Kategori
Siaran Pers

Pernyataan Sikap Aliansi Akademisi Indonesia terhadap Demonstrasi Mahasiswa

Mendukung proses demokrasi dan turut melawan berbagai bentuk penindasan adalah tugas utama kaum terpelajar. Karena itu, melihat betapa bermasalahnya negara ini diurus, kami mendukung aksi-aksi demonstrasi yang dilakukan oleh mahasiswa dan kelompok masyarakat lainnya beberapa hari belakangan ini di berbagai kota di Indonesia.

Selain itu, kami juga mengecam pendekatan kekerasan yang dilakukan aparat terhadap massa demonstran. Kami mendorong pihak kampus untuk bersuara tatkala peserta didiknya diberangus oleh alat negara secara sewenang-wenang, termasuk membawa masalah ini ke ranah hukum.

Ironisnya, di tengah-tengah situasi yang memanggil warga akademi untuk bersuara, watak anti-intelektual dan anti-demokrasi malah ditunjukkan oleh birokrasi universitas. Misalnya beberapa kampus yang mengancam akan menghukum mahasiswanya yang mengikuti demonstrasi. Beberapa kampus lain tertangkap basah main aman: memberi izin, tapi meminta mahasiswa tidak mengaitkan kegiatannya dengan nama kampus. Situasi ini diperparah dengan pernyataan Menristekdikti Mohamad Nasir yang mengancam akan memberi sanksi bagi rektor dan dosen yang mahasiswanya terlibat aksi demonstrasi.

Ini jelas merupakan upaya pembungkaman sikap kritis kaum terpelajar terhadap kekuasaan, termasuk juga bentuk pelanggaran atas hak sipil untuk berkumpul dan menyatakan pendapat. Padahal, demokrasi menuntut masyarakat untuk kritis dan bebas berekspresi dengan beragam bentuk, termasuk aksi turun ke jalan. Tanpa itu semua, demokrasi akan stagnan dan tereduksi menjadi jargon semata.

Untuk itu, kami, sekumpulan akademisi yang percaya dengan nilai-nilai dunia pendidikan, prinsip-prinsip keadilan, serta demokrasi, menyatakan sikap:

  1. Mendukung penuh aksi mahasiswa yang menuntut dibatalkannya beragam rancangan undang-undang yang melanggengkan ketidakadilan;
  2. Mengutuk keras tindakan represif aparat;
  3. Mengecam kampus yang membatasi dan menghukum mahasiswa yang berdemonstrasi;
  4. Mengecam Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi yang berupaya membungkam pendapat kalangan akademik dengan ancaman berupa Surat Peringatan (SP) terkait aksi demonstrasi mahasiswa; serta
  5. Mengajak seluruh akademisi agar mendayagunakan keahliannya untuk mendukung perjuangan mahasiswa.

Dengan ini kami juga menyatakan mendukung penuh 7 desakan Aliansi Masyarakat Sipil untuk Keadilan dan Demokrasi:

  1. Menolak RKUHP, RUU MINERBA, RUU Pertanahan, RUU Permasyarakatan, RUU Ketenagakerjaan, RUU KKS; mendesak pembatalan RUU KPK dan RUU SDA; mendesak disahkannya RUU PKS dan RUU PPRT;
  2. Batalkan pimpinan KPK pilihan DPR
  3. Tolak TNI & POLRI menempati jabatan sipil
  4. Stop militerisme di Papua dan daerah lain, bebaskan tahanan politik Papua
  5. Hentikan kriminalisasi aktivis
  6. Hentikan pembakaran hutan di Kalimantan & Sumatera yang dilakukan oleh korporasi, dan pidanakan korporasi pembakar hutan, serta cabut izinnya;
  7. Tuntaskan pelanggaran HAM, dan adili penjahat HAM; termasuk yang duduk di lingkaran kekuasaan.

Panjang umur perjuangan!

29 September 2019

Aliansi Akademisi Indonesia

Narahubung:

Andina Dwifatma (085355095699)

Justito Adiprasetio (08179083336)

Roy Thaniago (081808878910)

Penandatangan:

