Kategori
Diskusi Esai

Memahami Payung Hukum dan Perlindungan Pers Mahasiswa

Munculnya wacana mengenai payung hukum kembali mencuat setelah Musyawarah Kerja Nasional (Mukernas) Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia (PPMI) di Yogyakarta pada tahun 2022. Pers mahasiswa mulai berbondong-bondong mendorong pembentukan landasan hukum untuk melindungi mereka. Upaya ini bukan tanpa alasan, melainkan merupakan respons terhadap berbagai kasus represi yang dialami oleh pers mahasiswa.

Pada tahun 2019, Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Suara USU mengalami represi berupa pemecatan anggota LPM secara paksa oleh Runtung Sitepu, Rektor Universitas Sumatera Utara. Pemecatan tersebut bermula dari penulisan cerpen berjudul “Ketika Semua Menolak Kehadiran Diriku di Dekatnya” yang diunggah di situs web suarausu.co. Runtung menganggap bahwa cerpen tersebut mendukung kelompok LGBT.

Kasus yang menimpa LPM Lintas terjadi akibat penerbitan majalah berjudul “IAIN Ambon Rawan Pelecehan” pada tahun 2022. Rektor IAIN Ambon, Zainal Abidin Rahawarin, merespons majalah tersebut dengan menerbitkan Surat Keputusan pembekuan LPM Lintas. Selain itu, Pemimpin Redaksi LPM Lintas, Yola Agne, juga dicabut hak akademiknya.

Musibah yang menimpa LPM Lintas dan Suara USU merupakan bentuk represi yang dialami oleh pers mahasiswa. Dalam catatan kasus yang dipublikasikan oleh BP Advokasi PPMI, tercatat sepanjang tahun 2020-2021 terjadi 48 kasus represi terhadap pers mahasiswa di berbagai wilayah. Data tersebut hanyalah sebagian kecil dari fenomena gunung es. Masih banyak kasus represi lainnya yang belum tercatat dan dialami oleh pers mahasiswa.

Keinginan untuk mendapatkan perlindungan melalui payung hukum muncul setelah berbagai kasus represi di kampus. Pers mahasiswa memang memerlukan jaminan perlindungan agar dapat merasa aman dalam menjalankan fungsinya sebagai kontrol sosial di lingkungan kampus. Namun, sebelum hal tersebut terwujud, diperlukan pemahaman yang mendalam untuk mempertimbangkan bagaimana pers mahasiswa bisa mendapatkan perlindungan hukum yang tepat.

Pers Mahasiswa Berpijak

Sebelum melangkah lebih jauh, perlu dipahami makna dari pers mahasiswa (persma). Pers adalah individu yang melakukan kegiatan jurnalistik, sedangkan mahasiswa adalah individu yang menempuh pendidikan di perguruan tinggi. Dengan demikian, persma dapat dimaknai sebagai mahasiswa yang melakukan kegiatan jurnalistik di bawah naungan perguruan tinggi.

Pijakan bahwa pers mahasiswa adalah mahasiswa yang menempuh pendidikan di perguruan tinggi tidak boleh diabaikan dalam pemahamannya. Mereka berbeda dengan jurnalis di lembaga media arus utama yang menjalankan kerja jurnalistik secara profesional. Persma memikul tanggung jawab yang lebih luas, yaitu sebagai jurnalis, aktivis, dan akademisi.

Secara garis besar, pers memikul tanggung jawab sebagai pilar keempat dalam negara demokrasi. Pers diibaratkan sebagai *watchdog* (anjing penjaga) yang bertugas mengawasi pemerintah dan masyarakat demi kepentingan publik. Oleh karena itu, pers bekerja dengan memikul tanggung jawab sosial kepada publik, bukan sebagai humas yang melayani kepentingan penguasa.

Koridor hukum yang menaungi persma dan pers memiliki perbedaan. Dalam UU Pers No. 40 Tahun 1999, persma tidak disebutkan secara spesifik. Dewan Pers menaungi dan mengatur persoalan media atau jurnalis sebagai profesi. Sementara itu, persma berada di bawah naungan perguruan tinggi.

Dewan Pers memiliki keterbatasan dalam menjangkau aturan yang berlaku di perguruan tinggi karena mereka hanya bertanggung jawab atas ranah pekerja media. Selain itu, dalam UU No. 40 Tahun 1999, persma tidak dapat dimasukkan, karena undang-undang tersebut mengatur bahwa media harus berbentuk perusahaan yang memiliki konsep komersialisasi.

Untuk dapat diakui dalam regulasi UU Pers, persma harus mengubah status lembaganya menjadi sebuah perusahaan. Untuk mencapai status tersebut, persma perlu mengurus akta notaris secara mandiri. Setelah itu, diperlukan penataan manajemen administrasi kelembagaan sebagai syarat pengajuan menjadi perusahaan. Namun, jika mengikuti regulasi UU Pers, persma berisiko mengalami pergeseran nilai perjuangan ideologi.

Yosep Adi Prasetyo, Ketua Dewan Pers (2016-2019), mengkategorikan jenis pers di Indonesia. Penjelasan ini tercantum dalam jurnal Dewan Pers berjudul “Mendorong Profesionalisme Pers melalui Verifikasi Perusahaan Pers” yang diterbitkan pada tahun 2017. Persma dikategorikan dalam kuadran kedua, yaitu pers yang tidak terverifikasi tetapi menjalankan aturan sesuai ketentuan kode etik jurnalistik. Dalam pengelompokan tersebut, Dewan Pers menggolongkan persma sebagai bagian dari jurnalisme kelompok.

Gagasan tentang regulasi hukum yang menaungi persma dibahas oleh Herlambang P. Wiratraman, dosen Hukum Tata Negara UGM, dalam artikel berjudul “Persma, Kebebasan Pers, dan Akademik” yang dimuat dalam majalah Poros edisi XII. Landasan kebebasan persma sebenarnya sudah diatur dalam beberapa regulasi kementerian pendidikan. Sistem yang mengikat di Indonesia berdasarkan dua landasan, yaitu konstitusi dan undang-undang.

Pertama, secara konstitusional, kebebasan akademik dapat dijamin melalui penafsiran yang luas terhadap ketentuan Pasal 28, 28C, 28E, dan 28F Undang-Undang Dasar (UUD) Republik Indonesia (RI) Tahun 1945. Kedua, secara undang-undang, kebebasan akademik bisa dilindungi secara umum dengan merujuk pada Undang-Undang (UU) No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (HAM). Secara khusus, perlindungannya merujuk pada Pasal 8, Pasal 9, dan Pasal 54 ayat (3) UU Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi (UU Dikti). Dalam UU Dikti, kebebasan ini diklasifikasikan menjadi tiga, yaitu kebebasan akademik, kebebasan mimbar akademik, dan otonomi keilmuan.

Dari segi landasan hukum, persma perlu menjadikan koridor pendidikan sebagai fondasi. Meskipun Dewan Pers memiliki kewenangan untuk melindungi atau menindak pers, mereka memiliki keterbatasan dalam menjangkau koridor hukum yang mengatur persma. Herlambang menyarankan agar kampus mendorong penegasan posisinya dengan memperkuat standar kebebasan akademik melalui beberapa langkah berikut:

Pertama, kebijakan kampus harus berdasar pada hukum yang kuat, memiliki legitimasi, dan tetap mempertimbangkan standar hukum HAM. Kedua, pembatasan ekspresi hingga pemberian sanksi harus merujuk pada pembatasan-pembatasan yang sah, sebagaimana dikenal dalam Prinsip-Prinsip Siracusa mengenai Ketentuan Pembatasan dan Pengurangan HAM dalam Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik (1984), atau dengan mempelajari Laporan Komisi Tinggi HAM Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tentang Lokakarya Ahli terkait Larangan Penghasutan pada Kebencian terhadap Bangsa, Ras, dan Agama (2013). Ketiga, kerangka hukum yang dapat digunakan sebagai basis perlindungan persma adalah melalui dua pilar kebebasan: Prinsip-Prinsip Surabaya untuk Kebebasan Akademik (2017) dan kebebasan yang dijamin dalam sistem hukum pers Indonesia.

Upaya Dewan Pers dalam memberikan komitmennya terhadap pers mahasiswa tidak berhenti dengan pengakuan de facto. Ketua Dewan Pers, Ninik Rahayu, berusaha mengupayakan perjanjian kerja sama (PKS) dengan Kemendikbud Ristek dan Kemenag. Namun, perjanjian tersebut belum disepakati oleh kedua lembaga besar yang menaungi bidang pendidikan di Indonesia. Dewan Pers telah merilis PKS dengan Kemendikbud Ristek melalui laman Instagram mereka, @officialdewanpers.

Setelah diterbitkannya PKS, PPMI mengadakan diskusi terbuka bertema “Perlindungan Terhadap Pers Mahasiswa” bersama Dewan Pers pada 27 April 2024. Zulkifli Hasan, selaku Ketua Komisi Hukum dan Perlindungan di Dewan Pers dan sebagai narasumber diskusi, menyampaikan keterbatasan dalam mengupayakan regulasi hukum. Menurutnya, koridor pendidikan memiliki aturan sendiri yang bersifat otonom. Selain itu, landasan hukum yang mengampu pers mahasiswa adalah lembaga pendidikan itu sendiri.

“Dewan Pers tidak bisa masuk ke ranah kampus karena mereka bersifat otonom. Maka melalui PKS, diharapkan ketika terdapat sengketa di pers mahasiswa, kampus dapat melibatkan Dewan Pers,” terang Zulkifli Hasan dalam diskusi virtual tersebut.

Agar PKS ini dapat berjalan sesuai harapan, Dewan Pers perlu mensosialisasikan perjanjian tersebut ke beberapa kampus besar. Pengupayaan tidak hanya berhenti pada pembuatan PKS dengan lembaga Kemendikbud Ristek, tetapi juga memerlukan upaya untuk memberikan pemahaman kepada kampus-kampus tentang PKS yang telah dibuat.

PKS yang telah diterbitkan merupakan rekomendasi Dewan Pers untuk penyelesaian sengketa pers mahasiswa. Artinya, PKS tersebut hanya berisi saran mengenai pelibatan Dewan Pers dalam penyelesaian sengketa. Sejalan dengan itu, Noval Kusuma, selaku BP Advokasi PPMI, menanggapi adanya celah dalam PKS tersebut. Salah satunya adalah tidak adanya sanksi yang jelas jika salah satu pihak tidak menjalankan tanggung jawab perjanjian.

Jika berbicara tentang payung hukum, penting untuk memahami langkah-langkah pembuatannya. Perlindungan pers mahasiswa berbeda dengan payung hukum itu sendiri. Langkah dalam mengupayakan payung hukum untuk pers mahasiswa perlu memiliki landasan legalitas berbadan hukum.Agar mencapai legalitas itu persma perlu mengupayakan akta notaris dan berbagai administrasi lainnya. 

Sulit dibayangkan betapa rumitnya urusan administrasi yang akan menjerat pers mahasiswa itu sendiri. Selama ini, pers mahasiswa berpijak pada payung hukum di bawah naungan kampus. Jika keinginan tersebut tetap dipaksakan, pers mahasiswa mungkin akan kehilangan statusnya sebagai mahasiswa, karena tidak mungkin ada badan hukum lain dalam koridor lembaga badan hukum yang sudah ada.

Tantangan pers mahasiswa tidak berhenti di situ. Mereka perlu menyadari berbagai gejolak internal yang ada. Pertama, sumber daya manusia (SDM). Hingga saat ini, pers mahasiswa mengalami kendala dalam mempersiapkan regenerasi untuk melanjutkan kepengurusan yang belum konsisten. Kedua, masa kepengurusan yang pendek. Sebagian besar pers mahasiswa dibatasi oleh kampus untuk menjalankan roda kepengurusan selama kurang lebih 3 tahun. Ketiga, produktivitas, mengingat pers mahasiswa juga berstatus sebagai mahasiswa, mereka memiliki beban ganda yang menghambat konsistensi dalam menjalankan produktivitasnya.

Payung hukum pers mahasiswa tidak hanya berkaitan dengan perlindungannya, tetapi juga regulasi lain yang mengikat. Konsekuensi dari mengupayakan payung hukum untuk pers mahasiswa adalah tuntutan profesionalisme sebagai pekerja media. Pers mahasiswa sendiri harus memahami koridor hukum yang menaunginya melalui regulasi perguruan tinggi. Pemahaman mengenai payung hukum dan perlindungan pers mahasiswa, meskipun memiliki tujuan yang sama, namun mekanisme pencapaiannya berbeda.

Editor: Delta & Sholichah

Kategori
Diskusi Esai

Pers Mahasiswa dan Persoalan yang Tertinggal

Tidak berlebihan rasanya kala Jarar Siahaan, mantan redaktur koran harian Jawa Pos Grup di Medan, menyebut bahwa tugas jurnalis laiknya menjalankan fungsi kenabian. Di antara yang ia sampaikan adalah jurnalis dapat membidani sejarah, menyebarkan kebajikan, membela kebenaran, memperjuangkan keadilan, membongkar kejahatan, dan mencerahkan pikiran. Dalam tataran paling dasar, itu merupakan tugas sehari-hari seorang jurnalis yang nantinya akan menghasilkan luaran bermacam rupa. Fungsi-fungsi tersebut akan membawa jurnalis melewati kerja-kerja pencarian berita yang menyeluruh, berimbang, dan disiplin melakukan verifikasi. 

Predikat tugas kenabian itu akan gugur apabila jurnalis melewatkan salah satu tahap saja. Tidak terkecuali pers mahasiswa yang merupakan bagian dari ekosistem pers. Bukan karena mereka mahasiswa-bekerja secara sukarela, dianggap sedang main jurnalistik-jurnalistikan-lantas tidak dikenakan konsekuensi tugas mulia tersebut, tetapi siapa saja yang mengenyam predikat pers cum jurnalistik, tugas kenabian itu sesungguhnya melekat di dalam dirinya. Kendati, peran pers mahasiswa acap kali direduksi dan dipandang sebelah mata hanya karena mereka masih mahasiswa. Ya, sesederhana itu.

Padahal, apabila ingin sedikit meromantisasi, pada periode kelam dunia pers Indonesia lantaran pembatasan-pembatasan yang begitu ketat oleh rezim, pers mahasiswa muncul sebagai media alternatif yang mengedarkan berita dan wacana kritis di tengah masyarakat. Di era kiwari seperti saat ini, sebenarnya pers mahasiswa masih dianggap sebagai media alternatif yang mampu bersaing dengan media arus utama yang konon terverifikasi itu. Apalagi, pers mahasiswa yang luwes, tanpa ada kepentingan akumulasi kapital, dan dekat dengan isu publik–dalam hal ini pendidikan tinggi–yang tidak mungkin semua isunya diangkat oleh media arus utama, harusnya menjadi momentum untuk lebih progresif dan menghasilkan liputan yang “berdampak”.

Masih begitu segar di ingatan tentang peristiwa awak LPM Lintas dipolisikan oleh kampusnya sendiri, IAIN Ambon, karena menguak fakta terkait dugaan kekerasan seksual di lingkungan kampus dan dianggap mencemarkan nama IAIN Ambon. Saat itu, LPM Lintas menerbitkan majalah berjudul IAIN Ambon Rawan Pelecehan edisi 14 Maret 2022 yang berisi laporan investigasi 32 kasus kekerasan seksual di IAIN Ambon periode 2015-2021. Selain mempolisikan beberapa anggota LPM Lintas, pihak kampus juga menerbitkan surat pembekuan yang membuat aktivitas LPM Lintas terpaksa berhenti. Padahal, kalau kampus yang mengklaim sebagai “Institute Agama Islam” itu  bijak dan arif dalam merespons laporan jurnalistik, harusnya temuan LPM Lintas bisa dijadikan bahan awal untuk mewujudkan kampus yang aman dan bebas dari kekerasan seksual. Namun, sikap kampus itu jauh panggang dari api: bar-bar dan tidak mencerminkan sikap kedewasaan perguruan tinggi dan semangat dalam mewujudkan Islam Kaffah sebagaimana Islam yang dicatut di nama kampus mereka. Ibaratnya, IAIN Ambon ingin Jumatan, tetapi dia salat di hari Sabtu. Tersesat jauh hidupnya.  

Kasus Lintas ini baru satu dari sekian banyak kasus represi yang menimpa pers mahasiswa karena aktivitas jurnalistiknya. Berdasarkan laporan dari PPMI Nasional, sejak tahun 2013-2021, terdapat tren peningkatan represi terhadap pers mahasiswa.

Peningkatan tersebut cukup tajam setelah pada periode 2017-2019 ‘hanya’ terdapat 58 kasus represi yang tercatat dan kemudian meningkat menjadi 185 kasus represi yang tercatat pada periode 2020-2021. Pereduksian pers mahasiswa bisa datang dari mana saja, kasus terbanyak dilakukan oleh birokrat kampus (48), sesama mahasiswa (16), dan Badan Eksekutif Mahasiswa/Dewan Eksekutif Mahasiswa (12).

Bentuk represinya pun beragam dengan yang paling banyak berupa teguran (81), pencabutan berita (24), dan makian (23).

