Kategori
Diskusi

NARASI LGBT DALAM DUNIA PENDIDIKAN

Dunia pendidikan Indonesia masih jauh kiranya dari kata sempurna, terutama dalam pendidikan tinggi. Sebagai jenjang paling tinggi, tentulah sivitas akademikanya memiliki tanggungjawab yang lebih besar daripada siswa dan guru. Bersamaan dengan datangnya tanggungjawab tersebut, dimunculkan keperluan akan penalaran dan kekritisan yang memadai. Sayangnya, wajah pendidikan tinggi di Indonesia ini tidak ubahnya semacam negara diktator yang justru mematikan ruang dialog dan menciderai kekritisan berpikir. Jadi, jangan heran jika pergerakan mahasiswa Indonesia hanya tinggal kenangan saja. Jangan heran pula mendapati ketiadaan sosok Malala, Emma, Greta, atau Egg Boy di Indonesia seperti yang pernah ditanyakan oleh Dewi Setya dalam artikel berjudul Dari Malala, Emma, Greta, Hingga ‘Egg Boy’: Kenapa Remaja Kita Tak Se-Kritis Mereka yang dimuat di voxpop.id.

           Indonesia punya sosok-sosok seperti Malala, Emma, dan lain sebagainya itu melalui Citra dengan penanya yang berbicara mengenai Agni. Apa yang terjadi pada dirinya? Dipanggil ke kepolisian, sementara pelaku dan Agninya sendiri justru dikesampingkan hingga berakhir ‘damai’. Indonesia juga punya Yael S. Sinaga seorang cerpenis dan penggiat pers mahasiswa yang menuangkan buah pikirannya mengenai tindak represi terhadap LGBT dalam cerpen dan dimuat di website suarausu.co. Apa yang terjadi padanya dan segenap pengurus Suara USU? Website Suara USU sempat down, mereka dipanggil untuk menjumpai staf Majelis Wali Amanat untuk menghapus cerpen tersebut, 17 pengurus Suara USU dipanggil rektorat dan hasilnya adalah pemecatan seluruh pengurus Suara USU dan mereka diharuskan mengosongkan sekretariat dalam waktu 2 hari.

            Semua karena sebuah cerpen berjudul Ketika Semua Menolak Kehadiran Diriku di Dekatnya, “yang terindikasi pornografi,” kata Humas USU. Berdasarkan release AJI Medan, cerpen ini juga dianggap terlalu vulgar karena mengandung kata ‘sperma’ dan dianggap mempromosikan LGBT. Sementara, Yael sang penulis cerpen sendiri mengatakan cerpen yang ia buat hanya untuk menggambarkan diskriminasi yang diterima oleh kelompok minoritas.

Sperma bukan Pornografi

            Satu hal yang sangat aneh ketika cerpen ini dituduh sebagai pornografi ketika ia mengandung kata sperma. Aneh, karena sperma itu adalah nama biologis sel-sel yang dapat membuahi sel telur perempuan yang dikeluarkan oleh organ reproduksi laki-laki. Jika kata ini dianggap berkonotasi pornografi apa kabar pelajaran biologi terutama dalam bab mengenai reproduksi? Persoalannya bukan terletak pada kata spermanya, persoalannya terletak pada budaya high context culture yang dimiliki oleh masyarakat Indonesia yang pikirannya juga tidak jauh-jauh dari selangkangan mereka sendiri. Bukan rahasia umum memang bahwa masyarakat Indonesia punya fobia/fetish pada alat reproduksi mereka sendiri, tidak berani mengucapkannya terang-terangan tapi selalu memikirkannya.

            Ini terlihat dalam percakapan sehari-hari yang selalu mengganti kata vagina dan penis dengan kata-kata lain yang sebenarnya tidak ada hubungannya dengan vagina maupun penis. Sebagai contoh penggunaan kata burung, sosis atau pisang untuk menggantikan kata penis dan penggunaan kata memek, miss V dan entah apa lagi untuk menggantikan kata vagina. Ini sudah dilakukan secara turun temurun bahkan tidak jarag diajarkan kepada anak-anak. Akibatnya, ketika ada yang menyebut ‘burungnya besar’ misalnya, pikiran manusia langsung terhubung dengan alat reproduksinya dan muncullah siulan bernada mesum. Ini juga berlaku untuk hubungan sex yang diganti dengan kata begituan, tidur atau hubungan suami istri.

            Akhirnya kata-kata biologis yang memang ilmiah seperti sperma, vagina, penis, sex kemudian berkonotasi pornografi ketika dituliskan atau dibicarakan, karena masyarakat kita selalu merujuknya dengan kata ganti seakan-akan kata-kata ini tabu untuk disebutkan diluar ruang kelas. Bodohnya, akademisi pun sepertinya tidak terlepas dari anggapan bahwa kata-kata ini tabu meskipun mereka sudah tahu dan sudah mempelajari apa arti dari kata-kata ini secara ilmiah. Aneh memang, ketika akademi yang bertugas untuk mencerdaskan kehidupan bangsa justru terhanyut pada anggapan masyarakat yang menabukan serta menganggap urusan reproduksi bahkan menggunakan kata-kata yang berkaitan dengan reproduksi sebagai hal yang vulgar dan tidak layak diperbincangkan diranah publik. Akibatnya, urusan seperti ini tidak dipedulikan hingga terjadi hal-hal yang tidak terelakkan lagi misalnya perkosaan dan kehamilan diluar nikah akibat represi keterlaluan pada hal-hal yang dianggap vulgar dan tabu.

            Kata sperma dalam cerpen ini pun tidak berdiri sendiri, jika dilihat paragraf utuhnya, maka akan sangat jauh dari unsur pornografi. Sepotong paragraf ini justru menggambarkan adegan persekusi yang sangat menyakitkan hati dan tidak pantas diterima oleh manusia manapun.

            “Kau dengar? Tidak akan ada laki-laki yang memasukkan barangnya ke tempatmu itu. Kau sungguh menjijikkan. Rahimmu akan tertutup. Percayalah sperma laki-laki manapun tidak tahan singgah terhadapmu.”

Sepenggal paragraf diatas sama sekali tidak akan mampu membangkitkan berahi manusia. Padahal, pornografi sendiri bertujuan untuk membangkitkan berahi manusia. Kecuali anda memang memiliki fetish untuk dipermalukan. Istilah ilmiah untuk fetish jenis ini adalah catagelophilia.

Sivitas Akademika yang Homophobic

            Tokoh utama dalam cerpen ini memang perempuan yang menyukai sahabatnya yang berjenis kelamin perempuan pula. Apakah cintanya berbalas? Tidak. Apakah ia menjalani hidup yang penuh dukungan dan pemakluman dari orang-orang disekitarnya? Tidak, justru sebaliknya. Tokoh utama memiliki masa lalu yang kelam. Ia juga dikucilkan dan dianiaya secara fisik dan verbal ketika menyatakan perasaannya. Apakah situasi ini kemudian membuat anda yang membacanya tertarik menjadi LGBT. Pasti jawabannya tidak, karena tidak ingin juga mendapat perlakuan seperti yang diterima oleh si tokoh utama dari masyarakat sekitar anda.

            Situasi yang dihadapi oleh tokoh utama benar-benar menakutkan, terjepit pada amukan massa dan tak seorang pun yang menolongnya. Kurasa inilah realitas masyarakat Indonesia yang kata orang ramah dan cinta damai ini. Mereka tidak segan-segan mempersekusi manusia lain berbeda dan dianggap tidak normal, sakit. Mereka juga tidak segan-segan bertindak pada orang-orang yang mendukung orang yang dianggap berbeda bahkan sekedar menceritakan dan menggambarkannya secara fiksi pun meminjam istilah yang sering dipakai penganut agama mayoritas di Indonesia, HARAM!

            Dunia pendidikan kita tak jauh juga bedanya dengan masyarakat kita yang sedikit-sedikit mengharamkan sesuatu. Terindikasi pro LGBT langsung prngurus lembaga yang menyiarkannya dipecat. Baru terindikasi, belum terbukti. Untuk membuktikannya jelas diperlakukan serangkaian metode dan ahli. Tidak bisa saya bilang ini pro LGBT, saya bukan ahli bahasa atau ahli sastra. Tidak bisa juga anda bilang ini pro LGBT, kecuali anda ahli bahasa atau ahli sastra. Ibaratnya tidak bisa kita bilang tersangka itu bersalah dan langsung dipenjara saja. Ada prosesnya untuk menentukan seorang tersangka ini pantas mendekam di penjara. Dia akan diadili oleh para ahli dan profesional dibidang hukum dengan gelar sebagai terdakwa. Baru kemudian jika sudah diadili, statusnya berubah menjadi narapidana atau justru tidak bersalah sama sekali.

            Melihat komentar-komentar yang ada di media sosial yang pemiliknya juga rata-rata merupakan sivitas akademika rasa-rasanya sama saja, mendadak menjadi hakim yang berhak menghakimi dan membenarkan perenggutan hak berekspresi dan kebebasan mimbar akademik milik Suara USU dan segenap pengurusnya. Cerpen ini dianggap sebagai bibit-bibit LGBT yang harus dimusnahkan agar tidak berkembang ditingkat perguruan tinggi karena memang merupakan penyakit. Anggapan ini berdasarkan pada oriantasi seksual yang dimiliki oleh tokoh utama dengan diperkuat oleh kalimat, “apa yang salah? bedanya aku tidak menyukai laki-laki tapi aku menyukai perempuan walau diriku sebenarnya juga perempuan.”

            Mempertanyakan apa yang salah dengan kondisi menyukai sesama jenis dianggap sebagai awal mula bibit penyakit bernama LGBT. Ini dilontarkan oleh seorang sivitas akademika yang seharusnya memiliki pikiran kritis, yang seharusnya suka mempertanyakan banyak hal untuk menemukan kebenaran. Pantas saja didalam ruang kelas atau seminar di Indonesia jarang ada yang angkat tangan dan bertanya, karena mempertanyakan sesuatu dianggap sebagai memihak dan awal mula tumbuhnya bibit penyakit. Padahal, pertanyaan akan membuat manusia berpikir untuk mencari jawabannya, dalam proses pencarian jawaban inilah manusia berkembang. Berhenti mempertanyakan sesuatu jelas mengakibatkan manusia terjebak dalam kondisi yang ada. Stagnan.

