Kategori
Siaran Pers

Pernyataan Sikap dan Seruan Solidaritas PPMI: Limbah PT RUM Sebabkan Tercemarnya Lingkungan hingga Kriminalisasi Aktivis

Penangkapan Muhammad Hisbun Payu atau yang akrab disapa Is oleh rekan-rekan aktivis dan pers mahasiswa pada 4 Maret 2018 lalu, kembali menjadi catatan hitam untuk rezim ini. Dalam kronologi penangkapan dan pernyataan yang dirilis oleh Pusat Perjuangan Mahasiswa untuk Pembebasan Nasional (PEMBEBASAN), Is disergap oleh sepuluh polisi berpakaian sipil yang mengaku dari Kepolisian daerah Jawa Tengah (Polda Jateng) di depan pintu masuk Alfamidi, Lenteng Agung, Jakarta Selatan. Is diseret paksa dimasukkan ke dalam mobil dan dibawa menuju arah Depok. Sedangkan seorang rekannya, Syahrul Yaqub, yang ingin menghadang langsung dihalau polisi berpakaian sipil dan tidak ikut dibawa. Sebelum menuju Polda Jateng, polisi membawa Is ke kosan untuk mengambil barang-barangnya.

Selain Is, Sutarno Ari Suwarno dan Kelvin Ferdiansyah Subekti, warga Sukoharjo juga menjadi korban. Pada senin malam (5/3/2018), Sutarno didatangi 5 orang polisi dari Polres Sukoharjo ke rumahnya di Dukuh Bugangin, Desa Lemah Abang, Kecamatan Jumapolo, Karanganyar. Sutarno pun akhirnya dibawa ke mobil polisi dengan kondisi tangan terborgol dan ditutup matanya setelah Sutarno sempat berpamitan pada orang tuanya yang sakit-sakitan. Nasib sama juga dialami Kelvin. Ia dijemput saat sedang tidur di rumahnya, Desa Plesan, Kecamatan Nguter, Sukoharjo dan dibawa menuju Polda Jateng.

 

Mereka Melawan dan Berjuanng

Warga Sukoharjo yang marah dan kecewa lalu melakukan berbagai aksi karena Wardoyo Wijaya, sebagai Bupati Sukoharjo ingkar janji. Bermula pasca aksi di depan kantor Bupati, 22 Februari 2018, warga dijanjikan bahwa Bupati akan mengeluarkan SK pemberhentian operasi PT Rayon Utama Makmur (RUM) pada 23 Februari. Warga pun memutuskan untuk bergerak ke PT RUM dan menginap untuk menunggu SK dikeluarkan.

SK yang dijanjikan belum dikeluarkan, namun Bupati Sukoharjo justru berangkat ke Bali untuk acara Rapat Kerja Nasional PDI Perjuangan. Karena hal tersebut lalu warga marah dan melakukan aksi blokade pabrik, bakar ban dan pos satpam pada 23 Februari 2018. Hingga sekitar pukul 17.25 WIB, datanglah pihak Masyarakat Peduli Lingkungan (MPL), Sekretariat Daerah, dan Kesbangpol. Mereka membacakan SK Nomor: 660.1/207 Tahun 2018 tentang “Pemberian Sanksi Administratif dalam Rangka Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup Berupa Paksaan Pemerintah dalam Bentuk Penghentian Sementara Produksi kepada Penanggung Jawab Perusahaan Industri Serat Rayon PT. Rayon Utama Makmur (RUM) di Kabupaten Sukoharjo”.

Rakyat sudah lelah dibohongi. Rakyat sudah lelah disakiti. Pembakaran ban dan pos satpam tetaplah tak sebanding dengan apa yang telah dilakukan PT RUM dengan membuang limbah cair dan gasnya ke lingkungan sehingga menimbulkan pencemaran. Dalam rilis pernyataan sikap Masyarakat Peduli Lingkungan (MPL) dan Sukoharjo Melawan Racun (SAMAR), selama kurang lebih empat bulan, masyarakat Sukoharjo diresahkan oleh bau busuk limbah yang bersumber dari PT RUM. Tidak hanya bau busuk saja yang mengganggu keseharian warga, beberapa warga–terutama anak-anak—ternyata mengalami infeksi saluran pernapasan akut (ISPA). Hal ini dibuktikan dari hasil pemeriksaan dokter RS PKU Muhammadiyah Sukoharjo. Berdasarkan hasil pemeriksaan tersebut, 32 warga terkena ISPA berat, serta 152 warga di Kedungwinong merasakan pusing dan mual. Selain warga Kedungwinong, bau busuk limbah PT RUM ini juga ikut meresahkan warga dari desa Plesan, Gupit, Celep, dan Pengkol.

Bahkan berdasarkan penuturan Sutarno ya dimuat tirto.id, seorang bayi 10 bulan di Dukuh Jayan, Desa Celep, Nguter, bernama Arbani Shakeel Alfatih meninggal akibat pencemaran udara limbah PT RUM. Pada 18 Februari lalu, Tim Independen dari Pimpinan Daerah Muhammadiyah Sukoharjo pun melakukan pengecekan kesehatan terhadap limbah di desa Gedonginong dengan analisis sembilan sampel limbah cair PT RUM dari 31 Januari hingga 5 Februri 2018 di Laboratorium Teknik Kimia UMS. Hasilnya, disimpulkan bahwa limbah PT RUM  berada di atas ambang baku dan dapat menyebabkan gangguan kesehatan. Dua dari tiga parameter limbah cair PT RUM tidak memenuhi ambang baku mutu yakni Total Disolved Solid (TDS) dan Chemical Oxygen Demand (COD). Satu parameter lainnya yang sudah sesuai ambang baku mutu yakni, PH limbah cair. Tim Independen Muhammadiyah Sukoharjo pun telah  menyampaikan hasil penelitian itu ke DPRD Sukoharjo pada 19 Februari lalu. Namun setelah itu, hampir tidak ada tindakan konkret dari Pemkab Sukoharjo untuk menghentikan operasional tersebut. Ini soal NYAWA, bukan hanya pos satpam atau ban bekas yang dibakar massa.

 

Tuduhan yang Dipaksakan

Baik Kelvin, Sutarno dan Is, hingga rilis ini disiarkan, masih ditetapkan sebagai tersangka dan ditahan di Mapolda Jateng. Dalam surat kuasa yang diberikan kepada Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Semarang, tertulis “Barang siapa dengan sengaja membakar, menjadikan letusan atau mengakibatkan kebanjiran yang mendatangkan bahaya umum bagi barang atau timbul bahaya bagi nyawa orang lain dan atau barang siapa yang dimuka umum bersama-sama melakukan kekerasan terhadap orang atau barang sebagaimana dimaksud dalam pasal 187 (1) dan (2) dan atau pasal 170 (1) KUH Pidana”. Ketiganya terancam hukuman pidana maksimal 15 tahun .

Benarkah ketiganya patut dipersalahkan? Is yang menjadi korban pertama kriminalisasi atas aksi yang dilakukan warga Sukoharjo sesungguhnya baru tiba di lokasi dan pembakaran ban bekas sudah terjadi walau ia sempat ikut menggoyang-goyangkan pagar setelah tiba disana. Sedangkan Sutarno yang juga penasihat Forum Masyarakat Peduli Lingkungan Sukoharjo menyampaikan jika kondisi massa saat itu memang sudah tak terkendali. Dirinya kemudian  dipanggil sebagai perwakilan warga untuk membahas SK yang akan dibuat.

Justru aparat lah yang melakukan aksi represif terhadap masyarakat yang melakukan aksi untuk menuntut haknya. Aksi represif aparat dimulai dengan melakukan penculikan terhadap dua orang warga yang terpisah dari barisan. Berdasarkan kronologi aksi yang dirilis PEMBEBASAN, dua warga yang diambil paksa itu bernama Totok dan Subakti. Totok merupakan siswa kelas 2 SMP, sedangkan Subakti merupakan berusia sekitar 20 tahun. Tak hanya ditarik secara paksa, keduanya juga mengalami penyiksaan. Totok bahkan mengaku dicekik dan ditampar oleh polisi sambil diseret menjauh dari barisan massa, masuk ke tempat yang sulit diketahui oleh massa lainnya. Totok dan Subangkit menyatakan bahwa mereka bersama satu orang lain yang tidak diketahui identitasya disekap oleh tentara sambil diikat. Tindakan pemukulan dan penyekapan oleh polisi dan tentara itu pun berhasil direkam warga.

Hukum memang harus ditegakkan. Namun nyatanya masih saja tumpul ke atas dan tajam ke bawah. Ini terlihat dari betapa sigapnya aparat menangkap warga, sementara laporan atas tindak pidana pencemaran lingkungan yang dilakukan PT RUM tampak tak ditindaklanjuti. Aparat terlihat abai. Padahal berbagai bukti pelanggaran atas pencemaran yang dilakukan telah mengemuka, termasuk turunnya SK Bupati Sukoharjo No. 660.1/207 Tahun 2018 yang diterbitkan pasca kekacauan dengan sebagai sanksi administratif dan pemberhentian sementara proses produksi PT RUM.

 

Bukan Hanya Is

Kabar penangkapan Is dan dua warga Sukoharjo, kami pandang sebagai praktik kriminalisasi yang dipertontonkan untuk kesekian kalinya oleh para korporat yang perusahaannya ditengarai melakukan pengrusakan lingkungan dan merugikan masyarakat. Mereka (perusahaan) berada diposisi terpojok atas aksi yang dilakukan oleh masyarakat dan seakan melakukan segala cara untuk meredam protes. Berdasarkan catatan kami dan mengacu dari beberapa analisis yang dilakukan LBH Semarang, kami melihat upaya kriminalisasi aktivisd dan masyarakat pejuang lingkungan kembali terjadi.

Pertama, menyoal tertundanya pemberian Salinan Berita Acara Pemeriksaan (BAP) dan turunnya Surat Perintah Dimulainya Penyidikan (SPDP) serat BAP Penangkapan, baik kepada Is, Kelvin dan Sutarno maupun kepada LBH Semarang selaku kuasa hukum.

Selain itu, anggapan Kapolda Jawa Tengah yang menyatakan bahwa ketiganya adalah provokator atau otak dibalik kekacauan aksi di PT RUM juga perlu adanya bukti yang jelas. Is yang baru tiba di lokasi saat kekacauan telah terjadi walau sempat ikut dalam aksi dan Sutarno yang berposisi sebagai penasihat dan ikut dalam pembicaraan mengenai SK Bupati dengan Muspida Sukoharjo tak menunjukkan bahwa mereka adalah provokator. Massa jadi tak terkendali saat itupun diakibatkan kemarahan warga atas Bupati yang ingkar janji dan sikap represif aparat kepada massa aksi. Pencemaran lingkungan yang jelas merugikan warga hingga sikap abai aparat penegak hukum dan Bupati yang ingkar janji atas tindak pencemaran lingkungan yang dilakukan PT RUM lah yang sebenarnya menjadi penyebab kekacauan yang terjadi. Dan ternyata malah menjadikan warga serta aktivis lingkungan sebagai tersangka.

Pencemaran lingkungan dan upaya kriminalisasi yang dialami Is, Kelvin dan Sutarno kembali menambah panjang catatan hitam dalam konteks pelanggaran Hak Atas Tanah di Indonesia. Kontras mencatat, kasus pencemaran lingkungan menjadi yang paling banyak terjadi sepanjang tahun 2017 dengan 95 kasus. Disusul okupasi lahan sebanyak 71 kasus, Intimidasi 38 kasus, pengrusakan 32 kasus, kriminalisasi 31 kasus, bisnis keamanan dan penganiayaan 20 kasus, penangkapan sewenang-wenang 14 kasus serta beberapa kasus lainnya.

Menyoal kriminalisasi, secara garis besar motifnya adalah untuk merugikan korban secara tidak sah atau tidak patut. Apa yang terjadi selama ini terhadap para pejuang lingkungan seperti warga Sukoharjo, Kendeng dan Tumpang Pitu menunjukkan jika kriminalisasi juga ditujukan untuk menghalang-halangi aktivitas korban, teror, hingga motif ekonomi politik kepentingan korporasi dan pemerintah.

