Kategori
Siaran Pers

Kronologi Reporter LPM BOM Institut Teknologi Medan Ditangkap Saat Peliputan

Saat terjadi aksi demonstrasi yang dilakukan oleh aliansi Konsolidasi Gerakan Mahasiswa Sumatra Utara dalam menanggapi momentum Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas) di Simpang Pos Padang Bulan, Pimpinan Redaksi (Pimred) Lembaga Pers Mahasiswa – Institut Teknologi Medan (LPM – ITM) menugaskan 3 orang Badan Pengurus Harian (BPH) untuk meliput aksi tersebut.

Tepat pukul 13.30 WIB, Jackson Ricky Sitepu sampai dilokasi dan segera melakukan peliputan sebagai mana mestinya dan disusul juga oleh Fikri Arif yang tiba dilokasi. Berbeda dengan Fadel yang memang telah hadir dilokasi sejak pagi hari namun baru mendapatkan surat tugas pada siang hari.

Saat melakukan peliputan di Simpang Pos, keadaan baik – baik saja tanpa terjadi sebuah pelanggaran Kode Etik Jurnalistik. Bahkan saat masa aksi melakukan perjalanan dari Simpang Pos sampai ke lampu merah Simpang Kampus Universitas Sumatra Utara (USU) masih tetap melakukan tugas – tugas pers dengan profesional.

Namun situasi massa memanas saat ban bekas mulai dibakar oleh massa dan pihak kepolisian berdatangan beserta kendaraan barakudanya, namun ketiga wartawan tersebut tetap berada dekat pada barisan kepolisian dan Brimob. Situasi semakin memanas saat massa aksi berpindah ke depan pintu gerbang taman kampus USU dan kembali membakar ban.

Provokasi – provokasi dari berbagai pihak baik masyarakat, pereman setempat dan Intel mulai mewarnai aksi mahasiswa tersebut sehingga terjadi bentrokan secara tiba – tiba antara massa aksi dengan masyarakat dan pihak aparatur negara. Ketiga wartawan kami masih berada dekat barisan aparatur negara yang semakin mendekat kegerbang kampus USU bahkan sampai masuk kedalam kampus.

Saat berada di dalam kampus, kira – kira 10 meter dari gerbang wartawan kami dengan nama Jackson Ricky Sitepu dihalangi oleh masyarakat yang kabarnya adalah Intel. Sebelum meninggalkan lokasi, Ricky Jakson Sitepu sempat melihat Fadel Muhammad Harahap ditarik masyarakat dan jatuh tersungkur ke aspal. Sementara itu Fikri Arif tidak dapat terlihat lagi dilapangan.

Saat dihubungi Pimpinan Umum, kedua wartawan LPM BOM ITM mengatakan bahwa mereka telah berada di kantor Polrestabes Medan. Mereka ditangkap oleh kepolisian saat melakukan tugas reportasenya, meskipun mereka sudah menunjukkan surat tugas kepada masyarakat dan kepolisian saat peliputan. Namun pihak kepolisian tidak menanggapi dengan baik dan tetap menahan mereka. “Kami ditangkap Wa, udah kami tunjukkan surat tugas tapi gak percaya orang itu, cepatlah kesini Wa, udah mau geger otak aku.” ucap Fadel Muhammad Harahap melalui telephon genggam sebelum akhirnya ketahuan oleh polisi dan putus komunikasi.

 

Pernyataan Sikap LPM BOM terkait Penangkapan Reporternya Saat Peliputan

Pada tanggal 4 mei 2017 kurang lebih pukul 18.00 WIB , saya sebagai pimpinan umum Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Bursa Obrolan Mahasiswa (BOM) Institut Teknologi Medan (ITM) dibawa ke Kantor Polrestabes Medan untuk diperiksa. Setelah dilakukan pemeriksaan, saya dibebaskan karena tidak ada bukti yang memberatkan saya untuk menjadi tersangka. Sebelum pulang sayang bertemu dengan Fikri Arif dan Fadel Muhammad Harahap di Ruang Pemeriksaan Unit Ranmor.

Saat itu kondisi kedua kader saya sangat memprihatinkan dimana Fikri Arif mengalami luka lebam di bagian wajah dan mengaku penglihatan sebelah kiri sedikit kabur/tidak jelas. Sedangkan Fadel Muhammad Harahap hanya mampu tertunduk lesu tidak bersemangat saat di mintai keterangan karena luka dikepala. Keadaan kader saya yang buruk dengan menggunakan baju tahanan dan tangan diborgol mereka duduk dikursi terpisah dan menjawab pertanyaan yang diberikan oleh tim pemeriksa.

Sehingga saya mewakili LPM BOM ITM menyuarakan dan menuntut:

  1. Kebebasan pers harga mati dan tidak dapat ditawar sampai mati,
  2. Kapolrestabes harus meletakkan jabatannya sekarang juga,
  3. Adili seadil adilnya pelaku pemukulan kader kami saat menjadi pers meliput aksi Hardiknas,
  4. Polrestabes harus meminta maaf kepada kedua kader dan kepada LPM BOM ITM secara tertulis.

 

Narahubung:

Syahyan P Damanik, Pimpinan Umum LPM BOM ITM (085218723774)

Kategori
Siaran Pers

PPMI Kota Malang: Barcode Dewan Pers Rampas Kebebasan Bermedia

Menanggapi kebijakan Dewan Pers untuk memberikan tanda berupa barcode per 9 Februari 2017 Kepada media nasional dan daerah menimbulkan beberapa permasalahan. Walaupun saat ini baru 74 media yang telah terverifikasi, aturan yang keluar karena maraknya media abal – abal dan berita hoax dapat menjadi bumerang bagi kebebasan berpendapat, berserikat, dan berekspresi serta menjamin terciptanya demokratisasi pers, khususnya bagi berbagai media komunitas dan media alternatif seperti pers mahasiswa.

Dengan adanya kebijakan barcode justru akan mempermudah terjadinya penutupan dan status media yang tidak valid dalam kerja jurnalistik dan kelembagaan. Walaupun telah melakukan pendataan dan verifikasi perusahaan pers, Dewan Pers abai pada keberadaan media online lain yang menunjang demokratisasi pers yang patuh pada kode etik jurnalistik. Termasuk potensi keberadaan kurang lebih 150 media online pers mahasiswa di seluruh Indonesia yang menjalankan kerja – kerja dan menaati kode etik jurnalistik.