  1. Dr. Abdul Ghofar. M.Si (Universitas Ahmad Dahlan)
  2. Dr. Achmad Hidir (Universitas Riau)
  3. Adi Sutakwa S.TP., M.Sc (Universitas PGRI Yogyakarta)
  4. Aditya Adinegoro, S.Sos, MA (Universitas Gadjah Mada)
  5. Aditya Setiadi, S.Sos., M.Mus. (Universitas Indonesia)
  6. Adrian Perkasa, M.A (Universitas Airlangga)
  7. Agnes Harnadi (Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya)
  8. Agus Mediarta (Peneliti filmindonesia.or.id)
  9. Ahmad Rizky M. Umar, SIP, MSc (University of Queensland)
  10. Aisha R. Kusumasomantri, M.Sc. (Universitas Indonesia)
  11. Akbar Maraputra, S.Sn (Institut Kesenian Jakarta)
  12. Ali Minanto, MA (Universitas Islam Indonesia)
  13. Amrulloh, SE., M.Si (STIE Kesatuan)
  14. Anak Agung Istri Diah Tricesaria S.S., M.A (Peneliti Independen)
  15. Andina Dwifatma, S.I.Kom, M.Si (Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya)
  16. Andreas Harsono (Peneliti Independen)
  17. Annisa R. Beta, Ph.D (National University of Singapore)
  18. Dr. Annisa Triyanti, MSc
  19. Arina Mufrihah, M.Pd.I (IAIN Madura)
  20. Ario Sasongko, S.Sn., M.Hum (Institut Kesenian Jakarta)
  21. Asep Saeful Rohman, S.Sos., M.I.Kom (Universitas Padjadjaran)
  22. Aulia Dwi Nastiti, S.Sos, MA (Northwester University)
  23. Aurellius Teluma (Universitas Mataram)
  24. Ayu Diasti Rahmawati, MA (Universitas Gadjah Mada)
  25. Bagus Ajy Waskyto Sugiyanto, S.I.Kom.,M.A (Universitas Widya Mataram)
  26. Bambang Supriadi S,Sn (Institut Kesenian Jakarta)
  27. Dr (cand.) Barid Hardiyanto S.Sos, Msi (Universitas AMIKOM Purwokerto)
  28. Ben Laksana, S.IP, M.Ed. (International University Liaison Indonesia)
  29. Benazir Bona Pratamawaty, M.I.Kom (Universitas Padjadjaran)
  30. Bilal Dewansyah, SH, MH (PSKN Universitas Padjadjaran)
  31. Brahma Astagiri, SH. MH (Universitas Airlangga)
  32. Budi Sujatmiko, dr., M.Epid. (Universitas Padjadjaran)
  33. Chloryne Dewi, SH, LLM (Universitas Padjadjaran)
  34. Danang S.A.Lukmana, M.Hum (Peneliti Independen)
  35. Dedi Setiansah, S.H. (Peneliti Transparency International Indonesia)
  36. Detta Rahmawan, S.I.Kom, M.A (Universitas Padjadjaran)
  37. Devina Sofiyanti, M.Sn (Institut Kesenian Jakarta)
  38. Devy Dhian Cahyati, M.A. (Universitas Gadjah Mada)
  39. Dr. Diah Kusumaningrum
  40. Diatyka Widya, MA (FISIP Universitas Indonesia)
  41. Dina Septiani, PhD (Universitas Airlangga)
  42. Dini Suryani, MA (APS) (Hons.) (LIPI)
  43. Dr Rd Ahmad Buchari, SIP MSi (Universitas Padjadjaran)
  44. Dr. ir. Edwin Husni Sutanudjaja (Universiteit Utrecht
  45. Elan Lazuardi, M.A. (Peneliti Independen)
  46. Dr. Eric Sasono (King’s College London)
  47. Eunike G. Setiadarma, M.Sc (Northwestern University)
  48. Evelynd, M.Comn.&MediaSt (Universitas Padjadjaran)
  49. Fadly Rahman, M. A. (Universitas Padjadjaran)
  50. Fahmi Panimbang, M.A (Peneliti LIPS)
  51. Fathimah Fildzah Izzati, M.Sc (LIPI)
  52. Fathurrahman Arroisi, S.Hum, M.Si. (Universitas Indonesia)
  53. Fazar R. Sargani, M.Si (Peneliti Koperasi Purusha)
  54. Febrian, M.Si (Universitas Indonesia)
  55. Fikri Angga Reksa M.Sc (LIPI)
  56. Fitriani, PhD (Universitas Indonesia)
  57. Gabriela Laras Dewi Swastika, S.I.Kom., M.A. (Universitas Ciputra)
  58. Dr. Gani Ahmad Jaelani, DEA (Universitas Padjadjaran)
  59. Geger Riyanto S.Sos., M.Si (Heidelberg University)
  60. Geradi Yudhistira S.Sos., MA (Universitas Indonesia)
  61. Hadza Min Fadhli Robby, S.İP, M.Sc. (Universitas Islam Indonesia)
  62. Hani Yulindrasari, PhD (Universitas Pendidikan Indonesia)
  63. Haris Azhar SH, MA (Universitas Trisakti, Sekolah Tinggi Hukum Jentera Indonesia)
  64. Hariyadi, Ph.D (Universitas Jendral Soedirman)
  65. Hasti Nahdiana, MSc., PhD (Technology University of Munchen, Jerman)
  66. Dr. Hizkia Yosias Polimpung (Akademisi)
  67. Hellena Souisa (University of Melbourne)
  68. Hestu Prahara, M. Si (Universitas Bengkulu)
  69. Holy Rafika Dhona S.I.Kom., M.A (Universitas Islam Indonesia)
  70. Dr. I Ngurah Suryawan (Universitas Negeri Papua)
  71. Ibnu Nadzir, M,Sc. (LIPI)
  72. Ibrahim, S.Pt.,M.P (Universitas Madako Tolitoli)
  73. IGAK Satrya Wibawa, PhD (Universitas Airlangga)
  74. Ignatius Haryanto MHum (Peneliti Independen)
  75. Dr.Phil, Imam Ardhianto
  76. Indrayanto, S.Sn. (Institut Kesenian Jakarta)
  77. Inge Christanti,S.S.,M.Human Rights Practice (Pusat Studi HAM Univ. Surabaya)
  78. Intan Paramaditha, Ph.D. (Macquarie University)
  79. Dr. Iqra Anugrah (Center for Southeast Asian Studies, Kyoto University/Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial)
  80. Iva Kasuma, S.H., M.Si (Universitas Indonesia)
  81. Julia Suryakusuma MSc (Peneliti Independen)
  82. Juliani Prasetyaningrum, MSi (Universitas Muhammadiyah Surakarta)
  83. Justito Adiprasetio, M.A. (Universitas Padjadjaran)
  84. Jessy Ismoyo, M.Si (UKSW)
  85. Kamil Alfi Arifin M.A (Akademisi)
  86. Khidir M. Prawirosusanto, M.A (Universitas Gadjah Mada)
  87. Kunto Adi Wibowo, Ph.D (Universitas Padjadjaran)
  88. Latifa Zahra M.A (Universitas Widya Mataram Yogyakarta)
  89. Lukman Hilfi, dr., MM (Universitas Padjadjaran)
  90. Lukman Sutrisno ST., MSi (Utrecht University)
  91. Lusi Nuryanti, M.Si.(Universitas Muhammadiyah Surakarta)
  92. Luthfi Adam, M.A. (Northwestern University)
  93. Dr. M Rawa El Amady, M.A (Pasca-Sosiologii FISIP Unri)
  94. Margareta Widya Artanti, S.Sos., MAAPD (Peneliti Koalisi Seni Indonesia & The Australian National University)
  95. Mario Surya Ramadhan, MNatSecPol (LIPI)
  96. Dr. Masduki (Univ. Islam Indonesia)
  97. Masrifah, S.Psi., M.Si (Universitas Trunojoyo Madura)
  98. Mireille Marcia Karman, S.Sos., M.Litt (Universitas Katolik Parahyangan)
  99. Prof. Merlyna Lim (Carleton University)
  100. Mochamad Iqbal, M.I.Kom (Universitas Pasundan)
  101. Mochammad Fatkhurrohman S.IP, M.A (Universitas Gadjah Mada)
  102. Muhammad Arief Rahadian, S.Sos., M.Sc. (Universiteit Leiden)
  103. Mohammad Isfironi, Drs., MH (Universitas Ibrahimy)
  104. Muhammad Arief Rahadian, S.Sos., M.Sc. (Universiteit Leiden)
  105. Muhamad Heychael, M.Si (Universitas Multimedia Nusantara)
  106. Muhammad Arief Rahadian, S.Sos., M.Sc. (Universiteit Leiden)
  107. Muhammad Fachrurrazi, S.T, M.T (Institut Teknologi Bandung)
  108. Muhammad Jamiluddin Nur, S.Pd.,M.Ikom (Universitas Mataram)
  109. Muzayin Nazaruddin, MA. (Universitas Islam Indonesia)
  110. Naufal Riadhi Yusuf (Peneliti LAPAN)
  111. Nike Mutiara Fauziah. S.AP., M.A (Universitas Tidar)
  112. Noveri Faikar Urfan, S.I.Kom., M.A (Universitas Teknologi Yogyakarta)
  113. Nunik Maharani Hartoyo S.Sos., M.Comn&MediaSt (Universitas Padjadjaran)
  114. Oki Iqbal Khair, S.E. M.M (Universitas Pamulang)
  115. Padel M Rallie R, M. Hum (Peneliti Independen)
  116. Perdana Roswaldy (Northwestern University)
  117. Puji Prihandini S.Ikom.,M.Ikom (Universitas Padjadjaran)
  118. Rachmad Adi Riyanto, S.TP, M.Sc (Gifu University)
  119. Rara Sekar Larasati, S.ip, MA (Peneliti Independen)
  120. Dr. RB. Armantono, M. Sn
  121. Rianne Subijanto, Ph.D (City University of New York)
  122. Richard F. Labiro, S. Ip, M. AP (Universitas Tadulako)
  123. Rika Theo, PhD (Universitas Utrecht)
  124. Rima Febriani, M.Hum (Universitas Padjadjaran)
  125. Rizky Susanty, S.Psi., M.Si (Universitas Muhammadiyah Malang)
  126. Rohaya Said, S.Sn (Institut Kesenian Jakarta)
  127. Roy Thaniago, S.Sn., M.Sc. (Peneliti independen)
  128. Sam Sarumpaet M.Sn (Institut Kesenian Jakarta)
  129. Sandi Jaya Saputra S.I.Kom., M.Sn (Universitas Padjadjaran)
  130. Sari Gumilang, M. Hum. (FIB Universitas Indonesia)
  131. Satria Unggul Wicaksana Prakasa, SH.,MH (PUSAD Universitas Muhammadiyah Surabaya)
  132. Satrio Dwicahyo, S.S., M.Sc (Universiteit Leiden)
  133. Sayfa Auliya Achidsti, SIP, MPA. (Universitas Sebelas Maret)
  134. Dr. St. Sunardi (Akademisi)
  135. Dr. Seno Gumira Ajidarma (Akademisi)
  136. Sindhunata (Northwestern University)
  137. Sofyan Ansori (Northwestern University)
  138. Subkhi Aziz, S.T, .M.Sc (University of Leeds)
  139. Sulfikar Amir, PhD. (Nanyang Technological University)
  140. Suryana Paramita, S.Sn (Institut Kesenian Jakarta)
  141. Drs. Stephen Suleeman, MATh., Th.M.
  142. Dr. Tamrin Amal Tomagola (Peneliti Independen)
  143. Tata Kartasudjana, S.Sn, M.Ds (Universitas Pasundan)
  144. Ulmi Marsya, M.A (Universitas Muhammadiyah Riau)
  145. Ulya Niami Efrina Jamson, MA (FISIPOL Universitas Gadjah Mada)
  146. Vina Adriany, Ph.D (Universitas Pendidikan Indonesia)
  147. Wahid Chandra Daulay, S.IP., M.IntR. (Peneliti Independen)
  148. Wahyudi Akmaliah M.Hum (LIPI)
  149. Wasilatur Rohmaniyah, M.A. (IAIN Madura)
  150. Wildan Faisol M.Si (Universitas Al Azhar Indonesia)
  151. Wisnu Prasetya Utomo, MA (Peneliti Independen)
  152. Yoes C. Kenawas (Peneliti Independen)
  153. Yogi Febriandi, M. Sos (IAIN Langsa)
  154. Dr. Yogi M Yusuf S.I.Kom., M.Pd
  155. Zaki Habibi, M.Comms. (Universitas Islam Indonesia)
Kategori
Siaran Pers

AJI Gelar Pelatihan Pengecekan Fakta di 20 Kota

Jakarta — Aliansi Jurnalis Independen (AJI) bekerja sama dengan jaringan Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia (PPMI) dan beberapa kampus, menyelenggarakan Halfday Workshop Hoax Busting and Digital Hygine. Kegiatan ini diikuti lebih dari 1000 peserta dan digelar serentak di 20 kota pada Sabtu, 21 September 2019.

Ketua Umum AJI Abdul Manan mengatakan, kegiatan ini dilatarbelakangi oleh fenomena sangat banyak dan cepatnya penyebaran informasi di era digital, terutama melalui media sosial. Muatan dari informasi itu beragam. Mulai dari informasi yang bermanfaat dan dibutuhkan publik hingga informasi palsu (hoaks), disinformasi, atau kabar bohong.

Penyebaran informasi palsu berupa teks, foto hingga video itu memiliki tujuan beragam. Ada yang sekedar untuk lelucon, tapi ada juga yang mengandung kepentingan politik atau ekonomi. “Yang merisaukan, hoaks ini menyebar sangat mudah cepat di sosial media. Tidak sedikit publik yang serta merta mempercayainya,” kata Abdul Manan di Jakarta, Sabtu (20/9).

Bukan hanya publik yang mempercayai dan menyebarluaskan informasi palsu tersebut. Terkadang media pun turut mendistribusikannya. Entah karena ketidaktahuan, sekadar ingin menyampaikan ‘informasi’ secara cepat, atau memang sengaja untuk tujuan-tujuan tertentu. Mudahnya penyebaran informasi palsu itu dipicu oleh banyak sebab, termasuk karena kurangnya pemahaman dan pengetahuan tentang apa itu informasi palsu dan bagaimana cara menangkalnya.

Situasi semacam itulah yang mendorong Aliansi Jurnalis Independen (AJI), dengan dukungan Internews dan Google News Initiative, mengadakan halfday basic workshop serentak di 20 kota ini. Kegiatan ini diperuntukkan bagi masyarakat umum, mahasiswa, dan akademisi, agar bisa melakukan pengecekan fakta secara mandiri.

Materi yang diberikan dalam pelatihan ini meliputi teknik mendeteksi informasi palsu, selain bagaimana berselancar di dunia digital yang sehat dan aman. “Salah satu tujuan praktis dari kegiatan ini adalah agar masyarakat dapat melakukan verifikasi sendiri terhadap informasi yang beredar di dunia digital, khususnya media sosial,” kata Manan.