            Ingat cerita Nabi Ibrahim yang mulai mempertanyakan siapa Tuhannya? Ia tidak menerima begitu saja bahwa berhala yang disembah orang tuanya dan orang tua dari orang tuanya serta semua yang dikenalnya sebagai Tuhan. Ia mempertanyakan siapa atau apa sebenarnya Tuhan itu, dalam pencariannya akan Tuhan lah ia berkembang secara spiritual hingga siap menerima anugerah kenabiannya. Pun begitu dengan cerpen ini yang mengajak pembacanya berpikir sekali lagi, apa yang salah dengan seorang perempuan yang menyukai perempuan lainnya? Masing-masing dari kita pun akan memulai pencarian atas jawaban pertanyaan ini dan dengan pencarian tersebut kita akan berkembang, meskipun diakhir pencarian apa yang saya temukan dan apa yang anda temukan mungkin berbeda.

Kategori
Diskusi

Pers Mahasiswa: Merawat Aktivisme Melalui Sekte Akademis Dizaman Industria(jurna)listik

Pers Mahasiswa (Persma) adalah konklusi dari bilahan histori yang akut. Pers dikandung independensi dengan cita luhur untuk mencerdaskan kehidupan bangsa melalui pengayaan informasi. Dalam UU No. 40 Tahun 1999 Tentang Pers, Pers adalah lembaga sosial dan wahana komunikasi massa yang melaksanakan kegiatan jurnalistik meliputi mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi baik dalam bentuk tulisan, suara, gambar,  suara dan gambar, serta data dan grafik maupun dalam bentuk lainnya dengan menggunakan media cetak, media elektronik dan segala jenis saluran yang tersedia.

Mahasiswa adalah bilahan dari aktivisme dan akademis. Aktivisme lantas diadopsi oleh pelbagai lapisan dan menamai dirinya dengan ‘gerakan mahasiswa’, tidak terkecuali dengan persma. Dipopramono (1989) dalam Perlawanan Pers Mahasiswa Protes Sepanjang NKK/BKK karya Didik Supriyanto  mengatakan bahwa pemerintah menganggap penggerak protes mahasiswa yang muncul akhir 1987 itu adalah aktivis pers mahasiswa.  Bahkan dalam Mendikbud Fuad Hassan pernah memberi peringatan agar persma tidak jadi wahana sikap kontra. “Jangan sampai Pers mahasiswa menjadi sumber keresahan dan keonaran,” katanya  (Kompas: 5/5/1987). Kampus turut melakukan usaha preventif yang masih memakai nalar zaman kolonial dengan mengeluarkan Drukpersreglement versi zaman now karena dianggap mencemarkan nama baik kampus. Di bilahan lain, bagi persma yang cenderung berorientasi dan berotasi di ranah akademis, ia kerap dicap sebagai humas kampus.

Dasarnya, tidak sama sekali kontras ketika ketiga embrio (independensi, aktivisme dan akademis) ini dikawinkan. Di sisi lain, justru dosa besar yang terus diwarisi dibumbui konflik horizontal. Ketidakpahaman dan keterkotak-kotakan ini memanifestasikan sebuah tanya dengan diktum, kemana arah gerak persma? Satu pertanyaan lain yang sangat tiras adalah anekdot, apakah persma harus netral?

Netral Bukan Tujuan Jurnalisme

Bill Kovach dan Tom Rosenstiel dalam Sembilan Elemen Jurnalisme menjelaskan wartawan tidak dituntut untuk netral. Para praktisi jurnalis harus menjaga independensi dari objek liputannya. Di elemen yang lain Kovach dan Rosenstiel juga  juga memaparkan it must serve as an independent monitor of power. Senada dengan Kovach dan Rosenstiel, Andreas Harsono menambahkan independen tidak berarti ia netral. Wartawan boleh tidak netral, karena tujuan jurnalisme adalah mencari kebenaran.

“Saya boleh meliput manajemen kampus, saya boleh berteman dengan rektor, tapi saya tetap harus independen dari rektor, atau saya harus independen dari bupati, senat mahasiswa dan seterusnya,” kata Andreas saat diwawancari pada Musyawarah Kerja Nasional Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia 23 November 2018 di telaga Ngebel Ponorogo.

Surat Keputusan Dewan Pers Nomor 03/SK-DP/III/2006 Tentang Kode Etik Jurnalistik juga tidak mewajibkan praktisi pers untuk netral atau bersikap, tetapi wartawan diwajibkan untuk independen.  Pada pasal 1, wartawan Indonesia bersikap independen, menghasilkan berita yang akurat, berimbang dan tidak beritikad buruk. Independen berarti memberitakan peristiwa atau fakta sesuai dengan hati nurani tanpa campur tangan, paksaan dan intervensi dari pihak lain termasuk pemilik perusahaan pers.

Dua sisi

Combine Resource Institution pada 4 Februari 2017 menghelat diskusi bertajuk “Media Komunitas Melawan Hoax” dan menghadirkan Ahmad Djauhar untuk berbicara mewakili Dewan Pers. Dikutip dari combine.or.id Ahmad Djauhar sempat menjawab kekhawatiran pegiat media non perusahaan. Menurutnya, jika media komunitas (semacam pers kampus) menerapkan dan mematuhi kaidah jurnalistik, maka para pegiat tidak perlu merasa khawatir. “Kalau anda tidak melakukan kesalahan, tidak usah takut,” ujarnya.

Dalam slide Merunut Media Hoax dan Upaya Melawannya yang ditulis oleh Yosep Adi Prasetyo selaku ketua Dewan Pers pada 12 Januari 2017 menempatkan persma dan media komunitas  dalam kuadran II dibawah media arus utama yang berada dalam kuadran pertama. Menurut slide ini, meski tidak tervervikasi media yang masuk dalam kuadran II masih berada dalam ‘zona aman’ ketimbang dua kuadran di bawahnya.

Di sisi lain, Persma kerap dianggap media amatir. Dalam definisi dewan pers berdasarkan UU Pers, pers harus berbentuk Perusahaan Pers dan sudah semestinya berbadan hukum. Dilansir dari dewanpers.or.id ada dua pilihan untuk pers kampus. Pertama, pers semacam pers kampus tidak digolongkan sebagai pers. Sehingga, tidak perlu tunduk terhadap kode etik dan Undang-Undang Pers. Akibatnya, pers kampus tidak berhak atas perlindungan yang diatur kode etik, Undang-Undang Pers, dan berbagai jaminan kemerdekaan pers. Kedua melonggarkan kegiatan pers. Pers tidak hanya dilaksanakan oleh atau melalui perusahaan pers. Kalau konsep semacam ini dapat diterima, harus ada perubahan UU No. 40 Tahun 1999.

Bersatu Untuk Keberpihakan

Dikotomi antara sekte aktivis dan akademis membuat persma memperlebar ruang konflik horizontal. Akibatnya, jangankan untuk memperjuangkan isu, persma kerap disibukkan oleh permasalah-permasalahan internal yang diwarisi tak berkesesudahan. Persma sekte aktivis seringkali terlena dengan keaktivisannya dan bahkan meninggalkan kampus. Pun sebaliknya, bagi persma yang akademistis turun ke jalan bukan bagian dari jurnalisme.

Pun ketika kita sudah berhasil mengawinkan pers (independensi) dengan dua bilahan aktivisme dan akademis dengan tidak memisahkan satu diantaranya adalah salah satu bentuk berhimpun. Perhimpunan ini akan melahirkan apa yang kita sebut idealisme. Tak ayal, muncul diktum “pers mahasiswa adalah idealisme”.

Karena idealisme tidak lahir dari pengakuan, tetapi lahir dari kebutuhan maka persma tidak perlu berbadan hukum. Tapi cukup berbadan pekerja (BP), artinya perkawinan yang lebih besar yaitu pers mahasiswa berhimpun dalam satu perhimpunan yakni PPMI. Dengan perhimpunan idealisme yang beragam tersebut, kepercayaan masyarakat kepada persma semakin meningkat. Diakui atau tidaknya persma oleh aturan hukum yang industria(jurna)listik itu menjadi pilihan yang boleh tidak dipilih.

Kategori
Diskusi

Kebebasan Pers Indonesia hanya Euforia

Ilustrasi: Syifaul Qulub/LPM Mercusuar
Ilustrasi: Syifaul Qulub/LPM Mercusuar

Pada 9 Februari lalu, Hari Pers Nasional (HPN) diselenggarakan di Surabaya, kota tempat saya berdomisili saat ini, dengan euforia luar biasa. Beragam acara diselenggarakan untuk menyambut HPN, yang banyak menguras dana. Presiden Joko Widodo yang hadir saat HPN pun mendapat penghargaan kemerdekaan pers.

Bicara soal kebebasan pers di Indonesia, saya jadi teringat kalimat pembuka pidato Presiden dalam peringatan Hari Kebebasan Pers Sedunia di Jakarta pada Mei 2017, “selamat datang di Indonesia, rumah dari jurnalisme paling bebas dan bergairah di dunia”. Jika berdasarkan logika sederhana, maka proses demokratisasi pasca runtuhnya Orde Baru dapat membuka keran kebebasan pers seluas-luasnya. Saya pun melihat banyak bermunculan media baru, serta kini pemberitaan media tak harus menurut pada keinginan pemerintah.

Namun,apabila mengacu pada indikator yang dibuat Reporters Sans Frontières (RSF), situasi kebebasan didasari pada kondisi kemajemukan media, independensi media, aturan legislatif yang mengatur pers, dan keselamatan jurnalis. Apakah kemudian Indonesia sudah memenuhi semua indikator tersebut?

