Kategori
Riset

Ringkasan Represi terhadap Pers Mahasiswa Tahun 2017-2019

Badan Pekerja Advokasi Nasional Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia (BP Advokasi Nas PPMI) melakukan riset tentang represi terhadap pers mahasiswa di Indonesia. Riset ini merupakan ringkasan dari kasus represi yang diadvokasi serta data-data yang sudah dihimpun BP Advokasi Nas PPMI selama 2017-2019. Ringkasan ini disusun dari gabungan data BP Advokasi Nas PPMI periode 2018-2019 dan BP Advokasi Nas PPMI periode 2017-2018 (oleh Imam Abu Hanifah dan Taufik Nur Hidayat).

Riset Ringkasan Represi terhadap Persma Tahun 2017-2019 merupakan bentuk tanggung jawab BP Advokasi Nas PPMI sebagai fungsi pendampingan advokasi. Pendampingan yang dilakukan BP Advokasi Nas PPMI mengacu pada UU Pers No 40 tahun 1999, Kode Etik Jurnalistik, Kode Etik PPMI, UU No 9 tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum, dan UU No 12 tahun 2012 tentang Perguruan Tinggi. Selain itu, BP Advokasi Nas PPMI juga mengacu pada Buku Pedoman Advokasi PPMI serta kajian keilmuan lainnya.

Beberapa bentuk pendampingan yang dilakukan BP Advokasi Nas PPMI, yaitu 1) pendampingan litigasi dan non-litigasi, 2) memberi saran penyelesaian kasus, 3) membuat kronologis, pernyataan sikap, dan kajian advokasi, 4) blow up kasus dan membuat konten media sosial (infografis/video), 5) perluas jejaring pers mahasiswa, mahasiswa, serta kelompok/individu masyarakat pro-demokrasi.

BP Advokasi Nas PPMI mencatat ada 58 jenis represi dari 33 kasus represi terhadap pers mahasiswa selama 2017-2019. Jenis represi yang paling sering dialami pers mahasiswa adalah intimidasi dengan jumlah 20 kali. Berikutnya ada pemukulan (delapan kali), ancaman drop out (DO) (empat kali), kriminalisasi (empat kali), dan penculikan (tiga kali).

Ada juga penyensoran berita, ancaman pembekuan dana, pembubaran aksi, pembekuan organisasi, kekerasan seksual, serta ancaman pembunuhan yang masing-masing tercatat pernah terjadi sebanyak dua kali. Selain itu, ada satu kali represi pada beberapa jenis represi seperti penyebaran hoaks, pencabutan tulisan, ancaman perusakan sekretariat, pembubaran diskusi, pemecatan anggota, peleburan organisasi, dan perundungan (bullying).

Pelaku represi terhadap pers mahasiswa yang paling banyak adalah pejabat kampus dengan jumlah 18 kali. Berikutnya ada mahasiswa (tujuh kali), dosen (tiga kali), Satuan Keamanan Kampus (tiga kali), oknum organisasi mahasiswa (dua kali), serta warganet kampus (dua kali). Selain itu ada juga represi yang dilakukan oleh pihak luar kampus seperti polisi (tujuh kali), masyarakat sipil (satu kali), dan oknum organisasi masyarakat (dua kali).

Berdasarkan daerah terjadinya represi, Kota Malang mendapat peringkat terbanyak dalam kasus represi terhadap pers mahasiswa yaitu sembilan kasus. Selanjutnya ada Kediri dan Surabaya masing-masing tiga kasus. Lalu ada dua kasus masing-masing di Kota Gorontalo, Medan, Yogyakarta, dan Makassar. Ada juga di Jombang, Ponorogo, Pangkep, Solo, Jember, Pekalongan, Surakarta, Jakarta, Bandung, dan Mataram masing-masing satu kasus.

Berdasarkan kampus dari pers mahasiswa yang mengalami represi, peringkat terbanyak ada UIN Maulana Malik Ibrahim Malang dengan lima kasus. Berikutnya ada UIN Sunan Ampel Surabaya, IAIN Gorontalo, Universitas Negeri Malang, dan IAIN Kediri dengan masing-masing dua kasus. Selain itu ada satu kasus pada masing-masing kampus di Universitas Sumatera Utara, Politeknik Pertanian Negeri Pangkep, Politeknik Elektronika Negeri Surabaya, dan IAIN Ponorogo.

Kampus lain dengan jumlah satu kasus juga ada di Universitas Muhamadiyah Malang, Universitas Muslim Indonesia Makassar, Universitas Pesantren Darul Ulum Jombang, Universitas Gadjah Mada, Universitas Hasanuddin Makassar, serta Universitas Brawijaya Malang. Selain itu ada juga satu kasus di kampus UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Universitas Negeri Yogyakarta, Institut Agama Islam Tribakti Kediri, Universitas Indra Prasta Jakarta, UIN Mataram, Universitas Muhamadiyah Mataram, Universitas Negeri Jember, Universitas Pekalongan, Institut Teknologi Medan, UIN Sunan Gunung Djati Bandung, serta Universitas Muhamadiyah Surakarta.

Melihat berbagai tindakan represi yang dialami pers mahasiswa perlu digarisbawahi bahwa akar permasalahannya adalah tidak adanya pengakuan hak untuk menyampaikan pendapat. Kampus kerap mengerdilkan persoalan dengan memberi tuduhan kepada pers mahasiswa bahwa kritik adalah bentuk pencemaran nama baik kampus. Ketika pers mahasiswa mengkritik, kampus tidak mau menerima bahwa kritik adalah salah satu bentuk dari kebebasan menyampaikan pendapat.

Hampir tak ada kampus yang melakukan kajian secara akademik untuk menanggapi kritik dari pers mahasiswa. Padahal, seharusnya kampus bisa melakukan kajian akademis misalnya dengan instrumen hukum seperti UU No 9 tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum maupun UU No 40 tahun 1999 tentang Pers.

Bahkan seharusnya kampus mengkaji kritik pers mahasiswa dengan instrumen hukum yang berlaku di lingkungan perguruan tinggi seperti Kebebasan Akademik di dalam UU No 12 tahun 2012. Selain itu, ada juga peraturan yang berlaku di kampus sendiri seperti statuta kampus, pedoman kemahasiswaan, ataupun kode etik mahasiswa.

Ketika hak untuk menyampaikan pendapat bagi pers mahasiswa tidak diakui dan tindakan kampus tidak mencerminkan kebebasan akademik, maka represi terhadap pers mahasiswa akan terus terjadi. Tentu perlu ada perbaikan sistem pendidikan di dalam kampus untuk menyelesaikan permasalahan ini.

Ke depannya, pers mahasiswa perlu memperjuangkan kebenaran dan melawan segala bentuk pembungkaman kebebasan berekspresi, kebebasan pers, dan kebebasan akademik. Apalagi perjuangan semakin sulit ketika alat pembungkam negara semakin beragam, seperti munculnya Revisi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) dan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).

Maka dari itu, pers mahasiswa perlu membangun gerakan bersama. Pers mahasiswa perlu memperkuat jejaring antarpers mahasiswa maupun dengan kelompok masyarakat atau individu yang mendukung kebebasan berekspresi. Selain itu, pers mahasiswa harus lebih memperkuat gerakan advokasi (dengan melakukan kelas advokasi LPM dan sebagainya) serta memperkuat kajian tentang isu sosial yang ada (seperti isu komersialisasi pendidikan dan transparansi di kampus). Ketika pers mahasiswa dan kelompok masyarakat maupun individu lainnya saling mendukung dan menguatkan, maka gerakan bersama yang lebih kuat akan terwujud.

Salam Solidaritas…!!! Salam Pers Mahasiswa…!!!

Narahubung BP Advokasi Nas PPMI:

Wahyu Agung (085211994458), Jenna M. Aliffiana (085220497184)

Lampiran: Data Ringkasan Represi terhadap Persma Tahun 2017-2019

Kategori
Diskusi

Pers Mahasiswa: Merawat Aktivisme Melalui Sekte Akademis Dizaman Industria(jurna)listik

Pers Mahasiswa (Persma) adalah konklusi dari bilahan histori yang akut. Pers dikandung independensi dengan cita luhur untuk mencerdaskan kehidupan bangsa melalui pengayaan informasi. Dalam UU No. 40 Tahun 1999 Tentang Pers, Pers adalah lembaga sosial dan wahana komunikasi massa yang melaksanakan kegiatan jurnalistik meliputi mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi baik dalam bentuk tulisan, suara, gambar,  suara dan gambar, serta data dan grafik maupun dalam bentuk lainnya dengan menggunakan media cetak, media elektronik dan segala jenis saluran yang tersedia.

Mahasiswa adalah bilahan dari aktivisme dan akademis. Aktivisme lantas diadopsi oleh pelbagai lapisan dan menamai dirinya dengan ‘gerakan mahasiswa’, tidak terkecuali dengan persma. Dipopramono (1989) dalam Perlawanan Pers Mahasiswa Protes Sepanjang NKK/BKK karya Didik Supriyanto  mengatakan bahwa pemerintah menganggap penggerak protes mahasiswa yang muncul akhir 1987 itu adalah aktivis pers mahasiswa.  Bahkan dalam Mendikbud Fuad Hassan pernah memberi peringatan agar persma tidak jadi wahana sikap kontra. “Jangan sampai Pers mahasiswa menjadi sumber keresahan dan keonaran,” katanya  (Kompas: 5/5/1987). Kampus turut melakukan usaha preventif yang masih memakai nalar zaman kolonial dengan mengeluarkan Drukpersreglement versi zaman now karena dianggap mencemarkan nama baik kampus. Di bilahan lain, bagi persma yang cenderung berorientasi dan berotasi di ranah akademis, ia kerap dicap sebagai humas kampus.

Dasarnya, tidak sama sekali kontras ketika ketiga embrio (independensi, aktivisme dan akademis) ini dikawinkan. Di sisi lain, justru dosa besar yang terus diwarisi dibumbui konflik horizontal. Ketidakpahaman dan keterkotak-kotakan ini memanifestasikan sebuah tanya dengan diktum, kemana arah gerak persma? Satu pertanyaan lain yang sangat tiras adalah anekdot, apakah persma harus netral?

Netral Bukan Tujuan Jurnalisme

Bill Kovach dan Tom Rosenstiel dalam Sembilan Elemen Jurnalisme menjelaskan wartawan tidak dituntut untuk netral. Para praktisi jurnalis harus menjaga independensi dari objek liputannya. Di elemen yang lain Kovach dan Rosenstiel juga  juga memaparkan it must serve as an independent monitor of power. Senada dengan Kovach dan Rosenstiel, Andreas Harsono menambahkan independen tidak berarti ia netral. Wartawan boleh tidak netral, karena tujuan jurnalisme adalah mencari kebenaran.

