Kategori
Diskusi Esai

Covid-19 Belum Berakhir, Pangan: Krisis, Ekologis dan Tangis

Pembatasan sosial dan skema penguncian (lockdown) yang diterapkan di banyak negara akan mempengaruhi produksi pertanian global. Food and Agriculture Organization (FAO) telah memperingatkan terjadinya kelangkaan pangan di tengah pandemi Covid-19. Pemerintahan harus secara cepat mampu mengantisipasi peringatan FOA untuk menjaga ketersediaan pangan dan menyelamatkan petani.

Soal kebutuhan pangan khususnya bahan pokok seperti beras, Indonesia masih menggantungkan hidupnya dengan negara lain. Tentu ada banyak sekali bahan pokok lainnya yang diimpor oleh Indonesia. Namun beras bisa jadi contoh yang mudah untuk menggambarkan bagaimana krisis pangan akan terjadi di Indonesia.

Setidaknya ada dua negara pengekspor beras yang menjadi langganan Indonesia,  yakni Thailand dan Vietnam. Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) pada bulan Oktober 2019, impor beras dari Vietnam mengalami kenaikan dari tahun 2017 sebesar 16.599,9 ton menjadi 767.180,9 ton di tahun 2018. Diikuti jumlah impor dari Thailand 108.944,8 ton di tahun 2017 menjadi 795.600,1 ton pada 2018.

Ketergantungan impor beras Indonesia telah menjadi lagu lama. Sejak krisis ekonomi 1998, ketergantungan akan beras impor menjadi solusi dalam pemenuhan kebutuhan sekaligus menekan kenaikan harga.

Ketika emak-emak di pasar berteriak harga beras naik akibat gagal panen, dll- sejurus kemudian pemerintah keluarkan kebijakan impor beras. Logika ekonomi yang sederhana, semakin banyak barang yang beredar di pasar maka semakin murah harganya.

Thailand dan Vietnam seolah menjadi dewi fortuna Indonesia khususnya dalam hal beras. Celakanya kini, kedua negara ini telah membatasi ekspor beras mereka ke negara lain. Motifnya sederhana, beras tersebut dipakai untuk memberikan makan rakyatnya. Karena, baik Thailand maupun Vietnam sedari awal kejadian Covid-19 di Wuhan telah meng–karantina wilayahnya.

Negara penyetok pangan ke Indonesia, kini harus membatasi pengiriman beras. Alhasil kelangkaan beras di negeri agraris ini pasti akan terjadi. Jika berkelanjutan, defisit stok pangan dapat berubah menjadi krisis pangan. Sebagai solusinya, Presiden Joko Widodo memerintahkan Kementerian Pertanian bersama beberapa BUMN untuk mencetak lahan sawah baru dengan target seluas 900.000 hektar, termasuk lahan gambut, lahan basah, dan lahan kering. Namun, wacana tersebut menuai polemik di ranah publik.

Seperti sebelumnya, lahan selama ini menjadi masalah besar di sektor pertanian. Banyak lahan pertanian yang telah dikonversi untuk pengembangan industri, infrastruktur dan lainnya. Dilaporkan oleh Indonesia Development and Islamic Studies (IDEAS) yang dipublikasi pada April 2019 lalu dengan judul “Tol Terbilang, Sawah Hilang: Harga Mahal Trans Jawa“.

Dalam laporan tersebut IDEAS menyebutkan, sepanjang tahun 2015 hingga 2018 tercatat 680,4 Km jalan tol di Jawa yang telah dibangun. Sebagian besar jalan tol tersebut dibangun diatas lahan pertanian, terutama sawah. Lahan sawah yang dikorbankan untuk pembangunan jalan tol tersebut seluas 4.457 hektar.

Tak berhenti sampai di sini, ambisi pemerintah dalam membangun jalan tol pada periode 2019 hingga 2021 (saat ini dalam proses konstruksi) mencapai 766,1 km. Angka 766,1 km ini pun harus dibayar dengan hilangnya lahan pertanian (sawah) seluas 9.475 hektar.

Angka ini belum termasuk dalam perhitungan konservatif lahan,  akibat adanya jalan tol yang dibangun. Tentunya lahan pertanian yang berada di sekeliling pintu gerbang tol menjadi sangat strategis.

IDEAS memperkirakan, dari 680,4 Km jalan tol yang dibangun sepanjang 2015-2018, akan memicu konversi lahan pertanian hingga 49 ribu hektar atau setara dengan luas seluruh sawah di Kabupaten Sukabumi.

Sementara 766,1 Km jalan tol yang akan beroperasi pada 2019-2021, diperkirakan akan memicu konversi lahan pertanian hingga 70 ribu hektar, setara dengan luas seluruh sawah di Kabupaten Bojonegoro.

Data lain menyebutkan, sepanjang tahun 2013 hingga 2018, terjadi konversi lahan sawah seluas 181 ribu hektar di seluruh Jawa. Sepuluh kabupaten yang kehilangan sawah terbesar atau ± 5 ribu hektar, adalah Banyuwangi, Bandung, Serang, Demak, Jember, Cirebon, Bangkalan, Grobogan, Lamongan dan Brebes. Atau dengan kata lain, pulau Jawa kehilangan hampir 100 ribu hektar sawah dalam 5 tahun terakhir.

Data Badan Pusat Statistik (BPS) juga mencatat antara 2018 dan 2019, luas panen padi berkurang dari 11,4 juta hektar menjadi 10,7 juta hektare.

Dampak dari lahan pertanian yang berkurang dan tingginya impor beras Indonesia, membuat ratusan petani beralih profesi. Bahkan data dari BPS menunjukan, selama 10 tahun terakhir setidaknya ada 5 juta petani yang beralih profesi ke sektor lain, khususnya menjadi buruh.

Tak hanya itu, kuota pupuk bersubsidi dari pemerintah yang diberikan kepada petani pun tiap tahunnya ikut menurun. Tahun 2018 kuota pupuk yang diberikan menurun dari tahun sebelum yakni dari 22-24 ribu ton menjadi 20 ribu ton. Angka ini terus menurun di tahun selanjutnya atau hanya sekitar 18 ribu ton di tahun 2019 dan tahun 2020 menurun menjadi 15 ribu ton.

***

Upaya pemerintah untuk memperluas lahan pertanian perlu diapresiasi, namun langkah ini tidak bisa diharapkan sebagai solusi cepat untuk mengatasi krisis pangan selama pandemi Covid-19.

Mencetak lahan pertanian baru membutuhkan waktu yang lama, mulai dari pengelolaan lahan dan proses pertaniannya, apalagi di lahan gambut. Peneliti CIPS Felippa Ann Amanta mengatakan bahwa mencetak lahan pertanian baru tidak bisa membantu kekurangan stok pangan yang terjadi saat ini, bahkan untuk selama Ramadan hingga sampai akhir tahun.  Karakteristik lahan yang dibuka untuk digunakan sebagai lahan pertanian juga belum tentu cocok dan berisiko mengakibatkan gagal panen.

Pengalaman Proyek Pengembangan Lahan Gambut Satu Juta Hektar di Kalimantan Tengah di rezim pemerintahan Soeharto seharusnya bisa jadi pembelajaran bahwa yang terjadi adalah gagal panen dan kerugian besar. Program cetak sawah dengan membuka lahan juga berresiko mengancam ekosistem yang ada.

Pangan memang merupakan kebutuhan mendesak dan prioritas saat ini, namun nasib keberlanjutan lingkungan tentu harus diperhatikan.Pangan dan lingkungan, keduanya mestinya tidak saling dibenturkan. Keduanya bagai dua sisi mata uang yang sangat dibutuhkan bagi manusia. Keduanya justru harus saling mendukung dan bersama-sama menjamin keberlangsungan hidup makhluk hidup termasuk manusia.

Pangan merupakan penjamin kehidupan, sedangkan lingkungan merupakan penjamin keberlanjutan pembangunan. Penyelamatan pangan dan jaminan keberlanjutan lingkungan (ekologis) merupakan dua hal yang harus dihadirkan bersama. Dalam kondisi pandemi Covid-19 ini, tantangan semakin berat dalam menghadirkan keduanya sekaligus.

Keterpenuhan sekarang dan ancaman kerusakan ke depan tentu kurang bijaksana dan hanya menjadi ‘bom waktu’ ancaman selanjutnya. Indonesia sebagai negeri agraris mesti terselamatkan dari darurat pangan.

***

Kendati begitu dalam menghadapi krisis pangan kali ini, pemerintah nampaknya cukup optimis. Terlihat dari pernyataan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto yang menjamin pasokan pangan akan aman selama 3 bulan kedepan.  Optimis serupa pun ditujukan oleh Luhut Panjaitan, bahkan ia tak hanya menjamin beras dan sembako, BBM dan listrik pun dijamin akan aman sentosa selama pandemi.

Namun optimisme kedua menteri ini sejalan dengan kondisi masyarakat dan pasar yang tak beraturan seperti ini? Awal kejadian Covid-19, masker dan hand sanitizer sempat langka, harganya pun ikut melambung tinggi. Pemerintah bahkan tidak mampu mengontrol.

Meningginya harga mungkin tidak dirasakan oleh beberapa pihak. Ketika krisis pangan terjadi, mereka masih mampu untuk membeli bahkan menimbun bahan pangan. Alhasil yang menjadi korban adalah masyarakat kecil yang sedari awal mengagungkan pemerintah dengan program-programnya.

Parahnya pemerintah masih saja mengurusi pasar global. Kebijakan ekonomi makro yang kemudian dituangkan dalam rancangan Perppu 1 tahun 2020 jadi fokus utama, dan melupakan rakyat kecil yang menunggu ketercukupan pangan sehari-hari. Lucunya lagi, anggaran untuk pembangunan masih saja ditingkatkan, sementara untuk pangan mengalami penurunan tiap saat.

***

Memasuki masa ‘new normal’ seperti yang dicanangkan pemerintahan untuk sekedar ‘berdamai dengan Covid-19’ maka sektor pertanian akan memasuki tantangan terberat. Salah satunya adalah ‘bagaimana’ menyerap arus-balik tenaga kerja dari kota ke desa yaitu para korban pemutusan hubungan kerja (PHK) dari sektor industri dan jasa yang “rehat” karena dampak Covid-19. Ditambah pelaku ekonomi informal kota yang pulang kampung karena peluang usaha/kerja yang ikut meredup.

Jika ‘opsi’ pencetakan sawah baru itu dijalankan, bersifat padat mesin sehingga serapan tenaga kerjanya juga kecil. Lantas ke mana pertambahan tenaga kerja di pedesaan, akibat PHK dan pulang kampung terkait Covid-19 akan disalurkan?  

Mereka akan tetap masuk ke sektor pertanian dan menyebabkan kondisi involusi di situ. Suatu kondisi di mana terlalu banyak tenaga kerja menggantungkan nafkah di bidang pertanian yang kapasitasnya terbatas.

The SMERU Research Institute dalam laporan The Impact of Covid-19 Outbreak on Poverty: An Estimation for Indonesia sudah memberi peringatan.  Pada angka pertumbuhan ekonomi 4.2% tahun 2020 (target 5.3%),  tingkat kemiskinan nasional akan naik dari 9.2% (24.8 juta jiwa, 2019) menjadi  9.7% (26.1 juta jiwa).  

Pemerintah sebenarnya sudah mengantisipasi “ledakan” itu dengan menyiapkan program jaring pengaman sosial.  Tapi, kecuali padat karya tunai pedesaan (Rp 10 triliun), program-program itu diperkirakan kurang efektif karena cenderung bias kota (kartu pra-kerja, kartu sembako, BLT, PKH).

Untuk meredam risiko involusi pertanian itu, integrasi fungsi-fungsi jaring pengaman sosial ke dalam program intensifikasi pertanian dapat dipertimbangkan sebagai sebuah strategi. Selain meningkatkan produktivitas,  program sinergi BUMN dan Kementan itu harus meningkatan pula volume kegiatan pangan. 

Caranya, pertama, peningkatan IP sampai 3.0, dua kali tanam padi dan satu kali tanam palawija/hortikultura. Kedua, peningkatan hilirisasi pertanian, khususnya pengolahan dan pemasaran hasil pertanian dan ikutannya. Dengan catatan bahwa strategi ini untuk meningkatkan kondisi sosial dan mencapai keadilan masyarakat tanpa adanya ‘kepentingan’ lain.

Jika masing-masing individu ‘sadar’, seharusnya pandemi telah usai.    

Dua cara itu akan menyerap tambahan tenaga kerja pedesaan dalam jumlah signifikan. Dengan begitu keresahan sosial akibat pengangguran dan kemiskinan, yang bisa berujung kerusuhan sosial, dapat diredam.

Kategori
Diskusi Esai

Lakardowo Vs PT PRIA dan Pergolakan Mencari Keadilan

Selasa, 2 Juni kemarin mungkin menjadi hari yang mengecewakan bagi sebagian warga Lakardowo yang berkumpul di rumah Sutamah. Bagaimana tidak, setelah melalui berbagai upaya hukum, gugatan dari Pendowo Bangkit (Penduduk Lakardowo Bangkit), yakni organisasi masyarakat Desa Lakardowo yang didirikan untuk tujuan mengembalikan kelestarian alam di desanya dari pencemaran yang dilakukan oleh PT. PRIA, ditolak oleh Pengadilan Negeri Mojokerto dengan amar putusan, mengadili (1) Menolak gugatan Penggugat untuk seluruhnya, (2) Menghukum Penggugat untuk membayar biaya perkara sebesar Rp. 1.541.000. Hal ini tentu menjadi pukulan yang begitu menyakitkan bagi warga Lakardowo, layaknya seperti kata pepatah, sudah jatuh tertimpa tangga.

Kekecewaan itu layaknya seperti sudah diperkirakan oleh warga, khususnya Sutamah. Beberapa hari sebelumnya, setelah mendapat kabar bahwa Selasa, 2 Juni 2020 akan dibacakan putusan, ia mengaku merasa khawatir.

“Beberapa hari ini ibu sulit tidur, mikir terus, bagaimana hasil putusan nanti, khawatir terus,” kata Sutamah dalam Bahasa Jawa saat cerita di samping parkiran Pengadilan Negeri Mojokerto itu.

Bagaimana tidak khawatir, warga memang selalu merasa dipermainkan oleh yang punya ‘kuasa’. Sebut saja upaya hukum sebelumnya yang dilayangkan oleh Sutamah dan Rumiati Cs, menggugat agar Surat Keputusan tentang Izin Lingkungan Kegiatan Industri Batako PT. PRIA yang dikeluarkan oleh Bupati Mojokerto dicabut, tidak dikabulkan oleh Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN), yang berarti bahwa warga sudah berkali-kali dikecewakan. Bukan hanya dari hasil putusan hukum, jalur yang ditempuh mulai dari usaha menemui Gubernur Jawa Timur Periode sebelumnya, sampai usahanya ke DPR-RI belum membuahkan hasil yang signifikan.

Awal Kekecewaan

Sejak pukul 9 pagi, warga menunggu untuk pembacaan putusan di PN Mojokerto, termasuk saya dan beberapa kawan mahasiswa yang ikut waktu itu. Seharusnya pembacaan putusan itu pukul 9, namun kami saat itu menunggu cukup lama. Ia menerangkan bahwa kejadian menunggu seperti ini sudah lumrah dan warga juga sudah terbiasa dengan ketidak-profesionalan tersebut.

“Sudah biasa seperti ini, sering molor. Waktu sidang sebelumnya kami juga sering menunggu seperti ini, bertepatan saat puasa, jadi sampai ngantuk,” terang Sutamah.

Kurang lebih dua jam menunggu, akhirnya kuasa hukum dari warga, Rulli Mustika tiba-tiba mengajak warga pulang, hal ini sontak membuat keresahan, berbagai pertanyaan pun muncul, apakah sidang putusan ditunda atau seperti apa. Rulli pun berbicara kepada warga, penjelasannya nanti saja ketika sampai di rumah Sutamah.

“Ini tadi alasan kita balik karena kata panitera hasil putusan akan diumumkan lewat eCourt, dan waktu di jalan tadi sudah diupload keputusannya. Hasilnya, gugatan ditolak dan biaya perkara dibebankan ke warga,” jelas Rulli kepada warga saat berkumpul di rumah Sutamah.

Seketika mendengar penjelasan tersebut warga langsung terdiam tanpa bisa mengatakan apa-apa untuk sesaat, terlihat ekspresi wajah mereka penuh akan kekecewaan, saya menyaksikan dengan mata kepala sendiri bahwa wajah yang sebelumnya penuh harapan kini menunduk lesu dengan air mata yang sedikit lagi hampir keluar, namun mereka tahan.