Hampir dua tahun setelah pidatonya tersebut, iklim kebebasan pers Indonesia patut dipertanyakan eksistensinya. Presiden Jokowi sempat memancing polemik setelah memberikan remisi kepada I Nyoman Susrama, pembunuh wartawan Radar Bali AA Gede Bagus Narendra Prabangsa, yang kemudian dicabut kembali. Prabangsa dibunuh bukan karena permasalahan pribadi, tapi karena liputan investigasinya terhadap korupsi proyek pendidikan yang dilakukan Susrama. Dengan remisi tersebut, maka hukuman Susrama pun berubah, dari semula penjara seumur hidup menjadi 20 tahun penjara. Pemberian remisi terhadap pembunuh jurnalis menjadikan Presiden tampak tidak serius dalam merawat kebebasan pers Indonesia.

Selain kasus Prabangsa, faktanya Indonesia memang bukan rumah yang paling bebas bagi jurnalisme seperti yang digembar-gemborkan oleh Presiden. Berdasarkan data Committee to Protect Journalist, ada 10 jurnalis yang tewas dari tahun 1992 hingga 2019 (per 28 Januari 2019, termasuk kasus pembunuhan Prabangsa). Kemudian jumlah kekerasan terhadap jurnalis pada 2018 berdasarkan siaran pers AJI Catatan Akhir Tahun 2018: Jurnalis Dibayangi Persekusi dan Kekerasan Fisik menunjukkan adanya tren peningkatan, dari semula 60 kasus di 2017 menjadi 64 kasus di 2018. Sedangkan berdasarkan indeks kebebasan pers yang dirilis oleh RSF, Indonesia menempati peringkat 124 dari 180 negara, dan masuk dalam kategori bad (buruk).

Berdasarkan laporan singkat RSF, beberapa catatan buruk yang menyebabkan buruknya tingkat kebebasan pers Indonesia antara lain: pembatasan akses jurnalis ke Papua dan kekerasan terhadap jurnalis lokal Papua; kekerasan dan intimidasi terhadap jurnalis yang bahkan dilakukan oleh perangkat negara; ancaman kelompok garis keras; dan self-censorship yang dilakukan oleh para jurnalis karena ancaman UU ITE dan Penistaan Agama. Singkatnya, pemerintah kini memang tidak melakukan penyensoran terhadap berita yang akan dimuat, namun akses pers terbatas untuk mendapatkan dan menyebarkan informasi yang dianggap tabu seperti isu Papua dan agama. Hal ini dikarenakan batasan dari aturan yang berlaku dan ancaman kekerasan yang datang dari perangkat negara, dan bahkan kini aktor-aktor horizontal. Kondisi tersebut menyebabkan independensi pers tergerus untuk memberitakan informasi seutuhnya.

Bukan hanya catatan buruk soal keselamatan para jurnalis dan independensi pers, kemajemukan media di Indonesia pun menjadi pertanyaan hingga hari ini. Studi Remotivi (2014) menyebutkan bahwa berita dari wilayah Jabodetabek mendominasi layar kaca kita hari ini, dengan 69 persen secara frekuensi, dan 73 persen secara durasi. Tentu fenomena ini melanggar asas keberagaman dalam UU No 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran, dan memberi legitimasi bahwa seakan-akan hanya Jabodetabek sebagai gambaran umum dari Indonesia. Selain masalah keadilan informasi, sentralisasi informasi ini pun dapat menimbulkan masalah ekonomi, karena omzet usaha media banyak berputar di Jakarta.

Maka kebebasan pers yang kini sedang kita nikmati hanyalah euforia semata, tanpa pernah menyentuh substansi. Masih rendahnya kesadaran terhadap kebebasan pers yang substansial membuat permasalahan kebebasan pers hari ini dianggap sebagai sesuatu yang wajar dan jarang diulas mendalam, bahkan mungkin oleh para pelaku media itu sendiri. Literasi media harusnya menjadi sesuatu yang penting, mengingat media merupakan barang publik. Tidak hanya itu, lembaga negara yang mengawasi media harus ditegakkan kembali fungsinya, untuk menjaga kualitas kebebasan pers yang seutuhnya ditujukan untuk kemaslahatan publik, bukan menyajikan informasi-informasi tak bermutu.

Tapi ngomong-ngomong, dengan banyaknya kejadian pemberangusan kebebasan pers yang melibatkan negara, masihkah kita berharap kepada negara?

Kategori
Diskusi

Pers Mahasiswa dalam Pemilu 2019

Paling tidak tugas dan tanggungjawab pers mahasiswa masih bersangkutpautan dengan komitmennya terhadap realitas sosial empirik yang harus direfleksikan lewat informasi. Saut Hutabarat menegaskan bahwa pers mahasiswa (persma) tidak hanya bermanfaat bagi pembacanya, tetapi juga bermanfaat bagi pengelolanya. Karena manifestasi keberhasilan persma adalah terkawalnya isu untuk membangkitkan kesadaran sosial civil society dan aktor-aktor di persma sendiri.

Untuk mewujudkan cita-cita mulia itu, paling tidak persma sudah harus membenahi diri dalam mengkampanyekan isu. Tidak hanya diinternal kampus sebagai induk semangnya, tetapi jauh lebih dalam serta terjun ke dunia luar. Wicaksono Noerhadi menulis artikel untuk harian Kompas, dimuat pada 11 Mei 1989 dengan judul Pers Mahasiswa Tahun 1950-an Berhasil Menjawab Tantngan Zamannya. Menurut Noerhadi, isi informasi yang disajikan oleh persma sanggup menumbuhkan citra di kalangan pembaca bahwa ia lebih laik dari pers mainstream. Lebih menarik lagi, tidak jarang pers profit mengutip berita dari persma.

Saya mengutip artikel ini bukan sekedar untuk romantistik nan lebai. Jika dianggap kusam, Citra Maudy pada 05 November 2018 menulis laporan di Balairungpress dengan judul  Nalar Pincang UGM Atas Kasus Perkosaan, meskipun masih banyak kritikan, tulisan ini tidak hanya direspon oleh UGM tetapi oleh publik bahkan menjadi perbincangan hangat di berbagai media.

Saya sependapat dengan Ana Nadhya Abrar. Dalam buku Pers Mahasiswa dan Masalah Pengoperasionalisasinya yang ia tulis, Ana Nadhya Abrar berpendapat bahwa keberhasilan Persma media 50-an tidak terlepas dari aktor-aktor persma yang menyadari betul perannya sebagai mahasiswa sekaligus masyarakat yang ikut andil menentukan arah juang republik. Tak pelak, menurutnya, sekecil apa pun persma tetap sebuah lembaga sosial.

Peran Pers Mahasiswa Menjelang Pilpres   

Adalah hal yang riskan tetapi layak untuk dibahas. Dimana dan bagaimana peran Persma dalam pergulatan Pemilihan Presiden April mendatang. Sebagian menganggap ini diluar tanggungjawab kepersmaan sebagian yang lain beranggapan, ini merupakan tugas-tugas jurnalistik.

Andreas Harsono dari Yayasan Pantau sekaligus pemerhati persma senada dengan argumentasi terakhir. Persma yang notabenenya sebagai praktisi jurnalisme harus ikut andil agar masyarakat memperoleh informasi yang benar. Benar dalam arti fungsional lebih tepatnya, tanpa harus mundur kemedia 50-an.

“Peranan media, entah media umum  atau media khusus (termasuk persma, red) adalah menyediakan jurnalisme. Tujuannya adalah untuk kebenaran fungsional. Ia tentu juga berlaku dalam liputan pemilihan umum,” jelas Andreas.

Andreas turut menambahkan para pemilih juga membutuhkan informasi yang benar sebelum menentukan pilihannya. Dari tingkat terkecil, legislator, sampai presiden dan wakil presiden. Jurnalisme perlu menyediakan kebenaran fungsional tersebut.

Bill Kovach dan Tom Rosenstiel dalam Sembilan Elemen Jurnalisme menerangkan, kebenaran fungsional maksudnya adalah sesuatu yang dianggap benar dan bisa direvisi  dikemudian hari jika terdapat kekeliruan. Ilmu pengetahuan yang berkembang dan pelajaran-pelajaran di sekolah dapat direvisi ketika ada teori yang lebih kuat. Ini tentu berbeda dengan kebenaran dalam tataran filosofis yang sifatnya lebih kaku.

Ketua Forum Alumni Aktivis (FAA) Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia (PPMI) Agung Sedayu turut berkomentar. Ia berpendapat kedua kubu calon presiden (capres) berlomba ngecap obral bualan untuk membius publik. Sehingga lahir kelompok-kelompok irrasional yang tidak peduli, apa pun yang yang dilakukan oleh calon yang didukungnya dianggap benar. Lantas Agung menaruh harapan besar kepada Persma agar menjadi alat edukasi publik.

“Tetap sebagai alat eduksi publik, memaparkan fakta dan informasi yang jernih serta mendalam tentang pemilu. Persma  mesti bisa mengembalikan kewarasan itu, menyodorkan informasi yang memadai sekaligus kritis sehingga publik memiliki landasan yang kuat dalam menentukan sikap,” paparnya.

Agung turut mengingatkan agar persma harus tetap independen dalam pemberitaan sehingga tidak ikut terjebak dalam dukung-mendukung pasangan calon (paslon).

“Intinya Persma mesti mampu menjadikan publik sebagai pemilih yang waras sekaligus cerdas. Apa pun pilihannya, bahkan jika memilih untuk tidak memilih sekalipun boleh asal didasari oleh kesadaran serta ketercukupan informasi yang benar,” tambah Agung.

Penulis: Rahmat Ali

Editor: Kiky

Kategori
Diskusi

Ambisi Semu Pekerja Migran dalam Perspektif HAM

Kekerasan terhadap Tenaga Kerja Wanita (TKW) yang berprofesi sebagai Pekerja Rumah Tangga (PRT) migran marak diperbincangkan akhir tahun kemarin. Kekerasan terhadap mereka semakin diperparah dengan tindakan kriminalisasi yang menyebabkannya tidak berdaya.  Mulai dari kekerasan fisik, psikis hingga seksual.

Meretas regulasi jaminan pekerja migran

Salah satu isu yang menjadi prioritas adalah ancaman hukuman mati terhadap TKW. Merujuk pada data yang diperoleh dari Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) para pekerja dituntut hukuman mati atas dugaan tindak pidana yang dilakukan antara lain pembunuhan, narkoba, penculikan, sihir, zina, dan kepemilikan senjata api. Terdapat tiga kasus yang terjadi, yaitu atas nama Tuti Tursilawati, Eti Binti Toyib, dan Zaini Misrin.