Fenomena represi yang dialami pers mahasiswa ini tidak boleh dinormalisasi, meski sesama pers mahasiswa persoalan ini selalu menjadi sajian utama di forum diskusi: bahwa pers mahasiswa direpresi karena kesalahannya sendiri. Ya, memang harus diakui masih ada pers mahasiswa yang melakukan kesalahan, berupa tidak melakukan verifikasi, menulis berita hanya berdasarkan sentimen dan opini pribadi, tidak menerapkan asas praduga tak bersalah terhadap “subjek” yang diduga melakukan kejahatan, dan aneka umpan yang pers mahasiswa pasang sendiri agar disantap oleh “mereka”. Namun, bukan berarti merepresi pers mahasiswa boleh dilakukan ketika mereka melakukan kesalahan, kembali lagi: kalau yang bermasalah berita atau aktivitas jurnalistik, langkah yang dilakukan, ya, diselesaikan dengan mekanisme pers. Itu!

Diskursus ini menurut saya penting dibahas di barak pers mahasiswa: peningkatan kapasitas awak dan menjadikan kode etik jurnalistik sebagai pegangan ketika melakukan aktivitas jurnalistik. Sembari kita terus mengupayakan payung hukum yang selama ini diperjuangkan agar bisa menjamin aktivitas jurnalistik dan perlindungan bagi pers mahasiswa secara komprehensif.

Meningkatkan Kapasitas itu Penting

Di saat banyak sekali pembicaraan yang mengudara tentang perlindungan hukum bagi pers mahasiswa (Persma), ada satu hal yang tertinggal di sudut-sudut kesadaran kita. Hal ini menjadi kapiran dan ironisnya, pereduksian itu datang dari diri Persma itu sendiri: kurangnya kesadaran untuk senantiasa meningkatkan kapasitas yang sampai pada waktunya bisa berakibat fatal.

Permasalahan ini membawa Persma pada suatu fenomena tersendiri. Persma tidak bisa menutup mata bahwa kurangnya kapasitas untuk menyajikan liputan yang komprehensif dapat berujung bahaya bagi mereka. Dengan perlindungan terhadap persma yang ringkih saat ini, bisa dibilang penyelamat pertama bagi awak persma adalah diri mereka sendiri. Kondisi ini menyebabkan setiap awak pers mahasiswa, mau tidak mau, harus menggenapkan pengetahuan-pengetahuan mereka terlebih dulu, baik pengetahuan sebelum, ketika, maupun setelah liputan. Sialnya, hal ini banyak terabaikan lantaran Persma kerap kali disibukkan dengan kerja-kerja klasik organisasi, menggarap event, mengejar tenggat, lantas sudah keburu lelah untuk menambah bekal ilmu. Dan, selalu tergoda untuk menerbitkan berita “sensitif” secara terburu-buru?

Biarpun kata pepatah, pengalaman adalah sebaik-baiknya guru, sebagai bagian dari awak pers yang tidak terlepas dari etika keprofesian, Persma tetap butuh didudukkan bersama teori-teori. Kerapkali pendidikan jurnalistik pada pers mahasiswa berhenti di diklat dasar. Padahal awak pers mahasiswa berjalan dari pemberangkatan yang berbeda-beda, yang itu artinya perlu rancangan silabus yang optimal untuk diajarkan agar setiap awak persma memiliki pemahaman yang sama. 

Pengajaran ini pun tidak boleh hanya pada masa pengkaderan, tapi juga terus sampai selesai keanggotaan. Bentuk dan cara pengajarannya dapat bermacam-macam, tidak mentok hanya pengajaran konvensional di ruang kelas. Soal ini, kita bisa diskusikan lagi lain waktu. Sebab, persoalan lain yang perlu diingat adalah barangkali kawan-kawan di kanan-kiri kita inilah yang nanti akan mewarnai dunia pers Indonesia ke depannya. Tentu kita tidak mau, di masa mendatang perusahaan-perusahaan media menyaru sebagai pemroduksi propaganda dan dikuasai oleh jurnalis bodrek, mereka-mereka yang mengabaikan panduan moralnya dalam menjalankan profesi jurnalistik.

Saya memahami gairah yang berkelindan di dalam tubuh pers mahasiswa karena saya sendiri pernah merasakannya. Mendengar selentingan ketidakberesan dari birokrat kampus, misalnya. Biasanya, sesaat kita mendapat ‘isu bagus’ yang memiliki nilai berita tinggi, kita akan menggebu-gebu membawanya ke meja redaksi. Bersemangat merencanakan dan merancang liputan. Mencari data dan berkas sana-sini, melontarkan hipotesa begitu dan begini, wawancara si itu dan si ini. Namun, barangkali ketergesa-gesaan ini justru bisa berbalik memakan kita.

Dalam konteks liputan investigasi, Andreas Harsono dalam bukunya ‘A9ama’ Saya adalah Jurnalisme, membeberkan meski ukuran waktu bersifat nisbi, tetapi sebuah karya investigasi memakan waktu pengerjaan yang cukup lama. Karya investigasi tidak dimulai dari sebelum terjun ke lapangan, tapi jauh sebelum itu. Liputan investigasi dimulai sejak desas-desus beredar, lalu pencarian data-data awal dan pengajuan hipotesa, merekonstruksi kejadian, hingga pada akhirnya menjadi liputan yang utuh. Agar menjadi liputan yang berdampak, liputan investigasi butuh ketelatenan yang memakan waktu. 

Dalam liputan investigasinya yang berjudul Bre-X: Sebungkah Emas di Kaki Langit, Bondan Winarno, seorang jurnalis lepas bercerita bahwa ia memerlukan waktu dua bulan penuh untuk menyelesaikan liputan tersebut. Menengok ke Tempo, kantor berita yang sudah menghasilkan banyak sekali liputan investigasi, menurut pengakuan jurnalis-jurnalisnya, juga menguraikan pernyataan yang kurang-lebih serupa.

Kita, pers mahasiswa, memang tidak bisa membandingkan diri dengan Bondan Winarno atau Tempo yang telah malang-melintang di dunia pers Indonesia, khususnya peliputan investigasi. Namun, kita bisa mencontoh satu pakem watak dari mereka, yaitu tenang dan tidak grasak-grusuk. Bondan dengan tekun bolak-balik Calgary-Toronto lalu Jakarta-Manila kemudian Samarinda-Balikpapan-Busang agar dapat merekonstruksi temuannya secara utuh. Pun dengan Tempo yang berhati-hati menggeledah berkas-berkas, menelusuri data-data, melakukan lobi-lobi receh sampai tingkat tinggi. Semua dilakukan dengan tenang dan tidak jarang secara senyap.

Entah berapa kali, tapi yang pasti setiap pers mahasiswa pernah bersinggungan dengan liputan investigasi. Tentang ini, sampai sekarang, saya masih teringat akan satu hal. Saat itu, di kampus terdengar selentingan adanya ketidakberesan dari suatu event yang digelar oleh salah satu UKM. Lama tidak diurai, kerunyaman itu berujung pada perang dingin antar beberapa UKM yang berkaitan. Mendengus hal tersebut saya tergugah dan mengajak salah seorang rekan untuk menelusurinya. Kebodohan saya tiada tanding karena di hari pertama saya mendengar kabarnya, saya langsung bernafsu untuk mewawancarai pihak-pihak yang bersengketa. Tanpa pegangan latar belakang, profil, atau duduk sengkarut masalahnya. Hingga pada akhirnya, entah harus senang atau sedih, permintaan wawancara saya untuk kedua pihak ditolak. Kelak saya menyadari, andaikan liputan itu saya teruskan dengan kapasitas yang alakadarnya pada saat itu, besar kemungkinan saya akan terjerumus dalam bahaya.

Menjalankan liputan investigasi tanpa bekal dan persiapan yang matang hanya akan membawa jurnalis pada pengabaian terhadap kode etik jurnalistik. Kita akan mudah hilang kesabaran, ketekunan, dan yang paling berbahaya, hilang keteguhan. Analoginya seperti kita menaiki tangga gantung vertikal yang harus dititi satu per satu. Sebutlah tangga pertama dengan mencari penyokong; mentor, dana, dlsb. Tangga kedua adalah perencanaan; tangga ketiga sebagai mencari sumber-sumber awal; dan seterusnya hingga mencapai tangga terakhir yaitu publikasi. Tidak bisa tidak kita harus menaikinya satu per satu atau tangga akan bergoyang, dan kemungkinan terburuknya kita akan jatuh. Sebuah definisi nyata dari sudah jatuh, tertimpa tangga pula.

Menurut hemat saya, pers mahasiswa tidak perlu seperti media penghamba klik lantas tergesa-gesa dan ingin menjadi yang paling terkini, tetapi hasilnya jadi terasa kitsch. Menurunkan kualitasnya demi kecepatan. Alih-alih menunggangi ombak, dengan kapasitas optimumnya, pers mahasiswa justru dapat menciptakan ombaknya sendiri. Meluapkan fakta yang dihasilkan dari praktik-praktik jurnalisme yang benar dan dapat dipertanggungjawabkan.

Oleh karena itu, perjuangan meningkatkan ketahanan diri dari represi akan muspro kalau tidak dibarengi dengan peningkatan kapasitas individu. Sebab, seandainya pun payung hukum untuk pers mahasiswa sudah ada lalu dikemudian hari terjadi konflik, apabila sejak awal kerja-kerja dibalik liputannya sudah keliru, tetap akan sukar untuk mengadvokasinya. 

Untuk itu, tidak ada salahnya menarik langkah mundur sebentar untuk kemudian melenting dengan ilmu-ilmu yang sudah genap. Kapasitas individu ini nantinya berkorelasi dengan kapasitas kolektif pers mahasiswa itu sendiri. Kalau sudah begini, saya jadi ingat wejangan salah satu senior saya dulu, persma tidak perlu terjebak dari hiruk-pikuk informasi di media sosial maupun media mainstream. Sudah saatnya pers mahasiswa memiliki agenda setting sendiri yang bermuara untuk kepentingan publik. Tentu hal ini akan tercapai apabila pers mahasiswa senantiasa mawas diri dan bersedia terus mengakselerasi kemampuannya. 


Penulis: Mardhiah Nurul Lathifah, pembelajar di LPM Kentingan UNS

Penyunting: Adil Al Hasan

Kategori
Diskusi Esai

Pers Mahasiswa: Dewan Pers, Ayolah!

Dewan Pers klaim sudah lindungi pers mahasiswa sebelum rancangan regulasi tentang jaminan perlindungan dan kebebasan pers mahasiswa itu dibahas. Buktinya adalah sikap Dewan Pers dalam pembredelan Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Lintas. Pengakuan ini jelas problematik. 

Hal itu disampaikan dalam sebuah unggahan Instagram @officialdewanpers, yang diunggah pada 10 Maret 2023. Melalui video tersebut, Ketua Komisi Pengaduan dan Penegakan Etika Pers, Yadi Hendriana, mengatakan Dewan Pers akan berdiri di depan untuk membela wartawan kampus jika mengalami sengketa pers.

“Setelah dikatakan produk pers, bebas,” kata Yadi. 

“Jadi saya pastikan apa yang kami katakan bukan lip service,” sambung Yadi.

Apa yang dikatakan Yadi Hendriana di atas sangat heroik. Pernyataanya barangkali bukan lip service, tapi jelas mengaburkan fakta bahwa pers mahasiswa dewasa ini sangat-sangat butuh legalitas.

Beliau yang terhormat bilang, bahwa pers mahasiswa tidak perlu cemas soal perlindungan hukumnya jika karyanya benar-benar produk pers. Jika direpresi, silakan menghubungi Dewan Pers yang buka 24 jam. 

Sepintas, pernyataan itu bisa dibenarkan. Tapi berbahaya jika ditelan bulat-bulat. Mengapa demikian? 

Dalam kasus pembredelan Lintas, benar, bahwa Dewan Pers telah mengakui karya yang diterbitkan Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Lintas. Pengakuan itu dikeluarkan Dewan Pers ketika Lintas mengirimkan surat permohonan untuk menilai karya jurnalistik dan perlindungan pers mahasiswa. Dewan Pers kemudian membalas permohonan Lintas pada 13 Mei 2022, melalui Surat Dewan Pers Nomor 446/DP-KV/2022 tentang Penilaian Karya Jurnalistik dan Perlindungan Pers Mahasiswa. 

Pada intinya, surat itu menyatakan, majalah Lintas bertajuk IAIN Ambon Rawan Pelecehan sudah dibuat sesuai mekanisme UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers dan sesuai Kode Etik Jurnalistik (KEJ).

Selain itu, sikap Dewan Pers juga disampaikan oleh Imam Wahyudi dalam sidang gugatan Surat Keputsan Rektor Nomor 92 tentang Pembekuan LPM Lintas di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Ambon. Imam Wahyudi mewakili Dewan Pers hadir melalui ruang virtual zoom sebagai saksi ahli dari pihak penggugat—LPM Lintas—dan memaparkan letak pers mahasiswa. Imam merujuk Jurnal Dewan Pers Edisi 14 Juni 2017 dan mengakui pers mahasiswa masuk dalam kuadran kedua sebagai pers yang produk jurnalistiknya diakui oleh Dewan Pers.

Di sinilah masalahnya. Dalam praktiknya, pernyataan Yadi di atas, bahwa ketika Dewan Pers sudah turun tangan untuk melindungi pers mahasiswa maka akan “bebas”, itu justru jauh panggang dari api. 

Lintas dibuat gigit jari oleh PTUN Ambon. Gugatan Lintas ditolak sebelum masuk pokok perkara. Alasannya, Lintas dinilai tidak memiliki kedudukan hukum atau legal standing

Di sisi lain, Lintas yang dilaporkan oleh IAIN Ambon ke Polda Maluku karena mengungkap kasus dugaan kekerasan seksual di kampus, masih bergulir sampai sekarang. Bahkan, IAIN Ambon menahan dan menghalang-halangi hak anggota Lintas yang menolak represi itu untuk melanjutkan studi.

Dari sini kita bisa melihat, bahwa sebagian pengakuan sekaligus heroisme Dewan Pers yang ditampilkan oleh Yadi hanya retorika saja. Perlindungan pers mahasiswa tidak cukup sekadar mengakui karya pers mahasiswa ketika ada kasus yang “viral” dan kasuistik saja. Namun harus menyeluruh: jaminan perlindungan dan kebebasan pers sebagaimana diamanatkan UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. Pada bagian inilah yang luput dari pernyataan Yadi. 

Selain itu, beberapa kasus yang didampingi PPMI, tidak semua represi terjadi setelah pemberitaan terbit, beberapa dari mereka juga direpresi ketika melakukan peliputan. Tiga jurnalis pers mahasiswa di Makasar, misalnya, ditangkap Direktorat Kepolisian Perairan dan Udara (Polairud) Polda Sulsel saat meliput aksi nelayan tolak tambang pasir. Ketiganya telah menunjukkan kartu pers dan surat tugas kepada polisi, tetapi polisi tidak mengindahkan kartu pers tersebut. Sebelum dibawa, ketiganya diduga mendapat tindakan intimidasi dan kekerasan dari polisi. Berikut ini adalah rentetan kasus represi pers mahasiswa yang didampingi PPMI. 

Timeline Dark Infographic
Infogram

Dewan Pers, Ayolah, Segera!

Dalam artikel Elegi Pers Mahasiswa: Hujan Represi tanpa Kendali Payung Regulasi yang terbit di laman Persma.id pada 8 Januari 2023 silam, juga sudah disinggung soal tanggung jawab moral dan institusional Dewan Pers. Harusnya Dewan Pers bisa melakukan inovasi progresif berkaitan dengan payung hukum dan situasi pers mahasiswa dewasa ini. 

Modalitas simbolik, politik, ekonomi, intelektual yang ada di sekujur tubuh lembaga itu harus menyentuh akar masalah pers mahasiswa. Dewan Pers tidak boleh lepas tangan atau sekadar cuci tangan dengan membuat program seminar, goes to campus, coaching clinic, atau apapun istilahnya untuk diklaim sebagai wujud peduli terhadap pers mahasiswa. Apalagi sekadar bertanya kabar, seperti artikel di Buletin Etika milik Dewan Pers Vol. 34 Oktober 2022 berjudul Apa Kabar Pers Kampus? 

Jawaban pertanyaan itu jelas, kabar pers mahasiswa tidak baik, dan kami menuntut hak perlindungan dan jaminan kebebasan atas kerja jurnalistik pers mahasiswa kepada Dewan Pers! Kami tidak bermaksud untuk mengemis, hak memang mesti dijamin, bukan? 

Dewan pers yang memiliki fungsi melindungi kemerdekaan pers, sekaligus lembaga yang mempunyai jalur komunikasi antara pers, masyarakat, dan pemerintah seharusnya bisa lebih tegas dan proaktif membantu pers mahasiswa mendapat keadilan dan rasa aman dalam kerja-kerjanya. Pers mahasiswa yang bekerja dengan mengacu pada KEJ sudah sepatutnya mendapatkan perlindungan. Tentu ini tak hanya menyangkut tentang pers mahasiswa, tetapi siapa saja yang melakukan kerja jurnalistik, termasuk jurnalisme warga.

Apa yang menimpa Lintas sangat mungkin terjadi kepada LPM lainnya. Ketika pers mahasiswa mencari keadilan di meja hukum, maka legalitas akan terus dipertanyakan. 

Kita tahu, pembredelan Lintas tak berdasar. Tapi apa yang bisa dilakukan jika sebagai subjek hukum saja, pers mahasiswa tak dianggap. 

