Kategori
Siaran Pers

Press Release PPMI terhadap Kasus Pelecehan Seksual yang Dilakukan Sekjend PPMI DK Semarang

I. Pengantar Advokasi Kasus Pelecehan Seksual

14 Februari 2020, Badan Pekerja Advokasi Nasional Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia (BP Advokasi Nas PPMI) mendapatkan laporan dari salah satu anggota Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) (selanjutnya disebut pelapor)  terkait pelecehan seksual yang dilakukan oleh Muhammad Shofi Tamam, Sekjend PPMI Dewan Kota (DK) Semarang. Pelapor menjelaskan bahwa ada lebih dari satu penyintas dari pelecehan seksual yang dilakukan Tamam.

Pelapor memberikan keterangan itu kepada BP Advokasi Nas PPMI ketika PPMI mengadakan Kongres Nasional ke 15 PPMI di Madura. Pelapor bercerita kepada BP Advokasi Nas PPMI supaya PPMI maupun lembaga lainnya bisa menghadirkan lingkungan yang ramah perempuan dengan mengadili serta membuat jera pelaku, melindungi penyintas, dan mendengar tuntutan penyintas.

Setelah mendapatkan keterangan dari pelapor, BP Advokasi Nas PPMI mengajak seluruh BP Nas PPMI yang hadir di Kongres untuk membahas hal tersebut. Setelah membahas keterangan dari pelapor, BP Advokasi Nas PPMI membentuk tim advokasi kasus kekerasan seksual. Tim advokasi kasus kekerasan seksual terdiri dari seluruh BP Nas PPMI dan BP Advokasi PPMI DK Malang. Kemudian, pada tanggal 15 Februari 2020, forum Kongres dipending ketika Laporan Pertanggungjawaban BP Advokasi Nas PPMI. Forum dipending dengan alasan ada kasus yang harus segera diselesaikan oleh BP Nas PPMI. Setelah forum dipending, BP Advokasi Nas PPMI menemui Tamam untuk melakukan proses verifikasi dan memberi ruang pembelaan pelaku.

Hasil proses dari ruang pembelaan pelaku kemudian dibahas oleh seluruh BP Nas PPMI. Lalu pada 16 Februari 2020, BP Nas PPMI melalui Rahmat Ali selaku Sekjend Nas PPMI memberikan keputusan kepada Tamam untuk memenuhi tuntutan penyintas yang salah satunya adalah memberhentikan Tamam dari jabatan Sekjend PPMI DK Semarang.

Berikut kami sampaikan ruang pembelaan pelaku, hasil pembahasan dan keputusan BP Nas PPMI kepada Tamam, serta advokasi bersama AJI Semarang dan LRC-KJHAM Semarang.

II. Ruang Pembelaan Pelaku

BP Advokasi Nas PPMI memberikan ruang pembelaan pelaku kepada Tamam pada tanggal 15 Februari 2020. Pihak yang hadir di ruang pembelaan pelaku itu adalah Wahyu sebagai BP Advokasi Nas PPMI, Tamam sebagai terduga pelaku pelecehan dan Fitron sebagai BP Advokasi PPMI DK Malang yang membantu BP Nas PPMI dalam advokasi kasus. Selain itu ada pengurus PPMI DK Semarang yaitu Gunawan (LPM Dimensi) sebagai BP Advokasi PPMI DK Semarang, Bagas (LPM Suprema), Yusron (LPM Gema Keadilan) dan Diki (LPM Vokal).

Ruang pembelaan pelaku dimulai dengan proses verifikasi keterangan pelapor kepada Tamam sebagai terduga pelaku pelecehan seksual. Ketika proses verifikasi, Tamam membenarkan bahwa dia melakukan pelecehan kepada penyintas. Tamam juga membenarkan bahwa dia menggunakan relasi kuasanya di LPM Menteng, PPMI DK Semarang dan Aliansi Jurnalis Independen(AJI)Semarang (berupa sekretariat LPM, kantor AJI Semarang), maupun kegiatan-kegiatan Persma seperti malam keakraban (Makrab) dan kunjungan LPM untuk melakukan tindakan pelecehan kepada penyintas.

Tamam juga mengakui bahwa dia melakukan pelecehan kepada penyintas dengan mengajaknya camping (dengan tenda pinjaman milik AJI Semarang) maupun ketika membonceng penyintas dengan motor. Selain itu, Tamam juga mengakui bahwa dia tidak hanya melakukan pelecehan ke beberapa anggota LPM, tapi Tamam juga melakukan pelecehan ke penyintas dari organisasi di luar LPM atau PPMI DK Semarang.

Selain membenarkan tindakan pelecehan yang dilakukan, Tamam juga memberi klarifikasi atas tindakannya itu. Klarifikasi pertama, pelecehan di atas motor ketika membonceng penyintas sepulang dari kunjungan LPM. Tamam tidak merasa melakukan pelecehan karena waktu itu ia meminta penyintas untuk pegangan ke perut Tamam, namun penyintas menolak. Kemudian ketika Tamam mempercepat laju motor, penyintas tiba-tiba memeluknya tanpa Tamam memintanya.

Klarifikasi kedua ketika pelecehan di tenda waktu camping, di sekretariat LPM Menteng dan kantor AJI Semarang. Tamam mengatakan kalau penyintas tidak menolak kontak fisik (pelukan maupun ciuman) yang dilakukannya dan penyintas membalas kontak fisik itu. Sehingga, Tamam merasa kalau dia tidak melakukan pelecehan karena penyintas membalas kontak fisik itu.

Klarifikasi ketiga yaitu tentang pelecehan yang terus menerus dilakukan Tamam kepada penyintas. Tamam terus melakukan pelecehan itu karena dia menganggap bahwa yang dilakukannya bukan pelecehan, tapi suka sama suka karena penyintas juga membalas kontak fisiknya. Tamam juga mengatakan kalau penyintas merasa nyaman dan menikmati kontak fisik itu. Selain itu, Tamam mengatakan kalau penyintas juga pernah mengajaknya camping, sehingga Tamam merasa bukan hanya dia yang salah, tapi penyintas juga salah.

Setelah mendengar klarifikasi dari Tamam, Wahyu melakukan verifikasi kembali terhadap klarifikasi Tamam dengan mengajukan beberapa pertanyaan. Pertama, Wahyu menanyakan apakah kontak fisik yang dilakukan Tamam itu melalui persetujuan (consent) dari penyintas? Lalu Tamam menjawab bahwa dia tidak meminta persetujuan dalam bentuk verbal (kata-kata) untuk melakukan kontak fisik ke penyintas, tapi Tamam langsung melakukan kontak fisik dengan gerakan tubuhnya.

Kedua, Wahyu menanyakan ajakan camping Tamam ke penyintas, apakah Tamam mengajak camping dengan penyintas untuk melakukan kontak fisik itu? Kemudian Tamam menjawab bahwa dia tidak mengajak camping penyintas untuk melakukan kontak fisik itu. Begitu juga penyintas, Tamam mengatakan kalau penyintas tidak mengajak camping Tamam untuk melakukan kontak fisik itu. Tamam maupun penyintas saling mengajak camping untuk mengerjakan tugas atau untuk refreshing saja.

Ketiga, Wahyu menanyakan kepada Tamam siapa yang pertama dan paling sering mengajak camping serta melakukan kontak fisik? Lalu Tamam menjawab bahwa dia sendiri yang pertama dan paling sering mengajak camping serta melakukan kontak fisik. Sedangkan penyintas hanya mengajak camping sekali saja, itu pun tidak jadi camping.Penyintas juga tidak pernah mengajak atau memulai untuk melakukan kontak fisik. Tamam sendiri mengatakan kalau penyintas tidak pernah berkata merasa nyaman dan menikmati kontak fisik itu.

Keempat, Wahyu menanyakan kepada Tamam, apakah dia tahu bahwa penyintas merasa terpaksa, takut dan tidak punya pilihan ketika Tamam melakukan semua kontak fisik itu sampai penyintas mau lompat dari motor ketika Tamam memaksa penyintas untuk memeluknya? Kemudian Tamam mengiyakan kalau dia mengetahui semua itu. Tamam mengatakan kalau dia baru mengetahui ketidaknyamanan penyintas setelah penyintas menolak kontak fisik dari Tamam dengan tegas. Setelah mengetahui kalau penyintas merasa tidak nyaman dan berani menolak kontak fisiknya, Tamam mengatakan beberapa bulan setelah Reuni Nasional dan Dies Natalis PPMI (25 – 28 Oktober 2019 di Semarang) selesai, dia tidak melakukan lagi kontak fisik itu ke penyintas.

Setelah melakukan verifikasi kembali terhadap klarifikasi Tamam dan mendengar jawaban-jawabannya, Wahyu menyampaikan bahwa Tamam juga sudah mengakui tindakan pelecehan yang dilakukannya, sehingga Tamam harus memenuhi tuntutan penyintas untuk memberhentikannya dari jabatan Sekjend PPMI DK Semarang. Selain itu, Tamam juga harus memenuhi tuntutan lain dari penyintas yaitu meminta maaf secara langsung kepada semua penyintas yang pernah dilecehkan serta kepada publik dan berjanji tidak akan mengulangi tindakan pelecehan lagi kepada siapapun. Serta menanggung biaya pemulihan semua penyintas yang pernah dilecehkan.

Namun, Tamam tidak terima dengan tuntutan penyintas untuk berhenti atau mengundurkan diri dari Sekjend PPMI DK Semarang. Tamam memberatkan pemberhentian itu dengan alasan kalau dia tidak sepenuhnya salah tapi penyintas juga salah, serta alasan-alasan lain dari klarifikasi yang sudah disebutkan sebelumnya.

Melihat Tamam yang tidak terima dengan konsekuensi itu, Wahyu membuka sesi dialog untuk mendengar pendapat dari Fitron, Gunawan, Bagas, Yusron dan Diki.

Bagas yang pertama menyampaikan pendapatnya. Bagas mengatakan kalau dia kecewa dengan tindakan Tamam. Bagi Bagas, tindakan Tamam adalah tindakan yang sangat tidak etis. Bagas menilai kalau tindakan Tamam tidak bisa dilanjutkan lagi, kalau dilanjutkan tentu menjadi kebiasaan yang buruk. Bagas menekankan kalau penyintas adalah seorang wanita, kalau dipaksa melakukan kontak fisik, pasti dia akan takut, dia ingin menolak tapi dia diam dan tidak bisa berbuat apa-apa.

Bagas meminta supaya Tamam lebih merasakan rasa sakitnya penyintas ketika dilecehkan. Bagi Bagas, penyintas mungkin bisa menahan rasa sakitnya, tapi kalau suatu saat nanti dia tidak menahannya, dia bisa melakukan hal-hal yang tidak diinginkan. Bagas memperingatkan Tamam supaya tidak terus melakukan pelecehan kepada wanita lain. Menurut Bagas, perempuan harus lindungi, bukan malah dimanfaatkan.

Setelah itu, Diki memberi pertanyaan kepada Tamam, apakah Tamam bersedia untuk tidak memojokkan penyintas setelah forum ruang pembelaan ini? Lalu ketika Tamam memojokkan penyintas setelah forum ruang pembelaan ini apakah Tamam mau tanggungjawab? Kemudian, Tamam mengatakan kalau penyintas mempunyai hak untuk melaporkan ke BP Advokasi Nas PPMI sehingga Tamam bersedia untuk tidak memojokkan penyintas dengan meminta klarifikasi dan sebagainya. Tamam juga akan bertanggungjawab kalau setelah forum ruang pembelaan dia malah memojokkan penyintas.

Setelah itu, Yusron menyampaikan pendapatnya. Menurut Yusron, dia tidak ingin tindakan pelecehan ini terjadi lagi, karena itu akan berdampak ke nasib PPMI DK Semarang.

Kemudian, Gunawan memberikan pendapatnya. Dia mempertanyakan pemberhentian Tamam dari Sekjend PPMI DK Semarang. Gunawan bertanya kepada Wahyu, apakah tuntutan penyintas untuk memberhentikan Tamam dari Sekjend PPMI DK Semarang tidak mempertimbangkan faktor lain? Kemudian, Wahyu menjawab kalau penyintas berhak menuntut Tamam untuk berhenti dari Sekjend PPMI DK Semarang. Kemudian yang berwenang untuk memberi sanksi pemberhentian itu adalah Rahmat Ali, selaku Sekjend Nas PPMI. Hal ini sesuai Anggaran Rumah Tangga (ART) PPMI Pasal 63 tentang Mekanisme Pemberian Sanksi ayat 1 yang menjelaskan, “sanksi diberikan oleh Sekjend Nasional atas pertimbangan Koordinator Wilayah”.

Lalu Gunawan menanyakan lagi, apakah sanksi itu sudah menjadi hasil keputusan pengurus Nas PPMI? Kemudian Wahyu menjawab bahwa sanksi itu belum bisa diberikan, karena yang dilakukan Wahyu adalah pemberian ruang pembelaan pelaku kepada Tamam sebelum Tamam diberi sanksi. Hal ini sesuai Anggaran Rumah Tangga (ART) PPMI Pasal 63 tentang Mekanisme Pemberian Sanksi ayat 2 yang menjelaskan, “sebelum sanksi dijatuhkan, setiap anggota berhak melakukan pembelaan”.

Menambahi pertanyaan Gunawan, Tamam kembali menyatakan ketidakterimaannya dengan tuntutan penyintas. Tamam mengakui kalau dia melanggar AD/ADT, tapi Tamam mempertanyakan sanksi pemberhentian yang akan dia terima. Tamam membandingkan dengan pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan oleh PPMI DK lainnya ketika tidak membayar iuran kas rutin ke pengurus Nas PPMI. Menurut Tamam, masalah pelecehan ini terlalu dibesar-besarkan karena PPMI DK lainnya juga melanggar AD/ADT dengan tidak membayar iuran kas rutin, tapi hanya ditegur oleh pengurus Nas PPMI, sedangkan ketika melakukan pelecehan dia harus diberhentikan oleh pengurus Nas PPMI.

Tamam kembali mengatakan bahwa dia merasa tidak sepenuhnya salah. Tamam merasa kalau dia salah, tapi penyintas juga salah karena penyintas pernah mengajaknya camping, penyintas juga membalas kontak fisiknya dan Tamam merasa bahwa kontak fisik itu didasari suka sama suka. Bahkan, Tamam juga menyatakan tuntutan balik kepada penyintas. Tamam menuntut supaya penyintas merasa biasa-biasa saja dan tidak tertekan. Bagi Tamam, penyintas merasa tertekan karena tindakan penyintas sendiri yang membalas kontak fisik itu dan pernah mengajak Tamam camping.

Menurut Tamam, tuntutan penyintas untuk memberhentikannya dari Sekjend PPMI DK Semarang terlalu berat. Tamam mengatakan kalau meminta maaf saja ke penyintas itu sudah cukup. Tidak hanya itu, Tamam juga mengungkit sifat penyintas yang mirip anak kecil. Tamam mengatakan kalau penyintas suka dekat-dekat dengannya sehingga Tamam merasa terpancing untuk melakukan kontak fisik ke penyintas. Tamam merasa kalau penyintas itu awalnya bersikap cuek, maka Tamam akan cuek dan tidak akan melakukan kontak fisik itu.

Tamam terus menyatakan keberatannya dengan alasan bahwa dia sudah bertahun-tahun mengabdi di PPMI, tapi hanya karena pelecehan yang dia lakukan dia harus diberhentikan dari Sekjend PPMI DK Semarang. Kemudian, Tamam juga mengatakan kalau tuntutan pemberhentiannya yang berdasarkan AD/ART PPMI itu tidak logis.

Selain itu, bagi Tamam tuntutan pemberhentian itu tidak adil karena tuntutan itu hanyalah asumsi penyintas yang tidak relevan. Tamam merasa kalau penyintas tidak melihat apa yang dilakukan Tamam di PPMI. Bahkan Tamam menyamakan sikap penyintas seperti orang putus pacaran yang merasa tertekan dan ingin bunuh diri, serta memiliki nuansa benci sehingga menuntut Tamam seperti itu. Dalam pertimbangan Tamam, dia sudah melakukan banyak hal, tapi karena hal kecil ini, semuanya ambruk.

Menanggapi pendapat Gunawan dan Tamam, Wahyu menjelaskan bahwa kasus pelecehan seksual tidak bisa dibandingkan dengan masalah pelanggaran pembayaran iuran kas rutin PPMI. Mekanisme penyelesaian masalah pelanggaran pembayaran iuran kas rutin jelas berbeda dengan mekanisme penyelesaian kasus pelecehan seksual. Sasaran iuran kas rutin adalah PPMI DK, bukan personal seperti Sekjend PPMI DK. Kemudian pihak yang berwenang adalah Biro Umum Bendahara Nas PPMI, seperti yang dijelaskan dalam ART PPMI Pasal 17 ayat 2 yang menyebutkan bahwa Biro Umum berwenang untuk menarik iuran anggota.