Seperti halnya pemberitaan media online Kompas.com (31 Oktober 2018) yang memberitakan kasus TKW asal Majalengka, Tuti Tursilawati. Kasus yang diberitakan itu mengungkap bahwa korban dijatuhi hukuman mati oleh pemerintah luar negeri Arab Saudi. Keputusan hukuman mati tersebut tanpa melayangkan pemberitahuankepada pihak pemerintah indonesia.

Selain itu, pemberitaan media online Tempo.co (30 Oktober 2018) juga memberitakan kasus Tuti. Sebelum dilayangkan hukuman mati, Tuti kerap mendapatkan perlakuan penyiksaan atau kekerasaan fisik, termasuk ancaman pemerkosaan. Ia melakukan pembunuhan terhadap majikannya, namun tindakan yang dilakukan itu merupakan upaya pembelaan diri.

Dilansir dari Tirto.id (31 Oktober 2018), ungkapan Anggota Komisi 1 DPR Charles mengecam hukuman mati terhadap Tuti dan mendukung upaya pemerintah melayangkan protes terhadap pemerintah Arab Saudi. Seharusnya pihak pemerintah Indonesia mengkaji ulang pidana hukuman mati yang masih diterapkan di Indonesia.

Jika dikaji lebih dalam lagi, kekerasan yang diperoleh para pekerja migran telah menyalahi konsep Hak Asasi Manusia. Dalam Undang-undang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia Bab II Pasal 4 menjelaskan bahwa setiap manusia memilik hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kebebasan pribadi, pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi dan persamaan di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak hak manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan keadaan apapun dan oleh siapapun. Para pekerja yang menjadi buruh migran tidak memperoleh kesejahteraan dalam hal pekerjaan. Berbicara hak asasi manusia, negara harusnya memenuhi kewajiban-kewajibannya seperti pemenuhan hak jaminan perlindungan bagi PRT migran indonesia.

Undang-undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2017 tentang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia bagian ketiga Hak dan Kewajiban pasal 6 ayat 1, menjelaskan bahwa setiap calon pekerja migran indonesia atau pekerja migran indonesia memiliki hak memperoleh jaminan perlindungan keselamatan dan keamanan kepulangan pekerja migran Indonesia ke daerah asal. Artinya setiap pekerja migran atau tenaga kerja Indonesia hanya  mendapatkan jaminan keselamatan dan keamanan pada saat kepulangan. Namun bagaimana dengan jaminan keselamatan pada saat bekerja di luar negeri? Apakah telah ditetapkan jaminan perlindungan keselamatan saat bekerja?.

Namun dalam UU tersebut Bab I Pasal 1 (Ayat 1), menjelaskan terkait perlindungan selama bekerja yang mana keseluruhan aktivitas untuk memberikan perlindungan selama pekerja migran Indonesia dan anggota keluarganya berada di luar negeri.  Dan juga pada Bab III  Pasal 21 Ayat 1 (b) terkait perlindungan selama bekerja adalah melakukan pemantauan dan evaluasi terkait pemberi kerja, pekerjaan dan kondisi kerja. Akan tetapi tidak melakukan pemantauan terhadap kondisi pekerjanya. Sehingga seorang TKW kurang mendapatkan hak pemenuhan jaminan perlindungan terhadapnya.

Banyak hal yang seharusnya menjadi perhatian khusus dari regulasi perlindungan pekerja migran Indonesia.  Merujuk pada UU tersebut pemerintah belum memberikan jaminan perlindungan kepada pekerja migran yang menjadi TKW. Sehingga masih banyak kasus kekerasan atau diskriminasi yang terjadi tanpa sepengetahuan pihak pemerintah.

Pentingnya mengkaji ulang regulasi perlindungan  PRT dalam memberikan standar perlindungan lapangan pekerjaan bagi perempuan. Selain regulasi dari pihak pemerintah , pemantauan terhadap para pekerja yang menjadi TKW selama bekerja juga harus ditingkatkan. Mengingat banyak kasus yang marak terjadi sekarang ini tanpa memberikan solusi dari hukum indonesia.

Peran pemerintah dalam menangani kasus serupa berdasarkan hukum juga terhambat dan rapuh. Pemerintah mempunyai kewajiban penuh dalam pemenuhan hak para perempuan yang menjadi TKW. Perlindungan yang dilakukan negara cenderung bergantung kepada keseriusan komitmen pengampu tanggung jawab dalam lembaga negara (Komnas Perempuan).

Melihat banyaknya kasus kekerasan yang dialami para pekerja migran atau TKW, pemerintah kurang memberikan perhatian optimal terhadapnya. Regulasi yang mengatur tentang perlindungan keselamatan kerja selama bekerja juga kurang optimal. Terbukti dengan kasus yang tidak diketahui pemerintah Indonesia terhadap kasus hukuman mati TKW asal Majalengka tersebut.

Meskipun begitu, terdapat serikat buruh migran Indonesia yang berperan dalam melindungi hak tenaga kerja indonesia di luar negeri. Menurut penelitian Fenny Sumardiani dalam jurnalnya peran serikat buruh migran Indonesia dalam menangani masalah tenaga kerja Indonesia di luar negeri dengan melakukan pendampingan terhadap pekerja dan keluarga, memberikan pendidikan kritis, memberikah pemberdayaan ekonomi dalam peningkatan kesejahteraan bagi pekerja maupun keluarganya, dan memberikan pelatihan.

Namun, dalam penelitian tersebut peran serikat buruh migran belum memberikan perlindungan keselamatan selama bekerja di luar negeri. Artinya para pekerja migran Indonesia tidak mendapatkan hak perlindungan selama bekerja dengan optimal. Yang berakibat akan memberikan keleluasaan bagi pimpinan luar negeri untuk melakukan banyak kekerasaan sesuai dengan yang diingikan.

Alangkah baiknya jika pemerintah dalam negeri memberikan  fasilitas pemantauan terhadap para pekerja migran Indonesia. Nantinya pimpinan luar negeri tidak dapat melakukan bentuk diskriminasi sesuai dengan keinginannya. Dan jika hal tersebut dibiarkan terlalu lama, maka akan banyak sekali kasus diskriminasi bagi pekerja perempuan di luar negeri.

Serikat buruh migran harusnya mengkaji dan menawarkan regulasi ulang terkait kebijakan dalam perlindungan pekerja migran selama bekerja. Mengingat kebijakan yang tergolong rapuh untuk mengatasi masalah tenaga kerja yang mengalami kekerasan. Kebijakan yang belum memberikan pemenuhan hak pekerja secara optimal. Serikat buruh migran harusnya mampu menanggulangi berbagai permasalahan yang dialami para pekerja.

Alternatif lain yang bisa dilakukan pemerintah Indonesia, kalau melihat kebijakan tiap pemimpin negara dari periode sebelumnya hingga sekarang masih kurangnya ruang publik bagi para pekerja perempuan. Ruang publik yang dimaksud disini adalah porsi pekerjaan yang sama dengan para lelaki. Karena pada nyatanya masih banyak perempuan yang tidak mendapat peluang pekerjaan hingga mereka terpaksa melancong ke luar negeri hanya untuk memenuhi kebutuhan ekonomi. Jika saja pemerintah menyediakan lapangan pekerjaan yang setara dengan laki-laki di dalam negeri, mungkin mereka tidak akan mencari hingga keluar negeri.

Andai saja pemerintah memperdayakan potensi lokal yang terdapat di desa maupun kota secara optimal. Perempuan akan memilih bekerja di dalam negeri (lokal) tanpa pergi jauh dari keluarga. Kesempatan perempuan bekerja di dalam negeri akan setara atau sama dengan kesempatan laki-laki. Oleh karena itu peran pemerintah dalam menanggulangi masalah-masalah yang muncul dari pekerja migran indonesia adalah memberikan kesempatan pekerjaan yang layak dan terjamin perlindungan haknya. Untuk tujuan meminimalisir atau bahkan tidak ada para perempuan yang pergi menjadi TKW pada waktu mendatang (Zumrotul Afifah).

Kategori
Diskusi

Laclau, Persma, dan Gerakan Sosial Baru

ERNESTO Laclau, filsuf politik post-modern itu boleh saja tersenyum dalam pusaranya. Akhir-akhir ini, rekan-rekannya di gerakan mahasiswa termutakhir tengah mengamini apa yang ia sabdakan. Gerakan sosial yang digawangi oleh mahasiswa-mahasiswa tanah air sedang berkecambah dalam partikularitas semu. Dalam sorot yang sunyi maupun hiruk, gerakan mahasiswa pelan-pelan merayap mencari momen untuk bersatu.

Apa yang publik lihat belakangan menjadi saksi atas pergeseran tersebut. Tengok saja, isu-isu besar yang digawangi dalam aksi demontrasi besar seperti diacuhkan begitu saja oleh masyarakat. Aksi-aksi yang berskala besar dan lebih mementingkan massa daripada isu lambat laun mulai dihiraukan. Gerakan massa yang sekedar mencari perhatian sesaat tak akan berumur panjang.

Beberapa waktu yang lalu, Obed Krisna dalam acara televisi Mata Najwa pernah melontarkan pendapat tentang perlunya gerakan mahasiswa berbaur dan membentuk barisan yang solid dengan masyarakat. Bagi Presiden BEM (Badan Eksekutif Mahasiswa) UGM ini, penting bagi mahasiswa untuk bersentuhan langsung dengan masyarakat. Karena mahasiswa adalah intermediary actor yang jadi jembatan atas terbelahnya opini dan sikap masyarakat.

Kurang lebih apa yang diucapkan oleh Obed itu selaras dengan teori gerakan sosial Ernesto Laclau. Jika Laclau memberi penekanan pada data-data dan urgensi isu dalam gerakan sosial, maka Obed mementingkan pembelajaran langsung di tengah-tengah masyarakat. Apabila gerakan mahasiswa sepenuhnya menghirup bau masyarakat, akan sangat mungkin jika isu-isu yang diangkat nantinya faktual, akurat, dan dapat memberi tekanan khusus bagi pihak terkait.