Legalitas telah menjadi celah besar bagi kampus untuk terus bertindak sewenang-wenang. Serangan dan ancaman akan terus ada selama legalitas pers mahasiswa masih buram. 

Kerentanan tak hanya sampai di legalitas, keanggotaan secara personal di lembaga pers mahasiswa juga menjadi sasaran empuk pihak kampus untuk melakukan intimidasi. Salah satunya menghalang-halangi hak mahasiswa untuk studi. 

Dalam kasus Lintas, misalnya, IAIN Ambon terbukti melanggar hak atas pendidikan terhadap beberapa awak Lintas. Hal itu telah diakui Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM)  Republik Indonesia, dalam Surat Rekomendasi Nomor 160/PM.00/R/I/2023.

IAIN Ambon dinilai melanggar hak atas pendidikan karena membatasi studi anggota Lintas. Surat rekomendasi yang terbit pada 27 Januari 2023 ini, juga berisi rekomendasi dari Komnas HAM ke IAIN Ambon, agar memberikan hak penuh atas pendidikan kepada anggota Lintas

Namun kampus hijau—julukan IAIN Ambon—tersebut tak mengindahkannya, hingga saat ini kampus masih belum memberikan akses pendidikan kepada sebagian anggota Lintas

Sementara itu, jangan lupa, kalau pelaku represi tidak hanya kampus. Dalam catatan kasus PPMI, Organisasi Masyarakat (Ormas), mahasiswa, aparat (polisi/TNI), dll juga menjadi pelakunya. Jadi, persoalan pers mahasiswa jangan sampai hanya dilokalisasi di kampus saja. Sebab, pers mahasiswa tidak hanya meliput fenomena di kampus, tetapi di luar kampus juga. Nah, di sini, sekali lagi, Dewan Pers harus turun gunung.

Menjadi Pers Mahasiswa itu “Profesi”

“Manusia yang cukup beruntung mampu mengenyam pendidikan ini memang kerjaannya membaca, termasuk membaca keadaan, politik, kekuasaan, problem sosial, kesewenangan, penyimpangan, memang itulah kerjanya. Mengkritik dan bertanya adalah kerjaannya. Jangan bilang sebagai calon intelektual, tapi intelektual muda,” begitu kutipan dari Kata Pengantar Buku Putih Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia (PPMI) yang ditulis oleh Moh. Fathoni, salah satu pengurus PPMI Nasional periode 2008-2010. 

Sementara itu, selain intelektual muda, pers mahasiswa memang memiliki nilai khas atas kerja-kerja jurnalistik mereka, yaitu independensi. Kalau di PPMI ada lima rumusan besar tentang pers mahasiswa–spririt intelektualitas; kemanusiaan (keberpihakan pada moral dan etika); kerakyatan (keberpihakan dan kepedulian pada rakyat lapisan bawah); kebangsaan (demokratisasi dan kemartaban); dan indepedensi (khas dari pers cum mahasiswa). 

Namun, jangan salah. Pers mahasiswa bukan sekadar unit kegiatan mahasiswa biasa, tetapi “profesi”. Ya, saya sebut “profesi” (dalam tanda petik), karena apa yang mereka kerjakan di LPM sudah sungguh-sungguh selayaknya media dan pers arus utama lakukan: reportase, taat pada kode etik dan UU Pers, kontrol sosial, dll. Nah dari sinilah alasan mengapa pers mahasiswa tidak mengadu atau meminta jaminan perlindungan dan kebebasan pers ke Kementrian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek). Kalau ke Kemendikbudristek apa bedanya dengan Unit Kegiatan Mahasiswa dan Organisasi Mahasiswa pada umumnya? Sebab, kendati pers mahasiswa hidup di ruang lingkup perguruan tinggi, tetapi aktivitas yang dilakukan itu sudah seperti pers pada umumnya. Pers mahasiswa sudah menjadi “profesi”, bukan sekadar unit kegiatan mahasiswa atau humas kampus.  

Karena itu, bagi saya, pers mahasiswa memang unik dan spesial. Bukan bermaksud meromantisasi atau membanggakan diri, tetapi siapa yang berkenan liputan jauh-jauh, ke sana ke mari ngejar narasumber/data, membuat liputan untuk publik, kerentanan direpresi tinggi, tetapi tidak digaji? Ya, pers mahasiswa! Pun jika ada biaya atau ongkos liputan, itu pasti hasil iuran, ongkos pribadi, atau ada beasiswa dari organisasi pers di luar. 

Nah, dari sini, sudah sepatutnya tidak ada dikotomi antara pers mahasiswa, jurnalisme warga, dan media arus utama yang konon terverifikasi itu. Apalagi, penilaian “media terverifikasi” dan “tidak terverifikasi” hanya melihat dari badan hukum perusahaan pers. Mengapa tidak dari produknya, karyanya, atau kerja-kerjanya? Pada situasi ini, saya rasa hanya Aliansi Jurnalis Independen (AJI) yang sudah mengakui pers mahasiswa bukan dari legalitasnya, tetapi dari karya dan kerja-kerja jurnalistiknya. Dewan Pers harusnya memiliki pandangan yang progresif seperti ini. 

Sekarang, bola panas sudah di tangan Dewan Pers. Publik–pers mahasiswa khususnya–menunggu sikap dan regulasi yang akan digarap. Kabarnya, regulasi tentang Jaminan Perlindungan dan Kebebasan Pers Mahasiswa yang menggandeng beberapa kementerian terkait pendidikan tinggi dan beberapa organisasi jurnalis itu sudah mulai dikerjakan, ditarget akhir tahun ini sudah jadi. Semoga. Peluk jauh buat Dewan Pers! Tabik***

Penulis: Adil Al Hasan dan Yolanda Agne

Editor: Arya Prianugraha

Kontributor Ilustrator: Fikri Maswandi

Kategori
Diskusi Esai

ELEGI PERS MAHASISWA: HUJAN REPRESI TANPA PAYUNG REGULASI

Pers mahasiswa masih dihujani represi. Ancaman baru bagi mereka adalah badai cum petir KUHP. Sementara, kondisi ini tanpa kendali payung regulasi.  

Setelah melalui jalan panjang dan aneka bentuk protes sejak 1963, akhirnya Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) disahkan menjadi Undang-Undang oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) pada Selasa, 6 Desember 2022. 

Protes yang terjadi terhadap KUHP yang konon produk terbaik anak bangsa ini bak hujan: datang keroyokan. Elemen masyarakat sipil, termasuk jurnalis juga tidak absen dalam barisan penolak pasal-pasal bermasalah dalam KUHP baru itu, khususnya yang mengancam kebebasan pers. Draf yang dipublikasi pemerintah dan DPR RI pada 4 Juli 2022, secara eksplisit hendak memasukan pers sebagai delik, atau tindak pidana sebagaimana penjelasan Pasal 598 dan meruntuhkan doktrin lex specialis dalam sistem hukum pers. Sederhananya, jurnalis terancam pidana karena penyelesaian sengketa pers tidak lagi menggunakan Undang-Undang Pers.

Pasal “Delik Pers” jelas merupakan ancaman bagi kebebasan pers. Sebab, pasal ini mengonfirmasi pengutamaan mekanisme pemidanaan yang sama sekali tidak menghargai karya jurnalistik. Kajian hukum yang dilakukan AJI Indonesia bersama Akademisi Fakultas Hukum UGM, Herlambang P. Wiratraman, dalam draf versi ini menemukan 19 pasal yang dapat memberangus kebebasan pers secara langsung

Namun dalam draf RKUHP versi 9, 28 sampai 30 November 2022, tidak mengalami perubahan berkaitan dengan ancaman kebebasan pers. Hanya ada dua pasal yang dihapus, yaitu Pasal 351 (berubah jadi Pasal 347) dan Pasal 352 (berubah jadi Pasal 348) yang mengatur pidana atas penghinaan terhadap kekuasaan umum dan lembaga negara. 

Kendati demikian, masih ada 17 pasal yang bermasalah berkaitan dengan ancaman kebebasan pers. Adapun, pasal-pasal bermasalah itu, di antaranya: 

• Pasal 188 yang mengatur tentang tindak pidana penyebaran atau pengembangan ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme.

• Pasal 218, Pasal 219 dan Pasal 220 yang mengatur tindak pidana penyerangan kehormatan atau harkat dan martabat Presiden dan Wakil Presiden.

• Pasal 240 dan Pasal 241 yang mengatur tindak pidana penghinaan terhadap Pemerintah atau lembaga negara.

• Pasal 263 yang mengatur tindak pidana penyiaran atau penyebarluasan berita atau pemberitahuan bohong.

• Pasal 264 yang mengatur tindak pidana kepada setiap orang yang menyiarkan berita yang tidak pasti, berlebih-lebihan, atau yang tidak lengkap.

• Pasal 280 yang mengatur tentang gangguan dan penyesatan proses peradilan.

• Pasal 302 (berubah jadi Pasal 300), Pasal 303 (berubah jadi Pasal 301) dan Pasal 304 (berubah jadi Pasal 302) yang memuat tentang tindak pidana terhadap agama dan kepercayaan.

• Pasal 351 (berubah jadi 347) dan Pasal 352 (berubah jadi Pasal 348) yang mengatur tentang penghinaan terhadap kekuasaan Umum dan Lembaga Negara telah dihapus, namun masih ada Pasal 240 yang mengatur penghinaan terhadap pemerintah.

• Pasal 440 (berubah jadi Pasal 436) yang mengatur tindak pidana penghinaan ringan.

• Pasal 437 (berubah jadi Pasal 433) mengatur tindak pidana pencemaran.

• Pasal 443 (berubah jadi Pasal 439) mengatur tindak pidana pencemaran orang mati.

• Pasal 598 (berubah jadi Pasal 594) dan Pasal 599 (berubah jadi Pasal 595) mengatur tindak pidana penerbitan dan pencetakan.

Persma, KUHP, dan Urgensi Perlindungan Hukum

Sebelum adanya KUHP baru yang tampak bengis dan angkuh ini, pers mahasiswa (Persma) sudah dirundung masalah serius, yaitu ketidakpastian hukum. Dalam lingkar Persma, persoalan ini bukan diskursus baru. Bahkan, tiap agenda besar kongres nasional Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia (PPMI) selalu menjadi perdebatan, apakah Persma butuh payung hukum atau dibiarkan saja semacam ini? 

Bagi yang merasa tidak butuh, mereka menganggap aturan yang bakal dijadikan payung hukum Persma hanya menjadi alat kelas. Maksudnya, aturan itu justru akan mengerdilkan posisi Persma sendiri. Namun, kelompok ini juga tidak mengerti harus bagaimana ketika terjadi represi terhadap lembaga atau diri mereka sendiri sebagai awak Persma. Jalan satu-satunya adalah tiarap. 

Sementara itu, bagi yang merasa membutuhkan, payung hukum ini diibaratkan seperti payung atau mantel saat hujan. Kalau ada hujan tanpa payung, kita akan basah (kuyup). Pepatah saja sudah mengingatkan untuk sedia payung sebelum hujan.  

Secara prinsip, kebebasan pers adalah salah satu dari pilar demokrasi, ketika pilar ini diganggu, apalagi hingga rusak, maka demokrasi bisa roboh. Dalam konsiderans UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, disebutkan bahwa pers nasional sebagai komunikasi massa, penyebar informasi, dan pembentuk opini harus dapat melaksanakan asas, fungsi, hak, kewajiban, dan perannya dengan sebaik-baiknya berdasarkan kemerdekaan pers yang profesional, sehingga harus mendapatkan jaminan dan perlindungan hukum, serta bebas dari campur tangan dan paksaan dari mana pun. 

Tentu, tulisan ini tidak bisa mewakili perspektif beragam dan penuh warna dari awak Persma di Indonesia. Bukan juga dalam rangka mengemis untuk meminta perlindungan. Kan jaminan perlindungan itu bagian dari hak, bukan? Tulisan saya ini mencoba untuk merefleksikan benang kusut diskursus ini. 

Tidak diakuinya awak Persma atau pun lembaganya di dalam UU Pers, menjadi akar masalah dari rangkaian represi yang dialami Persma. Dalam Pasal 18 ayat 1 UU Pers, disebutkan hanya perusahaan berbadan hukum pers yang mendapatkan ‘fasilitas’ perlindungan. Persma, siapa? Saya tidak menyebut fenomena ini diskriminatif, tetapi selama ini memang tidak ada pengayaan terhadap regulasi ini. 

Padahal, Persma sejauh menjalankan fungsinya sebagaimana diamanatkan dalam UU Pers, Kode Etik Jurnalistik, dan memiliki pertanggungjawaban hukum melalui ruang redaksi yang jelas kelembagaan medianya alias tidak anonim, sudah seharusnya pula tunduk dan dijamin melalui sistem hukum pers (Wiratraman, 2019). 

Kemudian, berbeda soal jaminan perlindungan antara Persma dengan media yang konon terverifikasi itu, ancaman dan risiko yang dihadapi Persma justru sama. Data Litbang PPMI Nasional menunjukkan, pada periode 2020-2021 ada 185 represi yang dialami pers mahasiswa. Jumlah itu naik dari tahun 2017-2019 dengan jumlah 47 kasus.

Bentuk-bentuk represi itu berupa ancaman, intimidasi, UU ITE, KUHP baru, dan sebagainya. Sementara pelaku represi terhadap Persma juga beragam, seperti birokrasi kampus, mahasiswa, aparat keamanan (polisi/TNI), ormas, narasumber, dan lain-lain. Kondisi ini berkaitan dengan aktivitas jurnalistik Persma yang tidak melulu di lingkungan kampus. Beberapa Persma juga melakukan peliputan isu struktural, situasi konflik di daerah, bahkan nasional. 

Terlebih, posisi mereka sebagai pers kampus membuat kerentanan itu semakin paripurna. Sebab, dalam pemberitaan isu kampus, objek yang mereka beritakan terlalu dekat, seperti birokrasi kampus, dosen, lembaga kemahasiswaan, atau mahasiswa. Di beberapa kampus, kantor Persma pun berdampingan atau di dalam satu gedung dengan objek pemberitaan. Dalam lingkup kecil ini, pernah terjadi pada tahun 2020 salah satu awak Lembaga Pers Mahasiswa (LPM)  Progress pernah kena tinju kader HMI yang keberatan dengan isi tulisan. Peristiwa yang sama juga menimpa awak LPM Intelligent yang diteror karena konten tulisan. Meski sudah melapor ke pihak kampus, tetapi laporan itu dibiarkan. Akhirnya untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan, awak LPM Intelligent ini memilih untuk pulang kampung selama hampir empat bulan. Selain itu, tahun 2022, kantor LPM Dinamika UINSU juga dirusak orang tidak dikenal. Motifnya diduga kuat berkaitan dengan pemberitaan. 

Represi yang bertubi-tubi tanpa kendali regulasi yang dialami Persma membuat beberapa nyali Persma ciut. Salah satu lembaga pers mahasiswa di kampus Yogyakarta, misalnya, harus tiarap dan tunduk pada rektorat karena pemberitaan kekerasan seksual di kampus. Mereka diintimidasi dan diancam aneka sanksi kalau pemberitaan mereka tidak diturunkan. Ada juga teman saya di salah satu LPM juga trauma sekaligus tidak berani menulis lagi karena pernah direpresi soal pemberitaan skandal penjualan buku dengan ancaman nilai. 

Di sisi lain, beberapa LPM justru melakukan perlawanan balik ketika mereka direpresi. LPM Lintas IAIN Ambon, misalnya, mereka melawan tindakan sewenang-wenang kampus–pembredelan karena pemberitaan dugaan kekerasan seksual di lingkungan kampus– sampai Pengadilan Tata Usaha Negara Ambon. Kendati mereka dibuat gigit jari atas putusan pengadilan. Meski begitu, keberanian melawan hingga awaknya dikriminalisasi dan diskorsing karena memperjuangkan haknya, patut diapresiasi dan didukung.  

Sekali lagi, kasus di atas selain masalah relasi kuasa, juga masalah ketidakjelasan payung hukum Persma. Kekosongan hukum berkaitan dengan legal standing berdampak pada delegitimasi karya jurnalistik yang dihasilkan Persma. Kampus atau orang yang merasa dirugikan atas pemberitaan semakin arogan melakukan tindakan sewenang-wenang. Mekanisme penyelesaian sengketa pers seperti diamanatkan UU Pers tidak pernah dilakukan. Dalam posisi ini karya jurnalistik tidak ada marwahnya sama sekali. 

Sialnya, beberapa sikap yang muncul atas fenomena delegitimasi terhadap karya jurnalistik yang dihasilkan Persma ini adalah fatalisme dan normalisasi. Maksudnya, fenomena ini adalah takdir dan wajar. Kelompok yang bersikap semacam ini, saya menduga, pasti tidak melihat atau mendengar awak Persma yang trauma dan keluar dari LPM karena direpresi. Beban berlapis-lapis antara idealisme pers, risiko, dan “harapan orang tua” membuat banyak awak berguguran dan tiarap ketika direpresi. Imajinasi saya, kalau fenomena ini dibiarkan dan dinormalisasi, esok pagi dan seterusnya tidak ada generasi untuk menjadi jurnalis (kritis). Tentu, kalau sekadar jurnalis “juru tulis” akan ada ribuan tiap tahun dari mahasiswa jurnalistik atau LPM yang kehilangan idealisme.