Sedangkan dalam kasus pelecehan seksual, sasarannya adalah Sekjend PPMI DK. Kemudian pihak yang berwenang memberi sanksi adalah Sekjend Nas PPMI. Kemudian yang lebih penting lagi adalah penilaian pelanggaran antara pembayaran iuran kas dan kasus pelecehan seksual itu didasarkan oleh masing-masing dampak yang diakibatkan. Kalau pelanggaran pembayaran iuran kas rutin PPMI dampaknya pada keuangan BP Nas PPMI dan diperbaiki dengan cara menekan PPMI DK untuk membayar iurannya. Tapi kalau kasus pelecehan seksual, dampaknya pada kondisi psikologis penyintas. Sehingga dampak dari pelecehan seksual itu diperbaiki dengan pemulihan kondisi psikologis penyintas dan pemenuhan keadilan bagi penyintas.

Wahyu juga menjelaskan pertimbangan lain ketika Tamam tetap tidak terima dengan tuntutan penyintas. Ada pertimbangan kalau PPMI, terutama Tamam sebagai pelaku, akan mendapatkan tekanan dari individu atau organisasi di luar PPMI. Individu atau organisasi di luar PPMI itu bisa saja menekan PPMI karena menilai PPMI tidak bisa menindak tegas pelaku pelecehan seksual dan tidak bisa menciptakan ruang yang aman bagi perempuan. Selain itu, PPMI bisa dianggap malah melindungi pelaku pelecehan seksual.

Menanggapi penjelasan Wahyu, Tamam mengatakan kalau dia sudah menyadari dampak itu. Tamam mengatakan kalau dia sudah berubah dan tidak pernah melakukan pelecehan lagi mulai beberapa bulan lalu.

Kemudian, Fitron menjelaskan kembali bahwa forum tersebut adalah ruang pembelaan pelaku kepada Tamam. Jadi, hasil forum ruang pembelaan pelaku ini perlu segera dikembalikan kepada pengurus Nas PPMI untuk ditindaklanjuti.

Menanggapi penjelasan Fitron, Wahyu mengatakan kalau di ruang pembelaan pelaku ini Tamam dan pengurus PPMI DK Semarang lain bisa menyatakan pendapat termasuk menolak tuntutan penyintas beserta alasan penolakannya. Kemudian sebelum menutup forum ruang pembelaan pelaku, Wahyu menayakan kembali kepada Tamam, apakah dia bersedia menerima tuntutan penyintas? Lalu Tamam mengatakan kalau dia tetap tidak menerima dengan alasan-alasan yang sudah dia sebutkan sebelumnya. Mendengar jawaban akhir Tamam, Wahyu menutup forum ruang pembelaan pelaku itu.

III. Hasil Pembahasan dan Keputusan BP Nas PPMI

BP Nas PPMI kemudian membahas hasil dari ruang pembelaan pelaku pada 15 Februari 2020. Kemudian dari pembahasan itu kami mencatat tiga poin penting, yaitu:

  1. Berdasarkan pembahasan kronologi dari penyintas dan hasil ruang pembelaan, Tamam melakukan pelecehan seksual kepada penyintas. Mengacu pada Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan), yang dimaksud dengan pelecehan seksual adalah tindakan seksual lewat sentuhan fisik maupun non-fisik dengan sasaran organ seksual atau seksualitas korban. Ia termasuk menggunakan siulan, main mata, ucapan bernuansa seksual, mempertunjukan materi pornografi dan keinginan seksual, colekan atau sentuhan di bagian tubuh, gerakan atau isyarat yang bersifat seksual sehingga mengakibatkan rasa tidak nyaman, tersinggung, merasa direndahkan martabatnya, dan mungkin sampai menyebabkan masalah kesehatan dan keselamatan.

    Tamam sendiri membenarkan bahwa dia melakukan pelecehan kepada penyintas. Tamam juga membenarkan bahwa dia menggunakan relasi kuasanya di LPM Menteng, PPMI DK Semarang dan AJI (berupa sekretariat LPM dan kantor AJI Semarang), maupun kegiatan-kegiatan pers mahasiswa seperti malam keakraban (Makrab), dan kunjungan LPM untuk melakukan tindakan pelecehan kepada penyintas.

    Tamam juga mengakui bahwa dia melakukan pelecehan kepada penyintas dengan mengajaknya camping (dengan tenda pinjaman milik AJI Semarang) maupun ketika membonceng penyintas dengan motor. Selain itu, Tamam juga mengakui bahwa dia tidak hanya melakukan pelecehan ke beberapa anggota LPM, tapi Tamam juga melakukan pelecehan ke penyintas dari luar LPM maupun PPMI DK Semarang.
  1. Tamam berulang kali melakukan kontak fisik ke penyintas tanpa persetujuan (consent) dari penyintas. Tamam sendiri mengakui kalau dia tidak meminta persetujuan dalam bentuk verbal (kata-kata) untuk melakukan kontak fisik ke penyintas, tapi dia langsung melakukan kontak fisik dengan gerakan tubuhnya. Tamam tidak menerima kondisi penyintas yang tertekan, terpaksa, takut dan tidak punya pilihan dengan kontak fisik yang terus dilakukannya.

    Bagi Tamam kontak fisik yang dilakukannya itu didasari oleh rasa suka sama suka karena penyintas membalas kontak fisik dari Tamam dan pernah mengajak Tamam camping. Hal ini berbanding terbalik dengan pernyataan Tamam sebelumnya yang mengakui bahwa dia melakukan pelecehan dan mengetahui bahwa penyintas yang tertekan, terpaksa, takut dan tidak punya pilihan dengan kontak fisik yang terus dilakukannya.

    Seharusnya, ketika mengetahui kondisi penyintas yang tertekan, Tamam mengakui sepenuhnya bahwa tindakannya itu salah karena dia melakukan pemaksaan kepada penyintas, bukan malah mengatakan bahwa tindakannya didasari rasa suka sama suka. Apalagi, Tamam sendiri mengakui kalau penyintas tidak pernah mengajaknya camping untuk melakukan kontak fisik, tapi penyintas mengajaknya camping untuk mengerjakan tugas atau untuk refreshing saja.
  1. Tamam malah menyalahkan penyintas (victim blaming). Tamam mendiskreditkan tuntutan penyintas karena Tamam merasa tuntutan itu tidak adil dan tuntutan itu hanyalah asumsi penyintas yang tidak relevan. Tamam merasa kalau penyintas tidak melihat apa yang dilakukannya di PPMI.

    Bahkan Tamam menyamakan sikap penyintas seperti orang putus pacaran yang merasa tertekan dan ingin bunuh diri, serta memiliki nuansa benci sehingga menuntut Tamam seperti itu. Dalam pertimbangan Tamam, pelecehan yang dilakukannya adalah hal kecil dan tuntutan pemberhentiannya itu terlalu dibesar-besarkan.

    Upaya mendiskreditkan penyintas itu kemudian dilanjutkan Tamam dengan menyalahkan penyintas. Tamam mengatakan kalau sifat penyintas mirip anak kecil karena penyintas suka dekat-dekat dengannya, sehingga Tamam merasa terpancing untuk melakukan kontak fisik ke penyintas. Tamam merasa kalau penyintas itu awalnya bersikap cuek, maka Tamam akan cuek dan tidak akan melakukan kontak fisik itu.

Tamam mengatakan bahwa dia merasa tidak sepenuhnya salah. Tamam terus menyalahkan penyintas dengan alasan yang sama, bahwa penyintas pernah mengajaknya camping, penyintas juga membalas kontak fisiknya dan Tamam merasa bahwa kontak fisik itu didasari suka sama suka. Bahkan, Tamam juga menyatakan tuntutan balik kepada penyintas. Tamam menuntut supaya penyintas merasa biasa-biasa saja dan tidak tertekan. Bagi Tamam, penyintas merasa tertekan karena tindakan penyintas sendiri yang membalas kontak fisik itu dan pernah mengajak Tamam camping. Semua alasan yang digunakan Tamam untuk menyalahkan penyintas itu kemudian dijadikan dasar bahwa dia tidak menerima tuntutan pemberhentian dari Sekjend PPMI DK Semarang dan mengatakan kalau meminta maaf saja ke penyintas itu sudah cukup.

Berdasarkan pembahasan kronologi kekerasan seksual dari penyintas, hasil ruang pembelaan pelaku dan tiga poin penting dari ruang pembelaan pelaku, maka kami BP Nas PPMI memutuskan untuk:

  1. Memberhentikan Muhammad Sofi Tamam dari jabatan Sekjend PPMI DK Semarang.
  2. Menuntut Muhammad Sofi Tamam untuk meminta maaf secara langsung kepada semua penyintas yang pernah dilecehkan serta kepada publik dan berjanji tidak akan mengulangi tindakan pelecehan lagi kepada siapapun.
  3. Menuntut Muhammad Sofi Tamam untuk menanggung biaya pemulihan semua penyintas yang pernah dilecehkan.
  4. Mengimbau kepada seluruh PPMI di masing-masing Dewan Kota untuk bersolidaritas dalam mendukung penyelesaian kasus pelecehan seksual yang dialami oleh pers mahasiswa, mendukung pemenuhan tuntutan penyintas, bertanggungjawabmendampingi penyintas dalam proses pemulihan, menciptakan ruang yang aman bagi penyintas, serta tidak memberi ruang bagi Tamam maupun segala bentuk tindakan kekerasan seksual.

Pada 16 Februari 2020, Tamam sudah diberhentikan dari Sekjend PPMI DK Semarang. Kemudian, PPMI DK Semarang mengadakan Musyawarah Kota Luar Biasa (Muskotlub) pada 1 Maret 2020. Hasil Muskotlub PPMI DK Semarang memutuskan Amiruddin Nur Yusron dari LPM Gema Keadilan sebagai Sekjend PPMI DK Semarang.

IV. Advokasi bersama AJI Semarang dan LRC-KJHAM Semarang

BP Nas PPMI (kemudian menjadi Demisioner PPMI karena kepengurusannya sudah selesai setelah Kongres PPMI di Madura) melanjutkan advokasi bersama Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Semarang. Pada 4-9 Maret 2020, Rahmat Ali dan Wahyu (perwakilan Demisioner PPMI) bertemu dengan AJI Semarang untuk membahas pemulihan dan pemenuhan keadilan bagi penyintas. AJI Semarang menyarankan PPMI untuk bekerjasama juga dengan Legal Resource Center untuk Keadilan Jender dan Hak Asasi Manusia (LRC-KJHAM) Semarang dalam advokasi kasus pelecehan seksual ini. Kemudian Demisioner PPMI dan AJI Semarang bertemu dengan LRC-KJHAM Semarang untuk membahas advokasi kasus pelecehan seksual. Dalam pembahasan itu, disepakati bahwa tim advokasi akan menempuh jalur hukum sebagai bentuk tindakan tegas ke Tamam.

Setelah pembahasan dengan AJI Semarang dan LRC-KJHAM, Demisioner PPMI membentuk tim advokasi yang beranggotakan Wahyu dan Jenna (perwakilan Demisioner PPMI), Tsamrotul Ayu Masruroh dan Muhammad Firman (perwakilan BP Nas PPMI), Yusron dan Gunawan (perwakilan PPMI DK Semarang) bersama perwakilan AJI Semarang dan LRC-KJHAM. Pada 2 April 2020, tim advokasi melakukan pembahasan untuk mempersiapkan bukti, saksi dan keperluan lain yang berkaitan dengan pelaporan ke kepolisian. Selain itu, tim advokasi juga mempersiapkan aduan ke Universitas Wahid Hasyim (Unwahas) Semarang (tempat Tamam berkuliah) terkait kasus kekerasan seksual yang dilakukan oleh Tamam. Laporan tersebut akan ditembuskan ke Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan), Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak, Pengendalian Penduduk, dan Keluarga Berencana Provinsi Jawa Tengah, Komisi Perlindungan Korban Kekerasan Berbasis Gender dan Anak Provinsi Jawa Tengah, dan LLDIKTI Wilayah VI Jawa Tengah.

11 Juni 2020, tim advokasi mengirimkan surat pengaduan kasus pelecehan seksual ke Unwahas Semarang serta tembusan ke lembaga-lembaga lainnya. Pada 3 Agustus 2020, Komnas Perempuan memberikan surat rekomendasi kepada Unwahas Semarang untuk menjatuhkan sanksi tegas terhadap Tamam yang sudah melakukan pelecehan seksual. Kemudian, pada 2 September 2020, Unwahas Semarang memberikan sanksi Drop Out kepada Tamam dengan keterangan karena telah melanggar Kode Etik Mahasiswa dan Peraturan Akademik Unwahas Semarang.

Pada 17 September 2020 penyintas memutuskan untuk tidak melanjutkan advokasi jalur hukum. Penyintas merasa lelah menunggu dan bergantung kepada pendamping hukum dari LRC-KJHAM Semarang yang proses pelaporan ke kepolisiannya lambat. Pelaporan ke kepolisian seharusnya dilakukan pada 28 Agustus 2020, namun pelaporan tersebut tidak terealisasikan karena fokus pendamping hukum yang terpecah-pecah. Komunikasi yang kurang intens dari pendamping hukum terkait kepastian pelaporan ke kepolisian juga membuat penyintas lelah menunggu dan bergantung. Ketidakpastian tersebut berdampak pada kegiatan sehari-hari penyintas. Penyintas merasa tambah tertekan karena lelah menahan amarahnya dan merasa sulit untuk mengingat pengalaman getirnya itu.

V. Permintaan Maaf dan Evaluasi dari PPMI

PPMI menyadari keterlibatannya dalam kesalahan dalam advokasi yang membuat penyintas tambah tertekan. Maka dari itu PPMI menyatakan:

  1. Meminta maaf kepada penyintas karena belum bisa memberikan pendampingan yang maksimal untuk memulihkan kondisi mental serta mewujudkan keadilan bagi penyintas, malah pendampingan yang diberikan PPMI juga membuat penyintas tambah tertekan karena adanya ketidakpastian selama proses advokasi.
  2. Berusaha untuk tidak mengulangi kesalahan yang sama dalam advokasi kasus kekerasan seksual di PPMI.
  3. Melakukan evaluasi terhadap AD/ART dan Kode Etik PPMI sbagai salah satu bentuk komitmen dalam mendukung upaya penindakan tegas pelaku kekerasan seksual, menciptakan ruang yang aman bagi penyintas, serta melawan segala bentuk kekerasan seksual di PPMI.
  4. Membuat Standar Operasional Prosedur (SOP) Penanganan Kasus Kekerasan Seksual di PPMI.
  5. Mendorong setiap Lembaga Pers Mahasiswa untuk menciptakan ruang aman bagi penyintas dan melakukan pengawalan kasus kekerasan seksual yang ada di kampus.

Sampai rilis ini diterbitkan, Tamam masih tidak mengakui pelecehan seksual yang dilakukannya serta belum memenuhi tuntutan dari penyintas. Maka dari itu, PPMI mengimbau kepada seluruh PPMI di masing-masing Dewan Kota serta seluruh organisasi yang mana Tamam aktif di dalamnya untuk bersolidaritas dalam mendukung pemenuhan tuntutan penyintas, menciptakan ruang yang aman bagi penyintas, serta tidak memberi ruang bagi Tamam maupun segala bentuk tindakan kekerasan seksual.

Narahubung:

Tsamrotul Ayu Masruroh, Badan Pekerja Advokasi 2019-2020-085704248033
Wahyu Agung Prasetyo,  Badan Pekerja Advokasi 2018-2019-089682373953
Amiruddin Nur Yusron  Sekjend PPMI DK Semarang 2020-2021-089652294488

Kategori
Siaran Pers

Pernyataan Sikap Kasus Pelecehan Seksual Yang Dilakukan Sekjend PPMI DK Kediri dan Sekjend PPMI DK Malang

Trigger Warning: ada penjelasan upaya melakukan bunuh diri.

Pada 25-28 Oktober 2019, Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia (PPMI) mengadakan kegiatan Reuni Nasional dan Dies Natalis PPMI XXVII. Salah satu agenda dalam kegiatan tersebut adalah forum konsolidasi pers mahasiswa, 26 Oktober 2019 yang dipandu oleh Wahyu Agung Prasetyo dan Jenna Meuthia Aliffiana selaku Badan Pekerja Advokasi Nasional PPMI 2018-2019. Dalam forum tersebut, ada salah satu anggota pers mahasiswa (selanjutnya disebut penyintas) yang berani menceritakan pengalaman kekerasan seksual yang dialaminya di sebuah kampus. Penyintas berani bercerita karena merasa forum itu adalah tempat yang aman untuk bercerita dan dia percaya kepada semua teman-teman di forum itu bisa memahami dan mendukungnya. Kemudian, peserta forum turut berkomentar untuk menguatkan penyintas atas kekerasan seksual yang dialaminya.