Bagi Ernesto Laclau, gerakan sosial harus cermat dalam memosisikan diri. Karena dalam perang wacana di gerakan sosial, yang terjadi sebenarnya bukan adu urat syaraf belaka, tapi juga simbol dan data-data yang diusung. Pada konteks partikularitas yang sebelumnya sempat disinggung, makna posisi menjadi sangat penting. Seperti contoh buruh yang melakukan tuntutan kenaikan upah, atau mahasiswa yang mengangkat masalah kebebasan akademik. Penguasaan materi dari basis posisinya akan menentukan keefektifan gerakan sosial.

Suatu hegemoni tertentu, dari kampus contohnya, akan merespon bentuk tekanan dengan cara-cara yang berbeda. Namun, jika pada satu kesempatan hegemoni itu menyentuh titik sensitif dalam suatu isu, fakta-fakta yang ditemukan dapat menjadi sarana untuk memperkuat posisi dalam gerakan sosial. Saat formasi sosial itu semakin kentara dalam pandangan publik, gerakan sosial dapat menggencarkan perjuangan bersama dengan penguatan isu yang perlu diperbarui setiap momen-momen advokasi.

Belakangan, disadari atau tidak, rekan-rekan di gerakan mahasiswa telah melakukan nubuat-nubuat Laclau itu. Partikularitas demi universalitas atau pemberdayaan demi kemanusiaan, menjadi acuan semangat bagi gerakan mahasiswa terkini. Di dalam gerakannya sekarang, mahasiswa tak lagi menjadi aktor tunggal. Selain karena peran dan formasi sosial dalam lingkungan, realitas medan yang kompleks membutuhkan keterlibatan banyak pihak di dalamnya.

Kasus PT RUM di Sukoharjo, kasus bandara NYIA di Kulonprogo, ataupun kasus Geothermal di Tawangmangu, dikawal oleh mahasiswa-mahasiswa yang berdomisili di wilayah tempat-tempat itu. Kesadaran kolektif yang berangkat dari kultur, identitas, sampai dengan empati terhadap masyarakat terdampak, menyuntikkan modal sosial bagi gerakan mahasiswa. Bersikap politis atau berpolitik itu kebebasan bagi tiap gerakan mahasiswa. Namun saat ini perubahan bentuk dari sekedar gerakan massa menjadi gerakan sosial baru sedang sangat diperlukan. Melihat hal itu, identitas kelompok dan lembaga perlu diltanggalkan demi kolektivitas.

Di kasus pencemaran limbah PT RUM Sukoharjo, advokasi menjadi perbincangan hangat setelah terjadi penangkapan tiga aktivis lingkungan hidup yang berkecimpung langsung di tempat kejadian perkara. Media mainstream, baik yang lokal atau pun nasional lekas berhamburan menayangkan berita-berita tersebut. Setelah berita penangkapan beredar, kasus PT RUM berekor di belakangnya. Perlahan, berkat berita-berita yang viral, kesadaran masyarakat dan formasi sosial pun mulai terbangun. Dan di luar itu, aktivisme pun masih berlanjut, meskipun diselingi dengan tekanan dari pelbagai pihak.

Saat ini, di beberapa lingkungan sengketa, kerangka kesadaran yang dicetuskan oleh Paulo Freire mampu menangkap proses tahapan yang tengah dilalui masyarakat dalam gerakan sosial baru. Biasanya pada tahapan kesadaran-naiflah mahasiswa harus dapat bergandengan bersama masyarakat menuju kebebasan esensial dari manusia. Karena pada tahap itu, biasanya masyarakat sudah paham dengan masalahnya namun gamang melihat mitra humanisasi. Maka dari itu dibutuhkan sebuah gerakan ala Laclau agar masyarakat, mahasiswa, dan agen-agen sosial lainnya dapat mencapai kesadaran kritis yang perlu diperjuangkan bersama.

Persma dan Isu Lingkungan Hidup

MEMANG, seturut Laclau, gerakan sosial baru akan melewati ketegangan tinggi yang menguji konsistensi. Sebelumnya, transformasi gerakan mahasiswa menuju gerakan sosial baru juga perlu diupayakan dengan melepas ego-ego lembaga yang terkait. Lantas dalam konteks ini, di manakah gerangan posisi pers mahasiswa? Untuk membedah itu, rasanya perlu mengingat kembali bahwa awak persma juga bagian dari jurnalis yang dibekali kode etik dan prinsip 10 elemen dasar jurnalistik.

Sayangnya dalam salah satu poin elemen jurnalistik, frase memihak pada kebenaran acap kali ditafsirkan dengan pemahaman yang tematik. Sehingga umum apabila kita mendengar banyak tuntutan yang mendorong pers mahasiswa agar mau terlibat langsung dalam gerakan sosial baru sebagai aktivis. Padahal tak semestinya pers mahasiswa ikut langsung di medan gerakan sebagai aktivis sosial. Yang diperlukan bagi awak persma adalah tetap teguh pada kaidah jurnalistik, dan konsisten melakukan kerja jurnalistik agar isu penyelewengan lingkungan hidup dapat dipotret secara berimbang dan tersampaikan secara langsung ke masyarakat.

Peran pers mahasiswa dalam isu lingkungan memang terbilang krusial. Akan tetapi tak sepantasnya jika kemudian atas dasar kemanusiaan, awak pers mahasiswa melepaskan atribut persma lalu bergabung dengan jaringan kolektif. Ataupun memakai baju persma dan menayangkan konten yang agitatif. Karena untuk mencapai kesadaran kritis ala Freire, media juga berperan langsung sebagai penyedia gagasan yang proporsional. Apabila teman-teman persma harus terjun langsung dan meihat kondisi dari lapangan, cukuplah prinsip dasar jurnalitstik dipegang kukuh, karena itu sudah mencakup dari apa yang disebut dengan sikap kemanusiaan.

Dalam gerakan mengawal isu lingkungan hidup, tak sedikit pergulatan wacana politik praktis yang terapung di medan konflik. Jika memang perlu berkecimpung di arena konflik, ada baiknya pers mahasiswa benar-benar menjaga netraltas politik dengan sikap independensi yang tegas. Karena kata-kata Laclau ada benarnya juga, dalam gerakan sosial baru, akan ditemukan sebuah antagonisme sosial. Di ruang pertarungan wacana era post-indutrial, musuh besar akan menghadang isu yang tampak kerdil namun mengancam eksistensi. Merujuk hal ini, pers mahasiswa sebaiknya benar-benar menjaga independensi. Karya jurnalistik merupakan garis tegas bagi awak persma, lantaran ia menyediakan banyak ruang bersikap tanpa harus melibas idealisme dan independensi.

Persma di era gerakan sosial baru seperti sekarang ini, baiknya dapat tumbuh dan menjadi saksi atas apa yang menimpa masyarakat. Pers dan jurnalis, terutama dari komunitas akademik seperti kampus, memiliki posisi tersendiri dalam diskursus gerakan sosial. Keterlibatan memang perlu, namun itu dengan catatan, tetap melakukan kerja sesuai dengan ranahnya. Keterlibatan yang dimaksud adalah keterlibatan yang tampaknya terpisah dari luar, dan sebenarnya dari dalam memiliki rasa dan karsa yang selaras. Karena sejatinya inilah yang sebenarnya diharapkan dari Laclau, inti dari partikularitas menjadi fungsi bagi universalitas.

Kategori
Diskusi

Hukum Tajam ke Bawah: Kegagalan Memahami Kasus dan Kriminalisasi Aktivis Penolak Pencemaran Lingkungan

Munculnya gerakan perlawanan oleh rakyat ialah alarm penanda bahwa ada yang sedang tidak baik-baik saja. Gerakan semacam ini lahir dari ketidakpuasan masyarakat terhadap kondisi obyektif yang ada. Kritik hingga demonstrasi kemudian digunakan sebagai saluran untuk menunjukkan letak masalah. Namun tidak semua pemerintah/pihak terkait mampu menyikapi kritik dengan cermat dan bijaksana.

Ketidakberanian menghadapi kritik kerap ditunjukkan oleh pemangku jabatan, misalnya dengan keengganan menemui massa aksi padahal hanya terpisah jarak selemparan batu. Juga, sibuk rapat hingga drama sedang tertimpa musibah. Kengganan ini tidak hanya terjadi di depan istana, tetapi juga di tempat-tempat lain di mana gerakan muncul. Tindakan lebih parah tidak jarang dilakukan dengan memukul mundur para demonstran menggunakan aparatur negara.

Baru-baru ini, gerakan perlawanan rakyat muncul di Sukoharjo, Jawa Tengah. Mereka menentang aktivitas PT Rayon Utama Makmur (RUM) dalam memproduksi kapas sintetis (Serat Rayon) menghasilkan limbah pabrik yang mencemari lingkungan. Pasalnya, bau busuk limbah pabrik dianggap mengganggu pernapasan yang berdampak pada warga mengalami infeksi saluran pernapasan akut (ISPA), serta pencemaran lingkungan.

 

Konflik Lingkungan dan Kriminalisasi Terhadap Aktivis

Mengutip pembebasan.org, terdapat 32 warga terkena ISPA berat, serta 152 warga di Kedungwinong merasakan pusing dan mual. Selain warga Kedungwinong, bau busuk limbah PT RUM ini juga ikut meresahkan warga dari desa Plesan, Gupit, Celep, dan Pengkol. Menyikapi hal tersebut, warga melayangkan protes terhadap aktivitas produksi PT RUM. Bersama dengan beberapa gerakan lain, warga mulai menyuarakan penolakan keberadaan PT RUM. Setelah melakukan beberapa aksi, akhirnya pada  tanggal 19 Januari 2018 warga mendapat jawaban. Warga dan PT RUM bersepakat bahwa satu bulan berikutnya yaitu pada tanggal 19 Februari 2018 PT RUM akan berhenti beroperasi.

Kenyataannya, hingga waktu yang telah ditentukan melalui kesepakatan dengan warga, PT RUM mengulur-ulur janji penutupan sampai 24 Februari 2018. Tak hanya PT RUM, Bupati Sukoharjo yang pada 22 Februari 2018 berjanji akan menandatangani SK penutupan PT RUM memilih pergi ke Bali untuk mengikuti agenda partainya, PDI Perjuangan.

