Kategori
Diskusi Esai

Kado Kemerdekaan: Mati Massal Dibunuh Pemerintah

Jika pemerintah terus salah mengambil kebijakan, rakyat bisa berjatuhan mati masal. Tercatat pertanggal 15 Agustus 2021, di laman covid19.go.id menunjukkan jumlah rakyat Indonesia mati karena Covid-19 mencapai 117.588. Tentu saya yakin data tersebut bukan data asli. Dapat dipastikan data yang tidak tercatat jauh lebih banyak. Berdasarkan pemantauan lapor covid data yang masuk ada perselisihan antara data daerah dan pusat. Banyaknya saudara kita yang meninggal dunia dan pendataan yang amburadul menunjukkkan ada masalah yang serius dalam penanganan dan kebijakan yang diambil pemerintah dalam menangani pandemi. Ribuan nyawa orang yang meninggal semestinya mendapat perhatian serius, bukan hanya sekedar data angka, karena setiap warga negara hidup, keselamatan, dan kesehatannya semestinya dijamin dalam undang-undang.

Tak terbilang berapa kali pemerintah melakukan pergantian nama kebijakan dalam menangani pandemi. Berganti siapa yang bertanggung jawab atas kebijakan tersebut, kepemimpinan Satgas tak pernah sama sekali diserahkan kepada ahli kesehatan masyarakat atau epidemiolog. Beberapa pekan terakhir pun dunia Internasional menyoroti Indonesia menjadi episentrum pandemi dunia dengan penanganan yang carut marut. Sempat banyak ketidaktersediaan rumah sakit, kelangkaan oksigen, rencana vaksin berbayar, banyak tenaga kesehatan yang gugur, bahkan kematian anak Indoneisa akibat covid tertinggi di dunia. Seolah kebijakan pemerintah tersebut tak menunjukkan hasil yang signifikan.

Sebagai warga negara patut kita semua mengerti, kenapa kebijakan pemerintah dalam menangani pandemi tidak membuahkan hasil? Apakah pemerintah membuat kebijakan tidak mempertimbangkan kebutuhan rakyatnya? Atau memang sengaja pemerintah tidak memprioritaskan kebutuhan rakyat, sehingga menyebabkan kematian massal? Jika demikian pantaskah kita menyebut pemerintah sebagai pembunuh rakyat di tengah pandemi? Berikut sedikit catatan dari saya menyoal kematian massal yang disebabkan oleh  kebijakan pemerintah.

PPKM Tanpa Jaminan Hidup

PPKM atau Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat tanpa jaminan hidup adalah sebuah kebijakan pemerintah yang sangat tidak manusiawi, pasalnya tidak semua rakyat  siap melindungi dirinya dengan berbagai jenis keamanan di tengah pandemi, tidak semua mampu mempersiapkan kebutuhan makanan pokok. Banyak rakyat yang mengantungkan hidupnya dengan berjualan di pasar, menjadi tukang becak, tukang ojek, dsb. Mereka tidak bisa untuk tetap dirumah saja, untuk bisa bertahan hidup ia harus bekerja, jika tidak bekerja ia tidak makan dan bisa mati kelaparan. Maka dari itu tak salah jika banyak masyarakat di berbagai daerah beberapa waktu yang lalu berdemonstrasi menolak PPKM, tidak salah pula masyarakat di berbagai daerah mengibarkan bendera putih sebagai tanda bahwa masyarakat sudah tidak kuat bertahan dalam himpitan masalah ekonomi saat pandemi.

Kejamnya pemerintah dan aparat di tengah pandemi juga dipertontonkan dengan banyaknya pembubaran usaha warga di berbagai daerah oleh Satpol PP dengan menggunakan kekerasan. Diantaranya terjadi di Semarang, pada 7 Juli 2021, Satpol PP melakukan penyemprotan lapak pedagang di pinggir jalan yang melanggar aturan PPKM dengan menggunakan mobil pemadam kebakaran. Petugas juga bergerak cepat menyita dagangan dan peralatan dagang milik pedagang tersebut. Kemudian di Surabaya, pada 11 Juli 2021, petugas menyita tabung LPG 3 Kg milik pedagang di sebuah warung di Kecamatan Kenjeran. Tak hanya itu, petugas juga menyita e-KTP pemilik warung tersebut. Sedangkan di Tasikmalaya seorang penjual bubur didenda 5 juta rupiah karena melayani pembeli yang ingin makan di tempat. Penjual mengaku tidak tahu aturan PPKM. Namun, hakim tetap menjatuhkan hukuman denda. Beberapa kejadian tersebut adalah bukti nyata kekerasan yang dilakukan pemerintah melalui aparat negara.

Pemerintah dan aparat tidak menjamin kebutuhan hidup warga negaranya. Sementara Pendekatan yang dilakukan pemerintah dan aparat terhadap warga melanggar peraturan selama pandemi ini cenderung represif. Pemerintah berpikir dengan pikiran yang sangat kolot, menganggap situasi darurat kesehatan ini sama dengan darurat sipil atau militer. Sehingga warga banyak yang direpresi dan menerima berbagai tindak kekerasan, sedangkan warga butuh uang untuk mencukupi kebutuhan hidup. Dengan ini, jelas kita mengerti pemerintah memang tak peduli dengan kekhawatiran rakyat Indonesia yang takut mati kelaparan. Barangkali memang benar kelaparan tidak ramai diperbincangkan oleh pemerintah ataupun media mainstream, karena kelaparan tidak akan membunuh orang kaya, terlebih seperti pejabat pemerintah.

Jika pemerintah memiliki hati nurani, maka sudah semestinya pemerintah menyuplai kebutuhan hidup dasar masyarakat dan makanan hewan ternak yang ada di wilayah karantina tersebut. Sebagaimana yang diamanatkan dalam Undang-undang nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan, “Dengan begitu masyarakat bisa berdiam diri ditempat tinggal dan setidaknya bisa tetap tenang karena ada yang mencukupi biaya kehidupan dasarnya.” Undang-undang Kekarantinaan Kesehatan tersebut sangat progresif dan berpihak kepada rakyat di situasi pandemi seperti ini, namun pada kenyataannya pemerintah tidak mau melaksanakan apa yang sudah diundangkan tersebut.

Pemerintah Melanggar Hak Kesehatan Masyarakat

Secara konstitusional, hak atas kesehatan merupakan hak asasi manusia yang menjadi kewajiban pemerintah untuk memenuhinya. Di antaranya disebutkan dalam Pasal 28H ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia: yang berbunyi “Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan.”

Namun apa yang terjadi di Indonesia saat pandemi covid meledak dan menjadi episentrum pandemi dunia, beberapa masyarakat tidak bisa dirawat di rumah sakit karena rumah sakit penuh, sehingga harus menunggu diluar atau harus berkeliling mencari rumah sakit lewat Aplikasi/telephone. Beberapa dari mereka tak kunjung mendapatkan rumah sakit, sehingga harus berkeliling secara manual. Hal itulah yang membuat banyak pasien covid meninggal dunia di jalan, di rumah sakit saat menunggu kamar, atau meninggal saat memilih melakukan perawatan di rumah karena kelelahan menunggu rumah sakit.

Ketika rumah sakit atau fasilitas kesehatan tidak lagi dapat menampung pasien, isolasi mandiri di rumah diharapkan bisa menjadi alternatif untuk perawatan pasien, tapi  pada kenyataannya banyak pasien yang tidak tertolong. Berdasarkan data laporcovid19 pada 24 Juli 2021, ada sebanyak 2.491 orang meningal dunia saat isolasi mandiri/di luar fasilitas kesehatan. Pasien isolasi mandiri dirawat tanpa pemberian pengawasan dan pelayanan kesehatanyang memadai. Banyaknya pasien isolasi mandiri yang meninggal dunia menandakan tidak ada perhatian serius kepada pasien  yang melakukan isolasi mandiri di rumah.

Tak hanya pasien, berdasarkan data dari laporcovid19 pada 10 Agustus 2021, ada 1646 tenaga kesehatan yang meninggal dunia karena covid. Hal ini dikarenakan kelelahan tak sanggup menangani pasien yang membludak.

Komitmen  pemerintah masih lemah dalam menjalankan 3T, yaitu testing (pemeriksaan), tracing (pelacakan), dan treatment (perawatan). Vaksin di beberapa daerah kehabisan, sementara di daerah lain bisa melakukan vaksin dengan leluasa. Hal tersebut tentu tidak bijak, karena sesungguhnya semua masyarakat harus mendapatkan vaksin, kelompok lansia sabagai prioritas vaksin harus ditingkatkan terus. Pada dasarnya kita tidak akan mencapai herd immunity jika masih banyak kalangan yang tidak mendapatkan vaksin. Selain itu di berbagai daerah muncul vaksinasi berbayar yang tidak hanya dilakukan oleh oknum individu, tetapi juga perusahaan.

Selain itu Satuan Tugas (Satgas) Penanganan Covid-19 mencatat lonjakan kasus covid mulai terjadi di enam provinsi di luar Pulau Jawa dan Bali dalam sebulan terakhir. Enam provinsi tersebut meliputi, Sumatera Utara, Kalimantan Timur, Sulawesi Selatan, Sumatera Barat, Riau, dan Kalimantan Selatan. Menteri Koordinator bidang Maritim dan Investasi Luhut Binsar Panjaitan mengungkapkan penanganan di luar Pulau Jawa dan Bali berbeda karena lebih sulit. Hal tersebut disebabkan dukungan infrastruktur kesehatan yang belum memadai dan tantangan lainnya yang cukup besar di luar Jawa-Bali. Ini akan menjadi memperpanjang adanya ketimpangan kesehatan dan kematian massal yang tidak terbayangkan.

Ini adalah beberapa catatan buruk dunia kesehatan Indonesia yang disebabkan oleh kebijakan pemerintah, bisa jadi masih ada banyak catatan yang mungkin belum tercatat di sini.

Tidak ada Keterbukaan Informasi Publik

Informasi tentang pandemi covid adalah informasi yang wajib diumumkan secara serta merta oleh badan publik yang memiliki kewenangan dan menguasai informasi tentang covid, karena covid dapat mengancam hajat hidup orang banyak dan ketertiban umum. Dasar hukum mengenai ketentuan ini, sebagaimana diatur dalam Undang-undang No 14 tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik.

Namun pada kenyataannya keterbukaan informasi publik dalam masa pandemi ini, masih dianggap menjadi momok  berbahaya, dalam penanganan pandemi Covid di Indonesia. Aparat dan pemerintah melakukan represi terhadap jurnalis, sehingga menghambat peran media sebagai pengawas kebijakan pemerintah dalam menangani pandemi.

Inisiator LaporCovid-19 sekaligus jurnalis Kompas, Ahmad Arif, artikelnya seputar Covid-19 diberi label hoaks selama 2020-2021. Salah satu artikelnya berjudul ”63 Pasien di RSUP Dr Sardjito Meninggal dalam Sehari” tayang pada 4 Juli 2021. Padahal kerja Jurnalis dilindungi UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers.

Selanjutnya Melalui Menteri Koordinator bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves), Luhut Binsar Pandjaitan, saat mengumumkan perpanjangan PPKM, Senin (9/8/2021). Pemerintah memutuskan untuk mengeluarkan angka kematian dari indikator penanganan Covid-19. Pasalnya, ditemukan masalah dalam input data sehingga menyebabkan akumulasi dari kasus kematian di beberapa minggu sebelumnya.

Menanggapi hal tersebut, epidemiolog dari Griffith University Australia Dicky Budiman mengatakan bahwa kebijakan itu jelas keliru, selain itu juga berbahaya karena indikator kematian adalah indikator kunci adanya suatu wabah untuk melihat bukan hanya performa intervensi di hulu, tapi juga menilai derajat keparahan suatu wabah. Alih-alih data kematian yang menumpuk dan memunculkan ketidakakuratan, seharusnya tidak membuat pemerintah menghilangkannya begitu saja. Data kematian tersebut cukup diperbaiki dengan secepat dan seakurat mungkin tanpa perlu menghilangkannya.  tujuan penanganan pandemi adalah untuk meminimalisir angka kematian. Bahkan harus menghilangkan angka kematian yang diakibatkan oleh pandemi.

Berdasarkan hal ini, harusnya pemerintah sejak awal melakukan komunikasi krisis yang baik di masa pandemi. Komunikasi krisis membutuhkan keterbukaan informasi tentang Covid-19, pengakuan dan kejujuran dari pemerintah terkait penanganan, sehingga bisa menciptakan edukasi risiko kepada masyarakat luas.

Masyarakat tidak menjadi prioritas Utama

Beberapa catatan di atas adalah bukti bahwa di tengah pandemi, masyarakat bukanlah prioritas utama dalam kinerja pemerintah. Hal ini diperjelas dengan pemerintah yang mengesahkan Undang-undang Omnibus Law Cipta Kerja yang tergesa-gesa pada 5 oktober 2020, tanpa melibatkan partisipasi masyarakat. Membangun PLTU di tengah pandemi, pemerintah menyisihkan anggaran untuk mengecat pesawat Jokowi, dana bansos dikorupsi oleh menteri sosial, sementara banyak masyarakat yang menderita dibatasi PPKM tanpa tunjangan hidup, kesulitan mencukupi kebutuhan dasar dan terancam terinveksi virus covid.

Jika pemerintah memang memprioritaskan kepentingan masyarakat, harusnya pemerintah menerapkan lockdown yang sudah diatur oleh Undang-undang Kekarantinaan Kesehatan. Membuka informasi seluas-luasnya, karena informasi informasi bisa mengedukasi masyarakat, bukan malah meminta rakyat untuk menelan ludah dan bersabar mengahadapi wabah yang hadir di tengah kita. Sungguh ini adalah masalah yang serius, kita tidak bisa menjamin kesalamatan kita dalam pandemi ini, pun kita tidak tahu sampai kapan kebijakan pemerintah membatasi kegiatan masyarakat yang membuat rakyat kecil hanya ada pada dua pilihan, mati kelaparan atau mati karena virus. Untuk itu penting bagi kita untuk saling bersolidaritas dan saling menguatkan, perkuat pertahanan rakyat bantu rakyat, warga bantu warga, mengumpulkan donasi, membantu kebutuhan umum, membantu pasien yang sakit, kita tidak bisa berharap lagi pada pemerintah. Ini adalah perayaan kemerdekaan Indonesia yang muram, dan kado kemerdekaan dari pemerintah kita kali ini adalah kematian massal saudara-saudara kita, akibat salah mengambil kebijakan.

Penulis: Najmu Tsaqiib

Kategori
Diskusi Esai

Sebuah Mukadimah atas Kekuasaan

Power dalam bingkai studi hubungan internasional sering disebut dengan kekuasaan. Dengan koleganya, ilmu politik, power didefinisikan sebagai perebutan kekuasaan. Namun dalam HI, power adalah segala sesuatu (atribut, atau tujuan) yang bisa menciptakan dan mempertahankan pengendalian seseorang atas orang lain.

Bila dilihat dari intensitasnya, istilah power merupakan kata yang paling sering diucap dosen saat mengajar di kelas-kelas. Bila dilihat lebih dalam lagi, power (kekuasaan) merupakan inti dari setiap upaya menyelami ilmu hubungan internasional. Siapapun yang belajar tentang HI, seyogyanya tau akan hal ini. Siapapun yang (niat) belajar ilmu ini, ia bakal dihadapkan dengan pencarian makna dan konsekuensi praktisnya, sebagai upaya untuk merebut, mencapai dan mempertahankan sebuah kekuasaan.

