dari atribut-atribut “spesial” yang melekat dalam sosok seseorang. Atribut-atribut itu dapat berupa ilmu, karisma, ahlak, hingga adab.

Dalam dua tahun terakhir, selama berkuliah saya memilih nyantri di pondok pesantren yang masih satu “keluarga” dengan kampus. Saya sedikit mengerti bahwa kyai adalah sosok yang amat di hormati dan dijunjung tinggi dalam lingkungan pesantren. Para santri biasanya bakal dengan gampang mengikuti tutur kata dan perbuatan yang dititahkan oleh kyainya.

Penganiayaan yang dialami Rani (bukan nama sebenarnya) diduga dipicu oleh kegiatannya sebagai aktifis kekerasan seksual, lebih khusus lagi pada kasus yang melibatkan anak Kyai terkenal di Jombang,  M, Subchi Azal Tsani. Saya tak tahu apakah ada korelasi langsung antara kekerasan yang dialami Rani dengan posisi Subchi yang merupakan anak Kyai. Namun, kita tahu bagaimana posisi prestisius seseorang acap kali bisa membuatnya kebal dari tindakan hukum. Terkait kekerasan seksual yang (diduga) dilakukan oleh Subchi,  apakah saya salah jika mengatakan bahwa posisi Subhci yang saat ini masih melenggang bebas adalah buntut dari privilisnya yang seorang anak kyai?

Tentu ini cuma hipotesa belaka. Tapi kita semua sudah mafhum bahwa pelaksanaan hukum Indonesia seringkali tajam ke bawah dan tumpul ke atas. Bedebahnya, ini merupakan fenomena umum yang lazim ditemukan. Authority (wewenang) yang dipunyai seseorang bisa (atau biasa) menjadi tameng perlindungan bagi ia untuk melenggang dari jerat hukum yang sudah jelas bisa menimpa orang-orang kecil.

Contoh konkritnya bisa kita temukan dalam tindakan Tim Mawar atas penyulikan para aktifis di medio 98 an. Atau pada kasus-kasus HAM masa lalu yang belum terselesaikan hingga sekarang. Pada kasus penculikan aktifis, mirisnya, jenderal yang (diduga) menjadi tersangka masih berkeliaran bebas bahkan ada yang sampai dua kali nyalon sebagai Presiden.

Kasus 65 lebih ngeri lagi. Pembantaian besar-besaran 500 hingga 1 juta orang tak menyisakan pelaku yang jelas untuk diadili. Rezim Soeharto menguburnya dalam-dalam. Dan rezim Habibi hingga Jokowi tak ada kemauan kuat untuk mengungkapnya.

Rani, 23 tahun, mengalami penganiayaan karena memperjuangkan penyelesaian kasus kekerasan seksual. Dan itu bukanlah sebuah mukjizat. Siapapun bisa dianiaya dan melakukan aniaya. Terlebih bila ia punya kekuasaan yang besar, otoritas yang kuat, pengaruh yang luas, maka menyalahgunakannya hanya sebatas pilihan mau atau tidak mau. Semudah Thanos ketika menghilangkan separuh isi penduduk alam semesta hanya dengan sekali klik jentakan jari.

Namun saya kira orang-orang seperti Rani bakal tetap ada dan terus berlipat ganda. Nyala apinya menjalar bagi siapapun yang merasakan dirinya terkungkung dalam tempurung penyiksaan, kekerasan dan penyalahgunaan kekuasaan yang dilakukan oleh negara, otoritas keagamaan hingga para iblis kapital. Dan siapa tahu, nyala api itu dapat masuk dalam tubuh kita semua. Semoga dan semoga.

Kategori
Agenda

Pendataan Lembaga Pers Mahasiswa

Salam Pers Mahasiswa!!!

Sehubungan dengan akan dilaksanakannya Survei Bank Data Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) oleh Badan Pekerja Penelitian dan Pengembangan (BP Litbang) Nasional Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia (PPMI). Kami mohon kerja sama untuk mengimbau seluruh anggota LPM yang tergabung dalam keanggotaan PPMI masing-masing kota/dewan kota.

Klik link di bawah ini⬇️⬇️⬇️

http://bit.ly/PersMahasiswaIndonesia

Sangat besar harapan kami atas partisipasi Saudara. Demikian imbauan ini dibuat, atas perhatian dan kerjasamanya kami sampaikan terima kasih

Mari berjejaring kuatkan solidaritas
Salam Pers Mahasiswa✊?✊?✊?

Kategori
Diskusi

Perjalanan Panjang Konvergensi Media Pers Mahasiswa

Kemajuan teknologi informasi saat ini memberikan pengaruh besar terhadap pers dan jurnalisme. Media online yang merupakan anak kandung teknologi internet menjadi salah satu bentuk ancaman terhadap media konvensional. Di Indonesia, dalam dua dekade terakhir sejumlah perusahaan media cetak telah gulung tikar tanpa mempersiapkan konvergensi medianya menuju online. Dewan Pers di Jurnal Edisi 20 November 2019, menyebutkan bahwa media massa konvensional, terutama koran, majalah, dan tabloid sebagai penyedia konten telah mengakhiri edisi cetak, dikarenakan tidak kuat menghadapi gerusan media baru berbasis internet.

Walaupun tidak semua media cetak mengalami hal tersebut, sebagian besar media memilih untuk migrasi ke platform digital atau membuat media digital sendiri, sembari tetap mempertahankan edisi cetaknya. Konvergensi media menuju online menjadi keniscayaan bagi media pers untuk bertahan. Namun hal tersebut tidaklah mudah.

Persaingan media online saat ini sangat ketat bagi insan media, sehingga ada yang berhasil melakukan migrasi, ada juga yang layu sebelum berkembang bahkan mengalami kegagalan. Selain mereka harus bersaing dengan sesama media pers, mereka juga harus mampu berhadapan dengan media sosial yang juga memberikan informasi dan juga media agregasi atau penghimpun berita.

Terlepas dari itu, kemajuan teknologi juga memberikan data yang besar dan luas untuk dijadikan bahan berita. Pada era informasi digital, data tidak hanya sebagai pelengkap atau sekadar memberi konteks pada berita, melainkan bisa menjadi berita sendiri. Data mentah yang bertebaran dan berserakan di berbagai tempat, dikumpulkan, diseleksi, kemudian dianalisis supaya menjadi fakta berita (news facts) yang menarik dan penting. Inilah yang disebut jurnalisme data.

Posisi Pers Mahasiswa Menghadapi Konvergensi Media

Banjirnya informasi di saat sekarang ini seakan memberikan sambutan yang cenderung meniadakan gairah hidup bagi media pers, begitupun yang dialami oleh pers mahasiswa. Untuk ulasan ini, bisa dibaca di https://www.persma.id/persma-mencari-kembali-identitas-di-tengah-perubahan/ . Dalam artikel tersebut, penulis mengatakan bahwa sudah saatnya bagi pers mahasiswa untuk memiliki badan usaha sendiri, lalu secara perlahan bebas dari ancaman dana dari kampus atau dari kejadian tidak terduga seperti pandemi, sehingga menjadi independen dan mandiri secara kaffah.