Setelah forum konsolidasi pers mahasiswa tersebut selesai, penyintas yang sudah berani menceritakan pengalaman kekerasan seksual yang dialaminya malah mendapatkan Cat Calling dari Achmad Hidayatullah, Sekjend PPMI Dewan Kota Kediri dan Mohammad Khalid, Sekjend PPMI Dewan Kota Malang. Ujaran Cat Calling yang dilakukan Achmad Hidayatullah tersebut seperti “tubuhmu menggoda, kamu cantik sekali” dan lain-lain yang dilakukan secara berulang-ulang.

Kemudian di grup whatsapp peserta Reuni Nasional dan Dies Natalis PPMI, Mohammad Khalid mengutarakan kata-kata yang menyinggung penyintas. Berawal dari obrolan tentang saling berbagi akun instagram, obrolan itu mengarah ke pencarian akun instagram beberapa peserta perempuan. Lalu, setelah Mohammad Khalid mengutarakan bahwa ia tidak menemukan akun instagram penyintas, obrolan grup mengerucut ke penyintas saja. Hingga penyintas merasa tidak nyaman karena obrolan itu, lalu penyintas keluar dari grup ketika Mohammad Khalid mengutarakan “kalau aku butuh **** (penyintas) juga langsung japri”.

30 Oktober 2019, penyintas memberitahukan kepada temannya Tsamrotul Ayu Masruroh dari LPM Unipdu Jombang bahwa ujaran Cat Calling yang ia alami setelah menceritakan kekerasan seksual di forum tersebut membuat penyintas mencekik lehernya sebagai upaya melakukan bunuh diri. Namun upaya bunuh diri tersebut tidak berhasil karena tangannya yang luka setelah kecelakaan membuatnya tidak kuat untuk melakukan hal tersebut.

Pada saat itu, Ayu panik, sehingga dia mengabarkan dan bertanya kepada teman-teman di grup whatsapp ‘baca buku’ milik Front Santri Melawan Kekerasan Seksual (ForMujeres). Karena panik, Ayu menuliskan kronologi singkat yang terjadi, bahwa dalam forum konsolidasi pers mahasiswa tersebut ada penyintas yang mendapatkan Cat Calling setelah menceritakan pengalaman kekerasan seksual  yang dialaminya dan hal itu membuat penyintas melakukan upaya bunuh diri. Di grup tersebut ada diskusi panjang tentang bagaimana kejadian itu dan apa yang harus bisa dilakukan untuk membantu penyintas.

Persoalan menjadi kacau ketika Yuga Gumilang Pambudi Wijaya salah satu anggota grup For Mujeres dan mantan pengurus PPMI Dewan Kota Malang menyebarkan kronologi singkat dan terpotong dari Ayu tersebut. Salah satu yang mendapat sebaran kronologi tersebut adalah Ugik Endarto, mantan Sekjend PPMI Dewan Kota Malang. Kemudian Ugik membagikan kronologi singkat tersebut di grup whatsapp Persma Indonesia tanpa melakukan verifikasi terkait kebenaran informasinya. Kronologi tersebut menuai banyak komentar dari peserta grup.

Wahyu yang mengetahui bahwa kronologi singkat itu dibuat oleh Ayu kemudian mengkonfirmasi soal kebenaran kronologi tersebut. Kemudian Ayu mengaku bahwa dia yang membuat kronologi tersebut. Wahyu juga mengirim screenshoot komentar-komentar di grup whatsapp Persma Indonesia itu kepada Ayu supaya Ayu mengetahui dampaknya, karena waktu itu Ayu belum masuk grup tersebut. Ayu juga mengaku bahwa dia membagikan screenshoot komentar-komentar di grup whatsapp Persma Indonesia saat penyintas tanya tanggapan pengurus Nasional PPMI itu kepada penyintas tanpa memperhatikan kondisi mental penyintas dan tanpa peringatan pemicu (trigger warning) ke penyintas. Screenshoot komentar-komentar di grup whatsapp Persma Indonesia itu membuat mental penyintas tambah tertekan.

Kemudian, Wahyu menegur Ayu untuk meminta maaf kepada penyintas karena telah membagikan screenshoot komentar-komentar di grup whatsapp Persma Indonesia itu kepada penyintas tanpa memperhatikan kondisi mental penyintas dan tanpa peringatan pemicu (trigger warning) ke penyintas. Wahyu juga menegur Ugik untuk meminta maaf kepada penyintas karena sudah membagikan kronologi singkat tersebut tanpa melakukan verifikasi terkait kebenaran informasinya.

Wahyu dan Ayu kemudian bekerjasama untuk melakukan pendampingan dan advokasi kasus Cat Calling ini. Pada 1 November 2019, Ayu menemani penyintas untuk melakukan konseling kepada Women Crisis Center (WCC) Jombang. Seusai konseling, penyintas menyampaikan tuntutannya kepada Wahyu untuk Achmad Hidayatullah dan Mohammad Khalid yang sudah menjadi pelaku kekerasan seksual Cat Calling. Tuntutan penyintas yaitu membekukan Mohammad Khalid sebagai Sekjend PPMI Dewan Kota Malang sampai Kongres PPMI selesai. Kemudian memberhentikan Achmad Hidayatullah sebagai Sekjend PPMI Dewan Kota Kediri.

Merespon tuntutan tersebut, pada 2 November 2019, Rahmat Ali selaku Sekjend PPMI Nasional 2018-2019 memberi sanksi kepada Achmad Hidayatullah dan Mohammad Khalid untuk meminta maaf kepada penyintas secara tertulis dan meminta mereka mengundurkan diri dari jabatan Sekjend PPMI Kota. Kemudian pada tanggal 2 November 2019, Wahyu menemui Ayu di Jombang untuk merespon tuntutan penyintas dan merencanakan langkah advokasi kedepannya.

3 November 2019, Wahyu menemui Achmad Hidayatullah dan pengurus PPMI Dewan Kota Kediri untuk menyelesaikan kasus Cat Calling ini. Achmad Hidayatullah mengakui kesalahannya karena sudah melakukan pelecehan seksual Cat Calling kepada penyintas serta menyebar kontak penyintas ke laki-laki lainnya. Achmad Hidayatullah juga mengaku bahwa ia maupun Mohammad Khalid tidak mengetahui kalau penyintas pernah mengalami kekerasan seksual oleh dosen di kampusnya. Kedua pelaku  juga tidak tahu kalau penyintas pernah menceritakan kekerasan seksual yang dialaminya itu di forum konsolidasi pers mahasiswa. Kedua pelaku tidak mengetahui hal tersebut karena waktu konsolidasi pers mahasiswa, mereka tidak berada di forum tapi mereka sedang di forum bedah buku bersama Forum Alumni Aktivis (FAA) PPMI. Setelah itu, Achmad hidayatullah dan Mohammad Khalid meminta maaf secara langsung kepada penyintas dan menerima sanksi untuk mengundurkan diri dari jabatan Sekjend PPMI Kota.

Namun, setelah sanksi itu diberikan, penyintas menarik tuntutannya tersebut karena dia merasa tuntutan tersebut memberatkan kedua pelaku. Wahyu dan Ayu sudah menguatkan penyintas untuk tetap memberikan sanksi tersebut, namun penyintas tetap bersitegas menarik tuntutan tersebut. Akhirnya kedua pelaku hanya diberi sanksi meminta maaf atas pelecehan seksual yang dilakukan serta berjanji tidak akan mengulanginya lagi.

Setelah itu, dibentuklah kembali tim advokasi yang berisi Badan Pekerja Advokasi PPMI Nasional dan Badan pekerja Advokasi PPMI Dewan Kota Malang dan Kediri untuk menyelesaikan kasus Cat Calling ini dengan beberapa fokus. Pertama, membantu pemulihan penyintas dengan menjadi support systemnya. Kedua, membuat kronologi kasus pelecehan seksual Cat Calling. Ketiga, membantu advokasi kasus kekerasan seksual yang dialami oleh penyintas dan dilakukan oleh dosen di kampus tersebut. Keempat, membuat Standar operasional (SOP) Penanganan kasus pelecehan dan kekerasan seksual di PPMI.

Tim advokasi melakukan pertemuan untuk penyelesaian kasus Cat Calling pada tanggal 28 Januari 2020 di Kediri dan tanggal 28 Februari 2020 di malang. Namun, dari beberapa pertemuan tersebut belum ada progres yang baik untuk menyelesaikan kasus, seperti belum adanya kronologi kasus Cat Calling, belum maksimalnya pendampingan pemulihan penyintas, belum maksimalnya advokasi kasus kekerasan seksual yang dialami penyintas di kampus dan pembuatan SOP Penanganan Kasus Pelecehan dan Kekerasan Seksual yang belum selesai. Tim advokasi juga kurang tegas dan masih bingung dalam menangani kasus pelecehan atau kekerasan seksual karena belum ada SOP yang jelas. Ditambah laporan kasus pelecehan atau kekerasan seksual dan kasus represi terhadap pers mahasiswa yang masif terjadi, sehingga membagi fokus kerja untuk diselesaikan.

Pada 24 Oktober 2020, penyintas menyatakan bahwa dia sudah memaafkan kedua pelaku dan meminta pelaku untuk menyatakan sikap serta meminta maaf ke publik atas pelecehan seksual yang dilakukannya, sebagai bentuk perwujudan menciptakan ruang aman di PPMI.

Berdasarkan kronologi tersebut, kami Tim Advokasi kasus pelecehan seksual Cat Calling menyatakan:
  1. Meminta maaf kepada penyintas karena belum bisa memberikan pendampingan yang maksimal untuk memulihkan kondisi mental serta mewujudkan keadilan bagi penyintas.
  2. Menuntut Achmad Hidayatullah selaku Sekjend PPMI Dewan Kota Kediri dan Mohammad Khalid selaku Sekjend PPMI Dewan Kota Malang untuk menyatakan sikap dan meminta maaf ke publik atas pelecehan seksual yang dilakukannya.
  3. Membuat Standar Operasional (SOP) Penanganan Kasus Pelecehan dan Kekerasan Seksual di PPMI sebagai upaya untuk menciptakan ruang aman dan melawan segala bentuk pelecehan atau kekerasan seksual di PPMI.
  4. Mendorong setiap Lembaga Pers Mahasiswa untuk menciptakan ruang aman bagi penyintas dan melakukan pengawalan kasus pelecehan dan kekerasan seksual yang ada di kampus.
Narahubung:

Badan Pekerja Advokasi Nasional PPMI 2019-2020 (Tsamrotul Ayu Masruroh, 0857 0424 8033)
Badan Pekerja Advokasi Nasional PPMI 2018-2019 (Wahyu Agung Prasetyo, 0896 8237 3953)

Kategori
Agenda

Belajar (Jurnalistik) Bersama Serat.id #2

Redaksi serat.id membuka kesempatan bagi mahasiswa aktif di Indonesia untuk belajar lebih mendalam tentang jurnalisme. Para peserta akan mendapatkan pembekalan materi dari para pakar melalui kelas virtual. Tak hanya itu, peserta terpilih juga akan mendapatkan kesempatan magang bersama serat.id selama dua bulan.

Narasumber Belajar Bersama Serat.id
Persyaratan Belajar Bersama Serat.id
Materi Belajar Bersama Serat.id
Jadwal Belajar Bersama Serat.id
Kategori
Diskusi

Demonstrasi Biaya Kuliah Saat Pandemi dan Pentingnya Belajar dari Gerakan Mahasiswa Chile

“Pembangkangan, bagi mereka yang pernah membaca sejarah adalah kualitas terbaik manusia. Melalui pembangkanganlah kemajuan dicapai, melalui ketidakpatuhan dan pemberontakan,” ~Oscar Wilde.

Sebulan terakhir di negeri ini sedang terjadi gelombang demonstrasi mahasiswa menyoal biaya kuliah. Tuntutan mahasiswa dari berbagai kampus pun berbeda-beda, ada yang hanya sebatas menuntut pengurangan biaya kuliah dan sebatas keberatannya membeli kuota internet, hingga ada yang menuntut biaya pendidikan gratis dan melakukan mogok bayar. Meskipun berbeda-beda tuntutan, pada dasarnya para mahasiswa di berbagai daerah itu memiliki latar belakang yang sama, mereka diseru untuk membayar biaya kuliah, sementara  situasi perekonomian sedang krisis, sehingga mereka keberatan atau bahkan tak mampu untuk membayarnya.

Saya pribadi lebih setuju dengan tuntutan mahasiswa yang menuntut biaya pendidikan gratis dan melakukan mogok bayar, menurut saya hal ini lebih realistis dan layak dijadikan sebagai gerakan bersama. Saya menganggap bahwa rata-rata dari mahasiswa membayar biaya kuliah dari penghasilan orang tua, dan rata-rata orang tua mereka adalah dari kalangan strata rendah, mayoritas dari keluarga kelas pekerja, entah itu pekerja formal/informal, buruh industri/non industri, guru honorer dan sebagainya, yang saat ini merasakan krisis perekonomian, sebagai dampak dari pandemi. Untuk makan sehari-hari saja mereka kesusahan, apalagi untuk membayar biaya kuliah tunggal. Tentunya wacana menormalkan kembali perekonomian seperti sebelum pandemi itu tidak semudah membalik telapak tangan, perlu waktu bertahun-tahun untuk menyetabilkan perekonomian. Karena banyak dari kelas pekerja yang sudah kehilangan pekerjaan dan dirumahkan. Selebihnya lagi, pandemi di Indonesia tidak bisa diprediksi kapan berakhirnya.

Demonstrasi mahasiswa akibat resah dengan biaya uang kuliah, di beberapa tempat pun tak mendapat sambutan yang baik dari birokrasi kampus, beberapa di antaranya menyuruh mahasiswa untuk pindah kuliah, lebih tragisnya lagi ada mahasiswa yang dihadapkan dengan berbagai ancaman, represi bahkan drop out. Sebanyak 34 mahasiswa Universitas Nasional diancam dilaporkan pidana UU ITE dan diancam drop out kampus. Togi mahasiswa Universitas Bunda Mulia drop out gara-gara menuntut transpransi biaya, seorang mahasiswa Universitas Islam Negri Imam Bonjol menerima pukulan sampai harus dirawat di rumah sakit, sembilan mahasiswa Universitas Bina Insan Lubuk Linggau di drop out dari kampusnya. Itu adalah contoh kecil yang saya sebutkan, masih banyak yang belum disebutkan di sini. Namun dari situ saja kita sudah bisa melihat dengan jelas bagaimana watak kampus di Indonesia yang tidak mau mengerti penderitaan mahasiswa di tengah pandemi.

Menyikapi hal itu, beberapa pekan ini mencuat berbagai wacana konsolidasi nasional yang digulirkan oleh kelompok mahasiswa, untuk merespons kebijakan biaya pendidikan karena dampak pandemi pada perguruan tinggi. Letupan-letupan protes yang terjadi di berbagai kampus di Indonesia dan sosial media, menurut saya sampai saat belum mampu—jika tidak mau disebut gagal—memberikan perubahan yang signifikan terhadap kebijakan biaya pendidikan dalam skala nasional. Berbagai letupan protes tersebut, ironisnya yang sampai saat ini hanya mampu menghiasi media. Besar harapan saya, jangan sampai wacana ini ramai dipermukaan tanpa pengonsolidasian dan tuntutan yang lebih lanjut.

Penting menurut saya, kita perlu mengoreksi, mengapa tuntutan mahasiswa terhadap pembayaran biaya pendidikan di Indonesia sejauh ini masih terhenti sebatas judicial review dan letupan-letupan protes secara sporadis di masing-masing perguruan tinggi. Di Chile gerakan penuntutan dapat direspon dengan sangat masif oleh mahasiswa dan menjadi gerakan rakyat untuk menekan pemerintah melakukan perubahan kebijakan pada sektor pendidikan. Nah, disini saya ingin mengajak kawan-kawan semua untuk belajar dari gerakan mahasiswa Chile, sebuah gerakan masif yang menyita perhatian dunia pada abad ini.

Gerakan Mahasiswa Chile: Pendidikan tidak untuk dijual

“Universitas tidak bisa menjadi bisnis dan pendidikan tidak bisa menjadi komoditas. Masa depan Universitas dipertaruhkan, dan dalam pertempuran ini kita tidak akan meletakkan tangan kita ke bawah,” ~Camila Vallejo, Presiden Confederación de Estudiantes de Chile (CONFECH).