“Saya boleh meliput manajemen kampus, saya boleh berteman dengan rektor, tapi saya tetap harus independen dari rektor, atau saya harus independen dari bupati, senat mahasiswa dan seterusnya,” kata Andreas saat diwawancari pada Musyawarah Kerja Nasional Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia 23 November 2018 di telaga Ngebel Ponorogo.

Surat Keputusan Dewan Pers Nomor 03/SK-DP/III/2006 Tentang Kode Etik Jurnalistik juga tidak mewajibkan praktisi pers untuk netral atau bersikap, tetapi wartawan diwajibkan untuk independen.  Pada pasal 1, wartawan Indonesia bersikap independen, menghasilkan berita yang akurat, berimbang dan tidak beritikad buruk. Independen berarti memberitakan peristiwa atau fakta sesuai dengan hati nurani tanpa campur tangan, paksaan dan intervensi dari pihak lain termasuk pemilik perusahaan pers.

Dua sisi

Combine Resource Institution pada 4 Februari 2017 menghelat diskusi bertajuk “Media Komunitas Melawan Hoax” dan menghadirkan Ahmad Djauhar untuk berbicara mewakili Dewan Pers. Dikutip dari combine.or.id Ahmad Djauhar sempat menjawab kekhawatiran pegiat media non perusahaan. Menurutnya, jika media komunitas (semacam pers kampus) menerapkan dan mematuhi kaidah jurnalistik, maka para pegiat tidak perlu merasa khawatir. “Kalau anda tidak melakukan kesalahan, tidak usah takut,” ujarnya.

Dalam slide Merunut Media Hoax dan Upaya Melawannya yang ditulis oleh Yosep Adi Prasetyo selaku ketua Dewan Pers pada 12 Januari 2017 menempatkan persma dan media komunitas  dalam kuadran II dibawah media arus utama yang berada dalam kuadran pertama. Menurut slide ini, meski tidak tervervikasi media yang masuk dalam kuadran II masih berada dalam ‘zona aman’ ketimbang dua kuadran di bawahnya.

Di sisi lain, Persma kerap dianggap media amatir. Dalam definisi dewan pers berdasarkan UU Pers, pers harus berbentuk Perusahaan Pers dan sudah semestinya berbadan hukum. Dilansir dari dewanpers.or.id ada dua pilihan untuk pers kampus. Pertama, pers semacam pers kampus tidak digolongkan sebagai pers. Sehingga, tidak perlu tunduk terhadap kode etik dan Undang-Undang Pers. Akibatnya, pers kampus tidak berhak atas perlindungan yang diatur kode etik, Undang-Undang Pers, dan berbagai jaminan kemerdekaan pers. Kedua melonggarkan kegiatan pers. Pers tidak hanya dilaksanakan oleh atau melalui perusahaan pers. Kalau konsep semacam ini dapat diterima, harus ada perubahan UU No. 40 Tahun 1999.

Bersatu Untuk Keberpihakan

Dikotomi antara sekte aktivis dan akademis membuat persma memperlebar ruang konflik horizontal. Akibatnya, jangankan untuk memperjuangkan isu, persma kerap disibukkan oleh permasalah-permasalahan internal yang diwarisi tak berkesesudahan. Persma sekte aktivis seringkali terlena dengan keaktivisannya dan bahkan meninggalkan kampus. Pun sebaliknya, bagi persma yang akademistis turun ke jalan bukan bagian dari jurnalisme.

Pun ketika kita sudah berhasil mengawinkan pers (independensi) dengan dua bilahan aktivisme dan akademis dengan tidak memisahkan satu diantaranya adalah salah satu bentuk berhimpun. Perhimpunan ini akan melahirkan apa yang kita sebut idealisme. Tak ayal, muncul diktum “pers mahasiswa adalah idealisme”.

Karena idealisme tidak lahir dari pengakuan, tetapi lahir dari kebutuhan maka persma tidak perlu berbadan hukum. Tapi cukup berbadan pekerja (BP), artinya perkawinan yang lebih besar yaitu pers mahasiswa berhimpun dalam satu perhimpunan yakni PPMI. Dengan perhimpunan idealisme yang beragam tersebut, kepercayaan masyarakat kepada persma semakin meningkat. Diakui atau tidaknya persma oleh aturan hukum yang industria(jurna)listik itu menjadi pilihan yang boleh tidak dipilih.

Kategori
Siaran Pers

Pers Mahasiswa Surabaya dukung Pengesahan RUU PKS

Dalam rangka memperingati IWD (International Women Day), PPMI Dewan kota Surabaya bersama LPM Retorika (www.retorika.id) mengadakan diskusi bertajuk “Polemik RUU PKS” (09/03). Hadir sebagai pemantik, Poedjiati Tan (Cofounder conde.co) dan Anindya Sabrina (Koordinator Merah Muda Memudar).

Diskusi ini merupakan respon Pers Mahasiswa Surabaya dalam menyikapi sebuah kebijakan publik. Sebagaimana dijelaskan oleh Qulub, selaku Sekretaris Jenderal PPMI Dewan Kota Surabaya bahwa, “diskusi ini bertujuan untuk menambah wawasan teman-teman LPM yang berada dibawah naungan PPMI Dewan Kota Surabaya, supaya tidak terbatas membahas seputar isu kampus  saja. Tapi harus berani keluar dari zona aman, dan mulai menjalankan fungsi pers yang lebih luas yaitu sebagai kontrol sosial dimasyarakat. Dalam konteks ini RUU PKS merupakan sebuah produk kebijakan pemerintah yang harus disikapi. Meskipun kita belum bisa memberi dampak yang signifikan namun paling tidak dapat memberitakan dan dapat berkontestasi dalam dinamika opini publik.”

Diskusi dibuka dengan pemaparan singkat dari Pemantik terkait urgensi disahkannya RUU PKS. Poedji menjelaskan bahwa RUU PKS ini mengatur apa yang belum diatur dalam landasan hukum sebelumnya terkait kasus kekerasan seksual. Dilanjutkan dengan pemaparan dari Anin. “Kalau kita mengacu lebih jauh akar masalahnya ada pada KUHP kita, kita tidak bisa munafik kalau payung hukum kita merupakan warisan belanda yang bersifat sangat Patriarkis,” jelasnya.

Ketika ditanya bagaimana pendapat para pemantik terkait anggapan beberapa tokoh publik bahwa RUU PKS merupakan Agenda Setting  dari kelompok LGBT, Feminis, dan Liberal, Poedji menanggapi dengan senyum. “Ya kalau memang itu dianggap agenda terselubung kelompok liberal, feminis, dan LGBT kira-kira poin mana, ayat berapa yang menjelaskan tentang itu. Kalau memang mau dialog terbuka kami berani, biar gak hanya Commen Sense. Kita ini berjuang untuk kebaikan bersama tapi malah dianggap macam-macam,” tambahnya. Anin pun menjelaskan bahwa apa yang kita (kelompok feminis) perjuangkan itu sudah sangat realistis, bayangkan jika kita masih kukuh dengan budaya lama. Mana ada perempuan yang berpendidikan tinggi, mana ada perempuan yang duduk diparlemen. “Kenapa istilah feminis ini menjadi sangat haram ditelinga masyarakat kita?” tanyanya.

Diskusi ditutup dengan Closing Statement dari masing-masing pemantik diskusi. Poedji menjelaskan bahwa adanya RUU PKS kita punya payung hukum yang menjadi pegangan, dimana Perempuan yang menjadi korban bisa dipulihkan. Hal ini diafirmasi oleh Anin, bahwa tanpa RUU PKS ini, korban rentan diskriminasi, apalagi kalau korban disebarkan foto Nude-nya (Revenge Porn).

Dari hasil diskusi tersebut menghasilkan kesepakatan bahwa Pers Mahasiswa Surabaya bersikap untuk mendukung pengesahan RUU PKS, dengan 5 (lima) pertimbangan, antara lain yaitu:

  1. Angka kekerasan Terhadap Perempuan di Indonesia dari tahun ke tahun terus meningkat, bahkan sejak tahun 2012 Komnas Perempuan menyatakan bahwa kondisi Indonesia mengalami darurat kekerasan seksual. Jumlah kekerasan seksual terhadap perempuan yang dilaporkan dan ditangani Komnas Perempuan selama tahun 2017 berjumlah 335.062 kasus. Jumlah tersebut naik drastis dari tahun sebelumnya yang berjumlah 259.150 kasus.
  2. Kami melihat bahwa Penyelesaian kasus kekerasan seksual selama ini, lebih banyak merugikan korban perempuan. Contoh kasus yang mungkin masih sangat terngiang dibenak kita adalah Agni (bukan nama sebenarnya) mahasiswi UGM dan Baiq Nuril pegawai honorer di SMAN 7 NTB. Dalam kasus Agni masalah diselesaikan dengan jalur damai, sedangkan Baiq Nuril lebih miris. Dia dinyatakan bersalah oleh MA (Mahkamah Agung) sehingga divonis hukuman 6 (enam) bulan penjara dan denda Rp 500 Juta.
  3. Tidak ada sistem pemidanaan dan penindakan terhadap beberapa jenis kekerasan seksual. Dalam RUU PKS, terdapat sembilan jenis tindak pidana kekerasan seksual antara lain Pelecehan Seksual, Eksploitasi Seksual, Pemakasaan Kontrasepsi, Pemaksaan Aborsi, Perkosaan, Pemaksaan Perkawinan, Pemaksaan Pelacuran, Perbudakan Seksual, dan Penyiksaan Seksual. Tidak ada pengaturan yaang komperhensif tentang 9 (sembilan) jenis tindak pidana tersebut dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku.
  4. Dalam RUU PKS, Korban dan keluarga akan mendapat dukungan proses pemulihan dari negara. Hal ini lebih memperhatikan kebutuhan korban pasca mengalami pelecehan seksual. Karena pelecehan seksual tidak hanya membuat korban terluka secara fisik, tetapi juga psikis.
  5. Dalam RUU PKS, Pelaku kekerasan seksual akan mendapat rehabilitasi. Hal ini akan diberlakukan bagi pelaku kekerasan seksual non-fisik dan pelaku berusia dibawah 14 tahun.

Output dari diskusi ini adalah pernyataan sikap Persma Surabaya, yang akan dibuat dalam bentuk Pers Release dan aksi simbolik tanda tangan diatas benner putih yang didalamnya terdapat logo PPMI Dewan Kota Surabaya sebagai bentuk dukungan agar RUU PKS segera disahkan.