“Jika dilihat dari awal seharusnya kita (warga) bisa menang mutlak, tapi semua ini seperti dibuat perpolitikan saja,” sahut salah satu warga.

Menanggapi hal tersebut Nurasim atau yang biasa dipanggil Cak Sim, yang mana sebagai ketua dari Pendowo Bangkit menegaskan, “Apapun yang diputuskan oleh hakim, kita harus menghormati, masih banyak cara lain untuk mengusahakan, tidak ada kalah menang, yang penting harus memperjuangkan keadilan.”

Percakapan berlanjut tentang mempertanyakan alasan Hakim memutuskan menolak gugatan. Hal ini dirasa aneh bagi warga, menurut mereka dan kuasa hukumnya tuntutan yang diajukan cukup ringan, tidak muluk-muluk, dan memang seharusnya dimenangkan melihat kondisi desa yang airnya tercemar, banyak yang menderita penyakit kulit yang diduga akibat menggunakan air yang tercemar tersebut akibat kegiatan penimbunan limbah B3 oleh PT. PRIA.

Tuntutan yang diajukan di antaranya: (1) PT. PRIA meminta maaf kepada semua warga Desa Lakardowo dan Desa Sidorejo; (2) PT. PRIA melakukan tindakan pemulihan penimbunan limbah B3 di Desa Lakardowo dan Desa Sidorejo; (3) PT. PRIA taat menjalankan dokumen AMDAL dan aspek hukum, serta lingkungan hidup yang berlaku di Indonesia, dan yang terakhir; (4) PT. PRIA merehabilitasi lingkungan hidup akibat penimbunan limbah B3 dan menghukum tergugat untuk membayar biaya rehabilitasi lingkungan hidup akibat penimbunan limbah B3 di Desa Lakardowo dan Desa Sidorejo. Cukup wajar bukan? Melihat dampak yang ditimbulkan oleh kegiatan penimbunan tersebut maka cukup wajar untuk PT. PRIA bertanggung jawab.

Kembalinya Semangat

Di tengah-tengah suasana hati yang sedih, marah, kecewa itu Cak Sim tiba-tiba ingin menggunduli rambutnya. “Ada gunting dan silet?” tanyanya kepada beberapa warga yang berkumpul di rumah Sutamah itu.

Tak lama Bu Sutamah mengambilkan gunting dan silet. Cak Sim punya alasan tersendiri untuk menggunduli kepalanya. Katanya hal kotor yang ada di kepala harus disingkirkan dulu, dan menurutnya dengan keramas saja tak cukup, jadi harus mencukur habis rambutnya. Hal ini merupakan tindakan simbolis dari Cak Sim untuk mengusir hal-hal kotor yang mengusik di kepala/pikiran, dan fokus untuk berjuang.

Prinsip yang dipegang warga memang begitu dalam artinya untuk memperjuangkan keadilan, bagi mereka keadilan tidak datang dengan sendirinya, keadilan harus diperjuangkan, harus dicari untuk menjadi adil, terlihat bagaimana mereka menyikapi ‘kekalahan’ ini. Seperti yang diungkapkan oleh ketua Pendowo Bangkit tersebut, bahwa ini bukan soal menang atau kalah, ini adalah soal memperjuangkan keadilan. Jika tentang menang atau kalah mungkin perjuangan akan berakhir jika mendapat hasil, entah hasilnya menang atau kalah. Namun ini soal keadilan sampai titik manapun harus diperjuangkan.

Setelah aksi mencukur habis rambut Cak Sim, kuasa hukum warga menyampaikan bahwa ditolaknya gugatan tersebut bukanlah akhir, masih banyak cara atau upaya hukum selanjutnya. Ia pun menyampaikan ke warga bahwa dalam dua minggu ke depan mereka bisa mengajukan banding.

“Pak, bu, ini belum akhir. Kita masih bisa mengajukan banding dengan batas dua minggu, apakah warga masih semangat?” tanya Rulli kepada warga. “Masih!” jawab serempak warga.

“Berarti kita sepakat ajukan banding ya pak, bu?” lanjutnya. “Sepakat!” sekali lagi jawaban serempak dari warga. Tak lama kemudian warga membubarkan diri, dan begitu pun saya kembali ke Malang.

Warga memang kecewa, warga memang sedih, namun bukan berarti mereka memilih untuk menyerah, begitulah kata Sutamah kepadaku yang dikirimkan lewat pesan singkat, yang sebelumnya saya mencoba bertanya kabarnya. Yang berarti bahwa perjuangan mereka masih panjang dan akan terus berjuang walau seringkali dunia meng-kerdil-kan perjuangan mereka, namun nyala api perjuangan mereka masih berkobar!

#SAVELAKARDOWO
#BersihkanLimbahB3DariLakardowo

Kategori
Agenda Diskusi

Liputan dan Penulisan “Sebuah Kegilaan di Simpang Kraft”

BANGKA – Chik Rini dari Banda Aceh mendiskusikan bagaimana dia meneliti, wawancara, dan menulis laporan “Sebuah Kegilaan di Simpang Kraft” tentang penembakan 3 Mei 1999 di Lhokseumawe, termasuk memilih lima wartawan, guna menggerakkan naskah tersebut.

Laporan “Sebuah Kegilaan di Simpang Kraft” selengkapnya klik di sini….

Dalam diskusi daring Yayasan Pantau bersama moderator Andreas Harsono pada 29 Mei 2020. Iyok Baswara, seorang penyiar yang lakukan voice over juga ikut bicara. Baswara dan rekan-rekannya bekerja untuk Kontras, organisasi hak asasi manusia di Jakarta dan Banda Aceh, yang menerbitkan podcast “Sebuah Kegilaan Simpang Kraft” sepanjang satu setengah jam guna memperingati 19 tahun penembakan di Simpang Kraft pada 3 Mei 2020.

Podcast “Sebuah Kegilaan Simpang Kraft” selengkapnya klik di sini….

Chik Rini menerangkan bahwa dia perlu empat bulan buat riset dan wawancara 30-an narasumber di Banda Aceh, Jakarta, Lhokseumawe, dan Medan. Dia naik kapal untuk pergi ke Jakarta untuk wawancara dua wartawan RCTI, Imam Wahyudi (reporter) dan Fipin Kurniawan (kamerawan), yang meliput penembakan.

“Mas Imam ingatan kuat sekali, sangat detail. Dia mengajak saya ke ruang video RCTI di Kebun Jeruk. Saya lihat video dan memakai tape (recorder) untuk merekam,” kata Chik Rini.

Di Lhokseumawe, Chik Rini wawancara Umar H. Nurdin, Ali Raban dan Azhari, masing-masing wartawan buat RCTI, Metro TV dan Antara. Ali Raban, sebagai kamerawan, merekam penembakan dan mengirim video kepada Associated Press.

Dia membuat transkrip berbagai wawancara tersebut serta mengetik rekaman video agar mendapatkan suasana di lokasi penembakan. Ia juga membaca laporan organisasi hak asasi, tim pencari fakta pimpinan Camat Dewantara Marzuki Muhammad Amin (belakangan jadi Walikota Lhokseumawe) maupun dokumen Komando Distrik Militer Bukit Barisan.

“Ada seorang kolonel memberikan laporan Kodam,” kata Chik Rini.

Berbagai riset tersebut membuat Rini punya daftar nama para korban: setidaknya 46 orang tewas, 156 orang luka, dan sepuluh orang hilang.

Ketika menulis, Chik Rini tinggal mencari alinea relevan dari ratusan halaman transkrip untuk masuk dalam struktur yang dibuatnya.

Strukturnya apa? Chik Rini sebelumnya baca karya John Hersey berjudul “Hiroshima” (1946) dan meniru strukturnya, dimana ada enam karakter yang selamat dari bom nuklir pada 7 Agustus 1945. Hersey menjadi enam orang tersebut sebagai tokoh buat bercerita.

Chik Rini memerlukan waktu sebulan buat menunggu dan menjawab editing dari redaksi majalah Pantau –melibatkan redaktur Andreas, Agus Sopian dan Linda Christanty. Akhirnya, naskah terbit pada Mei 2002 total sekitar 12,000 kata.

Ada peserta tanya apakah Chik Rini dapat intimidasi?

Chik Rini jawab Pantau tak beredar luas di Aceh. Dia merasa baik-baik. Dia juga mengungkap fakta dengan riset mendalam.

Struktur “Sebuah Kegilaan di Simpang Kraft” adalah kronologi namun diberi epilog. Chik Rini mengambarkannya mirip belah ketupat.

Diskusi ini mensyarakatkan peserta, sekitar 100 orang sesuai kapasitas Google Meet, untuk membaca terlebih dulu tujuh pertimbangan dalam menulis panjang. Pertimbangan tersebut dijabarkan oleh Robert Vare dari majalah The New Yorker.

Doc. Pribadi Chik Rini

Rumah Chik Rini di Banda Aceh namun keluarganya pernah tinggal di Krueng Geukeuh, Lhokseumawe, daerah dimana pembantaian 1999 terjadi. Dia punya banyak kenalan termasuk “abang becak.” Dia naik becak untuk pindah dari sumber satu ke sumber lain. Usianya waktu liputan baru 26 tahun.

Iyok Baswara menambahkan bahwa naskah ini cocok buat dijadikan audio-book. Dia dan rekan-rekannya senang ketika dihubungi Kontras buat bikin podcast. Mereka memakai “voice bank” guna mencari suara tembakan, suara motor, suara truk. Mereka hanya punya waktu tiga hari buat persiapan. Total Baswara menghabiskan delapan jam guna merekam naskah 12,000 kata tersebut.

Ketika ditanya apa yang paling repot ketika liputan, Chik Rini menjawab dia di Jakarta diminta kembali ke Kreung Gekeuh, kembali ke lapangan untuk mendapatkan gambaran. Rini juga bilang judul “kegilaan” dalam tulisannya adalah saran dari editor.

Kata “kegilaan” diambil dari ucapan Imam Wahyudi. Chik Rini sendiri lupa judul yang dia usulkan. “Sebuah Kegilaan di Simpang Kraft” menurutnya bagus dan kuat.

Wartawan Jakarta Post Margareth Aritonang mengatakan, “Senang aku dengan kerendahan hatinya. Wartawan, baik yang junior dan senior sekarang jarang yang punya kegigihan seperti ini. Yang muda manja, yang tua dan menjelang tua, lelah dengan idealisme.”

Tanya-jawab ada lebih dari 30 penanya. Banyak yang tanya soal metode riset. Chik Rini menekankan wartawan harus bersandar terutama pada reportasenya sendiri. “Walaupun kita sudah dapat rekaman, kita tetap harus ke lapangan,” katanya.

Lilik Hastuti Setyowatiningsih, seorang penulis Jakarta, mengatakan, “Formula tulisan bagus memang tidak jauh-jauh dari  paduan antara penulis yang bagus dan ulet, cerita yang menarik (cerita konflik pasti menarik), reportase dan riset yang dalam, dan… ketemu editor yang bagus!”

Yayasan Pantau juga memutar video Ali Raban dengan suara rendah buat menggambarkan kejadian di lapangan. Chik Rini menerangkan persimpangan Jalan Aceh-Medan dan jalan yang menuju pabrik pabrik kertas PT Kertas Kraft Aceh.

Tujuh pertimbangan buat menulis panjang, menurut Robert Vare, adalah fakta, konflik, karakter, akses, emosi, perjalanan waktu, dan kebaruan. Chik Rini menekankan bahwa naskah tersebut hanya berlangsung “dua hari” dari 2 Mei sampai 3 Mei malam hari. Ia memenuhi tujuh syarat tersebut.

Kelas selanjutnya…

Online Writing Class: Kejarlah Daku Kau Kusekolahkan oleh Alfian Hamzah.
Jumat, 19 Juni 2020 pukul 05.00 – 18.30 WIB.

Kategori
Diskusi

Quo Vadis: Masyarakat Organisasi Mahasiswa

Organisasi dalam arti luas diartikan sebagai sekumpulan orang-orang yang terbentuk dalam suatu ikatan yang memiliki tujuan bersama. Organisasi mengandung beberapa unsur bilamana dikatakan sebagai sebuah organisasi, diantaranya memiliki basis massa dengan minimal dua orang yang berada dalam organisasi tersebut, kemudian memiliki landasan sebagai dasar ber–organisasi, serta memiliki tujuan bersama yang hendak dicapai.

Organ dalam sebuah organisasi ialah mereka-mereka yang memiliki hasrat yang sama serta memiliki orientasi tujuan yang sama sehingga dapat terbentuk sebuah organisasi. Dalam perkembangannya, organisasi dalam skala global maupun nasional sudah tumbuh merata demikian halnya dengan masyarakat organisasi.

Masyarakat organisasi disini, merupakan hasil dari organ-organ dalam sebuah organisasi yang mencakup keseluruhan unsur dari organisasi itu. Masyarakat organisasi sejatinya sudah menjadi akar dari tumbuhnya organ-organ didalam organisasi itu sendiri sehingga didapat bahwa masyarakat organisasi merupakan pencampuran dari organ-organ organisasi itu sendiri. Masyarakat dalam sebuah organisasi berperan penting terhadap kelancaran orientasi tujuan dari organisasi tersebut, sehingga peran yang diharapkan dari masyarakat organisasi itu sendiri tinggi.

Proses pengambilan keputusan, serta nota persetujuan dengan beberapa organisasi lain terkadang menjadi pelik tatkala masyarakat organisasi tidak bersatu suara dalam hal demikian. Problematika dalam organisasi selama ini, ialah mereka tidak mampu menyadari kesadarannya dalam sebuah organisasi. Antara niatan dan tindakan bertolak belakang dalam satu hentakan, yang justru menimbulkan perpecahan antar organ, yang berimbas dalam pengambilan kebijakan. Misalnya saja ada salah satu organisasi mahasiswa yang setingkat universitas dengan barang tentu mendapatkan gelontoran dana yang cukup besar, namun organisasi tersebut tidak mampu mengoptimalkan fungsi organisasinya sebagai sebuah proses berorganisasi hanya karena terjadi konflik internal didalamnya. Proses seperti ini menyadarkan bahwa posisi masyarakat organisasi begitu sentris dalam sebuah organisasi.

Memang dalam sebuah organisasi, pengelolaannya membutuhkan tenaga ekstra, sebab mengurus organisasi sama halnya mengurus rumah tangga.

Hadirnya program-program kerja di setiap organisasi setidaknya cukup menolong dan mendorong untuk menyadarkan bahwa posisi dirinya (mahasiswa) sedang dalam masyarakat organisasi. Sangat lucu, bila organisasi kemahasiswaan yang terbentuk dengan falsafah wadah pembelajaran organisasi menjadikannya sebagai ladang politik untuk memenangkan suatu kekuasaan yang sebenarnya itu hanya permainan ular tangga semata. Manifesto politik yang disampaikan saat awal kampanye menjadikan dorongan bersama untuk mengawal jalannya arah dari organisasi mahasiswa. 

Masyarakat organisasi memang tak jauh beda dengan masyarakat pada umumnya. Istilah masyarakat organisasi sebenarnya tidak begitu familiar di telinga kita, namun fakta–nya mereka yang berada dalam satu organisasi yang bahkan basis massa–nya hingga ribuan orang itu bisa saja disebut sebagai masyarakat. Tentu dalam sebuah organisasi satu dengan organisasi yang lainnya tidak sama dalam pelaksanaannya, dalam suatu masyarakat bisa dikatakan mereka sebagai sebuah masyarakat tentu ada norma dan nilai yang ditaati, begitu–pun dalam sebuah organisasi aktor-aktor dalam sebuah organisasi juga memiliki dan membentuk dengan sendirinya norma dan nilai yang dipatuhi oleh semua organ dari organisasi sebagai pembeda dengan organisasi lainnya.

Bisa kita lihat antara organisasi satu dengan organisasi yang lainnya dalam persoalan menjalankan program kerja, pun dalam kedua organisasi tersebut memiliki program kerja yang sama. Namun dalam pelaksanaannya memiliki orientasi proses yang berbeda, kendati pun itu wajar karena dalam setiap organisasi itu mempunyai norma dan nilai yang dianut masing-masing.

Pedoman dalam menyelenggarakan organisasi juga mengatur nilai dan norma demi kelancaran sebuah organisasi, selain sebagai dasar penyelenggaraan organisasi, istilah Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga atau lebih dikenal dengan AD/ART merupakan salah satu pedoman atau landasan yang tertulis yang bertujuan sebagai pegangan dalam menyetir organisasi. Ibarat sebuah mobil yang ditumpangi oleh beberapa orang, jika tidak ada panduan atau landasan dalam berlalu lintas di jalanan seperti menyalakan lampu di siang hari, berhenti di saat lampu merah dan berjalan di saat lampu hijau maka menyebabkan kecelakaan lalu lintas, sama halnya dengan menjalankan roda organisasi, jika tidak ada landasan yang jelas serta pedoman yang jelas maka semua akan tidak beraturan.