Hal tersebut justru menyulut emosi warga dan jaringan solidaritas. Hari itu, warga  memblokade pabrik dan melakukan aksi bakar ban lantaran kecewa dengan Bupati Sukoharjo, Wardoyo Wijaya. Namun, aksi warga dihalangi oleh aparat gabungan polisi dan TNI. Amarah warga kian memuncak usai aparat melakukan pemukulan, penyekapan, dan penyiksaan terhadap tiga orang massa aksi.

Amarah warga direspon oleh aparat dengan menarik dua massa aksi dari barisan, lalu mencekik dan memukuli mereka. Dua orang tersebut adalah Totok dan Subakti, pemuda penolak aktivitas PT RUM. Totok dan Subakti mengungkapkan, bersama mereka, ada seorang lain yang tidak diketahui identitasnya saat disekap oleh aparat.

Kondisi aksi yang ricuh dimanfaatkan aparat untuk melemahkan gerakan rakyat dengan intimidasi, dan selanjutnya kriminalisasi. Tercatat ada 3 aktivis yang dikriminalisasi pasca-aksi terkait PT RUM. Muhammad Hisbun Payu, Kelvin dan Sutarno ditahan dengan tuduhan perusakan aset PT RUM.

Pertama, penangkapan Muhammad Hisbun Payu yang akrab dipanggil Iss terkait dengan dari aksi ricuh di depan pabrik PT RUM. Minggu, 4 Maret 2018 pukul 23.45 WIB, Iss ditangkap di depan pintu masuk Alfamidi Lenteng Agung, Jakarta Selatan. Saat itu Iss berniat melaporkan kasus PT RUM ke Komnas HAM. Namun, Iss keburu ditangkap polisi sebelum sampai ke Komnas HAM.

Ketika penangkapan, tidak ada atribut yang menandakan bahwa pelakunya dari pihak kepolisian. Mereka menangkap Iss dengan berpenampilan seperti masyarakat sipil, dan tidak menggunakan mobil dinas. Demikian halnya dengan tidak ditunjukkannya surat penangkapan. Barulah setelah Iss diborgol dan di perjalanan dengan mobil surat penangkapan ditunjukkan.

Kedua, Kelvin (20) ditangkap di rumahnya sehari setelah penangkapan Iss, Senin, 05 Maret 2018 pukul 02.00 WIB. Kurang lebih ada 5 orang Polisi berpakaian sipil datang ke rumah Kelvin di Desa Plesan Kecamatan Nguter Kab. Sukoharjo. Kelvin diminta menandatangani surat penangkapan. Kemudian, mereka membawa Kelvin menuju Polda Jawa Tengah.

Terakhir, seperti Kelvin, Sutarno (40) juga ditangkap dirumahnya di Dukuh Bugangin, Desa Lemah Abang,  Kecamatan Jumapolo Kab. Karanganyar. Sekitar 5 orang polisi berpakaian sipil dari Polres Sukoharjo mendatangi rumah Sutarno dan menunjukkan surat perintah penangkapan dan surat penetapan tersangka kepada Sutarno untuk ditandatangani. Setelahnya, Sutarno dinaikkan mobil polisi dengan kondisi diborgol dan mata ditutup, kemudian dibawa ke Mapolda Jawa Tengah.

Kelvin dan Sutarno menjalani pemeriksaan sejak pukul 09.00 hingga pukul 16.00. Setelah pemeriksaan, ketiga aktivis penolak pencemaran lingkungan itu dikenai dakwaan KUH Pidana pasal 187 ayat (1&2) dan atau pasal 170 ayat (1) dengan ancama pidana maksimal 15 tahun kurungan.

 

Tak Cermat Memahami Kasus

Dua hal berbeda ditunjukkan oleh kepolisian dalam kasus limbah beracun PT RUM. Pertama, Kepolisian bertindak cepat dalam penangkapan aktivis. Setidaknya pihak kepolisian sebagai penegak hukum sudah bekerja keras dalam proses penangkapan Iss di Jakarta, menangkap Kelvin dan Sutarno diwaktu yang terbilang sangat pagi, pukul 02.00 dini hari. Tapi sikap dan kinerja kepolisian yang tanggap itu tidak ditemukan ketika dihadapkan dengan penanganan kasus racun PT RUM.

Sejak beroperasi di awal Oktober 2017, PT RUM sudah mendapatkan protes dari warga. Pencemaran lingkungan oleh limbah PT RUM sudah diadukan ke Pemkab Sukoharjo dan warga pun sudah meminta dilakukan audit terhadap pengendalian limbah pabrik pengelolaan kapas sintetis tersebut. Sayangnya, aparat kepolisian justru tidak tanggap dalam kasus ini.

Di titik ini, patut dipertanyakan kecermatan aparat dalam menyikapi pelanggaran hukum. Dua hal di atas, menimbulkan pertanyaan. Jika Iss dan kawan-kawan dijerat hukum karena perusakan aset PT RUM, maka mengapa pihak PT RUM juga dapat dijerat hukum dengan  perusakan lingkungan melalui limbah pabrik.

Masalah pencemaran lingkungan sudah diatur dalam Undang-undang Pasal 1 angka 14 Nomor 32 Tahun 2009 yang berbunyi, “adalah masuk atau dimasukkannya makhluk hidup, zat, energi, dan/atau komponen lain ke dalam lingkungan hidup oleh kegiatan manusia sehingga melampaui baku mutu lingkungan hidup yang telah ditetapkan”.

Dikutip dari tirto.id bahwa menurut hasil analisis tim Independen Muhammadiyah Sukoharjo menunjukkan, dua dari tiga parameter limbah cair PT RUM tidak memenuhi ambang baku mutu yakni Total Disolved Solid (TDS) dan Chemical Oxygen Demand (COD). Satu parameter lainnya yang sudah sesuai ambang baku mutu yakni, PH limbah cair. Penelitian dilakukan tim independen Muhammadiyah dengan analisis sembilan sampel limbah cair PT RUM dari 31 Januari hingga 5 Februari 2018.

Dengan dampak lingkungan yang jelas seperti itu, pihak kepolisian bergerak amat lambat dalam melakukan kinerjanya. Dari kasus ini, kita bisa amati adanya pembiaran akar masalah, abainya Bupati Sukoharjo dalam menjamin ruang hidup warga, tindakan represif dari aparat, serta kegagalan hukum menjamin keadilan.

Sikap aparatur negara dalam kasus ini, seperti disebut di atas, adalah wujud dari ketidakmampuan bersikap dengan cermat. Padahal, aparat mestinya bekerja secara profesional, tidak menjadi anjing penjaga pemerintah ataupun pemilik modal. Kasus semacam ini mengingatkan kita bahwa di negara ini ada yang benar-benar sedang tidak baik-baik saja.[]

 

*data dihimpun dari PPMI DK Semarang, PEMBEBASAN, LBH Semarang, WALHI Jateng, tirto.id, dan KontraS

Kategori
Diskusi

Pers Mahasiswa Politeknik Perlu Mengawal Isu Revitalisasi Kampus

Awal tahun 2017, Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (Kemenristekdikti) mengadakan Rapat Kerja Nasional (Rakernas) di Grha Sabha Pramana Universitas Gadjah Mada (UGM) yang menyepakati adanya program Revitalisasi Politeknik (Revpol). Dalam Majalah Ristekdikti, Kokok Haksono Dyatmiko, pengajar di Politeknik Manufaktur Negeri Bandung mengatakan jika lulusan Politeknik harus menghasilkan produk inovatif yang efisien, murah, kuat dan aman serta siap masuk ke pasar.

Ada 12 politeknik dan satu politeknik kesehatan yang menjadi pelaksana program revitalisasi (revpol) tahap 2017-2019 yaitu Politeknik negeri Lhoksumawe, Politeknik Negeri Batam, Politeknik Manufaktur Bandung, Politeknik Negeri Maritim Semarang, Politeknik Negeri Malang, Politeknik Perkapalan Negeri Surabaya, Politeknik Elektronika Surabaya, Politeknik Negeri Jember, Politeknik Negeri Samarinda, Politeknik Negeri Banjarmasin, Politeknik Pertanian Negeri Pangkep, Politeknik Negeri Ambon dan satu Politeknik Kesehatan Kemenkes Yogyakarta.

Program revpol ini beralasan jika pihak industri seringkali mengeluh. Lulusan dari pergutuan tinggi belum cukup relevan dengan kebutuhan industri dari segi kompetensi maupun jumlah. Merespon keluhan industri, ditjen kelembagaan iptek dan dikti dalam Rakernas di UGM mengusulkan mengubah kurikulum politeknik agar sesuai dengan keluh kesah si Industri. Ada lima poin yang menjadi implementasi perubahan kurikulum tersebut.

Pertama, jumlah dosen yang mengajar di Politeknik diatur menjadi 50% dari industri dan 50% dari perguruan tinggi. Kedua, penerapan dual system (sistem  3-2-1), usulan ini mencontoh kurikulum yang ada di Jerman. Jadi, implementasinya mahasiswa menerima kuliah selama 3 semester, 2 semester magang industri dan 1 semester untuk menggarap tugas akhir.

Ketiga, adalah pembangunan teaching factory. Membuat miniatur industri, workshop atau tempat praktek mahasiswa yang teknologinya sudah berstandar industri. Keempat, pelatihan untuk dosen Politeknik. Kelima, kampus politeknik menjadi Tempat Uji Kompetensi (TUK) dan Lembaga Sertifikasi Profesi (LSP).

Paling kentara dari program ini adalah sistem 3-2-1. Mata kuliah untuk D3 akan semakin dimampatkan (karena yang dicontohkan dalam kerangka revitalisasi politeknik adalah program D3). Sudah pasti terasa bagi mahasiswa  D3 yang aktif berorganisasi, apa yang akan terjadi saat program ini diterapkan.