Kemudian, bayangan paling buruk saya atas masa depan pers di Indonesia adalah pers hanya menjadi juru tulis dan buletin pemerintah. Media sekadar menerbitkan catatan dan rilis pers dari instansi atau perusahaan saja. Tidak ada lagi pendalaman dan reportase yang ketat, karena para awak Persma atau mahasiswa jurnalistik sudah terbiasa dengan aktivitasnya sebagai juru tulis dan bukan humas kampus. Karena itu, jurnalisme berkualitas yang dibanggakan Dewan Pers selaku penjaga kobar api jurnalisme hanya menjadi, semoga tidak, utopia.  

Padahal, masalah jurnalistik tidak sekadar mencari, menulis, dan mengedarkan berita, tetapi ada hak publik untuk mendapatkan informasi di sana. Ada dugaan persekongkolan atas hajat hidup orang banyak yang harus ditelusuri dan dibongkar. Di sinilah jaminan perlindungan bagi Persma saya rasa sangat penting. Tanpa kebebasan dan jaminan perlindungan Persma, peluang terjadinya kesewenang-wenangan di kampus akan lebih besar. Lantaran itu pula, kehidupan sekaligus iklim akademis di kampus yang seharusnya bertanggung jawab dan demokratis akan lemah. Lebih dari itu, generasi jurnalis (kritis) akan semakin banyak tercipta dari Persma. Atau memang ada yang tidak suka dengan para jurnalis (kritis) karena dianggap kerikil dalam sepatu, sehingga fenomena ini dibiarkan? Entah!

Saat ini, persma masuk babak baru. Sudah tidak ada jaminan perlindungan Persma, kini mereka sudah dihadapkan dengan KUHP baru. Ibarat sudah basah kuyup kena hujan represi, kini badai dan petir bernama KUHP mengancam hidup mereka. Persma semakin di ujung jurang. 

Oleh karena itu, sudah saatnya Dewan Pers yang berkewajiban–tidak sekadar mendata dan mencatat perusahaan pers–melindungi kemerdekaan pers dari campur tangan pihak lain dan melakukan pengajian untuk mengembangkan kehidupan pers juga melakukan pengayaan dan kajian yang progresif atas UU Pers berkaitan dengan perlindungan dan payung hukum Persma. Alasan kusut dan lusuh bahwa Persma bukan “jurnalis” atau “media tidak terverifikasi” tidak boleh digunakan lagi. Apalagi, hanya menilai dari aspek “perusahaan berbadan hukum pers”, bukan dari segi produk jurnalistik, sungguh, itu dalih yang tidak relevan dan sudah usang.  

Saya yakin Dewan Pers bisa melakukan inovasi progresif berkaitan dengan payung hukum dan situasi Persma dewasa ini. Modalitas simbolik, politik, ekonomi, intelektual yang terbalur di sekujur tubuh lembaga itu harus menyentuh akar masalah Persma. Maksud saya, Dewan Pers tidak boleh lepas tangan atau sekadar cuci tangan dengan membuat program seminar, goes to campus, coaching clinic, atau apapun istilahnya untuk diklaim sebagai wujud peduli terhadap Persma. Apalagi sekadar bertanya kabar, seperti artikel di Buletin Etika milik Dewan Pers Vol. 34 Oktober 2022 berjudul Apa Kabar Pers Kampus? Duh.

Skema Perlindungan Persma

Dalam artikel Herlambang P. Wiratraman di laman persmaporos.com berjudul Persma, Antara Kebebasan Pers dan Akademik telah mengurai persoalan perlindungan Persma ini. Pers mahasiswa yang bekerja menggunakan standar kode etik jurnalistik–bagian dari kebebasan akademik dan pers–justru tidak atau belum mendapat perlindungan dalam sistem hukum pers. 

Dalam sistem hukum Indonesia, ada dua level perlindungan hukumnya, yaitu konstitusi dan perundang-undangan. Secara konstitusi kebebasan akademik bisa dijamin melalui penafsiran meluas atas ketentuan Pasal 28, 28C, 28E, 28F Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945. 

Kemudian, secara perundang-undangan, kebebasan akademik bisa dilindungi dengan merujuk pada UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia; pasal-pasal dalam UU Nomor 11 dan 12 tentang Ratifikasi Perjanjian Internasional Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya (terkait atas pendidikan dan mengembangkan ilmu pengetahuan (Pasal 13) dan Hak Sipil dan Politik (Pasal 19). Sementra itu, secara khusus merujuk perlindungannya pada Pasal 8 jis 9 jis 54 (3) dalam UU Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi. Kemudian, dalam UU Dikti tersebut diklasifikasi menjadi tiga, yaitu kebebasan akademik, mimbar akademik, dan otonomi keilmuan. 

Berdasarkan UU tersebut, kebebasan akademik didefinisikan sebagai kebebasan Sivitas Akademik dalam Pendidikan Tinggi untuk mendalami dan mengembangkan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi secara bertanggung jawab melalui pelaksanaan Tridharma (pasal 9 ayat 1). Pasal ini, sekalipun terbatas, pula mencakup perlindungan hak mahasiswa dalam mengembangkan kebebasan akademik (Wiratraman, 2019).

Selanjutnya, dalam UU Nomor 5 Tahun 1998 tentang Pengesahan Convention Against Torture and Other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or Punishment (Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi, atau Merendahkan Martabat Manusia) juga jelas tentang jaminan bebas dari penyiksaan. Dalam UU ini, penyiksaan yang dimaksud adalah setiap perbuatan yang dilakukan dengan sengaja, sehingga menimbulkan rasa sakit atau penderitaan yang hebat, baik jasmani atau rohani, pada seseorang untuk memperoleh pengakuan atau keterangan dari orang itu atau dari orang ketiga, dengan menghukumnya atas sesuatu perbuatan yang telah dilakukan atau diduga telah dilakukan oleh orang itu atau orang ketiga, atau mengancam atau memaksa orang itu atau orang ketiga, atau untuk suatu alasan yang didasarkan pada setiap bentuk diskriminasi, apalagi rasa sakit atau penderitaan tersebut ditimbulkan oleh, atas hasutan dari, dengan persetujuan, atau semata-mata timbul dari, melekat pada, atau diakibatkan oleh suatu sanksi hukum yang berlaku. 

Sementara itu, dalam Jurnal Dewan Pers edisi 14 Juni 2017 berjudul Mendorong Profesionalisme Pers melalui Verifikasi Perusahaan Pers, Ketua Dewan Pers periode 2016-2019, Yosep Adi Prasetyo, sudah menggagas tentang perlindungan hukum pers melalui pengelompokan status dan isi pemberitaan atas lanskap media di Indonesia. 

Lanskap media itu terdiri dari empat kuadran atau kelompok. Kuadran pertama, berisi media yang memenuhi syarat UU Pers dan sudah terverifikasi di Dewan Pers yang isi pemberitaannya memenuhi standar jurnalistik dan Kode Etik Jurnalistik (positif dan terpercaya).

Kuadran dua, berisi media yang tidak terverifikasi di Dewan Pers, tetapi isi pemberitaan mereka memenuhi standar jurnalistik, kode etik jurnalistik (positif dan terpercaya). Nah, Persma masuk di kuadran dua ini, tetapi tanpa regulasi yang jelas. Selama ini, ketika Persma bermasalah, Dewan Pers hanya menerbitkan surat penilaian terhadap produk jurnalistik Persma atau melakukan mediasi. 

Kemudian, kuadran tiga berisi media yang tidak hanya negatif, seperti menghasut, bernada kebencian, hingga mempersoalkan SARA, tetapi juga tidak bisa dipercaya. Selanjutnya, kuadran empat berisi media yang terverifikasi di Dewan Pers, tetapi isi medianya lebih merupakan sebuah koran kuning yang lebih banyak memberitakan pembunuhan, pemerkosaan, seks, dan mode penulisan sensasional. 

Oleh karena itu, penting sekali Dewan Pers kalau terkendala gerak yang terbatas karena UU Pers, melakukan inovasi progresif atas persoalan ini. Misalnya Dewan Pers membuat kesepakatan bersama, MoU, dengan kementerian yang menaungi perguruan tinggi. Contohnya Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbud Ristek), Kementerian Agama. Mengapa begitu? Selain karena birokrat kampus yang paling sering melakukan represi terhadap Persma. MoU ini juga akan menegakkan legitimasi Persma. Atau bila diperlukan, mengajukan ke DPR untuk merevisi UU Pers. UU Dikti dan UU Pers sudah serasi. Politik di belakang kedua lembaga itu, bagaimana?

Sudah saatnya, masalah Persma tidak melulu diselesaikan dengan sekadar solidaritas. Beberapa LPM memang berhasil “menang” ketika bersengketa dengan kampus, tetapi represi itu terus berulang ketika pengurus LPM berganti. Artinya, solidaritas tidak menyelesaikan masalah secara mendasar. LPM Lintas, misalnya, mereka dibuat gigit jari atas kasus mereka karena pertimbangan hukum atas putusan tersebut, salah satunya adalah soal legal standing LPM Lintas. Kendati majelis hakim dinilai tidak progresif dalam memahami legal standing dan tidak melihat secara global permasalahan yang terjadi, fenomena ini jelas menunjukan kalau Persma memang butuh payung hukum, legal standing, atau apa pun istilah untuk jaminan perlindungan ini. 

Kritik saya terhadap cara penyelesaian masalah Persma dengan solidaritas ini seperti kisah  seorang pemuda tidak berani untuk menikah karena dia mengidap gejala inkontinensia urine, atau kesulitan untuk menahan ngompol. Pemuda ini malu dengan calon istri atas kondisi yang suka ngompol itu. Kemudian, teman pemuda ini menyarankan untuk datang ke psikolog.

Beberapa bulan kemudian, pemuda ini menikah. Temannya bertanya alasan kenapa dia sudah berani menikah, “Apakah penyakitmu sudah sembuh?” Ternyata belum. Pemuda ini justru bilang bahwa sejak dirinya datang ke psikolog, dia semakin percaya diri dan tidak malu dengan kebiasaan dia ngompol. 

Pelajaran yang bisa diambil adalah selama ini masalah Persma selalu diselesaikan dengan cara datang ke psikolog, maksudnya memistifikasi, romantisasi, dan heroisme belaka. Memang, Persma bangga dan berani dengan kengompolannya, tetapi penyakit utama inkontinensia urine itu tidak disembuhkan. 

Oleh karena itu, datang ke psikolog tidak menyelesaikan masalah mendasar. Datang ke dokter adalah solusi. Dewan Pers sebagai “dokter” spesialis pers–selama penyakit pasien relevan dengan spesialisasinya– tidak boleh menolak. Masa depan pers di Indonesia yang berkualitas adalah cita-cita dan kepentingan bersama. Persma adalah tempat regenerasi untuk menghasilkan jurnalis (kritis) dan iklim jurnalisme yang berkualitas. Oleh karena itu, mereka harus dijamin kebebasan pers dan perlindungannya. Segera!

Editor: Arya Nur Prianugraha

Ilustrator: Sholichah

*Artikel ini diperbarui pada 16 Maret 2023 dengan hanya menambahkan grafik tentang Tren Represi terhadap Pers mahasiswa

 

Kategori
Diskusi Esai

Hari Anti-Korupsi Sedunia: Refleksi dan Situasi Pemberantasan Korupsi di Indonesia Pasca-Revisi UU KPK

Korupsi, satu kata yang sering didengar oleh masyarakat dan satu kata yang sering dilakukan oleh hampir sebagian besar penyelenggara negara. Dalam seminggu, mustahil rasanya bagi masyarakat untuk tidak mendengar atau menonton pemberitaan mengenai isu-isu yang menyangkut korupsi. Dan, dalam pemberitaan itu selalu membuat masyarakat marah, frustrasi, dan kecewa, tanpa tahu harus berbuat dan mengambil tindakan apa yang benar-benar dapat mengubah kekacauan itu semua.

Semakin hari semakin mengkhawatirkan kondisi pemberantasan di Indonesia. Selain itu, orang-orang yang melakukan tindakan korupsi atau biasa disebut sebagai koruptor masih cukup banyak yang mendapatkan hak-hak istimewa tertentu. Lembaga yang menjadi harapan publik, yakni Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terus dilemahkan dari satu upaya ke upaya lainnya. Sementara itu, orang-orang atau pegawai KPK yang memiliki integritas dan track record yang baik juga disingkirkan dengan tes yang menggunakan dalih kebangsaan.

Tes Wawasan Kebangsaan (TWK) tersebut merupakan salah satu rangkaian upaya yang sistematis untuk memperlemah KPK. Pelaksanaan TWK terjadi tak lain dan tak bukan dikarenakan adanya pasal dalam UU KPK pasca-revisi. Dalam UU itu disebutkan bahwa pegawai KPK merupakan aparatur sipil negara sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-undangan mengenai aparatur sipil negara.

Aturan itu merupakan satu dari sejumlah pasal yang bermasalah dan melemahkan KPK. Padahal, KPK telah memiliki mekanisme perekrutan pegawai tersendiri sebelum revisi itu terjadi. Pada saat itu, tahun 2019, revisi UU KPK mendapatkan banyak penolakan dari publik. Ada yang menolak dan bersuara melalui media sosial dan ada pula yang menolak dengan melakukan demonstrasi. Terlepas dari apapun caranya, satu hal yang pasti itu semua sebagai bagian dari bentuk kepedulian publik terhadap KPK yang telah menjadi harapan masyarakat dalam memberantas korupsi.

Namun, protes-protes yang dilakukan oleh masyarakat seakan sia-sia dan tak pernah didengarkan oleh orang-orang yang terhormat tersebut. Protes publik dianggap seperti angin lalu saja. Lalu, bagaimana kinerja KPK setelah adanya revisi UU KPK? Apakah kelincahan KPK masih sama atau bahkan jauh lebih gesit dibandingkan sebelumnya? Pertanyaan itu pasti muncul dalam benak publik.

Wajah Baru KPK Pasca-revisi

Revisi UU KPK telah membawa banyak perubahan atau perbedaan bagi KPK sendiri. Pasca-revisi, kinerja KPK terus disoroti oleh publik luas. Pada saat terjadi polemik di publik, para politisi selalu membuat pernyataan bahwa tujuan dari revisi UU KPK adalah untuk memperkuat dan mengoptimalkan KPK dalam memberantas korupsi.

Namun, itu semua hanyalah bualan belaka. Hal ini bisa kita lihat dari statistik KPK dalam melakukan Operasi Tangkap Tangan (OTT) atau seberapa banyak kasus yang berhasil ditangani oleh KPK.  Misalnya, di tahun 2021 ditargetkan dapat mengusut 120 kasus, tetapi KPK hanya menangani 32 perkara. Potensi kerugian negara pada kasus-kasus korupsi itu mencapai Rp596 miliar. Jumlah OTT yang dilakukan oleh KPK juga menurun dibandingkan sebelumnya. Sepanjang tahun 2020-2021, KPK hanya melakukan tujuh OTT. Angka itu turun dari 21 dan 30 OTT dibandingkan dua tahun sebelumnya.

Merosotnya kinerja KPK berdampak pada kepercayaan masyarakat terhadap lembaga antikorupsi tersebut. Temuan lembaga survei Indikator Publik Indonesia, kepercayaan masyarakat terhadap KPK cenderung menurun. Direktur Eksekutif Indikator Politik Indonesia, Burhannudin Muhtadi, menilai bahwa menurunnya kepercayaan publik terhadap KPK berkaitan dengan sejumlah isu, salah satunya revisi UU KPK.

Di samping itu, faktor yang membuat kepercayaan publik menurun adalah ulah dari pimpinan KPK itu sendiri. Terdapat permasalahan-permasalahan yang terjadi dalam internal KPK, seperti pelanggaran etik. Sejumlah pelanggaran etik yang pernah terjadi dilakukan oleh Wakil Ketua KPK, Lili Pantauli. Saat itu, Lili pernah berkomunikasi dengan calon tersangka kasus suap lelang jabatan di Tanjungbalai. Selain itu, Lili juga pernah diadukan ke Dewan Pengawas karena diduga menerima tiket menonton MotoGp Mandalika.

Pelanggaran etik juga dilakukan oleh ketua KPK langsung, Firli Bahuri. Beberapa waktu lalu, Firli Bahuri menghadiri acara Hari Anti-Korupsi Sedunia yang juga dihadiri oleh terduga tersangka korupsi. Sebelumnya, Firli juga bertemu dengan Gubernur Papua yang juga berstatus sebagai tersangka kasus korupsi. Fenomena ini memperjelas apa yang dilakukan oleh pimpinan KPK mencoreng dan merusak nama sekaligus marwah KPK sebagai lembaga anti-korupsi.

Padahal, terdapat aturan yang menyatakan bahwa pimpinan KPK dilarang melakukan hubungan, baik secara langsung atau tidak langsung dengan tersangka kasus korupsi. Ini tentu suatu ironi yang dipertunjukkan oleh pimpinan KPK yang gagal memberikan keteladanan dan contoh bagi para bawahannya. Pimpinan KPK harus berbenah secepat mungkin terhadap permasalahan yang ada di dalam tubuh KPK sendiri. Jika tidak segera berbenah dan membiarkan “penyakit” tersebut, tentu akan semakin merusak wibawa KPK. Dan, apa yang ditunjukkan oleh KPK dari hari ke hari semakin mengecewakan publik. Dari permasalahan internal, seperti pelanggaran etik.  Dan permasalahan eksternal, seperti penanganan kasus-kasus strategis, yaitu penangkapan Harun Masiku yang sampai saat ini menjadi buronan karena terkait kasus suap terhadap komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU), Wahyu Setiawan. Semua permasalahan yang terjadi pada KPK tak bisa dilepaskan dari adanya revisi UU KPK yang dalam prosesnya juga banyak permasalahan.