Memaknai power bukan berarti kita harus bergabung di dalamnya. Bukan berarti kita harus menjadi presiden, Jendral, atau bos kartel narkoba untuk bisa mengerti tentang power, apa itu kekuasaan dan bagaimana ia bekerja. Tapi, jika ingin merasakannya secara langsung, saya kira opsi untuk menjadi pemimpin dalam sebuah institusi (lembaga, organisasi) bisa menjadi pilihan yang baik (asal bertanggung jawab).

Sebelum memulai lebih lanjut, perlu saya jelaskan disini bahwa pendefinisian power itu sendiri banyak memicu perdebatan. Columbius dan Wolfe menyebut ada dua hal yang masih disilangpendapat kan, yaitu tentang power sebagai atribut (militer, tingkat ekonomi), atau hubungan antara dua aktor politik yang berbeda. Namun saya tidak akan menjelaskannya dalam catatan singkat ini.

Hans Morgenthau, dalam bukunya “Politic among Nations”, mendefinisikan power sebagai hubungan antara dua aktor politik dimana aktor A memiliki kemampuan untuk mengendalikan pikiran dan tindakan aktor B.

Jadi, power menurut Morgenthau bisa berupa apa saja, dari ancaman fisik hingga tekanan psikologis yang menciptakan dan mempertahankan pengendalian seseorang terhadap orang lain.

Dalam pengertian ini, misalnya : Fulan, seorang yang tinggi berotot menyuruh Alan yang kering kerontang untuk membelikannya sebungkus rokok di warung. Jika si Alan menolak, Fulan berjanji akan meninju Alan habis-habisan. Alan akhirnya mau, meski dengan terpaksa.

Pada contoh diatas, “badan tinggi dan otot kuat” merupakan sebuah atribut yang dimiliki oleh Fulan untuk bisa mengendalikan Alan untuk mau menuruti perintahnya. Jika menolak permintaan itu, Alan takut dirinya bakal diberi bogem mentah di sekujur tubuhnya. Dengan kata lain, Fulan mempunyai power (kuasa) terhadap Alan.

Columbius dan Wolfe lebih lanjut menjelaskan tiga unsur penting dalam power. Pertama adalah daya paksa. Yaitu beragam ancaman kasat mata sebagai faktor pemaksa oleh aktor A terhadap aktor B. Unsur kedua ialah pengaruh (influence), yang diartikan sebagai alat-alat persuasi (tanpa kekerasan) untuk menjamin perilaku aktor B agar sesuai keinginan aktor A.

Terakhir, yang ketiga, adalah authorithy (wewenang). Konsep ini merujuk pada sikap tunduk secara sukarela aktor B lewat nasehat, perintah, atau karisma yang ditunjukan oleh aktor A.

Pada contoh diatas, Fulan memakai power yang dimilikinya untuk mengendalikan tindakan Alan. Unsur yang digunakan ialah daya paksa, dengan atribut berupa ancaman fisik (tinju) yang bakal didaratkan Fulan kepada Alan jika ia tak mau menerima perintahnya.

Paradoks Kekuasaan

Yang menarik dari sebuah kekuasaan adalah wujudnya yang paradoks. Persis seperti dua sisi mata koin yang saling berlainan, kekuasaan menampilkan dirinya sebagai entitas berwajah ganda.

Di satu sisi, di tangan yang tepat, kekuasaan bisa menjadi pintu gerbang bagi manusia dalam rangka mencapai mimpi-mimpi indahnya. Upaya-upaya menciptakan kedamaian, ketertiban, keadilan hingga kesetaraan, dapat terwujud jika kekuasaan digunakan dengan dan oleh pemimpin yang tepat.

Di sisi yang lain, kekuasaan adalah rahim bagi lahirnya neraka duniawi. Terutama bila ia berwujud penindasan, pemiskinan, pembodohon atau penyalahgunaan sewenang-wenang oleh pemimpin, institusi hingga lembaga yang menjelma sebagai iblis berkaki dua kepada warganya.

Menariknya, yang terakhir ini bisa kita temukan sehari-hari dalam institusi yang bernama negara. Baik dalam bentuk kebijakan maupun tindakan aparatusnya, negara acap kali bertindak di luar batas dalam maksud menggunakan kekuasaan yang ia miliki. Soal ini kita bisa menyebutnya sebagai penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power).

Kekuasaan, dalam sifat dan praktiknya, punya batasan-batasan yang terkait dengan ruang lingkupnya. Batasan-batasan inilah yang memungkinkan para pemimpin atau orang yang punya kuasa untuk tidak menyalahgunakannya secara sewenang-wenang. Di ranah negara, batasan ini dimanifestasikan dengan bentuk peraturan perundang-undangan yang mengikat dan punya sifat memaksa. Ia disebut hukum. Hukum ibarat wasit yang menjaga pemimpin agar tidak keluar jalur saat melakukan pekerjaan.

Sebagai pemimpin umum, saya punya kuasa untuk mengatur dan menyuruh pengurus saya untuk mengerjakan tugas sesuai dengan tupoksinya. Namun, saya tak punya wewenang untuk memaksa mereka. Kekuasaan dalam organisasi sifatnya terbatas, didapatkan dari konsensus bersama melalui musyawarah dan batasan-batasannya amat kabur. Misalnya, mendorong mereka untuk mau menulis merupakan salah satu tugas (baca: kuasa) saya, tapi, menggunakan jabatan ini untuk mendekati perempuan demi dijadikan pacar adalah hal yang tidak patut, setidaknya dalam pertimbangan etis dan moral.

Beda lagi dengan kekuasaan yang ada pada negara (saya menyebut negara sebagai kesatuan dari pemerintah dan para aparatusnya). Di tangan mereka, kekuasaan menjelma sebagai barang yang bisa dipermainkan sekehendak hatinya. Sia-sia saja menuliskan disini pelbagai catatan kelam penyalahgunaan kekuasan oleh negara terhadap warganya sendiri. Sebuah roman 1000 halaman pun takan cukup. Konflik Wadas bisa menjadi cerminan paling anyar dari upaya negara untuk menukar sumber kehidupan warga Kecamatan Bener, Purwerojo dengan sebuah bendungan yang entah dibuat untuk siapa.

Kekerasan Aktifis di Jombang

Salah satu unsur yang bisa digunakan untuk mengendalikan orang lain ialah wewenang (authorithy). Wewenang ini menurut saya bisa dibedakan menjadi dua, formal dan non formal. Yang pertama bisa didapatkan ketika mempunyai jabatan/posisi sebuah institusi (negara, organisasi dll). Ada kerangka legal dimana kita menggunakan kuasa kita (hukum, AD-ART).

Yang kedua sifatnya tak terlihat. Ia berasal dari atribut-atribut “spesial” yang melekat dalam sosok seseorang. Atribut-atribut itu dapat berupa ilmu, karisma, ahlak, hingga adab.

Dalam dua tahun terakhir, selama berkuliah saya memilih nyantri di pondok pesantren yang masih satu “keluarga” dengan kampus. Saya sedikit mengerti bahwa kyai adalah sosok yang amat di hormati dan dijunjung tinggi dalam lingkungan pesantren. Para santri biasanya bakal dengan gampang mengikuti tutur kata dan perbuatan yang dititahkan oleh kyainya.

Penganiayaan yang dialami Rani (bukan nama sebenarnya) diduga dipicu oleh kegiatannya sebagai aktifis kekerasan seksual, lebih khusus lagi pada kasus yang melibatkan anak Kyai terkenal di Jombang,  M, Subchi Azal Tsani. Saya tak tahu apakah ada korelasi langsung antara kekerasan yang dialami Rani dengan posisi Subchi yang merupakan anak Kyai. Namun, kita tahu bagaimana posisi prestisius seseorang acap kali bisa membuatnya kebal dari tindakan hukum. Terkait kekerasan seksual yang (diduga) dilakukan oleh Subchi,  apakah saya salah jika mengatakan bahwa posisi Subhci yang saat ini masih melenggang bebas adalah buntut dari privilisnya yang seorang anak kyai?

Tentu ini cuma hipotesa belaka. Tapi kita semua sudah mafhum bahwa pelaksanaan hukum Indonesia seringkali tajam ke bawah dan tumpul ke atas. Bedebahnya, ini merupakan fenomena umum yang lazim ditemukan. Authority (wewenang) yang dipunyai seseorang bisa (atau biasa) menjadi tameng perlindungan bagi ia untuk melenggang dari jerat hukum yang sudah jelas bisa menimpa orang-orang kecil.

Contoh konkritnya bisa kita temukan dalam tindakan Tim Mawar atas penyulikan para aktifis di medio 98 an. Atau pada kasus-kasus HAM masa lalu yang belum terselesaikan hingga sekarang. Pada kasus penculikan aktifis, mirisnya, jenderal yang (diduga) menjadi tersangka masih berkeliaran bebas bahkan ada yang sampai dua kali nyalon sebagai Presiden.

Kasus 65 lebih ngeri lagi. Pembantaian besar-besaran 500 hingga 1 juta orang tak menyisakan pelaku yang jelas untuk diadili. Rezim Soeharto menguburnya dalam-dalam. Dan rezim Habibi hingga Jokowi tak ada kemauan kuat untuk mengungkapnya.

Rani, 23 tahun, mengalami penganiayaan karena memperjuangkan penyelesaian kasus kekerasan seksual. Dan itu bukanlah sebuah mukjizat. Siapapun bisa dianiaya dan melakukan aniaya. Terlebih bila ia punya kekuasaan yang besar, otoritas yang kuat, pengaruh yang luas, maka menyalahgunakannya hanya sebatas pilihan mau atau tidak mau. Semudah Thanos ketika menghilangkan separuh isi penduduk alam semesta hanya dengan sekali klik jentakan jari.

Namun saya kira orang-orang seperti Rani bakal tetap ada dan terus berlipat ganda. Nyala apinya menjalar bagi siapapun yang merasakan dirinya terkungkung dalam tempurung penyiksaan, kekerasan dan penyalahgunaan kekuasaan yang dilakukan oleh negara, otoritas keagamaan hingga para iblis kapital. Dan siapa tahu, nyala api itu dapat masuk dalam tubuh kita semua. Semoga dan semoga.

Kategori
Diskusi

Perjalanan Panjang Konvergensi Media Pers Mahasiswa

Kemajuan teknologi informasi saat ini memberikan pengaruh besar terhadap pers dan jurnalisme. Media online yang merupakan anak kandung teknologi internet menjadi salah satu bentuk ancaman terhadap media konvensional. Di Indonesia, dalam dua dekade terakhir sejumlah perusahaan media cetak telah gulung tikar tanpa mempersiapkan konvergensi medianya menuju online. Dewan Pers di Jurnal Edisi 20 November 2019, menyebutkan bahwa media massa konvensional, terutama koran, majalah, dan tabloid sebagai penyedia konten telah mengakhiri edisi cetak, dikarenakan tidak kuat menghadapi gerusan media baru berbasis internet.

Walaupun tidak semua media cetak mengalami hal tersebut, sebagian besar media memilih untuk migrasi ke platform digital atau membuat media digital sendiri, sembari tetap mempertahankan edisi cetaknya. Konvergensi media menuju online menjadi keniscayaan bagi media pers untuk bertahan. Namun hal tersebut tidaklah mudah.

Persaingan media online saat ini sangat ketat bagi insan media, sehingga ada yang berhasil melakukan migrasi, ada juga yang layu sebelum berkembang bahkan mengalami kegagalan. Selain mereka harus bersaing dengan sesama media pers, mereka juga harus mampu berhadapan dengan media sosial yang juga memberikan informasi dan juga media agregasi atau penghimpun berita.

Terlepas dari itu, kemajuan teknologi juga memberikan data yang besar dan luas untuk dijadikan bahan berita. Pada era informasi digital, data tidak hanya sebagai pelengkap atau sekadar memberi konteks pada berita, melainkan bisa menjadi berita sendiri. Data mentah yang bertebaran dan berserakan di berbagai tempat, dikumpulkan, diseleksi, kemudian dianalisis supaya menjadi fakta berita (news facts) yang menarik dan penting. Inilah yang disebut jurnalisme data.

Posisi Pers Mahasiswa Menghadapi Konvergensi Media

Banjirnya informasi di saat sekarang ini seakan memberikan sambutan yang cenderung meniadakan gairah hidup bagi media pers, begitupun yang dialami oleh pers mahasiswa. Untuk ulasan ini, bisa dibaca di https://www.persma.id/persma-mencari-kembali-identitas-di-tengah-perubahan/ . Dalam artikel tersebut, penulis mengatakan bahwa sudah saatnya bagi pers mahasiswa untuk memiliki badan usaha sendiri, lalu secara perlahan bebas dari ancaman dana dari kampus atau dari kejadian tidak terduga seperti pandemi, sehingga menjadi independen dan mandiri secara kaffah.

Perkembangan teknologi informasi ini telah menggerus media dari sisi keterbacaannya. Saat ini penyedia platform juga menyediakan konten. Mereka juga mengakses konten dari pelbagai media dan mempublikasikannya. Selain mendapatkan konten, tanpa disadari penyedia platform seperti Google, Facebook, atau media lain telah memperoleh data yang berharga di masa sekarang. Sebesar 70 persen (secara global) pendapat iklan digital telah dikuasai oleh penyedia platform. Namun tak bisa dipungkiri, konvergensi media ini selain berkontribusi memperkaya raksasa digital, penyedia konten seperti pers mahasiswa juga membutuhkan peran mereka. Bahwa sebenarnya kerja di media, adalah kerja kolektif, yang melibatkan satu kesatuan antara redaksi, produksi, bidang lain, serta masyarakat.

Analoginya adalah Google sebagai pasar dan sosial media menjadi kios besar yang berada di pasar tersebut. Pers mahasiswa (website) sebagai platform media diibaratkan sebuah kios yang berada di luar pasar tersebut. Ada dua pilihan yang harus kita pilih agar produk kita di beli seseorang. Karena kios kita baru saja berdiri, tentunya kita memanfaatkan kios gratis yang disediakan di dalam pasar. Sembari kita mengoptimalisasi kios kita, baik dari tampilan kios maupun kualitas produk kita serta mengumpulkan kepercayaan seseorang terhadap produk yang kita terbitkan.

Penyesuaian tersebut menyusul kebiasaan para pembaca. Bila terjadi sebuah peristiwa besar, unjuk rasa, atau bencana alam, pembaca hanya sedikit yang langsung ke website media. Paling banyak dari pembaca akan mencarinya ke Google. Selain langsung bertemu apa yang dicari, seseorang juga akan disuguhkan banyak pilihan dari beragam media.

Pada mesin pencari, mereka mengetik keyword. Lalu indeks muncul berurut. Jika diklik, dia meluncur ke website media. Di situlah pers mahasiswa sebagai awak media, mau tak mau, menyesuaikan diri dengan cara kerja mesin pencari. Selanjutnya, kita bicara tentang sesuatu yang sekian tahun belakangan begitu populer di kalangan pers mahasiswa, yakni Search Engine Optimation (SEO). Penjelasannya mungkin berat dan rumit, tapi bila disederhanakan SEO adalah resep agar tulisan di dalam website media muncul pada daftar teratas di index search engine, misalnya Google. Kata yang dicari, misalnya, harus ada di judul, lead tulisan, tubuh berita, nongol juga di penghujung. Makin sering kata yang dicari muncul di banyak rubrik, SEO makin bagus. Itulah sebabnya,tipe rumah yang terbakar, kadang dipreteli di rubrik properti, meski kita tahu tipe rumah tersebut nyaris tak ada hubungan dengan peristiwa.