Kategori
Diskusi

Pers Mahasiswa dalam Pemilu 2019

Paling tidak tugas dan tanggungjawab pers mahasiswa masih bersangkutpautan dengan komitmennya terhadap realitas sosial empirik yang harus direfleksikan lewat informasi. Saut Hutabarat menegaskan bahwa pers mahasiswa (persma) tidak hanya bermanfaat bagi pembacanya, tetapi juga bermanfaat bagi pengelolanya. Karena manifestasi keberhasilan persma adalah terkawalnya isu untuk membangkitkan kesadaran sosial civil society dan aktor-aktor di persma sendiri.

Untuk mewujudkan cita-cita mulia itu, paling tidak persma sudah harus membenahi diri dalam mengkampanyekan isu. Tidak hanya diinternal kampus sebagai induk semangnya, tetapi jauh lebih dalam serta terjun ke dunia luar. Wicaksono Noerhadi menulis artikel untuk harian Kompas, dimuat pada 11 Mei 1989 dengan judul Pers Mahasiswa Tahun 1950-an Berhasil Menjawab Tantngan Zamannya. Menurut Noerhadi, isi informasi yang disajikan oleh persma sanggup menumbuhkan citra di kalangan pembaca bahwa ia lebih laik dari pers mainstream. Lebih menarik lagi, tidak jarang pers profit mengutip berita dari persma.

Saya mengutip artikel ini bukan sekedar untuk romantistik nan lebai. Jika dianggap kusam, Citra Maudy pada 05 November 2018 menulis laporan di Balairungpress dengan judul  Nalar Pincang UGM Atas Kasus Perkosaan, meskipun masih banyak kritikan, tulisan ini tidak hanya direspon oleh UGM tetapi oleh publik bahkan menjadi perbincangan hangat di berbagai media.

Saya sependapat dengan Ana Nadhya Abrar. Dalam buku Pers Mahasiswa dan Masalah Pengoperasionalisasinya yang ia tulis, Ana Nadhya Abrar berpendapat bahwa keberhasilan Persma media 50-an tidak terlepas dari aktor-aktor persma yang menyadari betul perannya sebagai mahasiswa sekaligus masyarakat yang ikut andil menentukan arah juang republik. Tak pelak, menurutnya, sekecil apa pun persma tetap sebuah lembaga sosial.

Peran Pers Mahasiswa Menjelang Pilpres   

Adalah hal yang riskan tetapi layak untuk dibahas. Dimana dan bagaimana peran Persma dalam pergulatan Pemilihan Presiden April mendatang. Sebagian menganggap ini diluar tanggungjawab kepersmaan sebagian yang lain beranggapan, ini merupakan tugas-tugas jurnalistik.

Andreas Harsono dari Yayasan Pantau sekaligus pemerhati persma senada dengan argumentasi terakhir. Persma yang notabenenya sebagai praktisi jurnalisme harus ikut andil agar masyarakat memperoleh informasi yang benar. Benar dalam arti fungsional lebih tepatnya, tanpa harus mundur kemedia 50-an.

“Peranan media, entah media umum  atau media khusus (termasuk persma, red) adalah menyediakan jurnalisme. Tujuannya adalah untuk kebenaran fungsional. Ia tentu juga berlaku dalam liputan pemilihan umum,” jelas Andreas.

Andreas turut menambahkan para pemilih juga membutuhkan informasi yang benar sebelum menentukan pilihannya. Dari tingkat terkecil, legislator, sampai presiden dan wakil presiden. Jurnalisme perlu menyediakan kebenaran fungsional tersebut.

Bill Kovach dan Tom Rosenstiel dalam Sembilan Elemen Jurnalisme menerangkan, kebenaran fungsional maksudnya adalah sesuatu yang dianggap benar dan bisa direvisi  dikemudian hari jika terdapat kekeliruan. Ilmu pengetahuan yang berkembang dan pelajaran-pelajaran di sekolah dapat direvisi ketika ada teori yang lebih kuat. Ini tentu berbeda dengan kebenaran dalam tataran filosofis yang sifatnya lebih kaku.

Ketua Forum Alumni Aktivis (FAA) Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia (PPMI) Agung Sedayu turut berkomentar. Ia berpendapat kedua kubu calon presiden (capres) berlomba ngecap obral bualan untuk membius publik. Sehingga lahir kelompok-kelompok irrasional yang tidak peduli, apa pun yang yang dilakukan oleh calon yang didukungnya dianggap benar. Lantas Agung menaruh harapan besar kepada Persma agar menjadi alat edukasi publik.

“Tetap sebagai alat eduksi publik, memaparkan fakta dan informasi yang jernih serta mendalam tentang pemilu. Persma  mesti bisa mengembalikan kewarasan itu, menyodorkan informasi yang memadai sekaligus kritis sehingga publik memiliki landasan yang kuat dalam menentukan sikap,” paparnya.

Agung turut mengingatkan agar persma harus tetap independen dalam pemberitaan sehingga tidak ikut terjebak dalam dukung-mendukung pasangan calon (paslon).

“Intinya Persma mesti mampu menjadikan publik sebagai pemilih yang waras sekaligus cerdas. Apa pun pilihannya, bahkan jika memilih untuk tidak memilih sekalipun boleh asal didasari oleh kesadaran serta ketercukupan informasi yang benar,” tambah Agung.

Penulis: Rahmat Ali

Editor: Kiky

Kategori
Siaran Pers

Surat Terbuka untuk Kapolri: Hentikan Kekerasan Aparat Terhadap Jurnalis

Rekam jejak kekerasan terhadap jurnalis yang dilakukan oleh aparat makin meningkat. Rekan-rekan jurnalis, pers mahasiswa (persma) dan aktivis lainnya terus saja dibuat gusar oleh perilaku intimidatif dan kekerasan fisik yang dilakukan aparat kepolisian pada jurnalis saat melakukan tugas jurnalistiknya. Kamis siang (12/4/2018), Muhammad Iqbal, anggota Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Suaka Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati Bandung, dipaksa untuk menghapus foto dikameranya dan dipukuli saat meliput aksi penolakan pembangunan Rumah Deret di gerbang Kantor Walikota Bandung.

Iqbal yang tengah mengambil gambar beberapa peserta aksi yang diseret kepolisian, didorong oleh salah satu aparat. Ia mencoba bertahan, namun tetap dipaksa dan didorong untuk keluar dari gerbang balai kota. Iqbal yang mengaku sebagai pers tak digubris dan malah diusir. Iqbal akhirnya mencari jalan lain agar bisa ke mobil dalmas karena ingin mendokumentasikan apa yang dilakukan aparat terhadap Dimas dan Aheng, peserta aksi yang ditangkap. “Woy, apaan kamu moto-moto sembarangan!” tutur Iqbal menirukan polisi yang meriakinya setelah mendapat delapan jepretan seperti yang dimuat dalam lpmarena.com.

Beberapa polisi pun menginterogasi Iqbal dan memaksa agar Iqbal menghapus foto-foto yang diambilnya. Iqbal bersikukuh menolak, ia menjelaskan bahwa pers memiliki hak untuk mengetahui apa yang terjadi. Karena dianggap tidak kooperatif, Iqbal dimasukan ke dalam truk dan diinterogasi.

Intimidasi pada Iqbal terus dilakukan. Polisi sempat menggeledah tas Iqbal dan mengambil kartu pers Iqbal. Polisi bersikeras Iqbal harus menghapus fotonya jika Iqbal ingin kartu persnya dikembalikan. Iqbal tetap menolak. Namun karena terus diintimidasi, foto itu akhirnya terpaksa dihapus dengan diperhatikan oleh polisi.

***

Massa aksi kemudian mulai merapatkan barisan, meminta agar perwakilan Pemkot menemui dan menjelaskan kepada warga terkait proyek rumah deret. Lalu ada tiga orang massa aksi yang diseret masuk, yaitu Fadli, Oki, dan Aang. Ketiganya diseret, diinjak-injak, dan dipukuli.

Iqbal yang sedang berada di dalam mencoba melerai aksi polisi tersebut. “Kalem pak, kalem,” ujar Iqbal. Bukannya berhenti, polisi tersebut justru berteriak balik, “Kamu kan pers yang tadi!” Lalu, polisi tersebut langsung memukul pipi bagian atas Iqbal dua kali. Ia lalu diinterogasi dan dicatat KTPnya bersama yang lainnya.

Iqbal berada di dalam, ia kembali ditanyai identitasnya. Massa aksi pun meminta aparat untuk mengembalikan tiga orang tersebut. Aparat kepolisian bergeming dan mencoba tetap menyuruh massa aksi untuk balik kanan, pulang dengan pengawalan petugas. Massa aksi menolak. Mereka ingin terlebih dahulu temannya ini dikembalikan dengan tanpa luka. Setelah melalui negosiasi yang sengit, akhirnya Iqbal bersama tiga orang lainnya dibebaskan dengan keadaan babak belur.

***

Tindakan pemukulan, dan intimadasi kepada Iqbal yang sedang menjalankan tugas jurnalistiknya tentu melanggar Undang-Undang Dasar 1945 pasal 28 F; dimana setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya serta berhak untuk memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah dan menyebarkan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran tersedia.

Iqbal dan bahkan masyarakat sipil siapapun itu dalam konteks aksi penolakan Rumah Deret berhak untuk mendokumentasikan apa yang terjadi di ruang publik saat itu. Kepolisian yang melakukan tindakan pemukulan pun tak berhak untuk menyakiti masyarakat sipil yang mendokumentasikan tindakan beringas yang dilakukan polisi.

Instrumen hukum lain yang juga dilanggar dalam kejadian ini adalah Undang-Undang No. 12 Tahun 2005 tentang pengesahan International Covenant on Civil and Political Right (ICCPR) atau instrumen HAM internasional terkait hak sipil dan politik warga negara. Dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (HAM) pasal 13 ayat (1), serta pasal 19 dan 20, kemudian diteruskan dalam ICCPR pasal 12, 19, 21, 22 ayat (1) dan (2) menyatakan memberikan pengakuan dan perlindungan terhadap kebebasan dasar setiap manusia yang meliputi hak kebebasan berpendapat, berekespresi, berkumpul, dan berserikat.

Dalam hal menyelenggarakan tugas-tugas kepolisian, setiap aparat harusnya juga menaati Peraturan Kapolri No. 8 Tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar Hak Asasi Manusia dalam Penyelenggaraan Tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia yang juga diatur dalam pasal 4 UU Kepolisian Negara Republik Indonesia No. 2 Tahun 2002.