Lebih jauh, persyaratan status media online yang terverifikasi oleh Dewan Pers belum ada aturan standarisasi yang pasti. Bila ditinjau melalui aturan, kategori media yang dilindungi oleh Dewan Pers hanya perusahaan pers yang memiliki status badan hukum, terdaftar di Kemenkumham, menggaji wartawannya, dan memiliki susunan keredaksian yang jelas. Otomatis dengan mahalnya biaya membentuk perusahaan tersebut, kerja – kerja jurnalistik hanya dapat dilakukan oleh pengusaha dan segelintir pemodal saja. Padahal disatu sisi Dewan Pers mempunyai kewajiban menjaga kehidupan pers di Indonesia, termasuk mengembangkan peran media alternatif yang memiliki keberpihakan pada kepentingan rakyat. Secara khusus, kondisi diperparah dengan hasil riset Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia yang mencatat 47 kekerasan dan represifitas terhadap pers mahasiswa. Berkembangnya berbagai media komunitas dan jurnalisme warga pun seakan tak didukung dan dipersempit ruang geraknya. Walau tak diblokir, media dengan lebel dari Dewan Pers pada akhirnya malah menggiring masyarakat mengkonsumsi wacana dari media bermodal saja.

Padahal dalam Undang-Undang Dasar 1945 menjamin kebebasan berekspresi sesuai dengan pasal 28 ayat 2 dan 3, serta pasal 28 F sebagai jaminan perlindungan terhadap kehidupan demokrasi yang sehat dan negara hukum yang berdaulat. Begitu pula dengan undang-undang nomor 12 tahun 2012 pada pasal 8 dan 9 tentang kebebasan mimbar akademik dan otonomi keilmuan yang menjamin Lembaga Pers Mahasiswa secara kelembagaan. Sementara itu aturan mengenai pengelolaan informasi, Persma memakai aturan UU Keterbukaan Informasi Publik sebagai sarana dalam mengoptimalkan pengawasan publik terhadap penyelenggaraan negara dan Badan Publik lainnya dan segala sesuatu yang berakibat pada kepentingan publik.

Oleh karena itu, dengan munculnya kebijakan Dewan Pers pada 9 Februari 2017 mendatang, PPMI Kota Malang menyatakan sikap:

  1. PPMI Kota Malang secara tegas menolak kebijakan Barcode yang diberlakukan oleh Dewan Pers.

  2. Menuntut transparasi kebijakan dari aturan Barcode dan verifikasi media massa.

  3. Mendesak Dewan Pers untuk menjamin keberadaan Pers Mahasiswa di Seluruh Indonesia dalam kerja Pers dan Jurnalistik sesuai asas bebas bertanggung jawab demi terselenggaranya kehidupan pers yang demokratis.

  4. Meninjau kembali UU Pers tentang syarat administrasi lembaga pers seperti yang tertera dalam UU No. 40 tahun 1999 tentang pers pasal 1 ayat 2.

  5. Mendorong media, pemerintah, dan masyarakat untuk menggerakan literasi media dan mendukung media yang berbasis komunitas dan warga.

Narahubung:

Imam Abu Hanifah – Sekretaris Jenderal PPMI Kota Malang (085696931450)

Bayu Diktiarsa – Divisi Advokasi PPMI Kota Malang (0819 0787 4525)

Kategori
Siaran Pers

Pernyataan Sikap PPMI DK Semarang Tentang Konflik PT. Semen Indonesia di Rembang

Salam Pers Mahasiswa!

Perjuangan para petani melawan pendirian pabrik PT. Semen Indonesia di Rembang belum menemukan titik akhir. Hingga saat ini, Ganjar Pranowo selaku Gubernur Jawa Tengah belum melaksanakan putusan Mahkamah Agung yang memenangkan gugatan warga, yakni mencabut Izin Lingkungan, Penambangan dan Pendirian Pabrik Semen yang telah dikeluarkan Gubernur sebelumnya melalui SK No. 660.1/17 tahun 2012. Padahal, putusan tersebut keluar sejak 5 Oktober 2016 setelah warga melakukan tahapan Peninjauan Kembali sebagai upaya hukum luar biasa sekaligus terakhir di Mahkamah Agung.

Kondisi semakin diperparah dengan adanya Surat Keputusan (SK) tentang izin lingkungan baru yang secara diam-diam dikeluarkan oleh Gubernur pada tanggal 9 November 2016. Para pakar hukum berpendapat, keluarnya SK tersebut merupakan upaya “mengakali” hukum yang dilakukan Gubernur untuk merestui pembangunan pabrik semen di Rembang. Karena itulah, sejak 19 Desember 2016 sampai hari ini, warga yang telah berjuang lebih dari dua tahun dalam proses peradilan bertahan di depan Kantor Gubernur Jateng. Mereka bertekad tak akan pulang sampai putusan MA itu dilaksanakan.

Penolakan pabrik semen di Rembang merupakan murni perjuangan warga untuk memperoleh keadilan dan mempertahankan kelestarian lingkungan. Hal itu telah dibuktikan oleh warga dan JMMPK (Jaringan Masyarakat Peduli Pegunungan Kendeng) dengan melakukan berbagai upaya baik litigasi maupun non-litigasi sejak tahun 2014. Namun belakangan, kami melihat persoalan ini dikeruhkan oleh pemberitaan media Semarang yang cenderung menggiring opini publik: bahwa perlawanan terhadap pabrik Semen Indonesia (yang notabene milik Badan Usaha Milik Negara) di Rembang ditunggangi kepentingan asing.

Beberapa media di Semarang juga kerap memproduksi berita yang berpihak pada pendirian pabrik semen. Hal ini jelas memperuncing konflik dan berpotensi mengadu domba masyarakat yang pro dan kontra adanya pabrik. Padahal, secara substansial, persoalan di Rembang bukanlah tentang berapa banyak masyarakat yang setuju atau tidak setuju adanya pabrik semen, melainkan tentang pendirian pabrik PT. Semen Indonesia yang sejak awal telah menyalahi aturan dan mengancam kelestarian lingkungan.

Oleh karena itu, kami yang tergabung dalam Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia Dewan Kota Semarang menyatakan sikap sebagai berikut:

1. Menuntut Gubernur Jawa Tengah untuk mematuhi Putusan Mahkamah Agung dengan mencabut Izin Lingkungan Nomor 660.1/17 tahun 2012 dan semua turunannya, serta hentikan seluruh kegiatan pabrik semen PT. Semen Indonesia di Rembang;

2. Meminta kepada media khususnya di Semarang untuk tidak memproduksi berita yang berpotensi memperuncing konflik dan mengadu domba warga yang pro dan kontra PT. Semen Indonesia di Rembang;

3. Meminta kepada media untuk memberikan informasi secara benar dan berimbang terhadap permasalahan PT. Semen Indonesia di Rembang;

4. Mendorong kepada seluruh Pers Mahasiswa khususnya di Semarang dan Jawa Tengah untuk mengawal kasus ini;

5. Mendorong Pers Mahasiswa di Semarang untuk bersolidaritas dan berjejaring dalam aksi-aksi menuntut dilaksanakannya putusan MA terkait izin lingkungan PT. Semen Indonesia di Rembang

Semarang, 7 Januari 2017.