Siasat Pers Mahasiswa Menyelami Ekosistem Digital

Sebagai upaya untuk tetap eksis, saat ini redaktur di berbagai media, tak terkecuali pers mahasiswa harus menyiasati cara ini. Mereka harus siap untuk mengikuti tuntutan SEO yang kadang saling berlawanan. Keyword harus dituliskan berulang, teguh pada ekonomi kata. Menggoda tapi tidak clickbait. Kegaguan dunia jurnalistik ini harus dilaksanakan dan diletakkan dalam ekosistem ini. Melawan ekosistem, sama dengan melawan takdir jagat maya.

Terkait tuntutan di dunia digital, tidak sedikit media yang mulai terseret arus bahaya praktik media online. Di sisi lain, media online yang menjamur menyediakan tulisan yang tidak berhubungan dengan konten, bahasa atau kedalaman informasi karena minimnya pengalaman dan kecakapan sehingga penampilan media pun menjadi buruk. Hasil pengamatan menunjukkan, sebagian besar program berita harian dan portal berita menyajikan hal dan berita yang sama dengan hanya mengubah judul berita dan laporan yang disampaikan sering subjektif dan hanya sedikit contoh jurnalisme objektif. Konten media semakin tidak beragam, dan kode etik jurnalistik semakin hari semakin dilanggar karena tuntutan pasar, yang artinya media semakin komersial (Nugroho, Siregar, laksmi, 2012) .

Selain itu, atas nama kecepatan, pageview, dan pertumbuhan bisnis, media online terjerembab menyampaikan informasi yang belum final terverifikasi. Dengan tagline berita terkini, tercepat, setiap detik ada berita, deadline every second dan tugas jurnalis membuat minimal 20 berita per hari, maka banyak berita yang disajikan hanya sepotong-sepotong dan belum lengkap, karena verifikasi belakangan (Eko Maryadi, 2013).

Yang menjadi masalah saat ini adalah bagaimana memastikan kualitas media serta menjaga dan merawat kebebasan pers. Meski terdapat jaminan konstitusi dan undang-undang, dalam praktiknya kebebasan pers sulit dijalankan.

Yang harus digarisbawahi adalah, posisi strategis media, khususnya pers mahasiswa terletak bukan semata pada perannya untuk menyampaikan informasi atau pun memberikan hiburan. Lebih daripada itu, pers mahasiswa harus berani improvisasi lembaganya untuk mencapai jurnalisme digital yang sebenarnya, tanpa harus menjual harga dirinya. Selain itu, pers mahasiswa harus menjadi media pendidikan bagi publik, dan dalam kapasitas optimumnya, pers mahasiswa memainkan multi-peran untuk turut menggemakan kepentingan publik serta mengontrol penyelenggaraan negara. Dalam memainkan peran tersebut, pers mahasiswa harus mampu menyajikan informasi yang bermakna dengan perspektif yang independen.

Kategori
Diskusi Esai

Catatan Refleksi Gerakan Pers Mahasiswa di Masa Pandemi

Pandemi belum berakhir, tapi gerakan pers mahasiswa belum mau menemui akhir. Dalam beberapa hal, pemerintah memang mencoba menangani pandemi dengan berbagai kebijakannya. Namun, seslain urusan pandemi, pemerintah juga punya fokus agenda lebih besar terhadap pembangunan dan investasi. Sering kali kita dengar pesan “patuhi protokol kesehatan” atau “bantu pemerintah atasi pandemi”. Sayangnya, kebijakan, pembangunan dan kepatuhan itu disertai kekerasan seperti intimidasi, penggusuran, kriminalisasi dan kekerasan lainnya. Pers mahasiswa menjadi salah satu media yang memberitakan kebenaran itu sekaligus menjadi korban dari kekerasan negara.

Badan pekerja Advokasi PPMI mencatat berbagai kekerasan yang dialami pers mahasiswa di masa pandemi. Beberapa kekerasan itu diantaranya kekerasan fisik, ancaman pembunuhan, upaya kriminalisasi dengan UU ITE, kriminalisasi, pembubaran diskusi, penyerangan sekretariat LPM, pembredelan berita, ancaman skorsing dan DO, dan kekerasan seksual. Pelaku kekerasannya juga beragam, mulai dari birokrat kampus, aparat kepolisian, orang tak dikenal (OTD), anggota HMI bahkan anggota PPMI sendiri (kasus kekerasan seksual).

Setidaknya, dari berbagai kekerasan yang dialami pers mahasiswa tersebut, kita tahu bahwa pers mahasiswa mengalami kekerasan dari luar (kebijakan negara, polisi, kampus, mahasiswa, OTD) dan dari dalam (pers mahasiswa). Saya juga melihat beberapa kasus kekerasan seksual juga muncul ke publik, terutama pasca kasus kekerasan yang diberitakan oleh BPPM Balairung di UGM, Yogyakarta. Muncul kasus kekerasan di beberapa perguruan tinggi, organisasi pergerakan (seperti SINDIKASI dan Malang Coruption Watch) dan kolektif pergerakan lainnya.

Maka dari itu, perlu sebuah refleksi bagi pers mahasiswa atas berbagai kasus kekerasan tersebut. Refleksi ini bertujuan supaya pers mahasiswa dapat memperbaiki peraturan internal organisasinya untuk melindungi anggotanya dan memperkuat kualitas pemberitaan terhadap segala bentuk kekerasan.

Belajar Advokasi itu Harga Mati

Rasa gentar menghampiri setiap pers mahasiswa yang mengalami kekerasan. Secara spontan, mereka akan melakukan apapun untuk bertahan dari kekerasan. Tak semua pers mahasiswa mengetahui cara mempertahankan haknya yang sudah dirampas. Rasa sakit karena kekerasan fisik maupun ketakutan akan kekerasan, sering kali membutakan setiap pers mahasiswa. Maka dari itu, setiap pers mahasiswa yang telah mengalami maupun yang sadar akan posisi rentannya terhadap kekerasan, mereka akan belajar mempertahankan, membela, dan mengadvokasi.

“Kenapa sih kamu ngritik kampus terus? Udah tau bakal kena dampaknya kok tetep ngritik,” ini adalah pertanyaan using dari mereka yang tak pernah mengalami kekerasan. Bukan soal “kenapa kalian mengkritik” tapi soal “kenapa kamu diam ketika hak-hakmu dirampas? Kenapa kamu diam ketika melihat keluarga, teman, tetangga atau siapapun itu tidak bisa melanjutkan kuliah karena kuliah semakin mahal? Kenapa kamu diam ketika orang-orang tak lagi bisa mendapatkan air dan makanan karena digusur oleh perusahaan dan proyek pembangunan dari negara? Kenapa kamu diam?”

Beberapa kawan pers mahasiswa sering tertawa setelah temannya direpresi. Ada juga yang bilang, kalau belum direpresi artinya belum bener-bener jadi pers mahasiswa. Di satu sisi, hal itu memang mengandung unsur kesombongan. Tapi di sisi lain, sebenarnya mereka mengalami tekanan fisik maupun mental yang cukup dalam. Menertawakan kesakitan, mungkin adalah cara kita mengurai semua kemarahan atas kekerasan yang tak pernah kita harapkan untuk datang.

Pengalaman dan kesadaran akan posisi rentan ini perlu dirarahkan kepada penguatan pembelaan diri. Kita perlu mempertahankan hak-hak kita maupun orang lain dari ancaman kekerasan. Kita perlu mempersenjatai diri dengan advokasi untuk melawan kekerasan yang akan datang di kemudian hari.

Apakah AD/ART dan Kode Etik PPMI sudah menjadi dasar untuk menciptakan ruang aman serta melawan segala bentuk kekerasan seksual? Sampai mana kabar SOP Penanganan kasus kekerasan seskusal yang katanya sedang disusun PPMI? Silahkan PPMI untuk menjawabnya.

PPMI juga menyediakan buku pedoman teknis advokasi untuk pers mahasiswa. Sudah dibuat dan diterbitkan sejak 2016. Pertanyaannya, dari 2016-2021, berapa banyak pers mahasiswa yang sudah membaca dan menerapkan pedoman advokasi itu? Ini penting untuk dijawab.

Kita sangat perlu mengingat dan menolak lupa terhadap berbagai kekerasan yang dialami pers mahasiswa. Salah satunya kasus pemecatan anggota LPM SUARA USU (yang sekarang menjadi BOPM Wacana) karena menerbitkan cerpen. Cerpen? Sebuah tragedi besar dalam sejarah represi pers mahasiswa. Tentunya sebuah kemuduran besar juga bagi pendidikan tinggi dan demokrasi di negara ini.

Menurut saya, wajib bagi pers mahasiswa untuk mengingat editorial yang berjudul “Umur Panjang Pers Mahasiswa”. Redaksi BOPM Wacana menulis:

“Putusan PTUN Medan terhadap kasus Pers Mahasiswa Suara USU harusnya menjadi cambukan bagi pers mahasiswa di tanah air. Jika pengadilan yang menjadi perwakilan negara pun membenarkan tindakan yang mengukung kebebasan media dan mimbar akademik, tak ayal jika pers mahasiswa di Indonesia tidak akan mempu berumur panjang jika mulai ‘mengusik’ rektorat-nya. Tidak adanya payung hukum yang melindungi pers mahasiswa menjadi salah satu alasan rentannya pers mahasiswa untuk diintimidasi”

Kalau kamu sudah merasa terambuk, maka mulailah belajar advokasi. Selain untuk orang lain, ini juga untuk dirimu sendiri. Kita memang tak cukup belajar advokasi saja. Perluasan jejaring untuk memperkuat barisan pertahanan tentu sangat penting. Selain itu, kita perlu terus menerus mempelajari dasar-dasar jurnalisme. Sering mengoceh bahwa pers mahasiswa tidak punya payung hukum, saya rasa juga tidak menunjukkan progress yang signifikan.

Sekalipun ada payung hukum yang melindungi, pers umum juga tetap mendapatkan represi. Artinya, payung hukum bukan solusi tunggal yang bisa menumpas segala kekerasan terhadap jurnalis. Kita tetap perlu belajar terus-menerus yang namanya dasar-dasar jurnalisme, UU Pers, Kode Etik Jurnalistik, UU Keterbukaan Informasi Publik, UU Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum, Kebebasan Akademik dan berbagai undang-undang lainnya. Kita perlu belajar advokasi jika kita tak ingin mati.

Nafas Pers Mahasiswa ada di Budaya Membaca, Menulis dan Berdiskusi

Refleksi mendasar bagi pers mahasiswa juga terletak di budaya membaca, menulis dan berdiskusi. Untuk budaya membaca, sudah cukup saya jelaskan di pembahasan sebelumnya. Sekedar tambahan, saya hampir selalu bertanya ke pers mahasiswa yang mengundang saya untuk ngisi materi advokasi. “Represi sebelum menulis itu apa?”

Pertanyaan ini saya ajukan karena represi sering terjadi ketika meliput (dipersulit, diintimidasi dan lainnya) dan setelah melipu (dibredel, sensor, kekerasan fisik dan lainnya). Represi sebelum menulis adalah kepatuhan terhadap birokrasi dan pemerintah. Artinya, selalu menganggap bahwa birorasi dan pemerintah itu melakukan kebaikan. Inilah represi yang tidak disadari oleh beberapa pers mahasiswa. Sehingga, lagi-lagi saya katakan, untuk mengantisipasi represi, kita perlu membaca dan belajar advokasi. 

Berikutnya menulis. Masih berkaitan dengan advokasi, menulis bisa menjadi salah satu cara untuk melakukan advokasi litigasi maupun non litigasi. Entah itu untuk menulis analisis terhadap suatu kasus, maupun untuk mencatat setiap kasus represi. Dua hal ini, saya melihatnya juga masih ada kekurangan. Tak sering saya melihat analisis yang cukup dalam ketika ada kasus represi yang dialami pers mahasiswa. Kebanyakan hanya catatan kronologi dan pernyataan sikap. Saya rasa pers mahasiswa bisa lebih baik dari ini.

Kemudian mencatat kasus represi. Ini ironis. Pers mahasiswa bergerak di bidang jurnalistik, artinya ya wajib nulis. Tapi masih jarang saya melihat pers mahasiswa maupun PPMI yang rajin melakukan pencatatan terhadap setiap kasus represi. Dampaknya, public tidak akan mendapat informasi secara utuh tentang represi yang dialami pers mahasiswa.

Bahkan, Elyvia Inayah, penulis buku “Melawan dari Dalam” tentang pers mahasiswa pasca reformasi juga mengalami kesulitan ketika menyelesaikan bukunya. Dalam bukunya, alumni UAPKM Kavling 10 Universitas Brawijaya itu mengatakan bahwa dia kesulitan karena referensi buku tentang pers mahasiswa itu minim.

Jadi, kalau pers mahasiswa masih malah mencatat kasus represi yang dialaminya, maka fenomena ironi ini akan terus terjadi. Hal ini sudah sering saya katakana ketika ngisi materi tentang advokasi. Kadang saya merasa capek. Dan sekrang silahkan jawab pertanyaan ini. Untuk PPMI, baik nasional maupun kota, sudahkah kalian rajin menulis dan mencatat kasus represi yang kalian alami?

Pikirkan jangka panjang. Kalau kalian punya basis data dan analisis yang kuat, itu bisa menjadi bekal yang bagus untuk melawan kekerasan yang akan terjadi di kemudian hari.

Terakhir, saya mau bilang kalau tidak semua refleksi yang saya jelaskan itu bisa langsung mendorong pers mahasiswa memperbaiki peraturan internal organisasinya untuk melindungi anggotanya dan memperkuat kualitas pemberitaan terhadap segala bentuk kekerasan. Pandemi benar-benar memberi dampak yang nyata. Tidak hanya dalam konteks represi, tapi juga regenerasi. Beberapa LPM juga menjadi tidak aktif selama pandemi ini. Entah itu tidak aktif menulis, tidak menyelesaikan majalah dan lain sebagainya. Banyak juga kawan-kawan kita yang mengalami dampak penurunan ekonomi.

Memaksa pers mahasiswa untuk langsung atau cepat berubah juga bukan hal yang baik. Semua perlu proses. Kadang, kita perlu memahami bahwa ketidakmampuan kita juga disebabkan oleh kebijakan negara yang tidak pro rakyat, akses pendidikan yang semakin sulit, maupun beban kuliah yang tidak masuk akal besarnya.

Ada hal-hal di luar diri kita yang tidak bisa kita kendalikan. Begitu kata seorang psikolog. Kita perlu saling menguatkan. Saya memberi apresiasi dan hormat setinggi-tingginya kepada seluruh pers mahasiswa yang tetap bertahan dengan cara apapun. Walaupun tahu bahwa kapanpun bisa direpresi, walaupun kecewa dengan kawan yang meninggalkan barisan perlawanan, walaupun mengalami penurunan ekonomi, walaupun sedang mengalami masa-masa sulit, walaupun marah, kesal, sedih selalu berkecamuk di hati dan pikiran. Kalian tetap bertahan dan itu hebat.

Kategori
Diskusi Esai

Persma: Mencari Kembali Identitas di Tengah Perubahan

Beberapa hari belakangan, saya mengikuti satu peristiwa yang melibatkan jurnalis Detikcom. Dia menulis soal kebutuhan seksual dari istri Jrinx, yaitu Naura. Kejadian itu mengundang banyak kritik dari netizen setelah Naura mengunggah tangkapan layar dari isi percakapannya dengan si jurnalis. Reaksi jurnalislah yang mengundang banyak kecaman, seperti:

“Maaf mbak, salah saya dimana ya?”