Gerakan mahasiswa Chile yang terjadi pada kisaran tahun 2011, merupakan salah satu gerakan sosial yang cukup besar dan menyita perhatian dunia pada abad ini. Gerakan itu dipantik oleh mahasiswa, yang didasari adanya kondisi ekonomi politik Chile sebagai Negara Kapitalis atau bisa juga disebut sebagai Negara Dunia Ketiga, yang terdapat jurang ketimpangan antara si kaya dan si miskin semakin jelas. Gerakan tersebut menentang kebijakan neoliberalisme pendidikan, yang menghambat orang miskin tidak bisa mendapat akses pendidikan.

Proses reformasi neoliberal di Chile, mulai dilakukan saat presiden sayap Kiri yang bernama Allende dikudeta oleh kelompok militer di bawah komando Pinochet pada kisaran tahun 1973. Proses kudeta itu sering disebut dengan “Peristiwa Jakarta”. Karena memiliki kesamaan proses kudeta dari Pinochet dengan kudeta dari Soeharto, sehingga menjadi penyebab munculnya term itu. Seperti adanya peran CIA, proses kudeta yang dibangun atas dalih membasmi kelompok yang dituduh akan melakukan kudeta, proses untuk menangkal paham komunis, dan juga penggunaan berbagai aksi massa untuk memberi legitimasi pemerintahan militer.

Neoliberalisasi di Chile telah membentuk sektor pendidikan sebagai komoditas dan barang mewah yang hanya bisa dinikmati oleh orang tertentu dan menjadi lumbung meraih keuntungan yang besar bagi pengelola lembaga pendidikan. Kemudian menimbulkan perlawanan dari para pelajar sekolah menengah atas pada kisaran tahun 2006, yang sering disebut sebagai “Revolusi Pinguin”, karena mereka menggunakan seragam putih-hitam pada aksi tersebut. Mereka menuntut adanya pendidikan gratis, adanya demokratisasi dalam dunia pendidikan. Gerakan yang dilakukan para pelajar menengah atas tersebut cukup masif, meskipun gerakan tersebut belum mampu untuk mendorong perubahan dalam undang-undang pendidikan di Chile.

Lima tahun kemudian, ada gerakan mahasiswa yang melakukan aksi dengan skala yang lebih besar. Gerakan ini sering disebut sebagai gerakan musim dingin (Chilean Winter), karena pergerakan dilakukan ketika Chile memasuki musim dingin. Dalam gerakan tersebut menurut saya, terdapat beberapa faktor penting untuk di garis-bawahi dan menarik untuk dicontoh gerakan mahasiswa yang menuntut penggratisan biaya pendidikan pada masa pandemi ini, terlebih mempunyai latar belakang yang sama, yaitu pendidikan menjadi komoditas, yang terlihat lebih jelas ketimpangannya di tengah pandemi ini.

Pertama, gerakan mahasiswa Chile bukanlah gerakan yang diciptakan dari atas ke bawah dari aktor politik yang mapan maupun lembaga politik elit, melainkan gerakan kolektif akar rumput, yang mampu menyatukan berbagai kepentingan. Mereka menolak disebut sebagai gerakan mahasiswa atau gerakan pelajar, mereka memilih disebut sebagai gerakan rakyat. Tak salah jika tuntutan para mahasiswa tentang pendidikan yang gratis telah menembus sekat-sekat antara universitas, ruang kelas tempat di mana para guru mengajar, ladang-ladang pertanian, hingga gudang tempat para buruh bekerja. Gerakan itu dibentuk oleh kegelisahan rakyat tentang pendidikan anak-anak mereka dan juga kegelisahan siswa mengenai masa depan mereka yang tidak menjanjikan sebagai pekerja, yang memantik terbentuknya Aliansi Blok Historis yang berkesadaran politik. Hasilnya dalam gerakan itu terdapat Front Populer yang berisi aktor yang heterogen dengan ideologi politik yang beragam seperti marxis, komunis, anarko bahkan kaum agamawan.

Kedua, Adanya Confederación de Estudiantes de Chile (CONFECH) sebagai pelopor pergerakan dan inisiator konfederasi mahasiswa dari berbagai universitas di Chile, yang awalnya terdiri dari perwakilan asosiasi mahasiswa dari sekitar 30 universitas di Chile, baik universitas negeri ataupun swasta, membuat gerakan protes tersebut menjadi masif, kuat dan tidak terpecah-bela. Mereka meminimalkan struktur hierarki dalam model gerakan. Gerakan protes tersebut merupakan gerakan ‘horizontalisme’ di antara mereka sendiri. Gerakan tersebut merupakan suatu model gerakan baru—yang di Amerika Latin sering disebut dengan “horizontalidad”—yang ditemukan pada gerakan-gerakan radikal buruh yang termarginalisasi di Argentina pada Desember 2001. Horizontalidad sebagai metode gerakan merupakan pengorganisasian orang dalam model di mana mereka menciptakan sebuah hubungan yang terbuka antara peserta, tanpa dewan perwakilan. Meskipun demonstrasi tersebut dikoordinasi oleh CONFECH, Camila Vallejo sebagai ketua dari CONFECH sekaligus sosok yang paling terlihat dalam gerakan tersebut hanya berperan sebagai juru bicara bukan perwakilan gerakan. Selain itu, horizontalisme di dalam internal gerakan memberikan kesempatan bagi semua orang untuk berpartisipasi menyuarakan pendapat mereka. Sehingga keputusan yang diambil terkait gerakan tersebut mendapatkan legitimasi yang kuat dari internal itu sendiri.

Ketiga, gerakan mahasiswa Chile tidak hanya fokus terhadap tuntutan sistem pendidikan, namun mereka juga memberikan solusi terkait masalah tersebut. Selain aksi turun ke jalan, mahasiswa Chile sebagai motor gerakan tersebut mengajukan proposal-proposal yang berisi langkah-langkah yang seharusnya diambil pemerintah untuk membiayai pendidikan gratis di Chile. Di antaranya dengan menasionalisasi tambang tembaga, memotong anggaran belanja militer, melakukan reformasi pajak dan lain sebagainya.

Keempat, strategi aksi yang mereka lakukan beragam. Selain melakukan demonstrasi turun ke jalan dengan orasi. Mereka juga melakukan aksi populer dan kreatif, membangun wacana kekinian, flash-mob masal, aksi dengan kostum menarik dan boneka raksasa, aksi bersepeda hingga aksi berciuman masal di depan istana kepresidenan yang menarik perhatian khalayak, yang membuat orang yang awalnya apatis menjadi turut bergerak bersolidaritas dalam aksi (Meskipun masih belum ada kesadaran politik secara penuh). Lebih dari pada itu, gerakan tersebut berhasil menarik perhatian media massa internasional.

Terakhir, Meskipun belum membuahkan hasil tuntutan pendidikan gratis sepenuhnya, namun mahasiswa Chile telah banyak memberi pelajaran kepada kita semua tentang; bagaimana mahasiswa harusnya mengorganisir dirinya, bergabung dengan gerakan rakyat dan bagaimana mahasiswa menunjukkan dirinya sebagai kekuatan penekan yang layak diperhitungkan dalam membuat kebijakan, bagaimana mahasiswa mempertahankan nafas perjuangan meski memakan waktu yang cukup lama.

Di situasi saat ini sangat tidak mustahil untuk bisa meniru gerakan mahasiswa Chile, menyatu dengan gerakan rakyat, terlebih saat ini banyak rakyat yang mengalami multi krisis yang diakibatkan oleh pandemi. Ditambah lagi pemerintah yang semakin sewenang-wenang bertindak tanpa memperhatikan dampak buruknya, seperti mengesahkan rancangan undang-undang minerba, mencabut rancangan undang-undang penghapusan kekerasan seksual dari prolegnas prioritas 2020, dan berencana mengesahkan undang-undang omnibus law di tengah pandemi seperti ini. Yang tidak mustahil akan melakukan berbagai aksi besar pada masa pandemi ini.

Gerakan mahasiswa mustahil bisa mencapai tuntutan penggratisan biaya kuliah tanpa dukungan rakyat lainnya, mahasiswa adalah anak dari rakyat, biaya kuliahnya dibiayai dari hasil dari jeri payah keringat orang tua yang bekerja di berbagai sektor. Untuk itu baiknya kita harus saling solidaritas dan saling menguatkan sesama gerakan. Karena itu kita perlu kerjasama, berdiskusi, musyawarah untuk membangun kesadaran politik bersama dan membangun gerakan yang lebih masif. Perlulah menyadari bahwa kita semua sama, Slavoj Zizek mengatakan dalam bukunya yang berjudul Pandemi “we are now in the same boat (kita sekarang sedang berada di perahu yang sama).”

Referensi
[1] Umar, A. R. M.  Indoprogress (online). Maret 2013. Undang-Undang Pendidikan Tinggi dalam Jerat Kapitalisme. http://indoprogress.com/2013/03/uu-pendidikan-tinggi-dalam-jerat-kapitalisme/. Diakses, 5 Juli 2020.
[2] Novianto, Arif. majalahsedane.org. 17 Mei 2017. Revolusi Penguin dan Gerakan Musim Dingin Belajar dari Pengalaman Perlawanan Pelajar di Chile. http://majalahsedane.org/revolusi-penguin-dan-gerakan-musim-dingin-belajar-dari-pengalaman-perlawanan-pelajar-di-chile/ diakses, 5 Juni 2020.
[3] Yerry, anarkis.org. Maret 2017. No Se Vende Education Belajar dari Gerakan Mahasiswa Chile. https://anarkis.org/no-se-vende-educacion-belajar-dari-gerakan-mahasiswa-chile/ diakses, 5 juli 2020.

Kategori
Diskusi

Pemaknaan Hari Raya dan Motif Kebijakan New Normal

Apakah umat Islam di Indonesia saat ini benar-benar sedang berlebaran? Atau jangan sampai berlebaran yang dipahami hanya sebatas ritual saja dengan menyelenggarakan shalat Idul Fitri tanpa makna. Sayangnya, saat ini umat Islam pada hakikatnya belum menikmati lebaran dikarenakan tak ada perubahan signifikan pada kehidupan masyarakat. Hal tersebut diungkapkan Muhammad Al-Fayyadl, aktivis Front Nahdliyin untuk Kedaulatan Sumber Daya Alam (FNKSDA) dalam diskusi yang bertajuk Lebaran dan New Normal, Selasa (2/6).

“Masih banyak ujaran-ujaran kebencian dan kasus-kasus sosial yang terus berulang, tak ada bedanya dengan sebelum lebaran bahkan sebelum Ramadan,” tegas Gus Fayyadl, panggilan akrab Muhammad Al-Fayyadl.

Melihat berbagai fenomena yang terjadi pada lebaran kali ini ada satu fenomena yang sangat berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya. Pada umumnya, lebaran adalah fenomena agama dan kultural, yang ditandai dengan takbir, silaturahmi, dan berbagai ritual sosial lainnya yang dilakukan oleh umat Islam. Gus Fayyadl mengutip  buku “Ramadhan di Jawa” yang ditulis oleh Andre Moller, seorang peneliti dari Norwegia, bahwa dalam pandangan antropologis dan etnografis, fenomena lebaran antara satu tempat dan tempat lainnya mempunyai kesamaan dan kemiripan.

Lebaran kali ini harus dimaknai secara politis, karena sejak sebelum ramadhan bahkan sampai setelah lebaran, isu-isu sosial ekonomi dan politiklah yang paling mendominasi dalam pikiran masyarakat. .Hal ini ditandai dengan banyaknya buruh yang mengalami Pemutusan Hubungan Kerja, kasus-kasus pembungkaman demokrasi yang ditandai dengan kriminalisasi aktivis, perampasan ruang hidup rakyat kecil, dan kebijakan pemerintah pusat serta aktivitas Dewan Perwakilan Rakyat yang banyak mendapat sorotan oleh masyarakat.

“Inilah yang membuat lebaran pada tahun ini tidak ada bedanya dengan hari biasanya. Saya menyayangkan peristiwa ketimpangan sosial yang masih terjadi pada bulan ramadhan dan pasca berlebaran,” kata Gus Fayyadl.

Gus Fayyadl juga menerangkan, satu bulan penuh Ramadhan adalah momen hablumminallah dalam bentuk ibadah seperti shalat dan puasa maka lebaran adalah momen penebusan atau penyucian pada tataran sosial atau hablumminannas.

Di media-media Islam, perdebatan hanya sebatas hukum pelaksanaan shalat Ied di tengah pandemi Covid-19. Padahal lebaran bukanlah sebatas perkara fiqih saja, namun lebih dari itu.  Misalnya, bagaimana kita bisa membangun hubungan sosial yang baik, dan inilah makna lebaran yang kurang banyak disentuh oleh umat beragama di Indonesia.

Semestinya ada perbedaan etika sosial pada kehidupan masyarakat yang lebih baik lagi. Khususnya dalam situasi pandemi, semangat bela rasa atau senasib sepenanggunan haruslah terus ditingkatkan. Inilah satu makna berlebaran yang banyak masyarakat Indonesia kurang berhasil memahaminya.

“Kecenderungan masyarakat memaknai lebaran hanyalah sebatas euforia kemenangan, padahal hingga saat ini fenomena ketimpangan sosial masih terus terjadi yang bahkan terjadi pada bulan suci ramadhan,” tegas Gus Fayyadl.

Lebaran pada tahun ini harus dimaknai secara politis. Selain sedang berpuasa di bulan Ramadhan, umat Islam juga sedang menghadapi wabah yang berpotensi kelaparan. Namun umat Islam memiliki insiatif upaya untuk saling menyelamatkan. Dan insiatif ini harus bersambung, dalam satu makna untuk membantu mereka yang kesulitan. Namun sentimen rasa sepenanggungan seperti ini tak banyak dirasakan oleh umat Islam di Indonesia. “Sehingga Takbir pada lebaran harus dimaknai sebagai perjuangan, (kita harus) bersyukur bisa sehat dan bisa bertahan sampai detik ini. Lebaran itu bukan euforia, musuh masih ada,” tegas Gus Fayyadl kembali.

New Normal, Bentuk Pengabaian Negara

Pada akhir Mei, masyarakat Indonesia mendapatkan sebuah istilah baru dari pemerintah, “New Normal”. Istilah New Normal bukan asli Indonesia, juga bukan diciptakan oleh masyarakat yang terdampak pandemi, New Normal adalah istilah yang dibuat oleh media internasional yang dikeluarkan oleh lembaga dunia WHO. Motif politik dari kebijakan New Normal tidak lain sebagai upaya recovery dari keadaan ekonomi kapital yang saat ini sedang mengalami keterpurukan.

Menurut Gus Fayyadl, New Normal merupakan sebuah kebijakan yang fatal karena menganggap seolah-olah pandemi Covid-19 ini sudah tidak ada. Jadi motif sebenarnya New Normal itu hanyalah economy recovery (pemulihan ekonomi) yang secara jelas merupakan bentuk pelepasan tanggung jawab negara terhadap rakyatnya dalam menghadapi masa pandemi ini. Dengan melaksanakan kebijakan New Normal, Pemerintah memberlakukan Herd Imunity yang artinya negara melakukan pembiaran kepada rakyatnya dengan mengandalkan kekebalan tubuh atau imunitas mandiri banyak ditentang oleh para tenaga medis. Karena banyak kasus di lapangan ditemukan pasien Covid-19 yang telah sembuh masih bisa terjangkit virus kembali.

“Jadi jargon-jargon New Normal adalah bentuk pengabaian negara yang lebih mementingkan pemulihan ekonomi kapital ketimbang keselamatan nyawa rakyatnya. Tentu kebijakan normalisasi ini sangatlah terlalu dipaksakan, dengan mengandaikan New Normal ini dengan aktivitas pabrik-pabrik yang kembali berproduksi sementara faktanya keadaan saat ini belumlah pulih dari Covid-19,” jelas Gus Fayyadl.

Gus Fayyadl juga mempertanyakan keterlibatan aparat bersenjata dalam penerapan kebijakan New Normal. Karena jika aparat dilibatkan dalam penerapan New Normal, maka secara jelas keadaan saat ini belumlah normal.

Bentuk kebijakan normalisasi ini juga dipahami sebagai upaya untuk memperbaiki sesuatu hal yang rusak dengan cara efisien dan praktis yang didasari kepentingan ekonomi kapital tanpa pertimbangan keselamatan hidup rakyat.

“Hal ini tidaklah relevan dengan kebutuhan masyarakat saat ini, dan justru kebijakan New Normal ini akan semakin memperparah dan memperpanjang krisis yang terjadi,” tegas Gus Fayyadl.