Sekretaris Jenderal Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia (PPMI) Rahmad Ali mengatakan, kolaborasi dengan AJI ini dimaksudkan untuk meningkatkan kemampuan mahasiswa, khususnya aktivis pers mahasiswa, dalam memfilter informasi. Harapan tertingginya adalah mendorong mahasiswa untuk ikut menjadi penangkal hoaks. “Kegiatan ini diharapkan dapat meningkatkan kapasitas dan keterampilan persma dalam memanfaatkan tools pengecekan fakta sehingga bisa terlibat dalam kampanye memerangi hoaks,” ujarnya.

Kegiatan workshop ini digelar serentak di kota-kota berikut: Surabaya, Jember, Jombang, Pamekasan, Malang (Jawa Timur); Pekalongan (Jawa Tengah); Medan (Sumatera Utara), Mataram (Nusa Tenggara Barat); Makassar (Sulawesi Selatan); Palu (Sulawesi Tenggah); dan Banjarmasin (Kalimantan Selatan).

Dalam pelaksanaan workshop ini AJI bekerja sama dengan pers mahasiswa jaringan PPMI dan perguruan tinggi. Persma yang menjadi partner adalah Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Teknokra, Universitas Lampung dan Asosiasi Pers Mahasiswa Sumatera. Sedangkan perguruan tinggi yang menjadi mitra AJI dalam kegiatan ini masing-masing: Universitas Al Azhar, Universitas Sahid (Jakarta); Universitas Bunda Mulia, Serpong (Tangerang Selatan); Fakultas Ilmu Komunikasi (Universitas Panglima Soedirman, Purwokerto, Jawa Tengah); Institut Agama Islam Negeri Parepare (Sulawesi Selatan); Sekolah Tinggi Ilmu Keguruan dan Ilmu Pendidikan (STKIP) Aceh Tengah; Universitas Islam Negeri Sultan Thaha (Jambi); dan Universitas Dehasen (Bengkulu).

Untuk kegiatan Halfday Workshop Hoax Busting and Digital Hygine ini, ada lebih dari 2000 peserta dari 20 kota yang mendaftarkan diri. Pada tahun 2019 ini, AJI menargetkan bisa melatih 3000 pengecek fakta secara nasional. Dalam program yang sama tahun 2018 lalu, AJI telah melatih 2622 pengecek fakta dari unsur jurnalis, mahasiswa dan akademisi.

Narahubung
Abdul Manan, Ketua Umum AJI (+62 818-948-316)
Rahmad Ali, Sekjen PPMI (+62 852-2511-2626)

Catatan: Siaran pers ini sudah lebih dulu ditayangkan di Instagram dan Twitter PPMI Nasional.

Kategori
Siaran Pers

Klarifikasi dan Permintaan Maaf

Yorrys Th Raweyai menulis buku Mengapa Papua Ingin Merdeka, diterbitkan pertama kali pada tahun 2002 oleh Presidium Dewan Papua. implikasi dari buku setebal 166 halaman ini sempat terbit di website persmahasiswa.id dan ditulis secara ‘hard’ bertajuk “Jalan Damai dari Kerusuhan Orang-Orang Papua” yang sempat tayang beberapa saat.

Secara pribadi, saya menilai tulisan tersebut sah-sah saja tampil di media independen sekelas persmahasiswa.id, alasannya, kanal ini merupakan tempat bagi manusia-manusia yang ingin menuliskan kegelisahannya. Tulisan Wahyu itu sendiri adalah semi feature yang diopinikan, walau agak njlimet saya akan membahasakan seperti itu. Bagi orang awam mungkin akan kaget membaca lead yang begitu memukul dan rasis. Terlebih, situasi dan  isu saudara kita di Papua sedang sangat mudah untuk di goreng.

Berdasarkan penilaian subjektif saya, ide tulisan tersebut sebenarnya sangat mulia, akan tetapi cara menuliskannya yang masih keliru dan disituasi yang tidak tepat. Wahyu dengan satir ingin menyindirkan kita untuk merenungkan kembali bagaimana sebenarnya Papua itu ditindas dan diperlakukan secara rasis. Logika dari oknum rasis itulah yang kemudian ia pakai untuk menganalisis persoalan yang tengah dihadapi teman-teman Papua.

“Saya menulis tentang Papua berdasarkan perspektif orang yang rasis. Jadi saya coba mengeksplore pemikiran rasisme tapi saya benturkan dengan kondisi sosial yang ada,” klarifikasi Wahyu, Kamis (22/8/2019

Mengapa Tulisan Itu Ditarik?
Ini menjadi perdebatan panjang di segenap keredaksian persmahasiswa.id, sebagian menuduh kami kecolongan sebagian yang lain beranggapan masyarakat kita literasinya masih kurang sehingga belum siap menyerap isi tulisan ini. Ada yang lebih unik lagi, saya mencabut tulisan tersebut dianggap karena ada intervensi alumni dan seterusnya.

Lantaran itu, penulisnya sendiri beralasan “orang papua sendiri tidak tersinggung kok”. Argumentasi tersebut berlandaskan pada postingan  di halaman facebook milik Victor Yeimo. Terlebih, Pelle Ketua Ikatan Pelajar Mahasiswa Papua Kota Malang yang menjadi teman baik penulis sendiri tidak tersinggung

Selanjutnya argumentasi liar lain bermunculan, terakhir ada yang mempertanyakan independensinya PPMI sebagai penanggungjawab keredaksian Persma.org, dicontohkanlah suarausu.co yang tetap mempertahankan tulisan Yael Stefani hingga berujung pada sidang PTUN dan seterusnya

Dari puluhan argumentasi tersebut saya ingin menjawab dengan satu argumentasi saya yang tidak argumentatif berikut ini.
“Tulisan itu dicabut karena belum semua siap menerima tulisan itu, mungkin karena imbas dari razia buku yang kian digalakkan sehingga literasi kita kurang,

Alasan kedua adalah menulis mengandung unsur SARA tidak layak untuk tayang di Persma.org, benar adanya jika ada yang menuduh saya kecolongan

Untuk itu, saya Rahmad Ali atas nama Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia (PPMI) dan segenap keredaksian meminta maaf kepada seluruh rakyat Indonesia khususnya kepada saudara kita teman-teman Papua yang telah tersinggung karena tulisan kami

Jika tulisan ini belum mampu menjawab ketersinggungan seluruh pembaca di seluruh tanah air, terkhusus untuk teman-teman Papua, redaksi Persma.org siap menampung tulisan teman-teman.

Silahkan jawab tulisan ini dengan tulisan teman-teman sendiri, kirimkan ke redaksi@persmahasiswa.id dan jangan ada unsur SARA lagi!

Rahmad Ali

Sekretaris Jenderal PPMI Nasional

Kategori
Siaran Pers

Pemecatan 18 Pengurus Suara USU seperti Cuci Gudang

Cerpen karya Yael S. Sinaga yang menurut Rektorat USU mengandung unsur pornografi dan kampanye LGBT dibedah oleh PPMI DK Mataram. Menghadirkan dua narasumber, yaitu dosen pendidikan bahasa Indonesia FKIP Universitas Mataram (UNRAM) Johan Mahyudi dan Sastrawan NTB, Kiki Sulistiyo. Diskusi sekaligus bedah cerpen ini diadakan pada Jumat kemaren (29/03).

            Diskusi yang juga disiarkan secara langsung di media sosial instagram PPMI DK Mataram ini menjadikan Kiki Sulistiyo sebagai penyaji pertama. Ia memulainya dengan menerangkan bahwa sepanjang sejarah ada banyak karya sastra yang menuai kontroversi baik di Indonesia maupun di luar negeri. Sebagai contoh adalah novel berjudul ‘Langit Makin Mendung’ karya Kipandjikusmin yang terbit di majalah  Sastra pada Agustus 1968. Karya tersebut menuai kontroversi karena kisahnya menggambarkan turunnya Muhammad bersama Jibril untuk menyelidiki sebab sedikitnya Muslim yang masuk surga. Di Sumatera Utara, cerpen ini dilarang terbit.

           Karya Yael S. Sinaga justru berbeda, “bagaimana cerpen yang begitu buruk bisa memicu hal sedemikian luas?” Tanya Kiki. Jika dikaji dari segi sastra ada banyak hal yang tidak masuk akal dari segi cerita maupun bahasa. Cerita ini adalah cerita yang sinetronik dengan karakter yang hitam putih, dimana tokoh protogonis sangat baik sementara tokoh antagonis akan sangat jahat. Penulis pun terkesan tidak paham dalam penggunaan bahasa karena terjadi banyak kesalahan baik secara tekstual maupun kontekstual. Dalam hal tekstual, misalnya penggunaan kalimat ‘hancur berkeping-keping tanpa sisa’, “kalau sudah hancur berkeping-keping memang ada sisanya?” Tanyanya. Dalam hal kontekstual, penulis ingin memasukkan semua isu-isu besar kedalam cerpennya dan merasa terbebani dengan hal ini seperti represi pemerintah, isu LGBT dan perbedaan agama.

           Johan Mahyudi menyepakati apa yang diutarakan Kiki. “Cerpen ini ditulis buru-buru, belum sempat dirapikan tetapi idenya memang sensitif,” ucapnya. Johan menambahkan jika itu berkaitan dengan LGBT, satu paragraf saja bisa digoreng tulisannya. Tetapi sebenarnya, jika ini dibiarkan tidak akan ada apa-apa. Rektor memang harus melaksanakan kewajibannya daripada dipanggil menteri, itu justru yang berbahaya. “Namun, memecat semuanya itu seperti cuci gudang saja,” tambahnya. Baik ia maupun Johan menyepakati bahwa tindakan yang diambil oleh Rektor itu terlalu responsif.