Oleh karena itu, Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia menyatakan mengecam segala bentuk kriminalisasi terhadap aktivis lingkungan dan upaya pelanggaran Hak Atas Tanah dan menuntut agar Muhammad Hisbun Payu, Sutarno Ari Suwarno dan Kelvin Ferdiansyah Subekti DIBEBASKAN dari segala tuntutan hukum. Kami mengajak seluruh rekan pers mahasiswa se-indonesia untuk bekerja sama dengan seluruh elemen masyarakat dan organisasi sevisi yang peduli terhadap isu lingkungan dan hak asasi manusia untuk mengawal dan menyuarakan upaya kriminalisasi yang terjadi dalam proses perjuangan masyarakat.

Mari suarakan dan lawan!

Salam Pers Mahasiswa!

 

Narahubung:

Imam Abu Hanifah (BP Advokasi PPMI: 085604903135)

Irwan Sakkir (Sekjend PPMI: 081248771779)

 

*data diperoleh dari PPMI DK Semarang, PEMBEBASAN, LBH Semarang, WALHI Jateng ,tirto.id  dan KontraS

Kategori
Siaran Pers

PPMI DK Yogyakarta: Polisi Adalah Provokator

Sejak tahun 2012, warga di enam desa Kecamatan Temon, Kulon Progo yang kini tergabung dalam Paguyuban Warga Penolak Penggusuran Kulon Progo (PWPP-KP) terus menolak pembangunan bandara New Yogyakarta International Airport (NYIA). Penolakan terhadap perampasan ruang hidup ini kemudian memancing sikap dan gerakan solidaritas dari mahasiswa dan masyarakat umum.

Senin, 4 Desember 2017, ada kurang lebih 250 anggota jaringan solidaritas telah berkumpul di Masjid Al Hidayah, Desa Palihan Temon, bersama-sama PWPP-KP melakukan doa bersama dan demonstrasi penolakan secara damai. Tercatat, selain jurnalis media besar, ada pula beberapa jurnalis pers mahasiswa yang mendokumentasikannya.

Keesokan hari, pengepungan dan penyergapan dilakukan pihak kepolisian terhadap warga dan jaringan solidaritas. Jurnalis-jurnalis pers mahasiswa dari berbagai universitas yang meliput kejadian pun mendapat perlakuan biadab dari kepolisian.

Selasa, 5 Desember 2017, A.S. Rimbawana dan Imam Ghozali dari Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Ekspresi Universitas Negeri Yogyakarta dan Fahri Hilmi dari LPM Rhetor Fakultas Dakwah dan Komunikasi Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta menjadi korban penganiayaan dan penangkapan oleh polisi.

Pagi sekitar pukul 09.00 WIB, Rimbawana sampai di depan Masjid Al Hidayah, tempat yang dijadikan posko jaringan solidaritas. Melihat polisi dan aparat keamanan lainnya mengerubungi rumah Fajar Ahmadi dan Hermanto, Rimba langsung mengeluarkan gawainya untuk merekam. Bersama Imam Ghazali dan Sulthoni Ad-dzulqornain (anggota magang LPM Ekspresi), mereka hendak meliput penolakan warga PWPP-KP. Ada pula Fahri dari LPM Rhetor yang meliput kejadian pada hari tersebut.

Sekitar pukul 10.20 WIB, Rimbawana masih mendokumentasikan pengepungan dan penyergapan yang dilakukan oleh polisi hingga ke belakang rumah Fajar. Di tempat itu, ia melihat Sulthoni terpojok. Ditengah kejadian dorong-dorongan, Rimba berupaya membantu Sulthoni untuk keluar dari kerumunan, tapi ia malah ditendang jatuh oleh salah satu polisi.

“Aku jurnalis woi!” teriak Rimba ketika puluhan polisi menendang tubuhnya. “Rambut saya dijambak hingga rontok. Dada dan perut saya diinjak-injak, punggung saya juga tergores batu-batu bekas rumah yang digusur,” tambah pria yang kerap dipanggil Rimba.

Imam mendokumentasikan kekerasan yang dialami Rimba. Ia juga memanggil Sulthoni untuk menyingkir dari lokasi kejadian. Di depan kandang sapi itu pula, tempat Rimba mengalami kekerasan, Imam melihat dua puluh lima polisi melakukan pengeroyokan pada lima anggota jaringan solidaritas.

Sepanjang 30 meter jauhnya Rimba diseret, dijambak, dan kedua tangan dan kakinya dibawa layaknya binatang oleh polisi berbaju sipil. Dalam kondisi itu, Rimba sesekali mengumpat dan berkata bahwa dirinya adalah jurnalis pers mahasiswa, tapi tak ada respon sama sekali dari polisi. “Saya digotong [dari kandang sapi-Red] sampai belakang Masjid Al Hidayah, lalu diseret lagi sampai Jalan Daendels,” kata Rimba ketika dihubungi pada Rabu, 6 Desember 2017.

Tak mudah bagi Imam untuk merekam aksi yang tidak manusiawi itu. Ia selalu dihalang-halangi oleh polisi berbaju sipil. Kamera Imam sempat dipukul oleh polisi berbaju sipil tersebut. Ada pula upaya perebutan kamera dari tangan Imam. Dalam perebutan itu, Imam menyatakan bahwa ia adalah jurnalis, tapi polisi tetap melakukan intimidasi, persis seperti yang dialami oleh Rimba dan Fahri. Beruntung, kamera masih bisa diselamatkan.

Fahri juga merekam kekerasan yang diterima oleh Rimba dengan gawai yang dipinjamnya dari salah seorang kawan jaringan solidaritas. Ia merekam dari jarak dekat. “Aku rekam Rimba dijambak, meronta-ronta berkata bahwa ia adalah jurnalis persma.”

Setelah Rimba digelandang ke kantor PT. Pembangunan Perumahan, Fahri kemudian merekam ekskavator yang sedang mengeruk tanah di depan Masjid Al Hidayah. Di sana juga terlihat Dedi Suryadarma, Wakil Kepala Polisi Resort Kulon Progo. “Aku rekam wajahnya. Aku berniat membingkai begini, ketika jaringan solidaritas dan warga penolak bandara dipukuli, kenapa Wakapolres Dedi hanya diam,” jelas Fahri pada Jumat, 8 Desember 2017.

Kemudian Dedi menunjuk Fahri dan bertanya, “Kamu siapa?”, Fahri menunjukkan kartu pers mahasiswanya, “pers mana?”, “Pers mahasiswa.”, “apa nama medianya?” tanya Dedi lagi. “Ya media mahasiswa, pak,” jawab Fahri. “Kampus mana?”, “Kampus UIN.”,”tanda pengenalnya [Kartu Tanda Mahasiswa-Red] mana?” bentak Dedi, “Ya ini,” jawab Fahri sambil menunjuk kartu persnya lagi. Kegiatan Fahri di Kulon Progo adalah membuat berita, sebab itu Fahri sengaja tak menunjukkan identitas lain selain kartu persnya.

Kepala Polisi Sektor Temon, Setyo Hery Purnomo yang juga berada di lokasi menyeru pada anggotanya, “Amankan Mahasiswa yang tidak beridentitas! Bubarkan, [menjadi-Red] relawan adalah tindakan ilegal karena tak berizin.” Imam yang berada di depan Hery juga menerima perlakuan seperti Fahri. “Mana identitasmu?” tanya Hery, “Saya wartawan, pak,” jawab Imam sambil menunjukkan kartu pers. “Wartawan mana?”, “Wartawan kampus“. “Angkut!” Perintah Hery. Imam digelandang ke PT. Pembangunan Perumahan mengikuti Rimba.

Dedi kemudian menyuruh polisi berbaju sipil membawa jurnalis pers mahasiswa LPM Rhetor itu ke kantor PT. Pembangunan Perumahan. Melihat Fahri membawa gawai, beberapa Polwan berusaha merebut dari tangannya. Dan pada akhirnya, dokumentasi Fahri itu dihapus oleh polisi yang merebut gawai tersebut secara paksa.

Di dalam kantor PT. Pembangunan Perusahaan, Rimba, Imam, Fahri beserta kesembilan anggota jaringan solidaritas lainnya yang ditangkap mendapat perlakuan kurang menyenangkan. Mereka dibentak-bentak, dan juga dirundung. “Saya sudah jelasin pers, pers mahasiswa, tak tahu apa polisi memang tak tahu atau pura-pura tak tahu. Kata salah satu dari mereka, mahasiswa tak bisa jadi pers,” ungkap Fahri.

Setelah ditangkap, Fahri menceritakan bahwa kartu pers kampusnya disita oleh salah satu aparat kepolisian. Ia dianggap bukan jurnalis pers mahasiswa, tapi provokator.

Label yang salah kaprah itu diamini oleh petinggi Polres Kulon Progo. Wakapolres Kulon Progo Dedi Suryadarma yang kami kutip dari berita CNN tanggal 5 Desember 2017 menyatakan, “Tadi kami minta Kartu Tanda Mahasiswa (KTM), tapi nggak punya KTM mereka. Jadi mereka tidak punya Kartu Mahasiswa, tapi tadi menggunakan kartu pers tapi menyerupai mahasiswa. Mereka memprovokasi warga agar tidak mau diungsikan,” jelas Dedi.

Intimidasi itu berlanjut ketika kedua belas anggota jaringan solidaritas dan rekan-rekan pers mahasiswa hendak dibawa ke Polres Kulon Progo. Selain tindak kekerasan, Fahri menjelaskan, “Saya sempat ditarik dan didorong-dorong serta dibentak-bentak oleh aparat ketika dibawa ke truk.”

Pada hari yang sama, selain menangkap tiga jurnalis pers mahasiswa, aparat kepolisian juga menangkap sembilan anggota jaringan solidaritas penolak bandara NYIA. Anggota solidaritas yang ditangkap antara lain: Andrew (Anti-Tank, Seniman), Muslih (FNKSDA), Kafabi (mahasiswa UIN), Rifai (Mahasiswa Universitas Mercubuana), Wahyu (Mahasiswa UIN), Samsul dan Candra (LFSY), Mamat (Mahasiswa UIN), Yogi (Mahasiswa UNS).

Pada pukul 16.00 sore, anggota jaringan solidaritas lainnya juga ditangkap. Menambah jumlah yang tertangkap menjadi 15 orang. Tiga orang yang tercatat sebagai mahasiswa UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta: Khoirul Muttakim, Abdul Majid Zaelani, dan Syarif Hidayat dibawa ke Polres Kulon Progo.

Di Polres Kulon Progo, selain menggebuk Muslih, polisi juga merampas gawai anggota jaringan solidaritas, termasuk kamera Imam. Hasilnya, data liputan Imam pertanggal 4-5 Desember lenyap tak tersisa. Pukul 22.00 malam, anggota jaringan solidaritas dan rekan-rekan pers mahasiswa didampingi pengacara PWPP-KP, dibebaskan.

Pengakuan Irfan Rifai selaku Kapolres Kulon Progo pada media bahwa aparat tidak menggunakan aksi kekerasan adalah bohong belaka. Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) dalam rilisnya menyatakan bahwa penyerangan yang terjadi pada 5 Desember 2017, di Desa Palihan dan Desa Glagah, Temon, Kulon Progo adalah pelanggaran hukum dan dan hak asasi manusia. KontraS menyebut bahwa aparat kepolisian telah melakukan penganiayaan dan dapat diancam oleh Pasal 351 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Tentang Penganiayaan.

Akibat penganiayaan yang diterima, Rimba mengalami luka-luka di beberapa bagian tubuh: lengan kiri, tumit kanan, kaki kiri, punggung dan kepala. “Semuanya sakit dan meninggalkan memar biru,” sebut Rimba.

Dalih kepolisian ketika menangkap anggota-anggota jaringan solidaritas dan rekan-rekan pers mahasiswa karena dianggap memprovokasi warga dan tak berizin adalah alasan yang dibuat-buat. Sebaliknya, aksi kekerasan yang dilakukan polisi itulah yang menjadi bagian upaya provokasi.

Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Yogyakarta dalam rilisnya menyatakan kegiatan pers mahasiswa dalam memperoleh dan menyebarkan informasi adalah bagian dari kebebasan berekspresi. Kebebasan itu dilindungi melalui pasal 19 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia PBB dan Pasal 28-F Undang-Undang Dasar 1945. Setiap orang bebas berpendapat, menganut pendapat tanpa gangguan, mencari dan menyampaikan informasi.

Aktivitas pers mahasiswa dalam mencari, mengelola, dan menyampaikan informasi juga lekat dengan kerja jurnalistik. Dan, kebebasan pers hanya omong kosong tanpa ada kebebasan berekspresi.

Kami tentu mengecam segala bentuk represivitas, intimidasi dan perbuatan menghalang-halangi peliputan yang dilakukan oleh kepolisian pada Jurnalis Pers Mahasiswa.

Bertolak dari kondisi di atas, Perhimpunan Pers Mahasiswa Dewan Kota Yogyakarta (PPMI DK YOGYAKARTA) menuntut kepolisian:

  1. Usut tuntas pelaku kekerasan dan penganiayaan terhadap warga, anggota jaringan solidaritas dan jurnalis pers mahasiswa.
  2. Hukum anggota polisi yang bertindak sewenang-wenang dan menghalangi-halangi peliputan jurnalis pers mahasiswa.
  3. Menolak segala bentuk kekerasan dan perbuatan tak manusiawi dalam penyelesaian konflik pembangunan NYIA dan segala upaya perenggutan ruang hidup masyarakat.

 

 

Narahubung:

Rahmat Ali (Sekjen PPMI DK Yogyakarta, 085225112626)
Arci Arfian (Litbang PPMI DK Yogyakarta, 085877994003)

Kategori
Siaran Pers

PPMI Mengecam Tindakan Represif Kepolisian terhadap Relawan Solidaritas dan Warga Penolak NYIA di Kulon Progo

Kabar duka kembali menyelimuti wajah demokrasi Indonesia. Warga dan anggota jaringan solidaritas anti penggusuran; yang  di dalamnya bergabung juga rekan-rekan pers mahasiswa mendapat perlakuan sewenang-wenang dari aparat kepolisian kemarin pagi (5/12/2017).

Dengan dalih tak berizin dan kegiatan solidaritas adalah bentuk provokasi, sekitar pukul 10.00 WIB, aparat mendatangi warga dan meminta seluruh jaringan solidaritas  keluar dari rumah. Karena tak berhasil, beberapa saat kemudian, aparat kembali datang bersama aparat desa dan meminta identitas anggota jaringan solidaritas.

Sekitar pukul 10.30 WIB, sempat terjadi saling dorong antara aparat, warga, dan jaringan solidaritas yang berujung pada penangkapan 12 orang relawan jaringan solidaritas dan mahasiswa yang dibawa ke kantor PT. Pembangunan Perumahan dan akhirnya ditahan di markas Polres Kulon Progo. Mereka adalah Andre; Imam dan Rimba (UNY); Muslih (FKNSDA), Rifai (Univ. Mercubuana); Mamat, Kafabi, Wahyu, dan Fahri (UIN Sunan Kalijaga); Samsul dan Chandra (LFSY); dan Yogi (UNS).  Pada sore harinya, aparat kepolisian kembali menangkap tiga orang mahasiswa UIN Sunan Kalijaga atas nama Khoirul Muttakim, Abdul Majid Zaelani, dan Syarif Hidayat yang dipindahkan dari Polsek Wates ke Polres Kulon Progo. Sehingga total yang diperiksa kepolisian berjumlah 15 orang.

Berdasarkan rilis Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Yogyakarta, selain 15 relawan tersebut, tiga warga terluka (Fajar, Agus, dan Hermanto) akibat diseret aparat dan terkena lemparan batu.

Rekan-rekan pers mahasiswa yang sedang melakukan peliputan dan berkumpul bersama jaringan solidaritas juga mendapat kekerasan fisik dari kepolisian. Hal tidak menyenangkan tersebut telah menimpa A.S. Rimba dan Imam Ghozali dari LPM Ekspresi UNY, serta Fahri dari LPM Rethor UIN Sunan Kalijaga yang saat kejadian berada di Masjid Al Hidayah dan berusaha mendokumentasikan peristiwa kekerasan aparat terhadap warga dan anggota solidaritas.

Dalam kronologi yang disebutkan AJI, Rimba sempat merekam upaya negosiasi warga terhadap aparat. Negosiasi gagal sehingga warga terdesak aparat dan alat berat terus merangsek hingga ke sebuah kandang sapi di belakang masjid. Rimba, yang berada di tengah massa dan aparat, terkena tendangan aparat dan tersungkur ke tanah. Dengan brutal, aparat segera meringkus dan menginjak-injak sekujur tubuh Rimba. Telepon genggam miliknya dirampas. Selain ketiga orang tersebut, terdapat 2 orang anggota LPM Didaktika UNJ yang dihalang-halangi masuk ke lokasi posko solidaritas warga menolak penggusuran lahan NYIA.

Berdasarkan keterangan LBH Yogyakarta dan kesaksian Muslih (FNKSDA), ketika ia  pertama kali tiba di Polres disambut dengan pukulan oleh polisi di bagian leher, dagu dan perutnya. Sekitar pukul 21.00, para relawan baru diperbolehkan pulang setelah diinterogasi. Berdasarkan keterangan rekan-rekan PPMI Yogyakarta, Rimba mengalami memar di punggung dan tangan. Beberapa orang dikabarkan mengalami trauma psikis. LBH Yogyakarta pun baru diizinkan mendampingi relawan yang ditangkap pada pukul 13.00; setelah sebelumnya berdebat dengan kepolisian. Itupun, yang diperbolehkan masuk hanya penasihat hukum dari LBH Yogyakarta ada 4 orang dan PBHI ada 1 orang. Selain pers mahasiswa, disebutkan salah seorang wartawan televisi bahkan nyaris dihajar polisi lantaran mendokumentasikan penggusuran di Kulon Progo.

Dalih kepolisian ketika menangkap para aktivis dan rekan-rekan pers mahasiswa karena dianggap memprovokasi warga dan tak berizin adalah alasan yang dibuat-buat. Undang-Undang HAM no 39 tahun 1999 pasal 100 telah menegaskan bahwa setiap orang berhak berpartisipasi (bersolidaritas) dalam rangka pemenuhan hak asasi manusia dan pada Undang-Undang  lingkungan hidup no. 32 th 2009 pasal 66 juga menyebutkan bahwa hak imunitas pejuang untuk mempertahankan lingkungan hidup. Aparat dalam hal ini jelas melakukan pelanggaran-pelanggaran hak-hak atas nama kebebasan berekspresi, mencari dan mengolah informasi di ruang publik sesuai dengan Kebebasan itu dilindungi melalui pasal 19 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia PBB dan Pasal 28-F Undang-Undang Dasar 1945.

Pengakuan Kapolres Kulon Progo pada media bahwa aparat tidak menggunakan aksi kekerasan dan luka-luka yang dialami adalah  karena benturan kamera tentu sangat bertolak belakang dengan apa yang terjadi sebenarnya dan menjadi sebuah kebohongan publik. Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) dalam pernyataan sikap yang diterbitkan kemarin sore menyebut sebagai pelanggaran hukum dan hak asasi manusia. Selain pasal-pasal yang telah disebutkan di atas, Kontras menyebutkan bahwa aparat kepolisian telah melanggar Pasal 351 Kita Undang – Undang Hukum Pidana tentang tindakan Penganiayaan. Peraturan Kapolri No. 8 tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar Hak Asasi Manusia dalam Penyelenggaran Tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia dan Peraturan Kapolri No. 8 tahun 2010 tentang Tata Cara Lintas Ganti dan Cara Bertindak dalam Penanggulangan Huru-Hara.

 

Oleh karena itu, Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia (PPMI)  menyatakan:

  • Mengecam tindakan sewenang-wenang yang dilakukan oleh aparat kepolisian terhadap warga dan jaringan solidaritas menolak penggusuran rumah untuk pembangunan NYIA.
  • Menuntut kepolisian mengusut dan menghukum anggotanya yang melakukan tindakan represif terhadap pers mahasiswa dan aktivis lainnya.
  • Menolak segala bentuk kekerasan dan perbuatan tak manusiawi dalam penyelesaian konflik pembangunan NYIA dan segala upaya yang nyatanya malah merenggut ruang hidup masyarakat.

 

Narahubung

Imam Abu Hanifah (BP Advokasi PPMI: 085604903135)

Irwan Sakkir (Sekjend PPMI: 081248771779)

Kategori
Siaran Pers

Sumpah Pemuda: Pers Mahasiswa Keluarkan Tuntutan Terkait Ancaman Demokrasi dan Ruang Hidup

Titik balik keran demokrasi di Indonesia dibuka seluas-luasnya pada saat reformasi 19 tahun silam. Pemerintah mulai belajar untuk terbuka pada rakyat begitu pula rakyat yang mulai belajar memberikan kritikan pada pemerintah. Namun beberapa kasus yang terjadi akhir-akhir ini, menujukkan bahwa pemerintah seolah-olah kembali ke masa orba yang lebih baru lagi. Kasus Dandy Dwi Laksono, kemudian kasus pelarangan peredaran buku “Jokowi Undercover” dan penyerangan LBHI di Jakarta, menjadi rapor merah pemerintah. Belum lagi persoalan tentang ruang hidup yang menimpa para petani Kendeng, kemudian masyarakakat Bali di Teluk Bonoa dan Sunda Wiwitan, Pemerintah terkesan memihak pemodal ketimbang rakyat.

Sejak diberlakukannya UU ITE pada tahun 2008, SAFEnet mencatat telah menjerat 225 kasus, dengan jumlah 177 kasus yang berkasnya lengkap. 15 desember 2016. 65% penguasa, 22% profesional, 1,69% pengusaha, 18,6% warga biasa. Sehingga  seolah-olah UU ITE dijadikan senjata untuk menjerat masyarakat yang menyuarakan aspirasinya

Pembungkaman upaya demokrasi juga menimpa pers sebagai pilar keempat demokrasi. Aliansi Jurnalis Independen (AJI) mencatat selama Januari-Desember 2016 saja, terjadi 78 kasus kekerasan terhadap jurnalis dan 1 kasus pembunuhan. Hal serupa pun menimpa pers mahasiswa yang notabenenya sebagai media alternatif yang tidak hanya mengawa isu kampus, namun juga isu lokal dan nasional. Termasuk perebutan ruang hidup masyarakat.

Badan Pekerja Litbang PPMI Nasional 2015/2016 dalam riset berjudul “Dinamika Pers Mahasiswa Tahun 2013-2016: Gerakan Bermedia dan Resiko Pembungkaman” menyebutkan 88 pers mahasiswa mengalami tindak kekerasan dan 20 pers mahasiswa tidak mengalami kekerasan dari 108 lembaga pers mahasiswa. Sebanyak 88 kasus kekerasan yang diterima oleh pers mahasiswa, ada 9 jenis bentuk kekerasan. Di antara 9 jenis kasus tersebut adalah fitnah, intimidasi, kriminalisasi, pelecehan, Pembatalan izin, pembekuan, pembredelan, pembubaran acara dan perusakan karya. Jenis kekerasan yang paling banyak menimpa pers mahasiswa adalah intimidasi, sejumlah 66 kasus. Pembredelan sejumlah 13 kasus, pelecehan 12 kasus, pembekuan 9 kasus, kriminalisasi 6 kasus, pembubaran acara 2, sedangkan fitnah, pembatalan izin dan perusakan karya sejumlah 1 kasus.Kasus ruang hidup, potensi lahan, penguasaan atas tanah melalui mekanisme dan ide pembangunan yang bersinggungan dengan upaya masyarakat menyerukan aspirasinya sebagai penyelenggaraan ruang demokrasi yang telah diatur oleh Undang-Undang Dasar 1945 perlu dikaji secara mendalam dalam ranah diskusi terbuka.