Perkembangan teknologi informasi ini telah menggerus media dari sisi keterbacaannya. Saat ini penyedia platform juga menyediakan konten. Mereka juga mengakses konten dari pelbagai media dan mempublikasikannya. Selain mendapatkan konten, tanpa disadari penyedia platform seperti Google, Facebook, atau media lain telah memperoleh data yang berharga di masa sekarang. Sebesar 70 persen (secara global) pendapat iklan digital telah dikuasai oleh penyedia platform. Namun tak bisa dipungkiri, konvergensi media ini selain berkontribusi memperkaya raksasa digital, penyedia konten seperti pers mahasiswa juga membutuhkan peran mereka. Bahwa sebenarnya kerja di media, adalah kerja kolektif, yang melibatkan satu kesatuan antara redaksi, produksi, bidang lain, serta masyarakat.

Analoginya adalah Google sebagai pasar dan sosial media menjadi kios besar yang berada di pasar tersebut. Pers mahasiswa (website) sebagai platform media diibaratkan sebuah kios yang berada di luar pasar tersebut. Ada dua pilihan yang harus kita pilih agar produk kita di beli seseorang. Karena kios kita baru saja berdiri, tentunya kita memanfaatkan kios gratis yang disediakan di dalam pasar. Sembari kita mengoptimalisasi kios kita, baik dari tampilan kios maupun kualitas produk kita serta mengumpulkan kepercayaan seseorang terhadap produk yang kita terbitkan.

Penyesuaian tersebut menyusul kebiasaan para pembaca. Bila terjadi sebuah peristiwa besar, unjuk rasa, atau bencana alam, pembaca hanya sedikit yang langsung ke website media. Paling banyak dari pembaca akan mencarinya ke Google. Selain langsung bertemu apa yang dicari, seseorang juga akan disuguhkan banyak pilihan dari beragam media.

Pada mesin pencari, mereka mengetik keyword. Lalu indeks muncul berurut. Jika diklik, dia meluncur ke website media. Di situlah pers mahasiswa sebagai awak media, mau tak mau, menyesuaikan diri dengan cara kerja mesin pencari. Selanjutnya, kita bicara tentang sesuatu yang sekian tahun belakangan begitu populer di kalangan pers mahasiswa, yakni Search Engine Optimation (SEO). Penjelasannya mungkin berat dan rumit, tapi bila disederhanakan SEO adalah resep agar tulisan di dalam website media muncul pada daftar teratas di index search engine, misalnya Google. Kata yang dicari, misalnya, harus ada di judul, lead tulisan, tubuh berita, nongol juga di penghujung. Makin sering kata yang dicari muncul di banyak rubrik, SEO makin bagus. Itulah sebabnya,tipe rumah yang terbakar, kadang dipreteli di rubrik properti, meski kita tahu tipe rumah tersebut nyaris tak ada hubungan dengan peristiwa.

Siasat Pers Mahasiswa Menyelami Ekosistem Digital

Sebagai upaya untuk tetap eksis, saat ini redaktur di berbagai media, tak terkecuali pers mahasiswa harus menyiasati cara ini. Mereka harus siap untuk mengikuti tuntutan SEO yang kadang saling berlawanan. Keyword harus dituliskan berulang, teguh pada ekonomi kata. Menggoda tapi tidak clickbait. Kegaguan dunia jurnalistik ini harus dilaksanakan dan diletakkan dalam ekosistem ini. Melawan ekosistem, sama dengan melawan takdir jagat maya.

Terkait tuntutan di dunia digital, tidak sedikit media yang mulai terseret arus bahaya praktik media online. Di sisi lain, media online yang menjamur menyediakan tulisan yang tidak berhubungan dengan konten, bahasa atau kedalaman informasi karena minimnya pengalaman dan kecakapan sehingga penampilan media pun menjadi buruk. Hasil pengamatan menunjukkan, sebagian besar program berita harian dan portal berita menyajikan hal dan berita yang sama dengan hanya mengubah judul berita dan laporan yang disampaikan sering subjektif dan hanya sedikit contoh jurnalisme objektif. Konten media semakin tidak beragam, dan kode etik jurnalistik semakin hari semakin dilanggar karena tuntutan pasar, yang artinya media semakin komersial (Nugroho, Siregar, laksmi, 2012) .

Selain itu, atas nama kecepatan, pageview, dan pertumbuhan bisnis, media online terjerembab menyampaikan informasi yang belum final terverifikasi. Dengan tagline berita terkini, tercepat, setiap detik ada berita, deadline every second dan tugas jurnalis membuat minimal 20 berita per hari, maka banyak berita yang disajikan hanya sepotong-sepotong dan belum lengkap, karena verifikasi belakangan (Eko Maryadi, 2013).

Yang menjadi masalah saat ini adalah bagaimana memastikan kualitas media serta menjaga dan merawat kebebasan pers. Meski terdapat jaminan konstitusi dan undang-undang, dalam praktiknya kebebasan pers sulit dijalankan.

Yang harus digarisbawahi adalah, posisi strategis media, khususnya pers mahasiswa terletak bukan semata pada perannya untuk menyampaikan informasi atau pun memberikan hiburan. Lebih daripada itu, pers mahasiswa harus berani improvisasi lembaganya untuk mencapai jurnalisme digital yang sebenarnya, tanpa harus menjual harga dirinya. Selain itu, pers mahasiswa harus menjadi media pendidikan bagi publik, dan dalam kapasitas optimumnya, pers mahasiswa memainkan multi-peran untuk turut menggemakan kepentingan publik serta mengontrol penyelenggaraan negara. Dalam memainkan peran tersebut, pers mahasiswa harus mampu menyajikan informasi yang bermakna dengan perspektif yang independen.

Kategori
Siaran Pers

Mendesak Mendikbud untuk Memberhentikan Rektor UNNES

[Siaran Pers]

Koalisi Mahasiswa Tegakkan Integritas Akademik Desak Mendikbud RI Mencopot Rektor UNNES

Integritas akademik merupakan prinsip dasar atau marwah dari pendidikan yang harus dijaga, dirawat dan ditegakkan oleh setiap individu. Koalisi Mahasiswa Tegakkan Integritas Akademik merupakan gabungan elemen mahasiswa se-Indonesia yang berjuang untuk menegakkan marwah pendidikan yang hari ini semakin memudar, terutama yang berkaitan dengan kebenaran, keadilan serta kejujuran.

Saat ini, runtuhnya integritas akademik merupakan permasalahan paling besar yang sedang dihadapi oleh pendidikan tinggi di Indonesia. Memudarnya nilai-nilai akademik terjadi hampir di seluruh lembaga pendidikan tinggi. Salah satunya yang terjadi di Universitas Negeri Semarang (UNNES), kampus yang seolah menjadi representatif atas problematika pendidikan tinggi Indonesia saat ini. Beberapa tahun terakhir UNNES dibawah kepemimpinan Rektor Fathur Rokhman kerap kali menjadi sorotan publik karena beberapa masalah yang berkaitan dengan integritas akademik. Salah satu kasus yang sedang ramai disoroti adalah kasus plagiasi.