Peserta aksi, dalam hal ini, memiliki hak untuk menyatakan pendapatnya di muka publik dan melakukan pengorganisiran massa sehingga suaranya dapat didengar oleh Pemerintah Kota Bandung. Iqbal sendiri sebagai masyarakat sipil maupun sebagai jurnalis pers mahasiswa, sekali lagi, memiliki hak untuk bebas berekspresi melalui kerja jurnalistik yang dilakukannya.

Masih lekat dalam ingatan, bagaimana Fadel, dkk, awak persma LPM BOM Institut Teknik Medan (ITM) yang kemudian dipolisikan karena dianggap melakukan provokasi dan pemukulan saat mereka melakukan peliputan aksi Hardiknas di depan kampus Universitas Sumatera Utara. Akhirnya, dalam persidangan ketiganya tak terbukti bersalah. Padahal sebelumnya mereka telah mengalami intimidasi dan pemukulan.

Pada Desember 2017, A.S. Rimba dan Imam Ghozali dari LPM Ekspresi Universitas Negeri Yogyakarta serta Fahri LPM Rhetor UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta juga jadi korban aksi brutal aparat kepolisian. Ketiganya termasuk dalam 15 orang aktivis yang dipukuli dan sempat ditangkap oleh aparat Polres Kulon Progo. Tiga warga pun ikut terluka akibat beringasnya polisi yang coba mengusir anggota jaringan solidaritas anti penggusuran. Hingga kini, pelaku pengroyokan yang menyebabkan ketiganya mengalami luka-luka dan memar kala itu tak ditangkap dan dibiarkan bebas.

Berdasarkan hasil riset Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia (PPMI) 2013-2016 tercatat ada 5 kekerasan yang dilakukan oleh aparatur keamanan negara terhadap awak persma. Jurnalis media arus utama pun tak luput dari kekerasan aparat. Aliansi Jurnalis Independen (AJI) seperti yang dikemukakan Abdul Manan yang dikutip dari www.liputan6.com, sepanjang tahun 2017 terdapat 60 kasus kekerasan, tahun 2016 terdapat 81 kasus kekerasan, dan tahun 2015 terdapat 42 kasus. Aparat kepolisian menempati urutan kedua dalam daftar pelaku tindak kekerasan terhadap jurnalis. Dalam pasal 18 ayat 1 Undang-Undang No. 40 Tahun 1999 Tentang Pers juga mengatur bahwa upaya untuk menghalangi atau menghambat kerja-kerja jurnalistik dapat dikenai hukuman pidana paling lama 2 (dua) tahun atau denda paling banyak Rp. 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).

Berdasarkan kronologi dan argumen diatas, kami atas nama Solidaritas Pers Mahasiswa Se-Indonesia menyatakan sikap:

  1. Mengecam keras tindakan pemukulan terhadap jurnalis pers mahasiswa LPM Suaka UIN Sunan Gunung Djati Bandung dan masyarakat sipil yang dilakukan oleh aparat kepolisian.
  2. Menuntut Kepolisian Republik Indonesia untuk menghormati dan melindungi jurnalis yang tengah melakukan tugas jurnalistik sesuai dengan undang-undang yang berlaku.
  3. Menuntut Kepolisian Republik Indonesia untuk mengusut tuntas kasus kekerasan terhadap jurnalis LPM Suaka dan masyarakat sipil.
  4. Menuntut Kepolisian Republik Indonesia mengevaluasi kembali aturan dan penerapannya terkait perlindungan terhadap masyarakat sipil yang tengah melakukan aksi demi menyampaikan aspirasinya.

 

Kami yang menandatangani:

  1. Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia (PPMI) Nasional
  2. Forum Komunikasi Pers Mahasiswa Aceh (FKPMA)
  3. Aliansi Pers Mahasiswa Lampung (APML)
  4. Forum Komunikasi Pers Mahasiswa Sumatera Selatan (FKPMS)
  5. Asosiasi Pers Mahasiswa Sumatera Barat (ASPEM)
  6. Forum Komunikasi Pers Mahasiswa Bandung (FKPMB)
  7. Aliansi Pers Mahasiswa Politeknik Se-Indonesia (APMPI)
  8. Pers Mahasiswa Banten

 

Narahubung:           

Irwan Sakkir, Sekjendnas PPMI (0812 4877 1779)

Erlangga Permana Supriyadi, Koordinator FKPMB (0813 1242 7412)

Irwansyah, Koordinator FKPMA (0822 7642 2339)

Wahyu Nurrohman, Koordinator APML (0856 5876 4951)

Nopri Ismi, Koordinator FKPMS (0812 7441 2182)

Axvel Gion Revo, Koordinator ASPEM (0823 8233 9269)

Riza Azmi Adilla, Koordinator APMPI (0822 8287 6770)

Romako, Pemimpin Umum LPM Hujan Crew Banten (0838 1231 1525)

Kategori
Diskusi

Merawat Perlawanan

Problematika pers mahasiswa (persma) seakan tak pernah usang untuk dibahas dan dikaji. Lika-liku mewujudkan demokrasi dihampir semua lini kehidupan masyarakat baik di ranah isu nasional seperti agraria, pendidikan, politik, ekonomi maupun isu daerah seperti isu kampus, lingkungan, sosial serta isu lainnya menuntut kerja-kerja jurnalistik yang tak mudah. Pemilihan angle pun seringkali mengharuskan persma membingkai data dan mengoposisikan pihak atau oknum yang dianggap semena-mena dalam kehidupan bermasyrakat. Misalnya saja para birokrat kampus yang tak pernah absen diwawancarai untuk menampilkan cover both side atas apa yang diberitakan. Begitu pula dengan para aktor korupsi dan cukong pencaplok lahan. Walau tak sedikit pula rekan persma yang memilih bermain aman dengan tak melulu mengkritik atau bahkan malah menjadi bagian dari hubungan masyarakat (humas) kampusnya.

Bicara mengenai fungsi advokasi dalam mengidentifikasi siapa saja yang menjadi lawan atau berpotensi merugikan persma, juga tak lepas dari sikap redaksi dan rekan-rekan persma menanggapi masalah sosial yang ada. Hasil riset BP litbang PPMI nasional periode 2014-2016 telah berhasil mendata jenis tindakan kekerasan terhadap persma seperti intimidasi, pembredelan, pembubaran acara, pembekuan, perusakan karya, fitnah, kriminalisasi, pembatalan izin, dan pelecehan yang dialami persma. Baiklah mari kita tinjau siapa yang berpotensi menjadi lawan kita jika kita benar-benar melawan.

Pertama ialah Aparat keamanan, baik polisi maupun TNI. Meraka memang ada untuk menjaga ketertiban dan keamanan masyarakat. Namun bagaimana jika malah meresahkan atau membatasi aktivitas berdemokrasi. Contoh kongkret adalah apa yang dialami oleh Fadel Muhammad Harahap dan Fikri Arif dari LPM BOM yang ditahan dengan tuduhan melakukan pemukulan terhadap aparat saat terjadinya aksi hardiknas di depan gerbang universitas sumatera utara. Sidang perdana yang direncanakan etanggal 7 agustus pun diundur. Karena tuduhan yang sepihak itu, keduanya hingga saat ini masih mendekam di lapas. Walau catatan sementara hanya 5 kasus yang dilakukan oleh TNI/Polri, namun Aliansi Jurnalis Independen (AJI)  mencatat jumlah kasus kekerasan yang dialami wartawan media komersil sejak januari 2014 hingga agustus 2017, polisi menjadi pelaku sebanyak 35 kasus, dan TNI sebanyak 12 kasus. Korps bhayangkara memang seakan tak mau insititusinya tercoreng. Segala cara dihalalkan mulai dari perampasan alat peliputan, hingga kekerasan fisik secara langsung.

Bagaimana dengan pihak kampus? Aparat tentu bukan satu-satunya yang masif melakukan tindak kekerasan pada persma. Birokrat kampus ternyata jadi ranking nomor wahid dalam survei tahun lalu. Sebanyak 65 kasus dialami oleh persma disebabkan ulah para pejabat kampus. Bentuk kekerasannya beragam, mulai dari intimidasi dengan pemanggilan, pengurangan nilai, ancaman pembekuan organisasi bahkan pencabutan SK LPM sebagai bentuk pembredelan. Sebagai pemegang kuasa anggaran negara, rektor dan jajarannya tak jarang melakukan pemotongan anggaran, bahkan menutup anggaran LPM. Sebagian kalangan berkata wajar saja jika kampus menjadi aktor yang paling mengancam eksistensi persma. Ruang lingkup peliputan kampus yang jadi porsi lebih banyak dan adanya rasa “berkuasa” pihak rektorat tentu sulit jika kita mengimpikan kata damai. Tapi saya yakin ada juga yang memilih berdamai dengan alasan regenerasi dan keselamatan lembaga.

Suatu perdebatan menarik ketika rekan-rekan diskusi bercerita adanya proses pelemahan dari dalam lembaga persma itu sendiri. Mereka mensinyalir oknum organisasi tertentu masuk dan mulai melakukan tindakan persuasif untuk menumpulkan media persma tersebut. Sangat disayangkan memang, namun hal itu sebenarnya bisa saja ditangani jika teman-teman persma tetap meneguhkan identitasnya melalui produk media yang dihasilkan. Bicara pers mahasiswa yang sering disebut atau menyebut diri sendiri dengan media altenatif, Yosep Adi Prasetyo, Ketua Dewan Pers pun sempat membahasnya dalam artikel berjudul “Pers Mahasiswa dan Upaya Membonsai Daya Kritis” bahwa kini tak ada lagi sebutan pers alternatif yang dulu disematkan pada pers mahasiswa. Semua pers kini bisa menjadi alternatif, baik dari isi, penyajian dan angle tulisan.

Pertanyaan menarik yang terlontar kemudian, Apakah pers mahasiswa akan tetap percaya diri menyebut dirinya pers alternatif? Apa persma masih benar-benar sebagai oposisi? Tak berniat menghitamputihkan sebuah fenomena, namun sampai saat ini saya masih yakin netralitas itu tak benar-benar ada. Kemana rekan-rekan persma berpihak? Masih adakah yang mau dilawan? Jika jawabannya tidak, lalu apakah karena trend  kritis, melawan atau kiri itu keren? Mungkin artikel sesepuh DK Yogyakarta dengan judul Idealisme persma atas nama kebutuhan bisa sedikit mencerahkan.