           Diskusi ini berakhir dengan sesi tanya jawab. Dalam sesi ini, Wahyu, salah satu peserta diskusi beranggapan bahwa dalam cerpen tersebut tidak terdapat unsur pornografi ataupun dukungan kepada LGBT. Menanggapi pernyataan Wahyu, Kiki Sulistiyo pun sepakat.

            Berasarkan hasil diskusi di atas, maka PPMI DK Mataram menyatakan sikapuntuk menuntut Rektor USU untuk memikirkan kembali keputusannya dalam memecat 18 anggota Suara USU dengan memperhatikan beberapa hal:

  1. Tidak ditemukannya unsur pornografi maupun LGBT yang menjadi alasan pemecatan 18 pengurus Suara USU dalam diskusi bersama Kiki Sulistiyo dan Johan Mahyudi.
  2. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 9 tahun 1998 tentang Kemerekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum.
  3. Undang-Undang nomor 12 tahun 2012 tentang Penidikan Tinggi pasal 9 ayat 1 serta Peraturan Pemerintah no 16 tahun 2014 tentang Statuta Universitas Sumatra Utara pasal 1 ayat 1 tentang kebebasan Akademik.

Kategori
Siaran Pers

Rektor Pecat Seluruh Anggota LPM Suara USU

Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Suara USU mendapat ancaman pencabutan izin penerbitan dari Runtung Sitepu, Rektor Universitas Sumatera Utara (USU). Ancaman itu disebabkan oleh Cerita Pendek berjudul “Ketika Semua Menolak Kehadiran Diriku di Dekatnya” yang diunggah di website suarausu.co.

Runtung menganggap cerpen itu mendukung kelompok LGBT (Lesbian, Gay, Biseksual, dan Transgender). Selain ancaman pencabutan izin penerbitan, website suarausu.co sempat ditutup oleh Runtung. Seperti yang dilansir tempo.co Runtung mengatakan, “Jadi kesempatan pertama sampai di kampus, akan saya cabut SK nya itu. Tunggu balik ke Medan hari Senin. Websitenya juga sudah kami matikan”, kata Runtung dalam tempo.co (21/03).

Pada sabtu (23/03) LPM Suara USU sudah memperbaiki websitenya yang sempat dimatikan. Namun LPM Suara USU tidak mendapatkan akses liputan ke rektorat sampai saat ini.Widiya Hastuti, Pemimpin Redaksi LPM Suara USU mengatakan salah satu reporter yang ditolak waktu liputan bernama Pieter.

Waktu itu (21/03) Pieter ingin meliput tentang masa studi mahasiswa di USU. Pieter ingin mewawancarai Yasin Ginting, Kepala Biro Akademik USU. Namun Yasin menolak karena menganggap LPM Suara USU sudah bubar.

Atas kejadian ini, PPMI menilai bahwa tindakan Runtung Sitepu selaku Rektor Universitas Sumatera Utara adalah tindakan yang tidak mencerminkan kebebasan mimbar akademik. Runtung Sitepu telah melakukan tindakan sewenang-wenang berupa penghentian website suarausu.co dan mengancam pencabutan izin penerbitan LPM Suara USU. Tindakan Runtung Sitepu ini tidak didasari oleh telaah secara akademis melainkan atas dasar tuduhan semata.

Maka dari itu PPMI mendukung LPM Suara USU untuk mempertahankan hak penerbitan serta hak mengakses informasi sebagai Lembaga Pers Mahasiswa. PPMI menolak tindakan sewenang-wenang terhadap LPM Suara USU dan menuntut Runtung Sitepu untuk melindungi kebebasan mimbar akademik di Universitas Sumatera Utara.

Kasus ini terus bergulir dengan pemanggilan 17 pengurus Suara Usu, yaitu Yael S Sinaga, Putra P Purba, Nadiah A Simbolon, Widya Hastuti, Mayang S Sirait, Chalista P Nadila, M Thariq Ridha, Surya Simanjuntak, Rimma H Nababan, Randa H Habib, Selistio OM Sitorus, Teuku K Huda, Putri CN Togatorop, Gres MT Tarigan, Annisa O Sheren, Elshanti A Hadan dan Sagitarius Marbun. Surat pemaggilan ini ditandatangani oleh Ka Humas USU.

Hasil Rapat Rektor USU dan LPM Suara USU terkait Cerpen yang dituduh memuat unsur pornografi dan LGBT pada senin 25 Maret 2019 di Ruang Rapat Senat Lt. 2 Biro Rektor USU:

Runtung Sitepu selaku Rektor Universitas Sumatera Utara memecat seluruh anggota Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Suara USU. Runtung Sitepu berencana membentuk panitia dan merekrut anggota baru untuk LPM Suara USU.

Runtung menilai Cerpen “Ketika Semua Menolak Kehadiran Diriku di Dekatnya” yang ditulis Yael Stefany memuat unsur pornografi dan mengkampanyekan LGBT. Menurut Runtung, “LPM Suara USU membawa nama USU, sehingga ketika Cerpen itu terbit maka LPM Suara USU telah mencemarkan nama baik USU.”

Runtung mengatakan kalau Suara USU bukanlah Lembaga Pers Mahasiswa melainkan Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) di USU. Runtung juga mengatakan kalau LPM Suara USU sudah tidak sesuai dengan Visi Misi USU.

Dalam rapat itu, seluruh gawai anggota LPM Suara USU dikumpulkan oleh pihak Rektorat supaya rapat steril dan tidak ada yang merekam pembicaraan ketika rapat. Bahkan yang berbicara selama rapat itu hanya Rektor. LPM Suara USU tidak diberi kesempatan untuk berpendapat.

Pemecatan anggota LPM Suara USU tidak disertai Surat Keputusan, masih lisan saja. Rektor juga menyuruh anggota LPM Suara USU untuk meninggalkan sekretariat LPM Suara USU dalam waktu dua hari.

Atas pemecatan anggota LPM Suara USU, PPMI menuntut Rektor USU untuk memikirkan kembali keputusannya dengan memperhatikan beberapa peraturan:

1. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 9 tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum.

2. Undang-Undang nomor 12 tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi pasal 9 ayat 1 serta Peraturan Pemerintah No 16 tahun 2014 tentang Statuta Universitas Sumatera Utara pasal 15 ayat 1 tentang Kebebasan Akademik.

3. Keputusan Rektor USU no. 1177/H5.1.R/SK/KMS/2008 tentang Pedoman Perilaku Mahasiswa Universitas Sumatera Utara BAB IV Penegakan Pedoman Perilaku Pasal 14 ayat 4 poin (c) Setiap mahasiswa diperlakukan sama tanpa diskriminasi dalam proses pemeriksaan pelanggaran Pedoman Perilaku. Serta poin (d) Mahasiswa memiliki hak untuk melakukan pembelaan pada setiap proses pemeriksaan.

4. Peraturan Rektor Universitas Sumatera Utara Nomor 03 Tahun 2017 Tentang Peraturan Akademik Program Sarjana Universitas Sumatera Utara pasal 57 ayat 1 poin (a) tentang Hak Mahasiswa yaitu, “Mendapatkan pelayanan pendidikan sesuai dengan bakat, minat dan kemampuannya”.

Kategori
Siaran Pers

Pers Mahasiswa Surabaya dukung Pengesahan RUU PKS

Dalam rangka memperingati IWD (International Women Day), PPMI Dewan kota Surabaya bersama LPM Retorika (www.retorika.id) mengadakan diskusi bertajuk “Polemik RUU PKS” (09/03). Hadir sebagai pemantik, Poedjiati Tan (Cofounder conde.co) dan Anindya Sabrina (Koordinator Merah Muda Memudar).

Diskusi ini merupakan respon Pers Mahasiswa Surabaya dalam menyikapi sebuah kebijakan publik. Sebagaimana dijelaskan oleh Qulub, selaku Sekretaris Jenderal PPMI Dewan Kota Surabaya bahwa, “diskusi ini bertujuan untuk menambah wawasan teman-teman LPM yang berada dibawah naungan PPMI Dewan Kota Surabaya, supaya tidak terbatas membahas seputar isu kampus  saja. Tapi harus berani keluar dari zona aman, dan mulai menjalankan fungsi pers yang lebih luas yaitu sebagai kontrol sosial dimasyarakat. Dalam konteks ini RUU PKS merupakan sebuah produk kebijakan pemerintah yang harus disikapi. Meskipun kita belum bisa memberi dampak yang signifikan namun paling tidak dapat memberitakan dan dapat berkontestasi dalam dinamika opini publik.”

Diskusi dibuka dengan pemaparan singkat dari Pemantik terkait urgensi disahkannya RUU PKS. Poedji menjelaskan bahwa RUU PKS ini mengatur apa yang belum diatur dalam landasan hukum sebelumnya terkait kasus kekerasan seksual. Dilanjutkan dengan pemaparan dari Anin. “Kalau kita mengacu lebih jauh akar masalahnya ada pada KUHP kita, kita tidak bisa munafik kalau payung hukum kita merupakan warisan belanda yang bersifat sangat Patriarkis,” jelasnya.

Ketika ditanya bagaimana pendapat para pemantik terkait anggapan beberapa tokoh publik bahwa RUU PKS merupakan Agenda Setting  dari kelompok LGBT, Feminis, dan Liberal, Poedji menanggapi dengan senyum. “Ya kalau memang itu dianggap agenda terselubung kelompok liberal, feminis, dan LGBT kira-kira poin mana, ayat berapa yang menjelaskan tentang itu. Kalau memang mau dialog terbuka kami berani, biar gak hanya Commen Sense. Kita ini berjuang untuk kebaikan bersama tapi malah dianggap macam-macam,” tambahnya. Anin pun menjelaskan bahwa apa yang kita (kelompok feminis) perjuangkan itu sudah sangat realistis, bayangkan jika kita masih kukuh dengan budaya lama. Mana ada perempuan yang berpendidikan tinggi, mana ada perempuan yang duduk diparlemen. “Kenapa istilah feminis ini menjadi sangat haram ditelinga masyarakat kita?” tanyanya.