Beberapa poin seperti karateristik geografis, suku dan etnis yang membangun kebudayaan adat di suatu wilayah, faktor historis, perlu diperhatikan mengingat upaya serta sentralisasi kekuasaan negara yang coba dikurangi dengan adanya otonomi daerah yang justru malah mereproduksi kelas-kelas perampas ruang hidup di daerah. Wiji Thukul, seorang pejuang demokrasi menyebut dalam puisinya yang berjudul Peringatan, “Ketika masyarakat bersembunyi dan berbisik-bisik ketika membicarakan masalahnya sendiri, penguasa harus waspada dan belajar mendengar”.

Melihat kondisi tersebut, Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia menuntut untuk:

  1. Hentikan Tindakan Represifitas terhadap awak pers diseluruh Indonesia
  2. Selesaikan Kasus sengketa pers yang telah terjadi seperti, kasus wartawan Udin
  3. Pemerintah harus berpihak pada rakyat, dalam konflik Agraria
  4. Mengkaji Ulang UU ITE No 19 Tahun 2016
  5. Hentikan kriminalisasi dan tindak kekerasan aparat kepada petani ataupun mahasiswa
  6. Pemerintah harus membuka ruang diskusi seluas-luasnya
  7. Pemerintah harus mengkaji ulang Amdal dan perijinan yang berkaitan dengan aktivitas eksploitasi lingkungan
  8. Pers mahasiswa menyatakan secara tegas bahwa PPMI merupakan lembaga independent dan menjunjung tinggi suara rakyat

 

 

Korlap : Andika ASB ( LPM Perska Pangkep)

Penanggung Jawab :

  1. Irwan Sakkir 081248771779
  2. Moh. Apriawan 082345108646
Kategori
Siaran Pers

Pembubaran Seminar dan Pengepungan LBH-YLBHI Jakarta: Darurat Demokrasi Kita

Aksi paksa pembubaran kegiatan Seminar Sejarah 65 dengan tema “Pengungkapan Kebenaran Sejarah 1965/66” yang diadakan pada Sabtu-Minggu, 16-17 September 2017 di gedung Lembaga Bantuan Hukum (LBH)-Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Jl. Diponegoro No. 74, Jakarta oleh kepolisian menjadi catatan yang menggambarkan betapa kritisnya kondisi demokrasi di Indonesia saat ini. LBH-YLBHI Jakarta sebagai pelaksana seminar sebenarnya telah mengklarifikasi tujuan diskusi kepada kepolisian bahwa diskusi tersebut merupakan diskusi akademis dan menyepekati adanya perwakilan pihak  kepolisian untuk mengikuti diskusi serta menampilkan secara live streaming diskusi tersebut. Seminar dengan peserta terbatas untuk 50 orang merupakan diskusi pelurusan sejarah sebagai upaya awal untuk pemulihan kejahatan hak asasi manusia yang berat di masa lalu, yang telah menjadi komitmen pemerintah.

Tanggal 16 september, sekitar jam 06.00 WIB kepolisian telah terlihat berjaga-jaga didepan gedung LBH-YLBHI. Polisi pun akhirnya ingkar janji. Pihak kepolisian yang dikoordinasikan oleh kapolsek Menteng membrikade jalan diponegoro menuju arah mendit. Para peserta yang terdiri dari lansia bahkan anggota LBH-YLBHI jakarta tak diizinkan masuk gedungnya sendiri. LBH-YLBHI Jakarta yang sudah memberitahukan hasil pertemuan dengan pihak kepolisian sehari sebelumnya juga tak digubris.

Berdasarkan rilis tim advokasi LBH-YLBHI Jakarta, pada pukul 08.30, berlangsung negosisasi antara pihak panitia dan kuasa hukum dengan pihak kepolisian, yaitu diwakili perwakilan dari Mabes Polri, Polda Metro Jaya, Polres Jakarta Pusat, dan Polsek Menteng. Mereka meminta diskusi ditunda dengan alasan tidak memiliki izin keramaian dan pemberitahuan, yang mana menurut hukum tidak diperlukan. Diskusi selama 2 jam tersebut bersepakat untuk menunda dan para peserta dibolehkan masuk gedung. Namun nyatanya polisi tetaplah ingkar janji. Setelah diskusi ditunda, para peserta tetap tak diperbolehkan masuk.

Sekitar pukul 15.58, pihak kepolisian baik Kapolres Jakarta Pusat, Kapolsek Menteng, dan jajaran Polda malah memaksa masuk ke gedung LBH-YLBHI Jakarta untuk melakukan penggeledahan tanpa adanya surat penggeledahan. Menurut rilis, Kapolsek Menteng justru mengintimidasi pengabdi bantuan hukum LBH Jakarta dengan mengatakan bahwa ia akan membonyoki mukanya. Lalu Kapolres Jakarta Pusat dan Kapolsek Menteng beserta jajarannya masuk ke lantai 4 dan melakukan pengrusakan barang. Mereka juga mencopot spanduk dan merusak plafon. Kepolisian pun menyita spanduk tanpa adanya surat penyitaan.

 

Tindakan yang mencacati ruang demokrasi ini tidak berhenti di situ saja. Menurut Siaran Pers LBH-YLBHI  Tentang Penyerangan Ke Gedung LBH-YLBHI , keadaan kembali memanas pada hari Minggu, 17 september 2017. Dalam rangkaian acara yang berisi penampilan seni, puisi, menyanyi, dll. Puluhan orang terkurung dan bertahan di dalam gedung LBH-YLBHI karena terdapat ratusan massa di luar gedung yang meneriakkan ancaman, melakukan tuduhan yang tidak berdasar, hingga melempari dengan batu.

Ancaman terhadap demokrasi di Indonesia telah mencapai titik kritis walau telah dilindungi oleh Undang-Undang. Landasan hukum kebebasan berpendapat, berekspresi dan berkumpul tertera dalam pasal 28 undang-undang dasar 1945, undang-undang no. 12 tahun 2005 tentang pengesahan instrumen HAM internasional terkait hak sipil politik warga negara yang dalam Deklarasi Universal HAM pasal 13 ayat (1), serta pasal 19 dan 20 bahwa setiap manusia diberikan pengakuan dan perlindungan terhadap kebebasan dasar setiap manusia yang meliputi hak kebebasan berpendapat, berekspresi, berkumpul dan berserikat. Ancaman secara langsung juga ditunjukkan dari banyaknya penggunaan delik UU ITE pasal 27 ayat 3 tentang pencemaran nama baik bahkan masalah ujaran kebencian yang kian marak digunakan untuk menjerat masyarakat yang beropini melalui media sosial.

Pada tahun 2017 saja, rekam jejak atas buruknya kebebasan berpendapat dan makin diberangusnya ruang demokrasi masyarakat telah puluhan kali terjadi. Sebagai contoh, kasus persekusi oleh ormas reaksioner, pembubaran diskusi lentera negeri, pembubaran Pameran seni soal Wiji Thukul, represi dan pelanggaran HAM di papua oleh aparat, kasus kriminalisasi petani Surokonto Wetan, kriminalisasi petani Kendeng dan warga Tumpang Pitu, kriminalisasi petani Deli Serdang, termasuk kriminalisasi Dandhy Dwi Laksono.

Dalam lingkup pers mahasiswa sendiri, Fadel Muhammad Harahap dan Fikri Arif, dua wartawan lembaga pers mahasiswa (LPM) Bursa Obrolan Mahasiswa (BOM) bahkan ditangkap polres medan saat melakukan peliputan aksi hari pendidikan nasional di depan universitas sumatera utara. Mereka dituduh melakukan pemukulan terhadap polisi tanpa adanya bukti pemukulan. Alhasil mereka pun harus mendekam di penjara dan terpaksa menjalani persidangan hingga saat ini.

Atas ancaman represifitas dan kebebasan demokrasi yang makin memprihatinkan, maka Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia yang terdiri dari 20 dewankota/kota dan 8 cartaker menyatakan :

  1. Mengecam pembubaran seminar pengungkapan kebenaran sejarah 1965/66 di gedung LBH Jakarta yang dilakukan oleh kepolisian (mabes polri dan jajarannya) dimana kepolisian juga melakukan penggeledahan dan penyitaan barang tanpa izin/illegal
  2. Menuntut agar pemerintah menghentikan segala bentuk represifitas terhadap ruang demokrasi masyarakat baik dalam hal berkumpul, berpendapat dan berekspresi di muka umum sesuai dengan amanat undang-undang
  3. Menuntut Kapolri bersikap objektif dengan menindak tegas jajarannya yang telah melakukan tindakan ilegal yang melawan hukum/undang-undang dan menghukum organisasi masyarakat dan kelompok reaksioner yang melakukan tindakan sewenang-wenang.
  4. Menuntut kepolisian Medan Sumatera Utara yang membebaskan awak redaksi lembaga pers mahasiswa bom ITM Medan yang dipenjara dengan tuduhan yang tidak jelas.

 

Narahubung:

Irwan Syakkir (Sekretaris Jendral PPMI Nasional) : 0812 4877 1779

Imam Abu Hanifah (Badan Pekerja Advokasi PPMI Nasional) : 0856 9693 1450

 

Daftar Dewan Kota/Kota Anggota PPMI:

  1. PPMI Kota Jember
  2. PPMI Kota Malang
  3. PPMI Kota Palu
  4. PPMI Kota Pekalongan
  5. PPMI Tasikmalaya
  6. PPMI Dewan Kota Muria
  7. PPMI Dewan Kota Madura
  8. PPMI Dewan Kota Surabaya
  9. PPMI Dewan Kota Tulungagung
  10. PPMI Dewan Kota Madiun
  11. PPMI Dewan Kota Yogyakarta
  12. PPMI Dewan Kota Makassar
  13. PPMI Dewan Kota Mataram
  14. PPMI Dewan Kota Banjarmasin
  15. PPMI Dewan Kota Semarang
  16. PPMI Dewan Kota Manado
  17. PPMI Dewan Kota Bali
  18. PPMI Dewan Kota Surakarta
  19. PPMI Dewan Kota Palopo
  20. PPMI Dewan Kota Kediri

 

Daftar Cartaker PPMI:

  1. Purwokerto
  2. Salatiga
  3. Banten
  4. Jakarta
  5. Ambon
  6. Pontianak
  7. Riau
  8. Mojokerto
Kategori
Siaran Pers

PPMI DK Surakarta: Lepaskan Teman Kami, Kinerja Polrestabes Medan Cacat Hukum

Salam Persma! Panjang Umur Perlawanan!

Kami selaku mahasiswa yang memiliki fungsi sebagai kontrol sosial ingin mengingatkan bahwa, menurut UU No. 2 tahun 2002 pasal 13 menjelaskan bahwa polri memiliki tugas sebagai memelihara Kamtibmas, Penegakan hukum yang berlaku dan Memberikan pengayoman, perlindungan, serta pelayanan bagi masyarakat. Namun melihat atas apa yang dilakukan oleh Polrestabes Medan yang melakukan tindak kekerasan secara sepihak terhadap teman kami.

Mahasiswa yang tergabung sebagai pewarta Lembaga Pers Mahasiswa Bursa Obrolan Mahasiswa (LPM BOM) di kurung secara sepihak. Data yang disebarkan ke publik menjelaskan bahwa Fikri Arif dan Fadel Muhammad Harahap ditahan meski telah menjelaskan bahwa mereka membawa surat tugas peliputan.

Data yang kami himpun tidak menunjukkan kejelasan mengenai penegakan hukum oleh aparat. Penangkapan teman kami dinilai cacat hukum dan merugikan nama baik Fikri Arif dan Fadel Muhammad secara khusus dan LPM BOM secara umum. Kedua Pewarta LPM BOM masih ditahan di Polrestabes dengan kondisi babak belur tanpa ada penjelasan mengenai bukti-bukti yang memberatkan penahanan Mereka.