Adanya peraturan dalam sebuah organisasi terkadang juga tidak sejalan apa yang dicitakan dan dituangkan dalam pedoman organisasi setiap organisasi. Hal ini terlihat dalam proses pengambilan keputusan saat dalam organisasi salah satu anggota mengalami konflik dengan anggota lainnya, dimana keduanya termasuk fungsionaris di organisasi itu, namun tidak pernah aktif dan berpartisipasi setiap ada kegiatan dalam organisasi tersebut, dari cerita ini seorang ketua organisasi akan diuji untuk mampu atau tidak menegakkan aturan yang sudah disepakati bersama di awal.

Peran aktor memang penting dalam sebuah organisasi dan barang tentu sangat dibutuhkan bilamana persoalan pelik dari masyarakat organisasi tidak bisa terselesaikan. Peran ketua, wakil ketua, serta dewan penasehat atau pembina pun turut menentukan arah kemana organisasi itu melangkah.

Ada beberapa kasus di organisasi mahasiswa di beberapa kampus yang mana, peran ketua atau pucuk pimpinan dari organisasi tersebut tidak optimal dalam melaksanakan perannya, saya ambil contoh di salah satu organisasi yang saya ikuti bahwa ketua saya tidak pernah benar-benar mengontrol satu per satu program kerja yang sudah direncanakan di awal hingga dalam periode kepengurusan–nya tidak ada program kerja yang benar-benar dirasakan saat ikut organisasi tersebut. Hingga pada suatu ketika diancam oleh pimpinan kampus bahwa organisasi ini akan dilebur menjadi satu dengan organisasi semacamnya karena tidak ada aktivitas organisasi.

Peristiwa tersebut tentu harusnya menyadarkan mahasiswa dan organisasi untuk berkaca diri terhadap situasi yang ada, sehingga ancaman dan pergolakan semacam itu tidak terjadi. Adanya check and balance  antara anggota dan anggota lainnya, antara ketua dan anggota perlu diaktifkan sebagai fungsi social control dalam organ mahasiswa.

Sebagai seorang mahasiswa, organisasi di kampus menjadi sebuah alternatif pilihan mahasiswa dan diberinya kebebasan untuk memilih–nya atau tidak memilih. Hal ini menjadi wajar jika tidak semua mahasiswa mengikuti atau memilih organisasi sebagai tempat pembelajaran dan pembentukan karakter, karena mereka memiliki pandangan sendiri akan organisasi di dalam kampus.

Adapun mahasiswa yang berpendapat lain bahwa organisasi kampus mampu membentuk karakter mahasiswa ataupun mampu membentuk mahasiswa yang memiliki ide visioner, bahwa mahasiswa tidak harus mengikuti atau memilih organisasi mahasiswa di dalam kampus untuk membentuk dirinya. Namun banyak hal dan banyak organisasi di luar kampus yang juga mampu membentuk dirinya, ini hanya saja terkait perbedaan pandangan terkait fungsi dari organ kampus.

Berbicara tentang mahasiswa yang baru masuk dalam dunia kampus, tentu mengalami culture shock dalam lingkungan yang baru. Tentu budaya di sekolah menengah atas (SMA) berbeda sekali dengan budaya di dalam kampus, misalnya saja di SMA jika terdapat jam kosong maka kita seharian di sekolah, berbeda di dalam kampus, jika ada jam kosong maka kita boleh saja sewaktu-waktu pulang dan datang ke kampus namun ditanggung mengganti jadwal di akhir minggu. Perbedaan budaya ini juga mempengaruhi terhadap pembentukan masyarakat organisasi di dalam kampus.

Kampus yang terdiri dari berbagai mahasiswa tentu membawa budaya- budaya dan perilaku yang bermacam-macam, sehingga tidak kaget jika nanti dalam masyarakat organisasi terdiri dari berbagai macam pikiran.

Mahasiswa baru seringkali dilematis dihadapkan dengan organisasi di dalam kampus, mereka di doktrin saat pengenalan kehidupan kampus bahwa dengan mengikuti organisasi di dalam kampus mampu meningkatkan keterampilan memimpin, meningkatkan keterampilan berbicara di depan publik, hingga mampu menjalin relasi yang baik dengan para birokrasi di selingkung universitas bahkan di selingkung pemerintahan. Doktrin seperti ini bagus, namun juga mempunyai shock effect yang menggugah mahasiswa baru dalam menerima informasi terkait organisasi mahasiswa di dalam kampus.

Gairah dengan adanya doktrin tersebut, meningkatkan antusiasme mahasiswa baru untuk mengikuti organisasi tanpa adanya pengetahuan lebih tentang apa saja yang akan diikuti, apa saja yang akan dialami saat ikut organisasi di dalam kampus. Alhasil, mahasiswa baru semakin antusias saat mendengar benefit–benefit seperti itu untuk turut mengikuti organisasi mahasiswa.

Ketika dibukanya pendaftaran pembukaan organisasi mahasiswa, mahasiswa membludak dan berbondong-bondong mendaftar, dan ketika sebagian dari mereka diterima dan berproses di dalam organisasi mahasiswa, lamban laun perilaku mereka berbeda dengan saat mereka di awal masuk yang sangat bergairah dan antusias mengikuti organisasi.

Berdasarkan riset kecil saya, mereka jauh berubah dalam hal perilaku ataupun gairah mengikuti organisasi, karena adanya perbedaan-perbedaan dan jarak yang terjadi di mereka. Dengan adanya perbedaan atau konflik laten di organ mahasiswa seperti ini, tentu organisasi mahasiswa harus mampu menunjukkan fungsi organisasi–nya bukan membiarkan konflik hingga menjamur yang berujung kepada masalah personal di luar organisasi. Oleh karena itu, masyarakat organisasi menjadi peran utama dalam organisasi mahasiswa, hadirnya organisasi diharapkan mampu membangkitkan marwah untuk menuangkan ide dan kreativitas setiap mahasiswa.

Tentang arah dan tujuan dari masyarakat organisasi mau seperti apa itu hanya bisa dijawab oleh pribadi masing-masing, sebab berhasil tidaknya dalam organisasi mahasiswa itu juga ditentukan oleh masyarakat organisasi di dalamnya, dan yang paling penting tidak menjadikan organisasi mahasiswa sebagai ajang politik semata namun sebagai wadah pengembangan diri.

Kategori
Diskusi

Kegagalan Negara Menangani Wabah Corona dan Alasan Saya untuk Berhenti Kuliah

Nama saya Wahyu Agung Prasetyo, mahasiswa fakultas ekonomi UIN Maliki Malang. Saat ini saya masih berstatus mahasiswa dan semester depan saya memutuskan untuk berhenti kuliah. Saya ingin sekedar berbagi cerita saja dan berharap siapapun yang membaca ini juga mau bercerita tentang apa yang dialami selama wabah corona ini.

Alasan saya untuk berhenti kuliah berkaitan dengan kegagalan negara dalam menangani wabah virus corona dan upaya saya untuk menyuarakan hak-hak mahasiswa yang tak menemui titik terang. Sehingga saya tidak punya alasan lagi untuk mempertahankan status mahasiswa ini. Pertama-tama, saya akan berbagi pendapat tentang kegagalan negara dalam menangani wabah, lalu saya akan jelaskan keterkaitannya dengan upaya menyuarakan hak-hak mahasiswa.

Dimulai dengan negara yang sejak awal membantah informasi tentang penyebaran virus corona, memprioritaskan keselamatan pejabatnya saja, kebijakan yang dikeluarkan plin-plan, sampai ngotot mengesahkan RUU Minerba serta membahas RUU Omnibuslaw yang menindas rakyatnya. Hal ini membuat saya resah. Tentu tidak hanya saya saja yang resah, tapi masyarakat juga.

Indonesia Terserah

“Indonesia Terserah” begitu keresahan masyarakat yang sempat jadi trending topic di twitter. Keresahan itu pertama disampaikan oleh tenaga medis yang sedang berjuang menyelamatkan pasien-pasien corona. Banyak tenaga medis yang meninggal karena berjuang menyelamatkan nyawa pasien, tapi pemerintah dengan gampangnya melonggarkan pencegahan penyebaran virus corona.

Bagi akademisi pun, pemerintah tidak peduli dengan saran dan masukan berdasarkan kajian ilmiah. Seperti yang diungkapkan Pandu Riono, epidemiolog (ahli ilmu penyebaran penyakit menular pada manusia) dari Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia (FKM UI). Dalam abc.net.au Pandu menyatakan bahwa permasalahan mengkomunikasikan hasil temuan akademis ada pada struktur pemerintah itu sendiri.

“Para pejabat ini lebih mendengarkan staf ahlinya, bukan akademisi di luar seperti kami. Pernah saya minta dikenalkan dengan stafnya, sudah bertemu tapi ternyata ia tidak peduli. Jadi kita harus strategis memilih segmen target policy makers,” ujar Pandu dalam berita “Imuwan Indonesia Merasa Kebijakan Pemerintah Terkait COVID-19 Tak Berdasarkan Fakta Ilmiah” (18/05).

Eksploitasi Alam dan Perampasan Ruang Hidup saat Wabah

Ketika tenaga medis dan akademisi sudah kecewa dengan pemerintah, di sisi lain pemerintah terus menjalankan kepentingan investasi dan pembangunan yang mengeksploitasi alam serta merampas ruang hidup rakyatnya. Menurut Jaringan Advokasi Tambang (JATAM), Pembatasan Sosial Skala Besar (PSBB) tidak berlaku bagi korporasi tambang.

Dalam rilis “Darurat COVID-19, Bekukan Seluruh Aktivitas Tambang” JATAM mengungkapkan rata-rata perusahaan tambang di berbagai daerah, masih dan terus beraktivitas, enggan rugi secara ekonomi, namun abai terhadap keselamatan para buruh, serta terus memperparah kerusakan. Bebagai daerah itu antara lain Morowali, Sulawesi Tengah; Konawe, Sulawesi Tenggara; Halmahera, Maluku Utara; Mimika, Papua; Dairi, Sumatera Utara; Banyuwangi, Jawa Timur; Pati dan Rembang, Jawa Tengah; dan Kalimantan Timur.

JATAM bersama Simpul dan Jejaring Perlawanan Daerah memantau sejak 31 Maret hingga 4 Mei 2020 dan menemukan sejumlah fakta bahwa —selain seluruh perusahaan tetap beroperasi seperti biasa—  di tengah pandemi COVID-19, sejumlah kebijakan dan tindakan pihak perusahaan telah merugikan dan mempertaruhkan keselamatan buruh dan masyarakat di daerah lingkar tambang.

Mulai dari  (1) eksploitasi (tenaga) buruh, (2) minimnya fasilitas kesehatan, (3) intimidasi dan kriminalisasi, (4) pemutusan hubungan kerja (PHK) dan merumahkan karyawan, tanpa memenuhi seluruh hak karyawan (5) keberadaan tenaga kerja asing (TKA) asal Cina, (6) fenomena penambangan ilegal, dan (7) dugaan keterlibatan aparat keamanan yang membiarkan TKA melakukan perjalanan darat lintas provinsi di tengah pandemi.

Melihat berbagai penindasan ini, saya menjadi sadar bahwa negara tidak hanya gagal menangani wabah corona, tapi negara telah membunuh rakyat secara sistematis melalui serangkaian aturan dan kebijakannya yang menindas. Tenaga medis terus dibebani dengan kebijakan pemerintah yang plin-plan, hasil temuan ilmiah para akademisi diabaikan, eksploitasi alam dan perampasan ruang hidup rakyat tetap dibiarkan, bahkan rakyat yang mengkritik dan berusaha mempertahankan hak hidupnya mengalami intimidasi, kekerasan dan kriminalisasi.

Warga Banyuwangi yang memblokir aktivitas tambang PT BSI dan PT DSI mengalami kekerasan oleh aparat kepolisian (27/03). Ibu-ibu di Pegunungan Kendeng, Jawa Tengah mengalami intimidasi oleh preman ketika memprotes aktivitas perusahaan di lokasi tambang (22/04). Buruh-buruh yang mengkritisi kebijakan perusahaan di PT IWIP Halmahera, Maluku utara dikriminalisasi (01/05). Di Nganjuk, Jawa Timur ada proyek bendungan yang terus berjalan walaupun banyak terjadi pelanggaran kesepakatan dengan warga serta memberi dampak lingkungan yang merugikan warga (02/05). Entah, penindasan apa lagi yang akan terjadi di esok hari.

Virus Corona Disebabkan oleh Eksploitasi Alam

Tak cukup dengan penindasan negara, rasa kesal dan kecewa saya semakin bertambah ketika Presiden Jokowi menyatakan akan membuka lahan sawah baru. Lantas kenapa pemerintah selama ini mengeksloitasi alam, merusak lahan sawah dan menggusur rumah rakyat? Apakah pemerintah baru sadar bahwa hasil ekspoitasi tambang, semen dan industri lainnya tidak bisa dimakan? Sebelum pertanyaan-pertanyaan itu dijawab dengan jelas, Jokowi meminta masyarakat berdamai dengan virus corona. Tragis.

Saya tidak ingin keresahan dan kekesalan atas semua penindasan dan omongan pemerintah membuat saya hanya mengumpat di media sosial maupun tidak bisa berpikir jernih. Saya merasa perlu memikirkan kembali darimana asalnya virus corona ini. Lalu saya menemukan berita bahwa virus corona berasal dari eksploitasi alam yang dilakukan oleh para korporasi, industri dan negara.

Laporan bbc.com berjudul “Virus corona: Eksploitasi alam ‘mendorong sejumlah wabah penyakit baru’ (09/04) menyebutkan, ada bukti baru yang dapat menjelaskan hubungan antara eksploitasi manusia terhadap alam dan pandemi.

Dalam laporan bbc.com itu, para peneliti dengan studi menghimpun makalah ilmiah tentang penyakit yang berpindah dari hewan ke manusia, kemudian menggabungkan data ini dengan informasi perihal risiko kepunahan yang disusun International Union for Conservation of Nature (IUCN).

Hewan liar yang berisiko mengalami kepunahan karena eksploitasi manusia diketahui membawa dua kali lebih banyak virus yang dapat menyebabkan penyakit pada manusia. Risiko terinfeksi virus juga datang dari spesies hewan liar yang terancam punah karena alasan lainnya. Hal yang sama berlaku untuk spesies hewan yang berisiko punah karena hilangnya habitat.

“Ketika habitat alaminya berkurang, satwa liar semakin dekat dengan manusia. Kehidupan satwa liar juga bergeser untuk mengakomodasi kegiatan manusia (anthropogenic) dan modifikasi bentang alam. Ini mempercepat timbulnya penyakit dari satwa liar, yang menempatkan kita pada risiko pandemi karena kita semua terhubung secara global melalui perjalanan dan perdagangan,” kata Dr Christine Johnson dari University of California, kepada BBC News.

Membaca laporan tersebut membuat pikiran saya terseret untuk berpendapat bahwa negara benar-benar membunuh rakyat secara sistematis. Negara tidak benar-benar menangani virus corona. Wabah virus corona semakin menyebar luas, negara membiarkan eksploitasi terhadap alam tetap berjalan, sedangkan virus corona disebabkan oleh eksploitasi alam itu sendiri. Maka salah satu kemungkinan terburuknya bagi seluruh masyarakat adalah: virus corona semakin berkembang lalu muncul virus baru lagi yang lebih mematikan.

Hak-Hak Mahasiswa yang Tak Menemui Titik Terang

Melihat berbagai penindasan negara dan memikirkan kemungkinan terburuk dari wabah ini mempengaruhi pandangan saya tentang upaya menyuarakan hak-hak mahasiswa. Saat ini, berbagai mahasiswa dari beberapa kampus berupaya menuntut pemerintah serta kampusnya untuk meringankan maupun menghapus uang kuliah di semester depan.

Tuntutan ini dikarenakan masyarakat mengalami kesulitan untuk mempertahankan ekonominya di masa wabah. Sampai muncul poster di beberapa media sosial yang menyatakan untuk menolak bayar Uang Kuliah Tunggal (UKT).

Saya tidak tahu apakah mahasiswa yang membuat poster berisi pernyataan untuk menolak bayar UKT ini memiliki dasar pandangan dari berbagai penindasan negara serta memikirkan kemungkinan terburuk dari wabah ini. Hanya saja, bagi saya kalau gerakan menolak bayar UKT ini bukan sekedar gertakan, maka mahasiswa-mahasiswa perlu memikirkan apa yang harus dilakukan kedepannya.