Tapi kecemasan saya kali ini bukan soal tujuan rekan-rekan berpersma. Pola oposisi yang kian dilebur dalam masyarakat yang afirmatif terhadap penguasa, baik negara maupun tataran kampus. Herbert Marcuse dalam bukunya yang berjudul one dimensional man atau manusia satu dimensi menyebut jika masyarakat yang dulunya terbagi menjadi dua dimensi, yang pertama dimensi positif atau afirmatif pada keberlangsungan negara dan satunya dimensi negatif yang menentang struktur dan sistem yang ada berdasarkan ketimpangan yang ada, kini telah berusaha dilebur jadi satu. Kebutuhan akan modernitas yang didukung para teknokrat dan cara-cara kapitalisnya membuat dimensi negatif bukan lagi oposisi, tapi bagian dari masyarakat yang satu. Penekanan terhadap kubu negatif jelas dilakukan. Sistem kapitalis yang tetap bermamah biak dijadikan alasan untuk menaikkan taraf hidup masyarakat.

Contoh kongkrit, saat kasus pabrik semen di kendeng diangkat ke publik. Ada rekan persma yang berujar, “ngapain kita melawan, setelah lulus kita juga butuh pekerjaan. Mending dibangun pabrik lalu jadi pegawai.” Pikiran yang tak pro rakyat atau petani ini memang rasional dari sisi mahasiswa yang bingung setelah lulus jadi apa. Bayangkan jika hampir semua mahasiswa berpikiran begitu. Sungguh bahagianya hati para pemilik perusahaan. Satu sisi negara juga tak perlu susah-susah membungkam mereka. Wajar karena sejak mahasiswa baru doktrin seperti itu begitu kuat. Kuliah yang cepat lalu kerja. Pengkondisian itu kian masif dan tak dapat lagi dirasakan. Saya jadi teringat kutipan dari pemantik diskusi dalam sebuah launching majalah persma di malang walau agak lupa diksinya seperti apa. “Penindasan yang parah adalah ketika yang ditindas sudah tak merasa ditindas lagi.”

Sudah cukup kiranya saya berargumen. Kembali ke siapa lawan persma, masih adakah yang menjadi aktor kekerasan terhadap persma? Bicara masalah organ ekstra, komunitas, mahasiswa nonpersma dan masyarakat umum tentu dapat dilihat dari berbagai perspektif. Silakan berpendapat.

Kategori
Agenda

Lomba Essay Nasional PLASMA EVENT 2017

Hidup Mahasiswa !!!

Salam Pers Mahasiswa !!!

 

Unit Kegiatan Mahasiswa Pers Goresan – Pena Jurnalis Dan Media Aspirasi Mahasiswa (UKM Pers G-PLASMA) Politeknik Negeri Madiun, dengan penuh syukur dan bangga mempersembahkan :

 

Lomba Essay Nasional PLASMA EVENT 2017

Dengan Tema : “Media Pers

Sub Tema :

  1. Media Pers kritis, Informatif dan Kreatif.
  2. Dampak Teknologi Modern terhadap Media Pers.
  3. Mimpiku untuk Independensi Media Pers Indonesia.

 

Syarat dan Ketetuan :

  • Peserta terdaftar sebagai mahasiswa (D3/D4/S1) aktif perguruan tinggi di Indonesia dibuktikan dengan scan Kartu Tanda Mahasiswa (KTM) atau surat keterangan aktif dari perguruan tinggi yang bersangkutan.
  • Peserta wajib mengikuti akun Instagram UKM Pers G-PLASMA yaitu gplasma_pnm
  • Peserta berbentuk individu/perorangan.
  • Setiap peserta hanya diperbolehkan mengirim maksimal 2 naskah essay yang berbeda dan melakukan pembayaran sesuai dengan jumlah naskah yang dikirim.
  • Membayar biaya pendaftaran sebesar 30.000/naskah. Pembayaran dilakukan transfer ATM Bank BRI ke No. Rekening 6500-01-012376-53-4 A.n Dila Rasna Putri, ATM Bank BNI dengan No. Rekening 0455412473 A.n Linda Dwi Kartika

 

Informasi lebih lengkap download Buku Panduan di http://bit.ly/essayplasmaevent2017

 

Agenda Kegiatan :

  • 4 Agustus – 4 September 2017 = Pendaftaran-Pembayaran-Pengumpulan Berkas
  • 5 September – 7 Oktober 2017 = Penjurian
  • 9 Oktober 2017 = Pengumuman Pemenang
  • 14 Oktober 2017 = Acara Puncak Seminar Nasional Plasma Event 2017

Hadiah Pemenang :

Juara 1 : Sertifikat + Uang Pembinaan + Tiket seminar Nasional PLASMA EVENT 2017

Juara 2 : Sertifikat + Uang Pembinaan + Tiket seminar Nasional  PLASMA EVENT 2017

Juara 3 : Sertifikat + Uang Pembinaan + Tiket seminar Nasional  PLASMA EVENT 2017

SEMUA PESERTA MENDAPATKAN E-SERTIFIKAT

 

Informasi lebih lanjut dapat diakses melalui :

  • pers@pnm.ac.id
  • Instagram: gplasma_pnm
  • Fanpage : Goresan pena jurnalis dan media aspirasi mahasiswa
  • Safira (085733003080), Nabih (082338191096), Arinda (085854414967)

 

Kategori
Diskusi

Pers Mahasiswa Besar Bukan Dari Pengakuan

Membuka dan membaca lagi sejarah perkembangan pers mahasiswa dalam buku Menapak Jejak Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia (PPMI), tertulis bahwa pada Kongres PPMI ke-5 tahun 2000 memilih tema “Jati Diri Pers Mahasiswa sebagai Kontrol Sosial dan Agen Perubahan”. Jelas dalam tema tersebut tersirat bahwa tugas atau fungsi dari pers mahasiswa adalah menjadi kontrol sosial dan memperjuangankan perubahan yang bersifat kerakyatan.

Berani mengkritisi dan menyikapi kebijakan pemerintah yang memang dirasa kurang tepat, atau kebijakan yang tidak pro rakyat. Hal tersebut mengantarkan posisi pers mahasiswa selalu berseberangan dengan pemerintah. Dan tak jarang pers mahasiswa mendapatkan tindakan yang kurang bijak dari pemerintah, seperti intimidasi, pembreidelan media, atau bahkan tindakan kekerasan yang dilakukan oleh militer.

Berada pada posisi yang berlawanan dengan pemerintah, membuat pers mahasiswa dalam wadah PPMI tumbuh tanpa pengakuan. Meskipun demikian memang PPMI sudah berani bersikap, untuk tidak mau berkompromi dengan pemerintah. Menempuh jalur birokrasi dan menuntut akan sebuah pengakuan hanya akan membuat lelah.

Pengakuan dari pemerintah pun sebenarnya akan membawa efek buruk juga bagi PPMI. Dalam naungan atau pengakuan pemerintah, sudah jelas posisi pemerintah yang berkuasa akan lebih leluasa untuk melakukan intervensi kepada gerakan pers mahasiswa. Pun keberlangsungan lembaga juga rawan diancam untuk dibubarkan.

Sikap PPMI saat itu untuk tidak mau berkompromi dengan pemerintah, merupakan tindakan yang tepat. Berjalan dan tumbuh berkembang tanpa pengakuan merupakan langkah PPMI agar tidak terjebak dalam kepentingan politik pemerintah.

Membawa ideologi “Membela kaum tertindas” mengharuskan PPMI untuk terus mengawasi kinerja pemerintah yang rawan penyalahgunaan jabatan, kekuasaan, dan tindakan kesewenang – wenangan. Berimbas pada nasib rakyat yang menjadi korban.

Jika periode I tahun 1993 PPMI masih terlihat berhati-hati dalam bersikap, maka periode II tahun 1995 PPMI berani bersikap. Secara tegas PPMI bersikap bahwa tidak butuh pengakuan atau legalitas. Berbagai pertimbangan praktis, elitis, dan kompromis ditanggalkan jauh – jauh. Menjunjung tinggi orientasi kritis, memperjuangkan kebebasan dan berpegang pada independensi media. Sikap tersebut dikenal dengan “Deklarasi Tegalboto”.

DEKLARASI TEGALBOTO

“Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia [PPMI] merupakan elemen kekuatan alternatif yang lahir dari pers mahasiswa dan atau lembaga pers mahasiswa di Indonesia untuk menghimpun potensi yang dimiliki dengan didasari komitmen moral, kerakyatan dan intelektualitas. PPMI adalah wadah yang berbasis pada pers mahasiswa dan atau lembaga pers mahasiswa di Indonesia menegaskan kembali bahwa PPMI tidak berorientasi kerja elitis dan bersifat mandiri sebagai basis tumbuhnya sikap idealisme dan kepedulian sosial.

Dengan keprihatinan bahwa kondisi sosial masyarakat saat ini mengalami degradasi struktural maupun moral maka PPMI meyakini bahwa fenomena sosial yang ada merupakan agenda permasalahan yang integral dalam pers mahasiswa sebagai manifestasi fungsi pers mahasiswa. Untuk itu diperlukan pers mahasiswa yang sanggup mengkonsolidasi kekuatan internal organisasinya, serta mempertegas sikap terhadap kondisi sosial masyarakat yang berkembang.

Berkaitan dengan ini maka PPMI menyerukan kepada pers mahasiswa dan lembaga pers mahasiswa untuk berani dan terus menerus menginformasikan persoalan-persoalan yang timbul di masyarakat secara nyata dan utuh sebagai keberpihakan yang riil terhadap komitmen moral dan kerayatan.

Berkaitan dengan alat kemandiriannya, PPMI bertekat untuk terus memperjuangkan demorasi, independensi dan kebebasan pers mahasiswa Indonesia dengan tidak mengakui lembaga SIUPP dan STT. Langkah selanjutnya, PPMI sebagai salah satu bentuk lembaga mahasiswa yang berakar dari kekuatan mahasiswa akan terus memperjuangkan kebebasan akademis dengan tidak mengingkari nilai-nilai Pancasila dan UUD 1945 dalam kerangka kemanusiaan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.”

 Tegalboto Jember, 17 Desember 1995

 

Pengakuan atau Legalitas adalah Kesia-siaan

PPMI yang memantapkan posisi, orientasi, dan sikap oposisi sebagai pengawas kebijakan pemerintah. Serta sebagai sebuah badan pengontrol, PPMI harus benar-benar otonom, lepas dari keterkaitan apapun dengan pemerintah.

Diakui oleh pemerintah pun juga tidak ada jaminan yang pasti, bila pemerintah akan membantu pers mahasiswa atau PPMI ketika ada masalah. Yang kelihatan jelas justru peluang pemerintah untuk melakukan intervensi kedalam tubuh PPMI sangatlah besar. Bahkan sekali lagi –PPMI rawan untuk dibubarkan.