 

Maka Kami Lembaga Pers Mahasiswa yang tergabung sebagai PPMI ( Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia) Dewan Kota Surakarta menyatakan sikap;

  1. Menuntut Polrestabes Medan untuk melepaskan Fikri Arif dan Fadel Muhammad hingga pengadilan membuktikan mereka bersalah.
  2. Menuntut Pihak Kepolisisan Polrestabes Medan untuk merilis laporan penangkapan dan alasan penahanan ketiga aktivis.
  3. Meminta maaf kepada ketiga aktivis dan memulihkan nama baik mereka
  4. Memberikan tindak tegas kepada oknum polrestabes yang melakukan tindak kekerasan kepada aktivis

 

Berikut Data yang kami himpun dari Teman-teman LPM BOM :

Pada aksi hari pertama tepatnya 1 mei, mahasiswa memboikot jalan simpang pos dibawah huru-hara) serta 1 unit water cannon, jumlah yang tidak sebanding dengan massa aksi. Namun potensi terjadinya kericuhan dapat diredam oleh massa aksi yang bergerak kesalah satu pinggir simpang pos dibawah fly over jamin ginting dengan tetap melanjutkan aksi orasi yang dikemas melalui panggung musikalisasi.

Aksi tetap berlanjut dengan kembali memboikot jalan disimpang pos, pihak kepolisian pun kembali mengawal aksi. Sempat terlihat disela-sela aksi beberapa polisi mendekatkan diri bukan kebarisan massa aksi melainkan menuju sekumpulan tukang becak yang berada disalah satu sisi simpang lainnya. Dari pengakuan kontra intelejen massa aksi, bahwa piha kepolisian telah berkomunikasi kepada para tukang becak untuk membubarkan aksi mahasiswa. Dengan dalih belum mendapatkan penumpang sejak pagi hari, beberapa becak motor pun menghampiri massa aksi dan membubarkan aksi tersebut. Sempat terjadi gesekan antara tukang becak motor dengan massa aksi, gesekan kembali dapat diredam oleh massa aksi dengan kembali menepi agar tetap dapat melakukan orasi melalui panggung musikalisasi hingga maghrib.Hari memasuki malam, sebagian massa tetap menginap dilokasi aksi setelah mendapatkan izin dari pihak kepolisisan (polsek deli tua).

Keesokan harinya ditanggal 2 mei aksi berlanjut kembali dengan tetap melakukan panggung aspirasi musikalisasi di tepi simpang pos. Sejak pagi sudah terlihat diseberang jalan massa aksi berdiri sekumpulan masyarakat yang menggunakan seragam PAM-SWAKARSA bewarna hitam. Setelah diselidiki oleh salah satu massa aksi ternyata mereka adalah tukang becak kemarin yang mencoba membubarkan aksi. Massa tidak terpengaruh dengan kehadiran mereka dan tetap melakukan aksi panggung hingga sore hari.

Pukul 15.00 wib massa aksi juga mengkemas aksi dengan melakukan body paint dengan tulisan “REVOLUSI PENDIDIKAN” dan berdiri sejajar dipinggir jalan sebagai protes terhadap kondisi pendidikan hari ini. Pukul 15.00 – 16.15 wib aksi yang berlangsung disimpang pos berjalan dengan damai. Namun, beberapa masyarakat mecoba kembali memprovokasi sehingga aparat kepolisian mulai berdatangan kembali ke lokasi aksi. Sekitar pukul 16.20 wib massa aksi bergerak dengan melakukan long march menuju simpang kampus USU, sesuai rencana aksi bahwa aksi akan dibubarkan di simpang kampus USU. Pukul 17.20 wib pihak kepolisian datang membawa 1 unit mobil water cannon dan 3 truck pasukan sabhara bersama pasukan yang mengendarai trail setelah melihat massa aksi membakar beberapa ban bekas di simpang kampus USU.

Aksi tetap berlangsung dengan damai meski beberapa orang yang mengaku masyarakat setempat mencoba memprovokasi massa aksi. Pukul 17.30 wib ada pemuda setempat masuk ke barisan massa dan kembali mencoba memprovokasi massa aksi. Namun, aksi tetap berlangsung secara damai. Pukul 18.00 wib beberapa intel pihak kepolisian sudah menyebar disimpang kampus USU dan mencoba memprovokasi masyarakat yang ada disimpang kampus USU agar membubarkan aksi, dengan issue aksi yang membuat kemacetan, dll.

Massa aksi pun bergeser bergerak menuju depan pintu I USU dengan memblokir satu arah jalan Dr. Mansyur. Pukul 18.20 wib melihat kondisi yang telah tidak kondusif, maka massa aksi memilih untuk menutup aksi dengan membacakan statement tepat di pintu I USU. Pukul 18.30 wib massa aksi membubarkan diri dengan masuk kedalam kampus USU, rencananya akan melakukan evaluasi aksi di dalam kampus. Pukul 18.35 wib massa  yang masih berjalan menuju kampus terpancing dengan adanya tindakan provokatif dari orang yang mengaku masyarakat setempat. Sehingga terjadi keributan adu mulut antara mahasiswa dan masayarakat setempat tersebut. Dengan adanya keributan, beberapa masyarakat lansung menyerang mahasiswa. Dan secara spontan untuk menyelamatkan diri dari serangan tersebut, mahasiswa menyerang orang yang mengaku masyarakat.

Sekitar pukul 18.40 wib pihak kepolisian yang sudah bersiaga, menyerang mahasiswa masuk kedalam kampus dengan menerobos pagar pintu I USU. Pihak kepolisian melakukan pemukulan terhadap beberapa mahasiswa yang berada dilapangan saat ditangkap, namun mahasiswa yang dipukul berhasil melarikan diri dari serangan tersebut. Sekitar pukul 18.45 wib mahasiswa membuat perlawanan terhadap serangan tersebut, hinnga akhirnya seorang lelaki yang mengaku intel kepolisian diserang oleh mahasiswa. Sekita pukul 19.00 – 19.30 wib pihak kepolisian berhasil mengamankan 6 orang mahasiswa. 3 mahasiswa berasal dari USU, 2 mahasiswa berasal dari ITM, 1 mahasiswa berasal dari universitas dharma agung. 2 mahasiswa (rizky & aziz) USU diamankan saat merekahendak mengambil sepeda motor yang diparkir di pintu I USU. 1 mahasiswa (mensen) diamankan didepan fakultas ilmu budaya USU. 1 mahasiswa dharma agung diamnakan di pintu I USU saat mahasiswa tersebut sedang melakukan peliputan berita aksi tersebut. 2 orang mahasiswa ITM ditangkap didepan pintu I USU  saat melakukan tugas meliput aksi demonstrasi tersebut. Mensen yang diamankan dari dalam kampus mendapatkan pemukulan dari pihak kepolisian.

Pada tanggal 3 mei 2017, sejak pukul 11.00 – 15.00 wib, tim pengacara yang mengatas namakan Tim KORAK (Koalisi Rakyat Anti Kriminalisasi) terdiri dari BAKUMSU, KONTRAS, & LBH MEDAN mencoba melakukan audiensi dengan kasat intel polresta dalam rangka mempertanyakan mahasiswa yang sedang ditahan oleh polresta Medan, namun tidak terlaksana karena pihak polisi mengatakan kasat intel tidak ada dikantor.

Pihak polresta tidak mengijinkan Tim KORAK untuk berjumpa dengan mahasiswa yang ditahan, dengan alasan belum 1 x 24 jam. Pukul 13.40 mahasiswa atas nama solidaritas mahasiswa medan (SOLMED) melakukan aksi demonstrasi didepan kantor polrestabes medan dengan tuntutan meminta agar mahasiswa yang ditangkap segera dibebaskan. Aksi berlangsung dengan tertib walau pihak kepolisian mencoba memprovokasi massa dengan melakukan pengamanan berlebihan yang mendatangkan pasukan sabhara kembali. Pukul 15.00 wib aksi SOLMED bubar di taman budaya sumatra utara. Malam harinya, 3 mahasiswa yang ditangkapoleh polrestabes medan dikeluarkan karena tidak terbukti terlibat aksi tersebut. Mereka adalah abdul aziz panjaitan, rizki halim, & juprianto.

Tanggal 4 mei 2017, 3 orang mahasiswa yang masih ditahan telah ditetapkan sebagai tersangka oleh polrestabes medan, mereka adalah fikri arif, fadel m.harahap, & sier mensen. 1 orang warga sipil bernama erlangga kurniawan. Sekitar pukul 18.30 wib seorang mahasiswa bernama Syahyan P.Damanik dari Lembaga Pers Mahasiswa ITM ditangkap oleh aparat keamanan disekitar kampus ITM. Pukul 20.00 WIB syahyan dibawa kesebuah warung yang tidak diketahuinya. Saat itu, syahyan di introgasi dan dianiaya oleh polisi. Pukul 23.00 syahyan dibawa ke sekretariat Forum Mahasiswa Anti penindasan (FORMADAS). Pukul 23.30 syahyan dibawa ke polreta medan.

Pasca penangkapan syahyan, tidak berapa lama sekretariat Formadas pun digrebek oleh beberapa oknum yang tidak memakai seragam dan menangkap 1 orang mahasiswa yang berada disekret yang bernama Cici Arya.

Kronologis penggerebekan sekretariat Formadas 04 mei 2017, sekitar pukul 23.00 wib lewat kurang lebih 8 orang memakai baju preman mendatangi sekretariat Formadas dengan menggunakan mobil & sepeda motor. Mereka memasuki sekretariat dan berkomunikasi dengan salah satu penghuni sekret (Cici) sambil menunjukkan surat penagkapan untuk saudara Juned.
Karena Juned tidak berada disekretariat, mereka menyuruh Pak Ronal (Opa) yang berada disekretariat untuk masuk kekamar untuk membuka tas yang dicurigai milik juned. Namun, karena tas itu bukan milik juned maka mereka kembali melihat kamar lain dan tidak menemukan apa-apa. Saat itu mereka ingin membawa sepeda motor yang diduga milik juned, tetapi akhirnya mereka tidak jadi membawanya. Setelah memeriksa kamar yang ada disekretariat, salah seorang dari aparat memerintahkan agar membawa cici arya untuk dijadikan saksi. Opa juga ditanya dari lembaga mana, dan dia menjawab kalau dia hanya menginap disekretariat. Sebelum aparat meninggalkan sekretariat, mereka berpesan agar si juned menyerahkan diri. Alasan pihak kepolisian terhadap penangkapan juned dikarenakan juned memimpin massa aksi pada waktu itu untuk menyanyikan lagu “Aparat Keparat”.

Tanggal 05 mei 2017, sekitar pukul 02.00 wib syahyan diperiksa dan diminta keterangan (Berita Acara Penangkapan) oleh unit ranmor polrestabes medan. Sekitar pukul 10.00 wib cici arya (mahasiswa ITM) diperiksa BAP. Pukul 20.00 syahyan dan cici keluar dari polresta medan. Setelah terbukti tidak bersalah Pimpinan lembaga pers mahasiswa ITM (syahyan) kembali menemui pihak WR III untuk kedua kalinya sejak tanggal 03 Mei 17 untuk kembali mempertanyakan kejelasan dari pada tanggung jawab kampus terhadap 2 orang mahasiswa yang ditangkap. Lalu Mahyuzar Masri (WR III) mengatakan bahwa pihaknya tidak dapat bertemu dengan pihak polrestabes medan, disebabkan pihak polrestabes medan meminta rektor yang harus datang langsung ke mapolresta medan. Sehingga WR III menyarankan untuk menunggu pihak rektor pulang dari luar dan kembali kekampus.
Tidak cukup sekali, pihak kepolisian kembali menggrebek sekretariat Formadas.