Kasus plagiasi yang dilakukan oleh Rektor Universitas Negeri Semarang (UNNES), Fathur Rokhman, kembali mencuat setelah Tim Akademik Kaukus Indonesia untuk Kebebasan Akademik (KIKA) melakukan kajian akademik atas dokumen disertasi Fathur Rokhman (FR). Temuan tersebut langsung direspon oleh Koalisi Mahasiswa Tegakkan Integritas Akademik dengan membuat petisi online melalui situs change.org. Saat ini petisi daring yang mendesak Mendikbud RI agar segera mencopot Rektor UNNES Fathur Rokhman tersebut sudah ditandatangani lebih dari 10.000 (sepuluh ribu) tanda tangan. Artinya, kasus ini sudah menjadi perhatian publik dan sudah seharusnya ditindaklanjuti oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI dengan memberikan perhatian khusus untuk segera menuntaskan kasus plagiasi tersebut.

Hasil kajian akademik KIKA (bit.ly/MonografiPlagiarisme) yang disusun dalam bentuk monografi tersebut menyatakan secara tegas bahwa disertasi yang ditulis oleh FR pada tahun 2003 telah terbukti memplagiat skripsi tahun 2001 yang disusun oleh RS dan NY di mana keduanya merupakan mahasiswa bimbingan FR di Fakultas Bahasa dan Seni UNNES. Hasil ini memperkuat serta menegaskan kembali hasil temuan sebelumnya dari tim Dewan Kehormatan Universitas Gadjah Mada yang menyatakan bahwa FR telah memplagiat skripsi dua mahasiswa bimbingnnya dan merekomendasikan pencabutan gelar doktoral FR. Melalui analisis authorship attribution ahli linguistik forensik, Tim Akademik KIKA menemukan inkonsistensi dalam disertasi FR. Hal ini menandakan bahwa tulisan tersebut memang diproduksi oleh lebih dari satu orang. Selanjutnya dengan menyandingkan teks-teks yang terdapat dalam disertasi FR pada tahun 2003 dengan skripsi RS dan NY yang ditulis pada tahun 2001.Hasil kajian Tim Akademik KIKA juga menunjukkan bahwa dokumen draft disertasi FR tahun 2000 yang digunakan untuk membantah plagiasi terbukti direkayasa dengan ditemukannya sejumlah kejanggalan dalam draft tersebut.

Akan tetapi, hingga saat ini FR terus memanfaatkan hubungan-hubungan kekuasaan dengan melakukan proses negosiasi yang bersifat politis. Dibuktikan dengan sikap M. Nasir selaku Menristekdikti (2014-2019) yang tidak proaktif dalam menangani kasus plagiarisme FR dan bahkan cenderung melindungi FR lewat beberapa pernyataannya di media massa. Selain itu sikap dari Rektor UGM yang mengeluarkan Keputusan untuk menggugurkan dugaan plagiarisme FR dengan mengabaikan hasil kajian DK UGM patut dicurigai sebagi sebuah persekongkalan yang tak lepas dari konsolidasi kekuasaan antar pejabat kampus. Maka tak heran jika kasus plagiarisme FR berlarut-larut penyelesaiannya hingga hari ini.

Kasus plagiasi yang dilakukan oleh Fathur Rokhman bukanlah menjadi persoalan tunggal. Fathur Rokhman memiliki banyak catatan merah selama menjadi Rektor UNNES. Fathur Rokhman kerap kali melakukan represifitas terhadap orang yang dianggap tidak sepaham dan membahayakan bagi dirinya. Beberapa waktu yang lalu, Fathur Rokhman mengembalikan seorang mahasiswa Fakultas Hukum ke orang tua pasca pelaporan dugaan korupsi dirinya ke KPK. Tak hanya memberikan sanksi akademik berupa skorsing hingga drop out, Fathur Rokhman juga mengkriminalisasi mahasiswa, masyarakat sipil hingga jurnalis dengan melaporkannya ke Kepolisian. Hal ini yang melegitimasi ulang bahwa UNNES berada dalam zona merah kebebasan akademik, bahkan tak berlibihan jika menilai bahwa demokrasi dan HAM sudah mati di kampus konservasi. Tak hanya itu, Fathur Rokhman juga kerap melakukan obral gelar akademik. Baru- baru ini, Fathur Rokhman memberikan gelar dokor honoris causa kepada mantan narapidana korupsi, Nurdin Halid. Obral gelar kehormatan tersebut tentu tak lepas dari kepentingan pribadi Fathur Rokhman.

Keadaan-keadaan seperti yang disebutkan di atas telah memberikan gambaran bahwa sejatinya keadaan kampus hari ini tidak bersih dari intervensi dan politisasi. Hal ini tentu saja menciderai martabat kampus sebagai lembaga akademik yang bertanggung jawab memproduksi, merawat serta mendistribusikan pengetahuan demi kemaslahatan masyarakat. Maka sudah saatnya Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI memberikan sikap tegas atas akumulasi persoalan yang terjadi di Universitas Negeri Semarang ini. Terlebih, apa yang dilakukan oleh Fathur Rokhman merupakan bagian dari 9 tindakan yang dilarang keras oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI. Sebagai bagian dari usaha untuk memurnikan kembali marwah dan integritas dari Pendidikan Indonesia, sudah saatnya Mendikbud mengambil langkah tegas untuk memberikan perubahan yang mendasar bagi dunia pendidikan tinggi Indonesia.

Diakhir, kami Koalisi Mahasiswa Tegakkan Integritas Akademik memberikan dua poin tuntutan kepada Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI. adapun dua tuntutan yang kami berikan adalah:

  1. Mendesak Menteri Pendidikan dan Kebudayaan untuk menyatakan adanya plagiasi dalam Disertasi yang ditulis FR tahun 2003 diantaranya terhadap Skripsi SR dan NY tahun 2001;serta
  2. Mendesak Menteri Pendidikan dan Kebudayaan untuk memberhentikan FR sebagai Rektor UNNES karena gelar doktoralnya diperoleh dengan melakukan kecurangan akademik serta telah menggunakan jabatan dan kekuasaannya untuk memanipulasi publik dan menutupi tindak plagiasi yang dilakukan dirinya.