Ahmad Amirudin, Sekjen PPMI DK Semarang 2016-2017

 

LPM yang tergabung dalam pernyataan sikap: LPM Hayamwuruk (FIB Universitas  Diponegoro), LPM Menteng (Universitas Wahid Hasyim), LPM Edukasi (FITK UIN Walisongo), LPM Gema Keadilan (FH Universitas Diponegoro), LPM Lentera (Fiskom Universitas Kristen Satya Wacana), LPM Frekuensi (FST UIN Walisongo), LPM Vokal (Universitas PGRI Semarang), LKM SA-freedom press (Universitas Sultan Agung), LPM Uninews (Universitas  Muhammadiyah Semarang), LPM Missi (FDK UIN Walisongo), LPM Benteng Kampus (Stikom Semarang), LPM Refrens (Fisip UIN Walisongo), LPM Invest (FEBI UIN Walisongo), LPM White Campus (Politeknik Kesehatan Kemenkes Semarang), LPM Edents (FEB Universitas Diponegoro), LPM Justisia (FSH UIN Walisongo), LPM Paraga (Universitas Katolik Soegijapranata), BP2M (Universitas Negeri Semarang), LPM Momentum (FT Universitas Diponegoro), SKM Amanat (UIN Walisongo).
Kategori
Siaran Pers

Jangan Renggut Hak-hak LPM Pendapa

Salam Persma, Hidup Rakyat, Lawan Pembungkaman!

Sebuah kabar buruk mulai dihembuskan birokrat kampus Tamansiswa. Seolah tidak menghayati ajaran Tamansiswa, Rektorat Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa (UST) Yogyakarta tengah berupaya membungkam Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Pendapa. Melalui rilisan persnya, LPM Pendapa menyatakan bahwa upaya-upaya pembungkaman telah dilakukan oleh Rektorat UST Yogyakarta, seperti: tidak mengesahkan kepengurusan, menyetop pendanaan, hingga mengancam pengosongan sekretariat.

Tercatat sejak awal kepengurusan pada Februari hingga November 2016 sekarang, pihak Pendapa sudah berulangkali menemui birokrat kampus sebagai upaya menanyakan kejelasan dan beraudiensi. Mirisnya pada pertemuan di hari Senin, (14/11), pihak birokrat kampus yang diwakili Widodo membenarkan bahwa LPM Pendapa telah dibungkam. Perlu diketahui, pembungkaman LPM Pendapa ini disebabkan oleh muatan kritis dalam produknya yang bermaksud sebagai kontrol kebijakan kampus. Merasa tidak terima, pihak birokrat kampus pun memaksa kepengurusan Pendapa untuk menandatangani pakta integritas. Sedangkan isi pakta integritas tersebut cenderung mengamini keinginan birokrat kampus dan membatasi hak-hak LPM Pendapa. Maka sangat wajarlah bila kepengurusan LPM Pendapa menolaknya.

Mengetahui kabar ini, Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia (PPMI) Dewan Kota (DK) Yogyakarta beserta jajaran pers mahasiswa (persma) di Yogyakarta tidak ingin tinggal diam. Pembungkaman terhadap persma atas alasan apapun dengan menggunakan cara apapun merupakan wujud arogansi birokrat akademik. Perbuatan demikian tidak bisa diterima sebab akan semakin membatasi aspirasi-aspirasi kritis insan akademik yang ada di UST Yogyakarta. Kami khawatirkan, perbuatan naif birokrat UST Yogyakarta semakin menjalar dan ketagihan untuk membungkam nalar kritis kelompok-kelompok mahasiswa lainnya. Bila hal ini tetap dibiarkan, sama artinya mengkhianati marwah pendidikan khas Tamansiswa yang memerdekakan nan memanusiakan manusia.

Padahal bila mengingat sejarah Perguruan Tamansiswa, wadah ini didirikan Ki Hadjar Dewantara sebagai wujud perjuangan pendidikan melawan penjajahan. Kala itu, 3 Juli 1922, Ki Hadjar Dewantara bersama kawan-kawan seperjuangannya mendirikan Tamansiswa. Hal ini dilatarbelakangi terjajahnya kehidupan rakyat jelata di bawah rezim imperialis Hindia Belanda. Maka perjuangan melalui pendidikan merupakan sarana penyadaran supaya kaum pribumi jelata sanggup menjunjung martabatnya dan tidak mau lagi dijajah. Rezim penjajah pun tidak tinggal diam, kemudian menerbitkan Wildeschoolen Ordonantie atau peraturan Ordonansi Sekolah Liar pada 1932. Sadar bahwa peraturan tersebut bisa mengekang Tamansiswa, Ki Hadjar Dewantara pun melawannya dan menuliskan naskah protes (penolakan) di Majalah Timboel edisi 6 November 1932. Analogi pengekangan lewat ordonansi tersebut sebanding dengan upaya pembungkaman LPM Pendapa oleh Rektorat UST Yogyakarta.

Oleh sebabnya, melawan pembungkaman terhadap Pendapa adalah suatu upaya menyelamatkan misi-misi pendidikan khas Perguruan Tamansiswa. Melihat narasi sejarah Tamansiswa dan laku perjuangan Ki Hadjar Dewantara adalah membaca fakta bahwa kegiatan pendidikan sejatinya upaya pemerdekaan menghalau pembodohan dari rezim penjajah. Disambungkan dengan kondisi pendidikan kekinian, hal tersebut masih relevan untuk dilakukan. Ironisnya, Rektorat UST Yogyakarta selaku pewaris marwah ke-Tamansiswa-an justru terlihat mengkhianatinya dengan cara membungkam LPM Pendapa.

Sudah pasti, pembungkaman ini tidak layak dibiarkan. Demi menyelamatkan misi-misi kemerdekaan melalui pendidikan warisan Ki Hadjar Dewantara dan para leluhur, serta mewujudkan kemerdekaan berekspresi ranah akademik, PPMI DK Yogyakarta menyerukan sikap dan tuntutan sebagai berikut:

  1. Menuduh Rektorat UST Yogyakarta telah menodai ajaran Tamansiswa warisan Ki Hadjar Dewantara.

  2. Menghimbau agar Majelis Luhur Tamansiswa memperingatkan Rektorat UST Yogyakarta supaya tetap menjalankan misi-misi pendidikan yang memerdekakan dengan cara harus mencabut upaya-upaya perenggutan hak-hak LPM Pendapa.