Tidak luput pers mahasiswa politeknik. Mungkinkah selama 3 semester persma politeknik bisa memahami kerja redaksi dengan maksimal? Apakah persma politeknik bisa totalitas berkarya dan memahami dunia pers mahasiswa kalau cuma tiga semester berproses di Lembaga Pers Mahasiswa? Berapa lama calon anggota belajar disaat magang? Materi apa saja yang diberikan saat magang? Pertanyan-pertanyaan yang makin terbayang saat saya makin mendalami isu revitalisasi ini.

Tapi sangat disayangkan, saat saya mengetik “revitalisasi politeknik” atau “revpol” digoogle, minim sekali tulisan di media online persma politeknik yang membahas isu revitalisasi politeknik.  Bagaimana mungkin, program besar yang dapat mengganggu proses berorganisasi mahasiswa politeknik  tidak ada yang memperhatikan. Mungkin saja isu ini tidak termasuk dalam nilai-nilai berita sehingga tak layak untuk disorot.

Sebagai anggota pers mahasiswa dari kampus politeknik. saya jadi heran, sebenarnya persma politeknik ini lagi ngapain? Mikirin IPK, kerja, judul tugas akhir atau nikah? Tidak bermaksud merendahkan, hanya saya juga perhatian sebagai anggota persma dari politeknik. Semoga saja setelah tulisan ini diposting, ada persma politeknik yang membaca dan bergairah untuk mau membalas tulisan ini.

 

Revpol dan Dunia Kerja

Revitalisasi politeknik ini bertujuan untuk mengembangkan 14 kawasan ekonomi khusus (KEK). Lulusan politeknik  diharapkan setelah lulus dapat bekerja  sesuai dengan kompetensinya dan bersertifikat sesuai kebutuhan kerja. Ada dua macam KEK, yaitu KEK industri dan pariwisata.

Dalam dokumen Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) 2011-2025, menjelaskan jika “Program pendidikan vokasi didorong untuk menghasilkan lulusan yang terampil. Oleh karena itu, pengembangan program pendidikan vokasi harus disesuaikan dengan potensi dimasing-masing koridor ekonomi”. Nyatanya revpol sudah terencana dalam MP3EI untuk memenuhi sumber daya manusianya. Implementasinya, setelah wilayah indonesia dalam dokumen tersebut dibagi beberapa koridor, maka selanjutnya politeknik sebagai  lembaga pendidikan memasok tenaga terampil, murah, cepat, efisien dan siap masuk pasar kerja. Hal ini karena lulusan politeknik sudah dibanderol dengan label sertifikat kompetensi.

Dalam aspek pengetahuan dan teknologi, industri tidak susah payah untuk melakukan pelatihan untuk meningkatkan pemahaman pada mahasiswa fresh graduate. Karena peralatan dan tempat praktik mereka sudah berstandar industri (pembangunan teaching factory), bahkan jika mau industri dapat bekerja sama dengan kampus untuk melakukan proyek kerja dari industri yang nantinya dikerjakan oleh mahasiswa. Sambil menghela nafas panjang, saya katakan mahasiswa politeknik sudah menjadi komoditas. Politeknik menjadi pemasok sumber daya manusia untuk kebutuhan industri yang berdiri di setiap koridor-koridor ekonomi. Semakin jelas lagi dengan adanya progam studi ikatan kerja, beasiswa dari perusahaan besar.

Yogyakarta adalah salah satu kota yang menjadi tempat pengembangan KEK Pariwisata, dengan objek wisatanya Borobudur dan termasuk dalam 10 kawasan wisata prioritas nasional yang menjadi fokus pembangunan pemerintah. Adanya program New Yogyakarta Internasional Airport (NYIA) adalah salah satu pembangunannya. Dengan mengembangkan sarana transportasi baru untuk menggantikan bandara Adi Sucipto.

Jika mahasiswa politeknik yang ikut program ikatan dinas, misal Garuda Maintenance Facilities (GMF), kemudian mereka akan ditempatkan di bandara yang pembangunan menimbulkan pro-kontra ini. Maka program revpol ini sudah tepat sasaran untuk memberikan jalan supaya lulusannya dapat bekerja dibidang yang sesuai dengan kompetensi. Di lain sisi, sama halnya dengan mengadu domba antara mahasiswa kontra pembangunan bandara yang menjadi aktor gerakan solidaritas dengan mahasiswa dari ikatan dinas tersebut.

Jadi dalam jangka panjang, revpol dan MP3EI masih ada keterkaitan. MP3EI hanya program megah, namun keropos akan esensi pembangunan. Dalam kasus pembangunan NYIA, sudah jelas jika MP3EI hanya melihat aspek pariwisata saja, namun tak diimbangi dalam pembahasan aspek-aspek lainnya. Dalih pembangunan ekonomi yang berefek pada perusakan tatanan sosial dan ekosistem.

Saya sedikit pesimis, bagaimana mau mengawal? Lha wong mau berorganisasi di kampus aja alasannya banyak tugas dan laporan. Kurikulum hasil bentukan Revitalisasi politeknik menggiring mahasiswanya supaya lebih fokus ke akademik, dengan cara memadatkan kuliah dan praktikum. Ada beberapa mata kuliah dihapus dan digantikan oleh materi kuliah industri. Ditambah sistem akademik yang menggunakan sistem paket, berpengaruh pada waktu mahasiswa berorganisasi, belum lagi adanya kuliah malam maupun aturan jam malam.

Didukung lingkungan yang membuat mahasiswa politeknik memiliki sedikit ruang untuk berorganisasi. Pantas jika kegiatan yang dibuat dalam lingkup seminar, lomba, karya tulis ilmiah sampai ada image jika mahasiswa politeknik sebagai agent of event organizer. Namun tetap saya akui, banyak juga inovasi teknologi dan kreatifitas yang dihasilkan.

Isu revpol ini bisa jadi tema besar dikalangan pers mahasiswa  politeknik untuk dikawal. Mungkin saja ini momen untuk merapatkan gerakan mahasiswa, para mahasiswa sarjana dan vokasi untuk memiliki isu bersama. Dari pada malas kuliah atau praktik, bangun kesiangan mending ikut aksi tolak program revpol, iya kan?

Salam pers mahasiswa!!!

Kategori
Diskusi

Mari Berjejaring dan Bentuk Kultur

Sebagai upaya memberikan pemahaman tentang Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia (PPMI) dan tetek bengeknya, PPMI Kota Jember mengagendakan Sekolah PPMI pada Jumat, 27 Oktober 2017. Sehingga pertanyaan yang selalu dibahas waktu kongres, seperti apa nilai tawar yang diberikan PPMI ke LPM (Lembaga Pers Mahasiswa) bisa terjawab. Tiap agenda nasional, masalah-masalah dasar tentang PPMI selalu diperdebatkan. Masalah laten tentang pemahaman dasar ber-PPMI sebenarnya dapat diatasi dengan membaca buku putih PPMI dan transformasi pemahaman tentang PPMI dari pengurus kota ke LPM atau anggota LPM ke anggota barunya. Tanpa perlu selalu menanyakannya tiap agenda nasional yang seyogyanya untuk merumuskan masa depan PPMI selanjutnya.

Dalam buku putih PPMI sendiri tertuliskan tiga pokok bahasan yang kerap menjadi penyebab pertanyaan-pertanyaan yang seharusnya menjadi pemahaman dasar itu selalu muncul. Pertama adalah masalah ideologi dan orientasi pers mahasiswa. Dari nama pun itu sudah jelas pers mahasiswa tidak lepas untuk membela sisi kemanusiaan, keadilan, dan mereka yang tak bisa bersuara. Kedua, indikasi pragmatisme dan elitisme yang selalu dibicarakan. Pers mahasiswa yang selalu terjebak dalam rutinitas dan formalitas sehingga jauh dari ideologi. Yang terakhir adalah generasi ahistoris. Masalah yang sangat dasar membuat pers mahasiswa selalu bertanya siapa dirinya dan untuk apa ber-PPMI. Dan parahnya lagi pertanyaan seperti itu turun temurun dari generasi ke generasi. Padahal ada tradisi yang melekat di dalam PPMI. Memang tiap generasi punya cara tersendiri tapi cara itu akan sulit jika buta akan sejarah yang ada.

Ketika berbicara tentang PPMI, tak luput juga berbicara tentang tugas dan peran Sekretaris Jenderal (Sekjend) yang mempunyai tugas suci dalam memimpin PPMI. Tak banyak pembahasan tentang peran Sekjend, karena memang sudah dijelaskan di AD/ART PPMI. Tugas sekjend pada AD/ART hanya melaksanakan hasil kongres, membangun hubungan dengan berbagai pihak yang sevisi, dan mengadakan rapat kepengurusan. Memang tugas sekjend secara struktural sudah diatur dalam AD/ART, namun tugas secara kultural tidak diatur sama sekali. Seorang sekjend harus mampu menjalin hubungan baik dengan LPM yang ada di kotanya. Yang ditekankan disini lebih ke hubungan baik antar semua LPM yang ada di kotanya dengan berbagai macam sudut pandang dan kultur. Sekjend dituntut untuk menyatukan semua LPM dengan pola pikir yang berbeda-beda.

Dari situ pengurus PPMI diharuskan membentuk kultur tersendiri untuk menyatukan LPM. Misal pada beberapa periode sebelumnya awak-awak LPM di Jember didominasi oleh orang yang menggemari warung kopi. Kebetulan juga jarak antar LPM di Jember juga tidak terlalu jauh dan punya tempat jujukan warung kopi yang sama. Hal itu juga membuat awak antar LPM lebih sering bertemu meskipun tanpa direncanakan. Pola komunikasi PPMI Jember berjalan melalui budaya ngopi yang diciptakan dari kegemaran yang sering dilakukan awak-awak LPM di Jember.

Kultur dari kesamaan kegemaran awak-awak LPM adalah jalan yang paling simpel untuk menyatukan LPM. Tiap kota bisa dipastikan memiliki kultur yang berbeda meskipun ada juga beberapa yang sama terkait kondisi geografis dan budaya derahnya masing-masing. Ketika kultur bersama sudah mulai terbentuk tidaklah sulit untuk berjejaring dan saling menguatkan yang merupakan jargon dari PPMI.