Diskusi ditutup dengan Closing Statement dari masing-masing pemantik diskusi. Poedji menjelaskan bahwa adanya RUU PKS kita punya payung hukum yang menjadi pegangan, dimana Perempuan yang menjadi korban bisa dipulihkan. Hal ini diafirmasi oleh Anin, bahwa tanpa RUU PKS ini, korban rentan diskriminasi, apalagi kalau korban disebarkan foto Nude-nya (Revenge Porn).

Dari hasil diskusi tersebut menghasilkan kesepakatan bahwa Pers Mahasiswa Surabaya bersikap untuk mendukung pengesahan RUU PKS, dengan 5 (lima) pertimbangan, antara lain yaitu:

  1. Angka kekerasan Terhadap Perempuan di Indonesia dari tahun ke tahun terus meningkat, bahkan sejak tahun 2012 Komnas Perempuan menyatakan bahwa kondisi Indonesia mengalami darurat kekerasan seksual. Jumlah kekerasan seksual terhadap perempuan yang dilaporkan dan ditangani Komnas Perempuan selama tahun 2017 berjumlah 335.062 kasus. Jumlah tersebut naik drastis dari tahun sebelumnya yang berjumlah 259.150 kasus.
  2. Kami melihat bahwa Penyelesaian kasus kekerasan seksual selama ini, lebih banyak merugikan korban perempuan. Contoh kasus yang mungkin masih sangat terngiang dibenak kita adalah Agni (bukan nama sebenarnya) mahasiswi UGM dan Baiq Nuril pegawai honorer di SMAN 7 NTB. Dalam kasus Agni masalah diselesaikan dengan jalur damai, sedangkan Baiq Nuril lebih miris. Dia dinyatakan bersalah oleh MA (Mahkamah Agung) sehingga divonis hukuman 6 (enam) bulan penjara dan denda Rp 500 Juta.
  3. Tidak ada sistem pemidanaan dan penindakan terhadap beberapa jenis kekerasan seksual. Dalam RUU PKS, terdapat sembilan jenis tindak pidana kekerasan seksual antara lain Pelecehan Seksual, Eksploitasi Seksual, Pemakasaan Kontrasepsi, Pemaksaan Aborsi, Perkosaan, Pemaksaan Perkawinan, Pemaksaan Pelacuran, Perbudakan Seksual, dan Penyiksaan Seksual. Tidak ada pengaturan yaang komperhensif tentang 9 (sembilan) jenis tindak pidana tersebut dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku.
  4. Dalam RUU PKS, Korban dan keluarga akan mendapat dukungan proses pemulihan dari negara. Hal ini lebih memperhatikan kebutuhan korban pasca mengalami pelecehan seksual. Karena pelecehan seksual tidak hanya membuat korban terluka secara fisik, tetapi juga psikis.
  5. Dalam RUU PKS, Pelaku kekerasan seksual akan mendapat rehabilitasi. Hal ini akan diberlakukan bagi pelaku kekerasan seksual non-fisik dan pelaku berusia dibawah 14 tahun.

Output dari diskusi ini adalah pernyataan sikap Persma Surabaya, yang akan dibuat dalam bentuk Pers Release dan aksi simbolik tanda tangan diatas benner putih yang didalamnya terdapat logo PPMI Dewan Kota Surabaya sebagai bentuk dukungan agar RUU PKS segera disahkan.

Kategori
PPMI di Media Siaran Pers

Siaran Pers PPMI DK Yogyakarta : Agni Belum Rampung, Jurnalis Mahasiswa Berpotensi Dikriminalisasi

Kasus pemerkosan mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (Fisipol) Universitas Gadjah Mada di lokasi Kuliah Kerja Nyata (KKN) hingga kini belum menemukan titik terang. Bertempat di Maluku pada 30 Juni 2017, Agni (bukan nama sesungguhnya) selanjutnya disebut penyintas, diperkosa oleh pelaku berinisial HS. Kabar ini sempat mencuat ke publik pada akhir 2018 melalui tulisan Citra Maudy di Balairungpress.com dengan judul “Nalar Pincang UGM atas Kasus Pemerkosaan.” Kasus yang diterbitkan oleh BPPM Balairung ini menyampaikan kronologi kekerasan seksual yang dialami penyintas, hingga beberapa upaya penyintas untuk mendapatkan perlindungan kepada UGM sebagai pihak penyelenggara KKN sekaligus tempat ia belajar. Namun, tidak segera mendapat titik terang.

Sebelum berita di BPPM Balairung muncul ke permukaan, Penyintas secara pribadi menemui Rifka Annisa (kelompok pejuang hak perempuan dan anak) untuk meminta pendampingan. Penyintas mengalami depresi berat. Penyintas juga meminta pendampingan ke layanan Unit Konsultasi Psikologi (UKP) UGM kemudian dirujuk ke Rumah Sakit Akademik (RSA) UGM.

Dampak Psikologi penyintas diperparah dengan kabar pada Oktober 2017 penyintas mendapati nilai Kuliah Kerja Nyata (KKN) miliknya C, berbagai upaya ia lakuka untuk meminta kejelasan atas nilainya. Kemudian Penyintas didampingi Rifka Annisa bertemu Rektorat Fisipol dan Direktorat Pengabdian kepada Masyarakat (DPkM) UGM guna meminta keterangan terkait pemerkosaan yang dialaminya.

UGM merespon dengan membentuk Tim Investigasi untuk menyelediki atas kasus pemerkosaan yang menimpa penyintas. Beberapa rekomendasi diberikan oleh tim investigasi seperti yang dimuat dalam berita BPPM Balairung pada 20 April 2018. Kemudian 20 Juli 2018 Tim Investigasi dibubarkan setelah menyerahkan laporan beserta rekomendasi kepada rektor.

Pada 30 Juli 2018 Penyintas mendapat kabar bahwa HS (pelaku) melaksanakan sidang pendadaran skripsi tanggal 06 Agustus 2018. Sehingga hal ini sangat kontradiktif karena Rektor UGM menjanjikan bahwa nilai KKN HS akan ditahan sampai kasus selesai.

Setelah beberapa upaya yang dilakukan penyintas, nilai KKN penyintas dipulihkan menjadi A/B. Pada awal November 2018 BPPM Balairung menerbitkan tulisan mengenai kronologi kejadian yang dialami penyintas. Kemudian penyintas mendapatkan surat berisi instruksi tindak lanjut hasil Tim Evaluasi disusul undangan secara lisan untuk menghadiri penandatanganan permohonan maaf oleh HS di Rektorat UGM pada 17 Desember 2018, tetapi dibatalkan secara sepihak.

Melalui siaran pers Rifka Annisa dan tim kuasa hukum kita agni juga dapat diketahui, bahwa masa kerja Komite Etik berakhir pada 31 Desember 2018. Penyintas belum mendapatkan salinan keputusan dan rekomendasi dari Komite Etik. Selain itu, UGM tidak memberikan pendampingan atau biaya pendampingan secara psikologi terhadap penyintas. Menurut keterangan yang bersangkutan penyintas hingga saat ini menggunakan biaya pribadi untuk memulihkan psikologinya.

Hingga tulisan ini dimunculkan penyintas belum juga mendapatkan hak- hak yang seharusnya ia dapatkan.

Kronologi Pemanggilan Anggota BPPM Balairung

Pada tanggal 28 Desember 2018, Citra Maudy selaku jurnalis BPPM Balairung, mendapatkan surat panggilan oleh Polda DIY. Surat tertanggal 26 Desember 2018 tersebut dikirimkan ke Fisipol UGM, fakultas tempat Citra belajar. Dalam surat tersebut, dijelaskan bahwa Citra dipanggil untuk dimintai keterangan sebagai saksi dugaan tindak pidana perkosaan, sebagaimana yang ia tulis dalam Laporan Utama “Nalar Pincang UGM atas Kasus Perkosaan” yang diterbitkan BPPM Balairung pada 05 November 2018. Perkara tersebut dilaporkan oleh Drs. Arif Nurcahyo yang belakangan diketahui sebagai Ketua Pusat Keamanan, Keselamatan, Kesehatan Kerja, dan Lingkungan (PKKKKL) UGM per 09 Desember 2018.

Segera setelah mendapatkan surat tersebut, Citra berkoordinasi dengan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jogja dan juga beberapa pihak. Dengan berbagai pertimbangan, ia pun memenuhi surat panggilan yang terjadwal 03 Januari 2019 itu pada 07 Januari 2019 bersama kuasa hukumnya, Yogi Zul Fadhli yang merupakan Direktur LBH Yogyakarta. Citra Maudy tiba di kantor Polda Provinsi D.I Yogyakarta sekitar pukul 13.30 WIB. Panggilan serupa juga dilakukan terhadap Thovan Sugandi, penyunting artikel tersebut. Namun, oleh karena surat yang diterima Fakultas Filsafat UGM (tempat Thovan belajar) sempat menghilang, ia baru memenuhi panggilannya yang kedua (dilayangkan pada tanggal 14 Januari 2019 di LBH Jogja).

Pemanggilan Citra Maudy dan Thovan Sugandi sebagai saksi dugaan tindak pidana perkosaan adalah tindakan yang janggal. Informasi yang diketahui Citra dan Thovan terkait peristiwa tersebut bersumber dari reportase yang mereka lakukan untuk berita “Nalar Pincang UGM dalam Kasus Perkosaan.”