Apa dampak dari gerakan menolak bayar uang kuliah? Apakah ini bisa mendesak pemerintah untuk meringankan atau memenghapus biaya kuliah? Jika tidak, apa yang harus mahasiswa lakukan? Ini pertanyaan yang perlu mereka jawab. Tentu saya tidak akan menjawabnya karena saya tidak termasuk dalam gerakan ini. Tapi saya memilih untuk berhenti kuliah.

Bagi saya, berhenti kuliah adalah pilihan yang lebih relevan. Seperti yang saya jelaskan sebelumnya, pemerintah mengabaikan hasil temuan ilmiah para akademisi karena administrasinya ribet dan birokrasi tidak peduli. Sama seperti yang terjadi di kampus saya, UIN Maliki Malang. Salah satu kawan angkatan 2018 dari Fakultas Humaniora bercerita kepada saya bahwa upayanya untuk mendapatkan keringanan dari kampus sangat ribet.

Jumat (15/05) kemarin ia menceritakan panjang lebar masalah ekonominya dan menghubungi rektor untuk mendapatkann keringanan. Rektor menyarankan untuk menghubungi Kepala Biro Administrasi Umum Perencanaan dan Keuangan (AUPK). Tapi Kepala Biro AUPK menyuruhnya untuk menghubungi Kepala Bagian Kemahasiswaan. “Padahal bisa saja tinggal forward chatku untuk bilang diusut atau diproses, duh,” begitu curhatan kekesalan kawan saya karena merasa dilempar-lempar.

Kawan saya itu meminta keringanan pada tanggal 15 mei, yang mana pada tanggal 6 mei Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) menyatakan bahwa mahasiswa bisa minta keringanan UKT (selengkapnya di kemendikbud.go.id). Tapi tetap saja, pernyataan Kemendikbud itu tidak bisa menjamin bahwa kampus akan memenuhi hak mahasiswa. Hal ini dikarenakan kewenangan untuk menjalankan kebijakan tersebut sepenuhnya ada di kampus. Kampus dan pemerintah sama saja kan? Sama-sama ribet. Belum lagi dengan keputusan Kementerian Agama yang membatalkan keputusan mengurangi biaya kuliah mahasiswa. Tambah kesal lagi.

Menurut saya, persoalan biaya kuliah tidak akan selesai dengan keringanan maupun penghapusan biaya kuliah semester depan. Sejak awal penetapan kebijakan UKT sudah bermasalah. Banyak mahasiswa mendapatkan biaya kuliah yang tidak sesuai dengan kemampuan ekonominya. Belum lagi dengan tidak adanya transparansi laporan keuangan di kampus.

Saya menuliskan kritik terhadap persoalan UKT dan transparansi ini di Unit Aktivitas Pers Mahasiswa (UAPM) Inovasi (selengkapnya lihat di uapminovasi.com). Beberapa kali ikut audiensi dan aksi menuntut perbaikan sistem penentuan UKT dan transparansi laporan keuangan. Bersama kawan-kawan di Komite Akar Rumput sempat juga melakukan aksi penuntutan itu ketika Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi (BAN PT) melakukan survei lapangan di kampus (selengkapnya di instagram @_akar.rumput). Hasilnya? Dibubarkan paksa oleh satpam kampus dan diancam drop out oleh Kepala Bagian Kemahasiswaan.

Oleh karena itu saya bilang upaya menyuarakan hak-hak mahasiswa tidak menemui titik terang. Seberapa banyak mahasiswa mengkritik, kampus yang otoriter akan membungkam suaranya. Tentu pembungkaman ini tidak hanya terjadi di kampus saya, tapi di kampus lain juga. Pembungkaman di berbagai kampus ini salah satunya bisa dilihat dari riset “Ringkasan Represi terhadap Pers Mahasiswa Tahun 2017-2019” yang dilakukan oleh Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia (PPMI).

Hidup Tanpa Ketergantungan dan Penindasan Negara

Pembungkaman, intimidasi, dan kekerasan selalu ada ketika masyarakat mulai menyadari akar persoalan dan berusaha mengkritik sistem yang ada. Tapi ketika melihat berbagai penindasan negara dan memikirkan kemungkinan terburuk dari wabah seperti yang saya jelaskan sebelumnya, pandangan saya berubah. Masyarakat tidak sekedar dibungkam oleh kampus maupun negara karena kritis. Tapi masyarakat dibungkam karena selama ini masyarakat dipaksa bergantung pada keberadaan kampus dan negara.

Apakah pendidikan memang mencerdaskan kehidupan bangsa? Bagaimana kalau pendidikan hanya menanamkan stigma bahwa masyarakat yang tidak berpendidikan itu terbelakang, masyarakat yang tidak tunduk dengan perintah itu salah, dan masyarakat yang sejahtera harus membayar mahal pendidikan?

Bukankah masyarakat yang selama ini tidak bergantung pada negara, seperti masyarakat adat, hidupnya baik-baik saja sebelum negara hadir untuk menindas mereka? Bukankah kehidupan masyarakat adat juga sejahtera tanpa harus sekolah dan kuliah formal mahal-mahal? Apakah rakyat butuh negara atau sebenarnya negara yang butuh rakyat?

Pertanyaan-pertanyaan itu berputar di kepala saya, apalagi setelah membaca beberapa sumber bacaan tentang hubungan negara dan rakyat, serta menonton film dokumenter tentang masyarakat adat yang dipublikasikan oleh Watchdoc. Setelah saya pikir ulang-ulang, semua penindasan negara ini harus segera dihentikan dengan memutus rantai ketergantungan yang diikatkan secara paksa oleh negara kepada rakyat. Maka dari itu saya memilih untuk berhenti kuliah.

Bukan berarti di sini saya memandang bahwa mahasiswa yang menyuarakan hak-haknya itu tidak baik atau salah. Saya hanya berbagi pandangan saya dari keputusan yang sudah saya pilih. Tentunya pilihan ini berasal dari pandangan serta pengalaman saya.

Selain itu ada beberapa resiko juga yang harus dihadapi ketika berhenti kuliah. Bagamana menghadapi lingkungan yang nilai sosialnya sudah tertanam doktrin pendidikan, status sosial dan kepatuhan dari negara? Bagaimana bisa bertahan hidup secara mandiri? Serta bagaimana menghadapi orang tua atau pihak yang selama ini membiayai kuliah? Saya hanya bisa menjawab bahwa saya bisa dan sedang menghadapi hal itu.

Bagi mahasiswa yang berhenti kuliah di semester 12 seperti saya ini, mengambil keputusan yang berbeda bukan berarti selalu salah. Kesalahan ada karena orang-orang hidup dalam lingkungan yang selalu memaksakan nilai-nilainya kepada orang lain. Sedikit atau hampir tidak ada orang yang hidup dari apa yang benar-benar dia pilih.

Nah, pilihan berhenti kuliah ini juga sebagai penegasan bahwa saya ingin menghadapi hidup yang saya pilih sendiri. Saya tidak ingin bergantung dan ditindas terus oleh ijazah, kampus, birokrasi, negara dan sistem yang penuh paksaan.

Saya rasa hidup tanpa bergantung pada negara sudah dilakukan secara spontan oleh beberapa orang, terutama yang sangat kesal dan kecewa dengan pemerintah. Tenaga medis terus berjuang menyelamatkan pasien-pasien corona, terserah bagaimana pemerintah membuat kebijakan yang plin-plan.

Akademisi juga terus berjuang untuk memaksimalkan hasil penemuan dalam penanganan wabah tanpa bergantung ke pemerintah yang ribet. Seperti yang diungkapkan Berry Juliandi, Sekretaris Jenderal Akademi Ilmuwan Muda Indonesia. “Kami juga sudah melakukan peran-peran yang lain, yang mungkin tidak terlihat, seperti ilmuwan-ilmuwan ini ada yang berada di garda terdepan untuk tes COVID, jadi tanpa mendengar pemerintah, kami sudah berkarya di situ,” ujarnya dalam berita “Imuwan Indonesia Merasa Kebijakan Pemerintah Terkait COVID-19 Tak Berdasarkan Fakta Ilmiah”. 

Rakyat juga saling bantu rakyat lain untuk mengatasi wabah dengan berbagi hand sanitizer, masker, dan makanan. Semua gratis dan tidak ribet. Mereka semua bisa dibilang tidak tunduk kepada negara, tapi bagi saya mereka sangat menghargai kehidupan dan sangat mencintai sesama manusia. Mungkin, mereka tidak ingin segala yang mereka cinta hilang. Mungkin mereka ingin mempertahankan kehidupan di sekitar mereka.

Entahlah. Bagaimana kalau kita menjadi bagian dari mereka? Jika ada waktu luang, kita bisa membebaskan diri dari ketergantungan dan paksaan kuliah online atau tugas akhir. Lalu kita bisa berbagi kebaikan kepada orang-orang di sekitar kita. Hidup untuk menghidupi kehidupan.

Kategori
Diskusi

Lampu Kuning Pers Mahasiswa

Catatan yang diberikan dalam gerakan mahasiswa sekitar 1980-an hingga lengsernya Soeharto, memperlihatkan betapa solid–nya gerakan mahasiswa melalui aksi-aksinya dengan pers mahasiswa. Sebelum tumbangnya Soeharto, paradigma pers mahasiswa begitupun gerakan mahasiswa– adalah semangat perlawanan.

Pasca Reformasi, kekuatan oposisi tampaknya mulai ter–fragmentasi. Sementara gerakan mahasiswa– bak mencari jarum dalam tumpukan jerami—seperti sulit mencari isu bersama yang bisa menyatukan seperti ketika mendongkel Soeharto. Kebingungan yang sama juga menjangkiti pers mahasiswa.

Nah, di titik ini penting “memperkarakan” kembali peran pers mahasiswa. Salah satunya memikirkan jawaban dari pertanyaan yang diajukan oleh Satrio Arismunandar dalam makalahnya, Apakah Pers Mahasiswa—seperti juga gerakan mahasiswa—perlu merumuskan paradigma baru, karena konstelasi lingkungan yang sudah berubah? Kalau jawabannya “ya”, paradigma baru yang bagaimana?

Juga tak kalah penting, yang perlu kita renungkan dan jawab, apakah kepentingan publik selalu menjadi mahkota yang dijunjung pers dalam memilih dan menyajikan berita? Apakah informasi yang disajikan pers telah menjadi dasar bagi publik dalam mengambil setiap keputusan secara rasional? Apakah berita media membuat publik lebih jernih memahami persoalan politik dan ekonomi yang mempengaruhi kehidupan mereka?

Menjawab pertanyaan ini memang tak gampang, tentu juga tak bisa diuraikan dengan penjelasan yang sumir semacam ini. Kompleksitas permasalahan ‘klise’ yang hinggap di tubuh pers mahasiswa mulai dari sikap represif yang dilakukan oleh birokrasi kampus maupun pihak luar kampus, hambatan dana, kaderisasi organisasi, hingga periodesasi terbit yang tidak rutin, harusnya mulai dijawab. 

Bila pers mahasiswa tak ingin tenggelam dalam kubangan kebanggaan masa lalu, maka upaya mencari kembali jati dirinya harus terus dilakukan. Bukan sekedar galak dan blak-blakan. Sebagai aktivis pers mahasiswa perlu ada upaya serius untuk memisahkan secara tegas antara fakta dan opini juga antara jurnalis dan aktivis. Alm. Tommy Apriando bisa menjadi cermin bagaimana harusnya kita bisa memisahkan dengan tegas dua perbedaan tersebut.

Sebagai karya jurnalistik menyampaikan realitas empiris dengan metode yang benar adalah penting. Mendahulukan metodologi jurnalistik seperti disiplin verifikasi, kelengkapan narasumber, keterwakilan perspektif, maupun otentikasi dokumen. Selain itu kerja-kerja jurnalistik harus jujur dalam menyampaikan berita sesuai ungkapan narasumber, faktual dalam menuliskan berita, akurat dalam menyampaikan informasi sesuai maksud narasumber, dan independen dalam menulis merupakan nilai-nilai yang harus tetap dipegang oleh setiap insan pers, termasuk pers mahasiswa.

Hal tersebut menunjukkan pers mahasiswa berada dalam persilangan yang kompleks. Ia memikul dua beban di pundaknya, sebagai jurnalis yang dituntut menjalankan nilai-nilai dalam jurnalistik secara profesional. Selain itu, ia harus tetap menjalankan tugas sebagaimana pers pada umumnya yaitu, mendidik, menginformasikan, menghibur, dan kontrol sosial.

Sementara di sisi lain sebagai mahasiswa ia juga dituntut menjadi agent of change, dan agent of control social. Ada semangat aktivisme yang juga berkelindan dengan kehendak masa muda yang masih menyala-nyala. Identitas tersebut mengemban harapan yang tidak sedikit. Ada banyak pengandaian, cita-cita, dan imajinasi yang telah, dan perlu terus digeluti. Efendi Siregar menyebut dua hal ini sebagai dilema pertentangan antara profesionalisme dan amatirisme.

Amatirisme bukan dalam arti kedangkalan materi dan kecakapan teknis, tapi amatirisme dalam arti kenaifan memperjuangkan sesuatu demi kepentingan publik, termasuk mahasiswa itu sendiri. Dengan demikian amatirisme yang tanpa pamrih inilah yang harus (terus) ditunjukkan, dengan begitu peran pers mahasiswa akan menemukan jati dirinya kembali sebagai suaka kebebasan dan demokrasi.

Kebingungan antara amatirisme dan profesionalisme tercermin dari hasil karya-karya pers mahasiswa—sependek yang penulis ketahui—tak lagi hidup dengan bahasa propaganda, tapi berita dengan data yang sempurna, argumentasi ilmiah, dan penjelasan yang lurus nan aman. Pers kampus kehilangan tajinya ketika berita yang dibeberkan tak lagi dengan bahasa emosional, provokatif, dan menyerang.

Akan tetapi, sikap tersebut bukan justru menjadikan pers mahasiswa seperti apa yang dikatakan Dhakidae, bahwa pers mahasiswa lebih mirip journal of opinion. Alih-alih menunjukkan prinsip-prinsip jurnalistik secara ketat, berita-berita yang disajikan lebih menunjukkan pandangan dan sikap politik pengurusnya. Di samping itu, tuntutan orang tua untuk segera lulus menjadi sarjana juga melengkapi beban yang dipikul para aktivis pers mahasiswa. Profesionalisme tidak bisa serta-merta hadir dalam waktu yang singkat.

Kondisi demikian bisa ditangani dengan memadukan keduanya (amatirisme dan profesionalisme). Semangat kampus—kritis, analitis, berpikir terbuka, mengedepankan logika—juga menjadi corak yang melekat pada pers mahasiswa. Kemampuan tersebut dapat diasah dengan—salah satunya—memperbanyak bacaan. Dandhy Laksono, mengatakan bahwa syarat bagi jurnalis, jika berita–mu terdiri dari lima paragraf, maka di otakmu harus ada 50 paragraf. Hal itu juga berlaku bagi jurnalis pers mahasiswa. Dilema tersebut seyogyanya berjalan seiringan tanpa  menggugurkan  satu sama lain.

Selain itu, sebagai organisasi mahasiswa yang (semoga) masih berbasis idealisme, pers mahasiswa menjadi media yang dipakai untuk menyalurkan ide gerakan mahasiswa secara intelektual. Perlawanan yang dilakukan tidak hanya ditunjukkan dengan demonstrasi, tetapi juga merupakan perlawanan gagasan. Akan tetapi unsur advokasi harus tetap diikutsertakan sebagai komitmen anti penindasan. Untuk itu, cara memperlakukan data dan fakta dalam  pers mahasiswa harus dimatangkan dengan—minimal— membaca dan diskusi.

Pers mahasiswa perlu melihat dan mencermati, panggung yang disediakan telah digunakan oleh golongan yang tepat. Keterlibatan pers mahasiswa juga perlu diperjelas, untuk apa dan siapa. Untuk yang sudah mapan dan nyaman, atau yang memang butuh dibela dan didukung? Di hadapan pertanyaan itu terkadang kita tidak bisa menjadi abu-abu.

Dengan sikap keberpihakan pers mahasiswa pada kepentingan rakyat jelas perlu disertai argumen-argumen ilmiah, nalar, dan tidak partisan dengan tetap menggunakan bahasa yang lugas dan mudah dipahami. Bukan tidak mungkin kita mampu memadukan antara amatirisme dan profesionalisme dalam lembar kertas yang hendak kita tulis menjadi kombinasi yang luar biasa. Barangkali dari situ kita bisa melahirkan karya-karya jurnalistik yang bernyawa, tulisan yang bisa membela dirinya sendiri.