Sebagai organisasi yang didirikan tanpa orientasi politik, PPMI yang memiliki entitas pers mahasiswa diharuskan selalu kritis dalam beroposisi. Menjaga sikap untuk selalu berjarak dengan pemerintah dan selalu menolak pembatasan-pembatasan atas kebebasan.

Jika mau belajar dan melihat kondisi kebebasan pers di Indonesia sekarang, menuntut pengakuan adalah sebuah kesia-sian. Karena meskipun diakui secara keberadaan ataupun hukum seperti halnya pers umum,  kebebasan pers atau keselamatan kerja saat dilapang pun tak ada jaminan.

Pers umum yang secara undang – undang telah dilindungi oleh hukum, juga tidak bisa lepas dari kekerasan atau tindakan intimidasi. Berdasarkan catatan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia tahun 2016, kasus kekerasan terhadap wartawan hampir terjadi diseluruh wilayah Indonesia. Kasus – kasus tersebut didominasi kekerasan fisik, sebanyak 38 kasus, dan pengusiran sebanyak 14 kasus.

Dikutip dari tirto.id, menyebutkan bahwa pelaku kekerasan terhadap jurnalis pada tahun 2017 didominasi oleh warga sipil yakni, sebanyak 21 kasus. Disusul orang tak dikenal 10 kasus, polisi 9 kasus, politisi 7 kasus, militer 7 kasus, aparat pemerintah daerah 6 kasus, pejabat pemerintah 4 kasus, ormas 3 kasus, pelajar dan mahasiswa 2 kasus, serta masing-masing 1 kasus oleh advokat, aparat pemerintah pusat, dan hakim.

Kasus – kasus tersebut dapat menjelaskan bahwa kebebasan pers di Indonesia sangatlah buruk, dan pemerintah yang memiliki kekuasaan tidak mampu menjaminnya. Bahkan pemerintah sendiri juga menjadi salah satu aktor dalam kasus kekerasan yang menimpa wartawan.

Melihat kondisi tersebut seharusnya dapat memantapkan sikap PPMI untuk selalu terus memilih posisi berjarak dengan pemerintah, titik tanpa pengakuan. Sekali lagi, pengakuan atau legalitas adalah sebuah kesia-sian.

Lebih fokus pada pengembang anggota, memperluas jaringan, dan memperkuat basis media merupakan sikap yang lebih bijak. Mengingat ujung pergerakan pers mahasiswa adalah media. Pers mahasiswa harus memahami bahwa melalui kerja-kerja jurnalistik atau media, merupakan usaha dalam menjaga dan merawat idealisme serta jalan perjuangan pers mahasiswa.

Bukan justru mendekat dan merapat ke pemerintah untuk mencari posisi aman. Kalau boleh mengklaim –itu tindakan yang salah. Karena pers mahasiswa tumbuh dan berkembang dengan perjuangan bukan dengan pengakuan.[]

Kategori
Siaran Pers

PPMI DK Surakarta: Lepaskan Teman Kami, Kinerja Polrestabes Medan Cacat Hukum

Salam Persma! Panjang Umur Perlawanan!

Kami selaku mahasiswa yang memiliki fungsi sebagai kontrol sosial ingin mengingatkan bahwa, menurut UU No. 2 tahun 2002 pasal 13 menjelaskan bahwa polri memiliki tugas sebagai memelihara Kamtibmas, Penegakan hukum yang berlaku dan Memberikan pengayoman, perlindungan, serta pelayanan bagi masyarakat. Namun melihat atas apa yang dilakukan oleh Polrestabes Medan yang melakukan tindak kekerasan secara sepihak terhadap teman kami.

Mahasiswa yang tergabung sebagai pewarta Lembaga Pers Mahasiswa Bursa Obrolan Mahasiswa (LPM BOM) di kurung secara sepihak. Data yang disebarkan ke publik menjelaskan bahwa Fikri Arif dan Fadel Muhammad Harahap ditahan meski telah menjelaskan bahwa mereka membawa surat tugas peliputan.

Data yang kami himpun tidak menunjukkan kejelasan mengenai penegakan hukum oleh aparat. Penangkapan teman kami dinilai cacat hukum dan merugikan nama baik Fikri Arif dan Fadel Muhammad secara khusus dan LPM BOM secara umum. Kedua Pewarta LPM BOM masih ditahan di Polrestabes dengan kondisi babak belur tanpa ada penjelasan mengenai bukti-bukti yang memberatkan penahanan Mereka.

 

Maka Kami Lembaga Pers Mahasiswa yang tergabung sebagai PPMI ( Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia) Dewan Kota Surakarta menyatakan sikap;

  1. Menuntut Polrestabes Medan untuk melepaskan Fikri Arif dan Fadel Muhammad hingga pengadilan membuktikan mereka bersalah.
  2. Menuntut Pihak Kepolisisan Polrestabes Medan untuk merilis laporan penangkapan dan alasan penahanan ketiga aktivis.
  3. Meminta maaf kepada ketiga aktivis dan memulihkan nama baik mereka
  4. Memberikan tindak tegas kepada oknum polrestabes yang melakukan tindak kekerasan kepada aktivis

 

Berikut Data yang kami himpun dari Teman-teman LPM BOM :

Pada aksi hari pertama tepatnya 1 mei, mahasiswa memboikot jalan simpang pos dibawah huru-hara) serta 1 unit water cannon, jumlah yang tidak sebanding dengan massa aksi. Namun potensi terjadinya kericuhan dapat diredam oleh massa aksi yang bergerak kesalah satu pinggir simpang pos dibawah fly over jamin ginting dengan tetap melanjutkan aksi orasi yang dikemas melalui panggung musikalisasi.

Aksi tetap berlanjut dengan kembali memboikot jalan disimpang pos, pihak kepolisian pun kembali mengawal aksi. Sempat terlihat disela-sela aksi beberapa polisi mendekatkan diri bukan kebarisan massa aksi melainkan menuju sekumpulan tukang becak yang berada disalah satu sisi simpang lainnya. Dari pengakuan kontra intelejen massa aksi, bahwa piha kepolisian telah berkomunikasi kepada para tukang becak untuk membubarkan aksi mahasiswa. Dengan dalih belum mendapatkan penumpang sejak pagi hari, beberapa becak motor pun menghampiri massa aksi dan membubarkan aksi tersebut. Sempat terjadi gesekan antara tukang becak motor dengan massa aksi, gesekan kembali dapat diredam oleh massa aksi dengan kembali menepi agar tetap dapat melakukan orasi melalui panggung musikalisasi hingga maghrib.Hari memasuki malam, sebagian massa tetap menginap dilokasi aksi setelah mendapatkan izin dari pihak kepolisisan (polsek deli tua).

Keesokan harinya ditanggal 2 mei aksi berlanjut kembali dengan tetap melakukan panggung aspirasi musikalisasi di tepi simpang pos. Sejak pagi sudah terlihat diseberang jalan massa aksi berdiri sekumpulan masyarakat yang menggunakan seragam PAM-SWAKARSA bewarna hitam. Setelah diselidiki oleh salah satu massa aksi ternyata mereka adalah tukang becak kemarin yang mencoba membubarkan aksi. Massa tidak terpengaruh dengan kehadiran mereka dan tetap melakukan aksi panggung hingga sore hari.

Pukul 15.00 wib massa aksi juga mengkemas aksi dengan melakukan body paint dengan tulisan “REVOLUSI PENDIDIKAN” dan berdiri sejajar dipinggir jalan sebagai protes terhadap kondisi pendidikan hari ini. Pukul 15.00 – 16.15 wib aksi yang berlangsung disimpang pos berjalan dengan damai. Namun, beberapa masyarakat mecoba kembali memprovokasi sehingga aparat kepolisian mulai berdatangan kembali ke lokasi aksi. Sekitar pukul 16.20 wib massa aksi bergerak dengan melakukan long march menuju simpang kampus USU, sesuai rencana aksi bahwa aksi akan dibubarkan di simpang kampus USU. Pukul 17.20 wib pihak kepolisian datang membawa 1 unit mobil water cannon dan 3 truck pasukan sabhara bersama pasukan yang mengendarai trail setelah melihat massa aksi membakar beberapa ban bekas di simpang kampus USU.

Aksi tetap berlangsung dengan damai meski beberapa orang yang mengaku masyarakat setempat mencoba memprovokasi massa aksi. Pukul 17.30 wib ada pemuda setempat masuk ke barisan massa dan kembali mencoba memprovokasi massa aksi. Namun, aksi tetap berlangsung secara damai. Pukul 18.00 wib beberapa intel pihak kepolisian sudah menyebar disimpang kampus USU dan mencoba memprovokasi masyarakat yang ada disimpang kampus USU agar membubarkan aksi, dengan issue aksi yang membuat kemacetan, dll.

Massa aksi pun bergeser bergerak menuju depan pintu I USU dengan memblokir satu arah jalan Dr. Mansyur. Pukul 18.20 wib melihat kondisi yang telah tidak kondusif, maka massa aksi memilih untuk menutup aksi dengan membacakan statement tepat di pintu I USU. Pukul 18.30 wib massa aksi membubarkan diri dengan masuk kedalam kampus USU, rencananya akan melakukan evaluasi aksi di dalam kampus. Pukul 18.35 wib massa  yang masih berjalan menuju kampus terpancing dengan adanya tindakan provokatif dari orang yang mengaku masyarakat setempat. Sehingga terjadi keributan adu mulut antara mahasiswa dan masayarakat setempat tersebut. Dengan adanya keributan, beberapa masyarakat lansung menyerang mahasiswa. Dan secara spontan untuk menyelamatkan diri dari serangan tersebut, mahasiswa menyerang orang yang mengaku masyarakat.

Sekitar pukul 18.40 wib pihak kepolisian yang sudah bersiaga, menyerang mahasiswa masuk kedalam kampus dengan menerobos pagar pintu I USU. Pihak kepolisian melakukan pemukulan terhadap beberapa mahasiswa yang berada dilapangan saat ditangkap, namun mahasiswa yang dipukul berhasil melarikan diri dari serangan tersebut. Sekitar pukul 18.45 wib mahasiswa membuat perlawanan terhadap serangan tersebut, hinnga akhirnya seorang lelaki yang mengaku intel kepolisian diserang oleh mahasiswa. Sekita pukul 19.00 – 19.30 wib pihak kepolisian berhasil mengamankan 6 orang mahasiswa. 3 mahasiswa berasal dari USU, 2 mahasiswa berasal dari ITM, 1 mahasiswa berasal dari universitas dharma agung. 2 mahasiswa (rizky & aziz) USU diamankan saat merekahendak mengambil sepeda motor yang diparkir di pintu I USU. 1 mahasiswa (mensen) diamankan didepan fakultas ilmu budaya USU. 1 mahasiswa dharma agung diamnakan di pintu I USU saat mahasiswa tersebut sedang melakukan peliputan berita aksi tersebut. 2 orang mahasiswa ITM ditangkap didepan pintu I USU  saat melakukan tugas meliput aksi demonstrasi tersebut. Mensen yang diamankan dari dalam kampus mendapatkan pemukulan dari pihak kepolisian.