Adanya PPMI juga atas dasar kebutuhan bersama. Kemandirian LPM yang menjadi titik berat adanya PPMI. Lahirnya PPMI pun atas dasar LPM yang penuh dengan kekurangan dan juga sebagai wadah pengawalan isu pers mahasiswa. Jika LPM dirasa sudah cukup mandiri dalam hal asupan materi, penanganan masalah, pembredelan, pembekuan, intimidasi dll maka adanya PPMI tidak dibutuhkan. Jika masih terulang lagi pertanyaan-pertanyaan seperti nilai tawar atau kontribusi PPMI silahkan bercermin dulu lalu benturkan pertanyaan di atas ke diri sendiri.

Perlu dipahami juga sistem yang digunakan PPMI adalah bottom up. Penggunaan sistem tersebut bukan tanpa alasan. Karena semua kerja PPMI berawal dari kebutuhan bersama LPM. Bukan seperti organisasi pada umumnya yang menjadikan ketua sebaga pemegang kebijakan tertinggi. Kekuatan PPMI berasal dari bawah. Semua pengambilan keputusan atau apapun yang dilakukan oleh PPMI harus berdasarkan kesepakatan anggota yaitu LPM.

Dalam buku putih PPMI pun sudah dijelaskan kenapa lebih memilih bottom up yang kultural daripada top down yang struktural. Karena struktural dianggap sebagai relasi kekuasaan bukan pada hubungan persaudaraan dan solidaritas. Organisasi struktural juga rawan ditunggangi kepentingan politik. PPMI adalah organisasi yang mewadahi pers mahasiswa, bukan organisasi yang mempunyai misi politik kepentingan tertentu. PPMI harus menjaga dan merawat idealismenya dengan kesadaran bahwa posisinya adalah sebagai media pengawalan isu.

LPM dituntut aktif untuk menyikapi suatu isu ataupun permasalahannya dan didiskusikan bersama. Toh juga nanti dalam eksekusinya dikerjakan pengurus bersama anggota. Pengurus PPMI berasal dari LPM dan anggotanya pun LPM sendiri. PPMI berjalan ketika LPM mau berjejaring. Karena dari beberapa LPM yang berjejaring itulah yang disebut PPMI. Mari berjejaring dan saling menguatkan !!!.

Kategori
Diskusi

Membunuh Tak Apa, Asal Dibuatkan Jalan Raya

Jika memahami emansipasi adalah sebuah tindakan yang boleh berjarak dari sikap kritis, maka kita sebenarnya tengah berbicara mengenai pembelengguan. Emansipasi hanya akan jadi dalil pembenaran atas pentingnya keterlibatan dalam sebuah program—seburuk dan seberapa menindas ia berjalan.

Kerangka berpikir seperti itu akan membuat emansipasi inheren dengan dogmatisme karena bentuk keterlibatan yang paling dasar soal urun konsep—dimana sikap kritis benar-benar dibutuhkan—tengah dibatasi. Emansipasi hanya akan dimaknai melalui keterlibatan secara dangkal belaka, pun dengan catatan harus bernada mendukung.

Penting kiranya mengingat hal ini, apalagi jika hendak menghitung seberapa jauh keterlibatan kita dengan segala hal yang tengah terjadi di sekitar. Entah itu pembangunan-pembangunan infrastruktur oleh negara, pengelolaan sumber daya alam di daerah-daerah, pengelolaan dana kampus, pembuatan jadwal ronda di kampung, atau bahkan dalam kerangka hubungan kerja antara sesama anggota organisasi/perhimpunan seperti Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia.

Diharap aktif bertindak atas nama emansipasi namun menolak ruang-ruang kritik, tak ubahnya perbudakan atas nama solidaritas. Saya kira, para penggiat pers mahasiswa merasakan betul maraknya pembatasan ruang-ruang kritik ini. Tema “Darurat Demokrasi dan Ruang Hidup” dalam agenda Seminar Nasional Dies Natalis PPMI ke-25 tentu tak jauh-jauh dari persoalan-persoalan yang dialami dan ditemukan para penggiat pers mahasiswa di berbagai wilayah.

Mulai dari soal pembubaran diskusi maupun seminar hingga pemolisian warga sipil karena pendapat kritisnya masih marak kita jumpai akhir-akhir ini. Dari catatan Aliansi Jurnalis Independen, pembubaran seminar tentang 1965 dan panggung kesenian di LBH Jakarta beberapa waktu lalu adalah contoh paling dekat. Catatan panjang sebelumnya, pembubaran aksi damai soal Papua, pembiaran polisi atas ormas-ormas yang melarang kegiatan keagamaan di Bandung, hingga pembubaran pemutaran film Pulau Buru Tanah Air Beta.

Perkara ruang yang tak pernah lepas dari penetrasi negara dan penetrasi kapital juga semakin terasa seiring program percepatan pembangunan pemerintah. Kedua perkara ini menjadi tantangan dan tak mungkin dihindari, sebab hasrat membangun dan membangun rezim lewat Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN)-nya tak bisa dibendung.

Ini bukan perkara rezim yang jahat atau tidak, karena pada dasarnya siapapun yang berkuasa pembangunan masih dan akan terus jadi prioritas atas nama kepentingan negara. Pada praktiknya, pembangunan-pembangunan itu tak pernah absen membuat risiko baru. Entah itu perkara sosial, ekonomi, lingkungan, maupun budaya masyarakat di sekitarnya.

Di sini, merefleksikan sejauh mana atau seperti apa emansipasi kita sebagai pers mahasiswa menjadi penting. Apalagi, akhir-akhir ini terjadi banyak hal yang rasanya betul-betul mengganggu. Satu dari sekian hal yang paling mengganggu adalah maraknya cara berpikir pembangunan yang mengafirmasi tindakan pelanggaran hak asasi manusia. Cara berpikir yang diam-diam telah diterima para akademisi, aktivis, seniman, atau siapapun mereka yang meski berbeda pandangan politik satu sama lain, sebenarnya berdasar dari cara pandang yang dangkal soal pemaknaan hak asasi manusia itu sendiri.

Kita semua tahu, Papua adalah satu dari sekian daerah yang punya masalah soal akses transportasi dan karenanya berimbas pada soal ekonomi—kebutuhan pokok yang tinggi. Masalah lain yang mengekor tentunya juga soal kesehatan dan pendidikan. Pemerintah kemudian melakukan percepatan pembangunan infrastruktur di pelbagai lini di Papua. Jalan raya, pelabuhan, bandara, dsb. Apakah ada perubahan signifikan, khususnya soal harga kebutuhan pokok? Tentu, kita perlu apresiasi soal itu.

Namun, ada satu hal yang perlu disadari dari narasi di atas, pembangunan-pembangunan itu tidak bisa digunakan sebagai argumentasi untuk menjawab segala persoalan yang ada di Papua. Apalagi soal hak asasi manusia.

Mengutip data yang dihimpun LBH Jakarta beserta jaringannya, sejak 2012 hingga 2016 4.198 orang Papua ditangkap karena melakukan aksi damai. 2016 menjadi tahun yang mencekam di mana sejak April hingga September saja 2.282 orang Papua sudah ditangkap. Tindak kekerasan dan intimidasi marak terjadi pada setiap penangkapan. Bahkan pembunuhan.

Lebih parah dari itu, impunitas diberikan kepada tersangka pembunuhan. Sebutlah Mayjen Hartomo yang ditunjuk menjadi Kepala Badan Intelijen Strategis (Kabais) pada 2016. Orang ini pernah dijatuhi hukuman 3 tahun 6 bulan karena terlibat dalam pembunuhan Theys aktivis Papua pada tahun 2003. Di Papua pelanggaran HAM menjadi masalah besar.

Buat apa harga murah, kalau besok-besok keluarga pulang sudah tak bernyawa? Buat apa dibuat pintar lewat sekolah kalau kemudian hanya akan dipenjara? Buat apa sembako murah kalau nyawa tak kalah murah? Kalau nyawa boleh dibeli dengan aspal sepanjang 4.325 km, 30 pelabuhan, dan 7 bandara, mungkin kita harus mengapresiasi penuh peran pemerintah di Papua.

Ini adalah argumen yang ingin sekali saya ungkapkan di hadapan diplomat Indonesia yang hadir di sidang PBB. Orang-orang ini dengan tegas menyangkal segala bentuk pelanggaran HAM yang terjadi di Papua dan kemudian mengelu-elukan pembangunan-pembangunan yang ada di sana.

Dari klarifikasi Moh. Apriawan yang di dalamnya juga menyinggung soal Papua, kemudian saya tahu bahwa perwakilan staf kepresidenan yang datang pada acara seminar PPMI itu hadir dengan narasi yang tidak jauh beda. Bahkan, dengan tanpa malu-malu, ia mengatakan bahwa pers mahasiswa harus berafiliasi (atau bermitra?) dengan pemerintah. Sesungguhnya, saya tak tahu betul perbedaan makna afiliasi atau bermitra. Yang saya tahu, keduanya adalah pilihan buruk. Seburuk argumentasi pembangunan di seminar “Darurat Demokrasi dan Ruang Hidup”.

Namun demikian, rasanya terlalu jumawa ketika pers mahasiswa menjadi pahlawan saat menolak tawaran bermitra pemerintah. Meski, ya, tidak ada jawaban yang lebih baik dari itu. Sudah sangat lebih dari cukup para elit politik menginfiltrasi masyarakat-masyarakat lewat kanal-kanal media massa yang mereka miliki.

Peran media pers mahasiswa adalah peran yang kecil bila dibanding media-media mainstream. Mulai dari soal sumber daya manusia, kekuatan ekonomi, hingga daya distribusi. Meski tentunya, tak juga harus merasa kecil karenanya. Mengingat bahwa kebanyakan media, lebih-lebih yang berani bersikap kritis, masih terpusat di ibukota; dan ada banyak persoalan terjadi di pelbagai pelosok daerah, pers mahasiswa selalu punya nilai tawarnya. Lagipula, terlepas dari soal terbatasnya sumber daya, laporan jurnalistik yang mampu menjawab pertanyaan masyarakat atas apa yang terjadi di sekitarnya, saya rasa akan tetap ditunggu.