Di samping itu, ide-ide progresif mahasiswa dan intelektual banyak didiskusikan di dalam lingkaran pers mahasiswa. Ruang untuk mendiskusikan problem-problem bangsa ini menjadi relatif terbuka karena polarisasi ideologi dan kepentingan dalam tubuh pers mahasiswa berjalan lebih dinamis. Bahkan pemilihan isu-isu yang akan diangkat, harusnya sudah melewati diskusi redaksi yang egaliter dan demokratis. Semua awak redaksi berhak dang berperan penting, yang berlaku hanyalah adu data, wawasan, “bertarung” secara intelektual, bukan karena jabatan pemred  atau semacamnya atau juga relasi senior-junior yang mengotori jalannya diskusi redaksi.

Corak tersebut merupakan hal yang harus tetap dipertahankan untuk membedakan organisasi pers mahasiswa dengan organisasi kemahasiswaan lain yang sudah diracuni dengan sifat yang partisan serta monolitik karena hanya dikuasai satu golongan. Apabila pers mahasiswa tak ada bedanya, bersifat partisan, maka dimana kita akan belajar apa itu idealisme bila semua organisasi mahasiswa menguap menjadi pragmatis.

Ada idealisme yang diemban oleh pers mahasiswa. Idealisme sebagai insan pers, dan idealisme sebagai mahasiswa. Secara tidak langsung, pers mahasiswa tak hanya meningkatkan eskalasi kritis awak redaksinya, melainkan juga membangkitkan kesadaran kritis dan keberanian untuk bersikap kritis mahasiswa lainnya. Barangkali itu menjadi tugas terberat bagi pers mahasiswa.

Sekali lagi, sebagai anak muda—pers mahasiswa— yang hidup dalam dua irisan: sebagai jurnalis dan sebagai aktivis. Kita harus tahu betul kapan menjadi jurnalis dan kapan menjadi aktivis. Kapan menjadi seorang profesional dengan tulisan rapi, dengan kaidah-kaidah jurnalistik, dan kapan menjadi aktivis yang bisa berteriak lebih bebas di wadah lainnya. Hal itu merupakan upaya untuk membantah keraguan banyak orang  tentang jurnalis yang merangkap menjadi aktivis.

Namun demikian, sejauh yang penulis lihat, beberapa pers mahasiswa masih merasa kesulitan membangun iklim organisasi dengan sistem yang kritis; yang mampu membentuk awak redaksi yang kritis, yang bisa “menghakimi” awak redaksi lain maupun organisasinya bila mulai melenceng. Selama ini, sikap-sikap kritis terlahir secara otodidak dan hanya menghinggap di beberapa awak saja. Ada awak redaksi yang dikenal lantang, tapi organisasinya rawan kecipratan noda-noda yang melunturkan semangat pers mahasiswa. Ya, ada aktivis pers yang kritis namun tempatnya berteduh sebagai pers mahasiswa justru melacur sebagai ‘kuli tinta’ atau akrab disebut humas kampus.

Di tengah kondisi bangsa yang semakin runyam, dari persoalan melemahnya lembaga “peniup peluit” kasus korupsi, hingga—yang baru-baru ini— sebuah lembaga negara yang diyakini menjadi penyambung lidah rakyat tercoreng karena hasratnya membahas regulasi yang mematikan rakyat di tengah hantaman pandemi.

Fakta pilu itu menyiratkan bahwa sikap kepuasan atau ketamakan individu serta kelompok diutamakan, dari pada memikirkan hajat orang banyak. Slogan keadilan, kemakmuran, dan kesejahteraan sudah menjadi milik atau untuk diri sendiri dan kelompok. Sikap seperti ini tidak dapat terus dipertahankan dan hanya mencabik-cabik mimpi luhur para founding father bangsa.

Sebagai pers mahasiswa, kita harus percaya bahwa tidak cukup hanya sekedar menggaungkan isu, harus didorong untuk menjadi pergerakan. Karena melelahkan membicarakan hal yang sama berulang-ulang. Di samping itu tantangan kita lainnya, sebagai pers mahasiswa harusnya hidup bukan mengikuti arus, tapi bagaimana kita mampu membentuk karakter di tengah arus. Perlahan tapi pasti bila kita serius hal itu bukan bayang-bayang yang utopis.

Lantas, bagaimana pers mahasiswa, yang pernah juara di masa lalu menyikapi hal ini? Heroisme pers mahasiswa—begitupun gerakan mahasiswa— yang pernah mendongkel rezim otoriter Orde Baru harus disikapi dengan jernih. Sikap yang harus dilakukan pers mahasiswa bukanlah mengagung-agungkan gerakan tersebut, justru hal itu menjatuhkan kita pada lubang romantisme masa lalu. Tak bermaksud untuk meremehkan. Secara pribadi saya “angkat topi” kepada mereka, tetapi pengagungan yang ekstrim justru tak merubah apapun.

Di dalam upaya menjawab keresahan orang-orang terkait pers mahasiswa, memang masih banyak hal yang menjadi pekerjaan rumah dan mesti dibenahi dengan serius, bukan justru terkesan “hangat-hangat tai ayam”. Idealisme dan optimisme  tetap harus terus dirawat dan dijaga. Apabila problem dan fenomena di atas tidak disikapi dengan cermat bukan tidak mungkin insan pers seperti menggali lubang kuburnya sendiri.

Kategori
Diskusi

Negara Takut Ada yang Melawan Kapitalisme dan Mengagumi Anarkisme

Di tengah pandemi Covid-19 terjadi peristiwa yang tidak demokratis, Polres Malang menangkap dan menahan tiga kawan kita, yang bernama Ahmad Fitron Fernanda, M. Alfian Aris Subakti  dan Saka Ridho. Ketiga kawan yang akrab dipanggil Fitron, Alfian, dan Saka merupakan pemuda yang  aktif mengikuti Aksi Kamisan di depan Balai Kota Malang, setiap Kamis sore. Aksi Kamisan adalah sebuah aksi diam, menuntut pemerintah untuk menuntaskan pelbagai dugaan pelanggaran HAM di masa lalu. Fitron yang  juga aktif di Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia Dewan Kota Malang, Ia juga aktif dalam gerakan menolak tambang emas di Tumpang Pitu, Salakan, dan gerakan Save Lakardowo yang melawan pembuangan limbah B3. Sementara Alfian dan Saka yang tidak berkuliah, ia aktif belajar mengenai advokasi. Mereka menerapkan ilmunya untuk mendampingi petani Tegalrejo di Sumbermanjing Wetan, Kabupaten Malang, yang tengah berkonflik dengan PT. Perkebunan Nusantara, sejak September 2019. Sebelum mereka bertiga ditangkap dan ditahan, diketahui ketiga pemuda itu berencana menggalang bantuan untuk warga miskin terdampak pandemi Covid-19.

Berdasarkan rilis Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Surabaya beserta jaringan, pada Minggu (19/4/2020), sekitar pukul 20.20 WIB, lima orang polisi mendatangi kediaman Fitron di Sidoarjo. Menurut keterangan ayah Fitron, tiga polisi bertugas di Malang dan dua orang yang lain merupakan polisi Sidoarjo. Saat dimintai surat penjemputan, polisi menunjukan surat yang tidak ada nama Fitron, sehingga Fitron sempat menolak untuk menuruti permintaan polisi tersebut. Fitron akhirnya terpaksa mengikuti polisi sekitar pukul 20.45 WIB dan dibawa ke Polres Malang. Sekitar pukul 23.00 WIB, polisi menggeledah kediaman nenek Fitron di Tumpang (tempat Fitron tinggal selama kuliah di Malang) untuk mencari barang-barang Fitron yang berkenaan dengan gerakan anarko.

Sedangkan Alfian dan Saka ditangkap di rumahnya, Senin (20/4/2020). Alfian dibawa polisi dari rumahnya di daerah Pakis, Malang, sekitar pukul empat pagi. Sedangkan Saka dijemput di rumahnya di Singosari pada pukul 05.00 WIB oleh lima personel kepolisian yang tidak berseragam.

Dapat kita lihat, tindakan penahanan ini tidak mencerminkan profesionalitas polisi sebagai penegak hukum yang melakukan tindakan penangkapan dan penahanan tidak sesuai dengan aturan yang ada. Pasalnya, ketiga pemuda yang ditahan saat ini ditetapkan sebagai tersangka oleh pihak kepolisian. Menurut keterangan dari keluarga Fitron, Alfian dan Saka, ketiga pemuda ini tiba-tiba ditangkap tanpa menunjukkan surat penahanan yang jelas dan alasan penangkapan yang prematur, karena hanya berbasis dugaan yang spekulatif tanpa disertai bukti yang jelas alias masih kabur.

Pada penangkapan tersebut, tiga pemuda ditetapkan sebagai tersangka pada Selasa (21/4/2020) atas dugaan vandalisme. Kabag Penum Divisi Humas Polri Kombes Pol Asep Adi Saputra menyatakan Alfian dan Saka berinisiatif membeli cat semprot dan mencoret dinding, sementara Fitron mengawasi sekeliling. “Ketiga tersangka ini memiliki motif, mereka tidak terima dan memprovokasi masyarakat untuk melawan kapitalis yang dirasa merugikan masyarakat.” kata Asep di Mabes Polri, Rabu (22/4/2020).

Ketiga pemuda itu, diproses secepat kilat tanpa memperhatikan langkah-langkah hukum yang ada. Hal ini sangat bertentangan dengan azas keadilan. Karena mereka diperlakukan bak teroris yang berbahaya, padahal mereka kooperatif dan bekerja sama dengan baik. Apalagi tuduhan yang disangkakan sangat samar. Polisi lalu menaikkan status mereka menjadi tersangka, dengan Pasal 160 KUHP Tentang Penghasutan yang merupakan delik materil.  Dengan argumentasi kalau belum ada akibat yang timbulkan, maka seseorang tidak bisa dikenakan pasal tersebut.

LBH Surabaya, Walhi Jatim dan berbagai elemen lainnya menyikapi hal tersebut, sebagai masyarakat sipil menuntut pihak kepolisian untuk membebaskan ketiga pemuda yang ditahan, membatalkan status tersangka, menghentikan hal serupa kepada siapapun, karena ini adalah mata rantai, sebab bisa menyasar ke orang lain. Hal tersebut bertentangan dengan Hak Asasi Manusia yang seharusnya dipenuhi dan dilindungi oleh negara, bagian dari kriminalisasi lebih jauh SLAPP.

Pada Kamis (23/4/2020), PPMI DK Malang menginisiasi petisi dukungan melalui laman www.change.org/bebaskanaktivismalang  yang sampai saat ini  sudah ditandatangani sekitar 7000 orang. Selanjutnya, pada Selasa, (28/4/2020), LBH Surabaya mengirimkan sekitar 30 surat penjaminan penangguhan penahan tiga pemuda itu ke Polres Malang. Namun sampai saat ini ketiga pemuda tersebut juga belum dibebaskan.

Membaca Regulasi yang Berlaku di Negeri Ini

Kiranya kita semua perlu merenungkan tindakan penangkapan dan penahanan yang dilakukan oleh aparat kepolisian kepada Fitron, Alfian dan Saka dengan membaca regulasi yang berlaku di negeri ini.

Penangkapan merupakan suatu tindakan penyidikan berupa pengekangan sementara waktu, apabila terdapat bukti yang cukup guna kepentingan penyidikan, penuntutan atau peradilan, penangkapan dapat dilakukan oleh petugas Polri dengan membawa surat tugas penangkapan, petugas memperlihatkan surat perintah penangkapan dan memberikan surat tembusan kepada keluarga. Berdasarkan keterangan Fitron, polisi membawa surat penangkapan, tetapi tidak ada nama Fitron didalamnya, sehingga Fitron sempat menolak. Sedangkan Alfian dan Saka dalam penangkapannya tidak disertai adanya surat. Hal ini jelas bertentangan dengan Pasal 18 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), yang berbunyi:

“Pelaksanaan tugas penangkapan dilakukan oleh petugas kepolisian negara Republik Indonesia dengan memperlihatkan surat tugas serta memberikan kepada tersangka surat perintah penangkapan yang mencantumkan identitas tersangka dan menyebutkan alasan penangkapan serta uraian singkat perkara kejahatan yang dipersangkakan serta tempat ia diperiksa.”

Penggeledahan rumah adalah tindakan penyidik untuk memasuki rumah tempat tinggal dan tempat tertutup lainnya untuk melakukan tindakan pemeriksaan dan atau penyitaan dan atau penangkapan dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam Pasal 33 ayat 1 KUHAP, yang berbunyi:

 “Dengan surat izin ketua pengadilan negeri setempat penyidik dalam melakukan penyidikan dapat mengadakan penggeledahan yang diperlukan.”

Jadi, pada dasarnya menurut Pasal 33 ayat (1) KUHAP, penggeledahan itu dapat dilakukan dengan surat izin Ketua Pengadilan Negeri setempat. Sebelum melakukan penggeledahan, penyidik lebih dahulu meminta surat izin Ketua Pengadilan Negeri dengan menjelaskan segala sesuatu yang berhubungan dengan kepentingan penggeledahan bagi keperluan penyelidikan atau penyidikan sesuai dengan penjelasan Pasal 33 ayat (1) KUHAP. Dengan membaca dua regulasi diatas kita tahu, penangkapan dan penahan Fitron, Alfian dan Saka tidak sesuai prosedur yang ada.

Awalnya tiga pemuda tersebut ditangkap dengan dugaan melakukan vandalisme, Jika membaca regulasi yang ada, maka hal ini bisa dikenakan pasal Pasal 489 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), yang berbunyi:

“Kenakalan terhadap orang atau barang yang dapat menimbulkan bahaya, kerugian atau kesusahan, diancam dengan pidana denda paling banyak dua ratus dua puluh lima rupiah.”

Namun belum ada bukti yang jelas terlibat tindakan vandalisme tersebut, Ketiga pemuda itu pun diproses secepat kilat tanpa memperhatikan langkah-langkah hukum yang ada, statusnya dinaikkan menjadi tersangka, karena dianggap melakukan penghasutan,  dalam pasal 160 KUHP tentang penghasutan yang merupakan delik materil, artinya pelaku penghasutan baru bisa dipidana bila berdampak pada tindak pidana lain, seperti kerusuhan atau perbuatan yang merusak lainnya. Pasal itu berbunyi:

“Barang siapa di muka umum dengan lisan atau tulisan menghasut supaya melakukan perbuatan pidana, melakukan kekerasan terhadap penguasa umum atau tidak menuruti baik ketentuan undang-undang maupun perintah jabatan yang diberikan berdasar ketentuan undang-undang, diancam dengan pidana penjara paling lama enam tahun atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.”

Melawan Kapitalisme Bukanlah Kejahatan

Melawan Kapitalisme bukanlah kejahatan, justru melawan kapitalisme adalah sebuah hal yang bijak dan perlu dilestarikan, sebab kapitalisme adalah sebuah sistem yang menyengsarakan rakyat, karena keberadaannya bisa membuat jurang ketimpangan antara yang miskin dan yang kaya semakin nyata adanya.

Pendiri bangsa ini, Ir. Soekarno atau terkenal dengan sebutan Bung Karno tidak luput dengan perlawanan terhadap kapitalisme, Bung Karno menentang sistem kapitalisme dengan membuat faham baru, yaitu Marhaenisme, yang merupakan suatu teori yang berkembang pada era kapitalisme berwujud imprealisme dan kolonialisme di Indonesia pada awal abad 20, yang dirumuskan oleh Soekarno sebagai teori politik sekaligus teori perjuangan untuk mempersatukan dan membebaskan rakyat Indonesia dari sistem kapitalisme tersebut. Tak hanya itu semua intelektual aktivis di masa kolonial  merupakan orang-orang yang anti terhadap kapitalisme, dengan kadar yang berbeda-beda. Bahkan semua cita-cita kemerdekaan bangsa ini sendiri tumbuh karena semangat anti kolonialisme, imperialisme dan kapitalisme. Penjajahan yang dimungkinkan oleh kapitalisme itu lah yang ditolak dan dilawan dengan tegas.

Namun orientasi pembangunan negara ini berubah seratus delapan puluh derajat pasca tahun 1965, yaitu ketika pemerintah orde baru mengeluarkan produk hukum UU-PMA/undang-undang penanaman modal asing tahun 1967 yang menjadi karpet merah pada investasi skala besar terutama di sektor ekstraksi. Seiring dengan itu, cita-cita anti kolonialisme dan kapitalisme warisan perjuangan para intelektual aktivis di masa kolonial, atau awal kemerdekaan itu hilang dan musnah. Semua sisa-sisa perjuangan tersebut di-PKI kan. Dianggap musuh negara, dan musuh pembangunan. Semua narasi radikal tersebut dicurigai dan dihabisi. Dengan demikian kita tahu bahwa tak ada yang berubah setelah 1965. Polanya sama. Mencari kambing hitam untuk disalahkan. Dulu komunisme sekarang anarkisme. Semua yang diwariskan  bobrok dan miskin wawasan sejarah.mencurigai warga negara yang kritis, pro pasar, pembangunan berorientasi agregat pertumbuhan ekonomi, tidak ramah lingkungan, dan kejam.