  3. Selain mencabut perenggutan hak-hak terhadap Pendapa, Rektorat UST Yogyakarta harus mengakui kesalahannya dan bersedia meminta maaf kepada LPM Pendapa.

  4. Menghimbau Kemenristekdikti dan Kopertis Wilayah V supaya menindak tegas perbuatan sewenang-wenang Rektorat UST Yogyakarta yang mencederai kebebasan berekspresi di perguruan tinggi.

  5. Mengajak kawan-kawan mahasiswa di seantero Yogyakarta bahkan Indonesia agar berani mendukung kebebasan berekspresi di perguruan tinggi dan mau mengumandangkan perlawanan apabila dibugkam.

  6. Mengajak jajaran persma di seantero Yogyakarta bahkan Indonesia supaya bahu-membahu untuk melawan segala bentuk pembungkaman oleh birokrat kampus dan jangan ragu-ragu untuk melawannya.

  7. Mengajak mahasiswa-mahasiswi UST Yogyakarta dan seluruh elemen pendukung kemerdekaan berekspresi dalam perguruan tinggi di Yogyakarta supaya turut memperjuangkan LPM Pendapa sebagai wujud menjaga nilai-nilai kearifan Tamansiswa warisan Ki Hadjar Dewantara.

Begitulah narasi kasus, sikap, dan tuntutan dari PPMI DK Yogyakarta. Kami berharap Rektorat UST Yogyakarta segera menghentikan upaya-upaya pembungkaman kepada LPM Pendapa. Apabila pihak Rektorat UST Yogyakarta tidak mengindahkan sikap dan memenuhi tuntutan kami, maka PPMI DK Yogyakarta bersama jajaran persma siap mengajak seluruh elemen pendukung kebebasan berekspresi dan kemerdekaan berpindidikan di seantero Yogyakarta untuk menghadapi Rektorat UST Yogyakarta. Ingatlah!

Yogyakarta, 17 November 2016
Taufik Nurhidayat, Sekjend PPMI DK Yogyakarta

Narahubung:
Peka Tariska, Pemimpin Umum LPM Pendapa (085326060788)

Alan Hakim, BP Advokasi PPMI DK Yogyakarta (089530641159)

Taufik Nurhidayat, Sekjend PPMI DK Yogyakarta (083869971305)

Kategori
Siaran Pers

Kronologis Pembubaran Diskusi Publik tentang Marxisme dan Kekerasan Pasca 65 serta Pernyataan Sikap PPMI Dewan Kota (DK) Malang

Negara menjamin setiap warga negara untuk berkumpul dan menyampaikan pendapat secara bebas dan bertanggung jawab, sesuai dengan pasal 28 UUD 1945. Hal tersebut yang menjadi dasar bahwa Indonesia dikenal sebagai salah satu negara demokratis terbesar di dunia. Namun tujuan negara sesuai yang termaktub dalam Pasal 28 UUD 1945 tercoreng akibat praktik pelarangan diskusi oleh aparat hingga oknum kelompok masyarakat.

Pada (29/9), Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia (PPMI) Kota Malang mengadakan diskusi keilmuan bertema Marxisme dan Kekerasan Pasca 1965 di Warung Kopi Albar, Malang. Sebelumnya kegiatan tersebut diagendakan berlangsung di Universitas Islam Malang (Unisma). Berbagai syarat administratif seperti surat peminjaman tempat dan perizinan kegiatan kepada birokrat kampus sudah dilakukan oleh Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Fenomena Unisma selaku tuan rumah.

Pada awalnya, Pembantu Dekan (PD) III Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) Unisma memberikan izin pada tanggal 28 September, serta awak pers mahasiswa (Persma) Fenomena meminjam ruangan LPPM Gedung B Lt. 2 pada tanggal 24 September 2016. Namun pada hari pelaksanaan, sekitar pukul 09.00 WIB. Safii, salah satu panitia diskusi dari PPMI DK Malang dihubungi oleh seseorang untuk menuju Markas Komando (Mako) Satpam dan diinterogasi mengenai acara yang akan digelar. Di Mako, panitia ditanyakan oleh dua orang yang mengaku tim Satpam.

Siang hari, PD III FKIP menghubungi Safii untuk menghadap ke Rektorat. Saat itu, Safii mengajak Uni selaku Pemimpin Umum LPM Fenomena serta menghubungi Sekjen PPMI Kota Malang, Imam untuk ditanyakan detail acara. Pada pukul 13.00 , Imam, Bayu selaku Advokasi PPMI DK Kota Malang, Wahyu selaku panitia diskusi, dan Uni dari LPM Fenomena hadir di ruang rektorat. Saat itu kami bertemu Pembantu Rektor (PR) I dan PD III FKIP. Saat itu, pihak Unisma menyampaikan tidak bisa memberikan izin diskusi karena terkait masalah administrasi, yakni kurangnya proposal dan pihak PPMI tidak mengabarkan langsung pihak Unisma. Ketika ditanyakan apakah permasalahannya adalah konten acara, pihak Unisma tidak memberikan keterangan, permasalahan menuju ke syarat administrasi peminjaman tempat. Pasca lobbying bersama birokrat Unisma, tim dari PPMI DK Malang menyampaikan bahwa tetap menyelenggarakan diskusi di luar kampus.

Setelah itu, tim PPMI mencari informasi pelarangan diskusi tersebut dan menanyakan ke salah seorang teman di Organisasi Intra Kampus Unisma yang menyatakan banyak orang terduga intelijen dari Kodim dan Polres mendatangi Unisma di pagi hari. Serta dugaan dari Safii, PPMI DK Malang menduga diskusi digagalkan oleh aparat. Bahkan, melalui keterangan dari kawan tersebut panitia diskusi malah diisukan membawa 1 bis eks tahanan politik PKI dari Madiun. Padahal, hal tersebut tidak dilakukan oleh panitia sama sekali.

Sore 29 September 2016, pukul 15.00 panitia menggelar rapat di warung kopi Jelata, daerah Merjosari Malang. Panitia memutuskan untuk tetap menggelar diskusi namun undangannya terbatas, hanya pada internal LPM, Aliansi Jurnalis Independen, dan beberapa organisasi mahasiswa ekstra kampus di Malang. Tempat diskusi dikabarkan pukul 16.20  melalui media Whatsapp, yakni di Warung Kopi Albar pada pukul 18.00.