Dalam satu garis waktu, produk jurnalistik yang muncul di layar saya semakin tidak karuan. Selain judul tulisan dari Detikcom tadi, ada banyak judul-judul sejenis yang muncul ke beranda. Kebetulan, halaman pembuka dari browser saya adalah MSN, yang mengkurasi banyak berita yang sedang banyak dibaca orang. Hasilnya? Tak jauh berbeda.

Tidak bisa saya pungkiri, tulisan-tulisan nyeleneh yang banyak keluar dari media-media, terutama yang berbasis online, adalah hasil dari tingginya tuntutan kepada jurnalis untuk menghasilkan tulisan yang dibaca banyak orang. Semakin bombastis judulnya, semakin banyak diklik orang. Semakin banyak diklik orang, semakin banyak iklan yang ingin tampil di halaman depan. Semakin banyak iklannya, semakin banyak uang yang didapat. Pada akhirnya, media bukan menghamba kepada masyarakat, tapi justru malah menghamba kepada SEO atau peringkat Alexa.

Kejadian demi kejadian serupa akhirnya memantik banyak diskusi liar di media sosial. Diskusi tersebut, kebanyakan mempertanyakan “Bagaimana masa depan media dan jurnalisme”. Sebagai orang yang aktif di pers mahasiswa empat tahun belakangan, rasanya saya juga gatal untuk mengomentari kejadian ini.

Pers mahasiswa tidak bisa dihilangkan begitu saja dari berbagai kejadian belakangan ini, terutama setelah masa banjirnya informasi. Karena, walau bagaimanapun, para wartawan yang hari ini bekerja untuk memberi informasi kepada publik—mungkin—adalah alumni dari pers mahasiswa. Kalau media mainstream saja kelimpungan untuk mencari dana sampai harus mengorbankan kualitasnya, apalagi pers mahasiswa?

Mencoba menghindari kekangan birokrat kampus lewat pendanaan

Sudah lazim dimengerti bagi para insan pers mahasiswa, dana dari kampus adalah sumber keuangan utama yang bisa mereka dapatkan. Dana itu dianggarkan dari kampus setiap tahunnya, dan digunakan untuk kelangsungan berbagai kebutuhan pers mahasiswa selama satu tahun berikutnya. Jumlahnya pun bervariasi, tergantung apakah pers mahasiswa berdiri di tingkat kampus, atau fakultas. Bisa saja tergantung keras-lunaknya pers mahasiswa kepada birokrat.

Tidak asing bagi saya mendengar penurunan dana setiap tahun dari birokrat karena kerasnya pers mahasiswa kepada birokrat, karena saya mengalaminya. Alokasi dana bisa turun 50-70% setiap tahunnya, itu belum termasuk pemangkasan-pemangkasan lain jika pers mahasiswa ingin melakukan kegiatan tertentu. Alasannya selalu klise: pers mahasiswa tidak menghasilkan prestasi (biasanya birokrat membandingkan pers mahasiswa dengan organisasi lain yang bertolak ukur kepada piala), dan malah justru membuka borok kampus.

Dalam menghadapi pendanaan yang seret dari kampus, pers mahasiswa dihadapkan kepada pilihan yang sulit. Apakah harus melunak kepada birokrat dengan cara mengikuti lomba (atau bahkan membuat lomba), meliput ‘keberhasilan’ kampus (dan menjadi humas kampus), atau mencari dana sendiri untuk membiayai berbagai kebutuhan selama satu periode kepengurusan. Tentunya, pilihan-pilihan di atas memiliki kesulitannya masing-masing, dan tidak mudah untuk memilihnya. Di antara berbagai macam pilihan tersebut, -yang saya lihat- mereka cenderung memilih opsi ketiga: mendanai secara mandiri dan tetap pada pendirian mereka sebagai organisasi independen.

Mungkin saja, banyak pers mahasiswa yang memiliki dana yang cukup atau bahkan lebih dalam tiap tahunnya, sehingga paragraf-paragraf di atas tidak relate dengan keadaan mereka. Namun ada satu pertanyaan saya: apakah itu bisa menjamin keberlangsungan pers mahasiswa ke depan?

Kita tidak pernah tahu seperti apa masa depan yang akan dihadapi. Tiga tahun yang lalu, siapa di antara kita yang menyangka, kalau roda-roda organisasi—dan kehidupan pada umumnya—akan direm secara darurat karena sebuah pandemi sialan? Karena dari itu, sudah saatnya bagi pers mahasiswa untuk memiliki badan usaha sendiri, lalu secara perlahan bebas dari ancaman dana dari kampus atau dari kejadian tidak terduga seperti pandemi, sehingga menjadi independen dan mandiri secara kaffah.

Tapi bagaimana caranya? Mungkin caranya berat. Seperti apa langkah menuju ‘independen dan mandiri secara kaffah’?

Perlakukan pers mahasiswa semirip-miripnya dengan perusahaan media bekerja

Banyak yang harus dipertimbangkan oleh pers mahasiswa—terutama yang sudah maju atau sedang berkembang—untuk merubah gaya kerja, dari organisasi menjadi ‘selayaknya’ perusahaan media yang ada. Terlebih, jika kita bicara soal finansial. Saya pikir, dalam proses bekerja sebagai media, pers mahasiswa sudah bisa disamakan dengan media profesional—bahkan lebih bagus hasilnya dari beberapa media yang ada sekarang.

Dalam pengelolaannya selama ini, pers mahasiswa kebanyakan dikelola sebagai sebuah organisasi kemahasiswaan. Dikelolanya pers mahasiswa sebagai sebuah organisasi, menurut saya, dapat mengurangi marwah pers mahasiswa yang digadang-gadang sebagai media alternatif. Ada banyak aspek yang lebih-kurang mempengaruhi pers mahasiswa yang berkaitan dengan alur kaderisasi dan produktivitas.

Aspek yang paling dasar dalam pengelolaan pers mahasiswa adalah terikatnya dengan aturan-aturan kampus tentang organisasi kemahasiswaan. Aturan-aturan tata kelola semacam ini bukan hal yang tidak umum di kampus. Misalnya, dalam tahun kedua, anggota pers mahasiswa akan otomatis menjadi pengurus. Pada tahun ketiga akan menjadi pimpinan, lalu selanjutnya demisioner, dst. Apalagi dalam setiap jabatan mengandung berbagai tanggung jawab yang tidak mudah.

Tanggung jawab itu, yang mungkin saja hanya karena kewajiban untuk mengikuti aturan tata kelola dari kampus, memakan banyak tenaga sehingga anggota pers mahasiswa tidak fokus kepada media—yang menjadi aspek utama di dalam pers mahasiswa. Alur kaderisasi pers mahasiswa—yang paling lama saya tahu adalah satu tahun—juga kebanyakan berhenti di tahun pertama. Di dalam dunia media yang selalu berimprovisasi terhadap perubahan tiap tahunnya, treatment ini sudah seharusnya dipikirkan ulang untuk diubah.

Bukan berarti anggota pers mahasiswa harus menjabat lebih lama. Bukan pula pers mahasiswa butuh waktu kaderisasi yang lebih lama. Tetapi yang menjadi fokus perhatian bagi saya adalah, lama waktu belajar tidak menjamin anggota pers mahasiswa tanggap terhadap perubahan. Improvisasi signifikan atas cepatnya perubahan tidak akan terjadi apabila kita masih menunggu satu periode kepengurusan untuk merubahnya. Maka itu, proses pembelajaran di pers mahasiswa harus dinamis dan tidak terpaku kepada satu waktu saja.

Inkompetensi pers mahasiswa dalam menanggapi berbagai perubahan—terutama dalam produk dan cara mereka bekerja—hanya akan membuat mereka berputar-putar di dalam lingkaran permasalahan yang sama tiap tahunnya. Pada akhirnya, yang menjadi fokus bertahun-tahun untuk pers mahasiswa adalah bukan pada produk dan gaya baru untuk mengelola organisasi, tetapi lebih kepada cara-cara klasik berorganisasi, seperti keaktifan anggota, kekurangan anggota, atau anggota yang tidak mampu menjalankan tanggung jawabnya.

Karena pers mahasiswa bukan organisasi biasa

Setelah disadari bahwa pers mahasiswa tidak memiliki tolak ukur seperti piala atau sertifikat, dan ada banyak hal yang harus dirombak dalam cara pengelolaan pers mahasiswa untuk menghasilkan produk yang lebih baik, sudah saatnya kita mulai banyak berdiskusi tentang bagaimana pers mahasiswa seharusnya dikelola.

Ada satu kata yang agak berat jika diucapkan ini kepada pers mahasiswa, tapi hal itu sangat dibutuhkan. Kata itu adalah profesionalisme. Namun perlu diingat, profesionalisme tidak akan dicapai apabila seseorang tidak ahli di bidangnya, dan seseorang itu tidak akan bisa ahli di bidangnya apabila ia tidak mendapatkan pengalaman belajar yang baik. Sialnya, anggota pers mahasiswa tidak seperti pekerja di perusahaan-perusahaan media yang digaji. Anggota pers mahasiswa adalah seorang relawan/volunteer, dan tidak setiap pers mahasiwa paham akan posisi ini.

pers mahasiwa cenderung untuk meminta anggotanya untuk loyal dan all-out, tapi alfa dalam memikirkan apa yang bisa mereka berikan kepada anggota yang sudah dengan rela menyisihkan waktu dan tenaganya. Di sinilah letak perbedaan besar pers mahasiswa dengan organisasi biasa, bahkan dengan perusahaan media sekalipun. Pers mahasiswa harus merancang sendiri pencapaian dan pengalaman belajar yang harus dicapai para anggotanya. Selain harus memikirkan produk-produk yang akan mereka keluarkan—dan inovasi yang harus mereka lakukan, pers mahasiswa harus bisa menjadi fasilitator belajar yang baik bagi anggota-anggotanya.

Setidaknya ada tiga hal yang harus pers mahasiswa lakukan untuk menyelesaikan sekian masalah di atas. Pertama adalah rencana strategis (renstra), kedua adalah kurikulum, dan yang terakhir adalah silabus. Ketiga hal ini adalah hal dasar yang perlu pers mahasiswa susun untuk bersiap menjadi independen dan mandiri secara kaffah, hingga mencapai profesionalisme untuk setiap tugas anggota-anggotanya.

Rencana strategis adalah sebuah visi, grand design, tentang arah gerak pers mahasiswa dalam rentang waktu tertentu. Renstra inilah yang akan menjadi rujukan untuk setiap program kerja tahunan yang akan disusun. Dalam renstra pula pers mahasiswa menentukan, mereka akan menjadi pers mahasiswa yang seperti apa. Sedangkan kurikulum adalah penentuan proses belajar dalam pengkaderan anggota baru untuk mencapai tujuan tertentu—biasanya dalam mendapatkan kartu pers, dan silabus adalah kumpulan materi yang harus dipelajari anggota selama masa pengkaderan anggota baru.

Setidaknya, dalam menghadapi perubahan-perubahan besar yang begitu cepat, pers mahasiswa sudah memiliki modal sederhana namun berarti, yaitu tujuan dan pondasi keorganisasian yang kokoh. Dengan begitu, kondisi sesulit apapun akan berhasil dihadapi pers mahasiswa. Karena semua hal yang terlihat mustahil bukan tidak bisa dilakukan, tetapi hanya sulit. Tinggal bagaimana kita membedah apa yang menjadi kesulitan untuk menghasilkan inovasi dan gaya-gaya baru untuk mengatakan impossible is possible.

Kategori
Diskusi

Demonstrasi Biaya Kuliah Saat Pandemi dan Pentingnya Belajar dari Gerakan Mahasiswa Chile

“Pembangkangan, bagi mereka yang pernah membaca sejarah adalah kualitas terbaik manusia. Melalui pembangkanganlah kemajuan dicapai, melalui ketidakpatuhan dan pemberontakan,” ~Oscar Wilde.

Sebulan terakhir di negeri ini sedang terjadi gelombang demonstrasi mahasiswa menyoal biaya kuliah. Tuntutan mahasiswa dari berbagai kampus pun berbeda-beda, ada yang hanya sebatas menuntut pengurangan biaya kuliah dan sebatas keberatannya membeli kuota internet, hingga ada yang menuntut biaya pendidikan gratis dan melakukan mogok bayar. Meskipun berbeda-beda tuntutan, pada dasarnya para mahasiswa di berbagai daerah itu memiliki latar belakang yang sama, mereka diseru untuk membayar biaya kuliah, sementara  situasi perekonomian sedang krisis, sehingga mereka keberatan atau bahkan tak mampu untuk membayarnya.

Saya pribadi lebih setuju dengan tuntutan mahasiswa yang menuntut biaya pendidikan gratis dan melakukan mogok bayar, menurut saya hal ini lebih realistis dan layak dijadikan sebagai gerakan bersama. Saya menganggap bahwa rata-rata dari mahasiswa membayar biaya kuliah dari penghasilan orang tua, dan rata-rata orang tua mereka adalah dari kalangan strata rendah, mayoritas dari keluarga kelas pekerja, entah itu pekerja formal/informal, buruh industri/non industri, guru honorer dan sebagainya, yang saat ini merasakan krisis perekonomian, sebagai dampak dari pandemi. Untuk makan sehari-hari saja mereka kesusahan, apalagi untuk membayar biaya kuliah tunggal. Tentunya wacana menormalkan kembali perekonomian seperti sebelum pandemi itu tidak semudah membalik telapak tangan, perlu waktu bertahun-tahun untuk menyetabilkan perekonomian. Karena banyak dari kelas pekerja yang sudah kehilangan pekerjaan dan dirumahkan. Selebihnya lagi, pandemi di Indonesia tidak bisa diprediksi kapan berakhirnya.

Demonstrasi mahasiswa akibat resah dengan biaya uang kuliah, di beberapa tempat pun tak mendapat sambutan yang baik dari birokrasi kampus, beberapa di antaranya menyuruh mahasiswa untuk pindah kuliah, lebih tragisnya lagi ada mahasiswa yang dihadapkan dengan berbagai ancaman, represi bahkan drop out. Sebanyak 34 mahasiswa Universitas Nasional diancam dilaporkan pidana UU ITE dan diancam drop out kampus. Togi mahasiswa Universitas Bunda Mulia drop out gara-gara menuntut transpransi biaya, seorang mahasiswa Universitas Islam Negri Imam Bonjol menerima pukulan sampai harus dirawat di rumah sakit, sembilan mahasiswa Universitas Bina Insan Lubuk Linggau di drop out dari kampusnya. Itu adalah contoh kecil yang saya sebutkan, masih banyak yang belum disebutkan di sini. Namun dari situ saja kita sudah bisa melihat dengan jelas bagaimana watak kampus di Indonesia yang tidak mau mengerti penderitaan mahasiswa di tengah pandemi.

Menyikapi hal itu, beberapa pekan ini mencuat berbagai wacana konsolidasi nasional yang digulirkan oleh kelompok mahasiswa, untuk merespons kebijakan biaya pendidikan karena dampak pandemi pada perguruan tinggi. Letupan-letupan protes yang terjadi di berbagai kampus di Indonesia dan sosial media, menurut saya sampai saat belum mampu—jika tidak mau disebut gagal—memberikan perubahan yang signifikan terhadap kebijakan biaya pendidikan dalam skala nasional. Berbagai letupan protes tersebut, ironisnya yang sampai saat ini hanya mampu menghiasi media. Besar harapan saya, jangan sampai wacana ini ramai dipermukaan tanpa pengonsolidasian dan tuntutan yang lebih lanjut.