Kebijakan menormalisasi kembali kehidupan masyarakat secara paksa dengan melibatkan aparat sangatlah tidak objektif. Sebab krisis yang diakibatkan oleh pandemi Covid-19 masih berlangsung hingga saat ini. Keadaan inilah yang membuat kebijakan New Normal atau penormalisasian kembali roda perekonomian kapital ditengah wabah adalah hal yang mustahil. Terlebih lagi yang menjadi sasaran dari kebijakan New Normal adalah masyarakat tanpa disertai instrumen penunjang kesehatan dan keselamatan.

Kebijakan normalisasi akan efektif jika didasarkan pada kesadaran kritis masyarakat di tengah pandemi. Dan pembangunan kesadaran ini membutuhkan pendidikan, pembenahan fasilitas, bahkan perubahan sistem secara fundamental agar kebijakan New Normal ini dapat menjadi resolusi bagi kemaslahatan bersama. New Normal hanyalah upaya pengaktifan kembali pasar investasi, dan jelas ini juga merupakan upaya negara dalam menutupi polemik krisis yang saat ini juga tengah terjadi.

“Saya melihat hari ini ada pernyataan yang mendasar, normalisasi merupakan cara membenahi suatu yang dianggap rusak dengan cara yang efisien dan praktis. Jika diartikan seperti itu, normalisasi ini akan termentahkan dengan sendirinya,” terang Gus Fayyadl.

New Normal adalah New Crisis.

Alih-alih New Normal, situasi hari ini lebih pantas disebut “New Crisis” krisis baru. Gus Fayyadl melihat ada 5 macam krisis yang akan dihadapi oleh rakyat Indonesia, yaitu (1) krisis kesehatan; (2) krisis politik; (3) krisis sosial; (4) krisis keagamaan; dan (5) krisis ekonomi.

1. Krisis Kesehatan

Pandemi ini telah membuka mata kita pada realitas, bahwa infrastruktur kesehatan di Indonesia itu sangat terbelakang, tertinggal dan timpang. Satu contoh antara rumah sakit negeri dibandingkan pos-pos kesehatan yang ada di pelosok desa ini tidak siap mengahadapi pandemi. Selebihnya tidak adanya kesadaran masyarakat terkait kesehatan itu sendiri juga menjadi masalah tersendiri. Tentu krisis kesehatan ini tidak bisa dinormalisasi begitu saja, butuh pembenahan pada sektor pendidikan, fasilitas kesehatan dan sistem kesehatan di Indonesia. Terlebih jumlah tenaga kesehatan sangat sedikit  dibanding jumlah banyaknya warga Indonesia. “Hal ini juga dipengaruhi oleh mahalnya biaya pendidikan kesehatan di Indonesia, yang membuat tak semua orang mampu menempuh program pendidikan kesehatan,” ungkap Gus Fayyadl.

2. Krisis Politik

Pada hari ini di Indonesia, relasi antara pejabat publik diwarnai adanya ketidakpercayaan. Hal ini terjadi karena pembelahan setelah pemilu. Rekonsiliasi antara pendukung Prabowo dan Jokowi telah gagal. “Saya menduga krisis politik seperti ini bisa terjadi kudeta seperti tahun 98, namun dengan titik yang lebih merata di berbagai daerah di Indonesia, karena keresahan dimana-mana,” kata Gus Fayyadl.

Krisis politik seperti ini tidak bisa dinormalisasi. Pada tahun 2014-2015, negara Yunani mengalami krisis ekonomi, lalu rakyat turun ke jalan untuk protes. Rakyat Yunani tidak percaya pemerintahan saat itu. Namun ketika pemerintahannya ganti, keadaan Yunani tidak kembali menjadi normal.

3. Krisis Sosial.

Pandemi ini juga membuat kita melihat adanya diskriminasi sosial, ekonomi dan politik, etnik dan seterusnya. Sehingga bisa kita simpulkan bahwa ada krisis sosial di negeri ini. Pada tahun ini isu PKI di Indonesia muncul lebih awal yakni pada bulan Juni, padahal biasanya terjadi pada bulan September. Menurut Gus Fayyadl, hal tersebut menandakan Indonesia sekarang mengalami kemajuan dalam kedunguan, ketakutan PKI bangkit lagi tapi tidak ada kejelasan siapa yang dituduh PKI tersebut.

4. Krisis Keagamaan

Belum munculnya satu sikap yang tepat antar umat beragama menyikapi pandemi ini. Fanatisme pada umat beragama membuat diskriminasi meningkat, hal ini tidak bisa dinormalisasi. Jika ingin normal harus ada upaya untuk merangkul mereka yang terdiskriminasi.

5. Krisis Ekonomi

Perekonomian kembali pulih adalah tujuan utama dari kebijakan New Normal. Hal ini dilakukan agar pabrik kembali buka, buruh dan pengusaha kembali mendapat pemasukan, dengan harapan ekonomi berjalan seperti sebelumnya, Namun hal ini tidak bisa dinormalkan kembali karena buruh mengalami keresahan, Angka pemutusan hubungan kerja sangat tinggi sekitar 5 sampai 8 juta orang, dan ini adalah angka pemutusan hubungan kerja terbesar pasca reformasi. Angka pengangguran sangat tinggi, angka pekerja non-formal juga sangat tinggi. Semua permasalahan ini tidak bisa dipecahkan dengan perekonomian model kapitalis.

Investasi juga tidak bisa normal seperti biasa, sebab dunia sedang terbelit hutang. Menurut Gus Fayyadl, investasi itu adalah nama lain dari menambah hutang. Ekonomi yang bertumpuh pada hutang itu sebenarnya rapuh, sehingga justru akan menambah krisis yang lebih dalam.

“Ini adalah krisis baru, untuk itu mari kita bayangkan model sosial yang baru, yang berbeda, sebab kita sudah belajar bersama. Slavoj Zizek mengatakan, ‘we are now in the same boat,’ kita sekarang sedang berada di perahu yang sama,” tutup Gus Fayyadl.

Kategori
Siaran Pers

Solidaritas Untuk S: Kekerasan dan Pelecehan Seksual Harus Dijadikan Musuh Bersama

Kami dari KOMITE SAHKAN  RUU PKS dan LBH APIK Sulsel, mendapatkan laporan kekerasan yang dilakukan oleh MSF alumni universitas Hasanuddin (UNHAS), dengan prodi Hukum Perdata, angkatan 2011 dan lulus di tahun  2018 yang sekarang bekerja sebagai Pegawai di Bawaslu Sulbar. MSF telah dilaporkan ke polisi atas kasus penganiayaan, meskipun begitu pelaku sempat meremehkan laporan penyintas ke kepolisian dengan mengatakan bahwa “ahh paling 3 bulan ji”(ahh paling (penjaranya) 3 bulan).

Tak bisa dipungkiri, kekerasan dan pelecehan seksual merupakan persoalan pokok dalam tatanan sosiologis masyarakat. Ia muncul sesungguhnya sebagai benalu sosial, memantik ketimpangan sosial. Anomali budaya patriarki memicu maraknya lelaki yang berperilaku misoginis. Dan sudah tentu, korban dari segala persoalan dari itu adalah perempuan yang memang tergolong rentan. Hal ini dibuktikan dengan semakin banyak bermunculan korban kekerasan maupun pelecahan seksual.

Salah satu dari sekian banyaknya kekerasan disertai pelecehan seksual dialami oleh penyintas berinisial “S” yang dilakukan oleh pelaku berinisal MSF. Tak sebatas itu, adanya tindak penganiayaan yang dialami penyintas selama membangun relasi bersama pelaku sejak Desember 2016 silam. Bahkan, kekerasan fisik maupun verbal dirasakan oleh penyintas sehingga sadar tidaknya, penyintas mengalami tekanan psikis yang luar biasa.

Awal mula cerita pilu ini pada 2016 ketika pelaku membujuk penyintas untuk menjadi ketua organisasi daerah (Organda). Setahun kemudian, sekitar bulan Maret – April, pelaku mulai mengekang dan mengintimidasi penyintas dan membatasi ruang gerak penyintas dalam beraktifitas, termasuk ruang pertemanan penyintas. Hal itupun memicu pertengkaran sehingga penyintas merasa tertekan. Imbasnya, penyintas melarikan diri dari kegiatan organisasi daerah.

Pada Mei 2017, pelaku berupaya mendekati penyintas dengan pendekatan personal. Pelaku memanipulasi penyintas dengan memacari (relasi) dengan dalih agar penyintas tidak mundur dari jabatannya sebagai ketua organisasi daerah. Selama periode kepengurusannya, penyintas merasa dikekang dan diintervensi secara tidak sehat sehingga penyintas tentu merasa kehilangan independensinya dalam kerja – kerja organisasi, misalnya dalam pengambilan keputusan di organisasi.

Juli 2017, penyintas memberitahu pelaku bahwa dirinya kini sedang hamil. Ia meminta pertanggung jawaban pelaku. Tetapi, pelaku tidak mempercayai kebenaran yang disampaikan penyintas terkait kehamilannya. Sampai pada Agustus 2017, pelaku mulai percaya atas kehamilan penyintas dan pelaku mulai memaksa penyintas untuk menggugurkan kandungannya.

Oktober 2017, dengan kondisi yang dialaminya, penyintas merasa bahwa dirinya hanya dijadikan alat untuk memenuhi ambisi pelaku di organisasi sehingga penyintas kembali menjauhi pelaku. Penyintas juga mengabari wakil ketua dan teman-temannya di Organda bahwa ia berniat mengundurkan diri sebagai Ketua organda karena tekanan yang terus-menerus ia dapatkan dari pelaku. Mengetahui hal tersebut, sontak pelaku kembali berulah dengan memanipulasi penyintas. Pelaku kembali meyakinkan penyintas bahwa ia akan bertanggung jawab atas perbuatannya. Selain itu, pelaku juga membujuk penyintas untuk menikah secara mut’ah pada 08 oktober 2017

Sejak saat itu, penyintas terus mengalami intimidasi berulang kali dan perlakukan yang tidak sesuai dengan norma kesusilaan pada umumnya. Hal ini ditandai dengan relasi yang tidak sehat antara penyintas dan pelaku atau yang dikenal dengan Toxic Relationship. Tentunya, penyintas, merasa tidak aman, depresi dan penuh kecemasan. Pengekangan yang dialami penyintas berupa sikap dan tindakan pelaku yang over posesif, egois, suka memberi komentar negatif serta merendahkan penyintas.

November 2017, pelaku kembai berhasil membujuk dan mengintimidasi penyintas dengan memanfaatkan kondisi emosional penyintas yang kasihan ketika pelaku menceritakan kondisi Ayah pelaku yang katanya sedang sakit keras. Pasca itu, pelaku mulai menghilang dan tidak menghubungi penyintas lagi sekitar seminggu lamanya. Hal itu tentu membuat penyintas merasa khawatir ditinggalkan pelaku. Dengan kondisi penuh ketakutan penyintas memberanikan diri untuk Speak up terkait kondisi yang dialaminya di salah satu senior Organda-nya. Namun hal tersebut diketahui oleh pelaku. Pelaku pun marah dan mengancam penyintas dan meminta penyintas segera menarik pernyataan tersebut. Pelaku mendesak penyintas untuk menyatakan bahwa apa yang dikatakan penyintas itu tidak benar. Pelaku pun menmberi ultimatum bahwa ia tidak mau lagi mendampingi kepengurusan di Organda. Tetapi penyintas menolak desakan pelaku terhadapnya. Karena terus-menerus ditekan oleh pelaku, penyintas berusaha berkomunikasi dengan kakak pelaku yang juga senior di Organda. Namun sayangnya, bukannya mendapat titik terang dari persoalannya, justru kakak pelaku tidak memberi respon yang soluktif atas persoalan si penyintas.

Persoalan yang dialami penyintas semakin rumit dikemudian hari. Desember 2017, kembali terjadi pertengkaran mulut antara penyintas dan pelaku. Penyintas meminta pelaku untuk mengembalikan dan memberikan rincian uang selama periode kepengurusan penyintas. Beberapa kali, pelaku mengelak dan bersikeras tidak mau memberikan uang tersebut. Kemudian, penyintas menghubungi salah seorang pengurusnya terkait sikap pelaku dan sekaligus meminta untuk menghentikan kegiatan yang dilaksanakan saat itu.  Pelaku lalu mendatangi kost penyintas dan menyeret penyintas untuk masuk ke dalam mobil yang dikendarai pelaku. Pada saat itu, penyintas menolak untuk masuk ke dalam mobil. Kemudian pelaku dengan bengisnya menjepit tubuh penyintas dengan pintu mobil. Kejadian itu disaksikan langsung oleh teman penyintas yang datang ke kost penyintas pada malam itu.

Tindakan menyimpang pelaku tidak berhenti sampai di situ. Demi menjaga nama baik dan kepentingan pelaku secara organisasional, pelaku kembali membujuk penyintas untuk berdamai dan mengancam agar penyintas jangan meninggalkan pelaku (mengakhiri hubungan). Untuk meyakinkan penyintas, pelaku sempat menusukkan pulpen ke kepalanya sendiri hingga darah bercucuran sehingga hal itu membuat pelaku nyaris pingsan di hadapan penyintas. Kejadian tersebut membuat penyintas tertekan secara psikologi. Akhirnya, penyintas dengan terpaksa kembali berhubungan baik dengan pelaku. Pelaku juga berkali – kali mengiming – imingi penyintas tentang niat pelau untuk menikahi penyintas.

Pasca kejadian itu, penyintas beberapa kali menagih janji pelaku untuk datang menemui orang tua penyintas. Akan tetapi, pelaku selalu mengelak dengan alasan belum memiliki kerja dan berbagai alasan lain seperti agama ayah penyintas yang berbeda dengan agama keluarga pelaku. Karena merasa pelaku inkonsistensi dan ingin melarikan diri dari tanggung jawab, penyintas memutuskan untuk menceritakan kejadian tersebut ke sahabat pelaku untuk mendapat solusi. Sahabat pelaku kemudian menghubungi pelaku, Tetapi, pelaku menghindar bahkan memblokir nomor kontak sahabatnya. Pelaku yang mengetahui hal tersebut langsung datang ke kost penyintas dan membanting handphone penyintas hingga rusak. Pelaku menyatakan bahwa ia menyesal atas apa yang dilakukan oleh penyintas. Penyintas pun tidak mau menyerah untuk mencari bantuan atas apa yang telah terjadi pada dirinya. Ia memutuskan untuk menceritakan persoalannya ke organisasi pelaku dengan maksud agar penyintas bisa dimediasi dengan pelaku. Namun jauh panggang dari api, pihak organisasi tersebut mengatakan bahwa tidak ingin ikut campur dalam masalah penyintas dan pelaku.

Kondisi penyintas semakin memprihatinkan. Pelaku semakin tidak tahu diri dengan tindakan yang semakin mengintimidasi penyintas. Pada Februari 2019, penyintas menyadari dirinya kini tengah hamil dan memberitahu kepada pelaku. Penyintas trauma karena pernah mengalami pemaksaan aborsi oleh pelaku. Sempat penyintas memutuskan untuk berusaha pulang ke kampung halaman namun beberapa kali dicegah oleh pelaku. Dan pada tanggal 06 Maret 2019, penyintas mengalami keguguran. Penyintas saat itu meminta pelaku untuk membawanya ke rumah sakit. Tetapi, pelaku menolak dengan alasan yang tidak jelas. Bahkan, angkin tidak ada keseriusan pelaku dalam bertanggung jawab atas apa yang dilakukannya, justru pelaku kembali menunjukan tindakan yang tak terpuji. Bukannya menemani penyintas, tetapi pelaku justru meminta izin untuk pergi mengikuti tes di Bawaslu Sulbar. Dan benar saja, si pelaku meninggalkan korban dalam keadaan yang tidak sehat.

Pada Desember 2019, penyintas kembali mengalami kekerasan oleh pelaku. Penganiayaan terhadap penyintas dilakukan oleh pelaku dengan menonjok dan menampar wajah penyintas. Tak hanya itu, pelaku juga menghancurkan barang-barang yang ada di kost penyintas dan kembali membanting handphone milik penyintas hingga rusak. Peristiwa penganiayaan itu dipicu karena penyintas yang saat itu menemani pelaku untuk membeli tiket pulang kampung di pelabuhan di minta oleh pelaku untuk pulang ke kost dengan ojek online karena pelaku berdalih ingin menemui temannya. Akibat kekerasan dan penganiayaan yang dialaminya, penyintas menjadi kesulitan untuk bekerja dan beraktivitas bebagaimana mestinya.