Pukul 18.00, pemateri yakni Bedjo Untung dari Yayasan Penelitian Korban Pembunuhan (YPKP) dan Roy Murtadho dari Front Nadhliyin datang ke lokasi kegiatan. Awalnya pelaksanaan kegiatan berjalan lancar hingga pukul 20.00. Namun, sepanjang pelaksaan kegiatan diskusi satu persatu aparat berpakaian sipil datang ke lokasi acara tanpa menyampaikan identitasnya. Hingga pada pukul 21.00 panitia dihubungi dan diajak berdiskusi di depan pintu gerbang untuk menghentikan kegiatan diskusi karena ada kelompok warga yang tidak suka dengan kegiatan diskusi yang dilaksanakan. Beberapa orang yang tidak diketahui identitasnya bahkan terlihat mengambil foto wajah panitia dan peserta diskusi.

Berbagai negosiasi yang dilakukan untuk melanjutkan acara terpental karena masalah izin dan meresahkan. Akhirnya sekitar pukul 21.30 dua orang yang tidak diketahui identitasnya langsung menghentikan acara ketika diskusi berlangsung. Sontak peserta diskusi langsung mengambil gambar dan terjadi beberapa keributan. Panitia langsung mengamankan pemateri ke tempat penginapan. Bersamaan dengan itu, datang sekitar 7 orang berpakaian gamis dan surban putih ke warung kopi Albar. Diskusi resmi berhenti pada pukul 21.30 serta berbagai pihak yang ada di warung kopi tersebut diminta meninggalkan warung kopi Albar.

Kejadian pada tanggal 29 September 2016 tentu saja mencoreng kebebasan berpendapat dan berkumpul bagi warga negara, khususnya mahasiswa. PPMI DK Malang mengecam keras tindakan represif tersebut dengan alasan apapun. Terlebih tindakan dari aparat negara yang masuk ke ruang – ruang akademis dan keilmuan yang menggangu kegiatan kampus dan mahasiswa. Oleh karena itu PPMI DK Malang yang beranggotakan 23 LPM menyataan sikap:

  1. Menolak represifitas yang dilakukan oleh aparatur negara kepada ruang – ruang diskusi di dalam kampus atau ruang publik.
  2. Mengecam tindakan pelarangan diskusi yang telah dijamin oleh Undang–undang Pasal 28 UUD 1945 tentang kebebasan berserikat, berkumpul, dan menyampaikan pendapat.
  3. Mengajak seluruh Lembaga Pers Mahasiswa, Insan Pers, dan Seluruh organisasi mahasiswa yang ada untuk menentang dan mengecam segala tindakan yang represi dan terus berjuang untuk menumbuhkan diskusi keilmuan di dalam kampus atau luar kampus.
  4. Meminta Presiden Joko Widodo untuk menuntaskan kasus pelanggaran HAM masa lalu sehingga kejadian represifitas diskusi terkait tema HAM dan kekerasan pasca 1965 tidak terjadi lagi di berbagai tempat lainnya.

Narahubung:

Imam Abu Hanifah (085696931450)
Bayu Diktiarsa (081207874525)
Sofi Irma Rahmawati (085748811143)

Kategori
Siaran Pers

Sudah 20 Tahun, Kapolri Harus Tuntaskan Kasus Udin

Sudah 20 tahun kasus pembunuhan wartawan Harian Bernas, Fuad Muhamad Syafrudin, belum dituntaskan kepolisian. Syafrudin atau yang akrab dipanggil Udin diduga dibunuh karena aktivitasnya sebagai jurnalis yang sering memberitakan isu korupsi di lingkaran pejabat Kabupaten Bantul, yang saat itu dipimpin oleh Bupati Sri Roso Sudarmo.

16 Agustus 1996 tidak bisa menulis berita lagi. Awalnya ia dianiaya oleh orang yang tidak dikenal pada tanggal 13 Agustus 1996, hingga mengalami koma, kemudian meninggal. Sejak saat itu, tidak ada upaya serius dari kepolisian untuk menuntaskan kasus pembunuhan Udin. Klaim yang pernah diberikan kepolisian terhadap Dwi Sumaji sebagai tersangka karena terkait masalah pribadi tidak bisa diterima di Pengadilan Negeri Bantul. Sudah 20 tahun, pembunuh Udin pun masih menjadi rahasia.

Hari ini Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia (PPMI) menuntut Kapolri, Tito Karnavian mengutamakan penuntasan kasus Udin. “20 tahun kasus Udin belum berhasil diungkap oleh kepolisian, ini merupakan sebuah kelemahan penegakan hukum di Indonesia. 20 tahun merupakan waktu yang sangat panjang bagi kepolisian untuk mengungkap pembunuhan terhadap jurnalis Udin,” ungkap Abdus Somad, Sekjend Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia.

Abdus Somad menegaskan, PPMI akan konsisten ikut mengawal kasus Udin. Menuntaskan kasus pembunuhan Udin bagi kepolisian merupakan pintu awal pemerintah menjaga kebebasan pers dan menjalankan amanat undang-undang. Baginya, ketidakseriusan kepolisan dalam menuntaskan kasus pembunuhan Udin juga akan mengancam pelanggaran kebebasan pers dan kebebasan berekspresi di negeri ini.

Pelanggaran kebebasan pers di kampus, yaitu pers mahasiswa saat ini juga sedang marak-maraknya. PPMI mencatat sejak Januari 2013 sampai Mei 2016, dari 64 pers mahasiswa di berbagai daerah yang tercatat, 47 pers mahasiswa mengalami kekerasan sedangkan 17 pers mahasiswa tidak mengalami kekerasan. Kasus pelanggaran kebebasan pers di ranah kampus yang paling banyak adalah kasus intimidasi, kemudian pembredelan, pelecehan, semuanya tercatat sejumlah 72 kasus dari 47 pers mahasiswa.

PPMI juga meminta kepada Presiden Joko Widodo, agar lebih serius dalam menegakkan kebebasan pers, kebebasan berekspresi dan kebebasan berpendapat. Bagi Abdus Somad, dengan menegakkan hal itu akan terwujudkan negara yang demokratis. “Kepolisian juga jangan bertindak arogan dalam menyelesaikan sengketa kebebasan pers dan kebebasan berekspresi” tegasnya.

Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia juga mencatat selama Januari 2015 sampai Agustus 2016, ada 54 kasus kekerasan terhadap jurnalis. Di antara kasus yang dicatat oleh AJI Indonesia yaitu ancaman teror (11), kekerasan fisik (22), penyerangan kantor (1), pembunuhan (1), pemidanaan (1), pengerusakan alat (5), pengusiran/pelarangan liputan (13).  “Maraknya kasus kekerasan terhadap jurnalis atau lembaga pers yang terjadi di Indonesia itu karena tidak adanya keseriusan pemerintah dalam mengawal kebebasan pers. Terbukti kasus pembunuhan jurnalis Udin sudah 20 tahun belum juga terungkap. Pembiaran kasus pembunuhan Udin oleh kepolisian, dikhawatirkan ke depannya  kebebasan pers dan kebebasan berekspresi akan semakin terenggut” tandas Abdus Somad.