Penting menurut saya, kita perlu mengoreksi, mengapa tuntutan mahasiswa terhadap pembayaran biaya pendidikan di Indonesia sejauh ini masih terhenti sebatas judicial review dan letupan-letupan protes secara sporadis di masing-masing perguruan tinggi. Di Chile gerakan penuntutan dapat direspon dengan sangat masif oleh mahasiswa dan menjadi gerakan rakyat untuk menekan pemerintah melakukan perubahan kebijakan pada sektor pendidikan. Nah, disini saya ingin mengajak kawan-kawan semua untuk belajar dari gerakan mahasiswa Chile, sebuah gerakan masif yang menyita perhatian dunia pada abad ini.

Gerakan Mahasiswa Chile: Pendidikan tidak untuk dijual

“Universitas tidak bisa menjadi bisnis dan pendidikan tidak bisa menjadi komoditas. Masa depan Universitas dipertaruhkan, dan dalam pertempuran ini kita tidak akan meletakkan tangan kita ke bawah,” ~Camila Vallejo, Presiden Confederación de Estudiantes de Chile (CONFECH).

Gerakan mahasiswa Chile yang terjadi pada kisaran tahun 2011, merupakan salah satu gerakan sosial yang cukup besar dan menyita perhatian dunia pada abad ini. Gerakan itu dipantik oleh mahasiswa, yang didasari adanya kondisi ekonomi politik Chile sebagai Negara Kapitalis atau bisa juga disebut sebagai Negara Dunia Ketiga, yang terdapat jurang ketimpangan antara si kaya dan si miskin semakin jelas. Gerakan tersebut menentang kebijakan neoliberalisme pendidikan, yang menghambat orang miskin tidak bisa mendapat akses pendidikan.

Proses reformasi neoliberal di Chile, mulai dilakukan saat presiden sayap Kiri yang bernama Allende dikudeta oleh kelompok militer di bawah komando Pinochet pada kisaran tahun 1973. Proses kudeta itu sering disebut dengan “Peristiwa Jakarta”. Karena memiliki kesamaan proses kudeta dari Pinochet dengan kudeta dari Soeharto, sehingga menjadi penyebab munculnya term itu. Seperti adanya peran CIA, proses kudeta yang dibangun atas dalih membasmi kelompok yang dituduh akan melakukan kudeta, proses untuk menangkal paham komunis, dan juga penggunaan berbagai aksi massa untuk memberi legitimasi pemerintahan militer.

Neoliberalisasi di Chile telah membentuk sektor pendidikan sebagai komoditas dan barang mewah yang hanya bisa dinikmati oleh orang tertentu dan menjadi lumbung meraih keuntungan yang besar bagi pengelola lembaga pendidikan. Kemudian menimbulkan perlawanan dari para pelajar sekolah menengah atas pada kisaran tahun 2006, yang sering disebut sebagai “Revolusi Pinguin”, karena mereka menggunakan seragam putih-hitam pada aksi tersebut. Mereka menuntut adanya pendidikan gratis, adanya demokratisasi dalam dunia pendidikan. Gerakan yang dilakukan para pelajar menengah atas tersebut cukup masif, meskipun gerakan tersebut belum mampu untuk mendorong perubahan dalam undang-undang pendidikan di Chile.

Lima tahun kemudian, ada gerakan mahasiswa yang melakukan aksi dengan skala yang lebih besar. Gerakan ini sering disebut sebagai gerakan musim dingin (Chilean Winter), karena pergerakan dilakukan ketika Chile memasuki musim dingin. Dalam gerakan tersebut menurut saya, terdapat beberapa faktor penting untuk di garis-bawahi dan menarik untuk dicontoh gerakan mahasiswa yang menuntut penggratisan biaya pendidikan pada masa pandemi ini, terlebih mempunyai latar belakang yang sama, yaitu pendidikan menjadi komoditas, yang terlihat lebih jelas ketimpangannya di tengah pandemi ini.

Pertama, gerakan mahasiswa Chile bukanlah gerakan yang diciptakan dari atas ke bawah dari aktor politik yang mapan maupun lembaga politik elit, melainkan gerakan kolektif akar rumput, yang mampu menyatukan berbagai kepentingan. Mereka menolak disebut sebagai gerakan mahasiswa atau gerakan pelajar, mereka memilih disebut sebagai gerakan rakyat. Tak salah jika tuntutan para mahasiswa tentang pendidikan yang gratis telah menembus sekat-sekat antara universitas, ruang kelas tempat di mana para guru mengajar, ladang-ladang pertanian, hingga gudang tempat para buruh bekerja. Gerakan itu dibentuk oleh kegelisahan rakyat tentang pendidikan anak-anak mereka dan juga kegelisahan siswa mengenai masa depan mereka yang tidak menjanjikan sebagai pekerja, yang memantik terbentuknya Aliansi Blok Historis yang berkesadaran politik. Hasilnya dalam gerakan itu terdapat Front Populer yang berisi aktor yang heterogen dengan ideologi politik yang beragam seperti marxis, komunis, anarko bahkan kaum agamawan.

Kedua, Adanya Confederación de Estudiantes de Chile (CONFECH) sebagai pelopor pergerakan dan inisiator konfederasi mahasiswa dari berbagai universitas di Chile, yang awalnya terdiri dari perwakilan asosiasi mahasiswa dari sekitar 30 universitas di Chile, baik universitas negeri ataupun swasta, membuat gerakan protes tersebut menjadi masif, kuat dan tidak terpecah-bela. Mereka meminimalkan struktur hierarki dalam model gerakan. Gerakan protes tersebut merupakan gerakan ‘horizontalisme’ di antara mereka sendiri. Gerakan tersebut merupakan suatu model gerakan baru—yang di Amerika Latin sering disebut dengan “horizontalidad”—yang ditemukan pada gerakan-gerakan radikal buruh yang termarginalisasi di Argentina pada Desember 2001. Horizontalidad sebagai metode gerakan merupakan pengorganisasian orang dalam model di mana mereka menciptakan sebuah hubungan yang terbuka antara peserta, tanpa dewan perwakilan. Meskipun demonstrasi tersebut dikoordinasi oleh CONFECH, Camila Vallejo sebagai ketua dari CONFECH sekaligus sosok yang paling terlihat dalam gerakan tersebut hanya berperan sebagai juru bicara bukan perwakilan gerakan. Selain itu, horizontalisme di dalam internal gerakan memberikan kesempatan bagi semua orang untuk berpartisipasi menyuarakan pendapat mereka. Sehingga keputusan yang diambil terkait gerakan tersebut mendapatkan legitimasi yang kuat dari internal itu sendiri.

Ketiga, gerakan mahasiswa Chile tidak hanya fokus terhadap tuntutan sistem pendidikan, namun mereka juga memberikan solusi terkait masalah tersebut. Selain aksi turun ke jalan, mahasiswa Chile sebagai motor gerakan tersebut mengajukan proposal-proposal yang berisi langkah-langkah yang seharusnya diambil pemerintah untuk membiayai pendidikan gratis di Chile. Di antaranya dengan menasionalisasi tambang tembaga, memotong anggaran belanja militer, melakukan reformasi pajak dan lain sebagainya.

Keempat, strategi aksi yang mereka lakukan beragam. Selain melakukan demonstrasi turun ke jalan dengan orasi. Mereka juga melakukan aksi populer dan kreatif, membangun wacana kekinian, flash-mob masal, aksi dengan kostum menarik dan boneka raksasa, aksi bersepeda hingga aksi berciuman masal di depan istana kepresidenan yang menarik perhatian khalayak, yang membuat orang yang awalnya apatis menjadi turut bergerak bersolidaritas dalam aksi (Meskipun masih belum ada kesadaran politik secara penuh). Lebih dari pada itu, gerakan tersebut berhasil menarik perhatian media massa internasional.

Terakhir, Meskipun belum membuahkan hasil tuntutan pendidikan gratis sepenuhnya, namun mahasiswa Chile telah banyak memberi pelajaran kepada kita semua tentang; bagaimana mahasiswa harusnya mengorganisir dirinya, bergabung dengan gerakan rakyat dan bagaimana mahasiswa menunjukkan dirinya sebagai kekuatan penekan yang layak diperhitungkan dalam membuat kebijakan, bagaimana mahasiswa mempertahankan nafas perjuangan meski memakan waktu yang cukup lama.

Di situasi saat ini sangat tidak mustahil untuk bisa meniru gerakan mahasiswa Chile, menyatu dengan gerakan rakyat, terlebih saat ini banyak rakyat yang mengalami multi krisis yang diakibatkan oleh pandemi. Ditambah lagi pemerintah yang semakin sewenang-wenang bertindak tanpa memperhatikan dampak buruknya, seperti mengesahkan rancangan undang-undang minerba, mencabut rancangan undang-undang penghapusan kekerasan seksual dari prolegnas prioritas 2020, dan berencana mengesahkan undang-undang omnibus law di tengah pandemi seperti ini. Yang tidak mustahil akan melakukan berbagai aksi besar pada masa pandemi ini.

Gerakan mahasiswa mustahil bisa mencapai tuntutan penggratisan biaya kuliah tanpa dukungan rakyat lainnya, mahasiswa adalah anak dari rakyat, biaya kuliahnya dibiayai dari hasil dari jeri payah keringat orang tua yang bekerja di berbagai sektor. Untuk itu baiknya kita harus saling solidaritas dan saling menguatkan sesama gerakan. Karena itu kita perlu kerjasama, berdiskusi, musyawarah untuk membangun kesadaran politik bersama dan membangun gerakan yang lebih masif. Perlulah menyadari bahwa kita semua sama, Slavoj Zizek mengatakan dalam bukunya yang berjudul Pandemi “we are now in the same boat (kita sekarang sedang berada di perahu yang sama).”

Referensi
[1] Umar, A. R. M.  Indoprogress (online). Maret 2013. Undang-Undang Pendidikan Tinggi dalam Jerat Kapitalisme. http://indoprogress.com/2013/03/uu-pendidikan-tinggi-dalam-jerat-kapitalisme/. Diakses, 5 Juli 2020.
[2] Novianto, Arif. majalahsedane.org. 17 Mei 2017. Revolusi Penguin dan Gerakan Musim Dingin Belajar dari Pengalaman Perlawanan Pelajar di Chile. http://majalahsedane.org/revolusi-penguin-dan-gerakan-musim-dingin-belajar-dari-pengalaman-perlawanan-pelajar-di-chile/ diakses, 5 Juni 2020.
[3] Yerry, anarkis.org. Maret 2017. No Se Vende Education Belajar dari Gerakan Mahasiswa Chile. https://anarkis.org/no-se-vende-educacion-belajar-dari-gerakan-mahasiswa-chile/ diakses, 5 juli 2020.

Kategori
Diskusi

Pemaknaan Hari Raya dan Motif Kebijakan New Normal

Apakah umat Islam di Indonesia saat ini benar-benar sedang berlebaran? Atau jangan sampai berlebaran yang dipahami hanya sebatas ritual saja dengan menyelenggarakan shalat Idul Fitri tanpa makna. Sayangnya, saat ini umat Islam pada hakikatnya belum menikmati lebaran dikarenakan tak ada perubahan signifikan pada kehidupan masyarakat. Hal tersebut diungkapkan Muhammad Al-Fayyadl, aktivis Front Nahdliyin untuk Kedaulatan Sumber Daya Alam (FNKSDA) dalam diskusi yang bertajuk Lebaran dan New Normal, Selasa (2/6).

“Masih banyak ujaran-ujaran kebencian dan kasus-kasus sosial yang terus berulang, tak ada bedanya dengan sebelum lebaran bahkan sebelum Ramadan,” tegas Gus Fayyadl, panggilan akrab Muhammad Al-Fayyadl.

Melihat berbagai fenomena yang terjadi pada lebaran kali ini ada satu fenomena yang sangat berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya. Pada umumnya, lebaran adalah fenomena agama dan kultural, yang ditandai dengan takbir, silaturahmi, dan berbagai ritual sosial lainnya yang dilakukan oleh umat Islam. Gus Fayyadl mengutip  buku “Ramadhan di Jawa” yang ditulis oleh Andre Moller, seorang peneliti dari Norwegia, bahwa dalam pandangan antropologis dan etnografis, fenomena lebaran antara satu tempat dan tempat lainnya mempunyai kesamaan dan kemiripan.

Lebaran kali ini harus dimaknai secara politis, karena sejak sebelum ramadhan bahkan sampai setelah lebaran, isu-isu sosial ekonomi dan politiklah yang paling mendominasi dalam pikiran masyarakat. .Hal ini ditandai dengan banyaknya buruh yang mengalami Pemutusan Hubungan Kerja, kasus-kasus pembungkaman demokrasi yang ditandai dengan kriminalisasi aktivis, perampasan ruang hidup rakyat kecil, dan kebijakan pemerintah pusat serta aktivitas Dewan Perwakilan Rakyat yang banyak mendapat sorotan oleh masyarakat.

“Inilah yang membuat lebaran pada tahun ini tidak ada bedanya dengan hari biasanya. Saya menyayangkan peristiwa ketimpangan sosial yang masih terjadi pada bulan ramadhan dan pasca berlebaran,” kata Gus Fayyadl.

Gus Fayyadl juga menerangkan, satu bulan penuh Ramadhan adalah momen hablumminallah dalam bentuk ibadah seperti shalat dan puasa maka lebaran adalah momen penebusan atau penyucian pada tataran sosial atau hablumminannas.

Di media-media Islam, perdebatan hanya sebatas hukum pelaksanaan shalat Ied di tengah pandemi Covid-19. Padahal lebaran bukanlah sebatas perkara fiqih saja, namun lebih dari itu.  Misalnya, bagaimana kita bisa membangun hubungan sosial yang baik, dan inilah makna lebaran yang kurang banyak disentuh oleh umat beragama di Indonesia.

Semestinya ada perbedaan etika sosial pada kehidupan masyarakat yang lebih baik lagi. Khususnya dalam situasi pandemi, semangat bela rasa atau senasib sepenanggunan haruslah terus ditingkatkan. Inilah satu makna berlebaran yang banyak masyarakat Indonesia kurang berhasil memahaminya.

“Kecenderungan masyarakat memaknai lebaran hanyalah sebatas euforia kemenangan, padahal hingga saat ini fenomena ketimpangan sosial masih terus terjadi yang bahkan terjadi pada bulan suci ramadhan,” tegas Gus Fayyadl.

Lebaran pada tahun ini harus dimaknai secara politis. Selain sedang berpuasa di bulan Ramadhan, umat Islam juga sedang menghadapi wabah yang berpotensi kelaparan. Namun umat Islam memiliki insiatif upaya untuk saling menyelamatkan. Dan insiatif ini harus bersambung, dalam satu makna untuk membantu mereka yang kesulitan. Namun sentimen rasa sepenanggungan seperti ini tak banyak dirasakan oleh umat Islam di Indonesia. “Sehingga Takbir pada lebaran harus dimaknai sebagai perjuangan, (kita harus) bersyukur bisa sehat dan bisa bertahan sampai detik ini. Lebaran itu bukan euforia, musuh masih ada,” tegas Gus Fayyadl kembali.

New Normal, Bentuk Pengabaian Negara

Pada akhir Mei, masyarakat Indonesia mendapatkan sebuah istilah baru dari pemerintah, “New Normal”. Istilah New Normal bukan asli Indonesia, juga bukan diciptakan oleh masyarakat yang terdampak pandemi, New Normal adalah istilah yang dibuat oleh media internasional yang dikeluarkan oleh lembaga dunia WHO. Motif politik dari kebijakan New Normal tidak lain sebagai upaya recovery dari keadaan ekonomi kapital yang saat ini sedang mengalami keterpurukan.