Kronologis penggrebekan sekretariat Formadas 05 mei 2017, sekitar pukul 16.00 wib personil kepolisian datang dengan menggunakan 2 unit mobil dan beberapa unit sepeda motor tanpa menggunakan seragam. Kepolisian langsung masuk kedalam seretariat dan menyuruh opa yang berada disekretariat untuk membuka beberapa lemari yang ada dikamar. Menurut opa, pihak kepolisian sempat mengambil gambar terhadap beberapa kertas yang ada dimeja sekretariat. Kepolisian membawa sebuah poster dari sekretariat formadas. Dalam penggerebekan tersebut, dilakukan penggledahan terhadap beberapa berkas yang ada didalam sebuah tas.

Senin tanggal 08 mei 2017, pimpinan umum LPM BOM ITM beserta pimpinan redaksi masuk kedalam ruang rektor pada pukul 13.30 wib dan melihat BADMA (Safrawali) sedang berbincang dengan rektor di ruangannya sehingga harus menunggu rektor selesai berbincang. Setelah beberapa menit menunggu akhirnya Safrawali keluar dari ruang rektor dan menyampaikan bahwa Safrawali harus berkomunikasi dengan pihak polrestabes untuk dapat diterima ketika mendatangi mapolrestabes medan. Pada sore harinya, mahasiswa ITM yang tergabung dalam aliansi SOLIDARITAS MAHASISWA ITM melakukan aksi didepan didepan biro umum untuk mendesak rektor segera membebaskan kedua mahasiswa ITM yang ditangkap pihak kepolisian. Namun rektor sudah pergi, dan massa aksi disambut oleh WR I (Hermansyah Alam) dan mengatakan bahwa besok pada tanggal 09 mei 2017 rektor berjanji pergi ke mapolrestabes medan untuk membebaskan kedua mahasiswa ITM yang ditahan.

Selasa tanggal 09 Mei 2017 dini hari, penggrebekan beralih ke sekretariat Gema Prodem. Berdasarkan keterangan dari salah satu kader Gema Prodem (Dedy Christian Sinurat) menceritakan Kronologis penggrebekan sekretariat Gema Prodem. Pukul 03.15 wib, “aku dan kawan jhosua tiba disekretariat. Lalu, 3 sepeda motor dengan jumlah 6 orang berpakaian biasa menyuruh kami masuk kesekretariat dan membangunkan 6 orang kawan kami. Kami bertanya, ini ada apa ? mereka tidak menjawab, kemudian aku digeledah dan semua yang ada dikantong celanaku dan seisi tas ku disuruh dikeluarkan, kami disuruh jangan ribut nanti warga terganggu, kemudian datang kepala lingkungan (Kepling) dan pemuda setempat ke sekretariat. Mereka mencari yang namanya Fajar, dengan alasan yang tidak mau dijawab. Mereka mengaku dari polsek medan baru, kemudian salah satu mahasiswa (Ganda) yang tadinya dibangunkan dari dalam sekretariat menanyakan soal surat penangkapan, lalu mereka menjawab “nanti kami tunjukkan”. Lalu Ganda mengatakan “gak bisa gitulah bang”, dan ganda pun ditampar oleh salah satu dari mereka. Selanjutnya mereka, membuka handphone dan foto yang sudah ada untuk dicocokkan kepada kami. Kami tidak tahu maksud mereka itu untuk apa.

Lalu salah seorang dari mereka mengatakan “pura-pura gak taunya kalian, selama ini kalian dibiarkan makin meraja lela”. 6 orang kawan kami diinterogasi, sedangkan aku dan daud disuruh mendampingi mereka untuk menggeldah seisi sekretariat kami. 1 buku, beberapa lembar materi diskusi, jadwal diskusi beserta nama-nama kami, 1 kaos sablon untuk ketahanan ekonomi kelompok, dan juga pakaian yang dikenakan saat aksi hardiknas 02 Mei 17 di USU, semua dibawa mereka. Seisi sekretariat kami divideo setiap sudutnya, lemari baju juga diacak acak, vespa yang ada didepan sekretariat dijatuhkan mereka. Akhirnya, 6 orang kawan kami diborgol dan dibawa ke polrestabes medan. Sebelum dibawa ke mobil, mereka melihat situasi agar tidak dilihat warga. Terakhir aku melihat intel itu menyalamkan sesuatu kepada kepling dan mengucapkan terima kasih atas kerja samanya. Kawan-kawan kami pun dibawa, lalu pemuda setempat dan kepling mengatakan bahwa selama sekretariat kosong, pihak intel kepolisian bersembunyi dibelakang sekretariat kami. Lalu ada 1 intel ketinggalan helmnya, dan terakhir mengatakan kepada kepling dan pemuda setempat, “jalankan sesuai rencana”. Apa maksud dari semua ini ? pihak kepolisian harus bertanggung jawab akan hal ini”.

Pada pukul 13.30 wib Rektor ITM beserta beberapa jajarannya pergi ke mapolresta medan. Namun, setelah rektor kembali pada sore hari menuju kekampus pada pukul 15.30 wib tanpa membawa kedua mahasiswa ITM yang bernama Fikri Arief & Fadel M.Harahap. rektor mengatakan bahwa pihaknya tidak dapat bertemu dengan Kanit Intel sehingga tidak bisa bertemu dengan mahasiswanya yang ditangkap, apalagi untuk membebaskan.  Sore harinya mahasiswa ITM yang tergabung dalam aliansi masih tetap melakukan aksi dengan menyandera mobil berplat merah (kendaraan pemerintah).

Aksi mahasiswa di Hardiknas meninggalkan teror kepada para mahasiswa melalui penangkapan maupun penggrebekan sekretariat organisasi yang dilakukan satuan kepolisian. Hingga saat ini intel pihak kepolisian masih tetap berada diareal sekretariat dari organisasi yang menjadi korban penggerebekan maupun areal kampus seperti di ITM & USU. Ini jelas tidak sesuai dengan amanat UUD 1945 Pasal 28 yang berbunyi, “kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan maupun tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang. Dan setelah reformasi, melalui perubahan kedua UUD 1945 pada tahun 2000, dalam pasal 28E ayat (3) UUD 1945 yang menyatakan, “setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat”. Dengan demikian UUD 1945 secara langsung dan tegas memberikan jaminan kebebasan untuk berserikat atau berorganisasi (freedom of association), kebebasan berkumpul (freedom of assembly), dan kebebasan mengatakan pendapat (freedom of expression). Undang-undang ini diperuntukkan bukan hanya bagi warga Indonesia saja, tetapi juga bagi setiap orang yang artinya termasuk juga orang asing yang berada di Indonesia.

Polrestabes medan juga sudah mengabaikan hak para tahanan dengan tidak mengizinkan keluarga dan advokat untuk bertemu dengan para tahanan sejak penangkapan (Selasa, sekitar pukul 19.00 wib). Oleh karena itu, tindakan aparat kepolisian yang merepresif, menyerang masuk kedalam kampus, lengkap dengan kekuatan bersenjatanya bukan hanya mencerminkan tindakan yang sewenang-wenang & berlebihan, melainkan juga bentuk pengekangan dan pelanggran keras terhadap kebebasan berkumpul dan bersuara serta intimidasi terhadap kehidupan kampus sangat jelas sudah bertolak belakang dengan nilai-nilai demokrasi. Penggrebekan sekretariat organisasi serta penangkapan para aktivis mahasiswa yang tidak berlandaskan dengan pasal apapun, ditambah lagi dengan tidak adanya surat penangkapan resmi yang sangat cacat adsminitrasi merupakan suatu bentuk kebobrokan instansi kepolisian dalam menjalankan amanat UUD 1945 sebagai pemegang otoritas hukum tertinggi. Selain itu, tindakan kepolisian yang tidak mengizinkan pihak keluarga dan advokat untuk menemui tahanan patut ditinjau kembali. Akibat sikap arogansi ini hak-hak mahasiswa yang sedang ditahan, terutama hak untuk didampingi penasehat hukum telah diabaikan oleh pihak kepolisian. Dan kepolisian sudah tidak koorperatif lagi dalam menjalankan tugasnya.

 

Narahubung:

Rizki Hidayat (Sekjend PPMI DK Surakarta: 085867489655)

Kategori
Siaran Pers

PPMI Bali: Tolak Intimidasi Terhadap Pers Mahasiswa, Bebaskan Reporter LPM BOM Institut Teknologi Medan

Lembaga pers mahasiswa merupakan lembaga yang dibentuk oleh mahasiswa dalam suatu kampus untuk menjalankan tugas-tugas jurnalistik serta menjadi media alternatif bagi masyarakat luas, ditengah pemberitaan oleh media pers pada umumnya. Keberadaannya dijamin oleh kampus dan Undang-Undang Republik Indonesia. Jika terjadi tindakan represif dan atau intimidasi terhadap pers mahasiswa maka itu adalah sebuah Penindasan dan Pelanggaran Undang-Undang (UU).

Setelah sekian banyak kasus intimidasi yang dialami oleh pers mahasiswa di beberapa kampus. Kasus ini terjadi kembali, tugas-tugas jurnalistik yang dilakukan Fikri Arif dan Fadel Muhammad Harahap dari LPM Bursa Obrolan Mahasiswa (BOM) Institut Teknologi Medan (ITM) mendapat intimidasi dari pihak Kepolisian Resor Kota Besar (Polrestabes) Medan. Hal ini bisa saja menjadi pertanda tak dipahaminya konteks kebebasan Pers oleh aparat penegak hukum secara penuh. Padahal, di era reformasi ini, kebebasan insan Pers dalam melakukan kegiatan jurnalistiknya telah dijamin oleh UU no. 40 tahun 1999. Sementara kebebasan melakukan aksi dijamin dalam UU no 9 tahun 1998 pasal 2 yang berbunyi: “Setiap warga negara, secara perorangan atau kelompok, bebas menyampaikan pendapat sebagai perwujudan hak dan tanggung jawab berdemokrasi dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.”

Dengan begitu, sangat tidak patut jika aparatur negara justru mengebiri hak-hak dasar warga negara yang telah diatur dalam perundang-undangan itu. Apalagi, terdapat dugaan bahwa ada oknum yang melakukan penangkapan terhadap dua anggota persma LPM BOM juga melakukan tindak kekerasan terhadap mereka dalam bentuk pemukulan karena ditemukan luka-luka pada tubuh Fikri dan Fadel. Tentu saja kejadian ini sudah sangat melenceng dari tugas aparatur saat terjadi aksi penyampaian pendapat di publik yang diatur dalam UU no 9 tahun 1998 pasal 7, yang berbunyi:

Dalam pelaksanaan penyampaian pendapat di muka umum oleh warga negara. Aparatur pemerintah berkewajiban dan bertanggung jawab untuk : a) melindungi hak asasi manusia; b) menghargai asas legalitas; c) menghargai prinsip praduga tidak bersalah; dan d) menyelenggarakan pengamanan.

 

Berikut rangkuman kronologi kasus penangkapan reporter LPM BOM :

Tanggal 1 dan 2 Mei 2017, Reporter LPM BOM meliput aksi Konsolidasi Akbar Gerakan Mahasiswa SUMUT. Kira-kira pukul 19.00-19.30 WIB pihak kepolisian berhasil mengamankan 6 orang mahasiswa. 3 mahasiswa berasal dari USU, 2 mahasiswa berasal dari ITM, 1 mahasiswa berasal dari Univeritas Dharma Agung. 2 mahasiswa (Risky dan Aziz) USU diamankan saat mereka hendak mengambil sepeda motor yang diparkir di pintu I USU. 1 mahasiswa (Mensen) diamankan di depan fakultas ilmu budaya USU. 1 mahasiswa Dharma Agung diamankan di pintu I USU saat mahasiswa tersebut sedang melakukan peliputan berita aksi tersebut. 2 orang mahasiswa ITM ditangkap di depan pintu I USU saat melakukan tugas meliput aksi demonstrasi tersebut. Mensen yang diamankan dari dalam kampus mendapatkan pemukulan dari pihak kepolisian.