Koalisi Mahasiswa Tegakkan Integritas Akademik:

  1. BEM Seluruh Indonesia
  2. DPN PERMAHI (Perhimpunan Mahasiswa Hukum Indonesia)
  3. Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia (PPMI)
  4. Komite Revolusi Pendidikan Indonesia (KRPI)
  5. Gerakan Rakyat Menggugat Jawa Tengah
  6. Aliansi BEM Semarang Raya
  7. Aliansi Mahasiswa Jateng-DIY
  8. Aliansi Mahasiswa UNNES
  9. Aliansi Mahasiswa UNDIP
  10. Front Mahasiswa Nasional (FMN) Semarang
  11. Aksi Kamisan Semarang
  12. GUSDURian UNNES

Narahubung :
+62 857-0424-8033 (Tsamrotul Ayu)

Kategori
Diskusi Esai

Catatan Refleksi Gerakan Pers Mahasiswa di Masa Pandemi

Pandemi belum berakhir, tapi gerakan pers mahasiswa belum mau menemui akhir. Dalam beberapa hal, pemerintah memang mencoba menangani pandemi dengan berbagai kebijakannya. Namun, seslain urusan pandemi, pemerintah juga punya fokus agenda lebih besar terhadap pembangunan dan investasi. Sering kali kita dengar pesan “patuhi protokol kesehatan” atau “bantu pemerintah atasi pandemi”. Sayangnya, kebijakan, pembangunan dan kepatuhan itu disertai kekerasan seperti intimidasi, penggusuran, kriminalisasi dan kekerasan lainnya. Pers mahasiswa menjadi salah satu media yang memberitakan kebenaran itu sekaligus menjadi korban dari kekerasan negara.

Badan pekerja Advokasi PPMI mencatat berbagai kekerasan yang dialami pers mahasiswa di masa pandemi. Beberapa kekerasan itu diantaranya kekerasan fisik, ancaman pembunuhan, upaya kriminalisasi dengan UU ITE, kriminalisasi, pembubaran diskusi, penyerangan sekretariat LPM, pembredelan berita, ancaman skorsing dan DO, dan kekerasan seksual. Pelaku kekerasannya juga beragam, mulai dari birokrat kampus, aparat kepolisian, orang tak dikenal (OTD), anggota HMI bahkan anggota PPMI sendiri (kasus kekerasan seksual).

Setidaknya, dari berbagai kekerasan yang dialami pers mahasiswa tersebut, kita tahu bahwa pers mahasiswa mengalami kekerasan dari luar (kebijakan negara, polisi, kampus, mahasiswa, OTD) dan dari dalam (pers mahasiswa). Saya juga melihat beberapa kasus kekerasan seksual juga muncul ke publik, terutama pasca kasus kekerasan yang diberitakan oleh BPPM Balairung di UGM, Yogyakarta. Muncul kasus kekerasan di beberapa perguruan tinggi, organisasi pergerakan (seperti SINDIKASI dan Malang Coruption Watch) dan kolektif pergerakan lainnya.

Maka dari itu, perlu sebuah refleksi bagi pers mahasiswa atas berbagai kasus kekerasan tersebut. Refleksi ini bertujuan supaya pers mahasiswa dapat memperbaiki peraturan internal organisasinya untuk melindungi anggotanya dan memperkuat kualitas pemberitaan terhadap segala bentuk kekerasan.

Belajar Advokasi itu Harga Mati

Rasa gentar menghampiri setiap pers mahasiswa yang mengalami kekerasan. Secara spontan, mereka akan melakukan apapun untuk bertahan dari kekerasan. Tak semua pers mahasiswa mengetahui cara mempertahankan haknya yang sudah dirampas. Rasa sakit karena kekerasan fisik maupun ketakutan akan kekerasan, sering kali membutakan setiap pers mahasiswa. Maka dari itu, setiap pers mahasiswa yang telah mengalami maupun yang sadar akan posisi rentannya terhadap kekerasan, mereka akan belajar mempertahankan, membela, dan mengadvokasi.

“Kenapa sih kamu ngritik kampus terus? Udah tau bakal kena dampaknya kok tetep ngritik,” ini adalah pertanyaan using dari mereka yang tak pernah mengalami kekerasan. Bukan soal “kenapa kalian mengkritik” tapi soal “kenapa kamu diam ketika hak-hakmu dirampas? Kenapa kamu diam ketika melihat keluarga, teman, tetangga atau siapapun itu tidak bisa melanjutkan kuliah karena kuliah semakin mahal? Kenapa kamu diam ketika orang-orang tak lagi bisa mendapatkan air dan makanan karena digusur oleh perusahaan dan proyek pembangunan dari negara? Kenapa kamu diam?”

Beberapa kawan pers mahasiswa sering tertawa setelah temannya direpresi. Ada juga yang bilang, kalau belum direpresi artinya belum bener-bener jadi pers mahasiswa. Di satu sisi, hal itu memang mengandung unsur kesombongan. Tapi di sisi lain, sebenarnya mereka mengalami tekanan fisik maupun mental yang cukup dalam. Menertawakan kesakitan, mungkin adalah cara kita mengurai semua kemarahan atas kekerasan yang tak pernah kita harapkan untuk datang.

Pengalaman dan kesadaran akan posisi rentan ini perlu dirarahkan kepada penguatan pembelaan diri. Kita perlu mempertahankan hak-hak kita maupun orang lain dari ancaman kekerasan. Kita perlu mempersenjatai diri dengan advokasi untuk melawan kekerasan yang akan datang di kemudian hari.

Apakah AD/ART dan Kode Etik PPMI sudah menjadi dasar untuk menciptakan ruang aman serta melawan segala bentuk kekerasan seksual? Sampai mana kabar SOP Penanganan kasus kekerasan seskusal yang katanya sedang disusun PPMI? Silahkan PPMI untuk menjawabnya.

PPMI juga menyediakan buku pedoman teknis advokasi untuk pers mahasiswa. Sudah dibuat dan diterbitkan sejak 2016. Pertanyaannya, dari 2016-2021, berapa banyak pers mahasiswa yang sudah membaca dan menerapkan pedoman advokasi itu? Ini penting untuk dijawab.

Kita sangat perlu mengingat dan menolak lupa terhadap berbagai kekerasan yang dialami pers mahasiswa. Salah satunya kasus pemecatan anggota LPM SUARA USU (yang sekarang menjadi BOPM Wacana) karena menerbitkan cerpen. Cerpen? Sebuah tragedi besar dalam sejarah represi pers mahasiswa. Tentunya sebuah kemuduran besar juga bagi pendidikan tinggi dan demokrasi di negara ini.

Menurut saya, wajib bagi pers mahasiswa untuk mengingat editorial yang berjudul “Umur Panjang Pers Mahasiswa”. Redaksi BOPM Wacana menulis:

“Putusan PTUN Medan terhadap kasus Pers Mahasiswa Suara USU harusnya menjadi cambukan bagi pers mahasiswa di tanah air. Jika pengadilan yang menjadi perwakilan negara pun membenarkan tindakan yang mengukung kebebasan media dan mimbar akademik, tak ayal jika pers mahasiswa di Indonesia tidak akan mempu berumur panjang jika mulai ‘mengusik’ rektorat-nya. Tidak adanya payung hukum yang melindungi pers mahasiswa menjadi salah satu alasan rentannya pers mahasiswa untuk diintimidasi”

Kalau kamu sudah merasa terambuk, maka mulailah belajar advokasi. Selain untuk orang lain, ini juga untuk dirimu sendiri. Kita memang tak cukup belajar advokasi saja. Perluasan jejaring untuk memperkuat barisan pertahanan tentu sangat penting. Selain itu, kita perlu terus menerus mempelajari dasar-dasar jurnalisme. Sering mengoceh bahwa pers mahasiswa tidak punya payung hukum, saya rasa juga tidak menunjukkan progress yang signifikan.