Melawan Korupsi Sebatas Jargon Gagah-Gagahan

Tujuan dari lahirnya KPK sebenarnya untuk menjawab tantangan atau persoalan dalam pemberantasan korupsi di Indonesia yang gagal ditangani secara optimal oleh kepolisian dan kejaksaan. Selain itu, pemberantasan korupsi merupakan cita-cita reformasi yang sampai saat ini belum terwujud. Bahkan, dengan adanya revisi UU KPK menjauhkan kita dari semangat dan cita-cita reformasi itu. Dengan dikebirinya kekuatan KPK, setidaknya ada dua pihak yang bertanggung jawab terhadap kerusakan KPK, yakni presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Republik Indonesia.

Dalam masa kampanye, Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengumbar janji untuk memperkuat KPK. Bahkan, dalam beberapa kesempatan di depan media, Presiden Jokowi selalu membuat pernyataan yang begitu meyakinkan, yakni akan memperkuat KPK dengan menambah 1000 penyidik. Namun, janji-janji manis tersebut hanyalah sekadar lip service. Ketika gelombang protes membesar, Presiden Jokowi akan mempertimbangkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang alias Perppu, tetapi janji itu tidak pernah dilakukan.

Selain presiden, pihak lain yang bertanggung jawab adalah DPR. Lembaga negara yang konon diisi oleh orang-orang terbaik ini tentu merasa berkepentingan dan berperan penting dalam revisi UU KPK. Sebab, selama ini KPK telah menjadi momok yang menakutkan bagi mereka. Dengan melakukan revisi UU KPK, tentu itu menjadi kemenangan dan kebahagiaan yang tiada duanya.

Sejak KPK berdiri pada tahun 2003 hingga 2019, KPK telah menangani 1.064 perkara dengan tersangka dari berbagai macam latar belakang. Dan, sebagian besar dari mereka berasal dari kalangan politisi, anggota DPR/DPRD, hingga pimpinan partai politik. Jadi, berdasarkan data tersebut tentu tidak mengaggetkan lagi mengapa DPR dan pemerintah terus menggencarkan revisi UU KPK.

Selain banyak pasal yang melemahkan KPK, dalam proses legislasinya UU KPK dilakuakn secara ugal-ugalan dan tergesa-gesa. Partsipasi mandek dan aspirasi dari masyarakat tak pernah didengar. Semua dibuat berdasarkan keinginan dan kepentingan kelompok tertentu, sedangkan kepentingan publik dikesampingkan. Jika suatu undang-undang lebih sarat dengan kepentingan politik, akan muncul potensi atau kecenderungan bahwa berlakunya undang-undang itu hanya memberikan manfaat kepada pihak-pihak tertentu.

Melawan atau memberantas korupsi dibutuhkan komitmen yang kuat dan serius, khususnya bagi pemangku kebijakan. Memberantas korupsi tidak dapat diatasi dengan narasi gagah-gagahan yang sifatnya sloganistik dan tanpa ada langkah konkret. Biasanya, hal semacam ini dapat kita temui di tahun-tahun politik menjelang pemilu untuk mencari muka. Korupsi adalah masalah serius yang dampaknya dapat dirasakan langsung oleh masyarakat luas, terlebih-lebih masyarakat kelas bawah. Oleh karena itu, sudah seharusnya diatasi pula dengan cara-cara yang serius. Namun, di negeri ini tampaknya korupsi memang menjadi masalah serius, tetapi sengaja dibiarkan. Ironi.

DAFTAR PUSTAKA

Buku:

  • Arifin Mochtar, Zainal. 2022. Politik Hukum Pembentukan Undang-Undang. Yogyakarta. EA Books.

Internet :

Tentang penulis:

Arman Ramadhan (22) merupakan mahasiswa aktif di Institut Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (IISIP) Jakarta. Jika ingin berkorespondensi dengan Arman, dia bisa dihubungi melalui Instagram @armanrmdhan3.

Editor: Adil Al Hasan/Redaksi PPMI


Kategori
Diskusi Esai

Kado Kemerdekaan: Mati Massal Dibunuh Pemerintah

Jika pemerintah terus salah mengambil kebijakan, rakyat bisa berjatuhan mati masal. Tercatat pertanggal 15 Agustus 2021, di laman covid19.go.id menunjukkan jumlah rakyat Indonesia mati karena Covid-19 mencapai 117.588. Tentu saya yakin data tersebut bukan data asli. Dapat dipastikan data yang tidak tercatat jauh lebih banyak. Berdasarkan pemantauan lapor covid data yang masuk ada perselisihan antara data daerah dan pusat. Banyaknya saudara kita yang meninggal dunia dan pendataan yang amburadul menunjukkkan ada masalah yang serius dalam penanganan dan kebijakan yang diambil pemerintah dalam menangani pandemi. Ribuan nyawa orang yang meninggal semestinya mendapat perhatian serius, bukan hanya sekedar data angka, karena setiap warga negara hidup, keselamatan, dan kesehatannya semestinya dijamin dalam undang-undang.

Tak terbilang berapa kali pemerintah melakukan pergantian nama kebijakan dalam menangani pandemi. Berganti siapa yang bertanggung jawab atas kebijakan tersebut, kepemimpinan Satgas tak pernah sama sekali diserahkan kepada ahli kesehatan masyarakat atau epidemiolog. Beberapa pekan terakhir pun dunia Internasional menyoroti Indonesia menjadi episentrum pandemi dunia dengan penanganan yang carut marut. Sempat banyak ketidaktersediaan rumah sakit, kelangkaan oksigen, rencana vaksin berbayar, banyak tenaga kesehatan yang gugur, bahkan kematian anak Indoneisa akibat covid tertinggi di dunia. Seolah kebijakan pemerintah tersebut tak menunjukkan hasil yang signifikan.

Sebagai warga negara patut kita semua mengerti, kenapa kebijakan pemerintah dalam menangani pandemi tidak membuahkan hasil? Apakah pemerintah membuat kebijakan tidak mempertimbangkan kebutuhan rakyatnya? Atau memang sengaja pemerintah tidak memprioritaskan kebutuhan rakyat, sehingga menyebabkan kematian massal? Jika demikian pantaskah kita menyebut pemerintah sebagai pembunuh rakyat di tengah pandemi? Berikut sedikit catatan dari saya menyoal kematian massal yang disebabkan oleh  kebijakan pemerintah.

PPKM Tanpa Jaminan Hidup

PPKM atau Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat tanpa jaminan hidup adalah sebuah kebijakan pemerintah yang sangat tidak manusiawi, pasalnya tidak semua rakyat  siap melindungi dirinya dengan berbagai jenis keamanan di tengah pandemi, tidak semua mampu mempersiapkan kebutuhan makanan pokok. Banyak rakyat yang mengantungkan hidupnya dengan berjualan di pasar, menjadi tukang becak, tukang ojek, dsb. Mereka tidak bisa untuk tetap dirumah saja, untuk bisa bertahan hidup ia harus bekerja, jika tidak bekerja ia tidak makan dan bisa mati kelaparan. Maka dari itu tak salah jika banyak masyarakat di berbagai daerah beberapa waktu yang lalu berdemonstrasi menolak PPKM, tidak salah pula masyarakat di berbagai daerah mengibarkan bendera putih sebagai tanda bahwa masyarakat sudah tidak kuat bertahan dalam himpitan masalah ekonomi saat pandemi.

Kejamnya pemerintah dan aparat di tengah pandemi juga dipertontonkan dengan banyaknya pembubaran usaha warga di berbagai daerah oleh Satpol PP dengan menggunakan kekerasan. Diantaranya terjadi di Semarang, pada 7 Juli 2021, Satpol PP melakukan penyemprotan lapak pedagang di pinggir jalan yang melanggar aturan PPKM dengan menggunakan mobil pemadam kebakaran. Petugas juga bergerak cepat menyita dagangan dan peralatan dagang milik pedagang tersebut. Kemudian di Surabaya, pada 11 Juli 2021, petugas menyita tabung LPG 3 Kg milik pedagang di sebuah warung di Kecamatan Kenjeran. Tak hanya itu, petugas juga menyita e-KTP pemilik warung tersebut. Sedangkan di Tasikmalaya seorang penjual bubur didenda 5 juta rupiah karena melayani pembeli yang ingin makan di tempat. Penjual mengaku tidak tahu aturan PPKM. Namun, hakim tetap menjatuhkan hukuman denda. Beberapa kejadian tersebut adalah bukti nyata kekerasan yang dilakukan pemerintah melalui aparat negara.

Pemerintah dan aparat tidak menjamin kebutuhan hidup warga negaranya. Sementara Pendekatan yang dilakukan pemerintah dan aparat terhadap warga melanggar peraturan selama pandemi ini cenderung represif. Pemerintah berpikir dengan pikiran yang sangat kolot, menganggap situasi darurat kesehatan ini sama dengan darurat sipil atau militer. Sehingga warga banyak yang direpresi dan menerima berbagai tindak kekerasan, sedangkan warga butuh uang untuk mencukupi kebutuhan hidup. Dengan ini, jelas kita mengerti pemerintah memang tak peduli dengan kekhawatiran rakyat Indonesia yang takut mati kelaparan. Barangkali memang benar kelaparan tidak ramai diperbincangkan oleh pemerintah ataupun media mainstream, karena kelaparan tidak akan membunuh orang kaya, terlebih seperti pejabat pemerintah.

Jika pemerintah memiliki hati nurani, maka sudah semestinya pemerintah menyuplai kebutuhan hidup dasar masyarakat dan makanan hewan ternak yang ada di wilayah karantina tersebut. Sebagaimana yang diamanatkan dalam Undang-undang nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan, “Dengan begitu masyarakat bisa berdiam diri ditempat tinggal dan setidaknya bisa tetap tenang karena ada yang mencukupi biaya kehidupan dasarnya.” Undang-undang Kekarantinaan Kesehatan tersebut sangat progresif dan berpihak kepada rakyat di situasi pandemi seperti ini, namun pada kenyataannya pemerintah tidak mau melaksanakan apa yang sudah diundangkan tersebut.

Pemerintah Melanggar Hak Kesehatan Masyarakat

Secara konstitusional, hak atas kesehatan merupakan hak asasi manusia yang menjadi kewajiban pemerintah untuk memenuhinya. Di antaranya disebutkan dalam Pasal 28H ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia: yang berbunyi “Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan.”

Namun apa yang terjadi di Indonesia saat pandemi covid meledak dan menjadi episentrum pandemi dunia, beberapa masyarakat tidak bisa dirawat di rumah sakit karena rumah sakit penuh, sehingga harus menunggu diluar atau harus berkeliling mencari rumah sakit lewat Aplikasi/telephone. Beberapa dari mereka tak kunjung mendapatkan rumah sakit, sehingga harus berkeliling secara manual. Hal itulah yang membuat banyak pasien covid meninggal dunia di jalan, di rumah sakit saat menunggu kamar, atau meninggal saat memilih melakukan perawatan di rumah karena kelelahan menunggu rumah sakit.

Ketika rumah sakit atau fasilitas kesehatan tidak lagi dapat menampung pasien, isolasi mandiri di rumah diharapkan bisa menjadi alternatif untuk perawatan pasien, tapi  pada kenyataannya banyak pasien yang tidak tertolong. Berdasarkan data laporcovid19 pada 24 Juli 2021, ada sebanyak 2.491 orang meningal dunia saat isolasi mandiri/di luar fasilitas kesehatan. Pasien isolasi mandiri dirawat tanpa pemberian pengawasan dan pelayanan kesehatanyang memadai. Banyaknya pasien isolasi mandiri yang meninggal dunia menandakan tidak ada perhatian serius kepada pasien  yang melakukan isolasi mandiri di rumah.

Tak hanya pasien, berdasarkan data dari laporcovid19 pada 10 Agustus 2021, ada 1646 tenaga kesehatan yang meninggal dunia karena covid. Hal ini dikarenakan kelelahan tak sanggup menangani pasien yang membludak.

Komitmen  pemerintah masih lemah dalam menjalankan 3T, yaitu testing (pemeriksaan), tracing (pelacakan), dan treatment (perawatan). Vaksin di beberapa daerah kehabisan, sementara di daerah lain bisa melakukan vaksin dengan leluasa. Hal tersebut tentu tidak bijak, karena sesungguhnya semua masyarakat harus mendapatkan vaksin, kelompok lansia sabagai prioritas vaksin harus ditingkatkan terus. Pada dasarnya kita tidak akan mencapai herd immunity jika masih banyak kalangan yang tidak mendapatkan vaksin. Selain itu di berbagai daerah muncul vaksinasi berbayar yang tidak hanya dilakukan oleh oknum individu, tetapi juga perusahaan.

Selain itu Satuan Tugas (Satgas) Penanganan Covid-19 mencatat lonjakan kasus covid mulai terjadi di enam provinsi di luar Pulau Jawa dan Bali dalam sebulan terakhir. Enam provinsi tersebut meliputi, Sumatera Utara, Kalimantan Timur, Sulawesi Selatan, Sumatera Barat, Riau, dan Kalimantan Selatan. Menteri Koordinator bidang Maritim dan Investasi Luhut Binsar Panjaitan mengungkapkan penanganan di luar Pulau Jawa dan Bali berbeda karena lebih sulit. Hal tersebut disebabkan dukungan infrastruktur kesehatan yang belum memadai dan tantangan lainnya yang cukup besar di luar Jawa-Bali. Ini akan menjadi memperpanjang adanya ketimpangan kesehatan dan kematian massal yang tidak terbayangkan.

Ini adalah beberapa catatan buruk dunia kesehatan Indonesia yang disebabkan oleh kebijakan pemerintah, bisa jadi masih ada banyak catatan yang mungkin belum tercatat di sini.

Tidak ada Keterbukaan Informasi Publik

Informasi tentang pandemi covid adalah informasi yang wajib diumumkan secara serta merta oleh badan publik yang memiliki kewenangan dan menguasai informasi tentang covid, karena covid dapat mengancam hajat hidup orang banyak dan ketertiban umum. Dasar hukum mengenai ketentuan ini, sebagaimana diatur dalam Undang-undang No 14 tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik.

Namun pada kenyataannya keterbukaan informasi publik dalam masa pandemi ini, masih dianggap menjadi momok  berbahaya, dalam penanganan pandemi Covid di Indonesia. Aparat dan pemerintah melakukan represi terhadap jurnalis, sehingga menghambat peran media sebagai pengawas kebijakan pemerintah dalam menangani pandemi.

Inisiator LaporCovid-19 sekaligus jurnalis Kompas, Ahmad Arif, artikelnya seputar Covid-19 diberi label hoaks selama 2020-2021. Salah satu artikelnya berjudul ”63 Pasien di RSUP Dr Sardjito Meninggal dalam Sehari” tayang pada 4 Juli 2021. Padahal kerja Jurnalis dilindungi UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers.

Selanjutnya Melalui Menteri Koordinator bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves), Luhut Binsar Pandjaitan, saat mengumumkan perpanjangan PPKM, Senin (9/8/2021). Pemerintah memutuskan untuk mengeluarkan angka kematian dari indikator penanganan Covid-19. Pasalnya, ditemukan masalah dalam input data sehingga menyebabkan akumulasi dari kasus kematian di beberapa minggu sebelumnya.

Menanggapi hal tersebut, epidemiolog dari Griffith University Australia Dicky Budiman mengatakan bahwa kebijakan itu jelas keliru, selain itu juga berbahaya karena indikator kematian adalah indikator kunci adanya suatu wabah untuk melihat bukan hanya performa intervensi di hulu, tapi juga menilai derajat keparahan suatu wabah. Alih-alih data kematian yang menumpuk dan memunculkan ketidakakuratan, seharusnya tidak membuat pemerintah menghilangkannya begitu saja. Data kematian tersebut cukup diperbaiki dengan secepat dan seakurat mungkin tanpa perlu menghilangkannya.  tujuan penanganan pandemi adalah untuk meminimalisir angka kematian. Bahkan harus menghilangkan angka kematian yang diakibatkan oleh pandemi.

Berdasarkan hal ini, harusnya pemerintah sejak awal melakukan komunikasi krisis yang baik di masa pandemi. Komunikasi krisis membutuhkan keterbukaan informasi tentang Covid-19, pengakuan dan kejujuran dari pemerintah terkait penanganan, sehingga bisa menciptakan edukasi risiko kepada masyarakat luas.

Masyarakat tidak menjadi prioritas Utama

Beberapa catatan di atas adalah bukti bahwa di tengah pandemi, masyarakat bukanlah prioritas utama dalam kinerja pemerintah. Hal ini diperjelas dengan pemerintah yang mengesahkan Undang-undang Omnibus Law Cipta Kerja yang tergesa-gesa pada 5 oktober 2020, tanpa melibatkan partisipasi masyarakat. Membangun PLTU di tengah pandemi, pemerintah menyisihkan anggaran untuk mengecat pesawat Jokowi, dana bansos dikorupsi oleh menteri sosial, sementara banyak masyarakat yang menderita dibatasi PPKM tanpa tunjangan hidup, kesulitan mencukupi kebutuhan dasar dan terancam terinveksi virus covid.