Selasa (2/5), Pukul 11.00-15.00 WIB, tim pengacara yang mengatasnamakan Tim KORAK (Koalisi Rakyat Anti Kriminalisasi) terdiri dari BAKUMSU, KONTRAS dan LBH Medan mencoba melakukan audiensi dengan Kasat Intel Polresta dalam rangka mempertanyakan mahasiswa yang sedang ditahan oleh Polresta Medan, namun tidak terlaksana karena pihak polisi mengatakan Kasat Intel tidak ada di kantor. Pihak Polresta tidak mengijinkan Tim KORAK untuk berjumpa dengan mahasiswa yang ditahan dengan alasan belum 1 x 24 jam. Pukul 13.40 mahasiswa atas nama Solidaritas Mahasiswa Medan (SOLMED) melakukan aksi demonstrasi didepan kantor polrestabes medan dengan tuntutan meminta agar mahasiswa yang ditangkap segera dibebaskan. Aksi berlangsung dengan tertib walau pihak kepolisian mencoba memprovokasi massa dengan melakukan pengamanan berlebihan yang mendatangkan pasukan sabhara kembali. Pukul 15.00 WIB aksi SOLMED bubar di taman budaya sumatra utara. Malam harinya, 3 mahasiswa yang ditangkap oleh polrestabes medan dikeluarkan karena tidak terbukti terlibat aksi tersebut. Mereka adalah abdul aziz panjaitan, rizki halim, & juprianto.

Rabu (3/5), 3 orang mahasiswa yang masih ditahan telah ditetapkan sebagai tersangka oleh polrestabes medan, mereka adalah fikri arif, fadel m.harahap, & sier mensen. 1 orang warga sipil bernama erlangga kurniawan. Sekitar pukul 18.30 WIB seorang mahasiswa bernama Syahyan P.Damanik dari Lembaga Pers Mahasiswa ITM ditangkap oleh aparat keamanan disekitar kampus ITM dan dibawa ke polreta medan.

Sabtu (6/5) dan Selasa (9/5), Gumilar Aditya Nugroho selaku kuasa hukum baru bisa menemui ketiga mahasiswa tersebut padahal penahanan sudah dilakukan sejak Selasa lalu

(2/5). Hingga Rabu (10/5) pengacara yang mendampingi mahasiswa ITM dan USU belum mendapatkan turunan berkas acara penyelidikan (BAP) dari pihak penyidik. Hal ini membuat proses pembelaan kepada mahasiswa yang ditahan di Kepolisian Resor Kota Besar (Polrestabes) Medan menjadi terhambat.

Polrestabes Medan sudah melakukan tindakan yang merepresif, menyerang masuk kedalam kampus, lengkap dengan kekuatan bersenjatanya bukan hanya mencerminkan tindakan yang sewenang-wenang & berlebihan, melainkan juga bentuk pengekangan dan pelanggaran keras terhadap kebebasan berkumpul dan bersuara serta intimidasi terhadap kehidupan kampus sangat jelas sudah bertolak belakang dengan nilai-nilai demokrasi. Penggrebekan sekretariat organisasi serta penangkapan para aktivis mahasiswa yang tidak berlandaskan dengan pasal apapun, ditambah lagi dengan tidak adanya surat penangkapan resmi yang sangat cacat adsminitrasi merupakan suatu bentuk kebobrokan instansi kepolisian dalam menjalankan amanat UUD 1945 sebagai pemegang otoritas hukum tertinggi. Selain itu, tindakan kepolisian yang tidak mengizinkan pihak keluarga dan advokat untuk menemui tahanan patut ditinjau kembali. Akibat sikap arogansi ini hak-hak mahasiswa yang sedang ditahan, terutama hak untuk didampingi penasehat hukum telah diabaikan oleh pihak kepolisian. Dan kepolisian sudah tidak koorperatif lagi dalam menjalankan tugasnya.

 

Melihat kondisi demokratisasi dalam negara Indonesia sudah diingkari dengan intimidasi dan sikap represif dari pihak kepolisian, maka kami dari PPMI Bali menuntut :

  1. Lakukan transparansi proses hokum yang dilakukan Polrestabes Medan terhadap reporter LPM BOM
  2. Bebaskan semua reporter LPM BOM yang ditahan oleh Polrestabes medan.
  3. Hentikan tindakan represif TNI/POLRI terhadap kebebasan berkumpul dan bersuara.
  4. Adili seadil-adilnya pelaku pemukulan reporter LPM BOM saat meliput aksi Hardiknas.
  5. Polrestabes harus meminta maaf kepada kedua reporter dan kepada LPM BOM ITM secara tertulis.
  6. Tegakkan amanat Undang-Undang No. 40 tahun 1999 tentang kebebasan Pers
  7. Tegakkan amanat UUD Negara Republik Indonesia tahun 1945 pasal 28E ayat (3)
  8. POLRI dan KOMNASHAM harus menindak jajaran Polretabes Medan yang telah mengabaikan HAM para aktivis mahasiswa yang ditahan.
  9. Mengecam segala bentuk tekanan secara fisik dan mental yang bertujuan untuk membatasi kerja-kerja jurnalistik dalam hal mendapatkan, mengelola, dan menyebarkan informasi yang menimpa LPM BOM ITM
  10. Memberikan hak pendampingan kepada para mahasiswa yang ditahan. Hal ini juga diatur dalam Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang No 16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum serta Surat Edaran Mahkamah Agung No 10 tahun 2010 tentang Pedoman Pemberian Bantuan Hukum

 

Demikian pernyataan sikap ini dibuat agar Polrestabes Medan dapat mempertimbangkan penangkapan kawan-kawan LPM Bursa Obrolan Mahasiswa. Kasus penangkapan ini merupakan tindakan yang mencoreng kebebasan pers. Semoga kawan-kawan LPM BOM dan USU dapat segera dibebaskan dan kejadian ini tidak terulang kembali.

Salam Persma!

 

Narahubung:

Bagus Putra Mas (Sekjend PPMI Kota Bali: 085738218816)

Yoko Sunarma Yasa (BP Advokasi PPMI Kota Bali: 981916756148)

Kategori
Siaran Pers

Resolusi PPMI DK Manado Menyikapi Ditahannya Reporter LPM BOM

Dalam menyikapi ketidakadilan dan penyimpangan yang terjadi di dalam prosedur penanganan hukum yang dilakukan oleh Aparat Kepolisian di Kota Medan, Sumatera Utara, terkait ditangkapnya dua orang (Fikri Arif dan Fadel Muhammad Harahap) anggota Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Bursa Obrolan Mahasiswa (BOM) Institut Teknologi Medan (ITM) saat melakukan kegiatan peliputan sebuah aksi unjuk rasa pada Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas), Selasa (2/5/2017). Maka dari itu, PPMI DK Manado mengeluarkan resolusi ini sebagai bentuk kecaman kepada pihak Aparat Kepolisian di Polrestabes Medan atas tindakan yang tidak terpuji dan telah mengkriminalisasi pegiat Jurnalistik (Pers Mahasiswa) yang sedang melakukan kegiatan peliputan.

Penangkapan kedua orang anggota persma tersebut, disebabkan oleh pihak Aparat Kepolisian yang telah menuduh mereka terlibat dalam pemukulan Personil Intelijen Aparat yang terjadi saat rusuhnya unjuk rasa yang dilakukan oleh Aliansi Konsolidasi Gerakan Mahasiswa Sumatra Utara dalam menanggapi momentum Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas) di Kampus University Of North Sumatera (USU), Medan, Sumatera Utara.

Setelah hampir 2 minggu mendekam di Polrestabes Medan, kini kondisi ketiga orang tersebut sangat mengkhawatirkan. Terpantau di lokasi, Fikri dan Fadel yang sudah mengenakan baju tahanan, di sekujur wajah mereka telah dipenuhi dengan luka lebam dan beberapa luka fisik lainnya.

Sampai saat ini upaya hukum masih terus dilakukan oleh berbagai elemen yang terkait, guna membebaskan ketiga orang anggota LPM BOM ITM tersebut. Adapun upaya penangguhan sedang diupayakan sampai saat ini, mengingat selama berada di Polrestabes ketiga orang tersebut sering diintimidasi secara psikis dan fisik. Tak kala kekerasan fisik sering sering mereka alami dari para Aparat Kepolisian di tempat.

 

Berdasarkan itu, kami Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia (PPMI) Dewan Kota (DK) Manado dengan dilandasi oleh rasa solidaritas dan rasa prihatin menanggapi begitu banyaknya fenomena di lapangan yang melibatkan Aparat Kepolisian yang sering bertindak semena-mena kepada masyarakat sipil, seperti halnya melakukan tindak kekerasan dan kontak fisik yang tidak diperlukan dalam menjalankan Standard Operating Procedure (SOP) di lapangan. Maka dari itu, PPMI DK Manado akan menyampaikan resolusi sikap sebagai berikut:

  1. Polrestabes Medan harus segera membebaskan Fikri Arif dan Fadel Muhammad Harahap supaya bisa melakukan tugas-tugas jurnalistiknya dan terpenuhi hak-hak asasinya sebagai warga negara.
  2. Polrestabes Medan semestinya mematuhi amanah konstitusi yang termaktub pada Pasal 28 UUD 1945 terkait kemerdekaan berserikat dan berkumpul, juga berpendepat secara lisan maupun tulisan bagi warga negara. Apalagi mengingat peran kepolisian sebagai institusi penegak hukum, sudah seharusnya Polrestabes Medan tidak menistakan amanah konstitusi tersebut.
  3. Polrestabes Medan tidak boleh melakukan tindak kekerasan fisik dan psikis selama Fikri Arif dan Fadel Muhammad Harahap dalam proses penahanan.
  4. Polrestabes Medan harus menjamin keadilan Fikri Arif dan Fadel Muhammad Harahap sebagai pihak tertuduh; serta tidak melakukan intimidasi-intimidasi dan menjadikannya sebagai sasaran kesalahan.
  5. Polri dan Kemenristekdikti harus peduli terhadap tragedi yang menimpa Fikri Arif dan Fadel Muhammad Harahap dengan cara menegur Polrestabes Medan supaya kasus-kasus represivitas yang dilakukan institusi kepolisian terhadap hak-hak asasi warga negara seperti mahasiswa bisa dicegah.

 

 

Narahubung:

Hisbun Payu (Sekjend PPMI DK Manado): 085256567849

Kategori
Siaran Pers

PPMI: Polrestabes Medan Harus Meminta Maaf dan Segera Bebaskan Reporter LPM BOM ITM

Salam Persma, Hidup Mahasiswa, Lawan Penindasan!

2 Mei 2017 merupakan hari nahas bagi Fikri Arif dan Fadel Muhammad Harahap. Keduanya merupakan reporter Lembaga Pers Mahasiswa Bursa Obrolan Mahasiswa (LPM BOM), Institut Teknologi Medan (ITM). Ketika sedang bertugas meliput aksi Hardiknas yang digalang oleh aliansi Konsolidasi Gerakan Mahasiswa Sumatra Utara, mereka berdua ditangkap aparat Kepolisian Resor Kota Besar (Polrestabes) Medan.

Tak hanya penangkapan, melalui rilisan kronologi yang dilansir Persma.org, Syahyan P. Damanik, Pemimpin Umum (PU) LPM BOM, menyatakan bahwa dua anggotanya mengalami kekerasan fisik. Syahyan menjelaskan bahwa Fikri mengalami lebam di wajah dan penglihatan mata kirinya menjadi kabur sedangkan Fadel mengalami luka di kepala.

Sementara, pihak kepolisian menuduh anggota LPM BOM telah melakukan pemukulan terhadap personil intelijen aparat sebagai alasan penangkapan dan penahanan mereka berdua selama sepekan lebih ini. Hingga pernyataan sikap ini dirilis, Fikri dan Fadel pun masih ditahan pihak kepolisian.

Melihat narasi kasus tersebut, Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia (PPMI) tidak membenarkan tindak kesewenangan yang dilakukan aparat Polrestabes Medan. Aparat kepolisian seharusnya bertindak  kooperatif kepada para pelaku jurnalistik di medan peliputan. Apalagi, mengingat aktivitas peliputan ini begitu penting untuk memproduksi konten informasi kepada khalayak pembaca media pers mahasiswa (persma). Dengan melakukan penangkapan dan penahanan, Polrestabes Medan telah menghalangi aktivitas jurnalistik yang dilakukan reporter LPM BOM.