Sekalipun ada payung hukum yang melindungi, pers umum juga tetap mendapatkan represi. Artinya, payung hukum bukan solusi tunggal yang bisa menumpas segala kekerasan terhadap jurnalis. Kita tetap perlu belajar terus-menerus yang namanya dasar-dasar jurnalisme, UU Pers, Kode Etik Jurnalistik, UU Keterbukaan Informasi Publik, UU Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum, Kebebasan Akademik dan berbagai undang-undang lainnya. Kita perlu belajar advokasi jika kita tak ingin mati.

Nafas Pers Mahasiswa ada di Budaya Membaca, Menulis dan Berdiskusi

Refleksi mendasar bagi pers mahasiswa juga terletak di budaya membaca, menulis dan berdiskusi. Untuk budaya membaca, sudah cukup saya jelaskan di pembahasan sebelumnya. Sekedar tambahan, saya hampir selalu bertanya ke pers mahasiswa yang mengundang saya untuk ngisi materi advokasi. “Represi sebelum menulis itu apa?”

Pertanyaan ini saya ajukan karena represi sering terjadi ketika meliput (dipersulit, diintimidasi dan lainnya) dan setelah melipu (dibredel, sensor, kekerasan fisik dan lainnya). Represi sebelum menulis adalah kepatuhan terhadap birokrasi dan pemerintah. Artinya, selalu menganggap bahwa birorasi dan pemerintah itu melakukan kebaikan. Inilah represi yang tidak disadari oleh beberapa pers mahasiswa. Sehingga, lagi-lagi saya katakan, untuk mengantisipasi represi, kita perlu membaca dan belajar advokasi. 

Berikutnya menulis. Masih berkaitan dengan advokasi, menulis bisa menjadi salah satu cara untuk melakukan advokasi litigasi maupun non litigasi. Entah itu untuk menulis analisis terhadap suatu kasus, maupun untuk mencatat setiap kasus represi. Dua hal ini, saya melihatnya juga masih ada kekurangan. Tak sering saya melihat analisis yang cukup dalam ketika ada kasus represi yang dialami pers mahasiswa. Kebanyakan hanya catatan kronologi dan pernyataan sikap. Saya rasa pers mahasiswa bisa lebih baik dari ini.

Kemudian mencatat kasus represi. Ini ironis. Pers mahasiswa bergerak di bidang jurnalistik, artinya ya wajib nulis. Tapi masih jarang saya melihat pers mahasiswa maupun PPMI yang rajin melakukan pencatatan terhadap setiap kasus represi. Dampaknya, public tidak akan mendapat informasi secara utuh tentang represi yang dialami pers mahasiswa.

Bahkan, Elyvia Inayah, penulis buku “Melawan dari Dalam” tentang pers mahasiswa pasca reformasi juga mengalami kesulitan ketika menyelesaikan bukunya. Dalam bukunya, alumni UAPKM Kavling 10 Universitas Brawijaya itu mengatakan bahwa dia kesulitan karena referensi buku tentang pers mahasiswa itu minim.

Jadi, kalau pers mahasiswa masih malah mencatat kasus represi yang dialaminya, maka fenomena ironi ini akan terus terjadi. Hal ini sudah sering saya katakana ketika ngisi materi tentang advokasi. Kadang saya merasa capek. Dan sekrang silahkan jawab pertanyaan ini. Untuk PPMI, baik nasional maupun kota, sudahkah kalian rajin menulis dan mencatat kasus represi yang kalian alami?

Pikirkan jangka panjang. Kalau kalian punya basis data dan analisis yang kuat, itu bisa menjadi bekal yang bagus untuk melawan kekerasan yang akan terjadi di kemudian hari.

Terakhir, saya mau bilang kalau tidak semua refleksi yang saya jelaskan itu bisa langsung mendorong pers mahasiswa memperbaiki peraturan internal organisasinya untuk melindungi anggotanya dan memperkuat kualitas pemberitaan terhadap segala bentuk kekerasan. Pandemi benar-benar memberi dampak yang nyata. Tidak hanya dalam konteks represi, tapi juga regenerasi. Beberapa LPM juga menjadi tidak aktif selama pandemi ini. Entah itu tidak aktif menulis, tidak menyelesaikan majalah dan lain sebagainya. Banyak juga kawan-kawan kita yang mengalami dampak penurunan ekonomi.

Memaksa pers mahasiswa untuk langsung atau cepat berubah juga bukan hal yang baik. Semua perlu proses. Kadang, kita perlu memahami bahwa ketidakmampuan kita juga disebabkan oleh kebijakan negara yang tidak pro rakyat, akses pendidikan yang semakin sulit, maupun beban kuliah yang tidak masuk akal besarnya.

Ada hal-hal di luar diri kita yang tidak bisa kita kendalikan. Begitu kata seorang psikolog. Kita perlu saling menguatkan. Saya memberi apresiasi dan hormat setinggi-tingginya kepada seluruh pers mahasiswa yang tetap bertahan dengan cara apapun. Walaupun tahu bahwa kapanpun bisa direpresi, walaupun kecewa dengan kawan yang meninggalkan barisan perlawanan, walaupun mengalami penurunan ekonomi, walaupun sedang mengalami masa-masa sulit, walaupun marah, kesal, sedih selalu berkecamuk di hati dan pikiran. Kalian tetap bertahan dan itu hebat.

Kategori
Agenda

Diskusi Advokasi: Pers Sebagai Alat Perjuangan

Salam Pers Mahasiswa.!
Salam Perjuangan.!

Dalam sejarahnya, pergerakan perjuangan untuk memerdekakan Bangsa Indonesia dari penjajahan tentu tak dapat dipisahkan dari peranan media yang dipelopori kaum terpelajar pada masanya. Tentu dalam hal ini setiap perjuangan membutuhkan senjata politiknya. Dalam gelombang nasionalisme abad ke-19, senjata politik dari gerakan kebangsaan adalah surat kabar.

Beberapa organisasi politik yang berkembang ketika itu juga memiliki surat kabar sebagai medium perlawanan dalam upaya membangun kesadaran politik rakyat untuk merebut kedaulatan

Selain untuk membangkitkan semangat, surat kabar pergerakan juga sebagai alternatif juang yang mengkritik sistem kapitalisme yang ada di Indonesia. Dalam kesempatan lain, surat kabar juga memberikan advokasi kepada pemimpin-pemimpin pergerakan yang ditangkap. Surat kabar sebagai alat perjuangan ini ternyata cukup efektif dalam menumbuhkan semangat perlawanan dan kebangsaan bangsa Indonesia yang ketika itu masih terpecah-pecah.

Untuk lebih lanjutnya lagi, silahkan ikuti Diskusi Advokasi “Pers sebagai Alat Perjuangan”.