Pada tanggal 3 mei 2017, sejak pukul 11.00 – 15.00 wib, tim pengacara yang mengatas namakan Tim KORAK (Koalisi Rakyat Anti Kriminalisasi) terdiri dari BAKUMSU, KONTRAS, & LBH MEDAN mencoba melakukan audiensi dengan kasat intel polresta dalam rangka mempertanyakan mahasiswa yang sedang ditahan oleh polresta Medan, namun tidak terlaksana karena pihak polisi mengatakan kasat intel tidak ada dikantor.

Pihak polresta tidak mengijinkan Tim KORAK untuk berjumpa dengan mahasiswa yang ditahan, dengan alasan belum 1 x 24 jam. Pukul 13.40 mahasiswa atas nama solidaritas mahasiswa medan (SOLMED) melakukan aksi demonstrasi didepan kantor polrestabes medan dengan tuntutan meminta agar mahasiswa yang ditangkap segera dibebaskan. Aksi berlangsung dengan tertib walau pihak kepolisian mencoba memprovokasi massa dengan melakukan pengamanan berlebihan yang mendatangkan pasukan sabhara kembali. Pukul 15.00 wib aksi SOLMED bubar di taman budaya sumatra utara. Malam harinya, 3 mahasiswa yang ditangkapoleh polrestabes medan dikeluarkan karena tidak terbukti terlibat aksi tersebut. Mereka adalah abdul aziz panjaitan, rizki halim, & juprianto.

Tanggal 4 mei 2017, 3 orang mahasiswa yang masih ditahan telah ditetapkan sebagai tersangka oleh polrestabes medan, mereka adalah fikri arif, fadel m.harahap, & sier mensen. 1 orang warga sipil bernama erlangga kurniawan. Sekitar pukul 18.30 wib seorang mahasiswa bernama Syahyan P.Damanik dari Lembaga Pers Mahasiswa ITM ditangkap oleh aparat keamanan disekitar kampus ITM. Pukul 20.00 WIB syahyan dibawa kesebuah warung yang tidak diketahuinya. Saat itu, syahyan di introgasi dan dianiaya oleh polisi. Pukul 23.00 syahyan dibawa ke sekretariat Forum Mahasiswa Anti penindasan (FORMADAS). Pukul 23.30 syahyan dibawa ke polreta medan.

Pasca penangkapan syahyan, tidak berapa lama sekretariat Formadas pun digrebek oleh beberapa oknum yang tidak memakai seragam dan menangkap 1 orang mahasiswa yang berada disekret yang bernama Cici Arya.

Kronologis penggerebekan sekretariat Formadas 04 mei 2017, sekitar pukul 23.00 wib lewat kurang lebih 8 orang memakai baju preman mendatangi sekretariat Formadas dengan menggunakan mobil & sepeda motor. Mereka memasuki sekretariat dan berkomunikasi dengan salah satu penghuni sekret (Cici) sambil menunjukkan surat penagkapan untuk saudara Juned.
Karena Juned tidak berada disekretariat, mereka menyuruh Pak Ronal (Opa) yang berada disekretariat untuk masuk kekamar untuk membuka tas yang dicurigai milik juned. Namun, karena tas itu bukan milik juned maka mereka kembali melihat kamar lain dan tidak menemukan apa-apa. Saat itu mereka ingin membawa sepeda motor yang diduga milik juned, tetapi akhirnya mereka tidak jadi membawanya. Setelah memeriksa kamar yang ada disekretariat, salah seorang dari aparat memerintahkan agar membawa cici arya untuk dijadikan saksi. Opa juga ditanya dari lembaga mana, dan dia menjawab kalau dia hanya menginap disekretariat. Sebelum aparat meninggalkan sekretariat, mereka berpesan agar si juned menyerahkan diri. Alasan pihak kepolisian terhadap penangkapan juned dikarenakan juned memimpin massa aksi pada waktu itu untuk menyanyikan lagu “Aparat Keparat”.

Tanggal 05 mei 2017, sekitar pukul 02.00 wib syahyan diperiksa dan diminta keterangan (Berita Acara Penangkapan) oleh unit ranmor polrestabes medan. Sekitar pukul 10.00 wib cici arya (mahasiswa ITM) diperiksa BAP. Pukul 20.00 syahyan dan cici keluar dari polresta medan. Setelah terbukti tidak bersalah Pimpinan lembaga pers mahasiswa ITM (syahyan) kembali menemui pihak WR III untuk kedua kalinya sejak tanggal 03 Mei 17 untuk kembali mempertanyakan kejelasan dari pada tanggung jawab kampus terhadap 2 orang mahasiswa yang ditangkap. Lalu Mahyuzar Masri (WR III) mengatakan bahwa pihaknya tidak dapat bertemu dengan pihak polrestabes medan, disebabkan pihak polrestabes medan meminta rektor yang harus datang langsung ke mapolresta medan. Sehingga WR III menyarankan untuk menunggu pihak rektor pulang dari luar dan kembali kekampus.
Tidak cukup sekali, pihak kepolisian kembali menggrebek sekretariat Formadas.

Kronologis penggrebekan sekretariat Formadas 05 mei 2017, sekitar pukul 16.00 wib personil kepolisian datang dengan menggunakan 2 unit mobil dan beberapa unit sepeda motor tanpa menggunakan seragam. Kepolisian langsung masuk kedalam seretariat dan menyuruh opa yang berada disekretariat untuk membuka beberapa lemari yang ada dikamar. Menurut opa, pihak kepolisian sempat mengambil gambar terhadap beberapa kertas yang ada dimeja sekretariat. Kepolisian membawa sebuah poster dari sekretariat formadas. Dalam penggerebekan tersebut, dilakukan penggledahan terhadap beberapa berkas yang ada didalam sebuah tas.

Senin tanggal 08 mei 2017, pimpinan umum LPM BOM ITM beserta pimpinan redaksi masuk kedalam ruang rektor pada pukul 13.30 wib dan melihat BADMA (Safrawali) sedang berbincang dengan rektor di ruangannya sehingga harus menunggu rektor selesai berbincang. Setelah beberapa menit menunggu akhirnya Safrawali keluar dari ruang rektor dan menyampaikan bahwa Safrawali harus berkomunikasi dengan pihak polrestabes untuk dapat diterima ketika mendatangi mapolrestabes medan. Pada sore harinya, mahasiswa ITM yang tergabung dalam aliansi SOLIDARITAS MAHASISWA ITM melakukan aksi didepan didepan biro umum untuk mendesak rektor segera membebaskan kedua mahasiswa ITM yang ditangkap pihak kepolisian. Namun rektor sudah pergi, dan massa aksi disambut oleh WR I (Hermansyah Alam) dan mengatakan bahwa besok pada tanggal 09 mei 2017 rektor berjanji pergi ke mapolrestabes medan untuk membebaskan kedua mahasiswa ITM yang ditahan.

Selasa tanggal 09 Mei 2017 dini hari, penggrebekan beralih ke sekretariat Gema Prodem. Berdasarkan keterangan dari salah satu kader Gema Prodem (Dedy Christian Sinurat) menceritakan Kronologis penggrebekan sekretariat Gema Prodem. Pukul 03.15 wib, “aku dan kawan jhosua tiba disekretariat. Lalu, 3 sepeda motor dengan jumlah 6 orang berpakaian biasa menyuruh kami masuk kesekretariat dan membangunkan 6 orang kawan kami. Kami bertanya, ini ada apa ? mereka tidak menjawab, kemudian aku digeledah dan semua yang ada dikantong celanaku dan seisi tas ku disuruh dikeluarkan, kami disuruh jangan ribut nanti warga terganggu, kemudian datang kepala lingkungan (Kepling) dan pemuda setempat ke sekretariat. Mereka mencari yang namanya Fajar, dengan alasan yang tidak mau dijawab. Mereka mengaku dari polsek medan baru, kemudian salah satu mahasiswa (Ganda) yang tadinya dibangunkan dari dalam sekretariat menanyakan soal surat penangkapan, lalu mereka menjawab “nanti kami tunjukkan”. Lalu Ganda mengatakan “gak bisa gitulah bang”, dan ganda pun ditampar oleh salah satu dari mereka. Selanjutnya mereka, membuka handphone dan foto yang sudah ada untuk dicocokkan kepada kami. Kami tidak tahu maksud mereka itu untuk apa.

Lalu salah seorang dari mereka mengatakan “pura-pura gak taunya kalian, selama ini kalian dibiarkan makin meraja lela”. 6 orang kawan kami diinterogasi, sedangkan aku dan daud disuruh mendampingi mereka untuk menggeldah seisi sekretariat kami. 1 buku, beberapa lembar materi diskusi, jadwal diskusi beserta nama-nama kami, 1 kaos sablon untuk ketahanan ekonomi kelompok, dan juga pakaian yang dikenakan saat aksi hardiknas 02 Mei 17 di USU, semua dibawa mereka. Seisi sekretariat kami divideo setiap sudutnya, lemari baju juga diacak acak, vespa yang ada didepan sekretariat dijatuhkan mereka. Akhirnya, 6 orang kawan kami diborgol dan dibawa ke polrestabes medan. Sebelum dibawa ke mobil, mereka melihat situasi agar tidak dilihat warga. Terakhir aku melihat intel itu menyalamkan sesuatu kepada kepling dan mengucapkan terima kasih atas kerja samanya. Kawan-kawan kami pun dibawa, lalu pemuda setempat dan kepling mengatakan bahwa selama sekretariat kosong, pihak intel kepolisian bersembunyi dibelakang sekretariat kami. Lalu ada 1 intel ketinggalan helmnya, dan terakhir mengatakan kepada kepling dan pemuda setempat, “jalankan sesuai rencana”. Apa maksud dari semua ini ? pihak kepolisian harus bertanggung jawab akan hal ini”.

Pada pukul 13.30 wib Rektor ITM beserta beberapa jajarannya pergi ke mapolresta medan. Namun, setelah rektor kembali pada sore hari menuju kekampus pada pukul 15.30 wib tanpa membawa kedua mahasiswa ITM yang bernama Fikri Arief & Fadel M.Harahap. rektor mengatakan bahwa pihaknya tidak dapat bertemu dengan Kanit Intel sehingga tidak bisa bertemu dengan mahasiswanya yang ditangkap, apalagi untuk membebaskan.  Sore harinya mahasiswa ITM yang tergabung dalam aliansi masih tetap melakukan aksi dengan menyandera mobil berplat merah (kendaraan pemerintah).