 

Narahubung:

Sekjen PPMI Nasional, Abdus Somad ( +6281226545705 )

Litbang PPMI Nasional, Nur Sholikhin (+6285643187271 )

Kategori
Siaran Pers

Deklarasi Jember

Persoalan bangsa dan pendidikan makin menjerumus pada penghancuran semangat demokrasi dan penistaan terhadap intelektualitas. Ini terlihat dari maraknya pengekangan kebebasan berekspresi di ranah akademik dan ruang publik oleh kelompok-kelompok antidemokrasi. Kasus-kasus yang terjadi meliputi pembungkaman berpendapat, pembredelan lembaga pers mahasiswa, intimidasi jurnalis mahasiswa, penangkapan aktivis yang diduga menyebarkan paham komunisme, penyitaan buku-buku kiri, hingga pelarangan serta pembubaran paksa acara pemutaran di film sejarah di wilayah perguruan tinggi.

Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia (PPMI) sebagai simpul gerakan pers mahasiswa, mencatat ada 47 kasus kekerasan terhadap aktivis pers mahasiswa selama tahun 2013-2016. Pelaku kekerasan terhadap aktivis pers mahasiswa berasal dari aparatus keamanan negara, birokrasi kampus, dan instansi pemerintah lainnya.

Oleh karena itu buruknya kebebasan berekspresi di Indonesia perlu disikapi secara serius. Dengan demikian kelompok-kelompok yang mencederai semangat berdemokrasi tidak lagi berlaku sewenang-wenang. Undang-Undang Dasar 1945 menjamin kebebasan berekspresi sesuai dengan pasal 28 ayat 2 dan 3, serta pasal 28 F sebagai jaminan perlindungan terhadap kehidupan demokrasi yang sehat dan negara hukum yang berdaulat.

Begitu pula dengan undang-undang nomor 12 tahun 2012 pada pasal 8 dan 9. Sangat jelas bahwa kebebasan mimbar akademik dan otonomi keilmuan merupakan tanggung jawab pimpinan perguruan tinggi untuk melindungi kebebasannya.

Melihat kondisi bangsa dan nasib pendidikan tinggi saat ini kian jauh dari semangat demokrasi. Tidak mengindahkan semangat tri dhrama perguruan tinggi yang jadi landasan perguruan tinggi dalam mengambil peran untuk kepentingan masyarakat dan negara.

Merespons hal tersebut, PPMI pada kegiatan Rapat Pimpinan Nasional di Jember pada 29 Mei 2016 menyusun “Deklarasi Jember” sebagai upaya mewujudkan perubahan serta menjunjung tinggi semangat demokrasi di negeri ini. Sekaligus menyikapi persoalan demokratisasi yang semakin dirampas oleh kelompok-kelompok tertentu, khususnya di dalam perguruan tinggi. PPMI menghimbau peran aktif semua aktivis pers mahasiswa di Indonesia untuk:

  1. Memperkuat simpul jaringan dan kekuatan untuk melawan segala bentuk kekerasan terhadap pers mahasiswa dan ancaman terhadap kebebasan berekspresi. Kemudian menerapkan konsep berjejaring dan saling menguatkan sebagai upaya membangun semangat pers mahasiswa.
  2. Mendesak Presiden Joko Widodo agar segera mengambil peran serta menyusul langkah strategis untuk melindungi dan menyelesaikan masalah kebebasan berekspresi di Indonesia.
  3. Meminta Mohamad Nasir, Menteri Riset Teknologi Dan Pendidikan Tinggi Republik (Menristekdikti) beserta pimpinan perguruan tinggi di seluruh Indonesia. Agar mengambil sikap dan langkah yang konkret untuk memurnikan kembali peran perguruan tinggi. Sebagai ruang akademis yang bebas mengkaji pengetahuan apapun tanpa ada intervensi dari pihak lain.
  4. Menyerukan kepada seluruh pers mahasiswa agar bersatu dan tidak mementingkan golongan individu dan lembaga tertentu, yang berpotensi memperlemahkan semangat perjuangan pers mahasiswa.

 

Narahubung:

Abdus Somad, Sekjend PPMI Nasional, +6281226545705

Kategori
Siaran Pers

PPMI Malang: Pimpinan Universitas Ahmad Dahlan Cederai Nilai Demokratis di Lingkungan Akademis

Pers Mahasiswa merupakan salah satu bagian dari budaya demokratis dalam kehidupan masyarakat khususnya di kampus. Peran aktif awak pers mahasiswa dalam kegiatan meliput dan memproduksi tulisan-tulisan ‘kritis’ selalu jadi bagian yang tak terpisahkan. Begitu pula awak magang Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Poros Universitas Ahmad Dahlan (UAD) Yogyakarta yang menerbitkan buletin dengan isu utama pendirian fakultas Kedokteran. Kesiapan kampus UAD dan masalah fasilitas menjadi sorotan. Harapan akan perbaikan tentu bukan hanya dari penulis buletin, namun mahasiswa UAD. Tuntutan atas fasilitas tentu tak muluk-muluk mengingat mereka menyumbang dana melalui SPP tiap semesternya.

Sayangnya ‘niat baik’ rekan-rekan LPM Poros untuk mengkritik kampusnya agar bisa berbenah tak disambut baik oleh Wakil Rektor III UAD, Abdul Fadlil. Ia merasa tidak terima terhadap berita fakultas kedokteran tersebut dan mengeluhkan mengapa LPM Poros selalu mengkritisi kampus. Seperti yang dikutip dari persmaporos.com, LPM Poros dianggap tidak bermanfaat bagi universitas oleh Fadlil. Di akhir perbincangan, Fadlil secara lisan lantas menyatakan bahwa LPM Poros telah dibekukan, sehingga tidak dapat melakukan kegiatan jurnalistik maupun organisasi. Pernyataan ketidaksukaan terhadap LPM Poros pun terlontar dari Safar Nasir selaku Wakil Rektor II.

Tindakan sewenang-wenang yang dilakukan oleh birokrat UAD patut diduga telah melanggar Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 28 tentang Hak Asasi Manusia. Pasal 28 E ayat 3 menyatakan bahwa warga negara Indonesia selain bebas untuk berserikat, juga bebas untuk mengeluarkan pendapat. Sedangkan Pasal 28 F menyatakan bahwa setiap orang berhak mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia. Sebagai civitas akademik terdidik yang berbudi luhur, birokrat UAD seharusnya telah paham nilai-nilai dasar HAM tersebut. Atas perlakuan sepihak terhadap LPM Poros lalu menimbulkan pertanyaan, apakah perlakuan tersebut timbul karena para birokrat telah gagal memahami pasal UUD tersebut atau karena arogansi untuk menutupi hal-hal yang tidak ingin diketahui publik semata?