Hari/Tanggal : Minggu, 7 Maret 2021
Waktu : 19:00-21:00 WIB
Tempat : Aplikasi Zoom

Live di Youtube: Channel PPMI Nasional
https://www.youtube.com/channel/UCJqqHKX_Txvkg7mtTtbECZw

See you ?

#PPMI
#PPMINasional
#PersMahasiswaBukanHumasKampus

Kategori
Galeri

Musyawarah Kerja Nasional PPMI XIII di Pekalongan

Salam Pers Mahasiswa ✊?✊?✊?
MUKERNAS 2021 Pekalongan
Musyawarah Kerja Nasional PPMI

Jarak memsisahkan kita, tapi kita tak akan pernah terbatas untuk bergerak.
Sehubungan dengan Covid-19 yang melanda dan beberapa kawan-kawan yang tak bisa bersua untuk melingkar sambil bertukar cerita, maka MUKERNAS diadakan dengan cara Offline dan Online.

Kategori
Diskusi Esai

Persma: Mencari Kembali Identitas di Tengah Perubahan

Beberapa hari belakangan, saya mengikuti satu peristiwa yang melibatkan jurnalis Detikcom. Dia menulis soal kebutuhan seksual dari istri Jrinx, yaitu Naura. Kejadian itu mengundang banyak kritik dari netizen setelah Naura mengunggah tangkapan layar dari isi percakapannya dengan si jurnalis. Reaksi jurnalislah yang mengundang banyak kecaman, seperti:

“Maaf mbak, salah saya dimana ya?”

Dalam satu garis waktu, produk jurnalistik yang muncul di layar saya semakin tidak karuan. Selain judul tulisan dari Detikcom tadi, ada banyak judul-judul sejenis yang muncul ke beranda. Kebetulan, halaman pembuka dari browser saya adalah MSN, yang mengkurasi banyak berita yang sedang banyak dibaca orang. Hasilnya? Tak jauh berbeda.

Tidak bisa saya pungkiri, tulisan-tulisan nyeleneh yang banyak keluar dari media-media, terutama yang berbasis online, adalah hasil dari tingginya tuntutan kepada jurnalis untuk menghasilkan tulisan yang dibaca banyak orang. Semakin bombastis judulnya, semakin banyak diklik orang. Semakin banyak diklik orang, semakin banyak iklan yang ingin tampil di halaman depan. Semakin banyak iklannya, semakin banyak uang yang didapat. Pada akhirnya, media bukan menghamba kepada masyarakat, tapi justru malah menghamba kepada SEO atau peringkat Alexa.

Kejadian demi kejadian serupa akhirnya memantik banyak diskusi liar di media sosial. Diskusi tersebut, kebanyakan mempertanyakan “Bagaimana masa depan media dan jurnalisme”. Sebagai orang yang aktif di pers mahasiswa empat tahun belakangan, rasanya saya juga gatal untuk mengomentari kejadian ini.

Pers mahasiswa tidak bisa dihilangkan begitu saja dari berbagai kejadian belakangan ini, terutama setelah masa banjirnya informasi. Karena, walau bagaimanapun, para wartawan yang hari ini bekerja untuk memberi informasi kepada publik—mungkin—adalah alumni dari pers mahasiswa. Kalau media mainstream saja kelimpungan untuk mencari dana sampai harus mengorbankan kualitasnya, apalagi pers mahasiswa?

Mencoba menghindari kekangan birokrat kampus lewat pendanaan

Sudah lazim dimengerti bagi para insan pers mahasiswa, dana dari kampus adalah sumber keuangan utama yang bisa mereka dapatkan. Dana itu dianggarkan dari kampus setiap tahunnya, dan digunakan untuk kelangsungan berbagai kebutuhan pers mahasiswa selama satu tahun berikutnya. Jumlahnya pun bervariasi, tergantung apakah pers mahasiswa berdiri di tingkat kampus, atau fakultas. Bisa saja tergantung keras-lunaknya pers mahasiswa kepada birokrat.

Tidak asing bagi saya mendengar penurunan dana setiap tahun dari birokrat karena kerasnya pers mahasiswa kepada birokrat, karena saya mengalaminya. Alokasi dana bisa turun 50-70% setiap tahunnya, itu belum termasuk pemangkasan-pemangkasan lain jika pers mahasiswa ingin melakukan kegiatan tertentu. Alasannya selalu klise: pers mahasiswa tidak menghasilkan prestasi (biasanya birokrat membandingkan pers mahasiswa dengan organisasi lain yang bertolak ukur kepada piala), dan malah justru membuka borok kampus.

Dalam menghadapi pendanaan yang seret dari kampus, pers mahasiswa dihadapkan kepada pilihan yang sulit. Apakah harus melunak kepada birokrat dengan cara mengikuti lomba (atau bahkan membuat lomba), meliput ‘keberhasilan’ kampus (dan menjadi humas kampus), atau mencari dana sendiri untuk membiayai berbagai kebutuhan selama satu periode kepengurusan. Tentunya, pilihan-pilihan di atas memiliki kesulitannya masing-masing, dan tidak mudah untuk memilihnya. Di antara berbagai macam pilihan tersebut, -yang saya lihat- mereka cenderung memilih opsi ketiga: mendanai secara mandiri dan tetap pada pendirian mereka sebagai organisasi independen.

Mungkin saja, banyak pers mahasiswa yang memiliki dana yang cukup atau bahkan lebih dalam tiap tahunnya, sehingga paragraf-paragraf di atas tidak relate dengan keadaan mereka. Namun ada satu pertanyaan saya: apakah itu bisa menjamin keberlangsungan pers mahasiswa ke depan?

Kita tidak pernah tahu seperti apa masa depan yang akan dihadapi. Tiga tahun yang lalu, siapa di antara kita yang menyangka, kalau roda-roda organisasi—dan kehidupan pada umumnya—akan direm secara darurat karena sebuah pandemi sialan? Karena dari itu, sudah saatnya bagi pers mahasiswa untuk memiliki badan usaha sendiri, lalu secara perlahan bebas dari ancaman dana dari kampus atau dari kejadian tidak terduga seperti pandemi, sehingga menjadi independen dan mandiri secara kaffah.

Tapi bagaimana caranya? Mungkin caranya berat. Seperti apa langkah menuju ‘independen dan mandiri secara kaffah’?

Perlakukan pers mahasiswa semirip-miripnya dengan perusahaan media bekerja

Banyak yang harus dipertimbangkan oleh pers mahasiswa—terutama yang sudah maju atau sedang berkembang—untuk merubah gaya kerja, dari organisasi menjadi ‘selayaknya’ perusahaan media yang ada. Terlebih, jika kita bicara soal finansial. Saya pikir, dalam proses bekerja sebagai media, pers mahasiswa sudah bisa disamakan dengan media profesional—bahkan lebih bagus hasilnya dari beberapa media yang ada sekarang.