Menurut Gus Fayyadl, New Normal merupakan sebuah kebijakan yang fatal karena menganggap seolah-olah pandemi Covid-19 ini sudah tidak ada. Jadi motif sebenarnya New Normal itu hanyalah economy recovery (pemulihan ekonomi) yang secara jelas merupakan bentuk pelepasan tanggung jawab negara terhadap rakyatnya dalam menghadapi masa pandemi ini. Dengan melaksanakan kebijakan New Normal, Pemerintah memberlakukan Herd Imunity yang artinya negara melakukan pembiaran kepada rakyatnya dengan mengandalkan kekebalan tubuh atau imunitas mandiri banyak ditentang oleh para tenaga medis. Karena banyak kasus di lapangan ditemukan pasien Covid-19 yang telah sembuh masih bisa terjangkit virus kembali.

“Jadi jargon-jargon New Normal adalah bentuk pengabaian negara yang lebih mementingkan pemulihan ekonomi kapital ketimbang keselamatan nyawa rakyatnya. Tentu kebijakan normalisasi ini sangatlah terlalu dipaksakan, dengan mengandaikan New Normal ini dengan aktivitas pabrik-pabrik yang kembali berproduksi sementara faktanya keadaan saat ini belumlah pulih dari Covid-19,” jelas Gus Fayyadl.

Gus Fayyadl juga mempertanyakan keterlibatan aparat bersenjata dalam penerapan kebijakan New Normal. Karena jika aparat dilibatkan dalam penerapan New Normal, maka secara jelas keadaan saat ini belumlah normal.

Bentuk kebijakan normalisasi ini juga dipahami sebagai upaya untuk memperbaiki sesuatu hal yang rusak dengan cara efisien dan praktis yang didasari kepentingan ekonomi kapital tanpa pertimbangan keselamatan hidup rakyat.

“Hal ini tidaklah relevan dengan kebutuhan masyarakat saat ini, dan justru kebijakan New Normal ini akan semakin memperparah dan memperpanjang krisis yang terjadi,” tegas Gus Fayyadl.

Kebijakan menormalisasi kembali kehidupan masyarakat secara paksa dengan melibatkan aparat sangatlah tidak objektif. Sebab krisis yang diakibatkan oleh pandemi Covid-19 masih berlangsung hingga saat ini. Keadaan inilah yang membuat kebijakan New Normal atau penormalisasian kembali roda perekonomian kapital ditengah wabah adalah hal yang mustahil. Terlebih lagi yang menjadi sasaran dari kebijakan New Normal adalah masyarakat tanpa disertai instrumen penunjang kesehatan dan keselamatan.

Kebijakan normalisasi akan efektif jika didasarkan pada kesadaran kritis masyarakat di tengah pandemi. Dan pembangunan kesadaran ini membutuhkan pendidikan, pembenahan fasilitas, bahkan perubahan sistem secara fundamental agar kebijakan New Normal ini dapat menjadi resolusi bagi kemaslahatan bersama. New Normal hanyalah upaya pengaktifan kembali pasar investasi, dan jelas ini juga merupakan upaya negara dalam menutupi polemik krisis yang saat ini juga tengah terjadi.

“Saya melihat hari ini ada pernyataan yang mendasar, normalisasi merupakan cara membenahi suatu yang dianggap rusak dengan cara yang efisien dan praktis. Jika diartikan seperti itu, normalisasi ini akan termentahkan dengan sendirinya,” terang Gus Fayyadl.

New Normal adalah New Crisis.

Alih-alih New Normal, situasi hari ini lebih pantas disebut “New Crisis” krisis baru. Gus Fayyadl melihat ada 5 macam krisis yang akan dihadapi oleh rakyat Indonesia, yaitu (1) krisis kesehatan; (2) krisis politik; (3) krisis sosial; (4) krisis keagamaan; dan (5) krisis ekonomi.

1. Krisis Kesehatan

Pandemi ini telah membuka mata kita pada realitas, bahwa infrastruktur kesehatan di Indonesia itu sangat terbelakang, tertinggal dan timpang. Satu contoh antara rumah sakit negeri dibandingkan pos-pos kesehatan yang ada di pelosok desa ini tidak siap mengahadapi pandemi. Selebihnya tidak adanya kesadaran masyarakat terkait kesehatan itu sendiri juga menjadi masalah tersendiri. Tentu krisis kesehatan ini tidak bisa dinormalisasi begitu saja, butuh pembenahan pada sektor pendidikan, fasilitas kesehatan dan sistem kesehatan di Indonesia. Terlebih jumlah tenaga kesehatan sangat sedikit  dibanding jumlah banyaknya warga Indonesia. “Hal ini juga dipengaruhi oleh mahalnya biaya pendidikan kesehatan di Indonesia, yang membuat tak semua orang mampu menempuh program pendidikan kesehatan,” ungkap Gus Fayyadl.

2. Krisis Politik

Pada hari ini di Indonesia, relasi antara pejabat publik diwarnai adanya ketidakpercayaan. Hal ini terjadi karena pembelahan setelah pemilu. Rekonsiliasi antara pendukung Prabowo dan Jokowi telah gagal. “Saya menduga krisis politik seperti ini bisa terjadi kudeta seperti tahun 98, namun dengan titik yang lebih merata di berbagai daerah di Indonesia, karena keresahan dimana-mana,” kata Gus Fayyadl.

Krisis politik seperti ini tidak bisa dinormalisasi. Pada tahun 2014-2015, negara Yunani mengalami krisis ekonomi, lalu rakyat turun ke jalan untuk protes. Rakyat Yunani tidak percaya pemerintahan saat itu. Namun ketika pemerintahannya ganti, keadaan Yunani tidak kembali menjadi normal.

3. Krisis Sosial.

Pandemi ini juga membuat kita melihat adanya diskriminasi sosial, ekonomi dan politik, etnik dan seterusnya. Sehingga bisa kita simpulkan bahwa ada krisis sosial di negeri ini. Pada tahun ini isu PKI di Indonesia muncul lebih awal yakni pada bulan Juni, padahal biasanya terjadi pada bulan September. Menurut Gus Fayyadl, hal tersebut menandakan Indonesia sekarang mengalami kemajuan dalam kedunguan, ketakutan PKI bangkit lagi tapi tidak ada kejelasan siapa yang dituduh PKI tersebut.

4. Krisis Keagamaan

Belum munculnya satu sikap yang tepat antar umat beragama menyikapi pandemi ini. Fanatisme pada umat beragama membuat diskriminasi meningkat, hal ini tidak bisa dinormalisasi. Jika ingin normal harus ada upaya untuk merangkul mereka yang terdiskriminasi.

5. Krisis Ekonomi

Perekonomian kembali pulih adalah tujuan utama dari kebijakan New Normal. Hal ini dilakukan agar pabrik kembali buka, buruh dan pengusaha kembali mendapat pemasukan, dengan harapan ekonomi berjalan seperti sebelumnya, Namun hal ini tidak bisa dinormalkan kembali karena buruh mengalami keresahan, Angka pemutusan hubungan kerja sangat tinggi sekitar 5 sampai 8 juta orang, dan ini adalah angka pemutusan hubungan kerja terbesar pasca reformasi. Angka pengangguran sangat tinggi, angka pekerja non-formal juga sangat tinggi. Semua permasalahan ini tidak bisa dipecahkan dengan perekonomian model kapitalis.

Investasi juga tidak bisa normal seperti biasa, sebab dunia sedang terbelit hutang. Menurut Gus Fayyadl, investasi itu adalah nama lain dari menambah hutang. Ekonomi yang bertumpuh pada hutang itu sebenarnya rapuh, sehingga justru akan menambah krisis yang lebih dalam.

“Ini adalah krisis baru, untuk itu mari kita bayangkan model sosial yang baru, yang berbeda, sebab kita sudah belajar bersama. Slavoj Zizek mengatakan, ‘we are now in the same boat,’ kita sekarang sedang berada di perahu yang sama,” tutup Gus Fayyadl.

Kategori
Diskusi Esai

Pendidikan, Universitas Nasional dan Represi Membabi Buta

Pandemi Covid-19 menjadi cerita muram bagi masyarakat, situasi menjadi semakin kalut, karena mengakibatkan krisis di banyak sektor. Para buruh banyak mengalami nasib buruk, banyak di antara mereka mengalami pemutusan hubungan kerja dan dirumahkan. Dilansir dari Tempo.com, pemerintah menyebutkan bahwa angka pemutusan hubungan kerja dampak dari Covid-19 telah mencapai 3,05 juta. Di sini dapat kita ketahui, nasib buruh sedang dipertaruhkan dan keberlangsungan hidup mereka terancam.

Instruksi pemerintah agar para mahasiswa belajar dari rumah selama masa pandemi pun menunjukkan dampak negatif. Banyak mahasiswa yang stres karena tidak nyaman dengan sistem belajar daring. Sejak pandemi berlangsung sampai sekarang, pemerintah terlihat tidak peduli dengan dunia pendidikan. Mahasiswa diperintah untuk belajar dari rumah, tapi pemerintah tidak peka dengan biaya kuota yang dikeluarkan oleh mahasiswa, sedangkan tidak semua mahasiswa memiliki kemudahan akses internet. Lebih-lebih mahasiswa juga tetap dituntut untuk membayar biaya kuliah.

Dari sini sangat terlihat pemerintah dan kampus tidak mau tahu akan situasi dan kondisi mahasiswa di tengah pandemi. Situasi pandemi ini juga berdampak pada kehidupan mahasiswa maupun keluarganya. Terlebih sebagian besar mahasiswa berasal dari kalangan menengah ke bawah, berasal dari kalangan buruh, yang saat ini nasibnya tidak tentu. Boro-boro untuk membayar biaya pendidikan, biaya makan sehari-hari saja susah. Padahal perihal pangan adalah kebutuhan dasar manusia yang harus dipenuhi untuk bisa bertahan hidup.

Di tengah krisis akibat pandemi, hingga saat ini masih belum ada suatu kebijakan yang memihak kepada  para pelajar atau mahasiswa. Saya merasa pada tahun ini banyak mahasiswa yang putus kuliah, karena tidak mampu membayar biaya kuliah. Selain itu siswa sekolah menengah atas pun tak banyak yang bisa melanjutkan ke jenjang perguruan tinggi. mengapa demikian?

Pengelolaan Pendidikan yang Ruwet

Masih banyak terdapat tindakan diskriminatif terhadap para pelajar atau mahasiswa yang bisa dibilang berasal dari kelas sosial rendah atau kurang mampu. Padahal sudah jelas tertuang dalam pasal 31 UUD 1945: “(1) Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan, (2) Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya”. Maka, berdasarkan pasal 31 ini, negara memiliki dua kewajiban terhadap dunia pendidikan, yaitu: menyelenggarakan pendidikan bagi setiap warga negara, dan membiayai pendidikan bagi peserta didik. Selain itu dalam salah satu butir pasal 4 Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, bahwa penyelenggaraan pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan, serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia, nilai keagamaan, nilai kultural dan kemajemukan bangsa. Lalu bagaimana jika butir ini belum terpenuhi? Sudah jelas akan pincang.

Masalah pendidikan yang terus menghantui negara dan masih belum bisa teratasi secara maksimal, ditambah dengan kondisi sosial yang carut marut akibat pandemi Covid-19. Penerapan sistem pendidikan yang masih jauh di luar ekspektasi, terlebih oleh masyarakat kelas bawah, seakan masih menjadi hantu yang menakutkan. Bagaimana tidak, hanya masyarakat kelas menengah ke atas sajalah yang masih tergolong mudah memperoleh akses pendidikan. Problem utamanya adalah biaya. Ya, biaya pendidikan di negara ini masih tergolong sangat tinggi, sulit dijangkau.

Hal tersebutlah yang menyebabkan tidak semua orang dapat menikmati bangku perkuliahan apalagi di situasi pandemi seperti ini. Diperjelas lagi dalam Pasal 5 Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 yang bila disimpulkan bunyinya adalah: “setiap warga negara berhak memperoleh pendidikan yang bermutu, memperoleh pendidikan layanan khusus, dan meningkatkan pendidikan sepanjang hayat.” Apakah teks undang-undang tersebut benar-benar diterapkan? Tentulah tidak.

Dunia pendidikan seakan menjadi ajang untuk komersialisasi atau meraup keuntungan sebesar-besarnya. Institusi pendidikan yang dilepaskan negara berubah menjadi perusahaan jasa pendidikan. Meskipun kita selama ini berdalih jika komersialisasi pendidikan harus dihapuskan, tetapi hal itu belumlah terlaksana.

Hal itulah di antara sebab mahasiswa menjadi lebih kritis dan lebih berkesadaran progresif di tengah pandemi seperti ini. Karena mereka merasakan hidup di situasi krisis tetapi tetap dituntut untuk membayar biaya kuliah. Hampir merata mahasiswa dari berbagai daerah di Indonesia menuntut adanya biaya kuliah gratis, penurunan biaya kuliah dan menolak adanya privatisasi pendidikan. Mereka melakukan aksi langsung, membentangkan poster, dan meramaikan banyak tuntutan di media sosial. Mereka memasang tagar #gratiskanukt #sudahkrisiswaktunyauktgratis #nadimkemanamahasiswamerana #janganbayarukt #turunkanukt dan masih banyak lagi. Munculnya tersebut menunjukkan hari ini dunia pendidikan sedang tidak baik-baik saja, terlebih pada kehidupan mahasiswa.

Menanggapi banyaknya tuntutan mahasiswa di berbagai perguruan tinggi dan ramainya tuntutan di sosial media, pemerintah melalui Kemendikbud dalam surat yang dikeluarkan pada 3 Juni 2020, menyatakan tidak ada kenaikan UKT di masa pandemi. Para rektor perguruan tinggi negeri juga menyepakati ada penundaan pembayaran dan pembayaran bisa dicicil. Selanjutnya pemerintah memfasilitasi Kartu Indonesia Pintar dengan jumlah yang tidak seimbang dengan jumlah mahasiswa yang ada di Indonesia. Ditambah prosedur kepengurusannya yang ruwet, banyak syarat dan ketentuan, informasinya pun terbatas. Hal ini menjelaskan pemerintahan tidak bisa menjawab keresahan mahasiswa, terlebih di situasi seperti ini, perekonomian tidak bisa serta merta dipulihkan seperti sebelum terjadi pandemi.

Universitas Nasional dan Represi Membabi Buta

Diantara masifnya gerakan mahasiswa untuk minta keringanan biaya uang kuliah, hati saya condong dengan gerakan mahasiswa yang tergabung dalam gerakan Aliansi Mahasiswa UNAS Gawat Darurat (UGD) di Universitas Nasional, Jakarta. Gerakan ini bertahan dan tumbuh semakin masif, terlebih mereka menerima banyak represi dari birokrasi, mulai dari baku hantam, penabrakan dengan mobil, ditangkap dan dilaporkan ke Polsek Pasar Minggu, hingga diancam dilaporkan UU ITE.

Gerakan ini memiliki beberapa tuntutan:

  1. Menuntut pihak birokrasi memberi keringanan mahasiswa dengan potongan 50 sampai 65 persen, karena kampus hanya memberi keringanan biaya 100 ribu dan 150 ribu dengan syarat dan ketentuan berlaku;
  2. Menuntut kampus untuk tidak hanya memberikan kuota gratis sebesar 30 GB untuk mahasiswa pengguna Telkomsel dan Indosat saja untuk membuka Web resmi UNAS, sebab tidak semua mahasiswa UNAS menggunakan Telkomsel dan Indosat, sedangkan para dosen dalam pemberian materi perkuliahan menggunakan aplikasi diluar web resmi UNAS;
  3. Mereka menuntut agar para dosen dan pekerja kampus mendapatkan upah layak di masa pandemi;
  4. Menuntut rektor untuk audiensi terbuka;
  5. Menuntut adanya transparansi dan terbukanya statuta kampus agar bisa dikritisi bersama;
  6. Menuntut diberhentikanya kriminalisasi dan intimidasi terhadap mahasiswa.