Di akhir tahun 2019, penyintas mengalami tekanan psikis selama berhubungan dengan pelaku hingga membuat penyintas berusaha untuk bunuh diri dengan meminum Baygon (Obat Nyamuk). Tetapi selang beberapa menit, pelaku dating. Bukannya menenangkan penyintas, pelaku justru mengejek penyintas dengan mengeluarkan bahasa yang terkesan merendahkan. Setelah itu, pelaku mengajak dan memaksa penyintas untuk berhubungan badan dengannya. Pelaku juga kerap memaksa penyintas untuk berhubungan dengan dalih agar mereka tenang. Tetapi penyintas kerap menolak dengan mendorong tubuh pelaku yang berakibat kembali terjadi kekerasan seksual. Penyintas juga sering mengeluhkan kondisi psikisnya kepada pelaku tetapi pelaku justru memarahi penyintas atau bahkan mencaci maki penyintas.

Februari 2020, pelaku telah bekerja di kota Mamuju. Imbasnya, pelaku sulit dihubungi oleh penyintas. Bahkan, pelaku memblokir kontak penyintas di salah satu nomor whatsapp-nya. Penyintas kemudian memutuskan untuk pergi ke tempat dimana pelaku bekerja. Tetapi ternyata pelaku sedang berada di Makassar. Penyintas yang kecewa dengan sikap pelaku kemudian mengatakan akan memberitahu instansi tempat pelaku bekerja terkait perbuatan bejat pelaku. Mengetahui hal itu, pelaku meminta penyintas kembali ke Makassar Namun ditolak. Pelaku kemudian mencaci – maki penyintas dengan sebutan Anjing dan mengirimkan pesan tidak senonoh ke penyintas yang isinya mengajak penyintas berhubungan badan. 

Pada 30 April, di tahun yang sama, penyintas mulai mencurigai tingkah pelaku yang ditandai dengan nomor WA penyintas disembunyikan. Pelaku juga memiliki 2 (dua) handphone, yang salah satunya pelaku sembunyikan isinya kepada penyintas. Sekitar pukul 16.00 Wita, penyintas melihat adanya Sim card pelaku yang tertinggal di kost-nya. Dengan penasaran, penyintas kemudian memasang sim card tersebut di handphonenya dan mengaktifkan whatsapp pelaku. Penyintas mendapati chat seorang perempuan. Akhirnya, penyintas mengkonfirmasi chat tersebut dengan menanyakan hubungan perempuan tersebut dengan pelaku melalui Video Call. Saat itu, penyintas melihat pelaku berada di kamar perempuan tersebut melalui video call. Pelaku juga sempat mengirim pesan melalui instagram yang isinya menyuruh penyintas bunuh diri dengan cara memotong tangan atau meminum racun. Dengan tanpa perasaan, pelaku mengatakan bahwa ia ingin melihat penyintas mati. Penyintas yang mengetahui bahwa pelaku berselingkuh kemudian menelpon senior organda dan meminta bantuan. Sekitar pukul 19.00 Wita, pelaku mendatangi kost penyintas dan berusaha menahan penyintas. Tetapi, di saat yang sama, salah seorang senior organda datang dan membawa penyintas yang saat itu sempat dikunci di dalam kamar oleh pelaku. Kemudian, pelaku dan penyintas sempat dimediasi oleh senior organda. Pelaku berjanji untuk bertanggung jawab, Namun penyintas yang ragu dengan sikap pelaku tidak berani mengiyakan untuk menikah dengan pelaku.  Pada malam yang sama, setelah mediasi, penyintas kembali untuk menemui pelaku meminta kejelasan sikap pelaku terkait chat pacar pelaku yang memojokkan penyintas yang menjustifikasi penyintas adalah orang gila yang mengarang-ngarang cerita. Setelah pertemuan itu, pelaku mengantar penyintas pulang ke kost. Kemudian, kembali terjadi cekcok dikarenakan penyintas ingin melihat handphone pelaku. Pelaku kemudian kembali melakukan kekerasan terhadap penyintas. Ia berdiri dan mencengkram muka dan tangan penyintas hingga penyintas mengalami luka di wajah dan di tangan serta lebam di tangan kiri.

Hingga kini, penyintas masih mencari keadilan atas apa yang dilakukan oleh pelaku. Kekerasan maupun pelecehan seksual yang dialami oleh penyintas tentu menjadi catatan bagi kita bahwa kekerasan serta pelecehan seksual masih menjadi momok dan harus dijadikan musuh bersama. Oleh karena itu, dengan beberapa pertimbangan atas apa yang dialami oleh penyintas, kami dari Komite Sahkan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dan LBH APIK Sulsel mendesak :

  1. Hukum pelaku MSF dengan hukuman yang setimpal.
  2. Mendesak Polrestabes Makassar untuk mempercepat proses Kasus secepatnya.
  3. Pecat pelaku dari instansi ia bernaung, yaitu Bawaslu Sulbar.
  4. Mengganti kerugian korban baik material maupun nonmaterial.
  5. Memulihkan nama baik korban di dalam ruang sosial.
  6. Tidak memberi ruang kepada pelaku baik organisasi maupun instansi-instansi.
  7. Sahkan RUU-PKS.

List organ solidaritas:

  1. Srikandi
  2. LBH APIK Sulsel
  3. FMk
  4. Komunal
  5. Fosis
  6. Pembebasan
  7. PMII FAI UMI
  8. FNKSDA Kom Makassar
  9. Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia (Nasional)
  10. LPM UNIPDU
  11. BOPM Wacana
  12. PPMI DK Banjarmasin
  13. LPM Platinum
  14. LPM CANOPY FP UB
  15. Front Santri Melawan Kekerasan Seksual
  16. PPMI DK Surabaya
  17. PPMi DK Makassar
  18. LPM Libratum Atmajaya mks
  19. PPMI DK Yogyakarta
  20. PPMI DK Kediri
  21. LPM Wisma
  22. PPMI Kota Malang
  23. PPMI DK Kedu
  24. PPMI DK Pekalongan
  25. PPMI DK Jember
  26. LPM Progress
  27. PPMI DK Palu
  28. LPM CEMERLANG
  29. LPM FUM UNHASY
  30. LP2M Corong
  31. LPM AL-MIZAN
  32. LPM Pers to’ciung
  33. LPM Civitas UNMER
  34. LPM AQUA FPIK UB
  35. LPM Basic FMIPA UB
  36. LPM Didaktik FKIP UMM
  37. LPM Mei FEB Unisma
  38. LPM Fenomena FKIP Unisma
  39. LPM Siar UM
  40. LPM ManifesT FH UB
  41. LPM Papyrus UNITRI
  42. LPM DIANNS FIA UB
  43. LPM MIMESIS FIB UB
  44. LPM API ASIA Malang
  45. LPM KAVLING 10 UB
  46. LPM MAFATERNA FAPET UB
  47. LPM MANIFEST FTP UJ
  48. LPM KULTURA FP UNKHAIR
  49. Asosiasi Pers Mahasiswa (ASPEM) Sumatra Barat
  50. LPM GEMERCIK UNSIL
  51. LPM Tanpa Titik IBN
Kategori
Diskusi Esai

Pendidikan, Universitas Nasional dan Represi Membabi Buta

Pandemi Covid-19 menjadi cerita muram bagi masyarakat, situasi menjadi semakin kalut, karena mengakibatkan krisis di banyak sektor. Para buruh banyak mengalami nasib buruk, banyak di antara mereka mengalami pemutusan hubungan kerja dan dirumahkan. Dilansir dari Tempo.com, pemerintah menyebutkan bahwa angka pemutusan hubungan kerja dampak dari Covid-19 telah mencapai 3,05 juta. Di sini dapat kita ketahui, nasib buruh sedang dipertaruhkan dan keberlangsungan hidup mereka terancam.

Instruksi pemerintah agar para mahasiswa belajar dari rumah selama masa pandemi pun menunjukkan dampak negatif. Banyak mahasiswa yang stres karena tidak nyaman dengan sistem belajar daring. Sejak pandemi berlangsung sampai sekarang, pemerintah terlihat tidak peduli dengan dunia pendidikan. Mahasiswa diperintah untuk belajar dari rumah, tapi pemerintah tidak peka dengan biaya kuota yang dikeluarkan oleh mahasiswa, sedangkan tidak semua mahasiswa memiliki kemudahan akses internet. Lebih-lebih mahasiswa juga tetap dituntut untuk membayar biaya kuliah.

Dari sini sangat terlihat pemerintah dan kampus tidak mau tahu akan situasi dan kondisi mahasiswa di tengah pandemi. Situasi pandemi ini juga berdampak pada kehidupan mahasiswa maupun keluarganya. Terlebih sebagian besar mahasiswa berasal dari kalangan menengah ke bawah, berasal dari kalangan buruh, yang saat ini nasibnya tidak tentu. Boro-boro untuk membayar biaya pendidikan, biaya makan sehari-hari saja susah. Padahal perihal pangan adalah kebutuhan dasar manusia yang harus dipenuhi untuk bisa bertahan hidup.

Di tengah krisis akibat pandemi, hingga saat ini masih belum ada suatu kebijakan yang memihak kepada  para pelajar atau mahasiswa. Saya merasa pada tahun ini banyak mahasiswa yang putus kuliah, karena tidak mampu membayar biaya kuliah. Selain itu siswa sekolah menengah atas pun tak banyak yang bisa melanjutkan ke jenjang perguruan tinggi. mengapa demikian?

Pengelolaan Pendidikan yang Ruwet

Masih banyak terdapat tindakan diskriminatif terhadap para pelajar atau mahasiswa yang bisa dibilang berasal dari kelas sosial rendah atau kurang mampu. Padahal sudah jelas tertuang dalam pasal 31 UUD 1945: “(1) Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan, (2) Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya”. Maka, berdasarkan pasal 31 ini, negara memiliki dua kewajiban terhadap dunia pendidikan, yaitu: menyelenggarakan pendidikan bagi setiap warga negara, dan membiayai pendidikan bagi peserta didik. Selain itu dalam salah satu butir pasal 4 Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, bahwa penyelenggaraan pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan, serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia, nilai keagamaan, nilai kultural dan kemajemukan bangsa. Lalu bagaimana jika butir ini belum terpenuhi? Sudah jelas akan pincang.

Masalah pendidikan yang terus menghantui negara dan masih belum bisa teratasi secara maksimal, ditambah dengan kondisi sosial yang carut marut akibat pandemi Covid-19. Penerapan sistem pendidikan yang masih jauh di luar ekspektasi, terlebih oleh masyarakat kelas bawah, seakan masih menjadi hantu yang menakutkan. Bagaimana tidak, hanya masyarakat kelas menengah ke atas sajalah yang masih tergolong mudah memperoleh akses pendidikan. Problem utamanya adalah biaya. Ya, biaya pendidikan di negara ini masih tergolong sangat tinggi, sulit dijangkau.

Hal tersebutlah yang menyebabkan tidak semua orang dapat menikmati bangku perkuliahan apalagi di situasi pandemi seperti ini. Diperjelas lagi dalam Pasal 5 Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 yang bila disimpulkan bunyinya adalah: “setiap warga negara berhak memperoleh pendidikan yang bermutu, memperoleh pendidikan layanan khusus, dan meningkatkan pendidikan sepanjang hayat.” Apakah teks undang-undang tersebut benar-benar diterapkan? Tentulah tidak.

Dunia pendidikan seakan menjadi ajang untuk komersialisasi atau meraup keuntungan sebesar-besarnya. Institusi pendidikan yang dilepaskan negara berubah menjadi perusahaan jasa pendidikan. Meskipun kita selama ini berdalih jika komersialisasi pendidikan harus dihapuskan, tetapi hal itu belumlah terlaksana.

Hal itulah di antara sebab mahasiswa menjadi lebih kritis dan lebih berkesadaran progresif di tengah pandemi seperti ini. Karena mereka merasakan hidup di situasi krisis tetapi tetap dituntut untuk membayar biaya kuliah. Hampir merata mahasiswa dari berbagai daerah di Indonesia menuntut adanya biaya kuliah gratis, penurunan biaya kuliah dan menolak adanya privatisasi pendidikan. Mereka melakukan aksi langsung, membentangkan poster, dan meramaikan banyak tuntutan di media sosial. Mereka memasang tagar #gratiskanukt #sudahkrisiswaktunyauktgratis #nadimkemanamahasiswamerana #janganbayarukt #turunkanukt dan masih banyak lagi. Munculnya tersebut menunjukkan hari ini dunia pendidikan sedang tidak baik-baik saja, terlebih pada kehidupan mahasiswa.

Menanggapi banyaknya tuntutan mahasiswa di berbagai perguruan tinggi dan ramainya tuntutan di sosial media, pemerintah melalui Kemendikbud dalam surat yang dikeluarkan pada 3 Juni 2020, menyatakan tidak ada kenaikan UKT di masa pandemi. Para rektor perguruan tinggi negeri juga menyepakati ada penundaan pembayaran dan pembayaran bisa dicicil. Selanjutnya pemerintah memfasilitasi Kartu Indonesia Pintar dengan jumlah yang tidak seimbang dengan jumlah mahasiswa yang ada di Indonesia. Ditambah prosedur kepengurusannya yang ruwet, banyak syarat dan ketentuan, informasinya pun terbatas. Hal ini menjelaskan pemerintahan tidak bisa menjawab keresahan mahasiswa, terlebih di situasi seperti ini, perekonomian tidak bisa serta merta dipulihkan seperti sebelum terjadi pandemi.

Universitas Nasional dan Represi Membabi Buta

Diantara masifnya gerakan mahasiswa untuk minta keringanan biaya uang kuliah, hati saya condong dengan gerakan mahasiswa yang tergabung dalam gerakan Aliansi Mahasiswa UNAS Gawat Darurat (UGD) di Universitas Nasional, Jakarta. Gerakan ini bertahan dan tumbuh semakin masif, terlebih mereka menerima banyak represi dari birokrasi, mulai dari baku hantam, penabrakan dengan mobil, ditangkap dan dilaporkan ke Polsek Pasar Minggu, hingga diancam dilaporkan UU ITE.

Gerakan ini memiliki beberapa tuntutan:

  1. Menuntut pihak birokrasi memberi keringanan mahasiswa dengan potongan 50 sampai 65 persen, karena kampus hanya memberi keringanan biaya 100 ribu dan 150 ribu dengan syarat dan ketentuan berlaku;
  2. Menuntut kampus untuk tidak hanya memberikan kuota gratis sebesar 30 GB untuk mahasiswa pengguna Telkomsel dan Indosat saja untuk membuka Web resmi UNAS, sebab tidak semua mahasiswa UNAS menggunakan Telkomsel dan Indosat, sedangkan para dosen dalam pemberian materi perkuliahan menggunakan aplikasi diluar web resmi UNAS;
  3. Mereka menuntut agar para dosen dan pekerja kampus mendapatkan upah layak di masa pandemi;
  4. Menuntut rektor untuk audiensi terbuka;
  5. Menuntut adanya transparansi dan terbukanya statuta kampus agar bisa dikritisi bersama;
  6. Menuntut diberhentikanya kriminalisasi dan intimidasi terhadap mahasiswa.

Gerakan UGD telah menggelar berbagai diskusi online, mengumpulkan berbagai data dari penelitian yang dilakukan terkait pendapatan UNAS dari pembayaran mahasiswa per-semester, pembayaran upah dosen, hingga pemotongan biaya yang tidak layak bahkan dirasa menghina para mahasiswa.

Melalui hasil investigasi yang dilakukan oleh Aliansi Mahasiswa UGD, terdapat 12.367 mahasiswa aktif di tingkatan D3–S1 di UNAS. UGD juga telah mengaudit pendapatan UNAS dari pembayaran biaya pendidikan mahasiswa sebanyak 6.672 (54%) yang dihitung dengan detail per-angkatan dari setiap fakultas/jurusan. Rp 49.401.600.000 adalah hasil keuntungan UNAS dari mahasiswa yang didapat secara terbatas oleh kawan-kawan UGD. 5.695 (46%) data mahasiswa UNAS yang belum mampu ter-update secara detail per angkatannya untuk mengetahui hasil pendapatannya. Fakultas/jurusan per-angkatan yang belum mampu terakses yaitu Fakultas Teknik, Fakultas Ekonomi, Fakultas Ilmu Kesehatan, Fakultas Bahasa, Abanas dan FTKI merupakan daftaran yang belum mampu diakses kawan-kawan karena terbatasnya akses data yang dihambat UNAS. 