Apa yang dilakukan Fitron, Alfian dan Saka tidak jauh dengan apa yang dilakukan Bung Karno maupun intelektual aktivis pada masa kolonial. Jika Bung Karno Hidup pada masa sekarang, Bung Karno pasti akan ditangkap dan ditahan oleh aparat negaranya sendiri, karena ia adalah orang yang keras melawan Kapitalisme. Disini Polres Malang memang harus berani belajar lebih dalam menyoal kapitalisme, supaya bisa mempunyai keluasaan hati dan imajinasi, sehingga tidak asal tangkap dan menahan warga negaranya.

Ketakutan Berlebihan akan Anarkisme

Anarkisme berasal dari bahasa Yunani, yakni a- (tanpa/ nihil) dan archos/ archein (pemerintah/ kekuasaan). Anarkisme memiliki arti keteraturan tanpa tatanan pemimpin atau struktur yang bersifat hierarkis. Anarkisme mengajarkan bahwa kita dapat hidup di dalam sebuah masyarakat di mana tidak ada pemaksaan macam apapun, bebas tanpa paksaan, kekuasaan dan kekerasan.

Minimnya literasi bagi pemerintah dan aparat negara menyoal Anarkisme, menjadikan kebodohan itu terlihat nyata dan menimbulkan ketakutan berlebih. Dampaknya pun sangat signifikan, dimana kekerasan ‘biasa’ (penganiayaan, penculikan, pembunuhan) dianggap sebagai tindakan kekerasan simbolik (perusakan, vandalisme) yang dikenal dalam paham Anarkisme. Akibatnya, pelanggaran ketertiban umum melalui vandalisme, perusakan, dan seterusnya sering ditanggapi secara tidak proporsional. Terlebih aparat terlalu mudah mengeluarkan klaim bahwa anggota kelompok anarko berada di balik suatu kejadian tanpa terlebih dahulu mengusut secara tuntas tentang keterkaitan individu tersebut dengan paham dan kelompok anarkisme.

Penanganan dan reaksi terhadap kehadiran anarko di ruang publik selama ini lebih didorong oleh paranoia terhadap paham Anarkisme. Kebebasan berpikir, berekspresi dan berpendapat memang memiliki batasan-batasan tertentu, misalnya dengan menghormati hak-hak orang lain dan mematuhi hukum yang berlaku. Pelanggaran hukum memang patut diproses, namun nyatanya kepanikan negara yang tidak beralasan dalam menghadapi anarko berujung pada pengabaian hak dan prosedur yang terjadi melalui penangkapan sewenang-wenang, penyiksaan dan beragam bentuk represifitas lainnya.

Tanpa bukti yang cukup, aparat mengklaim bahwa kelompok anarko akan melakukan penjarahan se-Pulau Jawa. Aksi vandalisme dan pengakuan beberapa tersangka, yang keterlibatannya dalam ‘kelompok anarko’ juga masih simpang siur, jelas bukan merupakan bukti yang kuat untuk mengungkap sebuah kejahatan yang terorganisir. Barang-barang lain yang diperlihatkan ke masyarakat seperti cat semprot, sepeda motor, dan beberapa buku-buku yang dijadikan bukti juga tidak mendukung klaim tersebut. Terlebih, dalam konferensi pers aparat malah kemudian mengumumkan rencana kejahatan terorganisir tanpa barang bukti lebih lanjut. Beberapa buku yang dipertontonkan ke publik sebagai barang bukti kelompok anarko ini pun tidak ada kaitannya dengan paham anarkisme ataupun perbuatan vandalisme yang dituduhkan. Misalnya, buku ‘Sebuah Seni untuk Bersikap Bodo Amat’ merupakan buku pengembangan diri yang bertujuan untuk mengajak pembacanya memperbaiki cara pandang terhadap permasalahan hidup dan kesuksesan.

Selain tindak aparat yang represif dengan klaim mengada-ada dan serba berlebihan, hak atas kebebasan berpikir itu sendiri kian dipersempit lewat penolakan-penolakan yang dikeluarkan lewat instruksi dan himbauan resmi dari pejabat publik. Pemahaman anti anarkisme mulai dimasukkan perlahan-lahan ke dalam kesadaran masyarakat. Hal ini sekaligus akan turut melumpuhkan berbagai gerakan solidaritas warga yang digawangi oleh kelompok anarko.

Keseluruhannya merupakan sebuah preseden buruk yang memungkinkan negara untuk melanggar hak-hak kelompok ideologi lain yang dianggap tidak sejalan dengan selera negara. Jika dibiarkan, tidak mengagetkan kalau Anarkisme akan berakhir seperti ideologi Komunisme di era Orde Baru: dipersekusi, diburu, dan dianggap sebagai biang kerok berbagai permasalahan sosial dan kekacauan politik yang sebetulnya berakar pada kegagalan jajaran pemerintah dalam melindungi dan mensejahterakan warganya. Serangan terhadap identitas atau kelompok Anarko-Sindikalis, selain berbentuk tuduhan aliran sesat dan tuduhan sebagai pelaku kekerasan, sesungguhnya merupakan bentuk kecemasan penguasa terhadap tema, isu atau materi yang diperjuangkan kelompok Anarko. Jika dilihat pada berbagai isu dan kualitas kesadaran dari eksistensi dan aktivitasnya, jelas kelompok ini menyuarakan ketimpangan ekonomi dan penyalahgunaan kekuasaan yang dilakukan oleh pemerintah.

Nah sudah jelaskan? Pemerintah dan aparat negara terlihat ketakutan kalau ada yang kritis, melawan kapitalisme atau mengagumi anarkisme, Di sini, perlulah kita semua membuka mata dan banyak menganalisa peristiwa yang ada, selanjutnya mari berdiskusi dan saling membalas tulisan ini dengan tulisan, bukan dengan penangkapan atau penahanan.

Salam Pers Mahasiswa!

Kategori
Diskusi

Marsinah, Kartini yang Dibunuh karena Memperjuangkan Hak Buruh

Siapa yang saat ini kenal dengan Marsinah? Namanya tidak pernah ada dalam buku pelajaran yang diajarkan di sekolah, apalagi dalam buku motivasi hidup sukses yang berjejer rapi di perpustakaan atau toko buku. Tapi kisah perjuangannya yang berakhir tragis telah membangkitkan keberanian para buruh untuk memperjuangkan haknya hingga saat ini. Sosoknya begitu familiar, meski tanpa gelar pahlawan nasional, wajahnya terpampang dan menjadi icon pejuang buruh. Dalam kematiannya tetap menuntut keadilan untuk kesejahteraan dan kesetaraan buruh.

Marsinah, Perempuan yang Lahir pada 10 April 1969 di Desa Nglundo, Nganjuk, Jawa Timur itu merupakan anak kedua dari tiga bersaudara. Keinginannya untuk kuliah di jurusan hukum yang terkendala, membuatnya  pergi ke Surabaya mencari kerja, menumpang di rumah kakaknya, Marsini, yang sudah berkeluarga, pada tahun 1989. Setelah berkali-kali melamar kerja ke berbagai perusahaan, akhirnya Marsinah diterima bekerja pertama kali di pabrik plastik SKW kawasan industri Rungkut. Gajinya jauh dari cukup. Untuk memperoleh tambahan penghasilan ia nyambi jualan nasi bungkus di sekitar pabrik. Sebelum bekerja di PT Catur Putra Surya (CPS)–Rungkut pada tahun 1990, ia sempat bekerja di sebuah perusahaan pengemasan barang.

Urbanisasi, berdagang untuk mendapat penghasilan tambahan, berpindah kerja dari satu pabrik ke pabrik lainnya untuk mendapatkan upah yang lebih layak, merupakan aktivitas harian buruh perempuan di Jawa sejak awal dasawarsa 80-an.

Penindasan Ganda

Marsinah menjadi seorang buruh perempuan di rezim Orba, ia menghadapi penindasan dari dua sisi, penindasan sebagai buruh dan penindasan sebagai seorang perempuan. Di satu sisi, dia dibatasi oleh pemerintah untuk melakukan tuntutan kolektif dalam serikat buruh, seperti unjuk rasa, mogok kerja, dan aksi massa lainnya. Hal ini dianggap sebagai kegiatan merongrong kekuasaan rezim Orba.

Kepatuhan dari buruh-buruh terhadap agenda rezim waktu itu yang mengedepankan pembangunan dan pertumbuhan ekonomi menjadi sebuah kebijakan yang harus diterima buruh, walaupun kondisi kerja yang tidak layak dan pengupahan yang jauh dari kata cukup.

Pada waktu itu, rezim melakukan intervensi yang ketat untuk memonitor dan mengatur protes buruh, ia memiliki perangkat Surat Keputusan Bakorstanas No.02/Satnas/XII/1990 dan Keputusan Menteri Tenaga Kerja No. 342/Men/1986. Jika ada perselisihan antara buruh dengan pengusaha, maka yang berhak me–mediasi adalah militer. Tak heran, para pekerja yang kritis dan mencolok harus kuat menghadapi intimidasi dan penangkapan.

Sebagai seorang perempuan, Marsinah mengalami penindasan berdasarkan gender yang dimiliki. Ia rentan menjadi korban dari sistem sosial yang disebut patriarki, seperti kasus kekerasan seksual dengan bermacam-macam modus, secara verbal seperti bersiul atau mengeluarkan kata-kata yang tidak pantas, secara psikis seperti lirikan mata dan gerakan lidah dan secara fisik yang mengarah pada perbuatan seksual seperti mencolek, mencium bahkan perkosaan. Beberapa kasus kekerasan seksual dilakukan oleh atasannya sendiri dengan iming-iming kenaikan gaji atau pemindahan ke divisi kerja yang lebih baik.

Nasionalisme ala Orde Baru menuntut perempuan sebagai “penjaga budaya Indonesia”, menjaga kodrat mereka sebagai perempuan yang memiliki karakteristik submisif, penurut, lemah lembut dan pasif secara politik. Gerakan perempuan yang bertentangan dengan apa yang dianggap kodrat ini dipastikan akan bernasib sama seperti Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani), dicap sebagai perempuan tidak bermoral, tidak beragama dan disamakan dengan komunis yang perlu dimusnahkan di atas muka bumi.

Pembatasan ini juga terjadi dengan penyediaan ruang pemberdayaan yang dibentuk dan dikontrol pergerakannya oleh agenda pemerintah seperti Dharma Wanita dan PKK. Pemberdayaan yang diberikan memang dapat membantu meningkatkan kesejahteraan perempuan, namun organisasi ini juga yang memperkokoh peran gender tradisional di mana tugas utama perempuan tetaplah menjadi istri dan ibu rumah tangga. Pemberdayaan ini dibuat hanya menguntungkan rezim untuk mendorong pertumbuhan ekonomi, bukan sebagai usaha untuk melawan penindasan terhadap perempuan.

Memperjuangkan Hak Buruh

Di PT. CPS, sebuah pabrik arloji di daerah Porong, Sidoarjo, Jawa Timur. Marsinah dan para buruh menuntut berdirinya serikat pekerja, serta mendesak perusahaan untuk mematuhi instruksi Gubernur KDH TK I Jawa Timur mengeluarkan surat edaran No. 50/Th. 1992 yang berisi himbauan kepada pengusaha agar menaikkan kesejahteraan karyawannya dengan memberikan kenaikan gaji sebesar 20% gaji pokok,  supaya buruh bisa hidup lebih layak.

Marsinah dan para buruh PT. CPS melakukan unjuk rasa dan pemogokan kerja sebagai pendorong daya tawar mereka untuk berunding dengan perusahaan. Dalam aksi ini menuntut kenaikan upah sesuai kebutuhan buruh, tunjangan cuti haid, tunjangan cuti hamil tepat waktu, asuransi kesehatan bagi buruh ditanggung oleh perusahaan, upah karyawan baru disamakan dengan buruh yang sudah satu tahun bekerja, pengusaha dilarang melakukan mutasi, intimidasi, PHK karyawan yang menuntut haknya dan sebagainya.

Para buruh mengerti, selama mereka tidak melumpuhkan sektor produksi perusahaan dengan tidak memberikan tenaga mereka, perusahaan tidak akan tertarik berunding dengan mereka, terlebih ketika aparat penegak hukum amat berpihak dengan para pemilik modal. Tuntutan mereka juga diperkuat dengan riset upah minimum di sekitar daerah Sidoarjo untuk menciptakan legitimasi kenaikan upah yang mereka tuntut.

Represi dihadapi oleh Marsinah dan kawan-kawannya dari berbagai pihak, baik dari pihak perusahaan sendiri maupun dari pihak Komando Distrik Militer (Kodim) setempat. Walaupun demikian, mereka akhirnya berhasil membawa pihak perusahaan ke meja perundingan dan berhasil memenuhi tuntutan kenaikan upah pokok yang mereka perjuangkan. Sementara beragam tuntutan lainnya untuk memperbaiki standar kerja seperti cuti haid, cuti hamil, dan upah lembur juga dijanjikan untuk dibicarakan lagi nanti. Saat itu sejatinya perjuangan buruh PT. CPS sudah usai dan mereka sudah kembali bekerja setelah melakukan unjuk rasa dan mogok kerja.

Namun ternyata mereka malah berurusan dengan Kodim Sidoarjo yang memanggil 13 buruh PT. CPS dan memaksa mereka untuk menerima di-PHK. Hal ini sejatinya tidak sesuai dengan hasil perundingan dengan PT. CPS yang sudah setuju tidak akan mencari-cari kesalahan buruh yang melakukan unjuk rasa untuk memecat mereka. Marsinah sendiri bukanlah satu dari 13 buruh yang dipanggil oleh Kodim, tetapi dia menjadi salah satu buruh yang menghampiri untuk mengecek keadaan temannya. Saat itu ternyata ada salah satu teman mereka yang sedang disiksa oleh aparat Kodim.

“Kamu tidak usah demo lagi, kamu harus keluar dari pabrik tidak usah bekerja. Kamu tahu siapa yang ada di dalam itu. Dengar suaranya, dia itu sekarang disiksa. Kalau tidak mau, kalian semua nasibnya itu seperti yang ada di dalam,” kata Uus menirukan salah satu aparat Kodim waktu itu.

Berbekal surat pemanggilan Kodim dan surat pernyataan yang dibuat buruh untuk perusahaan, Marsinah berencana untuk kembali melakukan advokasi untuk keadilan rekan-rekan buruhnya. Pada saat itu Marsinah sudah tahu bahwa apa yang dia lakukan akan mengancam keselamatannya. Tapi dia memilih untuk terus berjuang karena solidaritas selalu dianggap menjadi nilai utama dalam gerakan buruh. Perjuangan buruh tidak dapat terjadi ketika buruh hanya mementingkan kepentingan individu di atas kepentingan kolektif. Mengabaikan ketidakadilan yang dialami rekannya saat itu akan membuat pergerakan buruh kehilangan prinsip solidaritas yang menyatukan mereka melawan penindasan yang mereka alami.

Tragis. Rabu, 5 Mei 1993 malam setelah Marsinah bertemu dengan buruh menjadi kali terakhir dia terlihat masih hidup. Selama tiga hari dia menghilang dan baru ditemukan pada 8 Mei 1993, Marsinah ditemukan sudah tak bernyawa di sebuah gubuk pematang sawah di hutan Wilangan, Nganjuk. Jenazahnya divisum Rumah Sakit Umum Daerah Nganjuk pimpinan Dr. Jekti Wibowo.

Hasil visum et repertum menunjukkan adanya luka robek tak teratur sepanjang 3 cm dalam tubuh Marsinah. Luka itu menjalar mulai dari dinding kiri lubang kemaluan (labium minora) sampai ke dalam rongga perut. Di dalam tubuhnya ditemukan serpihan tulang dan tulang panggul bagian depan hancur. Selain itu, selaput dara Marsinah robek. Kandung kencing dan usus bagian bawahnya memar. Rongga perutnya mengalami pendarahan kurang lebih satu liter.