Gerakan UGD telah menggelar berbagai diskusi online, mengumpulkan berbagai data dari penelitian yang dilakukan terkait pendapatan UNAS dari pembayaran mahasiswa per-semester, pembayaran upah dosen, hingga pemotongan biaya yang tidak layak bahkan dirasa menghina para mahasiswa.

Melalui hasil investigasi yang dilakukan oleh Aliansi Mahasiswa UGD, terdapat 12.367 mahasiswa aktif di tingkatan D3–S1 di UNAS. UGD juga telah mengaudit pendapatan UNAS dari pembayaran biaya pendidikan mahasiswa sebanyak 6.672 (54%) yang dihitung dengan detail per-angkatan dari setiap fakultas/jurusan. Rp 49.401.600.000 adalah hasil keuntungan UNAS dari mahasiswa yang didapat secara terbatas oleh kawan-kawan UGD. 5.695 (46%) data mahasiswa UNAS yang belum mampu ter-update secara detail per angkatannya untuk mengetahui hasil pendapatannya. Fakultas/jurusan per-angkatan yang belum mampu terakses yaitu Fakultas Teknik, Fakultas Ekonomi, Fakultas Ilmu Kesehatan, Fakultas Bahasa, Abanas dan FTKI merupakan daftaran yang belum mampu diakses kawan-kawan karena terbatasnya akses data yang dihambat UNAS. 

UNAS hanya mengeluarkan Rp. 1.114.200.000/semester untuk mengupah pekerjanya yang terdiri dari 94 office boy, security dan cleaning service. Upah pekerja hanya dikisar pada 2,4%  dari pendapatan yang diaudit secara terbatas. Namun sekali lagi, hasil investigasi yang didapat untuk data pekerja tidak mendapatkan akses untuk data office boy di kampus utama. Pekerja parkir di UNAS sebanyak 6 orang pekerja dirumahkan tanpa diupah. Data yang belum mampu menyeluruh didapatkan sebagai kebutuhan audit keseluruhan. Tentunya dihambat oleh UNAS melalui karakter-karakter yang anti demokratis. Upaya audit yang dilakukan memiliki tujuan untuk membuka transparansi keuangan UNAS di masa pandemi. UNAS hanya menerapkan potongan Rp 100.000 dengan jumlah pengeluaran Rp 1.236.700.000 yang didapat dari total mahasiswa 12.367. Ternyata pengeluaran UNAS untuk potongan Rp 100.000 hanya 2,5% dari audit pendapatan mahasiswa UNAS sebanyak 7.248.

Merespon hasil audit tersebut, Aliansi Mahasiswa UGD menggelar aksi damai di depan kampus pada Rabu (10/6), dengan mematuhi protokol kesehatan, menjaga jarak dan menggunakan masker, kemudian aksi tersebut dibubarkan dengan tindakan intimidasi yang dilakukan oleh kurang lebih 32 aparat keamanan yang dikerahkan oleh kampus. Satu orang Babinsa dan beberapa orang lainnya tidak berseragam juga turut serta. Mereka memukul muka beberapa massa aksi, melakukan tendangan ke perut dan kepala, pendorongan hingga jatuh, pengeroyokan, perampasan dokumentasi serta penangkapan salah satu anggota pers mahasiswa yang bernama Togi dari Universitas Bunda Mulia (UBM). Kemudian Togi dibawa ke Polsek Pasar Minggu atas laporan UNAS, yang pada akhirnya dia dibebaskan. Pada hari itu juga terdapat pemanggilan terhadap 29 mahasiswa oleh Komisi Disiplin UNAS, atas ujaran di sosial media tentang menyampaikan aspirasi di masa pandemi, dengan tagar #unasgawatdarurat. Mahasiswa yang menghadap diminta melakukan pengakuan dalam surat pernyataan bersalah. Berdasarkan dengan keterangan mahasiswa yang menandatangi pernyataan bersalah dari kampus, mereka diancam jeratan pidana UU ITE.

Kamis (11/6), Aliansi Mahasiswa UGD kembali melakukan aksi solidaritas untuk mengawal 27 kawan yang dipanggil oleh komisi disiplin UNAS dan menagih janji audiensi terbuka UNAS. Pada hari itu, birokrasi UNAS menyewa preman dan melakukan penabrakan terhadap massa aksi dengan mobil saat pulang.

Aliansi Mahasiswa UGD tetap menagih janji untuk audiensi terbuka dengan pihak birokrasi kampus padaJumat (12/6). Alih-alih akan menemui massa aksi, semua massa aksi malah akan diancam dengan UU ITE.

Sabtu (13/6), LPM Progres meliput aksi-aksi UGD dan memuat dua berita di laman online LPM Progres, dengan judul “Tuntutan Belum Dipenuhi Aliansi Mahasiswa Unas Gawat Darurat kembali Aksi” dan “Aksi Penyampaian Aspirasi di Unas Berujung Tindakan Represif dan Intimidasi”. Pihak LPM Progres lalu mendapat telepon dari Humas UNAS untuk menurunkan berita, LPM Progres dianggap tidak mempunyai kewenangan untuk meliput kejadian di UNAS, karena LPM Progres dianggap dari UNINDRA, Universitas yang berbeda. Padahal kedudukan pers mahasiswa seperti halnya pers lainnya, yang bisa meliput semua kejadian, baik yang ada di kampus maupun di luar kampus, sebagai bentuk kepedulian sosial.

Dalam waktu sehari, LPM Progres diminta untuk menurunkan berita. Jika tidak, LPM Progres diancam jerat pidana UU ITE Pasal 28 ayat 2 yang berbunyi: “Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan  antar golongan.”

Ancaman pidana dari Pasal 28 ayat (2) UU ITE tersebut diatur dalam Pasal 45A ayat (2) UU 19/2016, yakni: “Setiap Orang yang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 1 miliar.”

Selanjutnya, Senin (15/6), berdasarkan laporan dari Instagram @unasgawatdarurat, UNAS memasukkan sekitar 50 polisi ke dalam kampus, padahal kita ketahui dari beberapa keterangan di atas, yang melakukan represi dan membuat keadaan ricuh adalah pihak UNAS,  gerakan Aliansi Mahasiswa UNAS Gawat Darurat hanya menyampaikan keresahan hatinya.

Saya merasa, pihak birokrasi Universitas Nasional ketakutan dan panik akan adanya tuntutan Aliansi Mahasiswa UGD dan adanya beberapa pemberitaan beredar yang diliput oleh kawan-kawan LPM Progres. Sehingga pihak birokrasi UNAS melakukan represi yang membabi buta, sangat ngawur dan tidak patut untuk dibenarkan. Mereka sudah mencederai hak asasi manusia. Padahal semua manusia berhak menyampaikan pendapat dan mendapat keamanan dalam menyampaikan. Oleh karena itu di situasi seperti ini terlampau rumit untuk dihadapi dan diselesaikan oleh segelintir orang. Kita perlu kerjasama, kerjarasa, berdiskusi, berdebat, berdialektika, musyawarah, melakukan aksi dan menjadikan ini sebagai keresahan bersama. Untuk itu mari bersolidaritas dan saling menguatkan.

Salam Pers Mahasiswa.

Kategori
Diskusi

Sejarah Kontrol Negara dan Persoalan yang Harus Diselesaikan Pers Mahasiswa

Pers mahasiswa bukan sekedar organisasi yang fokus pada pengembangan kemampuan jurnalistik maupun lomba tulis menulis untuk mengharumkan nama kampus. Sejarah mencatat bahwa Pers mahasiswa termasuk dalam organisasi yang sering mengkritik sistem pemerintahan. Melalui tulisan-tulisannya, pers mahasiswa menjadi sebuah media kontrol sosial terhadap kebijakan pemerintah yang tidak sesuai dengan kepentingan publik.

Mulai dari pemerintahan orde lama sampai orde baru, pers mahasiswa terus menunjukkan taringnya untuk melawan kuasa pemerintah dalam membungkam kebebasan berpendapat. Selama pemerintahan orde lama, pers mahasiswa mengkritik sistem demokrasi terpimpin yang mewajibkan setiap surat kabar untuk berafiliasi dengan partai politik supaya mendapatkan tiket kebebasan pers. Ketika Orde Baru, pers mahasiswa mengkritik kebijakan back to campus yang melokalisasi seluruh aktivitas mahasiswa ke dalam kampus supaya tidak terlibat dalam aktivitas politik nasional.

Lalu, bagaimana gerakan Pers Mahasiswa setelah reformasi? Buku Melawan dari Dalam “Pers Mahasiswa Malang Pasca-Reformasi” yang ditulis Elyvia Inayah menjadi salah satu jawaban dari pertanyan itu. Berawal dari keprihatinan terhadap minimnya literatur pers mahasiswa, terutama setelah 1998, Elyvia kemudian mengeksplorasi tentang apa saja yang terjadi pada pers mahasiswa setelah reformasi.

Kota Malang menjadi objek ekplorasi utama dalam buku ini. Elyvia tak asal memilih, karena pers mahasiswa di Kota Malang menjadi pionir kemunculan pers mahasiswa di Jawa Timur pada kurun 1980-an. Selain itu Kota Malang menjadi tempat lahirnya Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia (PPMI).

Elyvia mencatat, dalam dekade 1970-1990-an pers mahasiswa di Malang menunjukkan eksistensinya. Seperti Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Canopy, Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya yang meliput kandungan lemak babi dalam beberapa jenis produk makanan. Liputan LPM Canopy ini mendorong Majelis Ulama Indonesia untuk memberi label halal pada produk-produk makanan.

Namun, setelah reformasi pers mahasiswa di Malang mulai kehilangan arah, padahal keran kebebasan pers sudah dibuka. Menjadi ironis kalau kita hanya memandang pers mahasiswa tak bisa memanfaatkan momen kebebasan pers atau tak bisa bersaing dengan pers umum dalam memberikan wacana pada publik. Tapi kalau kita melihat tekanan-tekanan yang dialami pers mahasiswa, kita akan mengetahui bahwa menurunnya peran kontrol sosial pers mahasiswa dilakukan secara sistematis oleh negara melalui kampus.

Kampus memaksa pers mahasiswa mencari arah baru bagi gerakannya. Pemaksaan itu dilakukan melalui kebijakan percepatan lulus kuliah, alokasi dana organisasi yang dipersulit, tekanan untuk mendapatkan prestasi-prestasi akademik, sampai ancaman Skorsing dan Drop Out kepada pers mahasiswa yang kritis. Tekanan-tekanan itu menyebabkan pers mahasiswa kekurangan kader. Sehingga mempertahankan eksistensi sebagai media kontrol sosial menjadi sulit untuk dilakukan.

Tekanan: dari Nama Lembaga sampai Arah Gerakan Pers Mahasiswa

Buku Melawan dari Dalam “Pers Mahasiswa Malang Pasca-Reformasi” menjelaskan berbagai tekanan yang dilakukan negara pada pers mahasiswa mulai dari nama lembaga sampai arah gerakan pers mahasiswa. Bentuk tekanan dan kontrol Negara terhadap nama lembaga pers mahasiswa ini dilakukan dengan pemberlakuan Undang-Undang No. 11 Tahun 1966 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pers. Lalu ada penyesuaian dengan Surat Edaran Dikti No. 849/D/T/1989 dan Peraturan Menteri Penerangan No. 01/1975.

Lebih lanjut lagi, ada Surat Keputusan Menteri Penerangan No.146/1975 yang menyusun prosedur dan persyaratan penerbitan khusus. Peraturan-peraturan itu menggolongkan pers mahasiswa ke dalam kategori penerbitan khusus. Jadi, walaupun menggunakan kata ‘pers’, pers mahasiswa tidak dikategorikan dalam penerbitan pers. 

Tekanan dan kontrol negara melalui peraturan-peraturan itu juga membuat pers mahasiswa dilarang menggunakan kata ‘pers’. Elyvia memberi contoh kasus pada Unit Aktivitas Pers Kampus Mahasiswa (UAPKM) Kavling 10, Universitas Brawijaya. Awalnya lembaga ini bernama Unit Aktivitas Pers Mahasiswa (UAPM) yang lahir pada 16 April 1983 melalui Surat Keputusan BKK No. 002/SK/BKK/1983. Lalu pada masa Agus Leono menjadi Pemimpin Umum, atas saran ketua BKK, nama UAPM berganti menjadi Unit Aktivitas Pers Kampus Mahasiswa.

Munculnya Surat Edaran Dikti No. 849/D/T/1989 membuat nama lembaga ini berganti lagi yaitu menjadi Unit Aktivitas Penerbitan Kampus Mahasiswa. Kemudian berganti nama lagi dan berlaku sampai sekarang yaitu Unit Aktivitas Pers Kampus Mahasiswa yang disahkan dalam kepengurusan UAPKM periode 1999-2001. Menurut Elyvia, pergantian istilah dari pers mahasiswa, penerbitan, sampai pers kampus adalah suatu bentuk kontrol negara untuk memperhalus citra pers mahasiswa.

Tak hanya mengontrol pers mahasiswa melalui nama lembaga, negara juga mengontrol arah gerakan pers mahasiswa dengan kebijakan Normalisasi Kehidupan Kampus/Badan Koordinasi Kemahasiswaan (NKK/BKK). Sesuai Menpen No.01/Per/Menpen/1975, pers mahasiswa harus tunduk dengan beberapa ketentuan seperti mengkhususkan pemberitaan, pembahasan dan pengolahan berbagai hal khususnya yang menyangkut pembangunan nasional. Selain itu, penyajian tidak memuat pemberitaan, pembahasan atau penonjolan materi yang bersifat politik praktis.

Setelah reformasi, tekanan dan kontrol negara pada pers mahasiswa terus dilanggengkan oleh kampus. Elyvia mencatat, ada beberapa tindakan represif kampus terhadap pers mahasiswa di Malang seperti tekanan verbal dan pencopotan poster Majalah DIANNS edisi 17 oleh kampus dan aparat intel pada tahun 1990. Tindakan represif pada LPM Dianns, Fakultas Ilmu Administrasi, Universitas Brawijaya ini dikarenakan majalah tersebut memuat konten kritik terhadap militerisme Orde Baru.

Selain itu, pada tahun 1994 ada pembredelan Majalah KetawangGede UAPKM Kavling 10 karena tuduhan pelecehan agama, memuat konten PKI, dan memuat unsur pemberontakan.  Pembredelan juga dialami oleh LPM Canopy karena liputan mengenai kandungan lemak babi dalam produk makanan. Kemudian liputan LPM Civitas, Universitas Merdeka Malang, tentang persolan militer yang berujung pada pembredelan dan pembakaran Majalah Civitas.

Berbagai tekanan dari kampus setelah reformasi sampai saat ini membuat gerakan pers mahasiswa di Malang cenderung stagnan. Akibatnya pers mahasiswa minim kaderisasi, kegiatannya lebih banyak diskusi daripada menulis, hingga daya kritis dan fokus kontrol sosialnya berkurang. Meski demikian, pers mahasiswa di Malang masih bertahan hingga saat ini dengan dinamikanya.