Jika pemerintah memang memprioritaskan kepentingan masyarakat, harusnya pemerintah menerapkan lockdown yang sudah diatur oleh Undang-undang Kekarantinaan Kesehatan. Membuka informasi seluas-luasnya, karena informasi informasi bisa mengedukasi masyarakat, bukan malah meminta rakyat untuk menelan ludah dan bersabar mengahadapi wabah yang hadir di tengah kita. Sungguh ini adalah masalah yang serius, kita tidak bisa menjamin kesalamatan kita dalam pandemi ini, pun kita tidak tahu sampai kapan kebijakan pemerintah membatasi kegiatan masyarakat yang membuat rakyat kecil hanya ada pada dua pilihan, mati kelaparan atau mati karena virus. Untuk itu penting bagi kita untuk saling bersolidaritas dan saling menguatkan, perkuat pertahanan rakyat bantu rakyat, warga bantu warga, mengumpulkan donasi, membantu kebutuhan umum, membantu pasien yang sakit, kita tidak bisa berharap lagi pada pemerintah. Ini adalah perayaan kemerdekaan Indonesia yang muram, dan kado kemerdekaan dari pemerintah kita kali ini adalah kematian massal saudara-saudara kita, akibat salah mengambil kebijakan.

Penulis: Najmu Tsaqiib

Kategori
Diskusi Esai

Sebuah Mukadimah atas Kekuasaan

Power dalam bingkai studi hubungan internasional sering disebut dengan kekuasaan. Dengan koleganya, ilmu politik, power didefinisikan sebagai perebutan kekuasaan. Namun dalam HI, power adalah segala sesuatu (atribut, atau tujuan) yang bisa menciptakan dan mempertahankan pengendalian seseorang atas orang lain.

Bila dilihat dari intensitasnya, istilah power merupakan kata yang paling sering diucap dosen saat mengajar di kelas-kelas. Bila dilihat lebih dalam lagi, power (kekuasaan) merupakan inti dari setiap upaya menyelami ilmu hubungan internasional. Siapapun yang belajar tentang HI, seyogyanya tau akan hal ini. Siapapun yang (niat) belajar ilmu ini, ia bakal dihadapkan dengan pencarian makna dan konsekuensi praktisnya, sebagai upaya untuk merebut, mencapai dan mempertahankan sebuah kekuasaan.

Memaknai power bukan berarti kita harus bergabung di dalamnya. Bukan berarti kita harus menjadi presiden, Jendral, atau bos kartel narkoba untuk bisa mengerti tentang power, apa itu kekuasaan dan bagaimana ia bekerja. Tapi, jika ingin merasakannya secara langsung, saya kira opsi untuk menjadi pemimpin dalam sebuah institusi (lembaga, organisasi) bisa menjadi pilihan yang baik (asal bertanggung jawab).

Sebelum memulai lebih lanjut, perlu saya jelaskan disini bahwa pendefinisian power itu sendiri banyak memicu perdebatan. Columbius dan Wolfe menyebut ada dua hal yang masih disilangpendapat kan, yaitu tentang power sebagai atribut (militer, tingkat ekonomi), atau hubungan antara dua aktor politik yang berbeda. Namun saya tidak akan menjelaskannya dalam catatan singkat ini.

Hans Morgenthau, dalam bukunya “Politic among Nations”, mendefinisikan power sebagai hubungan antara dua aktor politik dimana aktor A memiliki kemampuan untuk mengendalikan pikiran dan tindakan aktor B.

Jadi, power menurut Morgenthau bisa berupa apa saja, dari ancaman fisik hingga tekanan psikologis yang menciptakan dan mempertahankan pengendalian seseorang terhadap orang lain.

Dalam pengertian ini, misalnya : Fulan, seorang yang tinggi berotot menyuruh Alan yang kering kerontang untuk membelikannya sebungkus rokok di warung. Jika si Alan menolak, Fulan berjanji akan meninju Alan habis-habisan. Alan akhirnya mau, meski dengan terpaksa.

Pada contoh diatas, “badan tinggi dan otot kuat” merupakan sebuah atribut yang dimiliki oleh Fulan untuk bisa mengendalikan Alan untuk mau menuruti perintahnya. Jika menolak permintaan itu, Alan takut dirinya bakal diberi bogem mentah di sekujur tubuhnya. Dengan kata lain, Fulan mempunyai power (kuasa) terhadap Alan.

Columbius dan Wolfe lebih lanjut menjelaskan tiga unsur penting dalam power. Pertama adalah daya paksa. Yaitu beragam ancaman kasat mata sebagai faktor pemaksa oleh aktor A terhadap aktor B. Unsur kedua ialah pengaruh (influence), yang diartikan sebagai alat-alat persuasi (tanpa kekerasan) untuk menjamin perilaku aktor B agar sesuai keinginan aktor A.

Terakhir, yang ketiga, adalah authorithy (wewenang). Konsep ini merujuk pada sikap tunduk secara sukarela aktor B lewat nasehat, perintah, atau karisma yang ditunjukan oleh aktor A.

Pada contoh diatas, Fulan memakai power yang dimilikinya untuk mengendalikan tindakan Alan. Unsur yang digunakan ialah daya paksa, dengan atribut berupa ancaman fisik (tinju) yang bakal didaratkan Fulan kepada Alan jika ia tak mau menerima perintahnya.

Paradoks Kekuasaan

Yang menarik dari sebuah kekuasaan adalah wujudnya yang paradoks. Persis seperti dua sisi mata koin yang saling berlainan, kekuasaan menampilkan dirinya sebagai entitas berwajah ganda.

Di satu sisi, di tangan yang tepat, kekuasaan bisa menjadi pintu gerbang bagi manusia dalam rangka mencapai mimpi-mimpi indahnya. Upaya-upaya menciptakan kedamaian, ketertiban, keadilan hingga kesetaraan, dapat terwujud jika kekuasaan digunakan dengan dan oleh pemimpin yang tepat.

Di sisi yang lain, kekuasaan adalah rahim bagi lahirnya neraka duniawi. Terutama bila ia berwujud penindasan, pemiskinan, pembodohon atau penyalahgunaan sewenang-wenang oleh pemimpin, institusi hingga lembaga yang menjelma sebagai iblis berkaki dua kepada warganya.

Menariknya, yang terakhir ini bisa kita temukan sehari-hari dalam institusi yang bernama negara. Baik dalam bentuk kebijakan maupun tindakan aparatusnya, negara acap kali bertindak di luar batas dalam maksud menggunakan kekuasaan yang ia miliki. Soal ini kita bisa menyebutnya sebagai penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power).

Kekuasaan, dalam sifat dan praktiknya, punya batasan-batasan yang terkait dengan ruang lingkupnya. Batasan-batasan inilah yang memungkinkan para pemimpin atau orang yang punya kuasa untuk tidak menyalahgunakannya secara sewenang-wenang. Di ranah negara, batasan ini dimanifestasikan dengan bentuk peraturan perundang-undangan yang mengikat dan punya sifat memaksa. Ia disebut hukum. Hukum ibarat wasit yang menjaga pemimpin agar tidak keluar jalur saat melakukan pekerjaan.

Sebagai pemimpin umum, saya punya kuasa untuk mengatur dan menyuruh pengurus saya untuk mengerjakan tugas sesuai dengan tupoksinya. Namun, saya tak punya wewenang untuk memaksa mereka. Kekuasaan dalam organisasi sifatnya terbatas, didapatkan dari konsensus bersama melalui musyawarah dan batasan-batasannya amat kabur. Misalnya, mendorong mereka untuk mau menulis merupakan salah satu tugas (baca: kuasa) saya, tapi, menggunakan jabatan ini untuk mendekati perempuan demi dijadikan pacar adalah hal yang tidak patut, setidaknya dalam pertimbangan etis dan moral.

Beda lagi dengan kekuasaan yang ada pada negara (saya menyebut negara sebagai kesatuan dari pemerintah dan para aparatusnya). Di tangan mereka, kekuasaan menjelma sebagai barang yang bisa dipermainkan sekehendak hatinya. Sia-sia saja menuliskan disini pelbagai catatan kelam penyalahgunaan kekuasan oleh negara terhadap warganya sendiri. Sebuah roman 1000 halaman pun takan cukup. Konflik Wadas bisa menjadi cerminan paling anyar dari upaya negara untuk menukar sumber kehidupan warga Kecamatan Bener, Purwerojo dengan sebuah bendungan yang entah dibuat untuk siapa.

Kekerasan Aktifis di Jombang

Salah satu unsur yang bisa digunakan untuk mengendalikan orang lain ialah wewenang (authorithy). Wewenang ini menurut saya bisa dibedakan menjadi dua, formal dan non formal. Yang pertama bisa didapatkan ketika mempunyai jabatan/posisi sebuah institusi (negara, organisasi dll). Ada kerangka legal dimana kita menggunakan kuasa kita (hukum, AD-ART).

Yang kedua sifatnya tak terlihat. Ia berasal dari atribut-atribut “spesial” yang melekat dalam sosok seseorang. Atribut-atribut itu dapat berupa ilmu, karisma, ahlak, hingga adab.

Dalam dua tahun terakhir, selama berkuliah saya memilih nyantri di pondok pesantren yang masih satu “keluarga” dengan kampus. Saya sedikit mengerti bahwa kyai adalah sosok yang amat di hormati dan dijunjung tinggi dalam lingkungan pesantren. Para santri biasanya bakal dengan gampang mengikuti tutur kata dan perbuatan yang dititahkan oleh kyainya.

Penganiayaan yang dialami Rani (bukan nama sebenarnya) diduga dipicu oleh kegiatannya sebagai aktifis kekerasan seksual, lebih khusus lagi pada kasus yang melibatkan anak Kyai terkenal di Jombang,  M, Subchi Azal Tsani. Saya tak tahu apakah ada korelasi langsung antara kekerasan yang dialami Rani dengan posisi Subchi yang merupakan anak Kyai. Namun, kita tahu bagaimana posisi prestisius seseorang acap kali bisa membuatnya kebal dari tindakan hukum. Terkait kekerasan seksual yang (diduga) dilakukan oleh Subchi,  apakah saya salah jika mengatakan bahwa posisi Subhci yang saat ini masih melenggang bebas adalah buntut dari privilisnya yang seorang anak kyai?

Tentu ini cuma hipotesa belaka. Tapi kita semua sudah mafhum bahwa pelaksanaan hukum Indonesia seringkali tajam ke bawah dan tumpul ke atas. Bedebahnya, ini merupakan fenomena umum yang lazim ditemukan. Authority (wewenang) yang dipunyai seseorang bisa (atau biasa) menjadi tameng perlindungan bagi ia untuk melenggang dari jerat hukum yang sudah jelas bisa menimpa orang-orang kecil.

Contoh konkritnya bisa kita temukan dalam tindakan Tim Mawar atas penyulikan para aktifis di medio 98 an. Atau pada kasus-kasus HAM masa lalu yang belum terselesaikan hingga sekarang. Pada kasus penculikan aktifis, mirisnya, jenderal yang (diduga) menjadi tersangka masih berkeliaran bebas bahkan ada yang sampai dua kali nyalon sebagai Presiden.

Kasus 65 lebih ngeri lagi. Pembantaian besar-besaran 500 hingga 1 juta orang tak menyisakan pelaku yang jelas untuk diadili. Rezim Soeharto menguburnya dalam-dalam. Dan rezim Habibi hingga Jokowi tak ada kemauan kuat untuk mengungkapnya.

Rani, 23 tahun, mengalami penganiayaan karena memperjuangkan penyelesaian kasus kekerasan seksual. Dan itu bukanlah sebuah mukjizat. Siapapun bisa dianiaya dan melakukan aniaya. Terlebih bila ia punya kekuasaan yang besar, otoritas yang kuat, pengaruh yang luas, maka menyalahgunakannya hanya sebatas pilihan mau atau tidak mau. Semudah Thanos ketika menghilangkan separuh isi penduduk alam semesta hanya dengan sekali klik jentakan jari.

Namun saya kira orang-orang seperti Rani bakal tetap ada dan terus berlipat ganda. Nyala apinya menjalar bagi siapapun yang merasakan dirinya terkungkung dalam tempurung penyiksaan, kekerasan dan penyalahgunaan kekuasaan yang dilakukan oleh negara, otoritas keagamaan hingga para iblis kapital. Dan siapa tahu, nyala api itu dapat masuk dalam tubuh kita semua. Semoga dan semoga.

Kategori
Diskusi Esai

Catatan Refleksi Gerakan Pers Mahasiswa di Masa Pandemi

Pandemi belum berakhir, tapi gerakan pers mahasiswa belum mau menemui akhir. Dalam beberapa hal, pemerintah memang mencoba menangani pandemi dengan berbagai kebijakannya. Namun, seslain urusan pandemi, pemerintah juga punya fokus agenda lebih besar terhadap pembangunan dan investasi. Sering kali kita dengar pesan “patuhi protokol kesehatan” atau “bantu pemerintah atasi pandemi”. Sayangnya, kebijakan, pembangunan dan kepatuhan itu disertai kekerasan seperti intimidasi, penggusuran, kriminalisasi dan kekerasan lainnya. Pers mahasiswa menjadi salah satu media yang memberitakan kebenaran itu sekaligus menjadi korban dari kekerasan negara.

Badan pekerja Advokasi PPMI mencatat berbagai kekerasan yang dialami pers mahasiswa di masa pandemi. Beberapa kekerasan itu diantaranya kekerasan fisik, ancaman pembunuhan, upaya kriminalisasi dengan UU ITE, kriminalisasi, pembubaran diskusi, penyerangan sekretariat LPM, pembredelan berita, ancaman skorsing dan DO, dan kekerasan seksual. Pelaku kekerasannya juga beragam, mulai dari birokrat kampus, aparat kepolisian, orang tak dikenal (OTD), anggota HMI bahkan anggota PPMI sendiri (kasus kekerasan seksual).

Setidaknya, dari berbagai kekerasan yang dialami pers mahasiswa tersebut, kita tahu bahwa pers mahasiswa mengalami kekerasan dari luar (kebijakan negara, polisi, kampus, mahasiswa, OTD) dan dari dalam (pers mahasiswa). Saya juga melihat beberapa kasus kekerasan seksual juga muncul ke publik, terutama pasca kasus kekerasan yang diberitakan oleh BPPM Balairung di UGM, Yogyakarta. Muncul kasus kekerasan di beberapa perguruan tinggi, organisasi pergerakan (seperti SINDIKASI dan Malang Coruption Watch) dan kolektif pergerakan lainnya.

Maka dari itu, perlu sebuah refleksi bagi pers mahasiswa atas berbagai kasus kekerasan tersebut. Refleksi ini bertujuan supaya pers mahasiswa dapat memperbaiki peraturan internal organisasinya untuk melindungi anggotanya dan memperkuat kualitas pemberitaan terhadap segala bentuk kekerasan.

Belajar Advokasi itu Harga Mati

Rasa gentar menghampiri setiap pers mahasiswa yang mengalami kekerasan. Secara spontan, mereka akan melakukan apapun untuk bertahan dari kekerasan. Tak semua pers mahasiswa mengetahui cara mempertahankan haknya yang sudah dirampas. Rasa sakit karena kekerasan fisik maupun ketakutan akan kekerasan, sering kali membutakan setiap pers mahasiswa. Maka dari itu, setiap pers mahasiswa yang telah mengalami maupun yang sadar akan posisi rentannya terhadap kekerasan, mereka akan belajar mempertahankan, membela, dan mengadvokasi.

“Kenapa sih kamu ngritik kampus terus? Udah tau bakal kena dampaknya kok tetep ngritik,” ini adalah pertanyaan using dari mereka yang tak pernah mengalami kekerasan. Bukan soal “kenapa kalian mengkritik” tapi soal “kenapa kamu diam ketika hak-hakmu dirampas? Kenapa kamu diam ketika melihat keluarga, teman, tetangga atau siapapun itu tidak bisa melanjutkan kuliah karena kuliah semakin mahal? Kenapa kamu diam ketika orang-orang tak lagi bisa mendapatkan air dan makanan karena digusur oleh perusahaan dan proyek pembangunan dari negara? Kenapa kamu diam?”

Beberapa kawan pers mahasiswa sering tertawa setelah temannya direpresi. Ada juga yang bilang, kalau belum direpresi artinya belum bener-bener jadi pers mahasiswa. Di satu sisi, hal itu memang mengandung unsur kesombongan. Tapi di sisi lain, sebenarnya mereka mengalami tekanan fisik maupun mental yang cukup dalam. Menertawakan kesakitan, mungkin adalah cara kita mengurai semua kemarahan atas kekerasan yang tak pernah kita harapkan untuk datang.

Pengalaman dan kesadaran akan posisi rentan ini perlu dirarahkan kepada penguatan pembelaan diri. Kita perlu mempertahankan hak-hak kita maupun orang lain dari ancaman kekerasan. Kita perlu mempersenjatai diri dengan advokasi untuk melawan kekerasan yang akan datang di kemudian hari.