Setelah dimakamkan, kuburannya digali untuk diotopsi kembali dan visum kedua ini dilakukan oleh tim dokter dari RSUD Dr. Soetomo Surabaya. Dari hasil visum terdapat begitu banyak keganjalan yang menyisihkan tanda tanya besar pada kematian yang tragis. Seperti tulang panggul bagian depan hancur, tulang kemaluan kiri patah berkeping-keping, tulang kemaluan kanan patah, tulang usus kanan patah sampai terpisah, tulang selangkangan kanan patah seluruhnya, labium minora kiri robek dan ada serpihan tulang, dan terdapat luka di bagian dalam alat kelamin sepanjang 3 sentimeter, juga pendarahan di dalam rongga perut. Hasil visum itu menunjukkan Marsinah diperkosa terlebih dahulu sebelum dibunuh.

Tidak Mendapat Keadilan Selama 27 Tahun

Pembunuh Marsinah sampai saat ini masih belum diketahui. Proses pengadilan yang menjadi isu nasional pun penuh dengan kejanggalan. Penangkapan yang dilakukan dianggap cacat hukum dan interogasi yang dilakukan terhadap 8 petinggi PT. CPS dan satu komandan rayon militer dilakukan dengan pemaksaan agar mereka mengaku telah bersekongkol membunuh Marsinah. Baju Marsinah yang menjadi barang bukti dibakar oleh pihak rumah sakit. Saksi yang menemukan jasad Marsinah tidak didatangkan dalam persidangan. Akhirnya terdakwa yang kemudian divonis bersalah semuanya dibebaskan tanpa syarat di Mahkamah Agung. Ketukan palu sidang pun menyatakan bahwa fakta hukum selama proses persidangan tidak dapat membuktikan atau masih belum berhasil menunjukkan bahwa mereka adalah pelaku pembunuhan di balik kematian tragis sosok pejuang buruh perempuan tersebut.

Mungkin selamanya kebenaran di balik pembunuhan Marsinah tidak akan terungkap. Sudah 27 tahun sejak pembunuhan Marsinah yang berarti kasus ini sudah kadaluarsa menurut hukum. Andaikan mau dibuka kembali pun, ingatan mengenai kejadian itu telah perlahan terkikis oleh waktu. Barang bukti sudah nyaris mustahil untuk ditemukan jejaknya, setelah begitu lama waktu telah berlalu. Keadilan dan kebenaran mungkin sulit untuk didapatkan.

Bercermin keadaan sekarang yang telah banyak perubahan pada tatanan sosial masyarakat pasca runtuhnya rezim militeristik Orde Baru. Khususnya pada kondisi perburuhan, sejatinya buruh memiliki ruang untuk menuntut kondisi kerja yang lebih baik. Tidak ada lagi ancaman penculikan dari tentara dan atau polisi sebab telah ada undang-undang yang melindungi hak buruh untuk berserikat dan melakukan demonstrasi terhadap pemilik perusahaan. Tapi mengklaim bahwa saat ini tidak ada represi dan pelemahan serikat buruh adalah hal yang gegabah dan tidak dapat dibenarkan.

Tantangan yang ada saat ini, meskipun berbeda dengan masa Orde Baru akan tetapi memiliki pola represi yang tak jauh berbeda. Dalam prakteknya pemerintah yang menguasai instrumen kekerasan seperti wewenang untuk memberikan ijin dan membubarkan unjuk rasa, menggusur warga demi pembangunan infrastruktur, dan mengintimidasi aktivis dengan ancaman kriminalisasi, demi kepentingan pemilik modal, menjadi halangan untuk buruh menyuarakan tuntutannya.

Pembelajaran bersama yang dapat dipetik dari perjuangan Marsinah, bahwa kondisi kerja dan pengupahan yang layak tidak akan pernah diberikan secara cuma-cuma oleh pemilik modal dan pemerintah. Lebih tepatnya, harga untuk sebuah hidup yang lebih baik dalam ruang kerja amatlah mahal. Impian kesejahteraan dan kesetaraan hanya dapat diperoleh dengan solidaritas dan perjuangan buruh dengan segala daya tawar yang dimiliki. Pemilik modal yang hanya peduli dengan keuntungan yang dapat mereka raup selamanya tidak akan mau berhenti menganggap perempuan sebagai buruh yang tidak berharga hanya karena mereka dapat hamil, tidak akan peduli soal apakah buruh perempuan dapat memberikan ASI eksklusif kepada anak mereka, apalagi nasib buruh-buruh magang atau buruh di sektor informal yang nyaris tak memiliki perlindungan hukum, kecuali buruh perempuan menuntut dan melawan pemilik modal untuk menghentikan perilaku diskriminatif tersebut.

Marsinah dan Kartini

Marsinah dan Kartini adalah perempuan satu dan lainnya berbeda, Marsinah berasal dari keluarga kurang mampu yang hidup sebagai buruh di rezim Orde Baru Soeharto. Sedangkan Kartini berasal dari keluarga terpandang yang hidup pada masa penjajahan Belanda, Kartini dikucilkan karena diciptakan sebagai perempuan, tidak boleh mendapat akses pendidikan dan mengeluarkan pendapat. Meskipun keduanya berasal dari latar belakang dan hidup dalam konteks waktu yang berbeda. Akan tetapi sejatinya Marsinah dan Kartini memiliki kesamaan, mereka adalah sosok perempuan yang melampaui segala yang ada meski tidak pernah mendapat pendidikan seperti apa yang diinginkan tapi mereka mampu berfikir kritis dan hobi membaca koran/majalah. Mereka adalah sosok pejuang perempuan untuk pembebasan dan menginspirasi umat manusia untuk berani menyuarakan ketidakadilan yang terjadi.

Sitiosemandari Soeroto, dalam bukunya yang berjudul “Kartini, Sebuah Biografi”, mengungkapkan meninggalnya Kartini karena dibunuh oleh orang suruhan Belanda. Bukan tanpa sebab dugaan itu muncul karena selama proses persalinan Raden Mas Soesalit sebenarnya berjalan lancar pada 13 September 1904 lalu. Bahkan Kartini dan jabang bayinya saat itu dalam keadaan sehat. Kematian Kartini seperti sudah direncanakan oleh rezim kolonial Belanda. Empat hari setelah melahirkan, atau tepatnya 17 September 1904, Belanda diduga mengirim seorang ‘pencabut nyawa’ yakni seorang dokter Belanda bernama dr. Van Ravesteyn. Dokter tersebut meminta Kartini meminum anggur bersama untuk keselamatan ibu dan bayi. Tak lama kemudian, mendadak Kartini mengeluh sakit di bagian perutnya. Supaya kedok pembunuhannya tak tercium, Ravesteyn yang sedang berkunjung ke rumah lain, cepat-cepat datang kembali usai membujuk Kartini menenggak anggur tersebut.  Setengah jam kemudian, dokter Belanda itu berkata tidak bisa menolong nyawa perempuan Indonesia itu. Kematiannya pun dianggap sebuah prestasi Belanda karena berhasil membungkam pemikiran-pemikiran maju Kartini yang berwawasan kebangsaan.

89 tahun berlalu setelah kematian Kartini, Indonesia kembali kehilangan perempuan yang begitu menginspirasi perjuangan buruh. Marsinah, Ia mati mengenaskan karena dibunuh. Semasa hidupnya. Marsinah selalu berada di garda depan untuk menuntut perbaikan upah buruh. Aksi yang dilakukan perempuan itu dianggap sebagai pembangkang dan wajib dimusnahkan agar kepentingan pihak pabrik berjalan dengan baik.

Tidak dapat diragukan lagi, Marsinah dan Kartini memang sosok yang benar-benar berani, meskipun ia bukan dari golongan intelektual kampus. Tetapi kesadarannya dalam memperjuangkan hak-hak kaum tertindas melampaui semua pengetahuan yang ada. Karena satu Marsinah saja sudah mampu membakar semangat ribuan buruh hingga saat ini, satu Kartini saja dapat menginspirasi semua perempuan hingga saat ini. Dari Marsinah dan Kartini kita bisa memahami melawan patriarki adalah persoalan hidup dan mati.


Referensi

[1] Marsinah Korban Orde Baru, Pahlawan Orde Baru. Diakses 19 April 2020. http://majalahsedane.org/marsinah-korban-orde-baru-pahlawan-orde-baru/
[2] Buruh Marsinah dan Riwayat Kekejian Aparat Orde Baru. Diakses 19 April 2020. https://tirto.id/pembunuhan-buruh-marsinah-dan-riwayat-kekejian-aparat-orde-baru-cJSB
[3] Semangat Marsinah dalam Perjuangan Buruh saat ini. Diakses 19 April 2020. https://medium.com/merah-muda-memudar/semangat-marsinah-dalam-perjuangan-buruh-saat-ini
[4] Kartini dan Marsinah Dibungkam dengan Cara Dibunuh. Diakses 20 April 2020. https://www.reqnews.com/the-other-side/1870/kartini-dan-marsinah-dibungkam-dengan-cara-dibunuh

Kategori
Diskusi

Mahasiswa Down dan Rakyat yang Kebingungan Menghadapi Covid-19

Meski pemerintah telah menghimbau masyarakat agar tidak panik menyikapi Coronavirus Disease-2019 atau biasa disebut Covid-19, tapi nyatanya itu sulit terbendung. Keresahan masyarakat nampaknya kian memuncak disebabkan ketidakjelasan sikap dari pemerintah yang awalnya cukup meremehkan penyakit pandemi ini.

Hingga memasuki bulan ketiga, penularan Covid-19 mulai meningkat dan menjadi polemik serius dalam pemberitaan media hingga ke ruang-ruang sosial masyarakat. Menanggapi persebaran Covid-19 yang cepat, pemerintah pun mulai masif melakukan tindakan penanggulangan untuk menekan jumlah korban pasien. Misalnya pembatasan interaksi sosial (social distancing), pembatasan jarak fisik (physical distancing), beraktivitas produktif di rumah (kerja, belajar, dan ibadah), hingga Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) disertai dengan kebijakan darurat sipil yang banyak mendapat kecaman publik.

Kenapa kebijakan tersebut belum mampu menjawab keresahan masyarakat saat ini? Sebuah pertanyaan mendasar sebagai pengantar untuk membaca sikap pemerintah yang nampak masih hitam putih. Tentunya tindakan preventif itu penting, tapi memastikan kesiapan atau kebutuhan  penerapan kebijakan tersebut juga tak kalah penting. Lemahnya pendistribusian pemahaman ke masyarakat  menjadi sebuah evaluasi terhadap kebijakan tersebut untuk lebih memasifkan lagi sosialisasi langsung kepada masyarakat. Dan yang penting untuk kembali ditegaskan, yakni soal kepastian ketersediaan pangan serta akses jaminan kesehatan bagi masyarakat selama berada di rumahnya masing-masing agar kebijakan tersebut bisa menjadi langkah strategis untuk menghadapi masa pandemi ini.

Hal ini menjadi tuntutan masyarakat dan wajib dilaksanakan oleh pemerintah jika kita mengacu pada aturan  hukum yang berlaku. Sebagaimana  pada ketentuan Pasal 7, Pasal 8, Pasal 39, Pasal 52, Pasal 55, dan Pasal 79 UU Kekarantinaan Kesehatan 2018 serta Pasal 8 jo. Pasal 5 Undang-undang No. 4 Tahun 1984 tentang Wabah Penyakit Menular (UU Wabah Penyakit Menular 1984), secara jelas menyatakan perihal hak warga yang wajib dipenuhi pemerintah pusat maupun pemerintah daerah beserta instansi-instansi terkait saat terjadinya wabah penyakit menular, situasi kedaruratan kesehatan masyarakat, berada dalam situasi karantina wilayah/karantina rumah maupun dalam status PSBB.

Hak dasar warga yang mana meliputi; hak mendapatkan pelayanan kesehatan dasar sesuai kebutuhan medis, hak mendapatkan kebutuhan pangan dan kebutuhan kehidupan sehari-hari lainnya, hak memperoleh perlakuan yang sama dalam penyelenggaraan kekarantinaan kesehatan, hak mendapatkan pemenuhan kebutuhan hidup dasar orang dan makanan hewan ternak oleh pemerintah yang mana pelaksanaannya melibatkan Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah dan pihak terkait. Bagi setiap orang yang datang dari negara dan/atau wilayah kedaruratan kesehatan masyarakat, ia berhak mendapatkan pelayanan dari Pejabat Karantina Kesehatan yang meliputi; penapisan, kartu kewaspadaan kesehatan, informasi tentang tata cara pencegahan dan pengobatan wabah, pengambilan spesimen/sampel, rujukan, dan isolasi, kemudian hak mendapatkan ganti rugi akibat kerugian harta benda yang disebabkan oleh upaya penanggulangan wabah, serta hak mendapatkan informasi kekarantinaan kesehatan sebagai upaya pencegahan dan pemberantasan masuk dan/atau keluarnya kejadian dan/atau faktor resiko yang dapat menyebabkan kedaruratan kesehatan masyarakat.

Merujuk pada tujuh hak dasar warga saat situasi wabah, status kedaruratan kesehatan masyarakat, karantina rumah, maupun karantina wilayah, maka pemerintah pusat maupun pemerintah daerah harus sudah siap memperhitungkan alokasi anggaran dana untuk memenuhi hak-hak dasar warga tersebut.

Dilema Covid-19 atau Kelaparan?

Tetap berada #dirumahaja bukanlah solusi alternatif bagi masyarakat menengah ke bawah, sebab jika berada #dirumahaja maka akan dihadapkan dengan problem baru yakni kelaparan. Problem ini menjadi sangat dilematis bagi mereka yang berprofesi harian, mau tidak mau mereka harus tetap keluar untuk mencari penghasilan demi menutupi kebutuhan hidup keluarga. Belum lagi berbicara terkait tunawisma atau mereka yang tak memiliki rumah karena menjadi korban penggusuran dari pembangunan investasi kapital (baca: https://www.persma.id/2020/04/10/corona-dan-hal-hal-yang-bisa-kita-lakukan/).

Pemandangan ini sangatlah mudah ditemui (jika kita tidak berada di rumah saja), karena hingga saat ini belum ada kebijakan dari pemerintah pusat yang secara jelas menjawab keresahan mereka soal akses kesehatan dan ketersediaan pangan di rumah mereka masing-masing. Hal inilah yang mesti dipertegas kembali oleh pemerintah, bagaimana kebijakan yang dikeluarkan merepresentasikan kebutuhan masyarakat saat ini. Bukan hanya memberi pertanggungjawaban secara normatif saja dengan memberikan himbauan bahkan disertakan ancaman pidana bagi masyarakat yang melanggar kebijakan pembatasan interaksi sosial yang digembar-gemborkan oleh pemerintah.

Dari rilis yang dikeluarkan Pemerintah Indonesia melalui Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 mencatat bahwa virus SARS-CoV-2 atau Corona jenis baru telah menginfeksi manusia di 34 Provinsi di Indonesia. Secara rinci kasus positif di Indonesia sebanyak 3.512 pada Jum’at (10/4). Sementara itu ada penambahan pasien sembuh hingga total menjadi 282 dan sebanyak 306 orang meninggal dunia akibat COVID-19 (Baca: https://www.covid19.go.id/2020/04/10/infeksi-covid-19-telah-menyebar-di-34-provinsi-di-indonesia-total-positif-jadi-3-512-kasus/).

Meski penyebaran Covid-19 yang kian hari terus meningkat, sepertinya tak menjadi pertimbangan lagi bagi mereka yang tak bisa berada di rumah saja.

Apakah mereka kebal dari Covid-19? Tidak! Mereka hanya berupaya untuk tetap bisa hidup meski mengabaikan ancaman pandemi ini yang sewaktu-waktu mereka bisa saja terpapar. Tak ada pilihan lain, mereka terpaksa bertaruh hidup, sebab jauh lebih menyayat melihat keluarga atau sang buah hati yang menangis menahan pelik perut yang tak terisi.

Sementara apa yang bisa diharapkan? Di saat masyarakat dihadapkan dalam situasi yang serba salah, tak ada yang bisa diharapkan dari dewan penipu rakyat yang saat ini tengah menjadi penumpang gelap. Memanfaatkan situasi lengah ini untuk meloloskan berbagai Rancangan Undang-Undang (RUU) pro investasi kapital yang nantinya akan semakin memperdalam jurang kemiskinan dan kelaparan yang menyengsarakan masyarakat kecil.

Mahasiswa yang Terpenjara oleh Tugas Akademik

Hingga saat ini, memasuki bulan ke empat masa pandemi Covid-19 belum ada kebijakan strategis dari Pemerintah Pusat yang dapat menjawab kesejahteraan masyarakat selama #dirumahaja. Mengamati perkembangan di media, sepertinya khalayak telah kehilangan sosok yang konon memiliki peranan besar dalam perubahan sosial!