Persoalan Pers Mahasiswa yang Harus Diselesaikan

Selain mengulas tekanan dan kontrol negara terhadap pers mahasiswa, Elyvia juga mengulas dinamika gerakan di internal pers mahasiswa. Dinamika yang diuraikan dalam bukunya, sebenarnya lebih memfokuskan pada persoalan-persoalan pers mahasiswa. Persoalan-persoalan yang mungkin belum terselesaikan sampai sekarang. Mulai persoalan di tingkat PPMI hingga persoalan mendasar yang terjadi di LPM.

Persoalan di tingkat PPMI seperti kekecewaan LPM yang menganggap PPMI tidak memberi manfaat bagi mereka. Hal ini disebabkan oleh ketidakmampuan pengurus PPMI untuk menangani permasalahan yang dialami LPM. Tapi di sisi lain juga disebabkan LPM yang tidak bisa mendelegasikan anggotanya ke PPMI karena anggota LPM yang minim bahkan karena enggan saja. Persoalan yang kompleks ini membuat hubungan antara LPM dan PPMI menjadi renggang. Kondisi ini diperparah dengan keterputusan generasi (missing link) karena pengurus lama di LPM tidak mewariskan sejarah pers mahasiswa serta pengurus baru yang tidak berinisiatif untuk membaca sejarah pers mahasiswa sendiri.

Sedangkan persoalan mendasar yang umum terjadi di LPM seperti ketakutan untuk mengkritik kebijakan kampus. Ketakutan ini disebabkan oleh ancaman pengurangan dana LPM, pembekuan LPM, skorsing, maupun Drop Out dari kampus. Ketakutan seperti ini terjadi ketika pers mahasiswa memandang kampus sebagai pihak yang berkuasa atas mahasiswa. Seharusnya pers mahasiswa bisa mengubah pandangan ini. Pers mahasiswa harus sadar bahwa kritik adalah bagian dari kebebasan akademik (sesuai UU no 12 2012 tentang Pendidikan Tinggi) dan kemerdekaan berpendapat (sesuai UU no 9 tahun 1998). Setiap sanksi yang diberikan kampus haruslah memiliki dasar yang jelas, jika tidak, maka sanksi itu bisa digugat melalui mekanisme kampus atau luar kampus (PTUN dan sebagainya). Singkatnya, pers mahasiswa harus melawan karena benar.

Membaca buku yang diterbitkan oleh Boekoe pada Januari 2018 tersebut membuat kita sadar bahwa sejak awal, negara dan kampus lah yang memisahkan pers mahasiswa dari persoalan-persoalan kehidupan. Pers mahasiswa ditekan dan dikontrol habis-habisan supaya kuasa pemerintah dalam menjalankan kebijakan-kebijakan yang tidak sesuai dengan kepentingan publik terus langgeng. Maka dari itu, pers mahasiswa perlu terus membaca, berdiskusi dan menulis. Tulislah kebenaran, sampaikan pada para penguasa bahwa rakyat yang tertindas tidak bisa dibungkam dan keadilan harus diwujudkan.

Penulis: Elyvia Inayah
Penerbit: I: boekoe
Cetakan: I, Januari 2018
Tebal: 280, 14 cm x 20 cm
ISBN: 978-979-1436-50-2

Kategori
Diskusi Esai

Covid-19 Belum Berakhir, Pangan: Krisis, Ekologis dan Tangis

Pembatasan sosial dan skema penguncian (lockdown) yang diterapkan di banyak negara akan mempengaruhi produksi pertanian global. Food and Agriculture Organization (FAO) telah memperingatkan terjadinya kelangkaan pangan di tengah pandemi Covid-19. Pemerintahan harus secara cepat mampu mengantisipasi peringatan FOA untuk menjaga ketersediaan pangan dan menyelamatkan petani.

Soal kebutuhan pangan khususnya bahan pokok seperti beras, Indonesia masih menggantungkan hidupnya dengan negara lain. Tentu ada banyak sekali bahan pokok lainnya yang diimpor oleh Indonesia. Namun beras bisa jadi contoh yang mudah untuk menggambarkan bagaimana krisis pangan akan terjadi di Indonesia.

Setidaknya ada dua negara pengekspor beras yang menjadi langganan Indonesia,  yakni Thailand dan Vietnam. Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) pada bulan Oktober 2019, impor beras dari Vietnam mengalami kenaikan dari tahun 2017 sebesar 16.599,9 ton menjadi 767.180,9 ton di tahun 2018. Diikuti jumlah impor dari Thailand 108.944,8 ton di tahun 2017 menjadi 795.600,1 ton pada 2018.

Ketergantungan impor beras Indonesia telah menjadi lagu lama. Sejak krisis ekonomi 1998, ketergantungan akan beras impor menjadi solusi dalam pemenuhan kebutuhan sekaligus menekan kenaikan harga.

Ketika emak-emak di pasar berteriak harga beras naik akibat gagal panen, dll- sejurus kemudian pemerintah keluarkan kebijakan impor beras. Logika ekonomi yang sederhana, semakin banyak barang yang beredar di pasar maka semakin murah harganya.

Thailand dan Vietnam seolah menjadi dewi fortuna Indonesia khususnya dalam hal beras. Celakanya kini, kedua negara ini telah membatasi ekspor beras mereka ke negara lain. Motifnya sederhana, beras tersebut dipakai untuk memberikan makan rakyatnya. Karena, baik Thailand maupun Vietnam sedari awal kejadian Covid-19 di Wuhan telah meng–karantina wilayahnya.

Negara penyetok pangan ke Indonesia, kini harus membatasi pengiriman beras. Alhasil kelangkaan beras di negeri agraris ini pasti akan terjadi. Jika berkelanjutan, defisit stok pangan dapat berubah menjadi krisis pangan. Sebagai solusinya, Presiden Joko Widodo memerintahkan Kementerian Pertanian bersama beberapa BUMN untuk mencetak lahan sawah baru dengan target seluas 900.000 hektar, termasuk lahan gambut, lahan basah, dan lahan kering. Namun, wacana tersebut menuai polemik di ranah publik.

Seperti sebelumnya, lahan selama ini menjadi masalah besar di sektor pertanian. Banyak lahan pertanian yang telah dikonversi untuk pengembangan industri, infrastruktur dan lainnya. Dilaporkan oleh Indonesia Development and Islamic Studies (IDEAS) yang dipublikasi pada April 2019 lalu dengan judul “Tol Terbilang, Sawah Hilang: Harga Mahal Trans Jawa“.

Dalam laporan tersebut IDEAS menyebutkan, sepanjang tahun 2015 hingga 2018 tercatat 680,4 Km jalan tol di Jawa yang telah dibangun. Sebagian besar jalan tol tersebut dibangun diatas lahan pertanian, terutama sawah. Lahan sawah yang dikorbankan untuk pembangunan jalan tol tersebut seluas 4.457 hektar.

Tak berhenti sampai di sini, ambisi pemerintah dalam membangun jalan tol pada periode 2019 hingga 2021 (saat ini dalam proses konstruksi) mencapai 766,1 km. Angka 766,1 km ini pun harus dibayar dengan hilangnya lahan pertanian (sawah) seluas 9.475 hektar.

Angka ini belum termasuk dalam perhitungan konservatif lahan,  akibat adanya jalan tol yang dibangun. Tentunya lahan pertanian yang berada di sekeliling pintu gerbang tol menjadi sangat strategis.

IDEAS memperkirakan, dari 680,4 Km jalan tol yang dibangun sepanjang 2015-2018, akan memicu konversi lahan pertanian hingga 49 ribu hektar atau setara dengan luas seluruh sawah di Kabupaten Sukabumi.

Sementara 766,1 Km jalan tol yang akan beroperasi pada 2019-2021, diperkirakan akan memicu konversi lahan pertanian hingga 70 ribu hektar, setara dengan luas seluruh sawah di Kabupaten Bojonegoro.

Data lain menyebutkan, sepanjang tahun 2013 hingga 2018, terjadi konversi lahan sawah seluas 181 ribu hektar di seluruh Jawa. Sepuluh kabupaten yang kehilangan sawah terbesar atau ± 5 ribu hektar, adalah Banyuwangi, Bandung, Serang, Demak, Jember, Cirebon, Bangkalan, Grobogan, Lamongan dan Brebes. Atau dengan kata lain, pulau Jawa kehilangan hampir 100 ribu hektar sawah dalam 5 tahun terakhir.

Data Badan Pusat Statistik (BPS) juga mencatat antara 2018 dan 2019, luas panen padi berkurang dari 11,4 juta hektar menjadi 10,7 juta hektare.

Dampak dari lahan pertanian yang berkurang dan tingginya impor beras Indonesia, membuat ratusan petani beralih profesi. Bahkan data dari BPS menunjukan, selama 10 tahun terakhir setidaknya ada 5 juta petani yang beralih profesi ke sektor lain, khususnya menjadi buruh.

Tak hanya itu, kuota pupuk bersubsidi dari pemerintah yang diberikan kepada petani pun tiap tahunnya ikut menurun. Tahun 2018 kuota pupuk yang diberikan menurun dari tahun sebelum yakni dari 22-24 ribu ton menjadi 20 ribu ton. Angka ini terus menurun di tahun selanjutnya atau hanya sekitar 18 ribu ton di tahun 2019 dan tahun 2020 menurun menjadi 15 ribu ton.

***

Upaya pemerintah untuk memperluas lahan pertanian perlu diapresiasi, namun langkah ini tidak bisa diharapkan sebagai solusi cepat untuk mengatasi krisis pangan selama pandemi Covid-19.

Mencetak lahan pertanian baru membutuhkan waktu yang lama, mulai dari pengelolaan lahan dan proses pertaniannya, apalagi di lahan gambut. Peneliti CIPS Felippa Ann Amanta mengatakan bahwa mencetak lahan pertanian baru tidak bisa membantu kekurangan stok pangan yang terjadi saat ini, bahkan untuk selama Ramadan hingga sampai akhir tahun.  Karakteristik lahan yang dibuka untuk digunakan sebagai lahan pertanian juga belum tentu cocok dan berisiko mengakibatkan gagal panen.

Pengalaman Proyek Pengembangan Lahan Gambut Satu Juta Hektar di Kalimantan Tengah di rezim pemerintahan Soeharto seharusnya bisa jadi pembelajaran bahwa yang terjadi adalah gagal panen dan kerugian besar. Program cetak sawah dengan membuka lahan juga berresiko mengancam ekosistem yang ada.

Pangan memang merupakan kebutuhan mendesak dan prioritas saat ini, namun nasib keberlanjutan lingkungan tentu harus diperhatikan.Pangan dan lingkungan, keduanya mestinya tidak saling dibenturkan. Keduanya bagai dua sisi mata uang yang sangat dibutuhkan bagi manusia. Keduanya justru harus saling mendukung dan bersama-sama menjamin keberlangsungan hidup makhluk hidup termasuk manusia.

Pangan merupakan penjamin kehidupan, sedangkan lingkungan merupakan penjamin keberlanjutan pembangunan. Penyelamatan pangan dan jaminan keberlanjutan lingkungan (ekologis) merupakan dua hal yang harus dihadirkan bersama. Dalam kondisi pandemi Covid-19 ini, tantangan semakin berat dalam menghadirkan keduanya sekaligus.

Keterpenuhan sekarang dan ancaman kerusakan ke depan tentu kurang bijaksana dan hanya menjadi ‘bom waktu’ ancaman selanjutnya. Indonesia sebagai negeri agraris mesti terselamatkan dari darurat pangan.

***

Kendati begitu dalam menghadapi krisis pangan kali ini, pemerintah nampaknya cukup optimis. Terlihat dari pernyataan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto yang menjamin pasokan pangan akan aman selama 3 bulan kedepan.  Optimis serupa pun ditujukan oleh Luhut Panjaitan, bahkan ia tak hanya menjamin beras dan sembako, BBM dan listrik pun dijamin akan aman sentosa selama pandemi.

Namun optimisme kedua menteri ini sejalan dengan kondisi masyarakat dan pasar yang tak beraturan seperti ini? Awal kejadian Covid-19, masker dan hand sanitizer sempat langka, harganya pun ikut melambung tinggi. Pemerintah bahkan tidak mampu mengontrol.

Meningginya harga mungkin tidak dirasakan oleh beberapa pihak. Ketika krisis pangan terjadi, mereka masih mampu untuk membeli bahkan menimbun bahan pangan. Alhasil yang menjadi korban adalah masyarakat kecil yang sedari awal mengagungkan pemerintah dengan program-programnya.

Parahnya pemerintah masih saja mengurusi pasar global. Kebijakan ekonomi makro yang kemudian dituangkan dalam rancangan Perppu 1 tahun 2020 jadi fokus utama, dan melupakan rakyat kecil yang menunggu ketercukupan pangan sehari-hari. Lucunya lagi, anggaran untuk pembangunan masih saja ditingkatkan, sementara untuk pangan mengalami penurunan tiap saat.

***

Memasuki masa ‘new normal’ seperti yang dicanangkan pemerintahan untuk sekedar ‘berdamai dengan Covid-19’ maka sektor pertanian akan memasuki tantangan terberat. Salah satunya adalah ‘bagaimana’ menyerap arus-balik tenaga kerja dari kota ke desa yaitu para korban pemutusan hubungan kerja (PHK) dari sektor industri dan jasa yang “rehat” karena dampak Covid-19. Ditambah pelaku ekonomi informal kota yang pulang kampung karena peluang usaha/kerja yang ikut meredup.

Jika ‘opsi’ pencetakan sawah baru itu dijalankan, bersifat padat mesin sehingga serapan tenaga kerjanya juga kecil. Lantas ke mana pertambahan tenaga kerja di pedesaan, akibat PHK dan pulang kampung terkait Covid-19 akan disalurkan?  

Mereka akan tetap masuk ke sektor pertanian dan menyebabkan kondisi involusi di situ. Suatu kondisi di mana terlalu banyak tenaga kerja menggantungkan nafkah di bidang pertanian yang kapasitasnya terbatas.

The SMERU Research Institute dalam laporan The Impact of Covid-19 Outbreak on Poverty: An Estimation for Indonesia sudah memberi peringatan.  Pada angka pertumbuhan ekonomi 4.2% tahun 2020 (target 5.3%),  tingkat kemiskinan nasional akan naik dari 9.2% (24.8 juta jiwa, 2019) menjadi  9.7% (26.1 juta jiwa).  

Pemerintah sebenarnya sudah mengantisipasi “ledakan” itu dengan menyiapkan program jaring pengaman sosial.  Tapi, kecuali padat karya tunai pedesaan (Rp 10 triliun), program-program itu diperkirakan kurang efektif karena cenderung bias kota (kartu pra-kerja, kartu sembako, BLT, PKH).

Untuk meredam risiko involusi pertanian itu, integrasi fungsi-fungsi jaring pengaman sosial ke dalam program intensifikasi pertanian dapat dipertimbangkan sebagai sebuah strategi. Selain meningkatkan produktivitas,  program sinergi BUMN dan Kementan itu harus meningkatan pula volume kegiatan pangan. 

Caranya, pertama, peningkatan IP sampai 3.0, dua kali tanam padi dan satu kali tanam palawija/hortikultura. Kedua, peningkatan hilirisasi pertanian, khususnya pengolahan dan pemasaran hasil pertanian dan ikutannya. Dengan catatan bahwa strategi ini untuk meningkatkan kondisi sosial dan mencapai keadilan masyarakat tanpa adanya ‘kepentingan’ lain.

Jika masing-masing individu ‘sadar’, seharusnya pandemi telah usai.    

Dua cara itu akan menyerap tambahan tenaga kerja pedesaan dalam jumlah signifikan. Dengan begitu keresahan sosial akibat pengangguran dan kemiskinan, yang bisa berujung kerusuhan sosial, dapat diredam.