UNAS hanya mengeluarkan Rp. 1.114.200.000/semester untuk mengupah pekerjanya yang terdiri dari 94 office boy, security dan cleaning service. Upah pekerja hanya dikisar pada 2,4%  dari pendapatan yang diaudit secara terbatas. Namun sekali lagi, hasil investigasi yang didapat untuk data pekerja tidak mendapatkan akses untuk data office boy di kampus utama. Pekerja parkir di UNAS sebanyak 6 orang pekerja dirumahkan tanpa diupah. Data yang belum mampu menyeluruh didapatkan sebagai kebutuhan audit keseluruhan. Tentunya dihambat oleh UNAS melalui karakter-karakter yang anti demokratis. Upaya audit yang dilakukan memiliki tujuan untuk membuka transparansi keuangan UNAS di masa pandemi. UNAS hanya menerapkan potongan Rp 100.000 dengan jumlah pengeluaran Rp 1.236.700.000 yang didapat dari total mahasiswa 12.367. Ternyata pengeluaran UNAS untuk potongan Rp 100.000 hanya 2,5% dari audit pendapatan mahasiswa UNAS sebanyak 7.248.

Merespon hasil audit tersebut, Aliansi Mahasiswa UGD menggelar aksi damai di depan kampus pada Rabu (10/6), dengan mematuhi protokol kesehatan, menjaga jarak dan menggunakan masker, kemudian aksi tersebut dibubarkan dengan tindakan intimidasi yang dilakukan oleh kurang lebih 32 aparat keamanan yang dikerahkan oleh kampus. Satu orang Babinsa dan beberapa orang lainnya tidak berseragam juga turut serta. Mereka memukul muka beberapa massa aksi, melakukan tendangan ke perut dan kepala, pendorongan hingga jatuh, pengeroyokan, perampasan dokumentasi serta penangkapan salah satu anggota pers mahasiswa yang bernama Togi dari Universitas Bunda Mulia (UBM). Kemudian Togi dibawa ke Polsek Pasar Minggu atas laporan UNAS, yang pada akhirnya dia dibebaskan. Pada hari itu juga terdapat pemanggilan terhadap 29 mahasiswa oleh Komisi Disiplin UNAS, atas ujaran di sosial media tentang menyampaikan aspirasi di masa pandemi, dengan tagar #unasgawatdarurat. Mahasiswa yang menghadap diminta melakukan pengakuan dalam surat pernyataan bersalah. Berdasarkan dengan keterangan mahasiswa yang menandatangi pernyataan bersalah dari kampus, mereka diancam jeratan pidana UU ITE.

Kamis (11/6), Aliansi Mahasiswa UGD kembali melakukan aksi solidaritas untuk mengawal 27 kawan yang dipanggil oleh komisi disiplin UNAS dan menagih janji audiensi terbuka UNAS. Pada hari itu, birokrasi UNAS menyewa preman dan melakukan penabrakan terhadap massa aksi dengan mobil saat pulang.

Aliansi Mahasiswa UGD tetap menagih janji untuk audiensi terbuka dengan pihak birokrasi kampus padaJumat (12/6). Alih-alih akan menemui massa aksi, semua massa aksi malah akan diancam dengan UU ITE.

Sabtu (13/6), LPM Progres meliput aksi-aksi UGD dan memuat dua berita di laman online LPM Progres, dengan judul “Tuntutan Belum Dipenuhi Aliansi Mahasiswa Unas Gawat Darurat kembali Aksi” dan “Aksi Penyampaian Aspirasi di Unas Berujung Tindakan Represif dan Intimidasi”. Pihak LPM Progres lalu mendapat telepon dari Humas UNAS untuk menurunkan berita, LPM Progres dianggap tidak mempunyai kewenangan untuk meliput kejadian di UNAS, karena LPM Progres dianggap dari UNINDRA, Universitas yang berbeda. Padahal kedudukan pers mahasiswa seperti halnya pers lainnya, yang bisa meliput semua kejadian, baik yang ada di kampus maupun di luar kampus, sebagai bentuk kepedulian sosial.

Dalam waktu sehari, LPM Progres diminta untuk menurunkan berita. Jika tidak, LPM Progres diancam jerat pidana UU ITE Pasal 28 ayat 2 yang berbunyi: “Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan  antar golongan.”

Ancaman pidana dari Pasal 28 ayat (2) UU ITE tersebut diatur dalam Pasal 45A ayat (2) UU 19/2016, yakni: “Setiap Orang yang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 1 miliar.”

Selanjutnya, Senin (15/6), berdasarkan laporan dari Instagram @unasgawatdarurat, UNAS memasukkan sekitar 50 polisi ke dalam kampus, padahal kita ketahui dari beberapa keterangan di atas, yang melakukan represi dan membuat keadaan ricuh adalah pihak UNAS,  gerakan Aliansi Mahasiswa UNAS Gawat Darurat hanya menyampaikan keresahan hatinya.

Saya merasa, pihak birokrasi Universitas Nasional ketakutan dan panik akan adanya tuntutan Aliansi Mahasiswa UGD dan adanya beberapa pemberitaan beredar yang diliput oleh kawan-kawan LPM Progres. Sehingga pihak birokrasi UNAS melakukan represi yang membabi buta, sangat ngawur dan tidak patut untuk dibenarkan. Mereka sudah mencederai hak asasi manusia. Padahal semua manusia berhak menyampaikan pendapat dan mendapat keamanan dalam menyampaikan. Oleh karena itu di situasi seperti ini terlampau rumit untuk dihadapi dan diselesaikan oleh segelintir orang. Kita perlu kerjasama, kerjarasa, berdiskusi, berdebat, berdialektika, musyawarah, melakukan aksi dan menjadikan ini sebagai keresahan bersama. Untuk itu mari bersolidaritas dan saling menguatkan.

Salam Pers Mahasiswa.

Kategori
Diskusi

Sejarah Kontrol Negara dan Persoalan yang Harus Diselesaikan Pers Mahasiswa

Pers mahasiswa bukan sekedar organisasi yang fokus pada pengembangan kemampuan jurnalistik maupun lomba tulis menulis untuk mengharumkan nama kampus. Sejarah mencatat bahwa Pers mahasiswa termasuk dalam organisasi yang sering mengkritik sistem pemerintahan. Melalui tulisan-tulisannya, pers mahasiswa menjadi sebuah media kontrol sosial terhadap kebijakan pemerintah yang tidak sesuai dengan kepentingan publik.

Mulai dari pemerintahan orde lama sampai orde baru, pers mahasiswa terus menunjukkan taringnya untuk melawan kuasa pemerintah dalam membungkam kebebasan berpendapat. Selama pemerintahan orde lama, pers mahasiswa mengkritik sistem demokrasi terpimpin yang mewajibkan setiap surat kabar untuk berafiliasi dengan partai politik supaya mendapatkan tiket kebebasan pers. Ketika Orde Baru, pers mahasiswa mengkritik kebijakan back to campus yang melokalisasi seluruh aktivitas mahasiswa ke dalam kampus supaya tidak terlibat dalam aktivitas politik nasional.

Lalu, bagaimana gerakan Pers Mahasiswa setelah reformasi? Buku Melawan dari Dalam “Pers Mahasiswa Malang Pasca-Reformasi” yang ditulis Elyvia Inayah menjadi salah satu jawaban dari pertanyan itu. Berawal dari keprihatinan terhadap minimnya literatur pers mahasiswa, terutama setelah 1998, Elyvia kemudian mengeksplorasi tentang apa saja yang terjadi pada pers mahasiswa setelah reformasi.

Kota Malang menjadi objek ekplorasi utama dalam buku ini. Elyvia tak asal memilih, karena pers mahasiswa di Kota Malang menjadi pionir kemunculan pers mahasiswa di Jawa Timur pada kurun 1980-an. Selain itu Kota Malang menjadi tempat lahirnya Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia (PPMI).

Elyvia mencatat, dalam dekade 1970-1990-an pers mahasiswa di Malang menunjukkan eksistensinya. Seperti Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Canopy, Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya yang meliput kandungan lemak babi dalam beberapa jenis produk makanan. Liputan LPM Canopy ini mendorong Majelis Ulama Indonesia untuk memberi label halal pada produk-produk makanan.

Namun, setelah reformasi pers mahasiswa di Malang mulai kehilangan arah, padahal keran kebebasan pers sudah dibuka. Menjadi ironis kalau kita hanya memandang pers mahasiswa tak bisa memanfaatkan momen kebebasan pers atau tak bisa bersaing dengan pers umum dalam memberikan wacana pada publik. Tapi kalau kita melihat tekanan-tekanan yang dialami pers mahasiswa, kita akan mengetahui bahwa menurunnya peran kontrol sosial pers mahasiswa dilakukan secara sistematis oleh negara melalui kampus.

Kampus memaksa pers mahasiswa mencari arah baru bagi gerakannya. Pemaksaan itu dilakukan melalui kebijakan percepatan lulus kuliah, alokasi dana organisasi yang dipersulit, tekanan untuk mendapatkan prestasi-prestasi akademik, sampai ancaman Skorsing dan Drop Out kepada pers mahasiswa yang kritis. Tekanan-tekanan itu menyebabkan pers mahasiswa kekurangan kader. Sehingga mempertahankan eksistensi sebagai media kontrol sosial menjadi sulit untuk dilakukan.

Tekanan: dari Nama Lembaga sampai Arah Gerakan Pers Mahasiswa

Buku Melawan dari Dalam “Pers Mahasiswa Malang Pasca-Reformasi” menjelaskan berbagai tekanan yang dilakukan negara pada pers mahasiswa mulai dari nama lembaga sampai arah gerakan pers mahasiswa. Bentuk tekanan dan kontrol Negara terhadap nama lembaga pers mahasiswa ini dilakukan dengan pemberlakuan Undang-Undang No. 11 Tahun 1966 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pers. Lalu ada penyesuaian dengan Surat Edaran Dikti No. 849/D/T/1989 dan Peraturan Menteri Penerangan No. 01/1975.

Lebih lanjut lagi, ada Surat Keputusan Menteri Penerangan No.146/1975 yang menyusun prosedur dan persyaratan penerbitan khusus. Peraturan-peraturan itu menggolongkan pers mahasiswa ke dalam kategori penerbitan khusus. Jadi, walaupun menggunakan kata ‘pers’, pers mahasiswa tidak dikategorikan dalam penerbitan pers. 

Tekanan dan kontrol negara melalui peraturan-peraturan itu juga membuat pers mahasiswa dilarang menggunakan kata ‘pers’. Elyvia memberi contoh kasus pada Unit Aktivitas Pers Kampus Mahasiswa (UAPKM) Kavling 10, Universitas Brawijaya. Awalnya lembaga ini bernama Unit Aktivitas Pers Mahasiswa (UAPM) yang lahir pada 16 April 1983 melalui Surat Keputusan BKK No. 002/SK/BKK/1983. Lalu pada masa Agus Leono menjadi Pemimpin Umum, atas saran ketua BKK, nama UAPM berganti menjadi Unit Aktivitas Pers Kampus Mahasiswa.

Munculnya Surat Edaran Dikti No. 849/D/T/1989 membuat nama lembaga ini berganti lagi yaitu menjadi Unit Aktivitas Penerbitan Kampus Mahasiswa. Kemudian berganti nama lagi dan berlaku sampai sekarang yaitu Unit Aktivitas Pers Kampus Mahasiswa yang disahkan dalam kepengurusan UAPKM periode 1999-2001. Menurut Elyvia, pergantian istilah dari pers mahasiswa, penerbitan, sampai pers kampus adalah suatu bentuk kontrol negara untuk memperhalus citra pers mahasiswa.

Tak hanya mengontrol pers mahasiswa melalui nama lembaga, negara juga mengontrol arah gerakan pers mahasiswa dengan kebijakan Normalisasi Kehidupan Kampus/Badan Koordinasi Kemahasiswaan (NKK/BKK). Sesuai Menpen No.01/Per/Menpen/1975, pers mahasiswa harus tunduk dengan beberapa ketentuan seperti mengkhususkan pemberitaan, pembahasan dan pengolahan berbagai hal khususnya yang menyangkut pembangunan nasional. Selain itu, penyajian tidak memuat pemberitaan, pembahasan atau penonjolan materi yang bersifat politik praktis.

Setelah reformasi, tekanan dan kontrol negara pada pers mahasiswa terus dilanggengkan oleh kampus. Elyvia mencatat, ada beberapa tindakan represif kampus terhadap pers mahasiswa di Malang seperti tekanan verbal dan pencopotan poster Majalah DIANNS edisi 17 oleh kampus dan aparat intel pada tahun 1990. Tindakan represif pada LPM Dianns, Fakultas Ilmu Administrasi, Universitas Brawijaya ini dikarenakan majalah tersebut memuat konten kritik terhadap militerisme Orde Baru.

Selain itu, pada tahun 1994 ada pembredelan Majalah KetawangGede UAPKM Kavling 10 karena tuduhan pelecehan agama, memuat konten PKI, dan memuat unsur pemberontakan.  Pembredelan juga dialami oleh LPM Canopy karena liputan mengenai kandungan lemak babi dalam produk makanan. Kemudian liputan LPM Civitas, Universitas Merdeka Malang, tentang persolan militer yang berujung pada pembredelan dan pembakaran Majalah Civitas.

Berbagai tekanan dari kampus setelah reformasi sampai saat ini membuat gerakan pers mahasiswa di Malang cenderung stagnan. Akibatnya pers mahasiswa minim kaderisasi, kegiatannya lebih banyak diskusi daripada menulis, hingga daya kritis dan fokus kontrol sosialnya berkurang. Meski demikian, pers mahasiswa di Malang masih bertahan hingga saat ini dengan dinamikanya.

Persoalan Pers Mahasiswa yang Harus Diselesaikan

Selain mengulas tekanan dan kontrol negara terhadap pers mahasiswa, Elyvia juga mengulas dinamika gerakan di internal pers mahasiswa. Dinamika yang diuraikan dalam bukunya, sebenarnya lebih memfokuskan pada persoalan-persoalan pers mahasiswa. Persoalan-persoalan yang mungkin belum terselesaikan sampai sekarang. Mulai persoalan di tingkat PPMI hingga persoalan mendasar yang terjadi di LPM.

Persoalan di tingkat PPMI seperti kekecewaan LPM yang menganggap PPMI tidak memberi manfaat bagi mereka. Hal ini disebabkan oleh ketidakmampuan pengurus PPMI untuk menangani permasalahan yang dialami LPM. Tapi di sisi lain juga disebabkan LPM yang tidak bisa mendelegasikan anggotanya ke PPMI karena anggota LPM yang minim bahkan karena enggan saja. Persoalan yang kompleks ini membuat hubungan antara LPM dan PPMI menjadi renggang. Kondisi ini diperparah dengan keterputusan generasi (missing link) karena pengurus lama di LPM tidak mewariskan sejarah pers mahasiswa serta pengurus baru yang tidak berinisiatif untuk membaca sejarah pers mahasiswa sendiri.

Sedangkan persoalan mendasar yang umum terjadi di LPM seperti ketakutan untuk mengkritik kebijakan kampus. Ketakutan ini disebabkan oleh ancaman pengurangan dana LPM, pembekuan LPM, skorsing, maupun Drop Out dari kampus. Ketakutan seperti ini terjadi ketika pers mahasiswa memandang kampus sebagai pihak yang berkuasa atas mahasiswa. Seharusnya pers mahasiswa bisa mengubah pandangan ini. Pers mahasiswa harus sadar bahwa kritik adalah bagian dari kebebasan akademik (sesuai UU no 12 2012 tentang Pendidikan Tinggi) dan kemerdekaan berpendapat (sesuai UU no 9 tahun 1998). Setiap sanksi yang diberikan kampus haruslah memiliki dasar yang jelas, jika tidak, maka sanksi itu bisa digugat melalui mekanisme kampus atau luar kampus (PTUN dan sebagainya). Singkatnya, pers mahasiswa harus melawan karena benar.

Membaca buku yang diterbitkan oleh Boekoe pada Januari 2018 tersebut membuat kita sadar bahwa sejak awal, negara dan kampus lah yang memisahkan pers mahasiswa dari persoalan-persoalan kehidupan. Pers mahasiswa ditekan dan dikontrol habis-habisan supaya kuasa pemerintah dalam menjalankan kebijakan-kebijakan yang tidak sesuai dengan kepentingan publik terus langgeng. Maka dari itu, pers mahasiswa perlu terus membaca, berdiskusi dan menulis. Tulislah kebenaran, sampaikan pada para penguasa bahwa rakyat yang tertindas tidak bisa dibungkam dan keadilan harus diwujudkan.

Penulis: Elyvia Inayah
Penerbit: I: boekoe
Cetakan: I, Januari 2018
Tebal: 280, 14 cm x 20 cm
ISBN: 978-979-1436-50-2

Kategori
Siaran Pers

Kronologi dan Pernyataan Sikap UKPM Teknokra Unila Terkait Diskusi “Diskriminasi Rasial Terhadap Papua”

Rabu, 10 Juni 2020, sekitar pukul 13.00 WIB, Chairul Rahman Arif (Pemimpin Umum) mendapat telpon dari nomor tidak dikenal mengatasnamakan alumni Unila sebanyak 12 kali, ia menanyakan keberadaan tempat pengadaan diskusi tentang papua. Penelpon tidak menjelaskan identitas secara rinci.