Siapa mereka? Mereka yang saat ini juga tengah asik dengan rutinitas akademiknya. Padahal jika memahami konsekuensi logis dari pandemi ini yang belum jelas kapan berakhirnya akan tetapi diprediksi oleh beberapa pakar akan memuncak pada bulan Mei dan atau Juni (Baca: https://www.kompas.com/tren/read/2020/04/03/123616065/prediksi-sejumlah-pakar-soal-puncak-wabah-virus-corona-di-indonesia?page=all#page4).

Pandemi yang berlangsung lama ini tentu akan berimbas pada perekonomian keluarga masyarakat menengah ke bawah. Tak bisa dipungkiri persentase tinggi angka kemiskinan di Indonesia, dan tidak menutup kemungkinan sebagian besar mahasiswa termasuk dalam hitungan tersebut.

Keadaan tragis sosok yang katanya terpelajar, sepertinya kebijakan pembatasan interaksi sosial berhasil mendepolitisasi peran dan tanggungjawab sosial mahasiswa. Kesibukan akademik menutup nalar kritis mahasiswa yang kini terus dijejali dengan tugas, tugas, dan tugas yang diberikan oleh dosen. Dan di saat mahasiswa mengeluhkan perihal tugasnya, tanpa sadar orang tuanya pun mengeluhkan biaya makan untuk tetap hidup selama pandemi ini berlangsung.

Sepertinya mahasiswa saat ini belum tuntas dengan (kesadaran) dirinya sendiri. Apakah Indeks Prestasi Kumulatif (IPK) tinggi di semester ini dapat menjamin kelangsungan hidup yang lebih baik ke depannya? Jika dikontekskan dengan kebijakan pemerintah yang masih hitam putih dalam penanganan pandemi ini maka jawabannya sangatlah absurd. Bukanlah hal yang diminta-minta jika benar terjadi krisis, tapi itu bisa saja terjadi jika pemerintah saat ini tidak mendapat pressure yang kuat dari segala elemen masyarakat. Sikap pemerintahan yang lamban dan sangat jelas sangatlah berpotensi pada kepanjangan pandemi ini dan semakin larut akan berpotensi terjadinya krisis.

Kategori
Diskusi

Corona dan Hal-hal yang Bisa Kita Lakukan

Virus kelaparan tidak ramai diperbincangkan di televisi karena kelaparan tidak akan membunuh orang-orang kaya

Bagaimana dunia setelah wabah ini selesai? Pertanyaan ini muncul seolah saya dapat memprediksi bagaimana pemerintah mampu menanggulangi pandemi  Covid-19 ini. Kita dikejutkan pada virus yang datang secara spontan. Sama halnya seperti virus Flu Babi atau Flu Burung, Covid-19 dapat menyebar secara cepat dan memakan berbagai korban jiwa di dunia. Namun, sesungguhnya kita hanya punya tugas untuk melindungi diri sendiri dari krisis ini.

Belakangan ini, pemerintah Indonesia mengadopsi negara-negara yang berhasil menanggulangi wabah ini. Dari Singapura, Taiwan, Myanmar dll. Akhirnya, berbagai uji coba dari kampanye #dirumahaja hingga keamanan sipil yg diterima oleh masyarakat di setiap kota di Indonesia. Angka pasien positif corona semakin merangkak naik. Total 3.293 pasien positif virus corona di Indonesia masih menjalani perawatan dan telah memakan 280 korban nyawa (09/04). 10 April, pemerintah memberlakukan Peraturan Pemerintah nomor 21 tahun 2020 Permenkes no 9 tahun 2020. Diantaranya adalah [1] Pemberlakuan pelarangan kegiatan sosial dan budaya, [2] Pembatasan Kegiatan, [3] Pembatasan Transportasi.

Berkarantina dengan mengurangi aktivitas berkumpul bisa memberi tahu kita tentang banyak hal bagaimana kita menjalani hidup. Mereka yang tinggal bersama keluarga dekatnya atau berumah secara kolektif dengan kondisi bahagia akan berada dalam situasi yang jauh lebih baik, dari pada mereka yang hidup tak berpunya, dengan keadaan ekonomi yang tidak menentu, bahkan banyak yang tak memiliki rumah. Ini adalah pengingat yang baik tentang apa yang benar-benar penting dalam hidup.

Orang-orang kaya telah bersiap menghadapi keadaan darurat dengan memproteksikan diri lewat berbagai jenis keamanan yang memagari diri dari dunia luar. Mereka mampu mempersiapkan persediaan makanan, peralatan, demi kepentingan pribadi sebenarnya tidak merubah apapun. Potongan-potongan kiamat ini akan tetap terjadi, ketimpangan sosial yang tak kenal waktu.

Hak Masyarakat Terkait Rumah Ketimpangan Sosial yang Terjadi di Tengah Wabah Corona

“Negara bertanggung jawab atas penyelenggaraan perumahan dan kawasan permukiman yang pembinaannya dilaksanakan oleh pemerintah”.

Tertuang dalam UU No 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman Pasal 5 ayat (1)

Saya ingat bagaimana penanggulangan pertama oleh pemerintah tidak menuai jalan keluar selain menambah berbagai catatan-catatan ketakutan kita. Pemerintah menggelontorkan dana yang tinggi untuk Influencer, untuk menenangkan tidur kita jika permasalahan ini akan berjalan baik. Kemudian akses liburan bagi pariwisata tidak di–lockdown. Dan gerbang investor tetap dibuka lebar.

Work from home atau kampanye #dirumahaja telah memenuhi linimasa
media sosial. Tapi, bagaimana untuk mereka yang tidak punya rumah? Orang-orang kaya mempunyai cukup cadangan makanan. Sedang rakyat miskin kota tidur di jalanan. Kaum tak ber–punya tak bisa mengharapkan siapapun selain dirinya sendiri, apa yang dia kerjakan, dan apa yang membuat mereka bisa meraih sesuap makan. Kita bisa saja tidur nyenyak di kamar, sembari mengerjakan tugas kampus secara online, dan pesan makanan lewat driver ojek online. Sementara konflik agraria, tentang orang-orang yang mempertahankan ruang hidup atas tempat tidurnya terpaksa harus tidur di Masjid. RW 11 Tamansari – Bandung memperlihatkan kita bagaimana rasa sakit karena kondisi hidup yang jauh dari kata layak, tetap tidak ditindaklanjuti oleh pemerintah kota Bandung. Padahal, kabar BPN terbaru warga Tamansari sah dalam akses kepemilikan rumah.

(27/3) Saat penyuluhan virus Corona dan pembuatan disinfektan oleh solidaritas atau beberapa yang peduli dengan kondisi RW 11 Tamansari - Bandung yang hingga hari ini masih mengungsi di Masjid akibat rumahnya di gusur Pemkot.
(27/3) Saat penyuluhan virus Corona dan pembuatan disinfektan oleh solidaritas atau beberapa yang peduli dengan kondisi RW 11 Tamansari – Bandung yang hingga hari ini masih mengungsi di Masjid akibat rumahnya di gusur Pemkot.

Bagaimana dengan warga Pancer – Banyuwangi? Pengerukan tanah di Tumpang Pitu & Gunung Salakan telah menjadi hantu bagi mereka yang rumahnya ditambang. Kelestarian masyarakat dengan mayoritas mata pencaharian penduduknya yang adalah petani dan nelayan ini telah terenggut saat perubahan status pegunungan Tumpang Pitu yang semula hutan lindung kemudian menjadi hutan produksi.

 (30/3) Pencarian massa aksi penolakan Tambang di Banyuwangi
(30/3) Pencarian massa aksi penolakan Tambang di Banyuwangi

Banyak sekali ketimpangan yang sesungguhnya menjadi kritik bagi negara. Hak atas perumahan merupakan hak yang utama dalam pemenuhan hak ekonomi, sosial dan budaya. Hal tersebut dikarenakan di dalam hak atas perumahan tersebut juga menyangkut hak-hak lainnya, seperti hak untuk hidup, hak untuk hidup tentram, aman, damai, bahagia dan sejahtera, hak atas lingkungan hidup yang baik, hak atas identitas yang berkaitan dengan hak atas pelayanan kesehatan dan juga hak atas jaminan sosial serta hak-hak lainnya.

Pemulung, tunawisma, dan rakyat yang tak ber–punya tetap tidur di jalan. Mereka tak mampu mempunyai cukup uang untuk membeli Hand Sanitizer dan Masker. Manusia ilegal di Bumi nya sendiri.

Pandemic untuk meredam Kemarahan Publik

Kami marah tentang perang terbaru. Pemerintah memutuskan untuk memulai, dan mereka mengabaikan kita lagi.

Berbagai institusi pendidikan, usaha kecil hingga akses transportasi di Lockdown.

Metode pertama adalah pemerintah harus memantau setiap orang, dan menghukum siapa saja yang melanggar ketentuan yang ditetapkan. Ingat, kita dimonitori!

Tepat Rabu (8/4) Ramayana City Plaza kota Depok PHK 87 karyawannya. Alasan kondisi finansial dan subsidi pusat yang membuat Ramayana kota Depok harus berkoordinasi dengan Dinas Tenaga Kerja Depok soal rencana PHK karyawannya. Kasus diatas menambah catatan kelam rezim dalam menangani kasus pandemic pada sektor ketenagakerjaan, dan dengan memecat dengan alasan apapun sesungguhnya tidak dibenarkan. (cnbcindonesia.com)

Serikat Buruh dan berbagai organisasi sipil di berbagai kota di Indonesia telah sepakat untuk menolak pembahasan RUU Omnibuslaw Cilaka di tengah kondisi ketenagakerjaan yang sangat pelik.

Pemerintah lebih memilih untuk tidak meng–karantina kita semua dan memulai ketakutan bagaimana darurat sipil akan diterapkan. Sedang DPR terus melanjutkan Prolegnas 2020 dam RUU Omnibuslaw Cilaka. Mengapa mereka dapat berkumpul?

Nasib para buruh dan orang-orang yang terkena dampak pengesahan Prolegnas 2020 semakin di ujung tanduk. Saat berkumpul tidak diperbolehkan, kali ini Kapolri mengesahkan aturan yang sama menyebalkannya. ST/1098/IV/HUK.7.1/2020 memungkinkan kriminalisasi terhadap rakyat dengan patroli cyber untuk monitoring perkembangan situasi serta opini di ruang cyber . Surat tersebut memungkinkan tidak diperbolehkannya penghinaan kepada penguasa, presiden dan pejabat pemerintah. Ini adalah cara jitu untuk meredam kemarahan masyarakat terkait pengorganisiran besar-besaran, bagi mereka yang memperjuangkan hak normatif–nya di tengah wabah virus ini.

Di tengah virus yang mewabah sekalipun, hak untuk tetap melanjutkan penolakan Rancangan Undang-undang tertuang dalam DUHAM. Hak tersebut dijamin dalam Pasal 21 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) serta Pasal 25 Konvensi Hak-Hak Sipil dan Politik. Hak untuk berpartisipasi juga perwujudan dari hak atas kebebasan berkumpul dan berpendapat yang merupakan komponen inti dari kebebasan ruang sipil.

Tindakan konstitusional harus dimaknai sebagai semua tindakan yang diperlukan baik pendekatan hukum maupun politik untuk mendorong perubahan tata kuasa sekaligus membatasi kekuasaan agar tidak sewenang-wenang. Ditengah situasi yang seharusnya dapat ditanggulangi dengan maksimal, pemerintah lebih memprioritaskan Prolegnas ketimbang nasib mereka yang sangat rentan terkena virus bahkan kehilangan nyawa.

Selain krisis di berbagai belahan dunia, kita juga mendapati krisis kepercayaan terhadap negara.

Bagaimana Kita Bertahan dalam Krisis Ini?

Yuval Noah Harari (penulis buku Sapiens) menulis di Financial Times,  sebuah artikel yang mengajak kita berpetualang pada segala kemungkinan yang berpijak pada sejarah pengetahuan. Jelas Noah memahami bagaimana virus ini menjalar dengan dibarengi pada analisis biologis dan politik. Dunia setelah wabah adalah dunia yang sibuk dengan pemulihan krisis ekonomi, kemudian kapitalisme menawarkan laboratorium-laboratorium, dan teknologi medis sebagai penebusannya.

Anda mungkin berpendapat jika tidak ada yang baru dari semua ini. Semua muncul secara alamiah beserta beberapa konflik setelahnya. Kita bisa melihat beberapa korban jiwa yang meninggal, siapa yang tidak punya hak dasar sebagai warga negara. Tentu kota tidak bisa melewati bagaimana peran ekonomi politik dunia dan negara telah mempertajam krisis ini. Dunia saat ini adalah dunia yang dibangun kapitalisme. Negara memperioritaskan perdagangan dalam negeri, tentang bagaimana sumber daya alam harus dimaksimalkan sebesar mungkin untuk kepentingan negara.  Ratusan juta orang kelaparan di dunia dengan makanan berlebih. Sementara kaum miskin harus tetap menyisihkan tenaga nya untuk mencapai makanan itu dengan bekerja. Jutaan orang mati karena penyakit yang sesungguhnya bisa dicegah, sementara perusahaan farmasi menghabiskan lebih banyak untuk pemasaran daripada riset dasar. Pasar tidak mengenali kebutuhan manusia kecuali mereka didukung dengan uang tunai.

Lewat ini, saya akan kabarkan jika sejak kapitalisme muncul, krisis adalah hal yang akan sering kita jumpai. Kita mengalami krisis air, perubahan iklim yang begitu tajam. Sementara semua hutan digunduli, pembuangan limbah pabrik dimana-mana. Udara semakin kotor. Ketahanan tubuh manusia sangat rendah akibat oksigen yang tidak layak lagi bagi manusia. Apakah kehancuran ini bukan satu paket? Kita melihat dominasi manusia dengan manusia lainnya, dan dominasi manusia atas alam. Kaum tak ber–punya illegal di bumi nya sendiri.

Kapitalisme mengutamakan produksi atas alam, tentang bagaimana alam dapat diolah menjadi barang jadi, kemudian dapat diperjualbelikan oleh manusia. Masalahnya adalah bahwa setiap hari kita menciptakan dunia yang tidak dibangun untuk melayani kebutuhan kita dan tidak di bawah kendali kita. Kita adalah sumber daya manusia, roda gigi di mesin dengan satu tujuan: laba atau keuntungan. Pengejaran keuntungan tanpa akhir terus berlanjut kita terjebak dalam pekerjaan yang membosankan, atau mencari mereka ketika kita kehabisan kerja.

Saya mengukuhkan tesis bagaimana negara dan korporasi nasional tidak membantu kita sama sekali. Seperti yang dikatakan Nuval Harari, kita butuh kekuatan kolektif atas krisis ini. Memperkuat daya tahan pangan kita, dan mendistribusikan keperluan publik secara efektif. Aparat keamanan mempunyai segala cara untuk menggembosi militansi kita di tengah pandemic ini.

Saya akan merangkum tentang hal-hal yang akan kita lakukan di tengah wabah yang tak pasti ini. Sekarang memang tidak ada waktu mengharapkan nasib kepada pihak luar selain memperkuat kekuatan kolektif kita. Virus ini bukan dipecahkan oleh permasalahan individu saja, tapi soal kesadaran kolektif kita untuk melanjutkan hidup yang lebih baik dan terhindar dari virus ini. Sebab ilmu pengetahuan tidak butuh modal, karena kita mampu mencari hasil alam lalu mendistribusikannya kepada orang yang kurang beruntung disana.

Membangun sarana kerja-kerja sosial dan agitasi. Mentransformasikan kekuatan politik dan menyediakan ruang bagi mereka. Kita tidak bisa selalu meminta donasi dari luar atau menunggu kembalinya stok hand sanitizer dan masker di Apotek. Kita bisa memulai dari hak terkecil seperti pendistribusian makanan, obat-obatan, hingga memetik hasil alam dan mengolahnya. Komunitas organik perlu lahir untuk menjawab spontanitas ini. Gerak proporsional ini lebih relevan untuk sarana agitasi politik. Lalu kita dapat mengkampanyekan ketimpangan sosial, penggusuran ruang hidup, ataupun mereka yang tak punya rumah, sebagai kritik terhadap negara terkait kerugian mereka. Sementara itu memang kita tidak bisa mengemis kebaikan terhadap mereka, kita harus  menyelamatkan diri sendiri.

Tetap perkuat basis pengorganisiran di setiap titik konflik. Ekspresikan kemarahan publik. Semua umat manusia punya cita-cita bebas, damai, dan setara. Jika memang kita tidak mendapati itu, maka kita sesama rakyat harus saling membantu.

Anjuran untuk pembaca artikel ini “Masak lah yang banyak. Bungkus menggunakan kertas minyak. Berdoa pada makan malam mu. Lalu bagikan kepada tunawisma dan pemulung yang ada di kota mu. Jangan berharap pada negara. Tidak ada yang ilegal di bumi nya sendiri”