Saat pemeriksaan Citra berlangsung, ia dicecar 30 pertanyaan oleh penyidik seputar dugaan perkosaan yang dialami Agni. Akan tetapi, sejumlah pertanyaan penyidik justru keluar dari konteks peristiwa. Pertanyaan-pertanyaan tersebut cenderung mengarah pada berita yang ditulis Citra, bukan pada peristiwa terkait. Penyidik justru banyak mengulik isi berita dan proses reportase yang dilakukan. Pertanyaan-pertanyaan yang garis besarnya seperti, siapa saja narasumber yang ditemui, dimana menjumpainya, apa yang disampaikan narasumber, hingga pertanyaan aneh apakah berita ini benar atau hoaks, malah dimunculkan oleh penyidik. Sudah barang tentu materi pernyataan itu tidak selaras dengan unsure-unsur pasal yang digunakan sebagai basis penyidikan, yakni pasal 285 dan pasal 289 KUHP.

Keganjilan semakin terlihat dari pernyataan yang dikeluarkan oleh Direktur Reserse Kriminal Umum Polda DIY, Kombes Hadi Utomo, selepas pemeriksaan berlangsung kepada para wartawan. Ia mempertanyakan nomenklatur kata “pemerkosaan” dan juga kebenaran berita yang diterbitkan Balairung. Jika berita yang ditulis itu tidak benar, ujarnya, akan lebih baik bila tidak dipublikasikan. Seperti yang dikutip dari kumparan.com ia mengatakan institusinya memeriksa Balairung Press lantaran ada indikasi berita bohong. “Kami akan panggil, mereka-mereka itu kok bisa menemukan nomenklatur kalimat pemerkosaan itu dari mana,” ujar Hadi. “ini sebenarnya yang mau kami ungkap. Kalau faktanya tidak benar jangan sebar-sebar itu apa bedanya dengan dengan hoax.” Pernyataan ini tentu jauh dari unsur-unsur pencabulan yang dilaporkan Arif Nurcahyo. Padahal, laporan tersebut dijadikan sebagai salah satu dasar pemanggilan Citra Maudy. Secara otomat Statement hadi sudah dijawab melalui wawancara Tim BPPM Balairung dengan pihak Departemen Pengabdian kepada Masyarakat (DPkM sebelumnya LPPM) UGM. “Kalau disebut benar, ya benar ada (pemerkosaan, red). Tapi itu sudah saya tarik langsung (terlapor) dan sudah ada hukumannya,” kata pejabat yang tidak ingin disebutkan namanya ini.

Bertolak dari keganjilan itu, Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia (PPMI) Dewan Kota Yogyakarta menengarai ada alamat untuk mengkriminalisasi wartawan BPPM Balairung. Apabila hal ini terbukti maka UGM betul-betul melakukan kesalahan fatal dengan mengkriminalisasi mahasiswanya yang mengungkapkan kebenaran melalui kerja-kerja jurnalistik.

BPPM Balairung diresmikan melalui Surat Keputusan Rektor Universitas Gadjah Mada No. UGM/82/7789/UM/01/37 tanggal 14 Desember 1985 sebagai Unit Kegiatan Mahasiswa. Balairung menghasilkan produk jurnalistik yang berpegang pada Pedoman Pemberitaan Media Siber. Kerja-kerja jurnalistik yang dilakukan Balairung pun terikat pada Kode Etik Jurnalistik. Sebagai bentuk pertanggungjawaban kepada publik, laman balairungpress.com telah memuat informasi terkait kejelasan lembaganya melalui kontak yang jelas dan dapat dihubungi serta masthead.

Pemberitaan BPPM Balairung adalah bagian dari pengejawantahan kemerdekaan mengeluarkan pikiran dan pendapat sebagaimana tercantum dalam pasal 28E ayat 3 Undang-Undang Dasar 1945. Di samping itu, berlandaskan pada spirit menegakkan keadilan dan kebenaran berita berjudul Nalar Pincang UGM atas Kasus Pemerkosaan, sehingga tidak patut UGM, polisi, dan pihak-pihak lain menyerang BPPM Balairung dengan memunculkan kesan ‘berita bohong’ terlebih bila memiliki pretensi hendak mengkriminalisasi jurnalisnya. Terlebih jika ada pihak-pihak yang mempertanyakan dan merasa dirugikan oleh berita tersebut, BPPM Balairung senantiasa menyediakan ruang untuk menyampaikan hak jawab pembaca.

PPMI DK Yogyakarta beranggapan pemeriksaan Citra Maudy yang tidak tepat sasaran justru mengalihkan bahkan mengabaikan pokok permasalahan. Agni yang hingga kini terus memperjuangkan hak-haknya dan belum menemukan titik terang semakin diabaikan. Oleh karena itu Kami PPMI DK Yogyakarta menyampaikan pernyataan sikap sebagai berikut:

  1. Menuntut Kepolisian dan UGM agar segera menuntaskan kasus pemerkosaan yang menimpa Agni.
  2. Menuntut UGM untuk memberi perlindungan maksimal dan segera memenuhi hak-hak penyintas serta membantu menghentikan  perilaku victim-blaming dan tendensi-tendensi untuk mengkriminalisasi penyintas.
  3. Mendesak Dewan Pers untuk memberikan perlindungan terhadap kerja-kerja jurnalistik yang dilakukan Pers Mahasiswa demi terselenggarakannya kehidupan pers yang demokratis.
  4. Mengecam segala bentuk intimidasi yang tujuannya membatasi ruang gerak BPPM Balairung dalam menjalankan kerja-kerja jurnalistik, yang sejatinya menyuarakan kebenaran.
  5. Mengecam keras intimidasi dan kriminalisasi terhadap kerja-kerja yang dilakukan oleh pegiat pers mahasiswa.

Yogyakarta, 15 Januari 2019

Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia Dewan Kota Yogyakarta

CP:

Sri Wahyuni (082242606205)

Adi Bayu Utomo (081917731945)

Kategori
Siaran Pers

Surat Terbuka untuk Kapolri: Hentikan Kekerasan Aparat Terhadap Jurnalis

Rekam jejak kekerasan terhadap jurnalis yang dilakukan oleh aparat makin meningkat. Rekan-rekan jurnalis, pers mahasiswa (persma) dan aktivis lainnya terus saja dibuat gusar oleh perilaku intimidatif dan kekerasan fisik yang dilakukan aparat kepolisian pada jurnalis saat melakukan tugas jurnalistiknya. Kamis siang (12/4/2018), Muhammad Iqbal, anggota Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Suaka Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati Bandung, dipaksa untuk menghapus foto dikameranya dan dipukuli saat meliput aksi penolakan pembangunan Rumah Deret di gerbang Kantor Walikota Bandung.

Iqbal yang tengah mengambil gambar beberapa peserta aksi yang diseret kepolisian, didorong oleh salah satu aparat. Ia mencoba bertahan, namun tetap dipaksa dan didorong untuk keluar dari gerbang balai kota. Iqbal yang mengaku sebagai pers tak digubris dan malah diusir. Iqbal akhirnya mencari jalan lain agar bisa ke mobil dalmas karena ingin mendokumentasikan apa yang dilakukan aparat terhadap Dimas dan Aheng, peserta aksi yang ditangkap. “Woy, apaan kamu moto-moto sembarangan!” tutur Iqbal menirukan polisi yang meriakinya setelah mendapat delapan jepretan seperti yang dimuat dalam lpmarena.com.

Beberapa polisi pun menginterogasi Iqbal dan memaksa agar Iqbal menghapus foto-foto yang diambilnya. Iqbal bersikukuh menolak, ia menjelaskan bahwa pers memiliki hak untuk mengetahui apa yang terjadi. Karena dianggap tidak kooperatif, Iqbal dimasukan ke dalam truk dan diinterogasi.

Intimidasi pada Iqbal terus dilakukan. Polisi sempat menggeledah tas Iqbal dan mengambil kartu pers Iqbal. Polisi bersikeras Iqbal harus menghapus fotonya jika Iqbal ingin kartu persnya dikembalikan. Iqbal tetap menolak. Namun karena terus diintimidasi, foto itu akhirnya terpaksa dihapus dengan diperhatikan oleh polisi.

***

Massa aksi kemudian mulai merapatkan barisan, meminta agar perwakilan Pemkot menemui dan menjelaskan kepada warga terkait proyek rumah deret. Lalu ada tiga orang massa aksi yang diseret masuk, yaitu Fadli, Oki, dan Aang. Ketiganya diseret, diinjak-injak, dan dipukuli.

Iqbal yang sedang berada di dalam mencoba melerai aksi polisi tersebut. “Kalem pak, kalem,” ujar Iqbal. Bukannya berhenti, polisi tersebut justru berteriak balik, “Kamu kan pers yang tadi!” Lalu, polisi tersebut langsung memukul pipi bagian atas Iqbal dua kali. Ia lalu diinterogasi dan dicatat KTPnya bersama yang lainnya.

Iqbal berada di dalam, ia kembali ditanyai identitasnya. Massa aksi pun meminta aparat untuk mengembalikan tiga orang tersebut. Aparat kepolisian bergeming dan mencoba tetap menyuruh massa aksi untuk balik kanan, pulang dengan pengawalan petugas. Massa aksi menolak. Mereka ingin terlebih dahulu temannya ini dikembalikan dengan tanpa luka. Setelah melalui negosiasi yang sengit, akhirnya Iqbal bersama tiga orang lainnya dibebaskan dengan keadaan babak belur.