Aksi mahasiswa di Hardiknas meninggalkan teror kepada para mahasiswa melalui penangkapan maupun penggrebekan sekretariat organisasi yang dilakukan satuan kepolisian. Hingga saat ini intel pihak kepolisian masih tetap berada diareal sekretariat dari organisasi yang menjadi korban penggerebekan maupun areal kampus seperti di ITM & USU. Ini jelas tidak sesuai dengan amanat UUD 1945 Pasal 28 yang berbunyi, “kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan maupun tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang. Dan setelah reformasi, melalui perubahan kedua UUD 1945 pada tahun 2000, dalam pasal 28E ayat (3) UUD 1945 yang menyatakan, “setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat”. Dengan demikian UUD 1945 secara langsung dan tegas memberikan jaminan kebebasan untuk berserikat atau berorganisasi (freedom of association), kebebasan berkumpul (freedom of assembly), dan kebebasan mengatakan pendapat (freedom of expression). Undang-undang ini diperuntukkan bukan hanya bagi warga Indonesia saja, tetapi juga bagi setiap orang yang artinya termasuk juga orang asing yang berada di Indonesia.

Polrestabes medan juga sudah mengabaikan hak para tahanan dengan tidak mengizinkan keluarga dan advokat untuk bertemu dengan para tahanan sejak penangkapan (Selasa, sekitar pukul 19.00 wib). Oleh karena itu, tindakan aparat kepolisian yang merepresif, menyerang masuk kedalam kampus, lengkap dengan kekuatan bersenjatanya bukan hanya mencerminkan tindakan yang sewenang-wenang & berlebihan, melainkan juga bentuk pengekangan dan pelanggran keras terhadap kebebasan berkumpul dan bersuara serta intimidasi terhadap kehidupan kampus sangat jelas sudah bertolak belakang dengan nilai-nilai demokrasi. Penggrebekan sekretariat organisasi serta penangkapan para aktivis mahasiswa yang tidak berlandaskan dengan pasal apapun, ditambah lagi dengan tidak adanya surat penangkapan resmi yang sangat cacat adsminitrasi merupakan suatu bentuk kebobrokan instansi kepolisian dalam menjalankan amanat UUD 1945 sebagai pemegang otoritas hukum tertinggi. Selain itu, tindakan kepolisian yang tidak mengizinkan pihak keluarga dan advokat untuk menemui tahanan patut ditinjau kembali. Akibat sikap arogansi ini hak-hak mahasiswa yang sedang ditahan, terutama hak untuk didampingi penasehat hukum telah diabaikan oleh pihak kepolisian. Dan kepolisian sudah tidak koorperatif lagi dalam menjalankan tugasnya.

 

Narahubung:

Rizki Hidayat (Sekjend PPMI DK Surakarta: 085867489655)

Kategori
Siaran Pers

PPMI: Polrestabes Medan Harus Meminta Maaf dan Segera Bebaskan Reporter LPM BOM ITM

Salam Persma, Hidup Mahasiswa, Lawan Penindasan!

2 Mei 2017 merupakan hari nahas bagi Fikri Arif dan Fadel Muhammad Harahap. Keduanya merupakan reporter Lembaga Pers Mahasiswa Bursa Obrolan Mahasiswa (LPM BOM), Institut Teknologi Medan (ITM). Ketika sedang bertugas meliput aksi Hardiknas yang digalang oleh aliansi Konsolidasi Gerakan Mahasiswa Sumatra Utara, mereka berdua ditangkap aparat Kepolisian Resor Kota Besar (Polrestabes) Medan.

Tak hanya penangkapan, melalui rilisan kronologi yang dilansir Persma.org, Syahyan P. Damanik, Pemimpin Umum (PU) LPM BOM, menyatakan bahwa dua anggotanya mengalami kekerasan fisik. Syahyan menjelaskan bahwa Fikri mengalami lebam di wajah dan penglihatan mata kirinya menjadi kabur sedangkan Fadel mengalami luka di kepala.

Sementara, pihak kepolisian menuduh anggota LPM BOM telah melakukan pemukulan terhadap personil intelijen aparat sebagai alasan penangkapan dan penahanan mereka berdua selama sepekan lebih ini. Hingga pernyataan sikap ini dirilis, Fikri dan Fadel pun masih ditahan pihak kepolisian.

Melihat narasi kasus tersebut, Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia (PPMI) tidak membenarkan tindak kesewenangan yang dilakukan aparat Polrestabes Medan. Aparat kepolisian seharusnya bertindak  kooperatif kepada para pelaku jurnalistik di medan peliputan. Apalagi, mengingat aktivitas peliputan ini begitu penting untuk memproduksi konten informasi kepada khalayak pembaca media pers mahasiswa (persma). Dengan melakukan penangkapan dan penahanan, Polrestabes Medan telah menghalangi aktivitas jurnalistik yang dilakukan reporter LPM BOM.

Penangkapan dan penahanan tersebut juga merupakan wujud tindakan meremehkan pentingnya kinerja jurnalistik persma. Sehingga, represivitas kepolisian bisa mengganggu produktivitas kinerja persma. Hal semacam ini kemungkinan besar bisa dialami pula oleh persma-persma lainnya.

Menurut kami, kegiatan jurnalistik yang dilakukan persma bukanlah kegiatan remeh walaupun bukan sebagai profesi. Kegiatan jurnalistik persma juga sama pentingnya dalam hal menyampaikan transparansi informasi dan pengunggahan aspirasi kepada publik. Kegiatan ini juga memiliki risiko yang sama besarnya dengan jurnalistik profesional. Walaupun sampai hari ini belum ada jaminan hukum pers yang pasti untuk aktivitas jurnalistik persma, namun menghormati aktivitas kami —–sama halnya dengan yang dilakukan Fikri dan Fadel —–merupakan keharusan yang dipatuhi oleh aparat penegak hukum.

Mengingat, aktivitas ini merupakan upaya pemenuhan hak-hak asasi warga negara sekaligus upaya kontrol terhadap dinamika sosial-politik melalui pers. Juga, bila dituju pada landasan hukum yang lebih mendasar, upaya jurnalistik persma merupakan pelaksanaan amanah Pasal 28 UUD 1945 tentang kemerdekaan berserikat dan berkumpul, dan berpendapat melalui lisan maupun tulisan bagi warga negara. Maka, apabila aparat negara dengan sengaja menghambat upaya-upaya kejurnalistikan persma, itu artinya sama saja dengan menghambat pemenuhan hak-hak asasi warga negara.

Yang pasti, kami mendesak kepada aparat penegak hukum untuk bisa menghormati upaya-upaya yang dilakukan oleh para jurnalis persma seperti Fikri dan Fadel dan juga mau berlaku kooperatif bagi kalangan yang sedang memperjuangkan hak-hak asasi dan kebebasan berekspresinya sebagai warga negara. Dan, tragedi yang menimpa Fikri dan Fadel merupakan perpanjangan narasi hitam aparat kepolisian yang begitu jauh dari kesan kooperatif dalam tugas mengawal hak-hak asasi warga negara. Sekali lagi, kami tidak akan membiarkan kejadian di Medan tersebut berlalu begitu saja.

 

Melihat betapa mirisnya kasus ini dan pentingnya penghormatan atas kinerja-kinerja kejurnalistikan persma, PPMI menyerukan hal-hal berikut:

  1. Polrestabes Medan harus meminta maaf kepada Fikri Arif, Fadel Muhammad Harahap, LPM BOM ITM, dan para pegiat jurnalistik karena telah melakukan upaya-upaya penghambatan kinerja jurnalistik melalui tindakan penangkapan dan penahanan dua orang reporter LPM BOM ITM.
  2. Polrestabes Medan harus segera membebaskan Fikri Arif dan Fadel Muhammad Harahap supaya bisa melakukan tugas-tugas jurnalistiknya dan terpenuhi hak-hak asasinya sebagai warga negara.
  3. Polrestabes Medan semestinya mematuhi amanah konstitusi yang termaktub pada Pasal 28 UUD 1945 terkait kemerdekaan berserikat dan berkumpul, juga berpendepat secara lisan maupun tulisan bagi warga negara. Apalagi mengingat peran kepolisian sebagai institusi penegak hukum, sudah seharusnya Polrestabes Medan tidak menistakan amanah konstitusi tersebut.
  4. Polrestabes Medan tidak boleh melakukan tindak kekerasan fisik dan psikis selama Fikri Arif dan Fadel Muhammad Harahap dalam proses penahanan.
  5. Polrestabes Medan harus menjamin keadilan Fikri Arif dan Fadel Muhammad Harahap sebagai pihak tertuduh; serta tidak melakukan intimidasi-intimidasi dan menjadikannya sebagai sasaran kesalahan.
  6. Polri dan Kemenristekdikti harus peduli terhadap tragedi yang menimpa Fikri Arif dan Fadel Muhammad Harahap dengan cara menegur Polrestabes Medan supaya kasus-kasus represivitas yang dilakukan institusi kepolisian terhadap hak-hak asasi warga negara seperti mahasiswa bisa dicegah.
  7. Menghimbau para pegiat jurnalistik; terkhusus persma, dan kalangan pendukung hak-hak berekspresi untuk bersama-sama mendesak Polri, Kemenristekdikti, dan Polrestabes Medan supaya keadilan hukum dan pemenuhan hak-hak asasi Fikri Arif dan Fadel Muhammad Harahap bisa terwujud.

 

Demikian pernyataan sikap dan tuntutan-tuntutan PPMI terkait tragedi yang menimpa Fikri Arif dan Fadel Muhammad Harahap; dua reporter LPM BOM ITM. Selanjutnya, kami meminta Polrestabes Medan untuk bisa mempelajari lagi amanah Pasal 28 UUD 1945, serta UU No. 8/1981 Tentang KUHAP dan Perkapolri No. 8/2009 Tentang Polri dan Standar HAM supaya hak-hak asasi Fikri Arif dan Fadel Muhammad Harahap selaku pihak tertuduh tidak dinista oleh institusi kepolisian.

Jika ada itikad dan kelakuan baik Polrestabes Medan untuk menuruti tuntutan-tuntutan kami, kami ucapkan terima kasih secukupnya.

Salam Juang, Sambungkan Perlawanan!

 

Narahubung:

Imam Abu Hanifah (BP Advokasi PPMI: 085696931450)

Irwan Sakkir (Sekjend PPMI: 081248771779)