Dalam pengelolaannya selama ini, pers mahasiswa kebanyakan dikelola sebagai sebuah organisasi kemahasiswaan. Dikelolanya pers mahasiswa sebagai sebuah organisasi, menurut saya, dapat mengurangi marwah pers mahasiswa yang digadang-gadang sebagai media alternatif. Ada banyak aspek yang lebih-kurang mempengaruhi pers mahasiswa yang berkaitan dengan alur kaderisasi dan produktivitas.

Aspek yang paling dasar dalam pengelolaan pers mahasiswa adalah terikatnya dengan aturan-aturan kampus tentang organisasi kemahasiswaan. Aturan-aturan tata kelola semacam ini bukan hal yang tidak umum di kampus. Misalnya, dalam tahun kedua, anggota pers mahasiswa akan otomatis menjadi pengurus. Pada tahun ketiga akan menjadi pimpinan, lalu selanjutnya demisioner, dst. Apalagi dalam setiap jabatan mengandung berbagai tanggung jawab yang tidak mudah.

Tanggung jawab itu, yang mungkin saja hanya karena kewajiban untuk mengikuti aturan tata kelola dari kampus, memakan banyak tenaga sehingga anggota pers mahasiswa tidak fokus kepada media—yang menjadi aspek utama di dalam pers mahasiswa. Alur kaderisasi pers mahasiswa—yang paling lama saya tahu adalah satu tahun—juga kebanyakan berhenti di tahun pertama. Di dalam dunia media yang selalu berimprovisasi terhadap perubahan tiap tahunnya, treatment ini sudah seharusnya dipikirkan ulang untuk diubah.

Bukan berarti anggota pers mahasiswa harus menjabat lebih lama. Bukan pula pers mahasiswa butuh waktu kaderisasi yang lebih lama. Tetapi yang menjadi fokus perhatian bagi saya adalah, lama waktu belajar tidak menjamin anggota pers mahasiswa tanggap terhadap perubahan. Improvisasi signifikan atas cepatnya perubahan tidak akan terjadi apabila kita masih menunggu satu periode kepengurusan untuk merubahnya. Maka itu, proses pembelajaran di pers mahasiswa harus dinamis dan tidak terpaku kepada satu waktu saja.

Inkompetensi pers mahasiswa dalam menanggapi berbagai perubahan—terutama dalam produk dan cara mereka bekerja—hanya akan membuat mereka berputar-putar di dalam lingkaran permasalahan yang sama tiap tahunnya. Pada akhirnya, yang menjadi fokus bertahun-tahun untuk pers mahasiswa adalah bukan pada produk dan gaya baru untuk mengelola organisasi, tetapi lebih kepada cara-cara klasik berorganisasi, seperti keaktifan anggota, kekurangan anggota, atau anggota yang tidak mampu menjalankan tanggung jawabnya.

Karena pers mahasiswa bukan organisasi biasa

Setelah disadari bahwa pers mahasiswa tidak memiliki tolak ukur seperti piala atau sertifikat, dan ada banyak hal yang harus dirombak dalam cara pengelolaan pers mahasiswa untuk menghasilkan produk yang lebih baik, sudah saatnya kita mulai banyak berdiskusi tentang bagaimana pers mahasiswa seharusnya dikelola.

Ada satu kata yang agak berat jika diucapkan ini kepada pers mahasiswa, tapi hal itu sangat dibutuhkan. Kata itu adalah profesionalisme. Namun perlu diingat, profesionalisme tidak akan dicapai apabila seseorang tidak ahli di bidangnya, dan seseorang itu tidak akan bisa ahli di bidangnya apabila ia tidak mendapatkan pengalaman belajar yang baik. Sialnya, anggota pers mahasiswa tidak seperti pekerja di perusahaan-perusahaan media yang digaji. Anggota pers mahasiswa adalah seorang relawan/volunteer, dan tidak setiap pers mahasiwa paham akan posisi ini.

pers mahasiwa cenderung untuk meminta anggotanya untuk loyal dan all-out, tapi alfa dalam memikirkan apa yang bisa mereka berikan kepada anggota yang sudah dengan rela menyisihkan waktu dan tenaganya. Di sinilah letak perbedaan besar pers mahasiswa dengan organisasi biasa, bahkan dengan perusahaan media sekalipun. Pers mahasiswa harus merancang sendiri pencapaian dan pengalaman belajar yang harus dicapai para anggotanya. Selain harus memikirkan produk-produk yang akan mereka keluarkan—dan inovasi yang harus mereka lakukan, pers mahasiswa harus bisa menjadi fasilitator belajar yang baik bagi anggota-anggotanya.

Setidaknya ada tiga hal yang harus pers mahasiswa lakukan untuk menyelesaikan sekian masalah di atas. Pertama adalah rencana strategis (renstra), kedua adalah kurikulum, dan yang terakhir adalah silabus. Ketiga hal ini adalah hal dasar yang perlu pers mahasiswa susun untuk bersiap menjadi independen dan mandiri secara kaffah, hingga mencapai profesionalisme untuk setiap tugas anggota-anggotanya.

Rencana strategis adalah sebuah visi, grand design, tentang arah gerak pers mahasiswa dalam rentang waktu tertentu. Renstra inilah yang akan menjadi rujukan untuk setiap program kerja tahunan yang akan disusun. Dalam renstra pula pers mahasiswa menentukan, mereka akan menjadi pers mahasiswa yang seperti apa. Sedangkan kurikulum adalah penentuan proses belajar dalam pengkaderan anggota baru untuk mencapai tujuan tertentu—biasanya dalam mendapatkan kartu pers, dan silabus adalah kumpulan materi yang harus dipelajari anggota selama masa pengkaderan anggota baru.

Setidaknya, dalam menghadapi perubahan-perubahan besar yang begitu cepat, pers mahasiswa sudah memiliki modal sederhana namun berarti, yaitu tujuan dan pondasi keorganisasian yang kokoh. Dengan begitu, kondisi sesulit apapun akan berhasil dihadapi pers mahasiswa. Karena semua hal yang terlihat mustahil bukan tidak bisa dilakukan, tetapi hanya sulit. Tinggal bagaimana kita membedah apa yang menjadi kesulitan untuk menghasilkan inovasi dan gaya-gaya baru untuk mengatakan impossible is possible.

Kategori
Siaran Pers

Warga Bara-Baraya Menuntut Keadilan dan Peradilan Bersih

WASPADA MAFIA PERADILAN DAN INTERVENSI PENGADILAN

Salam Perjuangan. . .

Sengketa lahan warga Bara–Baraya vs Nurdin Dg. Nombong & Kodam XIV Hasanuddin yang mengklaim tanah warga sebagai tanah okupasi asrama TNI-AD telah bergulir sejak tahun 2016 lalu. Pihak Kodam memaksa untuk melakukan pengosongan lahan tanpa melalui jalur pengadilan. Tetapi warga berhasil menghadang upaya paksa dari Kodam. Maka pada tahun 2017, Nurdin Dg. Nombong bersama Kodam mengajukan gugatan ke Pengadilan Negari Makassar. Melalui Perkara Nomor nomor 255/Pdt.G/2017/PN MKS. Perkara ini berhasil dimenangkan oleh warga, baik di tingkat pengadilan negeri maupun Pengadilan Tinggi Makassar.  