Penangkapan dan penahanan tersebut juga merupakan wujud tindakan meremehkan pentingnya kinerja jurnalistik persma. Sehingga, represivitas kepolisian bisa mengganggu produktivitas kinerja persma. Hal semacam ini kemungkinan besar bisa dialami pula oleh persma-persma lainnya.

Menurut kami, kegiatan jurnalistik yang dilakukan persma bukanlah kegiatan remeh walaupun bukan sebagai profesi. Kegiatan jurnalistik persma juga sama pentingnya dalam hal menyampaikan transparansi informasi dan pengunggahan aspirasi kepada publik. Kegiatan ini juga memiliki risiko yang sama besarnya dengan jurnalistik profesional. Walaupun sampai hari ini belum ada jaminan hukum pers yang pasti untuk aktivitas jurnalistik persma, namun menghormati aktivitas kami —–sama halnya dengan yang dilakukan Fikri dan Fadel —–merupakan keharusan yang dipatuhi oleh aparat penegak hukum.

Mengingat, aktivitas ini merupakan upaya pemenuhan hak-hak asasi warga negara sekaligus upaya kontrol terhadap dinamika sosial-politik melalui pers. Juga, bila dituju pada landasan hukum yang lebih mendasar, upaya jurnalistik persma merupakan pelaksanaan amanah Pasal 28 UUD 1945 tentang kemerdekaan berserikat dan berkumpul, dan berpendapat melalui lisan maupun tulisan bagi warga negara. Maka, apabila aparat negara dengan sengaja menghambat upaya-upaya kejurnalistikan persma, itu artinya sama saja dengan menghambat pemenuhan hak-hak asasi warga negara.

Yang pasti, kami mendesak kepada aparat penegak hukum untuk bisa menghormati upaya-upaya yang dilakukan oleh para jurnalis persma seperti Fikri dan Fadel dan juga mau berlaku kooperatif bagi kalangan yang sedang memperjuangkan hak-hak asasi dan kebebasan berekspresinya sebagai warga negara. Dan, tragedi yang menimpa Fikri dan Fadel merupakan perpanjangan narasi hitam aparat kepolisian yang begitu jauh dari kesan kooperatif dalam tugas mengawal hak-hak asasi warga negara. Sekali lagi, kami tidak akan membiarkan kejadian di Medan tersebut berlalu begitu saja.

 

Melihat betapa mirisnya kasus ini dan pentingnya penghormatan atas kinerja-kinerja kejurnalistikan persma, PPMI menyerukan hal-hal berikut:

  1. Polrestabes Medan harus meminta maaf kepada Fikri Arif, Fadel Muhammad Harahap, LPM BOM ITM, dan para pegiat jurnalistik karena telah melakukan upaya-upaya penghambatan kinerja jurnalistik melalui tindakan penangkapan dan penahanan dua orang reporter LPM BOM ITM.
  2. Polrestabes Medan harus segera membebaskan Fikri Arif dan Fadel Muhammad Harahap supaya bisa melakukan tugas-tugas jurnalistiknya dan terpenuhi hak-hak asasinya sebagai warga negara.
  3. Polrestabes Medan semestinya mematuhi amanah konstitusi yang termaktub pada Pasal 28 UUD 1945 terkait kemerdekaan berserikat dan berkumpul, juga berpendepat secara lisan maupun tulisan bagi warga negara. Apalagi mengingat peran kepolisian sebagai institusi penegak hukum, sudah seharusnya Polrestabes Medan tidak menistakan amanah konstitusi tersebut.
  4. Polrestabes Medan tidak boleh melakukan tindak kekerasan fisik dan psikis selama Fikri Arif dan Fadel Muhammad Harahap dalam proses penahanan.
  5. Polrestabes Medan harus menjamin keadilan Fikri Arif dan Fadel Muhammad Harahap sebagai pihak tertuduh; serta tidak melakukan intimidasi-intimidasi dan menjadikannya sebagai sasaran kesalahan.
  6. Polri dan Kemenristekdikti harus peduli terhadap tragedi yang menimpa Fikri Arif dan Fadel Muhammad Harahap dengan cara menegur Polrestabes Medan supaya kasus-kasus represivitas yang dilakukan institusi kepolisian terhadap hak-hak asasi warga negara seperti mahasiswa bisa dicegah.
  7. Menghimbau para pegiat jurnalistik; terkhusus persma, dan kalangan pendukung hak-hak berekspresi untuk bersama-sama mendesak Polri, Kemenristekdikti, dan Polrestabes Medan supaya keadilan hukum dan pemenuhan hak-hak asasi Fikri Arif dan Fadel Muhammad Harahap bisa terwujud.

 

Demikian pernyataan sikap dan tuntutan-tuntutan PPMI terkait tragedi yang menimpa Fikri Arif dan Fadel Muhammad Harahap; dua reporter LPM BOM ITM. Selanjutnya, kami meminta Polrestabes Medan untuk bisa mempelajari lagi amanah Pasal 28 UUD 1945, serta UU No. 8/1981 Tentang KUHAP dan Perkapolri No. 8/2009 Tentang Polri dan Standar HAM supaya hak-hak asasi Fikri Arif dan Fadel Muhammad Harahap selaku pihak tertuduh tidak dinista oleh institusi kepolisian.

Jika ada itikad dan kelakuan baik Polrestabes Medan untuk menuruti tuntutan-tuntutan kami, kami ucapkan terima kasih secukupnya.

Salam Juang, Sambungkan Perlawanan!

 

Narahubung:

Imam Abu Hanifah (BP Advokasi PPMI: 085696931450)

Irwan Sakkir (Sekjend PPMI: 081248771779)

Kategori
Siaran Pers

PPMI Kota Malang: Bebaskan Reporter LPM BOM dan Aktivis USU yang Ditahan oleh Polrestabes Medan

Baru saja insan Pers seluruh dunia merayakan Hari Kebebasan Pers Dunia pada 3 Mei 2017 lalu. Namun, upaya pemberangusan terhadap nilai-nilai kebebasan pers masih terjadi di tanah Indonesia. Ironisnya, upaya pemberangusan nilai demokrasi ini dilakukan oleh oknum Polisi yang seharusnya memberi perlindungan terhadap warga negara. Kriminalisasi terhadap insan Pers Mahasiswa ketika sedang menjalankan tugas sebagai agen penyampai informasi terjadi lagi. Kali ini tindakan kesewenangan oknum aparat penegak hukum itu meninpa dua Pers Mahasisa LPM Bursa Obrolan Mahasiswa (BOM) Institut Teknologi Medan (ITM) dan satu aktivis Universitas Sumatera Utara (USU).

Hal ini bisa saja menjadi pertanda tak dipahaminya konteks kebebasan Pers oleh aparat penegak hukum secara penuh. Padahal, di era reformasi ini, kebebasan insan Pers dalam melakukan kegiatan jurnalistiknya telah dijamin oleh UU no. 40 tahun 1999. Sementara kebebasan melakukan aksi dijamin dalam UU no 9 tahun 1998 pasal 2 yang berbunyi: “Setiap warga negara, secara perorangan atau kelompok, bebas menyampaikan pendapat sebagai perwujudan hak dan tanggung jawab berdemokrasi dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.”

Dengan begitu, sangat tidak patut jika aparatur negara justru mengebiri hak-hak dasar warga negara yang telah diatur dalam perundang-undangan itu. Apalagi, terdapat dugaan bahwa ada oknum yang melakukan penangkapan terhadap dua persma LPM BOM dan satu aktivis USU juga melakukan tindak kekerasan terhadap mereka. Tentu saja kejadian ini sudah sangat melenceng dari tugas aparatur saat terjadi aksi penyampaian pendapat di publik yang diatur dalam UU no 9 tahun 1998 pasal 7, yang berbunyi:

Dalam pelaksanaan penyampaian pendapat di muka umum oleh warga negara. Aparatur pemerintah berkewajiban dan bertanggung jawab untuk : a) melindungi hak asasi manusia; b) menghargai asas legalitas; c) menghargai prinsip praduga tidak bersalah; dan d) menyelenggarakan pengamanan.

 

Berikut kronologi ditangkapnya Persma LPM BOM ITM yang diunggah laman persmahasiswa.id :

Saat terjadi aksi demonstrasi yang dilakukan oleh aliansi Konsolidasi Gerakan Mahasiswa Sumatra Utara dalam menanggapi momentum Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas) di Simpang Pos Padang Bulan, Pimpinan Redaksi (Pimred) Lembaga Pers Mahasiswa – Institut Teknologi Medan (LPM – ITM) menugaskan 3 orang Badan Pengurus Harian (BPH) untuk meliput aksi tersebut. Tepat pukul 13.30 WIB, Jackson Ricky Sitepu sampai di lokasi dan segera melakukan peliputan sebagai mana mestinya dan disusul juga oleh Fikri Arif yang tiba di lokasi. Berbeda dengan Fadel yang memang telah hadir di lokasi sejak pagi hari namun baru mendapatkan surat tugas pada siang hari.

Saat melakukan peliputan di Simpang Pos, keadaan baik-baik saja tanpa terjadi sebuah pelanggaran Kode Etik Jurnalistik. Bahkan saat masa aksi melakukan perjalanan dari Simpang Pos sampai ke lampu merah Simpang Kampus Universitas Sumatra Utara (USU) masih tetap melakukan tugas-tugas pers dengan profesional. Namun situasi massa memanas saat ban bekas mulai dibakar oleh massa dan pihak kepolisian berdatangan beserta kendaraan barakudanya, namun ketiga wartawan tersebut tetap berada dekat pada barisan kepolisian dan Brimob. Situasi semakin memanas saat massa aksi berpindah ke depan pintu gerbang taman kampus USU dan kembali membakar ban.

Provokasi-provokasi dari berbagai pihak baik masyarakat, pereman setempat dan Intel mulai mewarnai aksi mahasiswa tersebut sehingga terjadi bentrokan secara tiba-tiba antara massa aksi dengan masyarakat dan pihak aparatur negara. Ketiga wartawan kami masih berada dekat barisan aparatur negara yang semakin mendekat kegerbang kampus USU bahkan sampai masuk kedalam kampus.

Saat berada di dalam kampus, kira-kira 10 meter dari gerbang wartawan kami dengan nama Jackson Ricky Sitepu dihalangi oleh masyarakat yang kabarnya adalah Intel. Sebelum meninggalkan lokasi, Ricky Jakson Sitepu sempat melihat Fadel Muhammad Harahap ditarik masyarakat dan jatuh tersungkur ke aspal. Sementara itu Fikri Arif tidak dapat terlihat lagi dilapangan.

Saat dihubungi Pimpinan Umum, kedua wartawan LPM BOM ITM mengatakan bahwa mereka telah berada di kantor Polrestabes Medan. Mereka ditangkap oleh kepolisian saat melakukan tugas reportasenya, meskipun mereka sudah menunjukkan surat tugas kepada masyarakat dan kepolisian saat peliputan. Namun pihak kepolisian tidak menanggapi dengan baik dan tetap menahan mereka. “Kami ditangkap Wa, udah kami tunjukkan surat tugas tapi gak percaya orang itu, cepatlah kesini Wa, udah mau geger otak aku.” ucap Fadel Muhammad Harahap melalui telephon genggam sebelum akhirnya ketahuan oleh polisi dan putus komunikasi.

 

Maka berdasarkan hal itu, PPMI Kota Malang menuntut:

  1. Bebaskan Pers Mahasiswa LPM BOM Institut Teknologi Medan dan Aktivis Universitas Sumatera Utara.
  2. Menuntut pihak kepolisian Polrestabes Medan untuk meminta maaf terhadap LPM BOM dan Mahasiswa USU.
  3. Mengadili oknum yang melakukan tindakan kekerasan terhadap Pers Mahasiswa dan Aktivis yang mengikuti aksi Hardiknas.

 

 

Narahubung:

Faizal Ad D., Sekjen PPMI Malang (085748181529)