Selain diduga mencederai pasal UUD, sikap Fadlil yang tak merespon pemberitaan melalui hak jawab dan malah melakukan pemberedelan telah memperlihatkan bahwa kurang pahamnya akan etika jurnalistik dan UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers. Padahal Pemimpin Redaksi LPM Poros, Fara Dewi Tawainella pun telah menjelaskan secara langsung tentang prosedur jika publik keberatan dengan isi berita. Maka timbul pertanyaan baru, haruskah Presiden RI, Pimpinan Pusat Muhammadiyah, atau orang tuanya yang menjelaskan baru para birokrat tersebut paham?

Atas pembekuan dan pemberedelan sepihak yang dilakukan birokrat UAD terhadap LPM Poros, maka kami Perhimpuan Pers Mahasiswa Indonesia (PPMI) Kota Malang yang beranggotakan 24 LPM se-Malang  dengan tegas menyatakan :

  1. Menolak pembekuan dan pemberedelan terhadap LPM Poros karena diduga bertentangan dengan pasal UUD 1945 dan UU No.40 seperti yang telah disebutkan di atas.
  2. Mengecam tindakan sepihak yang dilakukan birokrat UAD karena mencederai nilai-nilai demokratis di lingkungan akademis.
  3. Mengajak seluruh insan Pers untuk menentang dan mengecam segala tindakan pelemahan dan upaya pembungkaman informasi publik yang berbasis jurnalistik.
  4. Meminta PP Muhammadiyah untuk menegur pihak-pihak birokrat UAD yang terlibat dalam pembekuan dan pemberedelan LPM Poros agar tidak terjadi hal serupa dikemudian hari serta memberikan pengarahan mengenai pentingnya bersikap terbuka terhadap kritik.

 

Narahubung:

Imam Abu Hanifah, Sekjend PPMI Kota Malang (085696931450)

Kategori
Siaran Pers

Pernyataan Sikap FKPMA atas Pembekuan dan Pemberedelan LPM Poros UAD Yogyakarta

Assalamualaikum Wr. Wb.
Salam Pers Mahasiswa.

Semoga rekan-rekan pegiat Pers Mahasiswa sepenjuru Nusantara dalam keadaan sehat walafiat. Semoga pula tetap di jalur yang benar (menyuarakan kebenaran) dan serta masih hidup dengan semangat ke-kritis-an dan jiwa indealisme yang terus dijunjung.

Indonesia dikenal sebagai salah satu Negara Demokratis di dunia. Salah satu butir demokrasi itu ialah berhak atau memiliki hak menyuarakan pendapat dan bebas berekspresi. Namun nyatanya, implementasi Demokrasi yang diagungkan itu “jauh panggang dari api”. Hal ini terbukti jelas apa yang telah dilakonkan dan dilakukan pemangku kekuasaan di Universitas Ahmad Dahlan (UAD) Yogyakarta, dengan membekukan dan memberedel Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Poros. Ini bukti pihak UAD Yogyakarta telah mencoreng demokrasi di Indonesia.

Birokrat UAD telah membekukan dan memberedel secara sepihak terhadap LPM Poros, yang berada di bawah naungannya. Pembekuan dan pemberedelan terhadap LPM Poros oleh Birokrat UAD Yogyakarta, terlihat jelas secara sepihak, tanpa menjelaskan duduk permasalahan (konten berita yang dipermasalahkan) dan tidak ada pemberitahuan resmi pula dari pihak kampus.

Abdul Fadlil selaku Wakil Rektor III dan pejabat terkait UAD, menilai LPM Poros sudah keterlaluan dalam memberitakan terkait pendirian Fakultas Kedokteran di UAD yang dimuat pada buletin magang LPM Poros. Bahkan ia mengatakan LPM Poros tidak ada manfaat sama sekali bagi kampus, karena selama ini mereka anggap selalu memberitakan keburukan dan kejelekan kampus saja.

Pembekuan dan pembredelan LPM Poros tidak secara sah dimata hukum, karena tidak adanya SK tentang hal itu yang dikeluarkan oleh pihak kampus. Pada dasarnya setiap keputusan tentu disertai Surat Keputusan (SK), baik pengangkatan maupun pemberhentian (pembekuan dan pembredelan).

Sungguh aneh dan sangat disayangkan. Pihak UAD (Abdul Fadlil selaku Wakil Rektor III) tidak mau memberikan penjelasan dan klarifikasi (melalui hak jawab dalam jurnalistik) apa yang dipermasalahkan, meski awak redaksi LPM Poros sudah menyarankan dan membuka pintu akan hal itu. Bahkan sudah enam kali ditawarkan Pemimpin Umum dan Pemimpin Redaksi LPM Poros, namun tak disambut dengan bijak. Pihak LPM Poros sudah memberikan ruang untuk bicara, tapi tidak disambut baik oleh pihak kampus. Apa yang telah dilakukan dan diupayakan pihak LPM Pores sudah sangat tepat dan sesuai dengan kode etik jurnalistik. Bagaimana mungkin kita (LPM Pores) bisa dikatakan salah, tapi tidak diberitahu letak kesalahannya dimana? Sungguh aneh. Secara tersirat memperlihatkan bahwa, pemimpin di UAD adalah orang-orang yang anti dengan kritik dan saran.

Peristiwa ini membuktikan bahwa, apaya telah dilakukan oleh Birokrat UAD secara sengaja melanggar dan menciderai UU No.40 Tahun 1999 tentang Pers dan Undang-Undang No 12 Tahun 2012 Tentang Pendidikan Tinggi. Tindakan ini sudah mengubur dalam-dalam prinsip dasar penyelenggaraan pendidikan tinggi, yang selama ini dilaksanakan dengan prinsip demokratis, berkeadilan, serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia.

Untuk itu, kami Forum Komunikasi Pers Mahasiswa Aceh (FKPMA) menyatakan: pembekuan dan pemberedelan LPM Poros merupakan tindakan yang tidak menjunjung tinggi nilai demokrasi, bahkan bisa dikatakan main hakim sendiri, dan mencerminkan kampus yang jauh dari kata demokratis, serta anti-kritik.

Bardasar hal-hal di atas maka, saya Murti Ali Lingga (Kordinator FKPMA) dan segenap pengurus Forum Komunikasi Pers Mahasiswa Aceh (FKPMA) beranggotakan enam LPM di Aceh menuntut dan menyatakan:

PERTAMA: Mengecam tindakan pembekuan dan pemberedelan LPM Poros yang dilakukan pihak UAD. Menurut hemat kami, tindakan dan perlakuan ini merupakan tindakan kekanak-kanakan dan memperlihatkan pemimpin kampus yang anti kritik dan saran.