Upaya perampasan lahan warga Bara – Baraya  tidak berhenti di situ. Pada tahun 2019, Nurdin Dg. Nombong bersama Kodam kembali mengajukan gugatan ke Pangadilan Negeri Makassar, berdasarkan Perkara Nomor: 239/Pdt. G/2019/PN Makassar. Lagi – lagi warga berhasil memenangkan perkara ini.

Dalam prosesnya, pada sidang tanggal 4 Februari 2020, TNI-AD melalui kuasa Hukumnya, meminta izin kepada Ketua Majelis Hakim untuk menurunkan prajurit TNI-AD dengan alasan pengamanan Sidang Pemeriksaan Setempat yang akan dilaksanakan pada 6 Februari 2020, alasannya TNI adalah pihak yang berkepentingan dalam perkara ini, tetapi Kuasa Hukum Warga Bara – Baraya berkeberatan dengan permintaan pihak Kuasa Hukum Kodam, dengan alasan bahwa tidak punya kewenangan untuk mencampuri persidangan perkara sipil, baik alasan sebagai pihak maupun alasan pengamanan.

Setelah Majalis Hakim bermusyawarah, akhirnya Permintaan dari pihak Kuasa Hukum Kodam ditolak. Walaupun begitu, pada kenyataannya dalam sidang PS, TNI-AD menurunkan tetap menurunkan beberapa prajurit.

Pada tanggal 12 Maret 2020, Pengadilan Negeri Makassar atas perkara nomor 239/Pdt. G/2019/PN Makassar, menjatuhkan putusannya Menyatakan gugatan Penggugat tidak dapat diterima dengan pertimbangan kuat yaitu:

  • Penggugat tidak menarik PPAT Kecamatan Makassar sebagai Tergugat, dalam hal ini untuk menilai sah atau tidaknya Akta Jual Beli milik Tergugat VIII (Subaedah), maka mutlak ditarik PPAT selaku pejabat yang berwenang mengeluarkan Akta Jual Beli milik Tergugat VIII (Subaedah);
  • Dalam sidang pemeriksaan setempat, Penggugat tidak mampu menunjukkan satu persatu tanah yang dikuasai oleh masing-masing tergugat;

Nurdin Dg. Nombong bersama Kodam XIV tidak menerima putusan Pengadilan Negeri Makassar tersebut di atas, kemudian menyatakan banding. Di tengah situasi darurat kesehatan akibat covid-19, dimana pemerintah mengeluarkan berbagai kebijakan antaranya social distancing dan physical distancing perkara banding atas putusan PN Makassar 239/Pdt. G/2019/PN Makassar bergulir di Pengadilan Tinggi Makassar.

Selama proses banding berjalan, Para Tergugat tidak pernah mendapat surat pemberitahuan dari Pengadilan Tinggi Makassar perihal penerimaan berkas dan register perkara. Padahal berdasarkan sistem administrasi peradilan, seharusnya pihak pengadilan tinggi menyampaikan surat pemberitahuan tersebut kepada para pihak.

Pada 9 September 2020, dengan susunan Majelis Hakim Banding, yaitu: H. Ahmad Gafar, S.H., M.H. (Ketua), Sri Herawati, S.H., M.H. (Anggota) dan Mustari, S.H. (Anggota), Pegadilan Tinggi Makassar menjatuhkan putusan yang anehnya berbeda dengan putusan Pengadilan Tinggi  atas putusan Perkara Nomor 255/Pdt.G/2017/PN MKS. Hal mana Pengadilan Tinggi dalam putusannya atas Perkara Banding Nomor 228/PDT/2020/PT.Mks menjatuhkan putusan antara lain, sebagai berikut: 

Menerima permohonan banding dari Pembanding/Terbanding semula Penggugat dan Pembanding II/Terbanding I semula Tergugat I; Membatalkan putusan Pengadilan Negeri Makassar Nomor 239/Pdt.G/2019/PN. Mks tanggal 12 Maret 2020”. Pada poin 8 amar putusan perkara a quo Lebih lanjut menegaskan bahwa  Menghukum Tergugat II, III, IV, V, VI, VII, VIII, IX, X, XI, XII, XIII, XIV, XV, XVI, XVII, XVIII, XIX, XX, XXI, XXII,XXIII, XXIV, XXV, XXVI, XXVII, XXVIII, XXIX, XXX, XXXI, XXXII, XXXIII, XXXIV, XXXV, XXXVI, XXXVII, XXXVIII, XXXIX dan XL atau siapa saja yang mendapat hak dari padanya untuk mengosongkan tanah sengketa tersebut diatas, kemudian diserahkan kepada Penggugat jika diperlukan bantuan Tergugat I atau aparat kepolisian tanpa dibebani syarat;

Pemberitahuan Putusan Banding tersebut baru diterima oleh oleh warga selaku Terbanding pada 5 Oktober 2020. Sedangkan TNI-AD menerima surat pemberitahuan putusan banding pada tanggal 22 September 2020 dan Nurdin Dg. Nombong menerima surat pemberitahuan putusan banding pada tanggal 23 September 2020.

Setelah menerima pemberitahuan putusan banding tersebut, warga melalui kuasa hukumnya menyatakan Kasasi. pada tanggal tanggal 15 Desember 2020, Kepaniteraan Pengadilan Negeri Makassar mengirim berkas kasasi berdasarkan nomor surat: W22.U1/5725/HK.02/12/2020.

Sebelum berkas kasasi dikirimkan, Pengadilan Negeri Makassar tidak pernah menyampaikan kepada warga beserta pihak lain yang berperkara untuk mempelajari/memeriksa kelengkapan berkas perkara kasasi (inzage).

Dari hal – hal diatas kami dari aliansi Bara – Baraya Bersatu menduga kuat adanya perlakukan diskriminatif, mafia peradilan, maupun indikasi adanya upaya intervensi TNI-AD terhadap perkara ini.

Untuk itu Kami kami dari Aliansi Bara–Baraya Bersatu menyatakan:

Meminta kepada Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia; Komisi Pemberantasan Korupsi Republik Indonesia; dan Komisi Yudisial Republik Indonesia untuk dapat melakukan pemantauan dan pengawasan ketat atas perkara ini demi menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat serta perilaku hakim dalam rangka terwujudnya sistem peradilan bersih dan agung. serta memenuhi rasa keadilan masyarakat khususnya warga Kelurahan Bara-Baraya, Kota Makassar, selaku korban dari upaya penggusuran.

Makassar, 12 Februari 2021

Nara Hubung:
085231011007-Muh. Nur (Warga Bara-Baraya)
0812 4116 3839-Muh. Ansar (LBH Makassar) 

Tembusan:

  1. Mahkamah Agung RI;
  2. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK);
  3. Komisi Yudisial RI;
  4. Jurnalis/ Wartawan se-Kota Makassar;
  5. Arsip.