***

Tindakan pemukulan, dan intimadasi kepada Iqbal yang sedang menjalankan tugas jurnalistiknya tentu melanggar Undang-Undang Dasar 1945 pasal 28 F; dimana setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya serta berhak untuk memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah dan menyebarkan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran tersedia.

Iqbal dan bahkan masyarakat sipil siapapun itu dalam konteks aksi penolakan Rumah Deret berhak untuk mendokumentasikan apa yang terjadi di ruang publik saat itu. Kepolisian yang melakukan tindakan pemukulan pun tak berhak untuk menyakiti masyarakat sipil yang mendokumentasikan tindakan beringas yang dilakukan polisi.

Instrumen hukum lain yang juga dilanggar dalam kejadian ini adalah Undang-Undang No. 12 Tahun 2005 tentang pengesahan International Covenant on Civil and Political Right (ICCPR) atau instrumen HAM internasional terkait hak sipil dan politik warga negara. Dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (HAM) pasal 13 ayat (1), serta pasal 19 dan 20, kemudian diteruskan dalam ICCPR pasal 12, 19, 21, 22 ayat (1) dan (2) menyatakan memberikan pengakuan dan perlindungan terhadap kebebasan dasar setiap manusia yang meliputi hak kebebasan berpendapat, berekespresi, berkumpul, dan berserikat.

Dalam hal menyelenggarakan tugas-tugas kepolisian, setiap aparat harusnya juga menaati Peraturan Kapolri No. 8 Tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar Hak Asasi Manusia dalam Penyelenggaraan Tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia yang juga diatur dalam pasal 4 UU Kepolisian Negara Republik Indonesia No. 2 Tahun 2002.

Peserta aksi, dalam hal ini, memiliki hak untuk menyatakan pendapatnya di muka publik dan melakukan pengorganisiran massa sehingga suaranya dapat didengar oleh Pemerintah Kota Bandung. Iqbal sendiri sebagai masyarakat sipil maupun sebagai jurnalis pers mahasiswa, sekali lagi, memiliki hak untuk bebas berekspresi melalui kerja jurnalistik yang dilakukannya.

Masih lekat dalam ingatan, bagaimana Fadel, dkk, awak persma LPM BOM Institut Teknik Medan (ITM) yang kemudian dipolisikan karena dianggap melakukan provokasi dan pemukulan saat mereka melakukan peliputan aksi Hardiknas di depan kampus Universitas Sumatera Utara. Akhirnya, dalam persidangan ketiganya tak terbukti bersalah. Padahal sebelumnya mereka telah mengalami intimidasi dan pemukulan.

Pada Desember 2017, A.S. Rimba dan Imam Ghozali dari LPM Ekspresi Universitas Negeri Yogyakarta serta Fahri LPM Rhetor UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta juga jadi korban aksi brutal aparat kepolisian. Ketiganya termasuk dalam 15 orang aktivis yang dipukuli dan sempat ditangkap oleh aparat Polres Kulon Progo. Tiga warga pun ikut terluka akibat beringasnya polisi yang coba mengusir anggota jaringan solidaritas anti penggusuran. Hingga kini, pelaku pengroyokan yang menyebabkan ketiganya mengalami luka-luka dan memar kala itu tak ditangkap dan dibiarkan bebas.

Berdasarkan hasil riset Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia (PPMI) 2013-2016 tercatat ada 5 kekerasan yang dilakukan oleh aparatur keamanan negara terhadap awak persma. Jurnalis media arus utama pun tak luput dari kekerasan aparat. Aliansi Jurnalis Independen (AJI) seperti yang dikemukakan Abdul Manan yang dikutip dari www.liputan6.com, sepanjang tahun 2017 terdapat 60 kasus kekerasan, tahun 2016 terdapat 81 kasus kekerasan, dan tahun 2015 terdapat 42 kasus. Aparat kepolisian menempati urutan kedua dalam daftar pelaku tindak kekerasan terhadap jurnalis. Dalam pasal 18 ayat 1 Undang-Undang No. 40 Tahun 1999 Tentang Pers juga mengatur bahwa upaya untuk menghalangi atau menghambat kerja-kerja jurnalistik dapat dikenai hukuman pidana paling lama 2 (dua) tahun atau denda paling banyak Rp. 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).

Berdasarkan kronologi dan argumen diatas, kami atas nama Solidaritas Pers Mahasiswa Se-Indonesia menyatakan sikap:

  1. Mengecam keras tindakan pemukulan terhadap jurnalis pers mahasiswa LPM Suaka UIN Sunan Gunung Djati Bandung dan masyarakat sipil yang dilakukan oleh aparat kepolisian.
  2. Menuntut Kepolisian Republik Indonesia untuk menghormati dan melindungi jurnalis yang tengah melakukan tugas jurnalistik sesuai dengan undang-undang yang berlaku.
  3. Menuntut Kepolisian Republik Indonesia untuk mengusut tuntas kasus kekerasan terhadap jurnalis LPM Suaka dan masyarakat sipil.
  4. Menuntut Kepolisian Republik Indonesia mengevaluasi kembali aturan dan penerapannya terkait perlindungan terhadap masyarakat sipil yang tengah melakukan aksi demi menyampaikan aspirasinya.

 

Kami yang menandatangani:

  1. Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia (PPMI) Nasional
  2. Forum Komunikasi Pers Mahasiswa Aceh (FKPMA)
  3. Aliansi Pers Mahasiswa Lampung (APML)
  4. Forum Komunikasi Pers Mahasiswa Sumatera Selatan (FKPMS)
  5. Asosiasi Pers Mahasiswa Sumatera Barat (ASPEM)
  6. Forum Komunikasi Pers Mahasiswa Bandung (FKPMB)
  7. Aliansi Pers Mahasiswa Politeknik Se-Indonesia (APMPI)
  8. Pers Mahasiswa Banten

 

Narahubung:           

Irwan Sakkir, Sekjendnas PPMI (0812 4877 1779)

Erlangga Permana Supriyadi, Koordinator FKPMB (0813 1242 7412)

Irwansyah, Koordinator FKPMA (0822 7642 2339)

Wahyu Nurrohman, Koordinator APML (0856 5876 4951)

Nopri Ismi, Koordinator FKPMS (0812 7441 2182)

Axvel Gion Revo, Koordinator ASPEM (0823 8233 9269)

Riza Azmi Adilla, Koordinator APMPI (0822 8287 6770)

Romako, Pemimpin Umum LPM Hujan Crew Banten (0838 1231 1525)

Kategori
Siaran Pers

Siaran Pers: Solidaritas Gerakan Rakyat Makassar Peduli Sukoharjo

“Setiap orang yang memperjuangkan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat tidak dapat dituntut secara pidana maupun digugat secara perdata.”
Pasal 66 UU Nomor 32 Tahun 2009

Seriuskah pemerintah menerapkan pasal 66 UU nomor 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup?

Selama kurang lebih empat bulan, rakyat diresahkan oleh bau busuk limbah yang bersumber dari PT RUM. Tidak hanya bau busuk saja yang mengganggu keseharian warga, beberapa warga–terutama anak-anak—ternyata mengalami infeksi saluran pernapasan akut (ISPA). Hal ini dibuktikan dari hasil pemeriksaan dokter RS PKU Muhammadiyah Sukoharjo. Berdasarkan hasil pemeriksaan tersebut, 32 warga terkena ISPA berat, serta 152 warga di Kedungwinong merasakan pusing dan mual. Selain warga Kedungwinong, bau busuk limbah PT RUM ini juga ikut meresahkan warga dari desa Plesan, Gupit, Celep, dan Pengkol.

Kemarahan rakyat tidak bisa dibendung lagi pasca PT RUM ingkar janji. Sesuai nota kesepakatan yang ditandatangani pada tanggal 19 Januari 2018, setelah aksi ketiga yang digalakkan oleh rakyat Sukoharjo beserta solidaritas, PT RUM berjanji akan menutup dan atau menghentikan produksi pada tanggal 19 Februari 2018 apabila tidak mampu menghilangkan bau akibat proses produksi pabrik. Namun PT RUM mengulur-ulur janji penutupan sampai tanggal 24 Februari 2018. Tak hanya PT RUM, Bupati Sukoharjo yang pada aksi keempat tanggal 22 Februari 2018 berjanji akan menandatangani SK penutupan PT RUM pada tanggal 23 Februari 2018, nyatanya memilih pergi ke Bali untuk mengikuti Rapimnas PDIP.

Kesal karena berkali-kali dibohongi, warga akhirnya mengekspresikan kemarahannya dengan menggelar aksi menutup PT RUM. Namun aksi warga dihalangi oleh aparat gabungan polisi dan TNI. Amarah warga makin memuncak usai aparat (TNI/POLRI) melakukan penyekapan, penyiksaan, dan pemukulan terhadap tiga orang massa yang melakukan aksi di depan PT RUM.