KEDUA: Mengecam dan menyayangkan upaya (pihak) UAD dalam penyelesaian peristiwa ini, dengan tidak adanya komunikasi yang baik tanpa melibatkan pihak LPM Poros.

KETIGA: Mengecam segala bentuk intimidasi (baik secara fisik dan mental) yang tujuannya membatasi ruang gerak LPM Poros dalam menjalankan kerja-kerja jurnalistik, yang sejatinya menyuarakan kebenaran.

KEEMPAT: Meminta pihak UAD agar segera mengizinkan kembali segala kegiatan LPM Poros agar kembali berjalan sediakala.

KELIMA: Meminta pihak UAD untuk “mengembalikan” citar baik LPM Poros, melalui permintaan maaf, baik lisan maupun tertulis.

KEENAM: Meminta pihak UAD untuk tidak mempraktikan dan melakukan tindakan serupa kepada LPM Poros secara khusus dan kepada seluruh organisasi-organisasi dinaunginya, secara umum.

Demikian pernyataan sikap ini kami buat, semoga dapat diterima dan ditanggapi secara arif dan bijaksana, serta dengan akal sehat. Sekian suara kritik dan saran. Segala atensinya, kami ucapkan terima kasih banyak.

Mari melawan pembungkaman. Hidup Pers Mahasiswa!
Wassalam.
Banda Aceh, 4 Mei 2016
Tertanda,
Murti Ali Lingga, Koordinator Forum Komunikasi Pers Mahasiswa Aceh (FPMA)

Narahubung:

0822-1447-3783

0858-3434-1402

PIN 5CF60943

Surel : murtialilingga@gmail.com

Kategori
Siaran Pers

Persma Walisongo Semarang: Stop Pembungkaman dan Pemberedelan Pers Mahasiswa!

Salam Pers Mahasiswa !

Maraknya kasus yang dialami Pers Mahasiswa (Persma) masih sering terjadi pada banyak kampus di Indonesia. Tahun 2015, kasus intervensi dialami oleh pers mahasiswa Aksara (September 2015), penarikan majalah dialami oleh pers mahasiswa Lentera (Oktober 2015), hingga pembekuan terhadap pers mahasiswa Media Universitas Mataram (November 2015). Belum lagi kasus kekerasan terhadap pers mahasiswa lain yang tidak terekspos media, telah membuat dilema dalam demokrasi, yang mana kebebasan pers masih dikebiri.

28 April 2016, Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Poros Universitas Ahmad Dahlan (UAD) Yogyakarta pun mengalami hal serupa. Rektorat UAD membekukan Poros dengan alasan merugikan kampus (pemberitaan Poros dianggap membuat citra buruk bagi kampus). Sebuah alasan sepihak, sebagaimana diberitakan media online Poros.

Pembekuan ini adalah sebuah penodaan terhadap kebebasan pers dan kebebasan berpendapat yang sudah jelas dilindungi Undang-undang. Seperti pasal 28 UUD 1945: “Kemerdekaan berserikat dan berkumpul mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan undang undang”, pasal 28 E ayat 3 berbunyi: “Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat. Kemudian Undang-undang Pers No.40 Tahun 1999: Undang-undang ini telah menjamin hak mengemukakan pendapat di media Pers. Undang-undang ini juga menjamin kebebasan pers di Indonesia. Kemudian masyarakat indonesia juga berhak mendapatkan informasi dan menyampaikan Informasi.

Namun, Undang-undang ataupun aturan tentang kebebasan pers, khususnya pers mahasiswa tidak dihiraukan oleh birokrasi kampus yang sering berpikiran sempit. Mereka menolak bahkan memusuhi pemberitaan ataupun kritik yang dilakukan pers mahasiswa. Bahkan sampai membekukan sebuah lembaga dengan segala aktivitasnya.

Birokrasi kampus seringkali anti-kritik dengan pemberitaan atau dengan segala bentuk karya jurnalistik yang dituding menurunkan citra kampus. Padahal peran pers mahasiswa disini adalah sebagai Watch Dog (anjing penjaga), yang mana bekerja di bawah kode etik jurnalistik. Tentu juga dengan kritik yang bersifat membangun agar kampusnya maju tidak hanya dari kuantitas, namun juga kualitas di dalamnya dapat dievaluasi bersama.

Karena memandang pemberitaan persma secara sepihak itulah yang membuat birokrat kampus sering mengeluarkan keputusan atau kebijakan yang tidak rasional. Hanya karena kampus diperlihatkan kekurangannya, namun sudah dijudge membuat citra kampus menjadi buruk. Pers mahasiswa tidak lagi memiliki hak atau kesempatan untuk memberikan informasi (fakta) kepada masyarakat kampus (mahasiswa) yang demokratis. Kampus selalu mengajarkan tentang makna demokrasi, namun birokratnya sendiri sering tidak menyadari bahwa mereka telah menodai hakikat demokrasi karena mereka hanya menganggap apa yang dilakukan mahasiswa ini adalah sebuah anarkisme yang harus dibungkam dan dibekukan.

Pembungkaman dan pemberedelan Poros menjadi tamparan bagi insan pers di Indonesia, bahwa ketegasan mengenai kasus kekerasan pers ini harus segera diatasi dan diakhiri. Jika tidak ada tindakan tegas mengenai kasus yang marak terjadi ini, masa depan pers mahasiswa dan masa depan demokrasi Indonesia dipertaruhkan.

Bertepatan dengan momentum Hari Kebebasan Pers Internasional (03 Mei 2016) dan dari pemaparan di atas, kami atas nama Pers Mahasiswa Walisongo Semarang menyatakan sikap sebagai berikut :

  • Mengecam tindakan rektorat UAD yang telah membekukan Poros.
  • Hidupkan lagi Poros sebagai bentuk ketaatan pada undang-undang tentang demokrasi.
  • Memperingatkan seluruh rektor dan jajaran kampus di Indonesia agar tidak semena-mena dalam pengambilan keputusan mengenai pemberitaan atau karya jurnalistik yang bersifat kritik.
  • Copot dan beri sangsi kepada birokrat yang otoriter dan berpikiran sempit dari jabatannya.
  • Melindungi dan menghargai hak jurnalistik (informasi) di kampus.
  • Atur Undang-undang mengenai pers mahasiswa secara khusus oleh pemerintah.

Demikian siaran pers dari kami. Semoga apa yang kita lakukan hari ini menjadi bahan untuk membawa nasib bangsa lebih maju dan berkualitas. Terima Kasih.

Narahubung :

M. Dafi Yusuf, LPM Missi (+6285799760431)