Kemudian Chairul, meminta penelpon mengikuti acara seperti yang ada di pamflet. Bersamaan dengan itu, Wakil Rektor Bidang Kemahasiswaan Unila Prof. Yulianto meminta Chairul menemuinya. Prof. Yulianto menyarankan untuk menunda diskusi atau menambah akademisi untuk ikut dalam diskusi. Namun, Teknokra tetap memilih diskusi dijalankan dengan narasumber yang ada dan akan mengadakan diskusi lanjutan.

Pukul 19.39, Mitha Setiani Asih (Pemimpin Redaksi)  mendapatkan pesan kode OTP akun Gojek miliknya. Namun, mitha tidak terpikir akan mengalami peretasan. Tiba-tiba pesan WhatsApp masuk dari driver gojek “P”. Awalnya Mitha tidak menduga pesan itu dari gojek, ia mengira hanya nomor orang yang iseng. Telpon Mitha terus berdering ratusan kali dari driver gojek.

Sejak itu ia menyadari bahwa akun gojek-nya diretas. Saat mitha membuka aplikasi Gojek miliknya, puluhan pesanan gojek sudah muncul di fitur pesanan. Dan pesanan tersebut tidak bisa dibatalkan. Chat pesanan seolah-olah Mitha benar-benar memesan dengan kalimat “sesuai aplikasi ya bang”, bahkan chatnya pun menyarankan untuk menghubungi akun WhatsApp Mitha. Sampai sekitar pukul 21.47 WIB, akun gojek-nya terus memesan makanan dengan titik yang disebar di mana-mana. Sampai akhirnya mitha bisa menghubungi Call Center gojek untuk menutup akun gojeknya.

Tidak hanya akun gojek-nya, akun media sosial lain seperti Facebook, Instagram juga ikut diretas karena Mitha tidak dapat mengakses akunnya. Bersamaan dengan mitha, setalah sebelumnya mendapat telpon dari orang tidak dikenal, pukul 20.28 WIB Chairul mendapat pesan teror melalui whatsapp dengan screen capture data identitas pribadinya, disertai dengan kalimat bernada ancaman untuk tidak menyelenggarakan diskusi.

Selanjutnya pukul 20.59 WIB, Chairul kembali mendapat pesan bernada ancaman untuk tidak melaksanakan diskusi yang dianggap memprovokasi masyarakat, bahkan orang tersebut menyebutkan data pribadi chairul sudah dipegang dan mereka mengancam keselamatan orang tua dari chairul. Pesan disertai dengan foto KTP chairul.

Aksi teror dan peretasan yang diterima dua jurnalis teknokra diduga kuat disebabkan oleh diskusi daring yang akan diselenggarkan teknokra tentang isu rasial terhadap papua, pada Kamis, 11/06/2020, pukul 19.00 WIB. Kabar terkahir yang diterima, salah satu pemateri dalam diskusi tersebut yaitu Tantowi Anwari dari Serikat Jurnalisme untuk keberagaman (Sejuk) ikut mendapat peretasan pada akun gojek dan whatsapp.

Berdasarkan kronologi di atas, UKPM Teknokra Unila memberikan pernyataan sikap Terkait Diskusi “Diskriminasi Rasial Terhadap Papua”, sebagai berikut:

  1. Diskusi akan tetap dilaksanakan sesuai dengan jadwal yaitu pada Kamis, 11 Juni 2020 pukul 19.00 WIB melalui akun youtube UKPM Teknokra.
  2. Kami mengutuk aksi teror dan peretasan kepada penyelenggara dan narasumber diskusi.
  3. Meminta semua pihak untuk menghormati kebebasan berpendapat dan berekspresi, serta tidak melakukan aksi teror, ancaman, dan peretasan.
  4. Mendesak kepolisisan mengusut tuntas aksi teror dan peretasan terhadap jurnalis Teknokra
  5. Meminta negara untuk menjamin kebebasan berpendapat dan berekspresi setiap warga negara.
Kategori
Diskusi Esai

Covid-19 Belum Berakhir, Pangan: Krisis, Ekologis dan Tangis

Pembatasan sosial dan skema penguncian (lockdown) yang diterapkan di banyak negara akan mempengaruhi produksi pertanian global. Food and Agriculture Organization (FAO) telah memperingatkan terjadinya kelangkaan pangan di tengah pandemi Covid-19. Pemerintahan harus secara cepat mampu mengantisipasi peringatan FOA untuk menjaga ketersediaan pangan dan menyelamatkan petani.

Soal kebutuhan pangan khususnya bahan pokok seperti beras, Indonesia masih menggantungkan hidupnya dengan negara lain. Tentu ada banyak sekali bahan pokok lainnya yang diimpor oleh Indonesia. Namun beras bisa jadi contoh yang mudah untuk menggambarkan bagaimana krisis pangan akan terjadi di Indonesia.

Setidaknya ada dua negara pengekspor beras yang menjadi langganan Indonesia,  yakni Thailand dan Vietnam. Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) pada bulan Oktober 2019, impor beras dari Vietnam mengalami kenaikan dari tahun 2017 sebesar 16.599,9 ton menjadi 767.180,9 ton di tahun 2018. Diikuti jumlah impor dari Thailand 108.944,8 ton di tahun 2017 menjadi 795.600,1 ton pada 2018.

Ketergantungan impor beras Indonesia telah menjadi lagu lama. Sejak krisis ekonomi 1998, ketergantungan akan beras impor menjadi solusi dalam pemenuhan kebutuhan sekaligus menekan kenaikan harga.

Ketika emak-emak di pasar berteriak harga beras naik akibat gagal panen, dll- sejurus kemudian pemerintah keluarkan kebijakan impor beras. Logika ekonomi yang sederhana, semakin banyak barang yang beredar di pasar maka semakin murah harganya.

Thailand dan Vietnam seolah menjadi dewi fortuna Indonesia khususnya dalam hal beras. Celakanya kini, kedua negara ini telah membatasi ekspor beras mereka ke negara lain. Motifnya sederhana, beras tersebut dipakai untuk memberikan makan rakyatnya. Karena, baik Thailand maupun Vietnam sedari awal kejadian Covid-19 di Wuhan telah meng–karantina wilayahnya.

Negara penyetok pangan ke Indonesia, kini harus membatasi pengiriman beras. Alhasil kelangkaan beras di negeri agraris ini pasti akan terjadi. Jika berkelanjutan, defisit stok pangan dapat berubah menjadi krisis pangan. Sebagai solusinya, Presiden Joko Widodo memerintahkan Kementerian Pertanian bersama beberapa BUMN untuk mencetak lahan sawah baru dengan target seluas 900.000 hektar, termasuk lahan gambut, lahan basah, dan lahan kering. Namun, wacana tersebut menuai polemik di ranah publik.

Seperti sebelumnya, lahan selama ini menjadi masalah besar di sektor pertanian. Banyak lahan pertanian yang telah dikonversi untuk pengembangan industri, infrastruktur dan lainnya. Dilaporkan oleh Indonesia Development and Islamic Studies (IDEAS) yang dipublikasi pada April 2019 lalu dengan judul “Tol Terbilang, Sawah Hilang: Harga Mahal Trans Jawa“.

Dalam laporan tersebut IDEAS menyebutkan, sepanjang tahun 2015 hingga 2018 tercatat 680,4 Km jalan tol di Jawa yang telah dibangun. Sebagian besar jalan tol tersebut dibangun diatas lahan pertanian, terutama sawah. Lahan sawah yang dikorbankan untuk pembangunan jalan tol tersebut seluas 4.457 hektar.

Tak berhenti sampai di sini, ambisi pemerintah dalam membangun jalan tol pada periode 2019 hingga 2021 (saat ini dalam proses konstruksi) mencapai 766,1 km. Angka 766,1 km ini pun harus dibayar dengan hilangnya lahan pertanian (sawah) seluas 9.475 hektar.

Angka ini belum termasuk dalam perhitungan konservatif lahan,  akibat adanya jalan tol yang dibangun. Tentunya lahan pertanian yang berada di sekeliling pintu gerbang tol menjadi sangat strategis.

IDEAS memperkirakan, dari 680,4 Km jalan tol yang dibangun sepanjang 2015-2018, akan memicu konversi lahan pertanian hingga 49 ribu hektar atau setara dengan luas seluruh sawah di Kabupaten Sukabumi.

Sementara 766,1 Km jalan tol yang akan beroperasi pada 2019-2021, diperkirakan akan memicu konversi lahan pertanian hingga 70 ribu hektar, setara dengan luas seluruh sawah di Kabupaten Bojonegoro.

Data lain menyebutkan, sepanjang tahun 2013 hingga 2018, terjadi konversi lahan sawah seluas 181 ribu hektar di seluruh Jawa. Sepuluh kabupaten yang kehilangan sawah terbesar atau ± 5 ribu hektar, adalah Banyuwangi, Bandung, Serang, Demak, Jember, Cirebon, Bangkalan, Grobogan, Lamongan dan Brebes. Atau dengan kata lain, pulau Jawa kehilangan hampir 100 ribu hektar sawah dalam 5 tahun terakhir.

Data Badan Pusat Statistik (BPS) juga mencatat antara 2018 dan 2019, luas panen padi berkurang dari 11,4 juta hektar menjadi 10,7 juta hektare.

Dampak dari lahan pertanian yang berkurang dan tingginya impor beras Indonesia, membuat ratusan petani beralih profesi. Bahkan data dari BPS menunjukan, selama 10 tahun terakhir setidaknya ada 5 juta petani yang beralih profesi ke sektor lain, khususnya menjadi buruh.

Tak hanya itu, kuota pupuk bersubsidi dari pemerintah yang diberikan kepada petani pun tiap tahunnya ikut menurun. Tahun 2018 kuota pupuk yang diberikan menurun dari tahun sebelum yakni dari 22-24 ribu ton menjadi 20 ribu ton. Angka ini terus menurun di tahun selanjutnya atau hanya sekitar 18 ribu ton di tahun 2019 dan tahun 2020 menurun menjadi 15 ribu ton.

***

Upaya pemerintah untuk memperluas lahan pertanian perlu diapresiasi, namun langkah ini tidak bisa diharapkan sebagai solusi cepat untuk mengatasi krisis pangan selama pandemi Covid-19.

Mencetak lahan pertanian baru membutuhkan waktu yang lama, mulai dari pengelolaan lahan dan proses pertaniannya, apalagi di lahan gambut. Peneliti CIPS Felippa Ann Amanta mengatakan bahwa mencetak lahan pertanian baru tidak bisa membantu kekurangan stok pangan yang terjadi saat ini, bahkan untuk selama Ramadan hingga sampai akhir tahun.  Karakteristik lahan yang dibuka untuk digunakan sebagai lahan pertanian juga belum tentu cocok dan berisiko mengakibatkan gagal panen.

Pengalaman Proyek Pengembangan Lahan Gambut Satu Juta Hektar di Kalimantan Tengah di rezim pemerintahan Soeharto seharusnya bisa jadi pembelajaran bahwa yang terjadi adalah gagal panen dan kerugian besar. Program cetak sawah dengan membuka lahan juga berresiko mengancam ekosistem yang ada.

Pangan memang merupakan kebutuhan mendesak dan prioritas saat ini, namun nasib keberlanjutan lingkungan tentu harus diperhatikan.Pangan dan lingkungan, keduanya mestinya tidak saling dibenturkan. Keduanya bagai dua sisi mata uang yang sangat dibutuhkan bagi manusia. Keduanya justru harus saling mendukung dan bersama-sama menjamin keberlangsungan hidup makhluk hidup termasuk manusia.

Pangan merupakan penjamin kehidupan, sedangkan lingkungan merupakan penjamin keberlanjutan pembangunan. Penyelamatan pangan dan jaminan keberlanjutan lingkungan (ekologis) merupakan dua hal yang harus dihadirkan bersama. Dalam kondisi pandemi Covid-19 ini, tantangan semakin berat dalam menghadirkan keduanya sekaligus.

Keterpenuhan sekarang dan ancaman kerusakan ke depan tentu kurang bijaksana dan hanya menjadi ‘bom waktu’ ancaman selanjutnya. Indonesia sebagai negeri agraris mesti terselamatkan dari darurat pangan.

***

Kendati begitu dalam menghadapi krisis pangan kali ini, pemerintah nampaknya cukup optimis. Terlihat dari pernyataan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto yang menjamin pasokan pangan akan aman selama 3 bulan kedepan.  Optimis serupa pun ditujukan oleh Luhut Panjaitan, bahkan ia tak hanya menjamin beras dan sembako, BBM dan listrik pun dijamin akan aman sentosa selama pandemi.

Namun optimisme kedua menteri ini sejalan dengan kondisi masyarakat dan pasar yang tak beraturan seperti ini? Awal kejadian Covid-19, masker dan hand sanitizer sempat langka, harganya pun ikut melambung tinggi. Pemerintah bahkan tidak mampu mengontrol.

Meningginya harga mungkin tidak dirasakan oleh beberapa pihak. Ketika krisis pangan terjadi, mereka masih mampu untuk membeli bahkan menimbun bahan pangan. Alhasil yang menjadi korban adalah masyarakat kecil yang sedari awal mengagungkan pemerintah dengan program-programnya.

Parahnya pemerintah masih saja mengurusi pasar global. Kebijakan ekonomi makro yang kemudian dituangkan dalam rancangan Perppu 1 tahun 2020 jadi fokus utama, dan melupakan rakyat kecil yang menunggu ketercukupan pangan sehari-hari. Lucunya lagi, anggaran untuk pembangunan masih saja ditingkatkan, sementara untuk pangan mengalami penurunan tiap saat.

***

Memasuki masa ‘new normal’ seperti yang dicanangkan pemerintahan untuk sekedar ‘berdamai dengan Covid-19’ maka sektor pertanian akan memasuki tantangan terberat. Salah satunya adalah ‘bagaimana’ menyerap arus-balik tenaga kerja dari kota ke desa yaitu para korban pemutusan hubungan kerja (PHK) dari sektor industri dan jasa yang “rehat” karena dampak Covid-19. Ditambah pelaku ekonomi informal kota yang pulang kampung karena peluang usaha/kerja yang ikut meredup.

Jika ‘opsi’ pencetakan sawah baru itu dijalankan, bersifat padat mesin sehingga serapan tenaga kerjanya juga kecil. Lantas ke mana pertambahan tenaga kerja di pedesaan, akibat PHK dan pulang kampung terkait Covid-19 akan disalurkan?  

Mereka akan tetap masuk ke sektor pertanian dan menyebabkan kondisi involusi di situ. Suatu kondisi di mana terlalu banyak tenaga kerja menggantungkan nafkah di bidang pertanian yang kapasitasnya terbatas.

The SMERU Research Institute dalam laporan The Impact of Covid-19 Outbreak on Poverty: An Estimation for Indonesia sudah memberi peringatan.  Pada angka pertumbuhan ekonomi 4.2% tahun 2020 (target 5.3%),  tingkat kemiskinan nasional akan naik dari 9.2% (24.8 juta jiwa, 2019) menjadi  9.7% (26.1 juta jiwa).  

Pemerintah sebenarnya sudah mengantisipasi “ledakan” itu dengan menyiapkan program jaring pengaman sosial.  Tapi, kecuali padat karya tunai pedesaan (Rp 10 triliun), program-program itu diperkirakan kurang efektif karena cenderung bias kota (kartu pra-kerja, kartu sembako, BLT, PKH).

Untuk meredam risiko involusi pertanian itu, integrasi fungsi-fungsi jaring pengaman sosial ke dalam program intensifikasi pertanian dapat dipertimbangkan sebagai sebuah strategi. Selain meningkatkan produktivitas,  program sinergi BUMN dan Kementan itu harus meningkatan pula volume kegiatan pangan. 

Caranya, pertama, peningkatan IP sampai 3.0, dua kali tanam padi dan satu kali tanam palawija/hortikultura. Kedua, peningkatan hilirisasi pertanian, khususnya pengolahan dan pemasaran hasil pertanian dan ikutannya. Dengan catatan bahwa strategi ini untuk meningkatkan kondisi sosial dan mencapai keadilan masyarakat tanpa adanya ‘kepentingan’ lain.

Jika masing-masing individu ‘sadar’, seharusnya pandemi telah usai.    

Dua cara itu akan menyerap tambahan tenaga kerja pedesaan dalam jumlah signifikan. Dengan begitu keresahan sosial akibat pengangguran dan kemiskinan, yang bisa berujung kerusuhan sosial, dapat diredam.