Akibat ulah pihak PT RUM, aparat, dan Bupati Sukoharjo, rakyat tidak bisa lagi menahan amarah dan menanti janji-janji yang tidak pernah ditepati, baik oleh PT RUM maupun Bupati Sukoharjo.Berdasarkan hal tersebut, kami menyatakan sikap kecaman keras dan menuntut:

  1. Hentikan kriminalisasi rakyat penolak PT RUM karena sumber masalah adalah PT RUM.
  2. Kepada Polda Jawa Tengah dan Polres Sukoharjo, hentikan pengusutan terhadap rakyat yang memperjuangkan udara bersih di Sukoharjo.
  3. Kepada Polda Jawa Tengah, usut pelanggaran berupa perusakan lingkungan dan polusi udara yang dilakukan oleh PT RUM sesuai laporan MPL tanggal 16 Januari 2018.
  4. Kepada Polres Sukoharjo, segera usut laporan warga atas nama Tomo nomor STTLP/135/XII/2017/Jateng/Res.Skh tanggal 13 Desember 2017 tentang perusakan lingkungan hidup berupa bau dan pembuangan air limbah di Sungai Gupit sampai dengan Bengawan Solo.
  5. Kepada Polres Sukoharjo, usut laporan dengan nomor STTLP/02/II/2018/Jateng/SPKT/Res.Skh tanggal 20 Februari 2018 tentang intimidasi dan perbuatan tidak menyenangkan terhadap aktivis MPL dan tokoh penandatangan nota kesepakatan dengan DPRD Sukoharjo oleh Direktur Umum PT RUM di depan para buruh PT Sritex asal Nguter di Aula PT Sritex tanggal 13 Februari 2018.
  6. Kepada Bupati, cabut dan bekukan izin PT Rayon Utama Makmur.
  7. Usut tuntas aparat pelaku penculikan, penyekapan, dan pemukulan terhadap massa aksi
  8. Bebaskan ISS Dan aktivis lingkungan lainnya.

 

 

Solidaritas:

  • PEMBEBASAN
  • PPMI MAKASSAR
  • PMII RAYON FAI UMI
  • GMPA
  • FOSIS UMI
  • KOMUNAL.
Kategori
Siaran Pers

Siaran Pers: Polisi Mengintimidasi Relawan Posko SAMAR dan Menangkap Lima Pejuang yang Melawan PT. RUM

Hidup Rakyat!

Salam Lestari!

Lawan Pencemaran Lingkungan!

Sekitar jam setengah tiga pagi, Rabu (14/3/2018), belasan polisi mendatangi Posko SAMAR (Sukoharjo Melawan Racun). Saat itu, ada 9 orang relawan SAMAR yang berada di lokasi. Mereka semuanya sedang terlelap; 8 orang tidur di posko dan 1 orang tidur di rumah salah satu warga.

Polisi-polisi pun memasuki posko, lalu membangunkan Congo. Setelah Congo terbangun, ia ditarik tangannya oleh polisi dan hendak diajak ke luar posko. Congo pun menolak sehingga membuat relawan-relawan lainnya turut terbangun. Maksud polisi memasuki posko ialah untuk mencari seorang warga bernama Wiji alias Negro. Namun orang yang mereka cari tak ditemukan di area sekitar posko. Di dalam posko, juga ada seorang polisi menenteng senjata laras panjang. Ada pula seorang polisi yang berkata dengan nada mengancam kepada para relawan, “Mana kartu identitas kalian? Kalian dari mana? Ini wilayah Polda saya, kalau kalian nggak mau menunjukkan identitas, semuanya bisa kami tangkap!”.

Dari 8 relawan dalam posko, hanya dua orang yang menunjukkan kartu identitasnya; yakni Congo menunjukkan kartu mahasiswa Universitas Muhammadiyah Surakarta dan Emon yang menunjukkan kartu pelajar SMK 2 Sukoharjo. Sambil meminta-minta kartu identitas relawan lainnya namun tak kunjung dituruti, polisi juga menanyakan domisili asal para relawan. Para relawan pun menjawab darimana asal kampus dan tempat tinggal mereka secara jujur.

Dalam interogasi tersebut, Congo sempat mengalami intimidasi verbal dari seorang polisi berkaos merah-bercelana jins panjang. Polisi itu menuduh Congo telah menghina aparat kepolisian pada aksi massa di PT. Rayon Utama Makmur (RUM), tanggal 22 Februari kemarin. Congo yang saat lampau tengah berjoget di hadapan polisi dianggap sedang melakukan penghinaan kepada polisi-polisi yang sedang bertugas. Tuduhan tak jelas dari polisi pun ditepis Congo. Merasa tak terima, seorang polisi tersebut mengancam akan memberi surat penangkapan kepada Congo, “Saya lihat di video, Anda sepertinya menghina kepolisian. Mau saya bikinkan surat sekarang supaya Anda bisa ditangkap?!”. Selain kepada Congo, polisi juga bersikap tak ramah kepada seorang relawan yang menanyakan maksud kedatangan polisi. “Urusanmu opo?!!,” begitulah jawaban seorang polisi kepada relawan yang sekadar ingin tahu. Tak hanya bertanya-tanya, polisi juga memotret kondisi posko dan kertas-kertas di dinding yang mencantumkan nama dan nomor ponsel pengurus Masyarakat Peduli Lingkungan (MPL).

Setelah puas mengintimidasi, polisi-polisi pun keluar dari posko pada pukul 03.12. Kami melihat, mereka juga menyisir semak-semak di seberang posko. Kemudian, mereka masuk ke dalam tiga mobil masing-masing untuk pergi meninggalkan kami.

***

Kami melakukan rapat kecil-kecilan setelahnya. Lalu menjauh dari posko secara sporadis untuk mengamankan diri. Di saat sedang sibuk mengamankan diri masing-masing, kami memperoleh kabar bahwa ada 5 orang  yang ditangkap oleh polisi. Mereka adalah: Sukemi Edi Santoso yang ditangkap di Kampung Mbrau, Brillian Yosef Naufal yang ditangkap di Kampung Bandang, Bambang Hesthi  Wahyudi sebagai Pembina MPL, Danang Abu Fadlan yang ditangkap di Desa Kedungwinong, dan Danang Tri Widodo yang ditangkap di Ngambil Ambil (Kelurahan Nguter).

Menurut kabar dari LBH Semarang, kelima orang yang ditangkap tersebut dibawa ke tempat berbeda. Sukemi dan Brillian dibawa ke Mapolda Jawa Tengah. Bambang dibawa ke Mabes Polri, dan sementara, kabar Danang Tri dan Danang Abu sampai rilis ini dibuat masih belum diketahui kepastiannya.

***

Pengintimidasian terhadap para relawan dan penangkapan orang-orang yang berjuang melawan PT. RUM merupakan upaya pemecahan kekuatan rakyat Sukoharjo dalam melawan pencemaran lingkungan yang dilakukan PT. RUM.

PT. RUM yang beroperasi di wilayah Nguter, Kabupaten Sukoharjo telah melakukan pencemaran lingkungan parah melalui limbah yang mereka hasilkan. Warga di Kabupaten Sukoharjo, sebagian Wonogiri, dan sebagian Karanganyar telah merasakan bau busuk di udara selama Oktober 2017 sampai Februari 2018. Akibat bau busuk itu, warga mengalami sesak nafas dan tercatat 32 warga Nguter terjangkit infeksi saluran pernafasan akut (ISPA). Selain udara, PT. RUM juga telah membikin sumber air tanah warga menjadi keruh nan bau sehingga ada 2 sumur warga yang sudah tidak bisa dipakai konsumsi. Sungai Gupit pun turut tercemar sehingga banyak ikan mati karena sungai tersebut sempat dilalui saluran pipa pembuangan limbah RUM.

Menanggapi pencemaran tersebut, warga pun membentuk aliansi perjuangan yang dinamai MPL. Lalu, para mahasiswa yang datang bersolidaritas membentuk SAMAR. Perlu diketahui, sebelumnya, sudah ada 3 orang pelawan RUM yang ditangkap aparat kepolisian. Mereka adalah Hisbun Payu (Is); mahasiswa UMS, Kelvin Ferdiansyah Subekti, dan Sutarno. Hingga kini, mereka bertiga masih ditahan di Mapolda Jateng.

Mengamati kasus demikian, maka tak salah jika SAMAR dan MPL menganggap bahwa PT. RUM berambisi untuk tidak benar-benar mematuhi SK Bupati Sukoharjo No. 660.1/207 Tahun 2018 Tentang “Pemberian Sanksi Administratif dalam Rangka Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup Berupa Paksaan Pemerintah dalam Bentuk Penghentian Sementara Kegiatan Produksi Kepada Penanggung Jawab Perusahaan Industri Serat  Rayon PT. Rayon Utama Makmur di Kabupaten Sukoharjo”.

PT. RUM sengaja bekerjasama dengan aparat untuk mengabaikan kasus pencemaran lingkungan. Padahal, warga terdampak pencemaran telah berjuang dengan menegakkan dalil-dalil konstitusi demi hajat hidup orang banyak. Dengan semakin bertambahnya para pejuang yang ditangkap dan diintimidasi oleh aparat penegak hukum, indikasi kerjasama antara aparat dengan perusahaan untuk memusuhi kehendak rakyat semakin jelas terlihat di Sukoharjo. Kesimpulannya: hukum dilaksanakan secara berat sebelah oleh aparat-aparat di Sukoharjo!

Begitupula, kondisi area PT. RUM yang selalu dijaga personil Polri dan TNI setiap harinya merupakan pertanda kuat bahwa aparat negara lebih berpihak kepada kepentingan perusahaan yang telah merusak lingkungan warga sekitar. Kasus-kasus seperti ini; aparat yang lebih memihak perusahaan di area konflik warga yang dirugikan alamnya, sudah lazim terjadi di pelbagai daerah di Indonesia. Oleh karenanya, kami menghimbau kepada para pejuang lingkungan, agraria, dan hak asasi manusia (HAM) dimanapun berada untuk saling bersolidaritas demi memperkuat perlawanan rakyat atas penindasan-penindasan dari perusahaan-perusahaan besar yang selalu merusak lingkungan demi keuntungan elit pemodal.

Kami di Sukoharjo akan selalu gigih berjuang, melawan, dan dengan tangan terbuka menggandeng solidaritas dari pejuang-pejuang lingkungan di manapun berada. Hanya satu suara yang kami lantangkan: Lawan PT. RUM!

 

Hidup Rakyat, Panjang Umur Perjuangan!

(IG: sukoharjo.melawan.racun)