Apakah AD/ART dan Kode Etik PPMI sudah menjadi dasar untuk menciptakan ruang aman serta melawan segala bentuk kekerasan seksual? Sampai mana kabar SOP Penanganan kasus kekerasan seskusal yang katanya sedang disusun PPMI? Silahkan PPMI untuk menjawabnya.

PPMI juga menyediakan buku pedoman teknis advokasi untuk pers mahasiswa. Sudah dibuat dan diterbitkan sejak 2016. Pertanyaannya, dari 2016-2021, berapa banyak pers mahasiswa yang sudah membaca dan menerapkan pedoman advokasi itu? Ini penting untuk dijawab.

Kita sangat perlu mengingat dan menolak lupa terhadap berbagai kekerasan yang dialami pers mahasiswa. Salah satunya kasus pemecatan anggota LPM SUARA USU (yang sekarang menjadi BOPM Wacana) karena menerbitkan cerpen. Cerpen? Sebuah tragedi besar dalam sejarah represi pers mahasiswa. Tentunya sebuah kemuduran besar juga bagi pendidikan tinggi dan demokrasi di negara ini.

Menurut saya, wajib bagi pers mahasiswa untuk mengingat editorial yang berjudul “Umur Panjang Pers Mahasiswa”. Redaksi BOPM Wacana menulis:

“Putusan PTUN Medan terhadap kasus Pers Mahasiswa Suara USU harusnya menjadi cambukan bagi pers mahasiswa di tanah air. Jika pengadilan yang menjadi perwakilan negara pun membenarkan tindakan yang mengukung kebebasan media dan mimbar akademik, tak ayal jika pers mahasiswa di Indonesia tidak akan mempu berumur panjang jika mulai ‘mengusik’ rektorat-nya. Tidak adanya payung hukum yang melindungi pers mahasiswa menjadi salah satu alasan rentannya pers mahasiswa untuk diintimidasi”

Kalau kamu sudah merasa terambuk, maka mulailah belajar advokasi. Selain untuk orang lain, ini juga untuk dirimu sendiri. Kita memang tak cukup belajar advokasi saja. Perluasan jejaring untuk memperkuat barisan pertahanan tentu sangat penting. Selain itu, kita perlu terus menerus mempelajari dasar-dasar jurnalisme. Sering mengoceh bahwa pers mahasiswa tidak punya payung hukum, saya rasa juga tidak menunjukkan progress yang signifikan.

Sekalipun ada payung hukum yang melindungi, pers umum juga tetap mendapatkan represi. Artinya, payung hukum bukan solusi tunggal yang bisa menumpas segala kekerasan terhadap jurnalis. Kita tetap perlu belajar terus-menerus yang namanya dasar-dasar jurnalisme, UU Pers, Kode Etik Jurnalistik, UU Keterbukaan Informasi Publik, UU Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum, Kebebasan Akademik dan berbagai undang-undang lainnya. Kita perlu belajar advokasi jika kita tak ingin mati.

Nafas Pers Mahasiswa ada di Budaya Membaca, Menulis dan Berdiskusi

Refleksi mendasar bagi pers mahasiswa juga terletak di budaya membaca, menulis dan berdiskusi. Untuk budaya membaca, sudah cukup saya jelaskan di pembahasan sebelumnya. Sekedar tambahan, saya hampir selalu bertanya ke pers mahasiswa yang mengundang saya untuk ngisi materi advokasi. “Represi sebelum menulis itu apa?”

Pertanyaan ini saya ajukan karena represi sering terjadi ketika meliput (dipersulit, diintimidasi dan lainnya) dan setelah melipu (dibredel, sensor, kekerasan fisik dan lainnya). Represi sebelum menulis adalah kepatuhan terhadap birokrasi dan pemerintah. Artinya, selalu menganggap bahwa birorasi dan pemerintah itu melakukan kebaikan. Inilah represi yang tidak disadari oleh beberapa pers mahasiswa. Sehingga, lagi-lagi saya katakan, untuk mengantisipasi represi, kita perlu membaca dan belajar advokasi. 

Berikutnya menulis. Masih berkaitan dengan advokasi, menulis bisa menjadi salah satu cara untuk melakukan advokasi litigasi maupun non litigasi. Entah itu untuk menulis analisis terhadap suatu kasus, maupun untuk mencatat setiap kasus represi. Dua hal ini, saya melihatnya juga masih ada kekurangan. Tak sering saya melihat analisis yang cukup dalam ketika ada kasus represi yang dialami pers mahasiswa. Kebanyakan hanya catatan kronologi dan pernyataan sikap. Saya rasa pers mahasiswa bisa lebih baik dari ini.

Kemudian mencatat kasus represi. Ini ironis. Pers mahasiswa bergerak di bidang jurnalistik, artinya ya wajib nulis. Tapi masih jarang saya melihat pers mahasiswa maupun PPMI yang rajin melakukan pencatatan terhadap setiap kasus represi. Dampaknya, public tidak akan mendapat informasi secara utuh tentang represi yang dialami pers mahasiswa.

Bahkan, Elyvia Inayah, penulis buku “Melawan dari Dalam” tentang pers mahasiswa pasca reformasi juga mengalami kesulitan ketika menyelesaikan bukunya. Dalam bukunya, alumni UAPKM Kavling 10 Universitas Brawijaya itu mengatakan bahwa dia kesulitan karena referensi buku tentang pers mahasiswa itu minim.

Jadi, kalau pers mahasiswa masih malah mencatat kasus represi yang dialaminya, maka fenomena ironi ini akan terus terjadi. Hal ini sudah sering saya katakana ketika ngisi materi tentang advokasi. Kadang saya merasa capek. Dan sekrang silahkan jawab pertanyaan ini. Untuk PPMI, baik nasional maupun kota, sudahkah kalian rajin menulis dan mencatat kasus represi yang kalian alami?

Pikirkan jangka panjang. Kalau kalian punya basis data dan analisis yang kuat, itu bisa menjadi bekal yang bagus untuk melawan kekerasan yang akan terjadi di kemudian hari.

Terakhir, saya mau bilang kalau tidak semua refleksi yang saya jelaskan itu bisa langsung mendorong pers mahasiswa memperbaiki peraturan internal organisasinya untuk melindungi anggotanya dan memperkuat kualitas pemberitaan terhadap segala bentuk kekerasan. Pandemi benar-benar memberi dampak yang nyata. Tidak hanya dalam konteks represi, tapi juga regenerasi. Beberapa LPM juga menjadi tidak aktif selama pandemi ini. Entah itu tidak aktif menulis, tidak menyelesaikan majalah dan lain sebagainya. Banyak juga kawan-kawan kita yang mengalami dampak penurunan ekonomi.

Memaksa pers mahasiswa untuk langsung atau cepat berubah juga bukan hal yang baik. Semua perlu proses. Kadang, kita perlu memahami bahwa ketidakmampuan kita juga disebabkan oleh kebijakan negara yang tidak pro rakyat, akses pendidikan yang semakin sulit, maupun beban kuliah yang tidak masuk akal besarnya.

Ada hal-hal di luar diri kita yang tidak bisa kita kendalikan. Begitu kata seorang psikolog. Kita perlu saling menguatkan. Saya memberi apresiasi dan hormat setinggi-tingginya kepada seluruh pers mahasiswa yang tetap bertahan dengan cara apapun. Walaupun tahu bahwa kapanpun bisa direpresi, walaupun kecewa dengan kawan yang meninggalkan barisan perlawanan, walaupun mengalami penurunan ekonomi, walaupun sedang mengalami masa-masa sulit, walaupun marah, kesal, sedih selalu berkecamuk di hati dan pikiran. Kalian tetap bertahan dan itu hebat.

Kategori
Diskusi Esai

Persma: Mencari Kembali Identitas di Tengah Perubahan

Beberapa hari belakangan, saya mengikuti satu peristiwa yang melibatkan jurnalis Detikcom. Dia menulis soal kebutuhan seksual dari istri Jrinx, yaitu Naura. Kejadian itu mengundang banyak kritik dari netizen setelah Naura mengunggah tangkapan layar dari isi percakapannya dengan si jurnalis. Reaksi jurnalislah yang mengundang banyak kecaman, seperti:

“Maaf mbak, salah saya dimana ya?”

Dalam satu garis waktu, produk jurnalistik yang muncul di layar saya semakin tidak karuan. Selain judul tulisan dari Detikcom tadi, ada banyak judul-judul sejenis yang muncul ke beranda. Kebetulan, halaman pembuka dari browser saya adalah MSN, yang mengkurasi banyak berita yang sedang banyak dibaca orang. Hasilnya? Tak jauh berbeda.

Tidak bisa saya pungkiri, tulisan-tulisan nyeleneh yang banyak keluar dari media-media, terutama yang berbasis online, adalah hasil dari tingginya tuntutan kepada jurnalis untuk menghasilkan tulisan yang dibaca banyak orang. Semakin bombastis judulnya, semakin banyak diklik orang. Semakin banyak diklik orang, semakin banyak iklan yang ingin tampil di halaman depan. Semakin banyak iklannya, semakin banyak uang yang didapat. Pada akhirnya, media bukan menghamba kepada masyarakat, tapi justru malah menghamba kepada SEO atau peringkat Alexa.

Kejadian demi kejadian serupa akhirnya memantik banyak diskusi liar di media sosial. Diskusi tersebut, kebanyakan mempertanyakan “Bagaimana masa depan media dan jurnalisme”. Sebagai orang yang aktif di pers mahasiswa empat tahun belakangan, rasanya saya juga gatal untuk mengomentari kejadian ini.

Pers mahasiswa tidak bisa dihilangkan begitu saja dari berbagai kejadian belakangan ini, terutama setelah masa banjirnya informasi. Karena, walau bagaimanapun, para wartawan yang hari ini bekerja untuk memberi informasi kepada publik—mungkin—adalah alumni dari pers mahasiswa. Kalau media mainstream saja kelimpungan untuk mencari dana sampai harus mengorbankan kualitasnya, apalagi pers mahasiswa?

Mencoba menghindari kekangan birokrat kampus lewat pendanaan

Sudah lazim dimengerti bagi para insan pers mahasiswa, dana dari kampus adalah sumber keuangan utama yang bisa mereka dapatkan. Dana itu dianggarkan dari kampus setiap tahunnya, dan digunakan untuk kelangsungan berbagai kebutuhan pers mahasiswa selama satu tahun berikutnya. Jumlahnya pun bervariasi, tergantung apakah pers mahasiswa berdiri di tingkat kampus, atau fakultas. Bisa saja tergantung keras-lunaknya pers mahasiswa kepada birokrat.

Tidak asing bagi saya mendengar penurunan dana setiap tahun dari birokrat karena kerasnya pers mahasiswa kepada birokrat, karena saya mengalaminya. Alokasi dana bisa turun 50-70% setiap tahunnya, itu belum termasuk pemangkasan-pemangkasan lain jika pers mahasiswa ingin melakukan kegiatan tertentu. Alasannya selalu klise: pers mahasiswa tidak menghasilkan prestasi (biasanya birokrat membandingkan pers mahasiswa dengan organisasi lain yang bertolak ukur kepada piala), dan malah justru membuka borok kampus.

Dalam menghadapi pendanaan yang seret dari kampus, pers mahasiswa dihadapkan kepada pilihan yang sulit. Apakah harus melunak kepada birokrat dengan cara mengikuti lomba (atau bahkan membuat lomba), meliput ‘keberhasilan’ kampus (dan menjadi humas kampus), atau mencari dana sendiri untuk membiayai berbagai kebutuhan selama satu periode kepengurusan. Tentunya, pilihan-pilihan di atas memiliki kesulitannya masing-masing, dan tidak mudah untuk memilihnya. Di antara berbagai macam pilihan tersebut, -yang saya lihat- mereka cenderung memilih opsi ketiga: mendanai secara mandiri dan tetap pada pendirian mereka sebagai organisasi independen.

Mungkin saja, banyak pers mahasiswa yang memiliki dana yang cukup atau bahkan lebih dalam tiap tahunnya, sehingga paragraf-paragraf di atas tidak relate dengan keadaan mereka. Namun ada satu pertanyaan saya: apakah itu bisa menjamin keberlangsungan pers mahasiswa ke depan?

Kita tidak pernah tahu seperti apa masa depan yang akan dihadapi. Tiga tahun yang lalu, siapa di antara kita yang menyangka, kalau roda-roda organisasi—dan kehidupan pada umumnya—akan direm secara darurat karena sebuah pandemi sialan? Karena dari itu, sudah saatnya bagi pers mahasiswa untuk memiliki badan usaha sendiri, lalu secara perlahan bebas dari ancaman dana dari kampus atau dari kejadian tidak terduga seperti pandemi, sehingga menjadi independen dan mandiri secara kaffah.

Tapi bagaimana caranya? Mungkin caranya berat. Seperti apa langkah menuju ‘independen dan mandiri secara kaffah’?

Perlakukan pers mahasiswa semirip-miripnya dengan perusahaan media bekerja

Banyak yang harus dipertimbangkan oleh pers mahasiswa—terutama yang sudah maju atau sedang berkembang—untuk merubah gaya kerja, dari organisasi menjadi ‘selayaknya’ perusahaan media yang ada. Terlebih, jika kita bicara soal finansial. Saya pikir, dalam proses bekerja sebagai media, pers mahasiswa sudah bisa disamakan dengan media profesional—bahkan lebih bagus hasilnya dari beberapa media yang ada sekarang.

Dalam pengelolaannya selama ini, pers mahasiswa kebanyakan dikelola sebagai sebuah organisasi kemahasiswaan. Dikelolanya pers mahasiswa sebagai sebuah organisasi, menurut saya, dapat mengurangi marwah pers mahasiswa yang digadang-gadang sebagai media alternatif. Ada banyak aspek yang lebih-kurang mempengaruhi pers mahasiswa yang berkaitan dengan alur kaderisasi dan produktivitas.

Aspek yang paling dasar dalam pengelolaan pers mahasiswa adalah terikatnya dengan aturan-aturan kampus tentang organisasi kemahasiswaan. Aturan-aturan tata kelola semacam ini bukan hal yang tidak umum di kampus. Misalnya, dalam tahun kedua, anggota pers mahasiswa akan otomatis menjadi pengurus. Pada tahun ketiga akan menjadi pimpinan, lalu selanjutnya demisioner, dst. Apalagi dalam setiap jabatan mengandung berbagai tanggung jawab yang tidak mudah.

Tanggung jawab itu, yang mungkin saja hanya karena kewajiban untuk mengikuti aturan tata kelola dari kampus, memakan banyak tenaga sehingga anggota pers mahasiswa tidak fokus kepada media—yang menjadi aspek utama di dalam pers mahasiswa. Alur kaderisasi pers mahasiswa—yang paling lama saya tahu adalah satu tahun—juga kebanyakan berhenti di tahun pertama. Di dalam dunia media yang selalu berimprovisasi terhadap perubahan tiap tahunnya, treatment ini sudah seharusnya dipikirkan ulang untuk diubah.

Bukan berarti anggota pers mahasiswa harus menjabat lebih lama. Bukan pula pers mahasiswa butuh waktu kaderisasi yang lebih lama. Tetapi yang menjadi fokus perhatian bagi saya adalah, lama waktu belajar tidak menjamin anggota pers mahasiswa tanggap terhadap perubahan. Improvisasi signifikan atas cepatnya perubahan tidak akan terjadi apabila kita masih menunggu satu periode kepengurusan untuk merubahnya. Maka itu, proses pembelajaran di pers mahasiswa harus dinamis dan tidak terpaku kepada satu waktu saja.

Inkompetensi pers mahasiswa dalam menanggapi berbagai perubahan—terutama dalam produk dan cara mereka bekerja—hanya akan membuat mereka berputar-putar di dalam lingkaran permasalahan yang sama tiap tahunnya. Pada akhirnya, yang menjadi fokus bertahun-tahun untuk pers mahasiswa adalah bukan pada produk dan gaya baru untuk mengelola organisasi, tetapi lebih kepada cara-cara klasik berorganisasi, seperti keaktifan anggota, kekurangan anggota, atau anggota yang tidak mampu menjalankan tanggung jawabnya.

Karena pers mahasiswa bukan organisasi biasa

Setelah disadari bahwa pers mahasiswa tidak memiliki tolak ukur seperti piala atau sertifikat, dan ada banyak hal yang harus dirombak dalam cara pengelolaan pers mahasiswa untuk menghasilkan produk yang lebih baik, sudah saatnya kita mulai banyak berdiskusi tentang bagaimana pers mahasiswa seharusnya dikelola.

Ada satu kata yang agak berat jika diucapkan ini kepada pers mahasiswa, tapi hal itu sangat dibutuhkan. Kata itu adalah profesionalisme. Namun perlu diingat, profesionalisme tidak akan dicapai apabila seseorang tidak ahli di bidangnya, dan seseorang itu tidak akan bisa ahli di bidangnya apabila ia tidak mendapatkan pengalaman belajar yang baik. Sialnya, anggota pers mahasiswa tidak seperti pekerja di perusahaan-perusahaan media yang digaji. Anggota pers mahasiswa adalah seorang relawan/volunteer, dan tidak setiap pers mahasiwa paham akan posisi ini.

pers mahasiwa cenderung untuk meminta anggotanya untuk loyal dan all-out, tapi alfa dalam memikirkan apa yang bisa mereka berikan kepada anggota yang sudah dengan rela menyisihkan waktu dan tenaganya. Di sinilah letak perbedaan besar pers mahasiswa dengan organisasi biasa, bahkan dengan perusahaan media sekalipun. Pers mahasiswa harus merancang sendiri pencapaian dan pengalaman belajar yang harus dicapai para anggotanya. Selain harus memikirkan produk-produk yang akan mereka keluarkan—dan inovasi yang harus mereka lakukan, pers mahasiswa harus bisa menjadi fasilitator belajar yang baik bagi anggota-anggotanya.

Setidaknya ada tiga hal yang harus pers mahasiswa lakukan untuk menyelesaikan sekian masalah di atas. Pertama adalah rencana strategis (renstra), kedua adalah kurikulum, dan yang terakhir adalah silabus. Ketiga hal ini adalah hal dasar yang perlu pers mahasiswa susun untuk bersiap menjadi independen dan mandiri secara kaffah, hingga mencapai profesionalisme untuk setiap tugas anggota-anggotanya.

Rencana strategis adalah sebuah visi, grand design, tentang arah gerak pers mahasiswa dalam rentang waktu tertentu. Renstra inilah yang akan menjadi rujukan untuk setiap program kerja tahunan yang akan disusun. Dalam renstra pula pers mahasiswa menentukan, mereka akan menjadi pers mahasiswa yang seperti apa. Sedangkan kurikulum adalah penentuan proses belajar dalam pengkaderan anggota baru untuk mencapai tujuan tertentu—biasanya dalam mendapatkan kartu pers, dan silabus adalah kumpulan materi yang harus dipelajari anggota selama masa pengkaderan anggota baru.

Setidaknya, dalam menghadapi perubahan-perubahan besar yang begitu cepat, pers mahasiswa sudah memiliki modal sederhana namun berarti, yaitu tujuan dan pondasi keorganisasian yang kokoh. Dengan begitu, kondisi sesulit apapun akan berhasil dihadapi pers mahasiswa. Karena semua hal yang terlihat mustahil bukan tidak bisa dilakukan, tetapi hanya sulit. Tinggal bagaimana kita membedah apa yang menjadi kesulitan untuk menghasilkan inovasi dan gaya-gaya baru untuk mengatakan impossible is possible.

Kategori
Diskusi Esai

Pendidikan, Universitas Nasional dan Represi Membabi Buta

Pandemi Covid-19 menjadi cerita muram bagi masyarakat, situasi menjadi semakin kalut, karena mengakibatkan krisis di banyak sektor. Para buruh banyak mengalami nasib buruk, banyak di antara mereka mengalami pemutusan hubungan kerja dan dirumahkan. Dilansir dari Tempo.com, pemerintah menyebutkan bahwa angka pemutusan hubungan kerja dampak dari Covid-19 telah mencapai 3,05 juta. Di sini dapat kita ketahui, nasib buruh sedang dipertaruhkan dan keberlangsungan hidup mereka terancam.

Instruksi pemerintah agar para mahasiswa belajar dari rumah selama masa pandemi pun menunjukkan dampak negatif. Banyak mahasiswa yang stres karena tidak nyaman dengan sistem belajar daring. Sejak pandemi berlangsung sampai sekarang, pemerintah terlihat tidak peduli dengan dunia pendidikan. Mahasiswa diperintah untuk belajar dari rumah, tapi pemerintah tidak peka dengan biaya kuota yang dikeluarkan oleh mahasiswa, sedangkan tidak semua mahasiswa memiliki kemudahan akses internet. Lebih-lebih mahasiswa juga tetap dituntut untuk membayar biaya kuliah.

Dari sini sangat terlihat pemerintah dan kampus tidak mau tahu akan situasi dan kondisi mahasiswa di tengah pandemi. Situasi pandemi ini juga berdampak pada kehidupan mahasiswa maupun keluarganya. Terlebih sebagian besar mahasiswa berasal dari kalangan menengah ke bawah, berasal dari kalangan buruh, yang saat ini nasibnya tidak tentu. Boro-boro untuk membayar biaya pendidikan, biaya makan sehari-hari saja susah. Padahal perihal pangan adalah kebutuhan dasar manusia yang harus dipenuhi untuk bisa bertahan hidup.

Di tengah krisis akibat pandemi, hingga saat ini masih belum ada suatu kebijakan yang memihak kepada  para pelajar atau mahasiswa. Saya merasa pada tahun ini banyak mahasiswa yang putus kuliah, karena tidak mampu membayar biaya kuliah. Selain itu siswa sekolah menengah atas pun tak banyak yang bisa melanjutkan ke jenjang perguruan tinggi. mengapa demikian?

Pengelolaan Pendidikan yang Ruwet

Masih banyak terdapat tindakan diskriminatif terhadap para pelajar atau mahasiswa yang bisa dibilang berasal dari kelas sosial rendah atau kurang mampu. Padahal sudah jelas tertuang dalam pasal 31 UUD 1945: “(1) Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan, (2) Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya”. Maka, berdasarkan pasal 31 ini, negara memiliki dua kewajiban terhadap dunia pendidikan, yaitu: menyelenggarakan pendidikan bagi setiap warga negara, dan membiayai pendidikan bagi peserta didik. Selain itu dalam salah satu butir pasal 4 Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, bahwa penyelenggaraan pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan, serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia, nilai keagamaan, nilai kultural dan kemajemukan bangsa. Lalu bagaimana jika butir ini belum terpenuhi? Sudah jelas akan pincang.

Masalah pendidikan yang terus menghantui negara dan masih belum bisa teratasi secara maksimal, ditambah dengan kondisi sosial yang carut marut akibat pandemi Covid-19. Penerapan sistem pendidikan yang masih jauh di luar ekspektasi, terlebih oleh masyarakat kelas bawah, seakan masih menjadi hantu yang menakutkan. Bagaimana tidak, hanya masyarakat kelas menengah ke atas sajalah yang masih tergolong mudah memperoleh akses pendidikan. Problem utamanya adalah biaya. Ya, biaya pendidikan di negara ini masih tergolong sangat tinggi, sulit dijangkau.

Hal tersebutlah yang menyebabkan tidak semua orang dapat menikmati bangku perkuliahan apalagi di situasi pandemi seperti ini. Diperjelas lagi dalam Pasal 5 Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 yang bila disimpulkan bunyinya adalah: “setiap warga negara berhak memperoleh pendidikan yang bermutu, memperoleh pendidikan layanan khusus, dan meningkatkan pendidikan sepanjang hayat.” Apakah teks undang-undang tersebut benar-benar diterapkan? Tentulah tidak.

Dunia pendidikan seakan menjadi ajang untuk komersialisasi atau meraup keuntungan sebesar-besarnya. Institusi pendidikan yang dilepaskan negara berubah menjadi perusahaan jasa pendidikan. Meskipun kita selama ini berdalih jika komersialisasi pendidikan harus dihapuskan, tetapi hal itu belumlah terlaksana.

Hal itulah di antara sebab mahasiswa menjadi lebih kritis dan lebih berkesadaran progresif di tengah pandemi seperti ini. Karena mereka merasakan hidup di situasi krisis tetapi tetap dituntut untuk membayar biaya kuliah. Hampir merata mahasiswa dari berbagai daerah di Indonesia menuntut adanya biaya kuliah gratis, penurunan biaya kuliah dan menolak adanya privatisasi pendidikan. Mereka melakukan aksi langsung, membentangkan poster, dan meramaikan banyak tuntutan di media sosial. Mereka memasang tagar #gratiskanukt #sudahkrisiswaktunyauktgratis #nadimkemanamahasiswamerana #janganbayarukt #turunkanukt dan masih banyak lagi. Munculnya tersebut menunjukkan hari ini dunia pendidikan sedang tidak baik-baik saja, terlebih pada kehidupan mahasiswa.

Menanggapi banyaknya tuntutan mahasiswa di berbagai perguruan tinggi dan ramainya tuntutan di sosial media, pemerintah melalui Kemendikbud dalam surat yang dikeluarkan pada 3 Juni 2020, menyatakan tidak ada kenaikan UKT di masa pandemi. Para rektor perguruan tinggi negeri juga menyepakati ada penundaan pembayaran dan pembayaran bisa dicicil. Selanjutnya pemerintah memfasilitasi Kartu Indonesia Pintar dengan jumlah yang tidak seimbang dengan jumlah mahasiswa yang ada di Indonesia. Ditambah prosedur kepengurusannya yang ruwet, banyak syarat dan ketentuan, informasinya pun terbatas. Hal ini menjelaskan pemerintahan tidak bisa menjawab keresahan mahasiswa, terlebih di situasi seperti ini, perekonomian tidak bisa serta merta dipulihkan seperti sebelum terjadi pandemi.

Universitas Nasional dan Represi Membabi Buta

Diantara masifnya gerakan mahasiswa untuk minta keringanan biaya uang kuliah, hati saya condong dengan gerakan mahasiswa yang tergabung dalam gerakan Aliansi Mahasiswa UNAS Gawat Darurat (UGD) di Universitas Nasional, Jakarta. Gerakan ini bertahan dan tumbuh semakin masif, terlebih mereka menerima banyak represi dari birokrasi, mulai dari baku hantam, penabrakan dengan mobil, ditangkap dan dilaporkan ke Polsek Pasar Minggu, hingga diancam dilaporkan UU ITE.

Gerakan ini memiliki beberapa tuntutan:

  1. Menuntut pihak birokrasi memberi keringanan mahasiswa dengan potongan 50 sampai 65 persen, karena kampus hanya memberi keringanan biaya 100 ribu dan 150 ribu dengan syarat dan ketentuan berlaku;
  2. Menuntut kampus untuk tidak hanya memberikan kuota gratis sebesar 30 GB untuk mahasiswa pengguna Telkomsel dan Indosat saja untuk membuka Web resmi UNAS, sebab tidak semua mahasiswa UNAS menggunakan Telkomsel dan Indosat, sedangkan para dosen dalam pemberian materi perkuliahan menggunakan aplikasi diluar web resmi UNAS;
  3. Mereka menuntut agar para dosen dan pekerja kampus mendapatkan upah layak di masa pandemi;
  4. Menuntut rektor untuk audiensi terbuka;
  5. Menuntut adanya transparansi dan terbukanya statuta kampus agar bisa dikritisi bersama;
  6. Menuntut diberhentikanya kriminalisasi dan intimidasi terhadap mahasiswa.

Gerakan UGD telah menggelar berbagai diskusi online, mengumpulkan berbagai data dari penelitian yang dilakukan terkait pendapatan UNAS dari pembayaran mahasiswa per-semester, pembayaran upah dosen, hingga pemotongan biaya yang tidak layak bahkan dirasa menghina para mahasiswa.

Melalui hasil investigasi yang dilakukan oleh Aliansi Mahasiswa UGD, terdapat 12.367 mahasiswa aktif di tingkatan D3–S1 di UNAS. UGD juga telah mengaudit pendapatan UNAS dari pembayaran biaya pendidikan mahasiswa sebanyak 6.672 (54%) yang dihitung dengan detail per-angkatan dari setiap fakultas/jurusan. Rp 49.401.600.000 adalah hasil keuntungan UNAS dari mahasiswa yang didapat secara terbatas oleh kawan-kawan UGD. 5.695 (46%) data mahasiswa UNAS yang belum mampu ter-update secara detail per angkatannya untuk mengetahui hasil pendapatannya. Fakultas/jurusan per-angkatan yang belum mampu terakses yaitu Fakultas Teknik, Fakultas Ekonomi, Fakultas Ilmu Kesehatan, Fakultas Bahasa, Abanas dan FTKI merupakan daftaran yang belum mampu diakses kawan-kawan karena terbatasnya akses data yang dihambat UNAS. 

UNAS hanya mengeluarkan Rp. 1.114.200.000/semester untuk mengupah pekerjanya yang terdiri dari 94 office boy, security dan cleaning service. Upah pekerja hanya dikisar pada 2,4%  dari pendapatan yang diaudit secara terbatas. Namun sekali lagi, hasil investigasi yang didapat untuk data pekerja tidak mendapatkan akses untuk data office boy di kampus utama. Pekerja parkir di UNAS sebanyak 6 orang pekerja dirumahkan tanpa diupah. Data yang belum mampu menyeluruh didapatkan sebagai kebutuhan audit keseluruhan. Tentunya dihambat oleh UNAS melalui karakter-karakter yang anti demokratis. Upaya audit yang dilakukan memiliki tujuan untuk membuka transparansi keuangan UNAS di masa pandemi. UNAS hanya menerapkan potongan Rp 100.000 dengan jumlah pengeluaran Rp 1.236.700.000 yang didapat dari total mahasiswa 12.367. Ternyata pengeluaran UNAS untuk potongan Rp 100.000 hanya 2,5% dari audit pendapatan mahasiswa UNAS sebanyak 7.248.

Merespon hasil audit tersebut, Aliansi Mahasiswa UGD menggelar aksi damai di depan kampus pada Rabu (10/6), dengan mematuhi protokol kesehatan, menjaga jarak dan menggunakan masker, kemudian aksi tersebut dibubarkan dengan tindakan intimidasi yang dilakukan oleh kurang lebih 32 aparat keamanan yang dikerahkan oleh kampus. Satu orang Babinsa dan beberapa orang lainnya tidak berseragam juga turut serta. Mereka memukul muka beberapa massa aksi, melakukan tendangan ke perut dan kepala, pendorongan hingga jatuh, pengeroyokan, perampasan dokumentasi serta penangkapan salah satu anggota pers mahasiswa yang bernama Togi dari Universitas Bunda Mulia (UBM). Kemudian Togi dibawa ke Polsek Pasar Minggu atas laporan UNAS, yang pada akhirnya dia dibebaskan. Pada hari itu juga terdapat pemanggilan terhadap 29 mahasiswa oleh Komisi Disiplin UNAS, atas ujaran di sosial media tentang menyampaikan aspirasi di masa pandemi, dengan tagar #unasgawatdarurat. Mahasiswa yang menghadap diminta melakukan pengakuan dalam surat pernyataan bersalah. Berdasarkan dengan keterangan mahasiswa yang menandatangi pernyataan bersalah dari kampus, mereka diancam jeratan pidana UU ITE.

Kamis (11/6), Aliansi Mahasiswa UGD kembali melakukan aksi solidaritas untuk mengawal 27 kawan yang dipanggil oleh komisi disiplin UNAS dan menagih janji audiensi terbuka UNAS. Pada hari itu, birokrasi UNAS menyewa preman dan melakukan penabrakan terhadap massa aksi dengan mobil saat pulang.

Aliansi Mahasiswa UGD tetap menagih janji untuk audiensi terbuka dengan pihak birokrasi kampus padaJumat (12/6). Alih-alih akan menemui massa aksi, semua massa aksi malah akan diancam dengan UU ITE.

Sabtu (13/6), LPM Progres meliput aksi-aksi UGD dan memuat dua berita di laman online LPM Progres, dengan judul “Tuntutan Belum Dipenuhi Aliansi Mahasiswa Unas Gawat Darurat kembali Aksi” dan “Aksi Penyampaian Aspirasi di Unas Berujung Tindakan Represif dan Intimidasi”. Pihak LPM Progres lalu mendapat telepon dari Humas UNAS untuk menurunkan berita, LPM Progres dianggap tidak mempunyai kewenangan untuk meliput kejadian di UNAS, karena LPM Progres dianggap dari UNINDRA, Universitas yang berbeda. Padahal kedudukan pers mahasiswa seperti halnya pers lainnya, yang bisa meliput semua kejadian, baik yang ada di kampus maupun di luar kampus, sebagai bentuk kepedulian sosial.

Dalam waktu sehari, LPM Progres diminta untuk menurunkan berita. Jika tidak, LPM Progres diancam jerat pidana UU ITE Pasal 28 ayat 2 yang berbunyi: “Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan  antar golongan.”

Ancaman pidana dari Pasal 28 ayat (2) UU ITE tersebut diatur dalam Pasal 45A ayat (2) UU 19/2016, yakni: “Setiap Orang yang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 1 miliar.”

Selanjutnya, Senin (15/6), berdasarkan laporan dari Instagram @unasgawatdarurat, UNAS memasukkan sekitar 50 polisi ke dalam kampus, padahal kita ketahui dari beberapa keterangan di atas, yang melakukan represi dan membuat keadaan ricuh adalah pihak UNAS,  gerakan Aliansi Mahasiswa UNAS Gawat Darurat hanya menyampaikan keresahan hatinya.

Saya merasa, pihak birokrasi Universitas Nasional ketakutan dan panik akan adanya tuntutan Aliansi Mahasiswa UGD dan adanya beberapa pemberitaan beredar yang diliput oleh kawan-kawan LPM Progres. Sehingga pihak birokrasi UNAS melakukan represi yang membabi buta, sangat ngawur dan tidak patut untuk dibenarkan. Mereka sudah mencederai hak asasi manusia. Padahal semua manusia berhak menyampaikan pendapat dan mendapat keamanan dalam menyampaikan. Oleh karena itu di situasi seperti ini terlampau rumit untuk dihadapi dan diselesaikan oleh segelintir orang. Kita perlu kerjasama, kerjarasa, berdiskusi, berdebat, berdialektika, musyawarah, melakukan aksi dan menjadikan ini sebagai keresahan bersama. Untuk itu mari bersolidaritas dan saling menguatkan.

Salam Pers Mahasiswa.